BAB V: VALIDITAS PENAFSIRAN SUFISTIK ISMA<’I<L H{AQQI< BURSAWI<
B. Penafsiran Suf istik Isma>’i>l H{aqqi> Te rhadap Puncak Pengalaman Sufistik
2. Ma‘rifah
Kata ma‘rifahmerupakan hal baru dalam Islam sebagaimana kata tasawuf. Al-Qur’an tidak menyebut kata ma‘rifahdalam bentuk mas}dar. Tetapi hanya menyebut kata-kata yang musta>q (bagian) darinya, seperti firman Allah pada surat al-Baqarah: 146; al-An‘a>m: 20; al-Nah}l: 83.146 Istilah ma‘rifah berasal dari kata al-ma‘rifah yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu.147 Apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawuf, maka istilahma‘rifah berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam tafasawuf.148 Menurut al-Ghazali>, ma‘rifah secara etimologi berarti ilmu yang tidak menerima keraguan. Dalam tradisi sufi, ia berarti mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Adapun menurut terminologi kaum sufi
ma‘rifahberarti ilmu yang tidak mengandung keragian sedikitpun, karena yang
diyakini adalah Dhat dan sifat-sifat Allah.149
Al-Qushayri> menjelaskan bahwa ma‘rifah secara bahasa adalah ilmu. Maka, setiap ilmu adalah ma‘rifah dan setiap ma‘rifahadalah ilmu. Setiap orang yang ber- ma‘rifahadalah ‘a>rif dan setiap ‘a>rif adalah ‘a>lim.150 Menurutnya,
ma‘rifah merupakan sifat dari orang-orang yang mengenal Allah dengan nama-
nama dan sifat-sifat-Nya, kemudian ia membenarkan Allah dengan
145Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, Jilid I, 84-85.
146Said Aqil Siradj, Ma’rifatullah: Pandangan Agama-agama Tradisi dan Filsafat (Jakarta: Elsas, 2003), 6-7.
147Shiha>buddi>n ‘Umar Suhrawardi>, ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif: Puncak Pengetahuan Ahli
Makrifat, 105.
148H.A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, 251.
149Abu> H{ami>d al-Ghzali>, Jalan Menuju Tuhan: Panduan Membentuk Kejernihan Jiwa, 34.
melaksanakan ajaran-Nya dalam segala perbuatan. Ia membersihkan dirinya dari dosa-dosa dan akhlak yang tercela, kemudian ia sering berlama-lama
berdiri mengetuk ‚pintu‛ Allah. Dengan hati yang istiqomah ia ber-i‘tikaf
untuk menjauhi dosa-dosa, sehingga ia memperoleh sambutan Allah yang indah. Allah membimbing dalam semua keadaannya, maka terputuslah gelora nafsu dalam dirinya. Ia menjadi asing di tengah manusia, bebas dari dosa-dosa, bersih dari urusan dunia dan terus menerus bermunajat di hadapan Allah dengan cara
sirr (rahasia dan tersembunyi). Ia dianugerahkan rahasia-rahasia Allah tentang kekuasaan-Nya. Itulah yang disebut ‘a>rif dan ah}wa>l-nya disebut dengan
ma‘rifah.151
Mustafa Zahri menerangkan bahwa ma‘rifah adalah sebuah ketetapan hati (dalam mempercayai hadir-Nya) Wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaan-Nya.152 Pengetahuan semacam ini hanya diberikan Tuhan kepada kaum sufi yang sangat berhasrat untuk menemukan Tuhan karena sangat cintanya kepada-Nya. Ma‘rifahdimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Maka tak heran jika Dhu> al-Nu>n pernah menuturkan ketika ia memperoleh ma‘rifah tentang Tuhan ia berkata bahwa ia mengenal Tuhan dengan pertolongan-Nya, sekiranya tidak karena-Nya, maka ia tak akan mengnal-Nya. Perkataan Dhu> al-Nu>n tersebut mengindikasikan bahwa ma‘rifah tidak diperoleh begitu saja, tetapi adalah pemberian Tuhan. Oleh karena itu, ma‘rifahbukanlah hasil dari pemikiran manusia, tetapi tergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Dengan kata lain, ma‘rifahadalah pemberian Tuhan kepada para sufi yang mampu menerimanya.153
Para sufi menggambarkan ma‘rifah sebagai pengetahuan yang tidak dicapai melalui penalaran akal tetapi pemahaman yang lebih tinggi mengenai rahasia ketuhanan.154Ma’rifah merupakan pengetahuan yang objeknya bukan berupa hal-hal yang bersifat z}a>hir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya.155Junayd sebagaimana dikutip oleh Annemarie Schimmel mengatakan bahwa ma‘rifahadalah keraguan hati antara menyatakan bahwa Tuhan terlalu Agung untuk dimngerti dan menyatakan bahwa Dia terlalu dahsyat untuk dilihat.156
Mengenal Allah (ma‘rifatulla>h) sangat bergantung dan berhubungan dengan dengan mengenal diri sendiri (ma‘rifah al-nafs). Mengenal Allah berarti mengenal sifat-sifat Allah dalam bentuk keadaan secara terinci, berbagai kejadian dan msuibah. Kemudian, mengatahui bahwa hanya Dia saja Wujud
151‘Abd al-Kari>mal-Qushayri>, Risa>lah al-Qushayriyah, 344-345.
152Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf (Surabaya: Bina Ilmu, t.th), 172- 173.
153Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, 171-172. 154Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, 166.
155Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 189.
Hakiki dan Pelaku Mutlak.157 Menurut al-Ghazali>, ma‘rifatulla>h memiliki arti selalu ingat kepada Allah, karena Dia telah hadir dalam hatinya dan bisa melihat-Nya. Tanda-tandanya tampak pada kilauan cahaya hati ketika ia mulai masuk dalam lingkaran tauhid, kemudian timbul rasa kerinduan yang sangat kuat kepada Allah.158
Semakin tinggi tingkat kedekatan manusia dengan Allah, maka semakin tampak efek-efek keagungan-Nya. Ma‘rifah adalah masalah keterpesonaan dan keterpukauan penjelasannya tidak sempurna, tapi pengantarnya adalah ilmu. Maka, tanpa ilmu, ma‘rifah mustahil terjadi, dan ilmu tanpa ma‘rifah adalah bencana.159
Pengalaman-pengalaman orang-orang saleh sejak lama telah membuktikan bahwa kesucian jiwa dan kejernihannya serta perlindungannya kepada Allah dan pendekatan kepada-Nya akan meningkatkan manusia ke alam ruhaniah, di mana jiwa itu mampu melihat alam tertinggi. Dengan demikian, akan berlimpah pada jiwa tersebut karunia-karunia dan ilham serta ma‘rifah
yang tidak mungkin diperoleh orang-orang yang berjiwa materialis yang telah dilalaikan oleh dunia.160
Al-Ghazali> membagi ma‘rifahke dalam dua bagian, yaituma‘rifahDhat
dan ma‘rifah sifat-sifat Allah. Ma‘rifahDhat adalah mengetahui bahwa Allah
itu ada dan Tunggal, berdiri sendiri dan tidak ada sesutupun yang menyerupai- Nya. Adapun ma‘rifahsifat adalah mengetahui bahwa Allah adalah Dhat yang Maha Hidup (H{ayy), Maha Mengetahui (‘Ali>m), Maha Kuasa (Qa>dir), Maha Mendengar (Sami>‘), Maha Melihat (Bas}i>r) dan semua sifat-sifat Allah yang lainnya.161
Kemudian, al-Ghazali> mendeskripsikan mengenai tanda-tanda ma‘rifah,
menurutnya, tanda-tandanya adalah hati seseorang telah hidup bersama Allah. Dan kedudukan ma‘rifahyang hakiki adalah adalah di mana hatinya benar-benar bisa melihat Allah dengan rahasia hati. Hal ini terjadi karena Allah telah menyingkap hijab dan memperlihatkan kepada mereka cahaya Dhat-Nya dan sifat-sifat-Nya agar mereka menjadi ‘a>rif. Tetapi Allah tidak menyibak semua
hijab tersebut seluruhnya agar mereka tidak terbakar.162
Mustafa Zahri mengungkapkan bahwa alat yang digunakan oleh kaum sufi untuk memperoleh ma‘rifahadalah sirr. Hal ini dikarenakan pada diri
157Shiha>buddi>n ‘Umar Suhrawardi>, ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif: Puncak Pengetahuan Ahli
Makrifat, 105.
158Abu> H{ami>d al-Ghazali>, Jalan Menuju Tuhan: Panduan Membentuk Kejernihan Jiwa, 53.
159Shiha>buddi>n ‘Umar Suhrawardi>, ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif: Puncak Pengetahuan Ahli
Makrifat, 107.
160‘Abd al-H{ali>m Mah}mu>d, Hal Ihwal Tasawuf: Analisa Tentang al-Munqidz
Minadhdhalal, 446-447.
161Abu> H{ami>d al-Ghazali>, Jalan Menuju Tuhan: Panduan Membentuk Kejernihan Jiwa, 34.
162Abu> H{ami>d al-Ghazali>, Jalan Menuju Tuhan: Panduan Membentuk Kejernihan Jiwa, 34-35.
manusia terdapat tiga alat yang dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, qalb, yang berfungsi untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan.
Kedua, ruh, yang brfungsi untuk mencintai Tuhan. Ketiga, sirr, yang berfungsi untuk melihat Tuhan. Sirr lebih halus dari ruh dan ruh lebih halus dari qalb. Qalb tidak sama dengan jantung, karena qalb selain alat untuk merasakan, ia juga sebagai alat untuk berfikir. Perbedaan qalb dan akal adalah pada pngetahuan tentang Tuhan. Jika qalb dapat memperoleh hakikat pengetahuan tentamg sesuatu, maka akal tidak bisa. Adapun sirr bertempat di ruh dan ruh bertempat di qalb. Sirr seseorang timbul dan dapat menerima limpahan rahmat dari Allah jika qalb dan ruh itu telah suci dengan sesuci-sucinya, kosong tak berisi apapun. Ketika itulah Tuhan menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi, dan yang dilihat olehnya hanyalah Allah saja. Ketika itulah ia telah sampai pada tingkat ma‘rifah.163
Dalam literatur tasawuf, Dhu> al-Nu>n al-Mis}ri> (w. 860 M) dianggap sebagai penggagas dari paham ma‘rifah. Menurutnya, ada tiga macam pengetahuan tentang Tuhan: pertama, pengetahuan awam, yaitu Tuhan itu satu dengan perantaraan ucapan syahadat; kedua, pengetahuan ulama, Tuhan itu satu menurut logika akal; ketiga, pengetahuan sufi, Tuhan itu satu dengan perantaraan hati sanubari.164
Adapun pandangan al-Bursawi>mengenai ma‘rifahdapat dilihat dari penafsirannya berikut ini:
2.1.Q.S. al-Nu>r [24]: 40:
وَاِإ ٍضْعَقُب َقْىَقُا ىَ ُ ْعَقُب ٌتىَيُ ُظ ٌبىَحَ ِهِ ْىَقُا ْنِو ٌجْىَو ِهِ ْىَقُا ْنِو ٌجْىَو ُ ىَشْغَقُي ٍّيصُِّلج ٍرَْبَ ِفي ٍتىَيُ ُ َ ْوَأ
ٍرىُا ْنِو ُهَا ىَيَا وًرىُا ُهَا ُهصَّ او ِلَعَْيَ َْلم ْنَوَو ىَهوَرَقُي ْدَكَي َْلم ُ َدَي َجَرْخَأ
.
‚Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.‛ (Q.S. al-Nu>r [24]: 40)
Menurut al-Bursawi>, kata z}uluma>t merupakan isyarat dari gambaran kelalaian amal perbuatan yang tanpa didasari oleh hadirnya hati dan keikhlasan niat di dalamnya. Hal itu disebabkan karena kecintaan mereka terhadap duniawi, riya, harta dan jabatan. Faktor-faktor itu dapat menyeret seseorang pada shirk al-khofiy (syirik yang terselubung), yaitu tabiat untuk berbuat zalim, lalai dan terlalu cinta pada dunia. Al-Bursawi> melanjutkan, untuk dapat terhindar dari sifat-sifat z}uluma>t itu, seorang hamba harus memiliki tujuan
163Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf,172. 164Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, 60.
sertakesungguhandalammemperbaiki h}a>l dirinya dan keluarganya untuk menghindarkan diri dari kegelapan yang tidak dapat dilihat dengan pandangan akalnya.165
Al-Bursawi> menjelaskan bahwa barangsiapa yang tidak disirami cahaya ilahiyah (ma‘rifah), maka tidak akan ada lagi cahaya tersisa yang dapat mengeluarkannya dari kegelapan itu. Sesungguhnya cahaya akal tidak memiliki kekuatan untuk mengeluarkan seseorang dari kegelapan, karena hanya cahaya ilahiyah (ma‘rifah) saja yang mampu megeluarkannya. Sebagaimana firman Allah:
ِرى او َلَِإ ِتىَيُ او َنِو ْمُ ُجِرُْ وىُ َوَ َنيِ صَّاو ِليَو ُهصَّ او
...
‚Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)....‛ (Q.S>. al-Baqarah [2]: 257.)
Menurut al-Bursawi>, kata yakhrujuhum pada ayat di atas menunjukkan sebuah perumpamaan yang diberikan Allah, sebagaimana perumpaan air yang dikeluarkan dari mata air, hujan, awan. Kemudian api dikeluarkan dari batu dan besi dari gunung. Kemudian asap dikeluarkan dari api dan batang pohon yang tumbuhan di atas bumi. Kemudian buah-buahan dikeluarkan dari pepohonan sebagimana seseorang tidak akan mampu mengembalikan ciptaan Allah tersebut ke asalnya. Begitupun Iblis dan seluruh syaitan tidak akan mampu untuk memalingkan seseorang kepada kegelapan kekafiran, keraguan dan nifa>q
(kemunafikan) setelah Allah mengeluarkannya dari kegelapan tersebut menuju cahaya keimanan, keyakinan dan keikhlasan karena Allah Maha memberi petunjuk.166
Dari penjelasan al-Bursawi>, dapat dipahami bahwa cahaya ilahiyah atau
ma‘rifah merupakan wasilah bagi seseorang untuk dapat keluar dari z}uluma>t
(kegelapan) yang digambarkan pada ayat di atas.Ma‘rifah dibahasakan oleh al- Bursawi> dengan nu>r ila>hi> (cahaya ilahiyah).Ini dikarenakanma‘rifah merupakan anugerah dari Allah untuk hamba-Nya yang melakukan muja>hadah dalam memperbaiki h}a>l-nya. Apabila seseorang sudah dianugerahkan ma‘rifah, maka ia akan mampu melihat sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh kekuatan akalnya. Penjelasan al-Bursawi>itu didasarkan kepada surat al-Baqarah ayat ke- 257 yang menerangkan bahwa Allah yang mengeluarkan orang-orang yang beriman dari kegelapan kekafiran kepada cahaya keimanan. Artinya, seseorang tidak akan mampu keluar dari kegelapan kekufuran tanpa petunjuk dan hidayah dari Allah swt.
Jika dicermati dengan seksama, penjelasan al-Bursawi> terhadap ayat di atas tidak melulu memfokuskan penafsirannya kepada pemaknaan ba>t}in. Tetapi ia mencoba menggabungkan antara metode bi> al-isha>ri> dengan bi> al-ma’thu>r. Ini
165Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, Jilid VI, 162.
terlihat ketika ia menyandarkan argumentasinya dalam menjelaskan cahaya ilahiyah (ma‘rifah) kepada ayat ke-125 surat al-Baqarah. Pengkombinasian kedua metode penafsiran tersebut oleh al-Bursawi> mengindikasikan bahwa ia juga mencoba mengharmonisasikan antara syariat dan hakikat.Ini merupakan sesuatu yang positif, sebab jika merujuk kepada kriteria penafsiran sufistik perspektif al-Dhahabi>, penggunaan syariat dalam sebuah penafsiran sufistik bertujuan untuk memberikan rambu-rambu kepada para sufi yang seringmengabaikan aspek syariat yang bersumber dari al-Qur’an, sunnah dan sumber-sumber syara’ lainnya, sehingga tidak memunculkan kekhawatiran para sufi terlalu jauh dalam menakwilkan ayat al-Qur’an.167
Adapun ma‘rifah dalam tafsir Ibn ‘Arabi> dibahasakan dengan lautan
ila>hiyah.168Lautan ini sangat luas dan sangat dalam, tempat bersemayam bagi
setiap jiwa yang ja>hil, tempat untuk menceburkan diri bagi segala sesuatu yang berkaitan dengan kekuatan ruhaniyah. Lautan ini dapat menghilangkan kegelapan yang saling bertindih oleh tabiat jasmani, ombak nafsu nabati, awan nafsu kebinatangan dan segala bentuknya dari kegelapan lainnya. Ibn ‘Arabi
melanjutkan, kekuatan berfikir yang logis dan teoritis tidak dapat dapat melihat kegelapan tersebut, hal itu disebabkan kebutaan pendangannya yang tidak dapat memberikan petunjuk terhadap sesuatu apa pun. Karena bagaimana seorang yang buta dapat melihat sesuatu yang hitam di malam hari yang gelap gulita?. Maka, siapapun yang tidak diberi cahaya dengan penyinaran cahaya ruh dari kekuatan al-qudsiyah dan disertai bantuan akal pikiran, ia tidak akan bisa melihat kegelapan itu.169
Penjelasan Ibn ‘Arabi dia atas memiliki kesamaan dengan al-Bursawi>,
kesamaan itu terletak pada sumber ma‘rifah. Keduanya berpendapat bahwa
ma‘rifah merupakan anugerah yang diberikan Allah kepada hambanya yang
terpilih. Hanya saja keduanya menggunakan terminologi berbeda dalam penyebutan term ma‘rifah. Jika al-Bursawi> menyebut ma‘rifah dengan nu>r ila>hi>,
maka Ibn ‘Arabi> menyebutnya dengan bah}r ila>hi>. Di luar itu, kedua mufassir
sufi ini memandang bahwa kekuatan akal manusia tidak dapat melihat z}uluma>t
yang dimaksdkan pada ayat di atas. Hal itu hanya dapat dilihat hanya cahaya ilahiyah yang bersumber dari kekuatan al-qudsiyah yang disertai dengan kekuatan logika akal pikiran manusia.
2. 2. Q.S. al-Zumar [39]: 22:
ِفي َكِئَاوُأ ِهصَّ او ِرْ ِا ْنِو ْمُ ُقُبىُ ُقُ ِةَيِ ىَ ْ ِا ٌلْيَىَقُا ِهصِّبَر ْنِو ٍرىُا ىَ َا َىُ َقُا ِم َلاْ ِْلِْا ُ َرْدَص ُهصَّ او َحَرَش ْنَيَاَأ
ٍ ِبُو ٍل َلاَا
.
167Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48.
168Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, Jilid II, 72.
‚Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk (menerima) agama Islam lalu dia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang hatinya membatu)? Maka celakalah mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.‛ (Q.S. al-Zumar [39]: 22.)
Maksud dibukakan hatinya oleh Allah menurut al-Bursawi> adalah dibukakan dengan kelembutan ilahiyah yang dianugerahkan kepadanya dalam ber-musha>dah terhadap ayat-ayat kawniyah, tanzi>l, tawfi>q untuk memberikan petunjuk al-h}aqq bagi orang yang keras (hatinya), sempit hatinya karena firah Allah dalam dirinya digantikan dengan keburukan serta dikuasai oleh kesesatan dan z}uluma>t (kegelapan). Mereka menolak ayat-ayat Allahserta tidak menjadikan ayat-ayat itu sebagai pedoman hidup. Sebagaimana firman Allah:
..
ىًجَرَ ىً صِّقُيَا ُ َرْدَص ْلَعَْيَ ُهصَّ ِ ُي ْنَأ ْوِرُي ْنَوَو
..
‚..Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan hatinya sesak lagi sempit...‛ (Q.S. al-An‘a>m [6]: 125)
Al-Bursawi> melanjutkan, tidaklah sama antara orang yang mendapatkan cahaya ilahiyah (ma‘rifah) dengan orang yang mendapatkan
z}ulmah (kegelapan), sebagaimana perbedaan antara terang dan gelap serta perbedaan antara ilmu dan kejahilan. Ketahuilah bahwa tidak ada cahaya dan kebahagaian bagi seorang muslim kecuali dengan ilmu dan ma‘rifah. Sesungguhnya setiap mu’min yang dianugerahkan ma‘rifah oleh Allah berbeda- beda derajatnya sebagaimana berbeda-beda pula tingkat ke-ma‘rifah-an mereka.170
Dari penafsiran al-Bursawi> di atas, dapat dipahami bahwa implikasi dari ma‘rifah adalah mampu melakukan musha>dah serta memberikan petunjuk
al-h}aqq kepada orang-orang yang hatinya diliputi keburukan dan dikuasai oleh kesesatan. Kemudian, tingkatan seorang mu’min yang telah dianugerahlkan
ma‘rifah berbeda antara satu dengan yang lain tergantung pada kadar ke-
ma‘rifah-annya. Dengan kata lain, semakin tinggi ma‘rifah seseorang, maka
semakin tinggi pula derajat ke-‘a>rif-annya. Penjelasan al-Bursawi> mengenai implikasi ma‘rifah, bukan hanya didasarkan makna isyarat yang terkandung pada ayat saja, tetapi ia perkuat juga dengan dalil syar’i yaitu ayat ke-125 surat
al-An‘a>m. Jika merujuk pada kriteria validitas tafsir sufistik yang diusung oleh
al-Dhahabi>, apa yang dilakukan oleh al-Bursawi> ini dapat dikategorikan ke dalam model penafsiran fayd}i>. Yaitu suatu model penafsiran yang memadukan antara pemaknaan zahir dan makna batin yang terkandung dibalik ayat al-
Qur’an, antara argumentasi syariat yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis
dengan hakikat serta perpaduan antara dalil aqli dan naqli. Apabila dalam
sebuah penafsiran sufistik mengandung unsur-unsur tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penafsirannya itu adalah valid dan dapat diterima.171
Selanjutnya, al-Bursawi> menjelaskan juga tentang korelasi antara iman
dan ma‘rifah. Menurutnya, iman dan ma‘rifah adalah bagian dari cahaya
ilahiyah, maka di antara mereka ada yang memancarkan cahayanya ke seluruh penjuru arah, sebagian lagi tidak memancarkan cahayanya kecuali hanya ke tempat kedua telapak kakainya saja. Iman seorang awam seperti cahaya lilin, sedangkan cahaya sebagian lainnya seperti cahaya sira>j (pelita). Iman para
s}iddi>qi>n cahayanya seperti cahaya bulan dan bintang-bintang dan berbeda-beda berdasarkan tingkatannya. Adapun cahaya keimanan para nabi seperti cahaya matahari yang semakin bertambah terang yang memancarkan cahayanya ke setiap ufuk. Hal ini tentu sangat kontras apabila dibandingkan dengan cahaya lilin yang tidak memancarkan cahayanya kecuali hanya di ruangan sempitsaja. Begitu juga berbeda pula tingkatan kelapangan hati seseorang mukmin tergantung dari keluasan ma‘rifah dan pancaran luasnya alam malaku>t bagi hatinya. Sebagaimana dalam sebuah hadis: ‚Sesungguhnya pada hari kiamat akan dikatakan: keluarlah kalian yang di dalam hatinya ada sedikit keimanan walaupun hanya setengah atau seperempat dari dharroh dari api neraka ini‛.172
Secara umum, dari apa yang telah dijelaskan al-Bursawi> di atas dapat diambil kesimpulan bahwa iman dan ma‘rifah merupakan anugerah dari Allah kepada hamba pilihan-Nya. Kadar keimanan dan ke-ma‘rifah-an seseorang berbeda-berbeda. Tingkatan terendah adalah keimanan orang-orang awam yang diibaratkan al-Bursawi> dengan cahaya lilin. Pada tingkatan berikutnya adalah keimanan orang-orang s}iddi>q yang diibaratkan dengan cahaya bulan dan bintang-bintang. Dan keimanan yang paling tinggi adalah keimanan para nabi yang diibaratkan dengan cahaya matahari. Tidak berbeda dengan iman, tingkat
ma ‘rifah pada diri seseorang juga berbeda-beda tergantung dari keluasan
ma‘rifah dan luasnya pancaran alam malaku>t dalam hatinya.Penafsiran al-
Bursawi> tersebut berbeda dengan Ibn ‘Arabi>yang mengkorelasikan iman dengan
ah}wa>l fana>’ dan baqa>’. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran Ibn ‘Arabi> berikut
ini:
Menurut Ibn ‘Arabi>, maksud dengan orang-orang yang dibukakan
hatinya oleh Allah untuk menerima Islam adalah dengan cahaya-Nya yang terdapat pada h}al baqa>’ setelah fana>’, dan bersih hatinya dengan wuju>d yang dianugerahkan oleh al-H{aqq dan diluaskan dadanya dengan al-haqq dan al- khal>iq dari ketidak ketersibakkan salah satu dari keduanya, maka dia akan menyaksikan dengan jelas terhadap substansi al-wah}dah dan al-tawh}i>d. Ibn
‘Arabi> melanjutkan, Islam adalah fana>’ kepada Allah dan berserah kepada-Nya.
Artinya, ia akan dibukakan hatinya dalam ke-baqa>’-an kepada Islam yang mengarahkannya pada kondisi fana>’ kepada Allah. Kemudian ia akan mendapat