• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMILU PADA MASA ORDE BARU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMILU PADA MASA ORDE BARU"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PEMILU PADA MASA ORDE BARU

Disusun Oleh:

Kelompok VI

Indah Sulistiowati M. Feraldi Nugraha

M. Karisma Akbar Rindang Adhitya

Guru Pembimbing:

Yuke Santi Hanifah, S.Pd

SEJARAH WAJIB

XII MIA 4

▸ Baca selengkapnya: krisis hukum pada masa akhir orde baru

(2)
(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelaksanaan pemilu di masa Orde Baru di atur dalam Undang-undang No.15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu di masa orde baru ini merupakan rezimnya Soeharto. Pada masa orde baru Soeharto berhasil mengontrol dan melakukan sentralisasi kekuasaan. Soeharto berhasil melebur (fusi) banyak partai pada masa orde lama menjadi dua partai politik (Partai Demokrasi Indonesia/PDI dan Partai Persatuan Pembangunan/PPP dan Golongan Karya/Golkar pada saat itu tidak mau dianggap partai politik), pasal 1. dengan mengeluarkan UU No 3 tahun 1975 tentang partai politik dan Golkar. Dan pada pemilu 1971 para pejabat negara di haruskan bersikap netral. Dengan asas yang dipakai, jujur dan adil (Jurdil) artinya dalam penyelenggaraan pemilu, penyelenggara atau pelaksana, pemerintah dan partai politik serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Sedangkan yang dimaksud adil ialah pemilih dan parpol perserta pemilu mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun.

B. Rumusan Masalah

(4)

II. PEMBAHASAN

A. PEMILU PADA MASA ORDE BARU

Pada masa orde baru penyelenggara pemilu oleh pemerintah dilakukan lewat komisi pemilihan umum (KPU). Dan pengawasan, pemerintah melalui panwaslu dan perserta pemilu diikuti oleh tiga partai (PDI,PPP dan Golkar). Hasil pemilu selama orde baru di menangkan oleh Golkar.

Adapun sistem pemilihan, untuk pemilihan anggota D.P.R. dan D.P.R.D memakai sistem perwakilan berimbang dengan stelsel daftar. Dengan demikian maka besarnya/kekuatan perwakilan organisasi dalam D.P.R. dan D.P.R.D. adalah sejauh mungkin berimbang dengan besarnya dukungan dalam masyarakat pemilih. Untuk mencapai tujuan ini suatu organisasi yang nama-nama calonnya disusun dalam sesuatu daftar calon mendapat jumlah kursi berdasarkan suatu bilangan Pembagi Pemilihan, ialah suatu bilangan yang diperoleh dengan membagi jumlah seluruh suara yang masuk dengan jumlah kursi yang tersedia. Sistim daftar begitu pula sistim pemilihan umum menggambarkan adanya pengakuan terhadap stelsel organisasi yang ikut serta dalam kehidupan ketatanegaraan. Tiap-tiap Daerah tingkat II mendapat sekurang-kurangnya seorang wakil, yang ditetapkan berdasarkan sistim perwakilan berimbang yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Penetapan jumlah anggota dalam pemilihan umum, Dari jumlah anggota D.P.R. sebanyak 460, maka yang dipilih berdasarkan pemilihan umum adalah 360 dan yang diangkat adalah 100. Untuk menentukan besarnya wakil dalam tiap-tiap daerah pemilihan di wilayah Republik Indonesia, maka untuk pemilihan anggota D.P.R. daerah pemilihan adalah Daerah tingkat I. Untuk menentukan banyaknya wakil dalam tiap daerah pemilihan dipakai dasar perhitungan tiap-tiap sekurang-kurangnya 400.000 penduduk memperoleh seorang wakil, dengan ketentuan bahwa tiap-tiap daerah pemilihan mempunyai wakil sekurang-kurangnya sebanyak Daerah tingkat II yang terdapat dalam Daerah tingkat I tersebut, dan tiap-tiap Daerah tingkat II mempunyai sekurang-kurangnya seorang wakil. Ketentuan-ketentuan selanjutnya tentang cara pembagian jumlah 360 kursi kepada Daerah tingkat II - Daerah tingkat II diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(5)

B. PELAKSANAAN PEMILU PADA MASA ORDE BARU

Pemilihan umum merupakan sarana untuk menegakkan demokrasi. Dengan melalui pemilu rakyat dapat menggunakan hak politiknya untuk memilih calon-calon wakilnya yang akan duduk dalam lembaga perwakilan rakyat. Pemilu pada masa Orde Baru dilaksanakan sebanyak enam kali sebagai berikut.

1. Pemilu 1971

Pada pemilu tahun 1971 sangat berbeda dengan pemilu pada tahun 1955 karena para pejabat negara pada pemilu tahun 1971 diharuskan bersikap netral, sedangkan pada pemilu 1955 para pejabat negara yang berasal dari partai peserta pemilu dapat ikut menjadi calon partai secara formal.

Pada pemilu ini diikuti oleh sepuluh peserta yang terdiri atas Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Nahdatul Ulama (NU), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Murba, Partai Islam Persatuan Tarbiyah Indonesia (PI. Perti), Partai Katolik, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Golongan Karya (Golkar).

Pada pemilu ini dimenangkan oleh Golkar dan sejak pemilu ini pula ABRI mulai memainkan 2 peranan yang penting dalam pemerintahan Orde Baru, seperti menjadi anggota dewan melalui jalur pengangkatan. Oleh karena itu, ABRI tidak menggunakan hak pilihnya lagi seperti pada pemilu pertama tahun 1955.

Pemerintahan Orde Baru setelah pemilu 1971 melakukan penyederhanaan jumlah partai dengan tidak menghapus partai tertentu, tetapi melakukan penggabungan (fusi). Dalam penggabungan tersebut, sistem kepartaian tidak lagi didasarkan ideologi, tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial politik sebagai berikut.

1. PPP, merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan PI. Perti.

2. PDI, merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo. 3. Golkar.

a. Sistem Pemilu

Pemilu 1971 merupakan pemilu kedua yang diselenggarakan bangsa Indonesia. Pemilu 1971 dilaksanakan pada pemerintahan Orde Baru, tepatnya 5 tahun setelah pemerintahan ini berkuasa. Pemilu yang dilaksanakan pada 5 Juli 1971 ini diselenggarakan untuk memilih Anggota DPR.

(6)

DPRD, berimbang dengan besarnya dukungan pemilih karena pemilih memberikan su-aranya kepada Organisasi Peserta Pemilu.

b. Asas Pemilu

Pemilu 1971 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia (LUBER).

Langsung, artinya bahwa pemilih langsung memberikan suaranya menurut hati nura-ninya, tanpa perantara, dan tanpa tingkatan.

Umum, artinya semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan minimal dalam usia, mempunyai hak memilih dan dipilih.

Bebas, artinya bahwa setiap pemilih bebas menentukan pilihannya menurut hati nura-ninya, tanpa ada pengaruh, tekanan, paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun.

Rahasia, artinya bahwa pemilih dalam memberikan suara dijamin tidak akan diketahui oleh siapapun dan dengan cara apapun mengenai siapa yang dipilihnya.

c. Dasar Hukum

TAP MPRS No. XI/MPRS/1966

TAP MPRS No. XLII/MPRS/1966

UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Per-musyawaratan / Perwakilan Rakyat

UU Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

d. Badan Penyelenggara Pemilu

Lembaga Pemilihan Umum (LPU) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970. LPU diketuai oleh Menteri Dalam Negeri yang keanggotaannya terdiri atas Dewan Pimpinan, Dewan Pertimbangan, Sekretariat Umum LPU dan Badan Perbekalan dan Perhubungan.

(7)

Pemungutan Suara Luar Negeri (PPSLN), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) yang bersifat sementara (ad hoc).

e. Peserta Pemilu

Peserta Pemilu 1971 terdiri atas : a. Partai Nahdlatul Ulama

b. Partai Muslim Indonesia c. Partai Serikat Islam Indonesia d. Persatuan Tarbiyah Islamiiah e. Partai Nasionalis Indonesia f. Partai Kristen Indonesia g. Partai Katholik

h. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia i. Partai Murba

j. Sekber Golongan Karya

2. PEMILU 1977

Pada pemilu tahun 1977 hanya diikuti oleh tiga peserta yaitu PP, Golkar dan PDI. Pemilu ini dimenangkan Golkar dengan memperoleh 232 kursi, PPP memperoleh 99 kursi, dan PDI memperoleh 29 kursi.

a. Sistem Pemilu

Pemilu kedua pada pemerintahan orde baru ini diselenggarakan pada tanggal 2 Mei 1977. Sama halnya dengan Pemilu 1971, pada Pemilu 1977 juga menggunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.

b. Asas Pemilu

Pemilu 1977 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.

c. Dasar Hukum

Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Bi¬dang Politik, Aparatur Pemerintah, Hukum dan Hubungan Luar Negeri.

Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1973 tentang Pemilihan Umum.

Undang-undang Nomor 3/1975 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya.

Undang-undang Nomor 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah.

(8)

Undang-undang Nomor 5/1979 tentang Pemerintahan Desa.

d. Badan Penyelenggara Pemilu

Pemilu 1977 diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Pemilu yang memiliki struktur yang sama dengan penyelenggaraan pada tahun 1971, yaitu PPI ditingkat pusat, PPD I di provinsi, PPD II di kabupaten/kotamadya, PPS di kecamatan, Pantarlih di desa/kelurahan, dan KPPS. Bagi warga negara Indonesia di luar negeri dibentuk PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang bersifat sementara (adhoc).

e. Peserta Pemilu

Pada Pemilu 1977, ada fusi atau peleburan partai politik peserta Pemilu 1971 se-hingga Pemilu 1977 diikuti 3 (tiga) peserta Pemilu, yaitu :

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi/penggabungan dari: NU, Parmusi, Perti, dan PSII.

Golongan Karya (GOLKAR).

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) merupakan fusi/penggabungan dari: PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI, dan Partai Murba.

3. PEMILU 1982

Pada pemilu ini perolehan suara dan kursi dari Golkar secara nasional meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Secara nasional, Golkar berhasil memperoleh tambahan 10 kursi, sedangkan PPP dan PDI kehilangan masing-masing 5 kursi.

a. Sistem Pemilu

Pemilu 1982 merupakan pemilu ketiga yang diselenggarakan pada pemerintahan Orde Baru. Pemilu ini diselenggarakan pada tanggal 4 Mei 1982. Sistem Pemilu 1982 tidak berbeda dengan sistem yang digunakan dalam Pemilu 1971 dan Pemilu 1977, yaitu masih menggunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional).

b. Asas Pemilu

Pemilu 1982 dilaksanakan dengan asas Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia.

c. Dasar Hukum

(9)

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1980 tentang Pemilihan Umum.

d. Badan Penyelenggara Pemilu

Struktur organisasi penyelenggara Pemilu1982 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1977, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih, dan KPPS serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.

e. Peserta Pemilu

Peserta Pemilu 1982 terdiri atas :

Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Golongan Karya (Golkar).

Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

4. PEMILU 1987

Pada pemilu ini ditandai dengan merosotnya suara PPP (kehilangan 33 kursi), sedangkan Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.

a. Sistem Pemilu

Pemilu keempat pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1987 masih sama dengan sistem yang digunakan dalam Pemilu 1982, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.

b. Asas Pemilu

Pemilu 1987 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.

c. Dasar Hukum

Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN dan Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/1983 tentang Pemilihan Umum.

UU Nomor 1 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1969 se-bagaimana telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 1975 dan UU Nomor 2 Tahun 1980.

(10)

d. Badan Penyelenggara Pemilu.

Struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1987 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1982, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.

e. Peserta Pemilu 1987

Peserta Pemilu 1987 terdiri atas :

Partai Persatuan Pembangunan.

Golongan Karya

Partai Demokrasi Indonesia.

5. PEMILU 1992

Pada pemilu ini perolehan suara Golkar menurun, yaitu dari 299 kursi menjadi 282 kursi, sedangkan PPP naik 1 kursi (menjadi 62 kursi) dan PDI meningkat menjadi 56 kursi.

a. Sistem Pemilu

Pemilu kelima pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 1992. Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1992 masih sama dengan sistim yang digunakan dalam Pemilu 1987, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.

b. Asas Pemilu

Pemilu 1987 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.

c. Dasar Hukum.

Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988 tentang GBHN dan Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/1988 tentang Pemilu.

UU Nomor 1 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1969 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 1975 dan UU Nomor 2 Tahun 1980.

Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1985.

(11)

Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1990

d. Badan Penyelenggara Pemilu.

Struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1992 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1987, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.

e. Peserta Pemilu.

Peserta Pemilu 1992 terdiri atas :

Partai Persatuan Pembangunan.

Golongan Karya.

Partai Demokrasi Indonesia.

6. PEMILU 1997

Hasil pemilu ini Golkar kembali merebut suara mayoritas. Kursinya bertambah menjadi 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya. Suara PPP juga mengalami peningkatan 27 kursi, dan PDI yang mengalami konflik internal perolehan suaranya merosot.

a. Sistem Pemilu.

Pemilu keenam pada pemerintahan Orde Baru ini dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 1997. Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1997 masih sama dengan sistem yang digunakan dalam Pemilu 1992, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.

b. Asas Pemilu.

Pemilu 1997 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.

c. Dasar Hukum.

Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 tentang GBHN dan Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/1993 tentang Pemilu.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pemilihan Umum.

(12)

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985.

d. Badan Penyelenggara Pemilu.

Struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1997 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1992, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.

e. Peserta Pemilu.

Peserta Pemilu 1997 terdiri atas :

Partai Persatuan Pembangunan.

Golongan Karya.

(13)

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyelenggaraan pemilu yang teratur pada masa Orde Baru menimnulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas luber (langsung, umum, bebas dan rahasia). Namun, yang sebenarnya terjadi, pemilu agaknya sudah diarahkan untuk kemenangan peserta tertentu, yaitu Golkar.

Dengan kemenangan Golkar yang selalu mencolok itu menguntungkan pemerintah. Golkar menguasai suara di MPR dan DPR dan itulah yang memungkinkan Soeharto menjadi presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Hal itu pula yang menyebabkan pertanggungjawaban, rancangan undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan. Politik kekerasan menjadi isu utama.

B. Saran

DAFTAR RUJUKAN

http://sahabatrhysayku.blogspot.co.id/2011/12/pemilu-pada-masa-orde-baru.html

(14)

http://www.rumahpemilu.org/in/read/194/Penyelenggara-Pemilu-Orde-Baru-Menjaga-Kemenangan-Golkar

Referensi

Dokumen terkait

fenomena golput tidak terjadi hanya pada masa Orde Baru saja yang disebutkan.. terjadi kecurangan dalam pemilu, pada tahun 1955 dan era Reformasi

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pengawas pemilu berkewajiban bersikap tidak dikriminatif, menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan

Jalannya pemilu sendiri sarat akan kecurangan yang melibatkan Partai Golkar sebagai alat politik pemerintahan, rakyat yang sudah bosan akan keadaan tersebut

Meskipun disadari jika pesantren dan madrasah merupakan modal dan sumber pendidikan nasional, namun faktanya posisinya masih jauh dari sistem pandidikan nasional,

Sistem proposional (perwakilan berimbang) digunakan sebagai acuan dalam penghitungan suara serta pembagian kursi anggota DPRD. Terdapat 15 kursi DPRD Kotapradja

Pada pemilihan umum 2014, sistem pemilu yang digunakan sama dengan sistem yang diterapkan pada Pemilu tahun 2009 yaitu Proporsional terbuka berdasarkan suara

Ada beberapa variabel kunci dari sistem pemilu, yaitu: 1 rumusan pemilu yang digunakan, yakni apakah sistem pluralitas/mayoritas, proporsional, campuran atau sistem lain yang dipakai, 2

Dengan tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan oleh partai dan caleg, serta anggaran negara yang dikeluarkan untuk pemilu dengan menggunakan sistem proporsional terbuka, maka