ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN
DENGAN CEDERA MEDULA SPINALIS
(Sistem Neurobehaviour)
Posted on Maret 22, 2014 by mikimikiku Standar
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Medulla spinalis adalah bagian dari system saraf yang membentuk system kontinu dengan batang otak yang keluar dari hemisfer , serebral dan memberikan tugas sebagai penghubung otak dan saraf perifer , seperti pada kulit dan otot. Panjangnya rata-rata 45 cm dan menipis pada jari-jari. Medulla spinalis ini pemanjangan dari foramen magnum di dasar tengkorak sampai ke bagian lumbal kedua tulang belakang , yang berakhir di dalam berkas serabut yang disebut konus medullaris. Seterusnya di bawah lumbal kedua adalah akar saraf, yang
memanjang melabihi konus, dan disebut kauda equine dimana akar saraf ini menyerupai akar kuda . saraf-saraf medulla spinalis tersusun atas 33 segmen yaitu 7 segmen servikal , 12 torakal, 5 lumbal , 5 sakral , dan 5 segmen koksigius . Medulla spinalis mempunyai 31 pasang sara spinal , masing-masing segmen mempunyai satu untuk setiap sisi tubuh. Seperti otak , medulla spinalis terdiri atas subtansi grisea dan alba. Subtansia grisea di dalam otak ada di daerah eksternal dan subtansia alba ada pada bagian internal. Cedera medula spinalis adalah cidera yang mengenai servikalis vetebralis dan lumbali akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Cedera medula spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000 sampai 500.000 orang Amerika Serikat , dengan perkiraan 10.000 cedera baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria kasus ini akibat dari kecelakaan kendaraan bermotor, selain itu banyak akibat jatuh , olahraga dan kejadian industry dan luka tembak. Dua pertiga kejadian adalah usia 30 tahun atau lebih muda. Kira-kira jumlah jumlah total biaya yang digunakan untuk cedera ini mencapai 2 juta dolar pertahun. Hal ini merupakan frekuensi yang tinggi dihubungkan dengan cedera dan komplikasi medis. Vertebra yang sering mengalami cedera adalah medula spinalis pada daerah servikal ke-5,6,7, torakal ke-12 dan lumbal pertama. Vertebra ini adalah paling rentan karena rentang mobilitasnya yang lebih besar dalam kolumna vertebral pada area ini.
1. Tujuan
BAB II TINJAUAN TEORI 1. PENGERTIAN
Medula spinalis ( spinal cord) merupakan bagian susunan sarafpusat yang terletak di dalam kanalis vertebralis dan menjulur dari foramen magnum ke bagian atas region
lumbalis .Trauma pada medulla spinalis dapat bervariasi dari trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai yang menyebabkan transeksi lengkap dari medulla spinalis dengan quadriplegia.
1. ETIOLOGI
1) Kecelakaan di jalan raya ( penyebab paling sering) 2) Kecelakaan Olahraga
3) Menyelam pada air yang dangkal 4) Luka tembak atau luka tikam
5) Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla spinalis dan akar ; mielitis akibat proses inflamasi infeksi maupun non infeksi ; osteoporosis yang di sebabkan oleh fraktur kompresi pada vertebra ; siringmielia ; tumor infiltrasi maupun kompresi ; dan penyakit vascular.
1. PATOFISIOLOGI
Cedera medulla spinalis kebanyakan terjadi sebagai akibat cedera pada vertebra. Medula spinalis yang mengalami cedera biasanya berhubungan dengan akselerasi , deselerasi atau kelainan yang di akibatkan oleh berbagai tekanan yang mengenai tulang belakang. Tekanan cedera pada medulla spinalis mengalami kompresi, tertarik, atau merobek jaringan. Lokasi cedera umumnya mengenai C1 dan C2,C4,C6 dan T11, atau L2.
cedera ini menyebabkan medulla spinalis bertentangan dengan ligamentum flava dan mengakibatkan kontusio kolom dan dislokasi vertebra.Transeksi lengkap dan medulla spinalis dapat mengikuti cedera hiperekstensi.Lesi lengkap dari medulla spinalis
mengakibatkan kehilangan pergerakan volunter menurun pada daerah lesi dan kehilangan fungsi reflex pada isolasi bagian medulla spinalis.
Kompresi.Cedera kompresi sering disebabkan karena jatuh atau melompat dari ketinggian dengan posisi kaki atau bokong (duduk). Tekanan mengakibatkan fraktur vertebra dan menekan medulla spinalis .Diskus dan fragmen tulang dapat masuk ke medulla
spinalis .Lumbal dan toraks vertebra umumnya akan mengalami cedera serta menyebabkan edema dan perdarahan. Edema pada medulla spinalis mengakibatkan kehilangan fungsi sensasi.
1. KLASIFIKASI 1) Cedera tulang
1. Stabil.Bila kemampuan fragmen tulang tidak memengaruhi kemampuan untuk bergeser lebih jauh selain yang terjadi saat cedera.Komponen arkus neural intak serta ligament yang menghubungkan ruas tulang belakang,terutama ligament longitudinal posterior tidak robek.Cedera stabil disebabkan oleh tenaga fleksi,ekstensi,dan
kompresi yang sederhana terhadap kolumna tulang belakang dan paling sering tampak pada daerah toraks bawah serta lumbal (fraktur baji badan ruas tulang belakang sering disebabkan oleh fleksi akut pada tulang belakang).
2. Tidak stabil.Fraktur mempengaruhi kemampuan untuk bergeser lebih jauh.Hal ini disebabkan oleh adanya elemen rotasi terhadap cedera fleksi atau ekstensi yang cukup untuk merobek ligament longitudinal posterior serta merusak keutuhan arkus neural, baik akibat fraktur pada fedekel dan lamina, maupun oleh dislokasi sendi apofiseal. 2) Cedera neurologis
1. Tanpa deficit neurologis
2. Disertai deficit neurologis, dapat terjadi di daerah punggung karena kanal spiral terkecilterdapat di daerah ini.
1. GEJALA KLINIS
Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasus dimana setelah cedera klien mengeluh nyeri serta terbatasnya pergerakan klien dan punggung.
1. PENATALAKSANAAN MEDIS
1) Terapi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada, memaksimalkan pemulihan neurologis,tindakan atas cedera lain yang
2) Operasi lebih awal sebagai indikasi dekompresi neural, fiksasi internal atau debridement luka terbuka
3) Fiksasi internal elektif dilakukan pada klien dengan ketidakstabilan tulang belakang, cedera ligament tanpa fraktur, deformitas tulang belakang progresif , cedera yang tak dapat direabduksi,dan fraktur non-union.
4) Terapi steroid,nomidipin, atau dopamine untuk perbaiki aliran darah koral spiral.Dosis tertinggi metil prednisolon/bolus adalah 30 mg/kgBB diikuti 5,4 mg/kgBB/jam untuk 23 jam berikutnya.Bila diberikan dalam 8 jam sejak cedera akan memperbaiki pemulihan neurologis. Gangliosida mungkin juga akan memperbaiki pemulihan setelah cedera koral spiral.
5) Penilaian keadaaan neurologis setiap jam,termasuk pengamatan fungsi sensorik,motorik, dan penting untuk melacak deficit yang progresif atau asenden.
6) Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat,fungsi ventilasi, dan melacak keadaan dekompensasi.
7) Pengelolaan cedera stabil tanpa defisit neurologis seperti angulasi atau baji dari badan ruas tulang belakang,fraktur proses transverses ,spinosus,dan lainnya.Tindakannya
simptomatis (istirahat baring hingga nyeri berkurang),imobilisasi dengan fisioterapi untuk pemulihan kekuatan otot secara bertahap
8) Cedera tak stabil disertai defisit neurologis.Bila terjadi pergeseran ,fraktur memerlukan reabduksi dan posisi yang sudah baik harus dipertahankan.
1. Metode reabduksi antara lain :
Traksi memakai sepit (tang) yang dipasang pada tengkorak.Beban 20 kg tergantung dari tingkat ruas tulang belakang, mulai sekitar 2,5 kg pada fraktur C1
Manipulasi dengan anestesi umum
Reabduksi terbuka melalui operasi 1. Metode imobilisasi antara lain :
Ranjang khusus, rangka,atau selubung plester
Traksi tengkorak perlu beban sedang untuk mempertahankan cedera yang sudah direabduksi
Plester paris dan splin eksternal lain
Operasi
9) Cedera stabil disertai defisit neurologis .Bila fraktur stabil, kerusakan neurologis disebabkan oleh :
b) Tulang belakang yang sebetulnya sudah rusak akibat penyakit sebelumnya seperti spondiliosis servikal
c) Fragmen tulang atau diskus terdorong ke kanal spiral
Pengelolaan kelompok ini tergantung derajat kerusakan neurologis yang tampak pada saat pertama kali di periksa :
Transeksi neurologis lengkap terbaik dirawat konservatif
Cedera didaerah servikal ,leher dimobilisasi dengan kolar atau sepit (caliper) dan diberi metil prednisolon
Pemeriksaan penunjang MRI
Cedera nurologis tak lengkap konservatif
Bila terdapat atau didasari kerusakan adanya spondiliosis servikal, traksi tengkorak, dan metil prednisolon
Bedah bila spondiliosis sudah ada sebelumnya
Bila tak ada perbaikan atau ada perbaikan tetapi keadaan memburuk maka lakukan mielografi
Cedera tulang tak stabil
Bila lesinya total, dilakukan reabduksi yang diikuti imobilisasi. Melindungi dengan imobilisasi seperti penambahn perawatan paraplegia
Bila defisit neurologis tak lengkap, dilakukan reabduksi ,diikuti imobilisasi untuk sesuai jenis cederanya
Bila diperlukan operasi dekompresi kanal spiral dilakukan pada saat yang sama
Cedera yang menyertai dan komplikasi :
ü Cedera mayor berupa cedera kepala atau otak,toraks,berhubungan dengan ominal, dan vascular
ü Cedera berat yang dapat menyebabkan kematian,aspirasi,dan syok
1. PENGELOLAAN CEDERA 1.Pengelolaan hemodinamik
1. Bila tejadi hipotensi,cari sumber perdarahan dan atasi syok neurogenik akibat hilangnya aliran adrenergic dari system saraf simpatis pada jantung dan vascular perifer setelah
2. cedera diatas tingkat T .Terjadi hipotensi, bradikardia,dan hipotermi.Syok neurogenik lebih mengganggu distribusi volume intravascular daripada menyebabkan hipovalensi sejati sehingga perlu pertimbangan pemberian terapi atropine,dopamine,atau fenilefrin jika penggantian volume intravascular tidak bereaksi
3. Pada fase akut setelah cedera,dipasang beberapa jalur intravena perifer dan
pengamatan tekanan darah melalui jalur arteri dipasang,dan resusitasi cairan dimulai 4. Bila hipotensi tak bereaksi atas cairan dan pemberian tranfusi, lakukan kateterisasi
2.pengelolaan system pernapasan 1. Ganti posisi tubuh berulang . 2. Perangsangan batuk.
3. Pernapasan dalam. 4. Spirometri intensif.
5. Pernapasan bertekanan (+) yang berkesinambungan dengan masker adalah cara mempertahankan ekspansi paru atau kapasitas residual fungsional.
6. Pasien yang mengalami gangguan fungsi ventilasi dilakukan trakeostomi. 3. pengelola nutrisional dan system pencernaan
1. Lakukan pemeriksaan CT-Scan berhubungan dengan omen/lavasi peritoneal bila diduga ada perdarahan atau cedera berhubungan dengan ominal.
2. Bila ada ileus lakukan pengisapan (suction) nasogastrik, penggantian elektrolit ,dan pengamatan status cairan .
3. Terapi nutrisional awal yang harus dimetabolisme (50-100% diatas normal).
4. Bila ada hiperalimentasi internal elemental . pasang duoclenol yang fleksibel melalui atau dengan dengan bantuan fluoroskopi(ileus).
5. Pencegahan ulkus dengan antagonis Hz (simetidin , ranitidin ) atau antacid. 6. Bila mendapat gastric feeding, pasang duodenal feeding (NGT).
7. Beri difonoksilat hidroklorida dengan atropin sulfat bila mendapat NGT untuk mencegah diare.
8. Jika terjadi kehilangan fungsi sfingter anal beri dulcolax. 4. pengelolaan gangguan koagulasi
1. Untuk mencegah terjadinya thrombosis vena dan emboli paru beri heparin dosis minimal (500 untuk subkutan , 2-3 x sehari).
2. Ranjang yang berosilasi. 3. Ekspansi volume.
4. Stoking elastic setinggi paha. 5. Strokering prenmatis anti emboli.
6. Antiplatelet serta anti koagulasi untuk pencegahan. 5. pengelolaan genitourinaria
1. Pasang kateter dower (dower catheter – DC). 2. Amati urine output (OU).
6. pengelolaan ulkus dekubitus
1. Untuk mencegah tekanan langsung pada kulit , kurang berfungsi jaringan, dan kurangnya mobilitas , gunakan busa atau kulit kambing penyanggan tonjolan tulang. 2. Putar atau ganti posisi tubuh berulang.
1. Respirasi dengan pemasangan endotrakea , kemudian trakeostomi serta perbaikan keadaan neurologi dengan menutup trakeostomi.
2. Perawatan kulit dengan mengubah posisi tidur pasien setiap 2 jam. 3. Kandung kemih:
– Lakukan kompresi manual untuk mengosongkan kandung kemih secara teratur agar mencegah terjadinya inkontenensia overflow dan drobbling.
– Kateterisasi intermittten. – Kateterisasi indwelling.
– Tindakan bedah jika cara-cara tersebut gagal. 1. Buang air besar (BAB)
Untuk mendapat mengosongan rectum mendadak dilakukan dengan cara : – Tambahkan diet serat .
– Gunakan laksatif. – Pemberian supositoria.
– Enema untuk BAB atau pengosongan rectum teratur tanpa inkontinensia mendadak. 1. Anggota gerak
– Cegah kontraktur akibat pembedahan spastisitas kelompok otot berlawanan dengan latihan memperbaiki medikasi dan mencegah pemisahan tendo tertentu.
– Nutrisi umum tinggi kalori.
Rehabilitasi pasien yang mengalami paraplegia 1) Rehabilitasi fisik
1. Fisioterapi dan latihan peregangan otot yang masih aktif pada lengan atas dan tubuh bagian bawah.
2. Pebiasaan terhadap alat dan perangkat rumah tangga. 3. Perlengkapan splint dan kapiler.
4. Transplantasi tendon. 2) Perbaikan mobilisasi
1. Latihan dengan kapiler dan kruk untuk pasien cedera tulang belakang bawah. 2. Latihan kursi roda untuk pasien dengan otot tulang belakang dan tungkai yang tak
berfungsi.
5. Penerimaan di rumah
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN Pengkajian :
1. Aktivitas dan istirahat Tanda :
– Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok spinal) pada bawah lesi. – Kelemahan umum atau kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
1. Sirkulasi
Gejala : berdebar-debar , pusing saat melakukan perubahan posisi. Tanda :
– Hipotensi , hipotensi postural , ektremitas dingin dan pucat. – Hilangnya keringat pada daerah yang terkena.
1. Eliminasi Tanda :
– Inkontinensia defekasi dan berkemih . – Retensi urine.
1. Inegritas ego
Gejala : menyangkal , tidak percaya , sedih , marah. Tanda : takut , cemas , gelisah , menarik diri.
1. Makanan dan cairan Tanda :
– Mengalami distensi yang berhubungan dengan omentum. – Peristaltic usus hilang ( ileus paralitik )
1. Hygiene
Tanda : sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (bervariasi).
1. Neurosensorik Gejala :
– Kebas , kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki.
– Paralisis flaksid atau spastisitas dapat terjadi saat syok spinal teratasi , bergantung pada area spinal yang sakit.
Tanda :
– Kelumpuhan , kesemutan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok spinal ).
– Kehilangan tonus otot atau vasomotor.
– Kehilangan atau asimetris termasuk tendon dalam.
– Perubahan reaksi pupil , ptosis , hilangnya keringat dari berbagai tubuh yang terkena karena pengaruh spinal.
– Nyeri atau nyeri tekan otot.
– Hiperestesia tepat di daerah trauma. Tanda :
– Mengalami deformitas.
– Postur dan nyeri tekan vertebral.
1. Pernapasan
Gejala : napas pendek , kekurangan oksigen , sulit bernapas.
Tanda : pernapasan dangkal atau labored , periode apnea , penurunan bunyi napas, ronkhi , pucat, sianosis.
1. Keamanan
Gejala : suhu yang berluktuasi ( suhu tubuh di ambil dalam suhu kamar ). 1. Seksualitas
Gejala : keinginan untuk kembali berfungsi normal
Tanda : ereksi tidak terkendali (pripisme) , menstruasi tidak teratur. 1. Penyuluan / pembelajaran
Rencana pemulangan :
– Pasien akan memerlukan bantuan dalam transportasi , berbelanja , menyiapkan makanan , perawatan diri, keuangan , pengobatan atau terapi , atau tugas sehari-hari di rumah.
– Pasien akan membutuhkan perubahan susunan rumah , penempatan alat di tempat rehabilitasi.
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas b.d kerusakan tulang punggung ,disfungsi neurovascular, kerusakan system muskuloskletal , ditandai dengan :
DO : penurunan tekanan alat inspirasi dan respirasi , penurunan menit ventilasi, pemakaian otot pernapasan, pernapasan cuping hidung, dispnea, orthopnea, pernapasan lewat mulut, frekuensi dan kedalaman pernapasan abnormal, penurunan kapasitas vital paru.
1. Resiko penurunan curah jantung b.d kerusakan jaringan otak , ditandai dengan : DS : Pasien / keluarga mengatakan pasien mengalami kebingungan .
DO : Penurunan tingkat kesadaran (bingung ,letargi, stupor, koma), perubahan tanda vital, mungkin terdapat perdarahan pada otak , papiledema, nyeri kepala yang hebat.
1. Gangguan atau kerusakan mobilitas fisik b.d gangguan neurovascular , ditandai dengan :
DS : Pasien / keluarga mengatakan adanya kesulitan bergerak.
DO : Kelemahan , Parestesia, Paralisis, Tidak mampu , Kerusakan koordinasi , Keterbatasan rentang otak , Penurunan kekuatan otot.
1. Kurang perawatan diri (mandi,gigi, berpakaian) yang berhubungan dengan: DS : Klien bedres
DO : Perubahan tanda vital, Penurunn tingkat kesadaran,gangguan anggota gerak.
1. Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan gangguan sirkulasi serebral, Di tandai dengan:
DS : Pasien / keluarga mengatakan adanya kesulitan berkomunikasi .
DO : Disartria, Afasia ,Kata-kata, tidak di mengerti, tidak mampu memahami bahasa lisan
1. Ketidaseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan ketidakmampuan menelan sekunder terhadap paralisis, di tandai dengan:
DS : Pasien / keluarga mengatakan adanya kesulitan menelan makanan .
1. Resiko aspirasi yang berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk menelan, di tandai dengan:
DS : Klien mengatakan sulit menelan.
DO : Batuk saat menelan , Dispnea, Bingung, Penurunan PaCO2.
1. Risiko cedera atau trauma yang berhubungan dengan paralisis, di tandai dengan: DS : Klien atau keluarga mengatakan kelumpuhan anggota gerak.
DO : Hemiplegia , Klien dengan bantuan atau alat bantu, Berjalan lamban.
INTERVENSI
N
oDiagnose kepera watan
Tujuan Intervensi rasional
1 Nyeri b.d kompres i akar saraf servikali s
Setelah dilakukan tindakan keperawata n selama 1×24 jam diharapkan nyeri berkurang 2 skala dari skala sebelumny a , dengan criteria hasil: – Secara subjektif pasien
1. Kaji skala nyeri (P,Q,R,S,T)
1. Istirahatkan leher pada posisi fisiologis.
1. Ajarkan teknik relaksasi napas dalam pada saat nyeri muncul.
mengataka
1. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian analgesic. 2. Sebagai indicator untuk menentukan tindakan selanjutnya .
3. Posisi fisiologi akan menurunkan kompresi saraf leher untuk menjaga kestabilan.
4. Meningkatkan asuan O2 sehingga menurunkan nyeri sekunder.
5. Pembatasan jumlah pengunjung akan membantu meningkatkan kondisi O2 dan lingkungan yang tenang akan menurunkan stimulud nyeri 6. Untuk proses penyembuhan pasien dan menurunkan tingkat nyeri.
2 Ketidak sesak pada saat serangan yang berbeda
1. Observasi tanda vital tiap jam atau sesuai respons klien.
2. Istirahatkan klien dalam posisi semiflowler.
3. Pertahankan oksigenasi NRM
waktu.
10th:120/80
mmHg
11-17th:130/80
mmHg
18-44th:140/90
mmHg
45-64th:150/95
mmHg >65th:160/9
5mmHg
4.Kolaborasi pemeriksaan AGD.
180x/mnt Anak:70-140x/mnt Remaja:50 -110x/mnt Dewasa:70 -82x/mnt (Campbell, 1978) 4.AGD dalam batas normal: pH:7,35-7,45 C02:20-26 mEq (bayi),26-28 mEq (dewasa) PO2(PaO2 ):80-110 mmHg PCO2(PaC O2):35-45mmHg SaO2:95-97%
3 Resiko penurun an curah jantung
Setelah dilakukan intervensi keperawata
b.d kepala dan merasa
2. Atur posisi klien bedrest.
3. Jaga suasana tenang.
4. Kurangi cahaya ruangan.
5. Tinggikan kepala.
6. Hindari rangsangan oral.
7. Angkat kepala dengan hati-hati.
8. Awasi kecepatan tetesan cairan infus.
9. Berikan makanan menggunakan sonde sesuai jadwal.
10. Pasang pagar tempat tidur.
11. Pantau tanda dan gejala peningkatan TIK dengan cara:
*Kaji respons membuka mata 4=spontan
ketegangan .
4. Cahaya merupakan salah satu rangsangan yang berisiko terhadap peningkata n TIK.
5.
Membantu drainase vena untuk mengurang i kongesti serebrovas kular
6.
Rangsanga n oral risiko terjadi peningkata n TIK.
7.
Tindakan yang kasar berisiko terhadap peningkata n TIK.
3=dengan perintah 2=dengan nyeri 1=tidak berespon
*Kaji respons verbal
5=bicara normal (orientasi orang,waktu,tempat, dan situasi) 4=kalimat tidak mengandung arti
3=hanya kata-kata saja 2=hanya bersuara saja 1=tidak ada suara
*Kaji respons motorik
6=dapat melakukan semua perintah rangsang nyeri 5=melokalisasi nyeri
4=menghindari nyeri 3=fleksi
2=ekstensi
1=tidak berespons
12. Periksa pupil dengan senter.
13. Kaji perubahan tanda vital.
Mencegah resiko ketidak seimbanga n volume cairan.
9.
Mencegah ketidak seimbanga n nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dan mempercep at proses penyembuh an.
1.
14. Catat muntah, sakit kepala (konstan,letargi), gelisah pernapasan yang kuat,gerakan yang tidak bertujuan, dan perubahan fungsi.
15. Konsul dengan dokter untuk pemberian pelunak fese bila diperlukan.
(Hickey
2.
3.
4 Ganggu fisik yang maksimal,
1. Kaji fungsi motorik dan sensorik dengan,mengobservasi setiap ekstremitasn secara terpisah terhadap kekuatan dan gerakan normal,respons terhadap rangsang.
2. Ubah posisi klien setiap 2 jam.
3. Lakukan latihan secara teratur dan letakkan telapak kaki klien dilante saat duduk dikursi atau papan penyangga saat tidur ditempat tidur.
4. Topang kaki saat mengubah posisi dengan meletakkan bantal disatu sisi saat
penyusutan
5. Pada saat klien ditempat tidur letakkan bantal diketiak diantara lengan atas dan dinding dada untuk mencegah abduksi bahu dan letakkan lengan posisi b.d abduksi sekitar 600.
6. jaga lengan dalam posisi sedikit fleksi. Letakkan telapak tangan di atas bantal lainnya seperti posisi patung liberty dengan siku di atas bahu dan pergelangan tangan di atas siku.
7. letakkan tangan dalam posisi berfungsi dengan jari-jari sedikit fleksi dan ibu jari dalam posisi berhubungan dengan abduksi. Gunakan pegangan berbentuk roll. Lakukan latihan pasif. Jika jari dan pergelangan spastik, gunakan splint. 8. lakukan latihan di tempat tidur. Lakukan latihan kaki sebanyak 5 kali kemudian di tingkatkan secara perlahan sebanyak 20 kali setiap kali latihan. 9. lakukan latihan berpindah(ROM)
4 x sehari setelah 24 jam serangan stroke jika sudah tidak mendapat terapi.
10. bantu klien duduk atau turun dari tempat tidur.
11. gunakan kursi roda bagi klien hemiplegia.
sehingga
berputar dan mencegah edema dan akibat fibrosis.
6.
Mencegah kontraktur fleksi.
7.
8. Klien hemiplegia dapat belajar menggunak an kakinya yang mengalami kelumpuna n.
9. Lengan dapat menyebabk an nyeri dan keterbatasa n
cara aman dari kursi , toilet, dan kursi roda. terpenuhi . dengan bersih dan rapi
1. Lakukan oral higine
2. Bantu klien mandi
3. Bantu klien berpakain.
4. bantu klien menyisir rambut.
5. bantu klien mengganti alas tempat tidur.
n klien, perawat akan menemuka n berbagai kelainan pada kulit seperti ruam kulit, ulkus, atau borok.
6. ganti alas tempat tidur.
menderita penyakit menular, menderita inkontinens ia urin, atau akan melaksanak an tindakan pembedaha n.
4. Menyisir rambut merupakan bentukfisio terapi. Menyisir rambut klien. Di lakukan perawatan terutama pada klien yag tidak berbahaya.
5.
kulit, tidur yang kotor akan dapat berkomuni kasi secara efektif ,
1. lakukan terapi bicara
2. Kaloborasi dengan ahli terapi bicara.
orang lain 3. gunakan petunjuk terapi bicara bicara (jika klien tidak memahami bahasa lisan, ulangi petunjuk sederhana sampai mereka mengerti seperti ‘minum jus’;jangan tutup’). Klien akan mendengar, bicara pelan, dan jelas. Gunakan komunikasi nonvebral.
jika klien tidak dapat mengenal objek dengan menyebut namanya, berikan latihan menerima imaginasi kata. Contoh: tunjukan objek dan sebutkan namanya (misalnya tangan, gelas).
Jika klien sulit mengerti ekspresi verbal, berikan latihan dengan
mengulangi kata ‘kamu’ mulai dengan kata sederhana dan pemahaman (‘ya’;’tidak’;’di sini makan pagi’).
Jika berjalan dengan klien afasia, latihan kalimat (lambat), dan jarak (berikan waktu klien untuk merespons).
Bantu klien afasia berkomunikasi berikan model seperti berkomunikasi
Dengarkan dan amati secara saksama saat berkomunikasi dengan klien afasia. Coba memahami untuk mencegah (antisipasi) kebutuhan klien afasia, untuk memahami perasaan tak mampu perasaan tak mampu berkomunikasi.
Jika berkomunikasi dengan klien afasia yang sangat sulit di pahami, berdiri dengan jarak 6 kaki dan langsung berhadapan dengan klien. Langsung ke topik pembicaraan dan katakan ketika kamu akan mengganti topik.
Jika kata-kata klien kurang jelas, berikan petunjuk sederhana dan ulangi sampai klien mengerti.
Jika klien menderita afasia, sering lakukan latihan dengan menggunakan objek untuk memudahkan ingatan.
Jika klien menderita motorik afasia, bantu latihan dalam mencoba mengulangi kata-kata dan suara sesudah perawat.
7 Ketidase
1. Kaji kebiasaan makan klien.
1. Catat jumlah yang dimakan.
1. Kalaborasi dengan tim gizi dan dokter untuk penentuan kalori. Diet sesuai dengan penyebab stroke seperti hipertensi, DM,dan penyakit lainnya.
1.
batas maksimal
Kebutuhan karbohidrat di
sesuaikan dengan kesanggupa n tubuh untuk menggunak annya.
8 Resiko aspirasi yang b.d kehilang an kemamp uan untuk menelan
Setelah dilakukan tindakan keperawata n selama 1×24 jam pasien tidak menunjuka n tanda-tanda aspirasi. Dengan criteria
1. Kaji tanda aspirasi seperti demam, bunyi crackles, bunyi ronkhi,bingung, penurunan Pa02 pada AGD, meberikan makanan dengan oral atau NGT
dengan senter pada bagian pipi dengan spatel, lemaskan otot lidah, gunakan tisu lembut di bawah mandibula dan angkat ujung lidah dari belakang.
2. Kaji perubahan warna kulit seperti sianosis, pucat.
hasil: – Tidak tersedak ketika makan ,tid ak
demam ,tid ak batuk ketika makan , tidak ada ronkhi – Tidak ada perubahan warna kulit
9 Risiko cedera atau trauma yang b.d paralisis
Setelah dilakukan tindakan keperawata n selama 3x24jam pasien tidak akan mengalami trauma . dengan criteria hasil : – Tidak jatuh – Tidak terdapat luka lecet dan tidak terdapat luka bakar
1. Pasang pagar tempat tidur.
1. Gunakan cahaya yang cukup.
1. Anjurkan klien berjalan pelan-pelan.
1. Anjurkan istirahat cukup saat berjalan.
1. Kaji adanya tanda trauma pada kulit.
1.
BAB IV DAFTAR PUSTAKA