• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGAWASAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KESEH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGAWASAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KESEH"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PENGAWASAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KESEHATAN PADA FASILITAS KESEHATAN DALAM KONTEKS HUKUM PERDATA

A. Latar Belakang

Tenaga kesehatan adalah garda terdepan dalam hal pelayanan kesehatan bagi masyarakat sesuai dengan visi pembangunan Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945. Sebagai health provider, tenaga kesehatan merupakan bagian dari satu ekosistem pelayanan kesehatan yang selalu dituntut untuk bekerja sesuai dengan standar profesi dan terorganisir dengan baik. Profesionalisme petugas kesehatan yang optimal sesungguhnya akan tergambar dari kinerja mereka terutama dalam hubungan dengan keselamatan pasien yang berorientasi pada patient-centered care termasuk seluruh upaya-upaya kesehatan yang diperlukan oleh pasien terkait masalah kesehatan yang sedang dihadapinya.

Dalam melakukan upaya-upaya kesehatan yang ada, tenaga kesehatan diberikan pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan tindakan sesuai dengan Standard Operating Procedures (SOP). Kewenangan untuk melaksanakan upaya kesehatan itulah yang memerlukan peraturan hukum sebagai dasar pembenaran hukum atas wewenang kesehatan tersebut. Peraturan hukum tentang upaya pelayanan kesehatan saja belum cukup karena upaya kesehatan, penyelenggaraannya disertai pendukung berupa sumber daya kesehatan termasuk yang berupa perangkat keras maupun perangkat lunak. Untuk mencapai peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang jumlah penduduknya amat besar, bukan pekerjaan mudah, oleh sebab itu diperlukan juga peraturan perlindungan hukum untuk melindungi “pemberi” dan “penerima” jasa pelayanan kesehatan (Hendrik, 2016).

Perangkat hukum kesehatan yang memadai dimaksudkan agar adanya kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh baik bagi penyelenggara upaya kesehatan maupun masyarakat penerima pelayanan kesehatan. Perangkat hukum ini juga memastikan adanya perlindungan hukum bagi petugas kesehatan sesuai dengan hal dan kewajiban selain itu disisi lain memberikan kepastian hukum serta perlindungan kepada pasien dari kemungkinan kejadian tidak

(2)

Selain itu perlindungan bagi profesi kesehatan beserta sarana kesehatannya agar tidak muncul “defensive medicine” yang dapat merugikan masyarakat dari akibat kelemahan hukum yang kurang memadai terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan. Oleh karena itu setiap perbuatan yang dilakukan yang berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku harus mendapatkan perlindungan hukum. Apabila tenaga kesehatan dirugikan oleh suatu perbuatan pihak lain baik sengaja atau lalai maka tenaga kesehatanpun dapat meminta tanggung jawab hukum kepada pihak-pihak tersebut baik secara perdata, pidana, maupun administratif.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: bagaimana pengawasan dan perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas dan profesinya di fasilitas kesehatan dalam konteks hukum perdata ?

C. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menganalisa pengawasan dan perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas dan profesinya di fasilitas kesehatan dalam konteks hukum perdata.

D. Tinjauan Pustaka

Dewasa ini kemajuan iptek dibidang kesehatan telah sangat berkembang pesat dengan didukung oleh sarana kesehatan yang semakin canggih. Perkembangan ini turut mempengaruhi jasa profesionalisme di bidang kesehatan yang dari waktu ke waktu semakin berkembang pula. Munculnya kasus-kasus pelayanan kesehatan yang terjadi di tengah-tengah lapisan masyarakat dan banyaknya kritikan-kritikan yang muncul terhadap pelayanan kesehatan, merupakan indikasi bahwa kesadaran hukum oleh masyarakat dalam hal pelayanan kesehatan semakin meningkat pula termasuk tenaga kesehatan.

(3)

hukum yang jelas dan tegas untuk memberi batasan menyangkut hak dan kewajibannya dalam hubungan dengan pasien lebih khusus mengenai aspek hukum perdata. Dalam ruang llingkup peraturan hukum perdata meliputi hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan pelayanan kesehatan, persetujuan antara dokter-pasien serta keluarganya, akibat kelalaian perdata serta tuntutannya dalam pelayanan kesehatan (Sadi Is, 2015).

Di Indonesia sendiri, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya, yaitu sebagai berikut :

1. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran

Undang-Undang ini secara sistematika terdiri dari 12 Bab 88 Pasal. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 ini secara khusus mengatur tentang Praktek Kedokteran. Undang-Undang ini merupakan petunjuk atau pedoman yang harus ditaati oleh tenaga kesehatan dalam melakukan atau melaksanakan tugas sesuai profesinya. serta bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kesehatan yang terdapat dalam bab VI tentang penyelenggara praktik kedokteran. Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak diatur dalam pasal sebagai berikut (Kemenkumham RI, 2004) :

Pasal 50 (point a)

a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.

Penjelasan pasal 50 yang dimaksud dengan “standar profesi” adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi sedangkan yang dimaksud dengan “standar prosedur operasional” adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.

2. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

(4)

kesehatan yang terdapat dalam pasal 27 ayat (1) (Kemenkumham RI, 2009a) yang berbunyi :

Pasal 27 (ayat 1)

(1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.

Penjelasan dari pasal 27 diatas, tenaga kesehatan berhak mendapatkan perlindungan hukum apabila pasien sebagai konsumen kesehatan menuduh/merugikan tenaga kesehatan dimana tenaga kesehatan sudah melakukan tugas sesuai ke ahliannya serta kewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dimaksudkan agar tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baru.

Dalam konsep politik hukum kesehatan bila dihubungkan dengan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan maka terdapat asas perlindungan yang berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada pemberi dan penerima pelayanan kesehatan (Sadi Is, 2015).

3. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit

Secara sistematis Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit terdiri 15 bab dan 66 pasal. Ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 sebagian besar berkaitan erat dengan pelayanan kesehatan serta tanggung jawab tenaga kesehatan terhadap rumah sakit dan sebagai berikut (Kemenkumham RI, 2009b) :

Pasal 29 (pasal 1 point s)

(1) Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban :

s. melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas; dan.

(5)

4. Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan

Undang-Undang No.36 Tahun 2014 secara sistematis, terdapat 16 Bab dan 96 Pasal. Terkait dengan pengawasan dan perlindungan, undang-undang ini berisi tentang pembinaan dan pengawasan mutu tenaga kesehatan terutama ditujukan untuk meningkatkan kualitas tenaga kesehatan sesuai dengan kompetensi yang diharapkan dalam mendukung penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia. Pembinaan dan pengawasan mutu tenaga kesehatan dilakukan melalui peningkatan komitmen dan koordinasi semua pemangku kepentingan dalam pengembangan tenaga kesehatan serta legislasi yang antara lain meliputi sertifikasi melalui uji kompetensi, registrasi, perizinan, dan hak-hak tenaga kesehatan.

Dalam rangka memberikan pelindungan hukum dan kepastian hukum kepada tenaga kesehatan, baik yang melakukan pelayanan langsung kepada masyarakat maupun yang tidak langsung, dan kepada masyarakat penerima pelayanan itu sendiri, diperlukan adanya landasan hukum yang kuat yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan serta sosial ekonomi dan budaya. Pengawasan dan perlindungan kepada tenaga kesehatan termuat dalam beberapa pasal berikut ini (Kemenkumham RI, 2014a) :

Pasal 3 (point e)

Undang-Undang ini bertujuan untuk:

e. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan Tenaga Kesehatan.

Pasal 4 (point a dan c)

Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap:

a. pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan peningkatan mutu Tenaga Kesehatan;

c. pelindungan kepada Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik.

Pasal 27 (ayat 2)

(2) Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan serta daerah bermasalah kesehatan memperoleh hak kenaikan pangkat istimewa dan pelindungan dalam pelaksanaan tugas.

Pasal 57 (point a, point d dan point f)

Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak:

(6)

b. memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai agama;

c. menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang bertentangan dengan Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan, Standar Prosedur Operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan

Pasal 75

Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak mendapatkan pelindungan hukum sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 80

Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Tenaga Kesehatan dengan melibatkan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan dan Organisasi Profesi sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 81 (ayat 1 point c)

(1) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 diarahkan untuk:

c. memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan Tenaga Kesehatan.

5. Undang-Undang No. 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan

Undang-Undang tentang Keperawatan berisi 13 Bab dan 66 pasal yang salah satunya bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan pelindungan hukum serta untuk meningkatkan, mengarahkan, dan menata berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan Keperawatan dan Praktik Keperawatan yang bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, dan aman sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Undang-Undang ini memuat pengaturan mengenai jenis perawat, pendidikan tinggi keperawatan, registrasi, izin praktik, dan registrasi ulang, praktik keperawatan, hak dan kewajiban bagi perawat dan klien, kelembagaan yang terkait dengan perawat (seperti organisasi profesi, kolegium, dan konsil), pengembangan, pembinaan, dan pengawasan bagi perawat, serta sanksi administratif Salah satu pasal yang memuat tentang pengawasan dan perlindungan hukum terhadap perawat,adalah sebagai berikut (Kemenkumham RI, 2014b) :

Pasal 55

(7)

Pasal 56

Pembinaan dan pengawasan Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 diarahkan untuk:

a. meningkatkan mutu Pelayanan Keperawatan;

b. melindungi masyarakat atas tindakan Perawat yang tidak sesuai dengan standar; dan

c. memberikan kepastian hukum bagi Perawat dan masyarakat.

E. Pembahasan dan Analisis

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang aspek perlindungan hukum pada tenaga kesehatan maka kita patut terlebih dahulu memahami penggolongan “subjek hukum” tenaga kesehatan. Dalam teori hukum kesehatan, yang termasuk dalam subjek- subjek hukum tersebut adalah (Sadi Is, 2015) :

1. Tenaga kesehatan sarjana yatu; dokter, dokter gigi, apoteker dan sarjana lain dibidang kesehatan.

2. Tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah; (a) bidang farmasi; (b) bidang kebidanan; (c) bidang perawatan; dan (d) bidang kesehatan masyarakat.

Jadi jelas bahwa lingkup perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan mencakup banyak elemen dan disiplin ilmu kesehatan yang sangat bervariasi. Seluruh aspek hukum dalam peraturan hukum dalam peraturan hukum kesehatan menjadi perangkat hukum yang secara khusus menentukan perilaku keteraturan/perintah, keharusan/larangan perbuatan sesuatu itu berlaku bagi pihak-pihak yang berkautan dengan usaha kesehatan.

Tentu jelas bahwa keberadaan perlindungan hukum ini bukan untuk menghilangkan segala tanggung jawab hukum atas perbuatan yang dilakuan tenaga kesehatan. Namun lebih kepada perimbangan pada hak dan kewajiban dari tenaga kesehatan terkait tindakan pelayanan yang dilakukan. Jika dilihat dalam konteks pelanggaran perdata, ada beberapa jenis pelanggaran yang sering berhubungan dengan tenaga kesehatan. Pelanggaran perdata yang sesuai KUHPerdata yang meliputi (Siswati, 2015) :

1. Melakukan wanprestasi (Pasal 1239 KUHPerdata)

2. Melakukan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata)

(8)

4. Melakukan pekerjaan sebagai penanggung jawab (Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata)

Salah satu aspek hukum perdata dalam pelayanan kesehatan antara

tenaga kesehatan dan pasien dapat dilihat dalam suatu transaksi terapeutik yang

dibuat oleh kedua belah pihak. Transaksi secara umum diatur dalam KUHPerdata,

yang untuk berlakunya secara sah transaksi tersebut secara umum harus

memenuhi 4 (empat) syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

1. Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Mengenai suatu hal tertentu; 4. Karena suatu sebab yang halal .

Dalam transaksi terapeutik tersebut kedua belah pihak harus memenuhi

syarat-syarat tersebut di atas, dan bila transaksi sudah terjadi maka kedua belah

pihak dibebani dengan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.Seperti yang

disebutkan dalam pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya.Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan

itikad baik.”

Antara tenaga kesehatan dan pasien timbul hak dan kewajiban timbal balik.

Apabila hak dan kewajiban ini tidak dipenuhi oleh salah satu pihak dalam transaksi

terapeutik, maka wajarlah apabila pihak yang lain terutama pihak yang merasa

dirugikan akan menggugat

Dari hal diatas saja kita bisa memahami bahwa tindakan seorang tenaga kesehatan tidak lepas dari risiko secara medis maupun hukum baik yang disengaja atau tidak sengaja. Jika hal diatas dilakukan secara sengaja maka fasilitas kesehatan atau tenaga kesehatan sebagai subjek hukum terlibat dalam rangkaian proses hukum yang panjang sebagai bentuk pertanggung jawaban didepan hukum namun jika kejadian yang terjadi tidak disengaja dan bahkan diluar wewenang dikarenakan kelalaian pasien atau pelanggaran atas perjanjian terpapeutik misalnya, maka perlu ada perlindungan untuk memastikan terjadi keadilan pada petugas dan pasien.

(9)

merupakan gejala yang positif. Hal itu menandakan semakin tumbuhnya kesadaran hukum masyarakat, khususnya kesadaran konsumen terhadap hak-haknya, yaitu antara lain untuk memperoleh pelayanan yang baik maupun ganti rugi, apabila tenaga kesehatan atau paramedis terbukti melakukan malpraktik (melakukan penyimpangan dari standar profesi). Artinya, pada dewasa ini telah muncul fenomena dimana pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan tidak lagi bersikap pasrah seperti pada waktu-waktu yang lampau.

Terlebih lagi setelah pemerintah mengundangkan Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Satu di antara ketentuannya adalah bahwa: Pasien sebagai konsumen pelayanan jasa kesehatan, berhak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan, informasi yang benar, jelas, dan jujur serta menuntut ganti rugi apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya selama melakukan pelayanan kesehatan ternyata melakukan kesalahan atau kelalaian yang merugikan pasien (Kemenkumham RI, 1999).

Namun harus dapat pula dibedakan mana perbuatan yang dilakukan secara disengaja atau tidak disengaja dan mana pula yang dilakukan oleh tenaga kesehatan atau pasien itu sendiri. Oleh karen itu penting untuk memisahkannya sehingga sangat diperlukan perlindungan agar tenaga kesehatan memiliki kepercayaan diri dalam melakukan tindakan. Jika tidak maka dikhawatirkan akan muncul proteksi dari petugas kesehatan dari tindakan yang harusnya dilakukan menurut SOP namun tidak berani dilakukan karena takut dituntut oleh pasien jika terjadi sesuatu.

Untuk mengantisipasi kejadian seperti yang diuraikan diatas, maka Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan pada Pasal 57 (point a) menyebutkan :

“Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak: memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional”

dan juga Pasal 75 menyebutkan :

“Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak mendapatkan pelindungan hukum sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”.

(10)

ini sedari dini dilakukan saat ada dijenjang pendidikan profesi agar menyiapkan tenaga kesehatan yang memiliki kapabilitas dalam bekerja sehingga suatu hari nanti dapat menghindarkan tenaga kesehatan tersebut dari permasalahan hukum. Uji kompetensi ini telah mulai dilakukan oleh profesi-profesi kesehatan seperti dokter, dokter gigi, perawat, bidan, dan kesehatan masyarakat. Uji kompetensi ini sendiri berfungsi untuk malakukan standarisasi kompetensi tenaga kesehatan dalam menjelaskan dan mengorganisir tugas serta pekerjaan, memutuskan pekerjaan yang harus dilakukan dan menggunakan kemampuan yang dimiliki untuk memecahkan masalah atau pekerjaan pada situasi tertentu (Triwibowo, 2014)

Dilain pihak dalam konteks fasilitas kesehatan seperti rumah sakit misalnya, memiliki tanggung jawab dalam kaitan dengan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan. Rumah sakit memiliki tanggung jawab hukum terhadap kerugian yang dilakukan baik sengaja atau tidak disengaja oleh tenaga kesehatan. Menurut UU No. 44 Tahun 2009 Pasal 3 (poin b), pengaturan penyelenggaraan rumah sakit bertujuan untuk :

“Memberikan perlindungan hukum terhaadap keselamtan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia rumah sakit”

(11)

Namun dilapangan sering pula muncul permasalahan yang terjadi adalah kebijakan hukum dan perundang-undangan yang mengatur tentang hak dan kewajiban tenaga kesehatan masih cenderung lemah substansinya sebab pengaturan mengenai hak dan kewajiban masih relatif sangat terbatas, ketentuan mengenai kewajiban-kewajiban tertentu tidak disertai (nihil) sanksi hukum bilamana ada pelanggaran, bahkan tidak sedikit ketentuan pasal yang terkesan overlapping, ambigu dan mengkriminalisasi tindakan tenaga kesehatan yang lain. Salah satunya, Siregar (2015) dalam penelitiannya mengenai perlindungan hukum bagi perawat gigi, menemukan bahwa perbedaan peraturan mengenai bentuk registrasi Tenaga Kesehatan berupa Sertifikat Kompetensi dan SIK menimbulkan ketidakpastian dalam pelaksanaan maupun orientasinya. Disamping itu, kepastian hukum Sertifikat Kompetensi juga tidak jelas. Hal ini terjadi akibat ketidaksinkronan peraturan mengenai penyelenggara sertifikat kompetensi seperti yang tertlihat dalam Permenkes Nomor 161 Tahun 2010 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003. Perijinan praktik mandiri perawat gigi tidak mempunyai perlindungan hukum karena adanya ketidakpastian hukum akibat multitafsir dan ketidaksinkronan peraturan-peraturan yang mengatur tentang praktik mandiri tersebut.

Selain ketersediaan produk hukum yang ada untuk melindungi tenaga kesehatan perlu juga sinkronisasi agar tidak terjadi tumpang tindih aturan dan hal penting lainnya juga adalah proses sosialisasi kepada tenaga kesehatan dan pasien sehingga hak dan kewajiban dapat dipahami dengan pasti untuk menjamin tercapainya patient safety didalam pelayanan kesehtan.

(12)

kerugian. Gugatan atas dasar kelalaian ini diatur dalam Pasal 1366 KUH Perdata, berbunyi sebagai berikut:

“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati hatinya”

Penjelasan Pada pasal 1366 KUHPerdata menyebutkan Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya. Sedangkan pada ketentuan pasal 1367 KUHPerdata yang menyebutkan sebagai berikut:

“Seseorang harus memberikan pertanggung-jawaban tidak hanya atas kerugian yang ditimbulkan dan tindakannya sendiri, tapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakan orang lain yang berada dibawah pengawasannya.”

Dengan demikian maka pada pokoknya ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata mengatur mengenai pembayaran ganti rugi oleh pihak yang menyuruh atau yang memerintahkan sesuatu pekerjaan yang mengakibatkan kerugian pada pihak lain. Seperti tertuang dalam pasal 80 dan 81 Undang-undang Tenaga Kesehatan nomor 36 tahun 2014:

Pasal 80

“Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Tenaga Kesehatan dengan melibatkan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan dan Organisasi Profesi sesuai dengan kewenangannya”

Pasal 81 ayat 1

(1) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 diarahkan untuk:

a. meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Tenaga Kesehatan;

b. melindungi Penerima Pelayanan Kesehatan dan masyarakat atas tindakan yang dilakukan Tenaga Kesehatan; dan

c. memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan Tenaga Kesehatan.

(13)

F. Penutup 1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dan analisa diatas maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :

a. Perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan telah dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai produk hukum berupa undang-undang sehingga petugas kesehatan memliki kepastian hukum dan jaminan dalam melakukan tindakan medis yang diperlukan dalam menangani pasien sepanjang dilakukan sesuai standar kompetensi juga SOP yang ada di fasilitas kesehatan,

b. Perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan hendaknya sinkron antara satu dengan yang lainnya agar tidak menjadi ambigu dalam implementasi sebab keberadaan aturan itu bukan semata-mata untuk tenaga kesehatan namun juga bermanfaat bagi pasien dalam kaitannya dengan kemanan pasien terhadap tindakan/ pelayanan yang diterimanya.

c. Pengawasan kepada petugas kesehatan penting untuk memastikan bahwa terjadi keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam implementasinya dipelayanan untuk memberi jaminan kemanan sesuai kemampuan dalam masing-masing sebab ada perangkat hukum dalam konteks KUHPerdata yang dapat mengikat jika melakukan pelanggaran sekecil apapun.

2. Saran

Dari kesimpulan diatas maka saran yang dapat diberikan yaitu :

a. Diperlukan adanya pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) terhadap beberapa undang-undang yang baru untuk mengoptimalkan pelayanan sesuai dengan amanat dalam undang-undang tersebut.

(14)

Daftar Pustaka

Hendrik. (2016). Etika & Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC.

Kemenkumham RI. (1999). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Retrieved from

http://www.kemenkumham.go.id

Kemenkumham RI. (2004). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Retrieved from

http://www.kemenkumham.go.id

Kemenkumham RI. (2009a). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Retrieved from http://www.kemenkumham.go.id Kemenkumham RI. (2009b). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun

2009 Tentang Rumah Sakit. Retrieved from http://www.kemenkumham.go.id Kemenkumham RI. (2014a). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun

2014 Tentang Tenaga Kesehatan. Retrieved from http://www.kemenkumham.go.id

Kemenkumham RI. (2014b). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan. Retrieved from http://www.kemenkumham.go.id Sadi Is, M. (2015). Etika dan Hukum Kesehatan. Teori dan Aplikasinya di Indonesia

(Pertama (I). Jakarta: Prenadamedia Grup.

Siregar, I. H. Y. (2015). Perlindungan Hukum Bagi Perawat Gigi Dalam Melakukan Pelayanan Asuhan Kesehatan Gigi Di Praktik Mandiri. Soepra Hukum

Kesehatan, 1(1), 87–101.

Siswati, S. (2015). Etikas dan Hukum Kesehatan. Dalam Perspektif Undang-Undang Kesehatan (Pertama (I). Jakarta: Rajawali Pers.

Referensi

Dokumen terkait

Namun prinsip falsifikasi sendiri sangat bermanfaat bagi anak usia dasar untuk menelaah sumber-sumber pengetahuan yang dikemas dan dikembangkan ke permasalahan (to the problem)

Hasil analisis item pernyataan persepsi pengawas PAI terhadap kepemimpinan kepala sekolah pada nomor 5 yaitu “Kepala Sekolah mau bekerja sama dengan para guru

untuk meneliti sumber data yang tepat dan akurat dilakukan dengan cara mengadakan kajian intensif terhadap kitab Mukhta r al-Awq t F ‘Ilmi al-M t dan tulisan-tulisan yang

reciprocal teaching dengan fieldtrip ) memperoleh nilai 86,8 yang sedangkan kelas kontrol (kelas yang mendapat perlakuan model ceramah) memperoleh nilai 71,3,

 Hasil analisis geoteknik pondasi tapak Pulau Bangka menunjukkan nilai (2700 sampai dengan 11000 kPa) yang memenuhi syarat keselamatan geoteknik IAEA pada faktor FS sama dengan

Tim Asesor menemui pimpinan unit pengelola program studi, yang didampingi oleh pimpinan program studi dan tim penyusun borang akreditasi, untuk memperkenalkan diri,

1) Kerja sama Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian dan TP-PKK Pusat dalam melakukan penilaian pemanfaatan TOGA. 2) Kesepakatan Negara anggota WHO SEARO, dalam

Pada saat pengakuan awal, aset keuangan diukur pada nilai wajarnya, ditambah, dalam hal aset keuangan tidak diukur pada nilai wajar dalam laporan laba rugi komprehensif,