• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI KEARIFAN LOKAL DALAM PERENCANAAN (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POTENSI KEARIFAN LOKAL DALAM PERENCANAAN (1)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI KEARIFAN LOKAL DALAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

KOTA

(Kasus Kajian; Kearifan Lokal Kota Banda Aceh)

Prof. Ir. Respati Wikantiyoso., MSA., Ph.D. Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Merdeka Malang Malang, Jawa Timur, Indonesia

e-mail:respati_w@yahoo.com atau respati@unmer.ac.id

Abstract

The problems of urban spatial structure in Indonesia is very complex, not only because of the population but also because the urban development institutions that is not sufficient to control the development of the city. City planning regulations as a product of urban development policy is a policy framework that is specific and unique. Every town should have special rules for control city development couse of "No two are alike". In fact there has been a "uniformity of the architecture of the city". The aim of Banda Aceh local wisdom studies is to explore the potential of a local wisdom "Islamic city". Banda Aceh has a great chance as a city within the framework of Islamic character Nangro Aceh Darussalam. Development of the city of Banda Aceh through the process of urban planning and design, should use the foundation to realize the development of Islamic law of Banda Aceh Islamic city character. Keywords that are becoming essential in realizing the construction of the city is; potential of locality, potential local culture, sustainable development, and the development process in a broad sense. Privilege status of Nangro Aceh Darussalam is important to be able to keep the "privilege" of Aceh as an Islamic city which was based on Islamic values. Study of Banda Aceh local knowledge needed to realize the local character of the city of Banda Aceh in order to maintain identity as a city of "porch of Mecca".

Keywords: Sustainable development, Local Wisdom, Indigenous of Banda Aceh, the porch of Mecca

Abstrak

Permasalahan tata ruang kota di Indonesia sangat kompleks, bukan saja karena jumlah penduduk tetapi juga dikarenakan pranata pengendali perkembangan kota yang tidak memadahi. Peraturan tata ruang kota sebagai produk kebijakan pengembangan kota merupakan kerangka kebijakan yang spesifik dan unik. Setiap kota seharusnya memiliki

peraturan yang khas karena sebenarnya “No two cities are alike”. Kenyataanya telah

terjadi “ketunggal-rupaan arsitektur kota”. Kajian kasus kearifan lokal kota Banda Aceh bertujuan untuk menggali potensi-potensi kearifan lokal sebuah “kota Islami”. Kota Banda Aceh memiliki peluang sangat besar sebagai kota yang berkarakter islami dalam kerangka

“keistimewaan” Nangro Aceh Darusalam. Pengembangan kota Banda Aceh melalui proses perencanaan dan perancangan kota, seharusnya menggunakan landasan pengembangan syariah Islam untuk mewujudkan kota Banda Aceh yang berkarakter Islami. Kata kunci yang menjadi penting dalam mewujudkan pembangunan kota adalah; potensi lokalitas (karakter kota), potensi budaya local (sosial komunitas kota), keberlanjutan pembangunan, serta proses pembangunan dalam arti luas. Status keistimewaan Nangro Aceh Darusalam menjadi

penting untuk dapat menjaga “keistimewaan” aceh sebagai kota Islami yang didasarkan

pada nilai-nilai Islam. Kajian kearifan lokal Banda Aceh diperlukan untuk mewujudkan

karakter lokal kota Banda Aceh guna mempertahankan jati diri sebagai kota “serambi Mekah”.

(2)

Seminar Nasional Lustrum Arsitektur 2 2 | Malang, 29 Oktober 2014

Pendahuluan

Makalah ini dipersiapkan khusus untuk memenuhi permintaan panitia Lustrum jurusan Arsitektur ke 2 UIN Malang. Walaupun demikian dengan keterbatasan banyak hal sangat sulit untuk memenuhi sasaran sesuai dengan tujuan diselenggarakan kegiatan seminar ini. Pembahasan pada makalah ini akan dibatasi pada masalah pentingnya potensi kearifan lokal (aspek sosial-budaya) dalam perencanaan tata ruang kota. Aspek sosial budaya merupakan salah satu aspek penting dalam spatial city planning disamping aspek ekonomi dan aspek lingkungan (environment). Makalah ini merupakan hasil kompilasi terhadap pengalaman empirik, kajian intensif tentang potensi kearifan lokal serta referensi berkaitan dengan bidang perencanaan dan perancangan kota yang menjadi bidang perhatian selama 26 tahun mengajar di jurusan teknik arsitektur Universitas Merdeka Malang.

Permasalahan tata ruang kota di Indonesia sangat kompleks, bukan saja karena jumlah penduduk yang relatif banyak tetapi juga dikarenakan pranata pengendali perkembangan kota (baca: Peraturan Tata Ruang Kota) yang kurang memadahi1. Peraturan tata ruang kota sebagai produk kebijakan pengembangan kota merupakan kerangka kebijakan yang spesifik dan unik yang sesestinya setiap kota akan memiliki peraturan yang khas seperti diutarakan oleh para pakar bahwa

No two cities are alike”. Akan tetapi

kenyataanya telah terjadi “ ketunggal-rupaan arsitektur kota”2. Hal ini dapat terjadi karena produk dan proses penyusunan rencana tata ruang kota-kota kita masih menghadapi masalah-masalah administratif yang bisa berpengaruh pada faktor kecukupan dan legalitas pengaturan sebagai produk hukum.

Perencanaan tata ruang kota (spatial city planning) harus dapat berfungsi sebagai panduan perancangan kota dan sebagai pengendali perkembangan kota. Perencanaan tata ruang kota sebagai sebagai panduan rancang kota harus mampu memberikan arahan arahan disain

kota sesuai dengan potensi-potensi sosial-budaya, ekonomi dan potensi lingkungan (alam dan buatan) secara terpadu untuk menjamin keberlanjutan pembangunan. Sebagai produk pengendali perkembangan kota, rencana tata ruang kota harus secara konsisiten diimplementasi-kan oleh semua

stakholders (masyarakat, peengembang dan pemerintah kota).

Perencanaan Tata Ruang Kota baik merupakan produk perencanaan yang dapat diimplementasikan tanpa menyebabkan kesenjangan sosial-budaya. Perencanaan tata ruang membutuhkan pendekatan komprehensif yang diharapkan dapat mengakomodasi aspek sosial budaya masyarakat. Studi Kearifan Lokal merupakan upaya untuk menemukan pengetahuan, teknologi, serta potensi nilai sosial-budaya lokal. Pemahaman nilai-nilai sosial budaya masyarakat dapat dilakukan melalui pendekatan partisipatif. Pendekatan partisipatif dilakukan untuk mengeksplorasi kearifan lokal dan pengetahuan lokal dari konsep produk penataan ruang di masa lalu yang telah terbukti sepanjang zaman.

Studi konsep, teori, dan praktik terbaik pada pengetahuan lokal dari hasil masa lalu dari desain tata ruang kota tua dan/atau tata ruang tradional melalui review desain dan praktek desain perkotaan merupakan upaya untuk menjamin keberlanjutan pembangunan kota. Menggali potensi Kearifan Lokal dalam perencanaan tata ruang merupakan upaya penting dalam proses perencanaan tata ruang. Dengan demikian kebijakan pembangunan perkotaan yang tertuang dalam rencana tata ruang kota akan mampu mengakomodasi kearifan lokal dalam rangka menciptakan lingkungan kota yang berkarakter.

(3)

teori dan model pola spasial yang memiliki nilai tinggi4. Oleh karena itu lingkungan yang dibentuk sejajar dengan masyarakat dan dengan lingkungan alam.

Lingkungan tradisional yang memiliki nilai sejarah tinggi di pusat kota saat ini sedang mengalami tantangan perubahan yang sangat cepat akibat meningkatnya aktivitas ekonomi, perubahan sosial dan budaya di masyarakat dari pusat kota5. Efek urbanisasi yang cepat pada degradasi lingkungan tradisional jika tidak diantisipasi berdampak negatif perubahan. Lingkungan tradisional merupakan aset yang dapat memberikan karakteristik daerah, serta identitas dan rasa daerah tempat kota.

Abstraksi di atas memberi kita pemahaman tentang pentingnya studi fisik yang baik dari arsitektur, lingkungan, dan kota-kota tradisional daerah dapat dinilai konsepsi, teori dan model (arsitektur, pola spasial, dan skala kota). Keempat makalah yang dibahas secara umum berusaha untuk mengeksplorasi kekayaan dan nilai-nilai arsitektur baik di lingkup spasial bangunan (arsitektur) atau bahkan kota skala regional. Mempelajari lingkungan binaan

“tradisional” tidak pernah terasa kering, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana menjaga nilai-nilai ilmu sejarah dan tantangan perubahan yang cepat.Tata Ruang Kota Baik merupakan produk perencanaan yang dapat diimplementasikan tanpa menyebabkan kesenjangan sosial-budaya. Perencanaan tata ruang membutuhkan pendekatan komprehensif yang diharapkan dapat mengakomodasi aspek sosial budaya masyarakat. Studi Kearifan Lokal merupakan upaya untuk menemukan pengetahuan lokal penting untuk memahami nilai-nilai sosial budaya masyarakat. Pemahaman nilai-nilai sosial budaya masyarakat dapat dilakukan melalui pendekatan partisipatif. Pendekatan partisipatif dalam penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi kearifan lokal dan pengetahuan lokal dari konsep produk penataan ruang di masa lalu yang telah terbukti sepanjang zaman.

Studi konsep, teori, dan praktik terbaik pada pengetahuan lokal dari hasil masa lalu dari desain (tata ruang tradisional perkotaan) melalui review desain dan praktek desain perkotaan merupakan upaya untuk pembangunan kota yang berkelanjutan. Masalah Kearifan Lokal dalam perencanaan tata ruang yang ditandai kota merupakan aspek penting dalam proses perencanaan tata ruang. Dengan demikian kebijakan pembangunan perkotaan dalam kebijakan perencanaan harus mampu mengakomodasi kearifan lokal dalam rangka menciptakan karakter kota.

Perencanaan kota sebagai proses

Era otonomi daerah daerah dengan segala potensi dan permasalahannya baik secara langsung maupun tidak berdampak pada pembangunan arah kebijakan pembangunan kota. Peluang untuk mempertahankan karakter kota sesuai dengan potensi kearifan local menjadi peluang untuk dapat menggali seluas-luasnya karakter spesifik kota dan/atau kawasan kota. Pembangunan kota yang memiliki nilai kekhasan budaya local menjadi peluang untuk meningkatan daya tarik penigkatan kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. Penggalian potensi nilai sosial budaya masyarakat, potensi pengetahuan local dalam kegiatan sosial-ekonomi serta pengetahuan local dalam pengelolaan lingkungan menjadi penting untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.

(4)

Seminar Nasional Lustrum Arsitektur 2 4 | Malang, 29 Oktober 2014

keberlanjutan pembangunan6, serta proses pembangunan dalam arti luas.

Potensi lokalitas (karakter kota), budaya local serta kekhasan fisik tipo-morfologis kota merupakan potensi yang harus diperhatikan dalam proses perencanaan kota sebagai suatu kesatuan aspek kehidupan komunitas kota. Pemahaman morfologi (fisikal; topografis, geografis, struktur fisik lingkungan, tata landskap) tidak dapat dipisahkan dengan pemahaman aspek-aspek non-fisik (aktifitas komunitas; nilai-nilai filosofis, sosial-budaya, ekonomi dan politik).

Walaupun pendekatan tipo-morfologi ditekankan pada pendekatan pemahaman pada aspek fisik bentuk struktur tata ruang, tetapi aspek non-fisik yang melatarbelakangi sering menjadi lebih penting diperhatikan karena justru nilai-nilai filosofis, nilai-nilai sosio-kultural, historis dan lainnya dapat diangkat sebagai suatu

“ciri spesifik” lingkungan kota. Wujud fisik lingkungan kota sebagai manifestasi kehidupan sosial kota pada hakekatnya

merupakan “produk budaya”. Dengan demikian sebenarnya pada masyarakat dengan latar belakang sosial budaya yang berbeda akan mewujudkan bentuk lingkungan fisik ruang yang berbeda pula.

Pembangunan berkelanjutan

Keberlanjutan pembangunan

(sustainable development) bukan semata-mata dalam pemahaman keberlanjutan perubahan social-kultural masyarakat, tetapi keberlanjutan dalam pengertian luas termasuk aspek ekonomi dan aspek ekologi (sustainable environment). Terpeliharanya kualitas lingkungan secara ekologis, harmonisasi sosial-budaya dan ekonomi merupakan sasaran yang harus dicapai setiap upaya pembangunan. Hal ini bermakna bahwa perubahan atau

“intervensi fisik” (baca: pembangunan)

yang dilakukan harus mampu menjamin dan meminimalkan cultural-lag dalam arti luas.

Konsep sustainability yang digagas oleh kaum environmentalist berawal dari sikap keprihatinan terhadap konsekwensi jangka panjang terhadap tekanan daya dukung alami (natural support system). Dalam Brundtland Commission Report yang berjudul Our Common Future, dijelaskan batasan tentang sustainable development

sebagai berikut:

Sustainable development is

defined as development that meet the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own

needs.”

Dari pengertian di atas ada tiga (3) konsep kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu development; needs; dan future

generations. Pembangunan yang

berkelanjutan mempunyai tujuan untuk; melindungi sumber daya alam (resource conservation); pembangunan lingkungan binaan (built development), menjaga kualitas lingkungan alamiah dan lingkungan terbangun (environmental quality), mengurangi kesenjangan sosial (social equality), dan meningkatkan partisipasi (political participation).

(5)

Gambar1:Diagram konseps pembangunan Berkelanjutan (Sumber: Wikantiyoso, 2013)

Dalam konteks perencanaan pembangunan sumber daya alam yang lebih luas, perencanaan sumberdaya secara terpadu sebagai upaya bertahap dan terprogram untuk mencapai tingkat pemanfaatan sistem sumber daya alam secara optimal dengan memperhatikan semua dampak lintas sektoral yang mungkin timbul. Menurut Lang (1986) keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam hendaknya dilakukan pada tiga tataran (level), yakni tataran teknis, tataran konsultatif dan koordinasi7. Keterpaduan dalam tataran teknis dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek teknis, ekonomis, dan lingkungan secara proporsional dalam setiap keputusan perencanaan dan pembangunan kota.

Budaya perkotaan dan “budaya” Islam

Budaya perkotaan mengandung dua dimensi yang berbeda; yakni buda non fisik sebagai suatu kesatuan sistem tata laku masyarakat dan budaya fisik sebagai bentuk transformasi nilai budaya dal wujud fisik ruang kota. Pada tataran fisik kota, budaya mentransformasi dalam wujud fisik sebagai pola, struktur kota, serta bangunan dengan beragam fungsi seperti istana, galeri seni, tempat peribadatan, gedung kesenian, museum, taman, landmark kota, pasar dan sebagainya8.

Islam sebagai agama “rachmatan lil

alamin” (rahmad bagi semesta alam) dengan al- Qur’an dan Hadist sebagai landasan dalam beribadah umat Islam, mencakup semua aspek sendi kehidupan manusia secara komprehensif dalam mengatur tata perilaku manusia di dunia. Nilai-nilai Islami seharusnya menjiwai dan menjadi landasan dan menjadi norma,

“budaya”, kebiasaan berperilaku (adab

bersosialisasi), maupun dalam mensikapi dan memanfaatkan lingkungan alamiahnya sebagai setting tempat untuk beribadah kepada Illahi. Pemahaman, implikasi perilaku, serta adab bersoaialisasi serta pemaknaan dan penyikapan terhadap potensi lingkungan alamiahnya sudah

semestinya akan mewarnai nilai “ke

-Islaman” wujud fisik budaya komunitas.

Setting dan komunitas perkotaan sebagai wujud budaya fisik (baca: arsitektur kota) tentunya merupakan refleksi dari tata nilai Islami komunitas kota yang didominasi oleh landasan nilai Islami (syariah Islam) sebagai dasar perilaku komunitasnya. Kota Banda Aceh merupakan salah satu contoh kota yang memiliki potensi kearifan budaya Islami yang relevan dengan premis di atas. Mengacu pada Al-Faruqi yang dikutip oleh Fikriarini9 bahwa Kebudayaan Islam dengan Arsitektur Islam (Arsitektur kota)

merupakan “budaya Qur’ani”, yang secara mendasar prinsip-prinsip yang diambil dalam Al-Qur’an juga mencakup tentang alam, manusia, dan makhluk hidup lainnya.

Illustrasi Perencanaan Kota yang

Islami

Istilah Madinah (kota) disebut dalam Al

Qur’an sebanyak 14 kali10 dan sebutan mada’in (jama’) sebanyak 3 kali11. Di

dalam kitab suci Al Qur’an penggambaran

kota yang diikuti dengan nama kota kecuali menyebut empat kali sebutan Madinah untuk maksud kota al-Madinah al-Munawarah, yang sebelum kedatangan Nabi Muhammad s.a.w dikenal sebagai Yathrib. Sedangkan penyebutan kota Makah dalam

al Qur’an hanya sekali pada Surat al Fath

(6)

Seminar Nasional Lustrum Arsitektur 2 6 | Malang, 29 Oktober 2014

menggunakan istilah al-balad, baladan, umm al-Qura dan al-Qaryah untuk kota Makah12.

Penggalian konsep-konsep kota yang Islami melalui kajian Al-Qur’an yang sangat komprehensif menelaah perkembangan kota yang mengungkapkan perkembangan kota-kota sebelum Islam seperti kota purba yang dikenal sebagai kota Saba (dalam surah Saba’, 34:15) kota pada zaman Nabi Sulaiman.

Kota Madinah-al-Munawarah merupakan kota Islam pertama pada zaman Rasulullah s.a.w. yang merupakan kota dengan konsep negara-kota (a city-state),

yang sangat sarat dengan nilai-nilai Islami. Menurut S. Gulzar Heidar, yang dikutip oleh Ahmad Zaki, ada 3 konsepsi yang saling terkait dalam kota islam yakni, Konsep Din, Madinah dan Madaniyyah 13.

Gambar 2. Madinah-al-Munawarah (Sumber:islamicencyclopedia.org)

Konsep Din merupakan keseluruhan struktur yang harmonis meliputi kepercayaan, pemikiran, praktis, etik dan kolektifitas masyarakatnya. Konsep kota (Madinah) merupakan kesatuan sistem institusi masyarakat, perumahan swasta, sistem simbol dan tanda, sistem tatanan fisik ruang (struktur kota). Konsepsi Madaniyyah bahwa kota sebagai wadah pelaksanaan cara hidup dan undang-undang samawi Syariah14. Istilah Madaniyyah sebagai konsep budaya kota kemudian lebih dikenal dengan istilah tamaddun. Ketiga konsepsi tersebut di atas menjadi sangat jelas bahwa kota-kota islam sangat erat dan terkait dengan budaya kota

(tamadun) yang didasarkan atas Din (nilai-nilai) islami yang tumbuh dalam kolektifitas masyarakat Islam.

Menurut Gulzar Heidar15, Kota Islami mempunyai sifat-sifat kota sebagai:

1. City of devine trusteeship (Kota perwalian Illahi)

2. City of law (Kota berdasarkan hukum)

3. City of Justice (Kota berkeadilan) 4. City of causality and accountability

(kota bertanggungjawab dan kausalitas)

5. City of purpose (Kota memiliki tujuan)

6. City of care (kota peduli)

7. City of life and energy (kota hidup dan berenergi)

8. City of ecological harmony (Kota ekologis yang harmonis)

9. City of knowlwdge (Kota

berpengetahuan)

10.City of simplicity humility and piety

(Kota kesederhanaan, kerendahan hati dan kesalehan)

11.City of ingenuity and craft (Kota cerdik dan kerajinan)

12.City of Beauty (Kota Estetis)

Kearifan lokal kota Banda Aceh

sebagai Serambi Mekah

Kota Banda Aceh berdiri pada abad ke-14 sebagai ibukota Kesultanan Aceh Darussalam. Dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di Kutaraja (Banda Aceh)16.

(7)

Gambar 3: Atjehkaart 1568 Alva bibliotheek (Sumber: Alva 156818)

Menurut prasasti yang ditemukan dari batu nisan Sultan Ali Mughayat Syah, sebagai pemimpin pertama Kesultanan Aceh Darussalam. Masa pemerintahan Sultan Mughayat Syah relatif singkat, namun ia berhasil membangun Banda Aceh sebagai pusat peradaban Islam di Asia Tenggara. Pada masa ini, Banda Aceh telah berevolusi menjadi salah satu kota pusat pertahanan yang ikut mengamankan jalur perdagangan maritim dan lalu lintas jemaah haji.

Banda aceh pada abad ke 15 M

dijuluki “Serambi Makkah” sebuah gelar

yang penuh bernuansa keagamaan, keimanan, dan ketaqwaan. Menurut analisis pakar sejarah, ada 5 (lima) sebab mengapa Aceh menyandang gelar serambi Mekah19.

Pertama, Aceh merupakan wilayah pertama masuk Islam di Nusantara, terletak di kawasan pantai Timur, Peureulak, dan Pasai. Mubaligh-mubaligh Aceh meninggalkan kampung di Aceh untuk menyebarkan agama Islam ke wilayah nusantara. Empat orang Wali diantara Wali Songo, yakni Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Syarif Hidayatullah, dan Syeikh Siti Jenar yang menyebarkan Islam ke Pulau Jawa.

Kedua, Aceh merupakan kiblat ilmu pengetahuan di Nusantara dengan hadirnya

Jami’ah Baiturrahman (baca: Universitas Baiturrahman). Banyak mahasiswa yang datang dari berbagai penjuru nusantara bahkan dunia.

Ketiga, Aceh Darussalam mendapat pengakuan dari Syarif Makkah atas nama Khalifah Islam di Turki bahwa Kerajaan

Aceh adalah “pelindung” kerajaan -kerajaan Islam lainnya di Nusantara.

Keempat, Aceh pernah menjadi pelabuhan Haji umat muslim dari seluruh Nusantara. Umat muslim nusantara naik haji ke Makkah dengan kapal laut, sebelum mengarungi Samudra Hindia menghabiskan waktu sampai enam bulan di Bandar Aceh Darussalam.

Kelima, banyak persamaan antara Aceh (saat itu) dengan Makkah, sama-sama

Islam, bermazhab Syafi’i, berbudaya Islam,

berpakaian Islam, berhiburan Islam, dan berhukum dengan hukum Islam. Orang Aceh masuk dalam agama Islam secara kaffah (totalitas), tidak ada campur aduk antara adat kebiasaan dengan ajaran Islam. Walaupun saat ini sudah mulai memudar.

Abstraksi di atas memberikan gambaran kita bahwa banda aceh merupakan kota yang memiliki dasar-dasar nilai sosial budaya Islami yang sangat kuat. Mengacu kepada pernyataan Rappoport, semestinya tatanan ruang kota sebagai manifestasi fisik tata nilai komunitas mencerminkan nilai-nilai Islami. Keberadaan Masjid Baiturahhman yang sangat sentral menjadi salah satu ciri.

Gambar4: Gambaran Istana Daruddunia-Istana Kerajaan Aceh Darusalam

(1496-1903)20

(8)

Seminar Nasional Lustrum Arsitektur 2 8 | Malang, 29 Oktober 2014

untuk memasok kebutuhan lada di Eropa. Sutan Iskandar Muda pada masa itu menjadikan Banda Aceh sebagai taman dunia, yang dimulai dari komplek istana. Komplek istana Kesultanan Aceh juga dinamai Darud Dunia (Taman Dunia).

Pada masa agresi Belanda II, merupakan masa jatuhnya kesultanan Aceh dan Van SwieteGambarn mengubah nama Banda Aceh menjadi Kuta Raja. Sejak 28 Desember 1962, Setelah masuk dalam pangkuan Pemerintah Republik Indonesia nama Kuta Raja diganti menjadi Banda Aceh berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-4321.

Gambar 5. Pusat Kota Banda Aceh dan Lokasi Masjid Biturahhman (Sumber: Google map, 2014)

Penetapan status keistimewaan Nangro Aceh Darusalam menjadi penting

untuk dapat menjaga “keistimewaan” aceh

sebagai kota Islami yang didasarkan pada nilai-nilai Islam. Walaupun demikian, sebagai sebuah kota yang berkembang dalam konteks mordernitas tidak dapat dipungkiri terjadinya “heterogenitas” budaya yang ikut mewarnai ke-kinaan Kota Banda aceh. Pertanyaannya adalah bagaimana karakter lokalitas kota Banda Aceh mampu mempertahankan diri sebagai

“serambi Mekah”, dengan ciri sebagai kota

islami sebagai mana dijelaskan oleh Gulzar Heidar (1990)22.

Catatan Penutup

Untuk mengakhiri makalah ini saya tidak membuat suatu kesimpulan, tetapi akan

saya sampaikan dalam bentuk catatan penutup. Catatan penutup ini diharapkan akan menjadi bahan diskusi dalam seminar ini dan pemahaman akan pentinggnya kajian kearifan lokal untuk perencanaan dan perancangan kota yang lebih baik. Kajian kasus kearifan lokal kota Banda Aceh dimaksudkan untuk menggali

potensi-potensi kearifan lokal sebuah “kota Islami”

yang memiliki peluang sangat besar sebagai kota yang berkarakter islami dalam

kerangka “keistimewaan” Nangro Aceh

Darusalam.

Dalam konteks perkembangan dan pengembangan kota Banda Aceh melalui proses perencanaan dan perancangan kota, sudah selayaknya menggunakan landasan pengembangan syariah Islam untuk mewujudkan kota Banda Aceh yang berkarakter Islami. Beberapa catatan penutup yang dimaksud adalah:

1.Perencanaan dan perancangan kota sebagai suatu proses mewujudkan suatu perangkat pengendali perkembangan kota harus mempunyai syarat kecukupan (secara substantif) mengakomodasikan aspek perkembangan kota( baca: aspek sosial-budaya, aspek ekonomi dan aspek lingkungan) untuk menjamin keberlanjutan kehidupan dan pembangunan kota.

2.Kata kunci yang menjadi penting dalam mewujudkan pembangunan kota adalah; potensi lokalitas (karakter kota), potensi budaya local (sosial komunitas kota), keberlanjutan pembangunan, serta proses pembangunan dalam arti luas.

3.Potensi lokalitas (karakter kota), budaya local serta kekhasan fisik tipo-morfologis kota merupakan potensi yang harus diperhatikan dalam proses perencanaan kota sebagai suatu kesatuan aspek kehidupan komunitas kota.

(9)

aspek nilai-nilai sosial-budaya dalam kota (City of purpose; City of causality and accountability; City of life and energy) serta aspek lingkungan kota

(City of ecological harmony; City of ingenuity and craft dan City of Beauty).

5.Status keistimewaan Nangro Aceh Darusalam menjadi penting untuk

dapat menjaga “keistimewaan” aceh sebagai kota Islami yang didasarkan pada nilai-nilai Islam. Walaupun demikian, sebagai sebuah kota yang berkembang dalam konteks mordernitas tidak dapat dipungkiri

terjadinya “heterogenitas” budaya

yang ikut mewarnai ke-kinaan Kota Banda aceh. Kajian kearifan lokal Banda Aceh diperlukan untuk mewujudkan karakter lokal kota Banda Aceh guna mempertahankan diri

sebagai “serambi Mekah”.

Referensi

1

Respati Wikantiyoso. 2007. Perencanaan dan

Perancangan Kota Sebagai Panduan

Pengembangan Kota; Antara idealisme dan

ketaatan Implementasinya. Pidato pengukuhan

Jabatan guru Besar. Malang: Unmer Malang.

2

Istilah yang dipopulerkan oleh Prof. Eko

Budiharjo. 1993. “ketunggal-rupaan” arsitektur

kota digunakan untuk menggambarkan

kecenderungan adanya keseragaman karakter arsitektur kota-kota di Indonesia.

Amos Rappoport. 1990. History and Precedent

in Environmental Design. New York: Plennum

Press. 5

Respati Wikantiyoso.2005. Paradigma

Perencanaan dan Perancangan Kota. Malang:

GKAK Jurusan Teknik Arsitektur Unmer Malang. 6

Chay Asdak. 2012. Kajian Lingkungan Hidup

Strategis: Jalan Menuju Pembangunan

Berkelanjutan. 7

Lang, R. (ed) (1986), Introduction in Integrated Approaches to Resources Planning

and Management, Canada: The University of

Calgary Pres. 8

Agus Dwi Wicaksono.2009. Perspektif Budaya

dalam Perencanaan Kota. dalam Respati

Wikantiyoso. 2009. Kearifan Lokal Dalam Perencanaan dan Perancangan Kota untuk

Mewujudkan Arsitektur Kota yang

Berkelanjutan. Malang: GKAK.

9

Lihat Aulia Fikriani dan Luluk M. 2007. Arsitektur Islam; Refleksi & Transformasi Nilai

Illahiyah. Malang: UIN Malang Press.

10

Lihat, al-Qur’an Surah al-A’raf, 7:123; al-Taubah, 9:101,120; Yusuf, 12:30; al-Hijr, 15:67;

al-Kahfi, 18:19, 82; al-Naml, 27:48;

al-Qashash, 28:15,18, 20; al-Ashab, 33:60; Yasin, 36:20; al-Munafiqun, 63:8.

11

Ahmad Zaki Hj. Abd Latiff. 1997. Perbandaran di Timur Tengah Kesannya terhadap Masyarakat

Islam Abad I-II Hijrah. Kuala Lumpur: Dewan

Future Civilizaztion. Dalam International

Conference on Islam Civilization, June 24-29.

Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo. 2006. Budaya

Masyarakat Aceh. Aceh: Badan Perpustakaan

Provinsi Nangro Aceh Darusalam. 18

Dikutip dari site http://syahmins.wordpress. com/ 2013/05/17/istana-darud-dunia/

19

Dirangkum dari Ryanis. Mengapa Aceh Digelar

Serambi Makkah? http://ryanis.wordpress.com/

2008/05/19/mengapa-aceh-digelar-serambi-makkah/

20

lukisan hasil imajinasi Sayed Dahlan Al-Habsyi yang menggambarkan istana Darud Dunia pada kurun 1496-1903.

21

H. Mohammad Said. 1981 ibid. 22

Lihat Gulzar Heidar. 1990. Urbanization and

the Future Civilizaztion. Dalam International

Conference on Islam Civilization, June 24-29.

Kuala Lumpur. 23

Dirangkum dari Gulzar Heidar. 1990. Urbanization and the Future Civilizaztion. Dalam International Conference on Islam

Gambar

Gambar 2. Madinah-al-Munawarah (Sumber:islamicencyclopedia.org)
Gambar 5.  Pusat Kota Banda Aceh dan  Lokasi Masjid Biturahhman (Sumber:  Google map, 2014)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis ragam (ANOVA) terhadap total hasil tangkapan untuk setiap shortening menunjukkan bahwa perlakuan shortening berpengaruh terhadap total hasil tangkapan.

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis estimasi penduduk yang memiliki dampak tertinggi terhadap kelas bahaya banjir genangan pengolahan Citra Landsat

Powered by

Goals, success, persistence, achievement, subconscious mind, success principles, planning, juggernau..

Uraikan materi yang menurut Anda anggap esensial tetapi tidak dijelaskan dalam bagian ini. ………

Berdasarkan analisis data, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara adalah nilai budi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pengendalian intern dan prinsip pengelolaan keuangan daerah secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kualitas laporan keuangan

4.4 Pengaruh Promosi Penjualan dan Kualitas Pelayanan Terhadap Keputysan Pembelian Dealer Yamaha Jaya Abadi Motor Secara Parsial