• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELECEHAN SEKSUAL Kebijakan Hak Hak Korb

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PELECEHAN SEKSUAL Kebijakan Hak Hak Korb"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH PELECEHAN SEKSUAL

(Kebijakan, Hak-Hak Korban,

dan Hambatan Mendapatkan Keadilan)

TUGAS

Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Kesehatan Reproduksi Remaja

Disusun Oleh : Arifah Septiane Mukti Asyifa Robiatul Adawiyah

Dhea Ayunanda Fitri Handayani Heny Fitriany Izattul Azijah

UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA (URINDO)

PROGRAM PASCA SARJANA (S2)

(2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pelecehan seksual merupakan perilaku atau tindakan yang menganggu

melecehkan dan tidak diundang yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang

terhadap pihak lain yang berkaitan langsung dengan jenis kelaminpihak yang

diganggunya dan dirasakan menurunkan martabat dan harga diri orang yang

diganggunya.

Di era modern seperti saat ini banyak sekali terjadi kejahatan terutama yang

berhubungan dengan seksualitas terutama yang dilakukan kepada seorang wanita hingga

hampir disetiap kasus pelecehan seksual wanitalah yang kebanyakan menjadi korbannya,

dengan berkembangnya tehnologi juga banyak pengaruhnya terhadap perilaku pelecehan

seksual, dan bahkan teknologi yang seharusnya sangat berguna bagi pendidikan bisa

menjadi media utama pelecehan seksual, seperti halnya media internet.

Seiring dengan berkembangnya zaman juga merubah pemikiran dari para penerus

generasi bangsa, anak-anak muda zaman sekarang cenderung senang mempertontonkan

dan mengumbar bagian-bagian tubuh mereka yang mengundang orang untuk melakukan

pelecehan seksual.

Dalam ilmu kesehatan mempelajari kesehatan reproduksi merupakan suatu hal

yang wajib bagi kita dan dilakukan secara teratur dan berkesinambungan banyak hal

yang harus kita pelajari dalam kesehatan reproduksi ini salah satunya adalah Pelecehan

Seksual.

1.2. Perumusan Masalah

1. Apa saja hukum-hukum yang mengatur tentang pelecehan seksual?

2. Apa saja hal-hal yang harus dilakukan ketika terjadi pelecehan seksual?

3. Apa saja faktor-faktor yang menjadi hambatan bagi korban pelecehan seksual dalam

memperoleh keadilan dan pemulihan?

1.3. Tujuan

1. Utuk mengetahui hukum-hukum yang mengatur tentang pelecehan seksual.

(3)

3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi hambatan bagi korban pelecehan

(4)

BAB II PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN PELECEHAN SEKSUAL

Sexual adalah hal-hal yang menyangkut seks/jenis kelamin, Harassment adalah

penggangguan ketenangan yang sifatnya tidak diundang oleh subject yang diganggu,

Leceh: membuat kecil, mengejek, merendahkan martabat. (kamus besar Bahasa

Indonesia). Pelecehan adalah tindakan menurunkan martabat.

Sexual Harassment (pelecehan seksual) menurut Advisory Commite Yale College

Grevance Board and New York, seperti dikutip oleh Judith Berman Bradenburg adalah

semua tingkah laku seksual atau kecenderungan untuk bertingkah laku seksual yang

tidak diinginkan oleh seseorang baik verbal (psikologis) atau fisik yang menurut si

penerima tingkah laku sebagai merendahkan martabat, penghinaan, intimidasi, atau

paksaan. Sedangkan menurut BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana

Nasional, 2012) pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang

berkonotasi atau mengarah kepada hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan

tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan reaksi negatif

seperti malu, marah, benci, tersinggung, dan sebagainya pada diri individu yang menjadi

korban pelecehan tersebut.

Defenisi seksualitas yang dihasilkan dari Konferensi APNET (Asia Pasific

Network For Social Health) di Cebu, Filipina 1996 mengatakan seksualitas adalah

sekpresi seksual seseorang yang secara sosial dianggap dapat diterima serta mengandung

aspek-aspek kepribadian yang luas dan mendalam. Seksualitas merupakan gabungan dari

perasaan dan perilaku seseorang yang tidak hanya didasarkan pada ciri seks secara

biologis, tetapi juga merupakan suatu aspek kehidupan manusia yang tidak dapat

dipisahkan dari aspek kehidupan yang lain (Semaoen, 2000).

Menurut Depkes RI pengertian seksualitas adalah suatu kekuatan dan dorongan

hidup yang ada diantara laki-laki dan perempuan, dimana kedua makhluk ini merupakan

suatu sistem yang memungkinkan terjadinya keturunan yang sambung menyambung

sehingga eksistensi manusia tidak punah (Abineno, 1999).

Perempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai kebutuhan seksual. Apabila

pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan atas dasar kesepakatan atau kesukarelaan

antara kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan), maka tidak akan timbul

(5)

seksual tidak dilakukan atas dasar kesukarelaan (misalkan ada unsur pemaksaan atau

kekerasan), maka akan menimbulkan permasalahan dan keresahan.

Pelecehan seksual merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang disampaikan

melalui kontak fisik maupun non fisik yang menyasar pada bagian tubuh seksual atau

seksualitas seseorang sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, merendahkan

martabat seseorang, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan

mengancam keselamatan.

Rentang pelecehan seksual ini sangat luas, yakni meliputi: main mata, siulan nakal,

komentar berkonotasi seks atau gender, humor porno, cubitan, colekan, tepukan atau

sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat seksual,

ajakan berkencan dengan iming-iming atau ancaman, ajakan melakukan hubungan

seksual hingga perkosaan. Pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.

Berdasarkan pengertian diatas tingkat pelecehan seksual dapat dibagi dalam tiga

tingkatan. Pertama, tingkatan ringan, seperti godaan nakal, ajakan iseng, dan humor

porno. Kedua, tingkatan sedang, seperti memegang, menentuh, meraba bagian tubuh tertentu, hingga ajakan serius untuk “berkencan”. Ketiga, tingkatan berat seperti perbuatan terang-terangan dan memaksa, penjamahan, pemaksaan kehendak, hingga

percobaan pemerkosaan. Sedang pemerkosaan itu sendiri sudah masuk dalam kategori

kejahatan seksual.

Meskipun pada umumnya korban pelecehan seksual adalah kaum perempuan bukan

berarti bahwa kaum pria kebal (tidak pernah mengalami) terhadap pelecehan seksual.

Seorang manusia, siapapun atau dari kalangan apapun, sejak lahir telah memiliki hak

yang melekat dalam dirinya yang harus dipenuhi dan dihormati oleh siapapun, yang

disebut hak asasi manusia. Salah satu hak asasi adalah hak untuk bebas dari penyiksaan

dan perilaku buruk. Pelecehan dan kekerasan seksual termasuk dalam penyiksaan dan

perilaku buruk. Oleh karena itu, kepada siapapun pelecehan seksual dilakukan, hal itu

selalu merupakan tindakan yang salah.

2.2. KATEGORI PELECEHAN SEKSUAL 1. Quid pro quo

Pelecehan seksual yang seperti ini adalah pelecehan seksual yang biasanya dilakukan

oleh seseorang yang memiliki kekuasaan otoritas terhadap korbannya, disertai

(6)

2. Hostile work environment

Pelecehan seksual yang terjadi tanpa janji atau iming-iming maupun ancaman.

Kategori pelecehan seksual menurut Nichaus:

1. Blitz rape yaitu pelecehan seksual yang terjadi sangat cepat, sedangkan pelaku tidak

saling kenal.

2. Confidence rape yaitu pelecehan seksual dengan penipuan, hal ini jarang dilaporkan

karena malu.

3. Power rape yaitu pelecehan seksual yang saling tidak mengenal, pelaku bertindak

cepat dan menguasai korban, dilakukan oleh orang yang berpengalaman dan yakin

korban akan menikmati.

4. Anger rape, yaitu pelecehan seksual dimana korban menjadi marah dan balas dendam.

5. Sadistie rape yaitu pelecehan seksual dengan ciri kekejaman atau sampai

pembunuhan

Pelecehan seksual memiliki berbagai bentuk. Secara luas, terdapat lima bentuk pelecehan

seksual menurut ILO (International Labour Organization) yaitu:

1. Pelecehan fisik termasuk sentuhan yang tidak diinginkan mengarah ke perbuatan

seksual seperti mencium, menepuk, mencubit, melirik atau menatap penuh nafsu.

2. Pelecehan lisan termasuk ucapan verbal/ komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang, lelucon dan

komentar bernada seksual.

3. Pelecehan isyarat termasuk bahasa tubuh dan atau gerakan tubuh bernada seksual, kerlingan yang dilakukan berulang-ulang, isyarat dengan jari, dan menjilat bibir.

4. Pelecehan tertulis atau gambar termasuk menampilkan bahan pornografi , gambar, screensaver atau poster seksual, atau pelecehan lewat email dan moda komunikasi

elektronik lainnya.

5. Pelecehan psikologis/emosional terdiri atas permintaan-permintaan dan ajakan-ajakan yang terusmenerus dan tidak diinginkan, ajakan-ajakan kencan yang tidak diharapkan,

(7)

2.3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELECEHAN SEKSUAL 1. Faktor Fisik

Klien dapat mengalami penurunan keinginan seksual karena alasan fisik, karena

bagamanapun aktivitas seks bisa menimbulkan nyeri dan ketidaknyamanan. Kondisi

fisik dapat berupa penyakit ringan/berat, keletihan, medikasi maupun citra tubuh.

Citra tubuh yang buruk, terutama disertai penolakan atau pembedahan yang

mengubah bentuk tubuh menyebabkan seseorang kehilangan gairah.

2. Faktor Hubungan

Masalah dalam berhubungan (kemesraan, kedekatan) dapat mempengaruhi hubungan

seseorang untuk melakukan aktivitas seksual.

Hal ini sebenarnya tergantung dari bagimana kemampuan mereka dalam

berkompromi dan bernegosiasi mengenai perilaku seksual yang dapat diterima dan

menyenangkan.

3. Faktor Gaya Hidup

Gaya hidup disini meliputi penyalahgunaan alkohol dalam aktivitas seks, ketersediaan

waktu untuk mencurahkan perasaan dalam berhubungan, dan penentuan waktu yang

tepat untuk aktivitas seks. Penggunaan alkohol dapat menyebabkan rasa sejahtera atau

gairah palsu dalam tahap awal seks dengan efek negatif yang jauh lebih besar

dibanding perasaan eforia palsu tersebut. Sebagian klien mungkin tidak mengetahui

bagaiman mengatur waktu antara bekerja dengan aktivitas seksual, sehingga pasangan

yang sudah merasa lelah bekerja merasa kalau aktivitas seks merupakan beban

baginya.

4. Faktor Harga Diri

Jika harga-diri seksual tidak dipelihara dengan mengembangkan perasaan yang kuat

tentang seksual-diri dan dengan mempelajari ketrampilan seksual, aktivitas seksual

mungkin menyebabkan perasaan negatif atau tekanan perasaan seksual. Harga diri

seksual dapat terganggu oleh beberapa hal antara lain: perkosaan, inses, penganiayaan

fisik/emosi, ketidakadekuatan pendidikan seks, pengaharapan pribadi atau kultural

yang tidak realistik. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual,

menurut Purnawan (2004) yang dikutip dari berbagai sumber antara lain:

a. Faktor Internal

(8)

Tingkat perkembangan Perbedaan kematangan seksual akan menghasilkan

perilaku seksual yang berbeda pula. Misalnya anak yang berusia 4-6 tahun

berbeda dengan anak 13 tahun.

2) Pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi

Anak yang memiliki pemahaman secara benar dan proporsional tentang

kesehatan reproduksi cenderung memahami resiko perilaku serta alternatif

cara yang dapat digunakan untuk menyalurkan dorongan seksualnya

3) Motivasi

Perilaku manusia pada dasarnya berorientasi pada tujuan atau termotivasi

untuk memperoleh tujuan tertentu. Hersey & Blanchard cit Rusmiati (2001)

perilaku seksual seseorang memiliki tujuan untuk memperoleh kesenangan,

mendapatkan perasaan aman dan perlindungan, atau untuk memperoleh uang

(pada gigolo/WTS)

b. Faktor Eksternal

1)Keluarga

Menurut Wahyudi (2000) kurangnya komunikasi secara terbuka antara orang

tua dengan remaja dapat memperkuat munculnya perilaku yang menyimpang

2)Pergaulan

Menurut Hurlock perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh lingkungan

pergaulannya, terutama pada masa pubertas/remaja dimana pengaruh teman

sebaya lebih besar dibandingkan orangtuanya atau anggota keluarga lain.

3)Media massa

Penelitian yang dilakukan Mc Carthi et al (1975), menunjukan bahwa

frekuensi menonton film kekerasan yang disertai adegan-adegan merangsang

berkolerasi positif dengan indikator agresi seperti konflik dengan orang tua,

berkelahi , dan perilaku lain sebagi manifestasi dari dorongan seksual yang

dirasakannya.

Sedangkan, faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual pada perempuan menurut

BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2012) dapat dilihat

dari sudut pandang pelaku, sudut pandang korban, dan lingkungan, yaitu:

a. Pelecehan seksual dilihat dari sudut pandang pelaku

Pelecehan seksual dilihat dari sudut pandang pelaku terjadi karena selama ini di

(9)

menempati posisi pekerjaan yang lebih rendah dari pada laki-laki. Penyebab

pelecehan seksual yang biasanya dilakukan oleh seseorang pelaku karena memiliki

kekuasaan atau kekuatan terhadap korbannya, dengan disertai imingiming pekerjaan

atau kenaikan penghasilan. Penyebab terjadinya pelecehan seksual yang lain karena

adanya kekuasaan serta penempatan posisi laki-laki lebih sering memungkinkan

untuk memperkerjakan perempuan, seperti: memecat, mengawasi dan

mempromosikan perempuan.

b. Pelecehan seksual dilihat dari sudut pandang yang menjadi korban

Tindak pelecehan seksual pada perempuan dapat terjadi dimana-mana, dan selalu

melibatkan interaksi lebih dari satu orang. Penyebab pelecehan seksual yang sering

terjadi karena adanya daya tarik seksual atau rangsangan yang dialami dua jenis

kelamin yang berbeda. Ditambah lagi perempuan yang menjadi korban tidak berani

menolak perlakuan karena takut kehilangan pekerjaan. Bidang pekerjaan bagi

perempuan umumnya terbatas, tidak seluas laki-laki. Karena keterbatasan itu

perempuan menjadi susah untuk menghindari tindak pelecehan yang diterimanya.

c. Faktor Lingkungan 1) Eksternal korban

Fenomena yang ada pada perilaku pelecehan seksual tersebut disebabkan oleh

banyak masalah pelecehan seksual yang di mengerti hanya sebagai masalah

perorangan serta kurang informasi pada masyarakat tentang masalah pelecehan

seksual. Kebanyakan masyarakat cenderung lebih menyalahkan kaum perempuan

sebagai korban sekaligus pemicu sehingga terjadi pelecehan seksual terhadapnya.

Penyebab terjadinya pelecehan seksual pada perempuan, dapat pula dikarenakan

adanya struktur sosial dan sosialisasi dalam masyarakat yang mengutamakan dan

menomorsatukan kepentingan dan cara pandang laki-laki, sekaligus adanya

anggapan perempuan sebagai jenis kelamin yang lebih rendah dan kurang bernilai

dibandingkan laki-laki.

2) Ruangan

Situasi ruangan juga menjadi faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual, jika

terdapat ruangan agak tertutup mempermudah terjadinya tindak pelecehan

seksual.

3) Interaksi

Interaksi juga merupakan penyebab terjadinya pelecehan seksual yang dialami

(10)

a) Biological Model (model biologis)

Pelecehan seksual terjadi karena adanya daya tarik seksual yang alamiah

antara dua jenis kelamin yang berbeda.

b) Organization Model (model organisasi)

Pelecehan seksual terjadi karena adanya faktor kekuasaan atau hubungan

atasan bawahan.

c) The Sosial Culture Model (model sosial budaya),

Pelecehan seksual terjadi karena perwujudan dari sistem patrialisme yang

lebih luas dimana laki-laki dianggap berkuasa.

2.4. DAMPAK DARI PELECEHAN SEKSUAL

Dampak pelecehan seksual secara garis besar dapat dibagi menjadi dampak fisik,

dampak psikologis, hingga dampak sosial.

Dampak fisik yang biasa ditimbulkan akibat pelecehan seksual, antara lain adanya

memar, luka, bahkan robek pada bagian-bagian tertentu. Pada perempuan, yang tentunya

sangat berat adalah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Dampak fisik lain

adalah kemungkinan penularan penyakit berupa infeksi menular seksual. Dampak

kejiwaan antara lain berupa kecurigaan dan ketakutan terhadap orang tertentu atau orang

asing, serta ketakutan pada tempat atau suasana tertentu. Dampak sosial yang dialami

korban, terutama akibat stigma atau diskriminasi dari orang lain mengakibatkan korban

ingin mengasingkan diri dari pergaulan. Perasaan ini timbul akibat adanya harga diri

yang rendah karena ia menjadi korban pelecehan seksual, sehingga merasa tidak

berharga, tidak pantas dan juga merasa tidak layak untuk bergaul bersama

teman-temannya.

Beberapa studi juga menunjukkan dampak pelecehan seksual sebagai berikut:

1. Dampak Psikologis

Beberapa penelitian menemukan bahwa korban pelecehan seksual merasakan

beberapa gejala yang sangat bervariasi, diantaranya merasa menurunnya harga diri,

menurunnya kepercayaan diri, depresi, kecemasan, ketakutan terhadap perkosaan

serta meningkatnya ketakutan terhadap tindakan-tindakan kriminal lainnya.

Adapun berdasarkan data pelecehan seksual dimana korbannya adalah pelajar, didapatkan ”Sindrom Pelecehan Seksual” yang berhubungan dengan gejala psikologi, mencakup depresi, rasa tidak berdaya, merasa terasing (isolasi), mudah marah, takut,

(11)

2. Dampak Fisik

Dampak fisik berikut ini telah tercatat dalam literatur yang membahas tentang

pelecehan seksual di antaranya yaitu sakit kepala, gangguan makan, gangguan

pencernaan (perut), rasa mual, serta menurun atau bertambahnya berat badan tanpa

sebab yang jelas.

Jika telah terjadi pelecehan seksual yang terbilang serius, selain mengalami sakit

kepala, gangguan makan, gangguan pencernaan (perut), dan naik turunnya berat

badan, dapat pula timbul kecenderungan bunuh diri pada korban. Ini semua terjadi

karena perbuatan tersebut menimbulkan rasa bersalah pada diri sendiri yang amat

sangat.

3. Dampak Sosial

Dampak pelecehan seksual di tempat kerja adalah menurunnya kepuasaan kerja,

mengganggu kinerja, mengurangi semangat bekerja, menurunnya produktivitas kerja,

merusak hubungan antara teman/rekan kerja, menurunnya tingkat kepercayaan diri,

dan menurunnya motivasi.

Korban pelecehan seksual di tempat kerja juga dapat memiliki komitmen yang rendah

terhadap tempat kerjanya, dan korban dengan tingkat frekuensi pelecehan yang tinggi

lebih memilih untuk mengundurkan diri dari pekerjaan mereka.

2.5. HUKUM YANG MENGATUR TENTANG PELECEHAN SEKSUAL

Pelecehan seksual merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang telah

dijamin dalam konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Secara khusus, tindak pelecehan seksual merampas hak korban sebagai warga

negara atas jaminan perlindungan dan rasa aman yang telah dijamin di dalam konstitusi

pada Pasal 28G(1). Karena seringkali lahir dari ketimpangan kekuasaan antara laki-laki

dan perempuan, pembiaran terhadap terus berlanjutnya pelecehan seksual terhadap

perempuan merampas hak perempuan sebagai warga negara untuk bebas dari perlakuan

diskriminatif dan untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif itu

(Pasal 28I(2)). Akibat dari pelecehan seksual itu, korban dapat kehilangan hak untuk

hidup sejahtera lahir dan batin (Pasal 28H(1)), hak untuk bebas dari penyiksaan atau

perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia (Pasal 28G(2)), dan bahkan

mungkin kehilangan haknya untuk hidup (Pasal 28A). Banyak pula korban yang

(12)

adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 27(1) dan Pasal 28D(1)) karena

tidak dapat mengakses proses hukum yang berkeadilan.

Bahwa pelecehan seksual menyebabkan perampasan pada sejumlah hak warga

negara menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan penanganannya adalah amanat

Undang-Undang. Negara adalah pihak utama yang bertanggung jawab untuk memenuhi

hak-hak konstitusional berdasarkan Undang-Undang itu.

Mandat pemenuhan hak-hak tersebut juga telah ditegaskan dan diterjemahkan

dalam berbagai landasan hukum, di antaranya:

 Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi tentang

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan

 Undang-Undang No.5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Anti Penyiksaan dan Perlakuan

atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat

Manusia

 Undang-Undang No. 24 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga

 Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 289, Pasal

291, Pasal 294;

 Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365 tentang Perbuatan Melawan Hukum

(sebutkan isi dari pasal tersebut)

Landasan Hukum Kekerasan Seksual Internasional:

 Statuta Roma Pasal 7 ayat 2 (g), Pasal 69 ayat 1 & 2, Pasal 68.

 Resolusi PBB 1820 tentang Kekerasan Seksual dalam Konflik Bersenjata.

 Deklarasi penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan (ICPD) pada bulan

Desember 1993.

 Deklarasi Wina Tahun 1993  Konferensi Beijing 1995

2.6. HAL-HAL YANG DILAKUKAN KETIKA TERJADI PELECEHAN SEKSUAL Seperti telah dijelaskan sebelumnya, rentang bentuk pelecehan seksual sangat

luas, mulai dari bentuk visual, verbal, hingga fisik. Dilaporkan atau tidaknya pelecehan

(13)

bentuk fisik yang ringan misalnya sentuhan, menyenggol, mendekatkan tubuh) ke pihak

yang berwajib sangat bergantung pada masing-masing individu dan hal ini sifatnya

sangat beragam, yakni sejauh mana hal tersebut mengakibatkan rasa tidak nyaman atau

merendahkan martabat korban. Bentuk-bentuk seperti ini pada tahap awal dapat

diadukan ke pihak yang dapat melindungi korban, misalkan guru, orang tua atau orang

yang dipercaya oleh korban.

Untuk pelecehan seksual bentuk fisik yang lebih berat, khususnya yang terdapat

unsur pemaksaan dan kekerasan di dalamnya, hendaknya dilaporkan ke pihak yang

berwajib. Jika mengalami kekerasan, korban hendaknya tidak melenyapkan, tidak

membuang dan tidak menghilangkan bekas-bekas atau barang bukti kekerasan. Korban

harus segera melaporkan diri ke polisi. Bila korban enggan melapor sendirian ke kantor

polisi, korban harus segera mengadukan hal ini ke pihak yang dapat melindungi korban,

misalkan guru, orang tua, orang lain yang dipercaya oleh korban ataupun rekan sebaya

untuk selanjutnya bersama korban melapor ke kantor polisi terdekat.

Polisi akan melakukan upaya penegakan hukum untuk kasus yang dialami korban,

termasuk membuat surat permintaan visum agar korban dapat segera diperiksa oleh

dokter di Rumah Sakit terdekat dan mendapatkan visum. Jika membutuhkan

perlindungan ataupun pendampingan dalam proses pelaporan dan permintaan visum,

korban juga dapat dipandu untuk menghubungi atau datang langsung ke Pusat Pelayanan

Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Woman Crisis Center atau

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terdekat.

2.7.FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI HAMBATAN BAGI KORBAN

PELECEHAN SEKSUAL DALAM MEMPEROLEH KEADILAN DAN

PEMULIHAN

Secara umum menurut Komnas Perempuan, ada empat faktor penentu perempuan

korban perkosaan dalam mengakses keadilan dan pemulihan, yaitu faktor personal,

sosial budaya, hukum dan politik. Keempat faktor ini saling kait-mengait dan

menentukan tingkat kepercayaan korban untuk melaporkan kasusnya, menuntut keadilan

(14)

Di tingkat personal, perempuan korban perkosaan bisa menderita trauma mendalam

akibat perkosaan yang ia alami. Trauma ini dapat termanifestasi pada kehilangan ingatan

pada peristiwa yang dialaminya, kehilangan kemampuan bahasa, gangguan kejiwaan,

rasa takut yang luar biasa, atau keinginan untuk melupakan dengan tidak membicarakan

peristiwa yang melukainya itu. Kesemua hal ini menyebabkan korban tidak mampu atau

tidak bersedia untuk melaporkan kasusnya.

Faktor sosial budaya seperti konsep moralitas dan aib mengakibatkan masyarakat

cenderung menyalahkan korban, meragukan kesaksian korban atau mendesak korban untuk bungkam. Pada sejumlah masyarakat, konsep “AIB” juga dikaitkan dengan konsep nasib sial dan karma. Perempuan korban perkosaan dianggap bernasib sial karena harus

menanggung balasan dari tindak kejahatan yang pernah dilakukan oleh keluarga atau

para leluhurnya. Menceritakan tindak kekerasan seksual yang ia alami dianggap

membongkar aib yang ada di dalam keluarganya. Situasi ini pula yang mendorong

keluarga untuk mengambil keputusan bagi korban untuk tidak melapor. Cara pikir tentang “aib” seringkali menyudutkan korban, dikucilkan, atau diusir dari lingkungannya atau bahkan dipaksa untuk menjalani hidupnya dengan pelaku kekerasan, misalnya

dengan memaksakanperempuan korban menikahi pelakunya.

Pada faktor hukum, ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam memahami hambatan

yang dihadapi korban yaitu aspek substansi, struktur dan budaya hukum. Di tingkat

substansi, sekalipun ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi, berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia,

ataupun pengakuan pada tindak kekerasan tersebut masih belum utuh. Dalam konteks

perkosaan, hukum Indonesia hanya mengakomodir tindak pemaksaan hubungan seksual

yang berbentuk penetrasi penis ke vagina dan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat

penetrasi tersebut.Padahal, ada banyak keragaman pengalaman perempuan akan

perkosaan, sehingga perempuan tidak dapat menuntut keadilan dengan menggunakan

hukum yang hanya memiliki definisi sempit atas tindak perkosaan itu.

Di tingkat struktur, lembaga penegak hukum mulai membuat unit dan prosedur khusus

untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual.

Sayangnya, unit dan prosedur ini belum tersedia di semua tingkat penyelenggaraan

hukum dan belum didukung dengan fasilitas yang memadai. Di tingkat kultur atau

(15)

tentang moralitas dan kekerasan seksual. Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak

menunjukkan empati pada perempuan korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan

korban. Pertanyaan seperti memakai baju apa, sedang berada dimana, dengan siapa jam

berapa merupakan beberapa pertanyaan yang kerap ditanyakan oleh aparat penegak

hukum ketika menerima laporan kasus perkosaan. Pertanyaan semacam itu tidak saja

menunjukkan bahwa tiadanya perspektif korban tapi juga bentuk mengakimi korban dan

menjadikan korban mengalami kekerasan kembali (reviktimisasi).

Persoalan lain yang seringkali muncul adalah tersedia tidaknya perlindungan saksi dan

korban yang mumpuni. Pada sejumlah kasus, korban tidak mau melaporkan kasusnya

karena kuatir balas dendam pelaku. Korupsi dalam proses penegakan hukum yang begitu

mengurat akar juga menjadi hambatan bagi perempuan korban yang kehilangan

keyakinan bahwa ia akan memperoleh proses hukum yang adil dan terpercaya.

Faktor lain yang mempengaruhi akses perempuan korban perkosaan pada proses mencari

keadilan dan pemulihan adalah faktor politik. Dalam konteks konflik, proses

pengungkapan kebenaran sangat ditentukan oleh itikad baik politik (good will)

penyelenggara negara. Hal ini karena kasus kekerasan tersebut melibatkan aparat negara

sebagai pelaku kekerasan dan terkait dengan adanya kebijakan-kebijakan negara yang

memungkinkan kekerasan tersebut terjadi dan terus berulang. Dalam konteks Tragedi

Mei 1998, misalnya, sikap negara membiarkan peristiwa kekerasan dan diskriminasi

terhadap masyarakat etnis Tionghoa, dan pada kontroversi tentang ada tidaknya

perkosaan pada rangkaian peristiwa kerusuhan Mei 1998 menyebabkan perempuan

korban semakin enggan untuk mengungkapkan kasusnya. Dalam konteks Aceh, Tragedi

1965 dan Timor Leste, misalnya, sikap negara pada penuntasan pelanggaran HAM masa

lalu terus mendua dan membiarkan korban yang telah mengungkapkan kasusnya terus

menunggu tanpa batas waktu kapan proses keadilan akan diawali dengan

sungguh-sungguh.

Masih terdapat berbagai hambatan bagi korban pelecehan seksual dalam mengakses

keadilan dan pemulihan. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini menurut BKKBN

antara lain:

 Korban kekerasan bisa menderita trauma mendalam akibat pelecehan seksual yang

ia alami. Trauma ini dapat termanifestasi pada kehilangan ingatan pada peristiwa

(16)

yang luar biasa, atau keinginan untuk melupakan dengan tidak membicarakan

peristiwa yang melukainya itu. Kesemua hal ini menyebabkan korban tidak mampu

atau tidak bersedia untuk melaporkan kasusnya.

 Konsep moralitas dan aib mengakibatkan masyarakat cenderung menyalahkan korban, meragukan kesaksian korban atau mendesak korban untuk bungkam. Pada

sejumlah masyarakat, konsep aib juga dikaitkan dengan konsep nasib sial dan karma.

Korban dianggap bernasib sial karena harus menanggung balasan dari tindak

kejahatan yang pernah dilakukan oleh keluarga atau para leluhurnya, khususnya pada

kasus pelecehan berat. Menceritakan tindak pelecehan seksual yang ia alami

dianggap membongkar aib yang ada di dalam keluarganya. Situasi ini pula yang

mendorong keluarga untuk mengambil keputusan bagi korban untuk tidak melapor. Cara pikir tentang “aib” seringkali menyudutkan korban, dikucilkan, atau diusir dari lingkungannya atau bahkan dipaksa untuk menjalani hidupnya dengan pelaku

pelecehan, misalnya dengan memaksakan korban menikahi pelakunya.

 Sekalipun ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, berbagai jenis pelecehan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia,

ataupun pengakuan pada tindak pelecehan tersebut masih belum utuh. Misalnya saja

tentang perkosaan, hukum Indonesia hanya mengakomodir tindak pemaksaan

hubungan seksual yang berbentuk penetrasi penis ke vagina dan dengan bukti-bukti

kekerasan fisik akibat penetrasi tersebut. Padahal, ada banyak keragaman

pengalaman perempuan akan perkosaan, sehingga perempuan tidak dapat menuntut

keadilan dengan menggunakan hukum yang hanya memiliki pengertian yang sempit

atas tindak pelecehan seksual itu.

 Lembaga penegak hukum mulai membuat unit dan prosedur khusus untuk

menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya pelecehan seksual.

Sayangnya, unit dan prosedur ini belum tersedia di semua tingkat penyelenggaraan

hukum dan belum didukung dengan fasilitas yang memadai.

 Adanya penyelenggara hukum yang mengadopsi cara pandang masyarakat tentang

moralitas dan pelecehan seksual. Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak

menunjukkan empati pada perempuan korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan

korban. Persoalan lain adalah masalah ketersediaan perlindungan saksi dan korban

yang memadai. Pada sejumlah kasus, korban tidak mau melaporkan kasusnya karena

(17)

penegakan hukum juga dapat menjadi hambatan bagi korban yang kehilangan

keyakinan bahwa ia akan memperoleh proses hukum yang adil dan terpercaya.

2.8. CARA MENCEGAH DAN MENANGANI PELECEHAN SEKSUAL

Karena pelecehan seksual kerap direkatkan dengan persoalan moralitas, peran

serta masyarakat dan rekan sebaya untuk membantu korban agar memperoleh keadilan

dan pemulihan adalah krusial. Peran serta ini terutama penting untuk menguatkan korban

agar tidak membungkam, namun tidak berarti memaksa korban untuk bicara di hadapan

publik. Juga, untuk memastikan korban mendapat dukungan dalam proses pemulihannya

yang sangat terkait dengan keyakinan bahwa ia tidak akan disalahkan, dianggap sebagai aib, terbebani oleh stigma sebagai “barang rusak” dan atau dikucilkan.

Penyikapan ini sungguh berarti bagi korban pelecehan seksual. Langkah awal

untuk penyikapan ini tentunya dengan mengenali pelecehan seksual, akar masalah dan

dampaknya.

Beberapa cara yang dapat dilakukan oleh anggota masyarakat untuk ikut

mencegah dan menangani pelecehan seksual antara lain :

 Bangun pemahaman tentang pelecehan seksual

 Jangan tinggal diam bila mengetahui adanya tindak pelecehan seksual. Segera laporkan pada pihak berwajib

 Temani korban pelecehan seksual, bangun keyakinan korban untuk tidak

menyalahkan dirinya sendiri

 Temani dan dukung korban bila ia hendak melapor. Bila korban enggan melapor,

jangan dihakimi keputusannya itu.

 Berikan informasi kepada korban hak-haknya dan juga keberadaan lembaga-lembaga

yang dapat ia hubungi untuk memperoleh informasi lebih lanjut ataupun masukan

bagi upaya pencarian keadilan dan pemulihan

 Berikan informasi tentang pelecehan seksual kepada anggota keluarga,

teman,tetangga, teman sekerja atau lainnya

 Ajak mereka untuk ikut mendukung korban dengan cara tidak menyalahkan korban,

tidak menstigma, tidak mengucilkan apalagi mengusir korban

 Ikut serta dalam advokasi perubahan hukum untuk kepentingan korban pelecehan,

(18)

 Dukung kerja-kerja lembaga pengada layanan bagi korban pelecehan dengan mengumpulkan informasi tentang pelecehan seksual yang terjadi disekelilingnya,

memberikan dukungan, ikut serta dalam kampanye atau dalam penggalangan dana

bagi penanganan korban.

Sedangkan usaha yang dapat dilakukan orang tua kepada anaknya untuk

menghindari terjadinya pelecehan seksual adalah sebagai berikut:

1. Ajarkan kepada anak mengenai perbedaan antara sentuhan yang baik dengan sentuhan

yang buruk dari orang dewasa.

2. Beritahu anak mengenai bagian tubuh tertentu yang tak boleh disentuh oleh orang

dewasa kecuali saat mandi atau pemeriksaan fisik oleh dokter.

3. Ajarkan kepada anak untuk mengatakan ’tidak’ jika merasa tidak nyaman dengan

perlakuan orang dewasa dan menceritakan kejadian itu kepada orang dewasa yang

meraka percaya.

4. Ajarkan bahwa orang dewasa tidak selalu ’benar’, dan semua orang mempunyai

kontrol terhadap tubuh mereka, sehingga ia dapat memutuskan siapa yang boleh atau

tidak boleh untuk memeluknya.

Jika terjadi pelecehan seksual pada anak, beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Ciptakan kondisi sehingga anak merasa leluasa dalam menceritakan tentang bagian

tubuhnya dan menggambarkan kejadian dengan akurat.

2. Yakinkan anak bahwa orang dewasa yang melakukannya adalah salah, sedangkan

anaknya sendiri adalah benar.Orang tua harus bisa mengkontrol ekspresi emosional

didepan anak.

2.9. TINDAKAN YANG DAPAT DILAKUKAN UNTUK MENANGANI KORBAN PELECEHAN SEKSUAL

Beberapa tindakan dapat dilakukan untuk menangani dampak yang dialami korban

pelecehan seksual.

1. Perlindungan dan penanganan secara fisik (contohnya penyembuhan atau terapi oleh

dokter).

2. Perlindungan dan penanganan kejiwaan (bisa dengan konsultasi, terapi kejiwaan

(19)

3. Secara sosial dengan memberi dukungan sosial dan emosional, menerima

kehadirannya, membicarakan sesuatu yang sesuai dengan pemahamannya

sehari-hari, serta memberikan kesempatan untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan di

(20)

BAB III PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Pelecehan Seksual adalah perilaku atau tindakan yang mengganggu,

menjengkelkan dan tidak diundang yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang

terhadap pihak lain, yang berkaitan langsung dengan jenis kelamin pihak yang

diganggunya dan dirasakan menurunkan martabat dan harkat diri orang yang

diganggunya.

Pelecehan Seksual terjadi disebabkan karena faktor-faktor tertentu, diantaranya:

faktor gaya hidup dan hubungan, pelecehan seksual tidak akan terjadi apabila seseorang

bisa menjaga dirinya baik itu dari hal hubungan ataupun gaya hidup bahkan media masa

dan pergaulan antar sesama pun bisa mengakibatkan terjadinya pelecehan seksual.

Dampak pelecehan seksual secara garis besar dapat dibagi menjadi dampak fisik,

dampak psikologis, hingga dampak sosial. Maka dari itu, pelecehan seksual merupakan

pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang telah dijamin dalam konstitusi kita,

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3.2. SARAN

Telah kita ketahui bahwa semakin majunya perkembangan zaman, maka semakin maju

pula peradaban manusia dan semakin banyak pula kejadian-kejadian yang tidak

diinginkan yang terjadi pada setiap manusia, diantaranya termasuk pelecehan seksual.

Oleh karena itu dari uraian-uraian pada halaman-halaman sebelumnya, kami

menyarankan :

Untuk orang tua:

1. Ajarkan kepada anak mengenai perbedaan antara sentuhan yang baik dengan

sentuhan yang buruk dari orang dewasa.

2. Beritahu anak mengenai bagian tubuh tertentu yang tak boleh disentuh oleh orang

dewasa kecuali saat mandi atau pemeriksaan fisik oleh dokter.

3. Ajarkan kepada anak untuk mengatakan ’tidak’ jika merasa tidak nyaman dengan

perlakuan orang dewasa dan menceritakan kejadian itu kepada orang dewasa yang

(21)

Untuk anggota masyarakat:

Peran serta masyarakat sangat penting untuk menguatkan korban agar tidak

membungkam, namun tidak berarti memaksa korban untuk bicara di hadapan publik.

Juga, untuk memastikan korban mendapat dukungan dalam proses pemulihannya yang

sangat terkait dengan keyakinan bahwa ia tidak akan disalahkan, dianggap sebagai aib,

terbebani oleh stigma sebagai “barang rusak” dan atau dikucilkan.

Untuk korban pelecehan seksual: 1. Buat jurnal kejadian

2. Cari informasi tentang si peleceh dan orang-orang sekitarnya

3. Buat pernyataan tertulis kepada si peleceh bahwa anda tidak suka dengan perilakunya

4. Hubungi pihak berwenang atau yang mempunyai kedudukan seperti polisi/bos/orang

(22)

DAFTAR PUSTAKA

1. Asian Decent Work decade 2006-2015. Declaration on Fundamental Principles and

Rights at Work. ILO

2. BKKBN, 2013. Buku Suplemen Bimbingan Teknis Kesehatan Reproduksi Pelecehan

Seksual. Jakarta: ISBN.

3. Department of Defense United State of America, 2015. Annual Report on Sexual

Harassment and Violence at the Military Service Academies. USA: department of

Defense USA

4. Dharma, Willieano Satya. 2008. Pelecehan Seksual Pada Wanita Di Tempat Kerja.

Universitas Gunadarma.

5. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2011. Pedoman Pencegahan Pelecehan

Seksual di Tempat Kerja. Jakarta: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

6. Kinasih, Sri Endah. 2007. Perlindungan dan Penegakan HAM terhadap Pelecehan

Seksual. Surabaya: Universitas Airlangga.

7. Komnas Perempuan Grup, 2014. 15 Bentuk Kekerasan Seksual, komnas perempuan.

Jakarta

8. Komnas Perempuan (2008), National Commission on Violence against Women, 2010.

9. Komnas Perempuan (2010), “National Commission on Violence against Women,2010”.

10.UNESCO, UNAIDS, UNFPA, UNICEF, WHO. 2009. International Technical Guidance

Referensi

Dokumen terkait

Kalor ideal yang harus disediakan dari pembakaran briket untuk dapat melebur logam kuningan (m lc ) adalah jumlah kalor untuk melebur kuningan hingga temperatur

Benturan tersebut antara pengaturan mengenai syarat tidak pernah dinyatakan pailit yang terdapat pada pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

penelitian menunjukkan bahwa profitabilitas, time interest earned memiliki pengaruh signifikan terhadap struktur modal sedangkan ukuran perusahaan, risiko usaha dan pertumbuhan

Praktik Pengalaman Lapangan meliputi semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sabagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh

Jadi, dalam pemilihan warna pada mobil ataupun desain visual yang ingin di pasarkan kepada customer, Mercedes Benz dalam setiap desain visual yang ditampilkan

Kecamatan Luas Mina Padi (Ha.) Karper Produksi (Kw.) Nilai (Ribu Rp) 257 Temanggung Dalam Angka Tahun

Väritys jatkuu samana. Kuvan tun- nelma on muuttunut yllättyneeksi, hämmentyneeksi, pelokkaaksi ja vi- haiseksi. Halise näyttää yllättyneeltä, Heinähattu vihaiselta, Helga hieman

Operating Assets Turnover area Lintasarta yang tertinggi adalah pada tahun 2010 sebesar 1.90 kali, artinya menunjukkan tingkat efektifitas operasional Lintasarta