• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V: VALIDITAS PENAFSIRAN SUFISTIK ISMA<’I<L H{AQQI< BURSAWI<

2. Puasa

Al-Qur’an menggunakan kata s}iya>m sebanyak delapan kali, kedelapan

kata itu memiliki arti puasa menurut pengertian syariat. Di samping itu, al-

Qur’an juga menggunakan kata s}awm sebanyak satu kali, kata s}awm tersebut

memiliki arti menahan diri untuk berbicara,24 sebagaimana yang tertuang dalam Q.S. Maryam [19]: 26. Semua kata-kata yeng beraneka bentuk tersebut diambil dari akar kata s}a-wa-ma yang bermakna menahan, berhenti dan tidak bergerak.

Pengertian kebahasaan ini dipersempit maknanya oleh hukum syariat, sehingga s}iya>m hanya dimaknai dengan menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan suami-istri dari mulai terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari dengan disertai niat.25 Berbeda dengan kaum sufi, yang merujuk kepada hakikat dan tujuan dari puasa serta menambahkan kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini mencakup pembatasan atas seluruh anggota badan bahkan hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa. Karena puasa pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan diri.26

Dalam perspektif sufistik, al-Ghaza>li> memandang bahwa puasa adalah suatu bentuk kewajiban ibadah yang Allah jadikan sebagai benteng terkuat bagi para wali-Nya, di samping itu juga sebagai salah satu kunci pumbaka surga- Nya.27Puasa memiliki nilai plus disebabkan oleh makna yang dikandungnya. Selain sebagai pengendali diri manusia, pelaksanaan puasa pun bersifat rahasia, karena hanya sha>’im dan Allah yang mengetahuinya. Menurut al-Ghaza>li>, puasa merupakan amalan batin yang hanya bisa dilaksanakan dengan kesabaran

23Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48.

24M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan

Umat (Bandung: Mizan, 1998), 521.

25M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan

Umat, 522. Lihat juga Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, Jilid I, 431.

26M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan

Umat, 522.

semata. Selain itu, puasa merupakan sarana yang sangat efektif untuk menundukkan syaitan. Syhawat dan nafsu adalah pintu yang sering dimasuki syaitan untuk menggoda manusia, dan nafsu akan semakin kuat dengan makan dan minum. Sebaliknya, rasa lapar pada diri seseorang akan menutup pintu dan memudarkan seluruh syahwat dan nafsu yang menjadi alat syaitan untuk menggoda manusia.28Oleh karena itu, puasa harus diniatkan sebagai upaya untuk menahan syahwat dalam diri manusia. Karena itu puasa diartikan sebagai hilangnya kehendak nafsu dalam diri manusia. Puasa tidak hanya sebatas menahan lapar, dahaga dan berhubungan intim dengan istri belaka. Puasa semacam itu hanya bersifat lahiriyah.29

Al-Ghaza>li> melanjutkan, bahwa ada enam hal yang harus dilakukan oleh seorang sha>’im, yaitu: pertama, menjaga pandangannya dari hal tercela yang dapat melalaikan hati dari mengingat Allah; kedua, menjaga lidah dari ucapan yang tidak bermanfaat seperti dusta, fitnah, menggunjing. Ketika seseorang berpuasa, lidahnya hanya digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat seperti berzikir dan membaca al-Qur’an; ketiga, menjaga pendengarannya dari hal-hal yang tercela; keempat, mencegah semua anggota badan lainnya dari perbuatan yang diharamkan. Tangan dan kaki dijaga untuk tidak melakukan atau menuju ke tempat yang diharamkan. Perut dijaga untuk tidak mengkonsumsi makanan yang haram maupun syubhat; kelima, mencukupkan diri dengan makanan yang halal, tidak berlebihan dan melampaui batas baik ketika berbuka puasa maupun ketika sahur; keenam, ketika selesai berbuka, hati senantiasa berharap dan merasa cemas. Sebab ia tidak mengetahui dengan pasti apakah puasanya itu diterima atau ditolak. Perasaan ini selalu menyertainya setiap kali selesai melakukan puasa.30

Pandangan al-Bursawi> mengenai puasa, dapat dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:

2.1. Q.S. al-Baqarah [2]: 183

َنىُ صَّقُ َقُا ْمُكصَّ َعَا ْمُكِ ْبَقُ ْنِو َنيِ صَّاو ىَ َا َبِ ُ ىَيَ ُمىَيصِّلاو ُمُكْيَ َا َبِ ُ وىُ َوَ َنيِ صَّاو ىَ قُيَأ ىَي

.

‚Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 183) Dalam memaknai puasa pada ayat di atas, al-Bursawi> terlebih dahulu berpijak pada makna zahir ayat sebelum melangkah kepada pemaknaan ayat secara isha>ri>. Hal ini terlihat dari penjelasannya berikut ini:

28Abi> H{ami>d al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, 304.

29Abi> H{a>mid al-Ghaza>li>, Majmu>’ah Rasa’il al-Ima>m al-Ghaza>li> (Beirut: Da>r al-Fikr, 2006), 53.

Menurut al-Bursawi>, yang dimaksud dengan kutiba ‘alaikum al-s}iya>m

adalah puasa bulan Ramad}a>n. Hal ini mengacu kepada ayat sesudahnya yang berbunyi: ‚..Barangsiapa di antara kalian yang menjumpai bulan ini (Ramad}a>n), maka hendaklah ia berpuasa..‛31Puasa menurut syariat adalah menahan diri pada siang hari dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya. Ini merupakan puasa kaum mum’min yang awam. Adapun puasa kaum khawa>s}

ialah menahan diri dari segala perkara yang dilarang. Sedangkan puasa khawa>s} al-khawa>s} adalah menahan diri dari segala perkara selain Allah.Diwajibkannya puasa kepada umat manusia terjadi pada zaman nabi Adam a.s. dan umat manusia sesudahnya. Menurut al-Bursawi>, ayat ini mengandung penguatan hukum, motivasi untuk berpuasa, dan memperbaiki orang-orang yang di-khit}a>b- kan ayat tersebut. Puasa adalah ibadah yang berat, namun suatu ibadah yang berat apabila dilakukan dengan massal akan mudah dilakukan dan akan disukai oleh setiap orang yang menjalankannya. Jelasnya, pen-tashbi>h-an (penyerupaan) itu kembali kepada inti kewajiban ibadah puasa itu sendiri, bukan kepada kuantitas puasa yang diwajibkan dan bukan kepada penjelasan atas waktu pelaksanaannya.Pen-tashbi>h-an (penyerupaan) dalam kewajiban puasa, tidak menuntut kesamaan dalam segala aspeknya.Sebagaimana dikatakan dalam sebuah do’a ‚Ya Allah berikanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau merahmati Ibrahim dan keluarganya.‛ Selain do’a

tersebut, Nabi saw. juga pernah besabda: ‚Kalian akan melihat Rabb kalian

bagaikan bulan pada malam purnama.‛ Ungkapan dalam hadis ini merupakan

tashbi>h (penyerupaan) antara sebuah penglihatan dengan penglihatan lainnya, bukan tashbi>h terhadap obyek penglihatan dengan obyek lainnya.32

Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, ia menafsirkan kalimatkutiba

‘alaikum al-s}iya>m dengan mengacu pada ayat selanjutnya. Ini memberikan

indikasi bahwa al-Bursawi> mencoba mengunakan metode tafsi>r Qur’a>n bi> al-

Qur’a>n. Selain itu, metode penafsiran sufistiknnya selalu berpegang pada aspek

zahir dan batin. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Al-Alu>si>

sebagaimana dikutip ‘Ali> H{asan al-‘Ari>d} bahwa dalam tradisi penafsiran

sufistikharus melalui beberapa tahapan. Pada tahap pertama sebelum beranjak kepada pemaknaan secara isha>ri,> makna tekstual ayat harus terlebih dahulu diketahui. Setelah makna z}a>hir ayat diketahui, barulah pada tahap berikutnya beranjak kepada pemaknaan secara isha>ri>.33 Selain itu, al-Bursawi> dalam penjelasannya mengenai term puasa sangat memperhatikan aspek syariat sebelum berlanjut kepada tahapan hakikat. Hal ini tampak ketika ia memaknai puasa dengan mengacu pada perspektif fuqaha>’.

Berbeda dengan al-Bursawi>, al-Qushayri> membagi puasa ke dalam dua jenis.Pertama, shaum z{a>hir, menjaga diri dari makan dan minum yang disertai dengan niat. Kedua, shaum ba>t}in, penjagaan atau perlindungan hati dari

31Q.S. al-Baqarah [2]: 185.

32Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, Jilid I, 289.

kotoran. Penjagaan ruh agar tidak keluar dari tempatnya. Penjagaan rahasia dari perbincangan. Sebagaimana dikatakan bahwa puasanya seorang ‘a>bid adalah dengan menyempurnakan penjagaan lisan dari ghibah, penjagaan pandangan dari melihat hal-hal yang dapat memberikan keragu-raguan atau kebimbangan.34 Dari penjelasan Qushayri>, dapat dipahami bahwa puasa memiliki dua dimensi yang memiliki posisi yang sejajar. Artinya, puasa z}a>hir seseorang yang menjaga dirinya dari lapar dan dahaga tidak akan sempurna jika tidak dibarengi dengan puasa ba>t}in yang menjaga seseorang dari hal-hal yang mengurangi nilai puasa itu sendiri.

Menurut al-Alu>si>, ayat di atas merupakan penjelasan mengenai hukum syariat yang terakhir. Kata al-s}awm berasal dari kata s}a>ma yang berarti mencegah atau menahan diri. Berpuasalah sebagaimana diwajibkannya puasa kepada umat terdahulu; para Nabi, dan seluruh umat manusia yang hingga hari ini mengikuti risalah Nabi Adam. Adapula yang mengatakan bahwa perintah ini disampaikan kepada ahl al-kita>b, atau umat Nasrani. Diperintahkannya puasa agar kalian semua dapat berhati-hati untuk melakukan kemaksiatan, dan puasa dapat pula mengurangi atau mencegah dari sahwat.35 Dari penafsiran al-Alu>si> ini, terlihat bahwa ia menyoroti puasa dari sisi kebahasan dan syariat. Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan oleh al-Bursawi> yang menggunakan kedua sisi tersebut dalam menjelaskan isi kandungan ayat di atas.

Kemudian, dalam menjelaskan tujuan puasa yang terkandung dari ayat di atas, al-Bursawi> menyebutkan bahwa tujuan dari perintah puasa adalah ketakwaan seseorang dari segala bentuk kemaksiatan kepada Allah. Untuk memperkuat argumentasi penafsirannya, al-Bursawi> mengutip sebuah hadis dari Nabi saw. Hal ini semakin memberikan nilai positif kepada penafsiran sufistiknya yang masih berpegang kepada argumentasi syara’.Sebagaimana al- Dhahabi> mengatakan bahwa sebuah penafsiran sufistik harus didukung oleh

dalil syara’ atau argumentasi yang bersumber dari argumentasi rasional.

Pengutipan hadis dalam mempertajam argumentasi Al-Bursawi> dapat dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:

Tujuan dari puasa menurut al-Bursawi> adalah bertaqwa atas kemaksiatan, karena puasa dapat meredam syahwat yang menjadi titik awal dari kemaksiatan, sebagaimana di dalam hadis Nabi saw.:

ع سي لم نو و جر ا نل و و رلب ا ّضغو هّا ا جوز ي ا وءىباو مك و عى و نو بىبّشاو رشعو ىي

ءىجو مىّلاو ّن ا مىيلاىب هي عا

.

‚Wahai para pemuda, barangsiapa yang berkeinginan untuk berumah tangga, maka menikahlah, karena pernikahan dapat menahan pandangan (dari melihat wanita yang haram dilihat) dan memelihara kesucian

34‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid I, 87.

kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat meredam nafsu syahwatnya.‛

Dalam hadis ini, kata al-shaba>b jamak dari sha>b, menurut Imam Nawawi artinya orang yang sudah baligh tapi tidak melebihi tiga puluh tahun.

Wija>’ merupakan jenis pengebirian, yaitu mengendurkan urat-urat dua biji zakar

dan meninggalkan keduanya sebagaimana adanya. Hadis ini menggunakan

tashbi>h, yaitu s}awm yang memutuskan hasrat syahwat jima’ dan menahan

keburukan mani seperti pengebirian. Perintah dalam hadis ini menunjukan sebuah kewajiban, karena perintah itu dibawa kepada keadaan pemingitan yang

diisyaratkan oleh kata ‚wahai para pemuda‛, karena mereka golongan yang

harus dipelihara supaya berada dalam perangai yang baik. Sebagaimana

perkataan sebagian ulama: ‚Menentramkan syahwat, membuang syahwat,

melupakannya dan tidak membicarakannya dapat diperoleh melalui shaum pada siang hari dan shalat pada malam hari‛.36

Penggunaan hadis Nabi untuk memperdalam argumentasi penafsiran

juga dilakukan oleh Ibn ‘Arabi>. Hal ini dapat dilihat dari penjelasannya

terhadap ayat di atas.Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kutiba

‘alaikum al-s}iya>m adalah perintah Allah kepada kalian, karena kalian tergolong

ke dalam orang mu’min yang memiliki maqam hikmah. Jika kalian memiliki

hak tersebut, kalian tidak akan membeda-bedakan perintah yang ditujukan kepada kalian dalam ibadah ini. Selain itu, kutiba ‘alaikum al-s}iya>m menurut

Ibn ‘Arabi> bermakna seruan untuk menahan diri dari apa yang diharamkan

kepada kalian. Menurutnya, perintah puasa adalah termasuk dari hakikat puasa itu sendiri. Puasa menjadi penjaga bagi diri kalian. Sebagaimana Nabi menjelaskan bahwa puasa adalah junnah (benteng), dan benteng tersebut menjadi penjaga bagi kalian. Janganlah kalian melaksanakan puasa dengan tujuan selain beribadah. Karena ada sebagian orang yang berpuasa mengharapkan surga. Hakikat puasa adalah sebuah seruan bahwa tiada Tuhan selain Allah, karena puasa sesungguhnya hanya untuk Allah bukan untuk kalian.37 Dari penjelasan tersebut, tampak bahwa Ibn ‘Arabi dalam penafsiran

sufistiknya masih berpijak kepada dalil-dalil syara’.

Jika dilihat dari terori al-Dhahabi>tentang validitas penafsiran sufistik, al-Bursawi>dalam penafsirannya terlebih dahulu berpijak pada makna zahir ayat sebelum ia melangkah kepada pemaknaan ayat secara isha>ri>. Selain itu, dalam menjelaskan term puasa, ia sangat memperhatikan aspek syariat sebelum berlanjut kepada tahapan hakikat. Dan yang paling penting, sebuah penafsiran sufistik harus didasari oleh dalil-dalil syara’ atau argumentasi rasional. Dalam

hal ini, ketika al-Bursawi> menjelaskan tujuan puasa pada ayat di atas,ia mengutip sebuah hadis dari Nabi saw. Hal ini semakin menambah nilai positif

36Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, Jilid I, 289-290.

37Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, al-Futuh}a>t al-Makiyyah(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah,

penafsiran sufistiknya yang masih berpegang kepada argumentasi syara’ serta

tidak bertentangan dengannya.Karena dalam menafsirkan ayat di atas, al- Bursawi> masih berpegang pada kedua hal tersebut. Di samping itu, penafsirannya terhadap ayat di atas tidak ditemukan klaim bahwa makna ishari>- nya merupakan satu-satunya makna yang dimaksudkan oleh ayat tersebut. Dengan demikian, penafsiran Al-Bursawi> di atas adalah valid atau dapat diterima apabila ditinjau dari teori validitas penafsiran sufistik al-Dhahabi>. 2.2. Q.S. al-Baqarah [2]: 184

ٌةَيْدِا ُهَاىُ يِ ُي َنيِ صَّاو ىَ َاَو َرَخُأ ٍمىصَّيَأ ْنِو ٌوصَّدِعَا ٍرَ َ ىَ َا ْوَأ ىً يِرَو ْمُكْ ِو َنىَ ْنَيَا ٍتوَووُدْعَو ىًوىصَّيَأ

َنىُيَ ْعَقُا ْمُ ْ ُ ْنِإ ْمُكَا ٌرْقُيَخ وىُوىُلَا ْنَأَو ُهَا ٌرْقُيَخ َىُ َقُا وًرْقُيَخ َعصَّىَ َا ْنَيَا ٍ ِكْسِو ُمىَعَا

.

‚Beberapa hari tertentu. Barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (ia diwajibkan berpuasa sebanyak hari-hari yang ditinggalkan) di hari-hari lain. Dan bagi orang yang tak kuat menjalankannya, maka ia harus membayar fidyah, memberi makan seorang yang miskin. Barangsiapa yang suka rela mengerjakan kebaikan, itulah yang lebih baik baginya. Dan jika kalian berpuasa, maka itu lebih baik jika kalian mengerti.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 184) Dalam menafsirkan kalimat wa antas}u>mu>, al-Bursawi>terlebih dahulu menganalisis kalimat itu dari aspek kebahasaan. Kemudian ia menuliskan

sebuah hadis sebagai argumentasi syar’i serta mengutip pendapat Abu> H{ani>fah

untuk dijadikan pijakan dalil aqli dalam penafsirannya. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya berikut ini:

Menurutal-Bursawi>, kalimat wa antas}u>mu>dapat di-ta’wilmas}dar-kan menjadi wa s}iya>makum. Kalimat itu di-rafa‘-kan karena merupakan mubtada’. Dengan begitu, kalimat tersebut bermakna berpuasalah kalian wahai orang- orang yang sakit, musafir dan orang-orang yang tidak memiliki kekuatan. Al- Bursawi> melanjutkan, puasa seseorang yang sedang dalam perjalanan lebih utama karena puasa merupakan‘azimah baginya dan menundanya berarti

rukhs}ah. Jadi mengambil ‘azimah lebih diutamakan. Sebagaimana Nabi saw. bersabda:

ر ساو في مىيلاو ّبراو سيا

.

‚Tidaklah termasuk kebaikan shaum dalam safar.‛

Hadis ini mengandung arti bahwa jika puasa dapat membuat seorang musafir lemah sehingga dikhawatirkan dapat membuatnya meninggal dunia, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Kemudian al-Bursawi> mengutip pendapat Abu> H{ani>fah yang menyatakan bahwa perjalanan yang diperbolehkan berbuka puasa adalah perjalanan yang waktu tempuhnya selama tiga hari tiga malam. Setelah

itu, al-Bursawi> menjelaskan hikmah perintah puasa selama sebulan penuh. Menurutya, perintah berpuasa selama sebulan penuh agar setara dengan jumlah setahun dalam meraih pahala yang dijanjikan-Nya.38 Sebagaimana firman-Nya:

‚Barangsiapa membawa amal kebaikan, baginya pahala sepuluh kali lipat dari amalnya...‛39

Dari penjelasan di atas, tampak bahwa al-Bursawi> sangat memperhatikan sisi kebahasaan. Karena pada hakikatnya pemaknaan isha>ri>

dilakukan setelah seorang mufassir mengetahui terlebih dahulu makna zahir yang terkandung di dalam suatu ayat. Selain itu, pengutipan dalil syara’ yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis serta pembahasana terhadap permasalahan mazhab dalam fiqih memberikan bukti bahwa ia sangat concernterhadap aspek syariat dalam penafsirannya.Hal ini sejalan dengan Muhammad Abd. Haq Ansari yang mengatakan bahwa syariat merupakan kode hukum yang mengatur kehidupan lahiri seseorang. Sebagian besar sufi tetap mematuhi rambu-rambu syariat, mereka menjauhi apa yang dilarang, melaksanakan apa yang diwajibkan dan mengerjakan apa yang dianjurkan. Mereka tidak pernah berfikir bahwa di setiap waktu dapat terlepas dari syariat.40 Adapun al-Bursawi> mengibaratkan syariat sebagai air yang menjadi sebab kesuburan. Agama disyariatkan oleh Allah dan diciptakan-Nya, seperti shaum, shalat, haji, perkawinan dan lain sebagainya. Syariat merupakan jalan yang dapat menyampaikan pada kehidupan abadi. Sama halnya dengan air yang merupakan sebab untuk kehidupan yang fana.41

Kemudian, al-Bursawi> dalam tafsirnya juga menerangkan tentang pahala puasa pada bulan Ramadhan dan Syawal. kemudian ia melanjutkan penjelasannya mengenai geneologi diwajibkan puasa kepada umat Islam. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:

Ketika seseorang berpuasa selama sebulan penuh, maka ia setara dengan 300 hari (30 x 10 kebaikan) dan ditambah dengan enam hari puasa pada bulan Syawal dan menjadi 60 hari (6 x 10 kebaikan) hingga jumlahnya mencapai 360 hari yang berarti sama dengan satu tahun. Apabila jumlah hari pada bulan Ramadhan berkurang satu hari, maka itu tidak akan mengurangi pahala tersebut. Menurut al-Bursawi>, puasa diwajibkan kepada umat Islam setelah lima belas tahun dari kenabian Rasulullah saw., atau tiga tahun setelah hijrah. Pada mulanya puasa diwajibkan kepada kaum kaya,ini disebabkan adanya kamu fakir pada raja T{ahmuruth, raja ketiga bani Adam. Pada zaman itu terjadi paceklik, raja menyuruh kepada setiap orang kaya agar memberi makanan kepada seorang fakir setelah matahari terbit dan menyuruh mereka menahan diri dari makan pada siang hari sebagai rasa solidaritas kepada kaum

38Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, Jilid I, 290-291.

39Q.S. al-An’a>m [6]: 160.

40Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), 110-111.

miskin serta memberi kemungkinan kepada kaum miskin untuk makan pada siang hari sebagai ibadah dan tawad}u‘ kepada Allah.42

Setelah menerangkan tentang pahala puasa dan menjelaskan geneologi disyariatkannya puasa kepada umat Islam,al-Bursawi>kemudian melanjutkan kepada pemaknaan sufistiknya mengenai puasa. Dimana penafsiran sufistiknya itu ia perkuat dengan penggunaan ayat al-Qur’an dan hadis Nabi. Hal Ini dapat dilihat dari penafsirannya di bawah ini:

Dalam pandangan al-Bursawi>, puasa merupakan sebab untuk dapat masuk ke dalam kerajaan langit dan sebagai perantara untuk dapat keluar dari

sempitnya rahim jasmani yang diistilahkan dengan ‚kehidupan kedua‛

sebagaimana yang telah diisyaratkan Nabi ‘I<sa> a.s.: ‚Orang yang tidak

dilahirkan dua kali, maka ia tidak dapat masuk ke kerajaan langit.‛ Bahkan

puasa sangat behubungan dengan musha>hadah, sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh hadis Qudsi:

هب يزجو ىاو و لي مىلاو

.

‚Puasa itu untuk-Ku dan Aku menjadi balasan(nya).‛

Dalam hadis ini, al-Bursawi> menjelaskan bahwa Allah menjadi balasan puasa, bukan bidadari atau gedung-gedung. Oleh karena itu Allah mengaitkan perolehan kebahagiaan melihat-Nya dengan lapar. Sebgaimana Firman-Nya

kepada ‘I>sa> a.s.: ‚Laparlah kamu, maka kamu melihat-Ku.‛ Puasa disandarkan

kepada Allah sebagaimana hadis Nabi: ‚Puasa itu untuk-Ku,‛ Karena dalam puasa terdapat rahasia dan ganjaran yang hanya diketahui oleh Allah. Allah menjadi balasan bagi puasanya seseorang apabila orang itu serta sirr-nya, dikekang dari perkara selain Allah. Menurut al-Bursawi>, itulah puasa yang hakiki bagi kaum khawa>s}.43

Firman Allah ‚Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas

kalian berpuasa...‛ Menurut al-Bursawi> mengandung isyarat bahwa puasa, selain lahiriyah, terdapat pula puasa batiniyah. Batinnya adalah khit}a>byang

Dokumen terkait