BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
senantiasa harus dijaga karena di dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak
sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari
hak asasi manusia yang termuat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan
bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa,
sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang,
berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindakan kekerasan dan diskriminasi
serta hak sipil dan kebebasan.1
Munculnya permasalahan hak asasi manusia menurut Burns H. Weston
disebabkan dua hal, pertama bahwa manusia dimana-mana menuntut realisasi dari
bermacam-macam nilai guna memastikan kesejahteraan individual dan kolektif
mereka. Kedua, tuntutan-tuntutan terhadap kesejahteraan individual dan kolektif
tersebut sering diabaikan sehingga mengakibatkan eksploitasi, penindasan,
penganiayaan dan bentuk-bentuk perampasan lain.2
1
Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, (Bandung: Fokus Media, 2010), hal. 35
2
Hak-hak anak secara universal telah ditetapkan melalui Sidang Umum PBB
pada tanggal 20 November 1959, dengan memproklamasikan deklarasi hak-hak anak.
Dengan deklarasi tersebut, diharapkan semua pihak mengakui hak-hak anak dan
mendorong semua upaya untuk memenuhinya. Ada sepuluh prinsip tentang hak anak
menurut deklarasi tersebut, yaitu:3
1. Prinsip 1 : Setiap anak harus menikmati semua hak yang tercantum dalam
deklarasi ini tanpa terkecuali, tanpa perbedaan dan diskriminasi;
2. Prinsip 2 : Setiap anak harus menikmati perlindungan khusus, harus diberikan
kesempatan dan fasilitas oleh hukum atau oleh peralatan lain, sehingga mereka
mampu berkembang secara fisik, mental, moral dan spiritual, dan sosial dalam
cara yang sehat dan normal;
3. Prinsip 3 : Setiap anak sejak dilahirkan harus memiliki nama dan indentitas
kebangsaan;
4. Prinsip 4 : Setiap anak harus menikmati manfaat dari jaminan sosial;
5. Prinsip 5 : Setiap anak baik secara fisik, mental, dan sosial mengalami kecacatan
harus diberi perlakuan khusus, pendidikan dan pemeliharaan sesuai dengan
kondisinya;
6. Prinsip 6 : Setiap anak bagi perkembangan pribadinya secara penuh dan
seimbang memerlukan kasih sayang dan pengertian;
7. Prinsip 7 : Setiap anak harus menerima pendidikan secara cuma-cuma dan atas
dasar wajib belajar;
3
8. Prinsip 8 : Setiap anak dalam situasi apapun harus menerima perlindungan dan
bantuan yang pertama;
9. Prinsip 9 : Setiap anak harus dilindungi dari setiap bentuk keterlantaran,
tindakan kekerasan dan eksploitasi;
10. Prinsip 10 : Setiap anak harus dilindungi dari setiap praktek diskriminasi
berdasarkan rasial, agama dan bentuk-bentuk lainnya.
Bangsa Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian terhadap
perlindungan anak karena amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28 B (2)
menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang,
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 33 (1) menyatakan bahwa
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan
kejam yang tidak manusiawi”5, sedangkan Pasal 29 (1) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak
miliknya”.6
Anak sebagai bagian dari generasi muda seharusnya perlu dibina secara terus
menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan fisik, mental dan sosial serta
perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa
4
Pasal 28 B (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945
5
Pasal 33 (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
6
di masa depan.7
Pemerintah Indonesia ikut meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990
melalui suatu keputusan Presiden yaitu KEPRES No. 36/1990. Setelah 12 tahun
Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak, tepatnya pada tanggal 25 Agustus 1990,
Indonesia belum mempunyai peraturan perundang-undangan tentang perlindungan
anak yang berorientasi pada Konvensi Hak Anak. Kemudian, pada tanggal 22
Oktober 2002, Indonesia menetapkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang berorientasi pada hak-hak anak seperti yang tertuang dalam
Konvensi Hak Anak. Sejak saat itu pula Indonesia mengakui bahwa anak memiliki
beberapa hak yang terdapat di dalamnya, khususnya masalah eksploitasi seksual
komersial anak.
Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, anak memiliki hak-hak
sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh peraturan
perundang-undangan. Anak perlu mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal. Namun, seiring dengan perkembangan
zaman, bangsa Indonesia dihadapkan dengan kejahatan eksploitasi seksual komersial
anak yang menjadi fenomena global dan merupakan suatu kejahatan yang
memberikan dampak buruk hampir diseluruh belahan dunia terutama terhadap anak.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah salah
satu bagian dari mengoperasionalkan Konvensi Hak Anak. Hal tersebut dikarenakan
7
undang-undang tersebut didasari oleh 4 (empat) prinsip umum Konvensi Hak Anak
antara lain:
1. Prinsip non-diskriminasi;8
2. Prinsip kepentingan terbaik anak;9
3. Prinsip hak anak yang merupakan kodrat hidup dan kewajiban negara-negara
peserta untuk menjamin semaksimal mungkin kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang anak;10
4. Prinsip partisipasi anak.11
8
Pasal 2 Konvensi Hak Anak menyatakan: 1. “Negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini terhadap anak dalam setiap wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain, asal usul bangsa, suku bangsa atau sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status lain dari anak atau dari orang tua anak atau walinya yang sah menurut hukum”. 2. ”Negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah yang layak untuk menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikukuhkan atau kepercayaan orang tua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya.
9
Pasal 3 (1) Konvensi Hak Anak menyatakan “ Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, kepentingan terbaik anak akan merupakan pertimbangan utama”. 2. “Negara- negara peserta akan berupaya untuk menjamin adanya perlindungan dan perawatan sedemikian rupa yang diperlukan untuk kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua dan anak, walinya yang sah, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab atas anak yang bersangkutan, dan untuk maksud ini, akan mengambil semua tindakan legislatif dan administrasi yang layak”. 3. “Negara-negara peserta akan menjamin bahwa lembaga-lembaga, instansi-instansi, dan fasilitas-fasilitas yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dan perlindungan anak, akan menyesuaikan diri dengan norma-norma yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, terutama dalam bidang keselamatan, kesehatan, baik dalam jumlah maupun petugas yang sesuai, jumlah dan keserasian petugas mereka, begitu pula pengawasan yang berwenang.
10
Pasal 6 (1) Konvensi Hak Anak menyatakan: “Negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang merupakan kodrat hidup.” (2). “Negara-negara peserta semaksimal mungkin akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan anak.
11
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam
Pasal 13 (1) menyebutkan bahwa “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua,
wali, atau pihak lain maupun yang bertanggungjawab atas pengasuhan berhak
mendapatkan perlidungan dari perlakuan:
a. Diskriminasi;
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. Penelantaran;
d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan;
e. Ketidakadilan; dan
f. Perlakuan salah lainnya”.12
Pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga
menyebutkan bahwa:13
“Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran”.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan
pemahaman bahwa begitu banyak kejahatan dan permasalah yang mengancam anak
dan hak-hak anak. Namun, dari sekian banyak permasalahan anak yang ada, hal yang
12
Pasal 13 (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
13
menjadi fokus dalam tulisan ini adalah mengenai masalah kejahatan eksploitasi
seksual komersial anak. Hal tersebut dikarenakan, pertama, eksploitasi seksual
komersial anak merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak anak dan mencakup
praktek-praktek kriminal yang merendahkan dan mengancam integritas fisik dan
psikososial anak.
Berbagai definisi telah mengarahkan bahwa pengertian eksploitasi seksual
komersial anak merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak-hak anak. Agenda Aksi
Stokholm yang merupakan instrumen internasional pertama yang bertujuan untuk
menghapuskan eksploitasi seksual komersial anak yang diselenggarakan di Stokholm
pada tahun 1996 mendefinisikan eksploitasi seksual komersial anak sebagai:14
“Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai sebuah objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi Seksual Komersial Anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak, dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern”
Kejahatan eksploitasi seksual komersial anak merupakan suatu kejahatan
dimana anak sebagai korban diperlakukan sebagai sebuah komoditas yang dapat
diperjualbelikan. Dalam hal ini anak sebagai korban dirampas hak-haknya bahkan
beresiko tinggi terhadap gangguan jasmani, rohani dan sosialnya serta memberikan
pengaruh yang buruk terhadap masa depan anak yang menjadi korban.
14
Terdapat tiga bentuk eksploitasi seksual komersial anak yaitu prostitusi anak,
pornografi anak, dan perdagangan anak (trafficking) anak untuk tujuan seksual.15 Trevor Buck juga menyebutkan bahwa ada tiga bentuk eksploitasi seksual
komersial anak. Hal tersebut sesuai dengan Optional Protocol to the Convention on
The Rights of Child on the Sale of Children, Child Prostitution, and Child
Pornography. Trevor Buck menyebutkan:
“There are a number of provisions of the Convention on the Rights of the
Child that relate to the issues of the sale of children, child prostitution and child pornography: Art 11 (illicit transfer of children aboard), 21 (regulation of adoption), 32 (economic exploitation), 33 (illicit of drugs), 34 (sexual exploitation), 35 (sale and traffick in children) and 36 (other exploitation of children). There has been increasing international concern about the phenomenon of “sex tourism” that contributes to the sale of children, child prostitution, and child pornography.”16
Bentuk-bentuk eksploitasi seksual komersial anak ini merupakan bentuk
transaksional seksual dimana seorang anak terlibat dalam kegiatan seksual dapat
memiliki kebutuhan utama yang terpenuhi seperti makan, tempat tinggal, dan akses
ke pendidikan. Ini merupakan suatu bentuk transaksional dimana kekerasan seksual
terhadap anak tidak dihentikan atau dilaporkan oleh anggota keluarga karena manfaat
yang diperoleh oleh pihak keluarga dari pelaku.
Berdasarkan pemetaan yang dilakukan terhadap ketiga bentuk eksploitasi
seksual komersial anak yang dilakukan di Indonesia pada tahun 1997 sampai dengan
15
Lampiran I Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak tanggal 30 Desember 2002
16
1998, ketiga bentuk eksploitasi seksual komersial anak tersebut ditemukan dengan
skala dan intensitas yang berbeda. Pada masalah prostitusi anak, diperkirakan sekitar
30 % dari total prostitusi adalah anak-anak. Gejala prostitusi anak diperkirakan akan
terus meningkat karena tidak ada prasyarat yang menunjukkan adanya penurunan
permintaan.17
Pornografi anak terjadi dalam skala yang paling rendah, namun dengan
terbukanya arus informasi global, bukanlah hal yang tidak biasa menampilkan figure
anak berusia belasan tahun dalam situs internet yang dapat diakses oleh siapapun.
Selain itu, kasus-kasus perdagangan (trafficking) anak untuk tujuan seksual komersial
diidentifikasi terjadi di Indonesia. Dalam hal perdagangan anak untuk tujuan seksual
secara lintas batas negara, Indonesia merupakan negara asal dengan tujuan ke
negara-negara tetangga sekitar Indonesia.18
Uraian definisi dan bentuk dari eksploitasi seksual komersial anak jelas
memberikan gambaran tentang begitu banyak pelanggaran hak-hak anak yang
disebabkan oleh kejahatan ini dan menjadi nyata bahwa kejahatan eksploitasi seksual
komersial anak merupakan kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran berat hak asasi
manusia. Terutama terhadap hak-hak anak yang terkandung pada Pasal 4
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Hal kedua yang menjadi latar belakang permasalahan eksploitasi seksual
komersial anak ini adalah meningkatnya kasus eksploitasi seksual komersial anak di
17
Lampiran I Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak tanggal 30 Desember 2002
Indonesia setiap tahunnya. Perkembangan industri seks di beberapa negara termasuk
Indonesia, mendongkrak permintaan pasar terhadap anak-anak untuk dieskploitasi
secara seksual komersial.
Kasus yang pernah terjadi mengenai masalah eksploitasi seksual komersial
anak adalah kasus yang terjadi pada bulan juni tahun 2008. Santi, seorang gadis
berusia 15 tahun asal Lampung, diculik dan diperdagangkan ke Malaysia dan dipaksa
untuk menjadi seorang pekerja seks. Keperawanannya dijual seharga 5.000 ringgit
(15 juta rupiah) oleh seorang mucikari. Dari dua pelaku trafficking untuk tujuan
seksual tersebut yaitu Nurdin dan Chong Kum telah ditangkap dan dijatuhi hukuman
penjara selama 15 tahun. 19
Menurut laporan UNICEF pada tahun 2000 tentang situasi anak dan
perempuan di Indonesia, anak di bawah usia 18 tahun yang dieksploitasi secara
seksual dilaporkan mencapai 40-70 ribu anak. Sementara itu, menurut Pusat Data dan
Informasi CNSP (Children in Need Special Protection) Center, pada tahun 2000,
terdapat sekitar 75.106 tempat pekerja seks komersial yang terselubung maupun yang
“terdaftar”. Sementara itu, diperkirakan 30 % dari penghuni tempat pekerja seks
komersial itu adalah anak perempuan berusia 18 tahun ke bawah atau setara dengan
200-300 ribu anak-anak.
20
19
Ahmad Sofian, ESKA: Buruknya Potret HAM Anak di Indonesia, http://hukum.kompasiana.com/2011/01/06/eska-buruknya-potret-ham-anak-di-indonesia-ahmad-sofian-332627.html, (diakses 7 Februari, 2014)
20
Catatan akhir tahun 2011 Komisi Nasional Perlindungan Anak menyebutkan
bahwa anak yang membutuhkan perlindungan khusus dari ancaman eksploitasi
seksual komersial juga turut meningkat.21 Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, pada tahun 2010 terdapat 412 pengaduan anak korban eksploitasi
seksual komersial. Pada tahun 2011, jumlah pengaduan terhadap kasus eksploitasi
seksual komersial anak yang dilaporkan ke Komisi Nasional Perlindungan Anak
meningkat menjadi 480 kasus.22 Pada tahun 2012 ketua KPAI Badriyah Fayumi mengatakan bahwa terdapat 746 kasus eksploitasi seksual komersial anak. Data kasus
eksploitasi seksual komersial anak pada tahun 2013 sejak januari sampai dengan
oktober berjumlah 525 kasus atau sebanyak 15,85% dari kasus yang ada.23
Peningkatan angka ini cukup memprihatinkan. Dalam kasus eksploitasi
seksual komersial anak, modus kejahatan yang berkembang selain tipu muslihat dan
janji-janji untuk dipekerjakan, penculikan dengan pembiusan yang diperuntukan bagi
anak-anak remaja pada saat pergi dan pulang sekolah maupun melalui kecanggihan
teknologi seperti internet juga mulai berkembang.24
21
Komisi Nasional Perlindungan Anak, Catatan Akhir Tahun 2011 Komisi Nasional Perlindungan Anak, http://komnaspa.wordpress.com/2011/12/21/catatan-akhir-tahun-1011-komisi-nasional-perlindungan-anak/, (diakses 7 Februari, 2014)
22
Harian Pelita, Anak Indonesia Rentan “Trafficking”, http://harian-pelita.pelitaonline.com/cetak/2013/07/22/anak-indonesia-rentan-“trafficking”, (diakses 7 Februari, 2014)
23
Ayu Rachmaningtyas, Tiap Tahun Kekerasan Terhadap Anak Meningkat, http://m.sindonews.com/read/2013/12/12/13/816455/tiap-tahun-kekerasan-terhadap-anak-meningkat, (diakses 7 Februari, 2014)
24
Keberadaan anak-anak yang dilacurkan untuk tujuan eksploitasi seksual bukan
hanya dikota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, atau Yogyakarta
saja, melainkan sudah menyebar keseluruh wilayah nusantara.25 Diperkirakan sekitar 30% dari seluruh pekerja seks yang ada di Indonesia masih berusia dibawah 18
tahun.26 Di Indonesia sendiri, berbagai estimasi menyebutkan jumlah anak yang terlibat dalam eksploitasi seksual komersial anak dibandingkan dengan orang dewasa
adalah 2:8 atau 3:7.27
Hal ketiga yang menjadi latar belakang permasalahan eksploitasi seksual
komersial anak ini adalah lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku eksploitasi
seksual komersial anak di Indonesia. Setiap kejahatan pasti tidak bisa dipisahkan
dengan pelaku kejahatan itu sendiri, termasuk kejahatan eksploitasi seksual komersial
anak. Menurut data Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial
Anak situasi eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia sangat memprihatinkan.
Data tersebut diambil dari beberapa kota di Indonesia antara lain Manado, Medan,
Lampung, Bali, Solo, Surabaya, Indramayu, Semarang dan Lombok.
Menurut data Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial,
di kota Manado jenis eksploitasi seksual komersial anak adalah parawisata seks,
prostitusi anak, dan perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual. Pelaku
kejahatan ini antara lain teman-teman bergaul, pacar, pemilik tempat hiburan dan
perdagangan anak untuk dipekerjakan untuk melayani para penikmat seksual sampai saat ini belum bisa diselamatkan, walaupun masalah ini juga sudah dilaporkan kepada Pemerintah Daerah.
25
Bagong Suyanto, Anak Perempuan yang Dilacurkan: Korban Eksploitasi di Industri Seksual Komersial, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hal. 3
26
Ibid.
27Ibid,
pengelola tempat hiburan serta mucikari. Di Kota Medan, jenis eksploitasi seksual
komersial anak adalah prostitusi anak dengan pelaku yaitu pemilik salon, pemilik
cafe, pengusaha diskotik/karaoke, pengusaha hotel dan penggiat seks. Di Lampung
jenis eksploitasi seksual komersial anak yang mendominasi adalah prostitusi anak,
pelakunya antara lain mucikari, orang tua, kerabat dan pacar.28
Bali yang merupakan daerah wisata yang sangat terkenal di Indonesia sampai
ke mancanegara menghadapi permasalahan eksploitasi seksual komersial anak
dengan jenis prostitusi anak, korban praktek pedofil, dan pornografi anak. Pelakunya
antara lain mucikari, orang-orang asing, aktor perekrut, broker dan penerima. Di kota
Solo, kejahatan eksploitasi seksual komersial anak didominasi oleh bentuk prostitusi
anak. Pelakunya antara lain pacar, teman, preman serta mucikari. Di kota Surabaya,
bentuk kejahatan eksploitasi seksual komersial anak antara lain perdagangan anak
untuk tujuan eksploitasi seksual dan prostitusi anak dengan pelaku saudara kandung,
kerabat, orang tua, orang tua angkat/tetangga, pemilik kafe dan teman.29
Kota Indramayu menghadapi kasus eksploitasi seksual komersial anak dengan
bentuk yang paling mendominasi yaitu prostitusi anak dengan pelaku yaitu orang tua
ataupun keluarga anak tersebut. Di kota Semarang bentuk eksploitasi seksual
komersial anak yang sering dijumpai yaitu prostitusi anak, pornografi anak dan
penjualan anak dengan tujuan eksploitasi seksual. Pelakunya antara lain merupakan
28
Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Data, http://gugustugastrafficking.org/index.php?option=com_content&view=article&id=659&itemid=82, (diakses 7 Februari, 2014)
orang-orang yang sebelumnya telah dikenal oleh anak yaitu pacar, tetangga, teman
dan anggota keluarga sendiri. Terakhir yaitu kota Lombok, Lombok yang juga
terkenal karena keindahannya juga menyimpan permasalahan eksploitasi seksual
komersial anak dengan bentuk seperti pariwisata seks, prostitusi anak dan korban
praktek pedofil dengan pelaku kejahatan antara lain keluarga anak sendiri, mucikari
serta pengelola tempat hiburan.30
Data di atas menunjukkan bahwa pelaku kejahatan eksploitasi seksual
komersial anak didominasi oleh orang-orang terdekat yang telah dikenal oleh anak
sebelumnya. Dari berbagai kasus eksploitasi seksual komersial anak yang pernah
terjadi, para pelaku yang telah diadili di persidangan senantiasa mendapat hukuman
minimal. Tidak jarang pula ada pelaku eksploitasi seksual komersial anak yang
diputus bebas oleh hakim. Padahal, anak merupakan generasi penerus cita-cita dan
perjuangan bangsa yang berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu dibahas mengenai kejahatan eksploitasi
seksual komersial anak dari sudut pandang hukum pidana. Hal tersebut dikarenakan
eksploitasi seksual komersial anak merupakan perbuatan yang mengandung sifat
melawan hukum yang sangat merugikan anak sebagai korban baik dari segi fisik
maupun psikis.
Tanggung jawab hukum (liability) merupakan proses tanggung jawab atas
sikap tindak hukum. Di dalam kejahatan eksploitasi seksual komersial anak, pelaku
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila telah terjadi tindak pidana yaitu
peristiwa tersebut telah mengandung tiga unsur yaitu adanya kemampuan
bertanggungjawab dari pelaku, perilaku tersebut didasarkan pada kesalahan, dan tidak
ada alasan penghapusan pidana dalam diri pelaku.
Belum adanya suatu ukuran yang tegas terhadap pengaturan kejahatan
eksploitasi seksual komersial anak menunjukkan adanya kebutuhan akan adanya
hukum yang dapat diterapkan dalam masalah kejahatan eksploitasi seksual komersial
anak. Banyak kasus eksploitasi seksual komersial anak dimana pelaku dihukum
dengan hukuman maksimal sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya. Akan
tetapi, banyak pula kasus eksploitasi seksual komersial anak yang pelakunya
dinyatakan bebas. Kasus eksploitasi seksual komersial anak yang diputus bebas salah
satunya adalah kasus yang terjadi di Surabaya dengan tersangka Juki Chandra yang
melakukan pencabulan terhadap anak dan merekam seluruh adegan ke dalam film.
Pihak kepolisian mencatat ada sekitar 100 rekaman film di dalam HP tersangka yang
dibuat sejak Maret 2006.31
Penegakan aturan yang terkait terhadap pelaku kejahatan eksploitasi seksual
komersial anak dapat dilihat salah satunya melalui vonis hakim. Vonis hakim yang
31
akan menjadi bahan perbandingan untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana
pelaku eksplotasi seksual komersial anak antara lain:32
1. Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 1554/Pid.B/2012/PN.Mdn atas nama
terdakwa Andreas Ginting Alias Ucok yang memutuskan terdakwa terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perdagangan
orang. 33
2. Putusan Pengadilan Negeri Jayapura Nomor: 87/Pid.B/2012/PN.Jpr atas nama
terdakwa Hermin Mangiwa alias Mama Mangiwa yang memutuskan terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak.34
3. Putusan Pengadilan Negeri Kandangan Nomor: 114/Pid.B/2012/PN.Kgn atas
nama terdakwa Angga Ryan Saputra Bin Akhmad Gazali yang memutuskan
terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
menyebarluaskan pornografi anak.35
Berangkat dari deskripsi permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka
dipandang penting untuk dilakukan penelitian terhadap “Pertanggungjawaban Pidana
Terhadap Pelaku Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Studi Putusan
Pengadilan Negeri)” sebagai judul dalam penelitian ini.
32
Vonis hakim tersebut akan dijadikan bahan perbandingan untuk melihat bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku eksploitasi seksual komersial anak.
33
http://putusan.mahkamahagung.go.id/direktori/pidana-khusus/anak/index-25.html, (diakses 7 Februari, 2014)
34
Ibid.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka yang akan
menjadi pokok permasalahan dalam pengkajian tesis ini adalah:
1. Bagaimana pengaturan kejahatan eksploitasi seksual komersial anak di
Indonesia?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan eksploitasi seksual
komersial anak di Indonesia?
3. Bagaimana penegakan aturan-aturan terkait kejahatan eksploitasi seksual
komersial anak dalam vonis hakim?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan kejahatan eksploitasi seksual
komersial anak di Indonesia.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pertanggungjawaban pidana pelaku
eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia.
3. Untuk mengetahui dan mengalisis penegakan aturan-aturan terkait kejahatan
eksploitasi seksual komersial anak dalam vonis hakim.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian ini, dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian
1. Manfaat secara teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan
kajian, sumbangan pemikiran yang bermanfaat dalam memperkaya khasanah
kepustakaan dalam perkembangan ilmu hukum khususnya hukum yang mengatur
tentang pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan eksploitasi
seksual komersial anak.
2. Manfaat secara praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
yang berguna bagi aparat penegak hukum terutama para penyidik, jaksa penuntut
umum, advokat maupun hakim dalam menangani perkara yang menyangkut
tentang eksploitasi seksual komersial anak. Penelitian ini juga diharapkan dapat
menjadi bahan pertimbangan bagi peneliti lanjutan yang fokus terhadap
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan eksploitasi seksual
komersial anak.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan yang
khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, terdapat penelitian yang
berkaitan dengan masalah kejahatan eksploitasi seksual komersial anak. Penelitian
dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Eksploitasi
Seksual Komersial Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri)”, belum pernah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Adapun judul peneliti terdahulu yang membahas
tentang masalah kejahatan eksploitasi seksual komersial anak adalah
Kabupaten Asahan”, diteliti oleh saudara Hanan, NPM: 107005047, Magister Ilmu
Hukum.
Pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya adalah mengenai
penanggulangan kejahatan eksploitasi seksual secara komersial terhadap anak,
sedangkan pada penelitian kali ini peneliti mencoba menganalisis
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan eksploitasi seksual komersial
anak, yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Sehingga, dapat dikatakan
penelitian ini asli dan keasliannya baik secara akademis maupun keilmuan dapat
dipertanggungjawabkan.
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah salah satu konsep terpenting dalam sebuah penelitian.
Kerangka teori dalam sebuah penelitian merupakan pisau analisis pembahasan
tentang peristiwa atau fakta yang diajukan dalam masalah penelitian terutama dalam
penelitian hukum.36 Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.37
M. Solly lubis menyatakan bahwa landasan teori adalah suatu kerangka
pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu permasalahan
(problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin
36
Mukti Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 146
37
disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka
berpikir dalam penulisan.38
Teori yang dipergunakan sebagai alat untuk melakukan analisis di dalam
penelitian ini adalah teori pertanggungjawaban pidana. Sebegitu jauh permulaan
hukum pasti memiliki teori, maka teori pertama mengenai pertanggungjawaban
adalah mengenai suatu kewajiban untuk menebus pembalasan dendam dari seseorang
yang terhadapnya telah dilakukan suatu tindakan perugian (injuri), baik oleh orang
yang disebut pertama itu sendiri maupun oleh sesuatu yang ada di bawah
kekuasaannya.39
Langkah sesudah itu adalah mengukur tebusan itu bukan dengan pembalasan
dendam yang harus ditebus, melainkan menurut ukuran perugian yang sudah
ditimpakan. Satu tindakan penghabisan ialah menghabiskan kesumat itu dengan
menentukan pampasan yang harus dibayar. Tindakan ini diambil dengan
kebimbangan dan telah saling bercampur satu dengan yang lainnya, sehingga kita
mungkin mendengar orang menyebutkan satu hukuman pampasan. Tetapi akibatnya
mengubah tebusan untuk pembalasan dendam menjadi pampasan untuk kerugian.
Demikianlah penerimaan ganti kerugian berupa sejumlah uang sebagai hukuman bagi
satu delik telah menjadi titik tolak dari sejarah pertanggungjawaban.40
38
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80
39
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, trans. Muhammad Radjab (Jakarta: Bharata, 1965), hal. 80
40Ibid,
Demikianlah pertanggungjawaban itu rupanya sebagai akibat dari perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja, baik dalam bentuk penyerangan maupun dalam
bentuk persetujuan. Sumber pertanggungjawaban menurut hukum alam (natural)
adalah delik dan kontrak. Yang lainnya adalah digabungkan kepada yang satu atau
kepada yang lain di antara yang dua ini. Pertanggungjawaban tanpa kesalahan adalah
bersifat quasi-deling. Pertanggungjawaban yang dipikulkan oleh itikat baik untuk
mencegah menjadikan kaya secara tidak adil adalah bersifat quasi-kontrak. Jadi,
gagasan pusat telah menjadi satu dari tuntutan itikat baik, mengingat tindakan yang
disengaja.41
Dalam abad ke-19, konsepsi tentang pertanggungjawaban berdasarkan sebagai
niat ditempatkan dalam bentuk metafisik lebih dulu dari pada dalam bentuk etik.
Hukum dianggap sebagai satu perwujudan dari gagasan kebebasan dan diadakan
untuk memberikan kebebasan seluas mungkin kepada setiap perseorangan. Apa yang
dulunya merupakan suatu teori positif dan kreatif tentang pertanggungjawaban yang
berkembang berdasarkan niat, kemudian menjadi suatu teori yang negatif yang
membatasi, atau boleh yang dikatakan suatu teori yang memangkas tentang tidak
adanya pertanggungjawaban kecuali atas dasar niat. Pertanggungjawaban hanya
diakibatkan oleh kelalaian atau oleh apa yang dianggap kewajiban. Kehendak
perseorangan yang abstrak adalah titik tengah di dalam teori pertanggungjawaban.
Dasar pertanggungjawaban itu adalah kelalaian dan transaksi hukum dan yang
dua ini meluas terus sampai kepada satu dasar terakhir dalam kehendak. Konsepsi
41Ibid,
dasar dalam pertanggungjawaban hukum adalah konsepsi mengenai satu perbuatan,
mengenai satu manifestasi kehendak di dalam dunia luar. Adanya kesalahan karena
adanya pertanggungjawaban, sebab semua pertanggungjawaban tumbuh dari
kesalahan.42
Pertanggungjawaban pidana atau yang dikenal dengan konsep liability dalam
segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan
bahwa “ I use simple word “liability” for the situation whereby one may exact legally
and other is legally subjeced to the exaction”.43 Pertanggungjawaban pidana
diartikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang
akan diterima oleh pelaku dari seseorang yang telah dirugikan. Menurutnya juga
bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut
masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral
ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.44
Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan
penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan
sepanjang pembuat tidak memiliki defence, ketika melakukan suatu tindak pidana.
Dalam lapangan acara pidana, hal ini berarti seorang terdakwa dipandang
bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat
membuktikan bahwa dirinya mempunyai defence ketika melakukan tindak pidana itu.
42Ibid,
hal. 88
43
Roscoe Pound, Introduction to the Philosophy of Law, dalam Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 65
Konsep demikian itu membentuk keseimbangan antara hak mendakwa dan menuntut
dari penuntut umum, dan hak menyangkal dan mengajukan pembelaan dari terdakwa.
Penuntut umum berhak untuk mendakwa dan menuntut seseorang karena melakukan
tindak pidana. Untuk itu, penuntut umum berkewajiban membuktikan apa yang di
dakwa dan dituntut itu, yaitu membuktikan hal-hal yang termuat dalam rumusan
tindak pidana. Sementara itu, terdakwa dapat mengajukan pembelaan atas dasar
adanya alasan-alasan penghapus pidana. Untuk menghindar dari pengenaan pidana,
terdakwa harus dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai alasan penghapus
pidana ketika melakukan tindak pidana.45
Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari
ketentuan Pasal 44 Kitab Undang Hukum Pidana. Pasal 44 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana merumuskan hal yang dapat mengecualikan pembuat dari
pengenaan pidana. Pengecualian pengenaan pidana di sini dapat dibaca sebagai
pengecualian adanya pertanggungjawaban pidana. Dalam hal tertentu dapat berarti
pengecualian adanya kesalahan. Merumuskan pertanggungjawaban pidana secara
negatif, terutama berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini,
dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan
demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang
diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana.46
45
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan : Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Kencana, 2011),hal. 64
Pertanggungjawaban pidana di sini dimaksudkan untuk menentukan apakah
seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap
tindakan yang dilakukannya itu.47
Terdapat banyak kasus kejahatan terhadap anak, namun kejahatan eksploitasi
seksual komersial anak merupakan bentuk kejahatan terhadap anak yang sangat
berkembang saat ini. Populasi anak yang menjadi korban semakin meningkat.
Anak-anak yang dijadikan komoditas perdagangan dan objek seks orang dewasa sehingga
banyak anak yang kehilangan masa depannya. Kejahatan eksploitasi seksual
komersial anak dapat dilakukan oleh siapa saja. Bahkan menurut data yang ada,
pelaku eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia adalah orang-orang terdekat
korban baik keluarga, kerabat, teman, maupun orang yang telah dikenal baik oleh
korban.
Dalam hal ini, penggunaan teori pertanggungjawaban pidana adalah untuk
menentukan apakah pelaku ekploitasi seksual komersial anak tersebut dapat
dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang
dilakukannya tersebut. Penggunaan teori pertanggungjawaban pidana maka
diharapkan dapat memenuhi tujuan dari teori pertanggungjawaban yaitu kepercayaan
yang di dapat dari masyarakat. Selain itu, untuk menentukan bahwa pelaku
eksploitasi seksual komersial anak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila
telah terjadi tindak pidana yaitu eksploitasi seksual komersial anak.
47
2. Kerangka Konsep
Konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk
menghindari pemahaman dan penafsiran yang berbeda antara satu sama lain sekaligus
sebagai pedoman memberikan arahan dalam pemaknaan yang sama terhadap
konsep-konsep yang digunakan, antara lain:
1. Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak
pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu
adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya tindak
pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.
Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang
dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas
“kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.48
2. Pelaku adalah orang yang memenuhi suatu rumusan delik, atau orang yang
memenuhi semua unsur dari rumusan suatu delik.49
3. Kejahatan adalah delik (menurut) hukum (rechtsdelicten). Dalam konteks
kejahatan, suatu perbuatan dipandang mutlak atau secara esensial bertentangan
pengertian tertib hukum.50
4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan. 51
48
Chairul Huda, Op. Cit, hal. 70-71
Penentuan batas usia anak tersebut
49
van HATTUM, Hand-en Leerboek I, hal. 379 dalam P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 597
50
mengacu pada ketentuan dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah
diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990.
Menurut Konvensi Hak Anak, anak didefinisikan sebagai setiap orang yang
berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku
bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. 52
5. Eksploitasi seksual komersial anak adalah penggunaan anak untuk tujuan seksual
dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain antara anak, pembeli jasa seks,
perantara atau agen, dan pihak lain yang memperoleh keuntungan dari
perdagangan seksualitas anak tersebut.53
6. Prostitusi anak adalah penggunaan anak dalam kegiatan seksual dengan
pembayaran atau dengan imbalan dalam bentuk lain.54
7. Pornografi anak adalah setiap representasi, dengan sarana apapun, pelibatan
secara eksplisit seorang anak dalam kegiatan seksual baik secara nyata maupun
51
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
52
United Nations Children Fund, Convention on The Rights Of The Child, Resolusi PBB No. 44/25, 20 November 1989 dalam Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013) hal. 5
53 Background Paper Prepared for the World Congress Againts Commercial Sexual
Exploitation of Children, Stockholm, 27-31 Agustus 1996, hal. 3 dalam Lampiran Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak. Definisi ekploitasi seksual komersial anak tersebut digunakan dalam Lampiran Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak pada Bab I Lampiran Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002.
disimulasikan, atau setiap representasi dari organ-organ seksual anak untuk
tujuan seksual.55
8. Perdagangan anak untuk tujuan seksual adalah rekruitmen, transportasi, transfer,
penampungan atau penerimaan atas seseorang yang umurnya belum mencapai
delapan belas tahun untuk tujuan eksploitasi dengan menjerumuskannya kedalam
prostitusi atau dalam bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya.56
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan penelitian
hukum empiris dalam melakukan pengkajian pertanggungjawaban pidana terhadap
kejahatan eksploitasi seksual komersial anak. Penelitian hukum normatif dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.57
55Ibid,
Pasal 2 (c) Background Paper Prepared for the World Congress Againts Commercial Sexual Exploitation of Children menyatakan Child Pornography means any representation, by whatevermeans, of a child engaged in real or simulated explicit sexual activities or any representation of the sexual parts of a child for primarily sesual purposes.
Kemudian sebagai
penelitian hukum normatif, penelitian ini disesuaikan dengan pendekatan yang
digunakan. Untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini pendekatan yang
digunakan adalah melalui pendekatan perundang-undangan (statuate approach) dan
56Ibid. 57
pendekatan kasus (case approach).58 Sedangkan untuk penelitian hukum empiris dengan cara meneliti data primer yang dilakukan langsung di lapangan.59
Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis yang ditujukan untuk
menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala-gejala hukum terkait
pertanggungjawaban pidana terhadap kejahatan eksploitasi seksual komersial anak.
2. Sumber Data
Sebagai data dalam penelitian ini digunakan data sekunder yang meliputi:
a. Bahan Hukum Primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta
Amandemen;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
3. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
5. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
6. Undang-Undang No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002 tentang
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak.
8. Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 1554/Pid.B/2012/PN.Mdn
58
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana , 2011), hal. 93-95
59
9. Putusan Pengadilan Negeri Kandangan Nomor: 114/Pid.B/2012/PN.Kgn
10. Putusan Pengadilan Negeri Jayapura Nomor: 87/Pid.B/2012/PN.Jpr
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis dan
disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum60
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, meliputi: kamus dan
ensiklopedia hukum.
yang berkaitan mengenai
pertanggungjawaban pidana terhadap kejahatan eksploitasi seksual komersial
anak.
3. Teknik Pengumpulan Data
Data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tersier merupakan data yang digunakan untuk penelitian hukum
normatif. Untuk memperoleh data yang dapat melengkapi penulisan ini maka juga
akan digunakan data primer. Data primer ini digunakan untuk memperoleh gambaran
langsung mengenai jawaban dari pertanyaan penelitian langsung dari objek
penelitian.
Selanjutnya dalam rangka memperoleh data primer dan data sekunder yang
akurat untuk penelitian ini, maka dilakukan pengumpulan data dengan cara sebagai
berikut:
a. Studi Kepustakaan
60
Studi untuk menemukan berupa studi dokumen yang dipandang relevan
terkait dengan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan eksploitasi seksual komersial
anak yang dilakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan
Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
b. Studi Lapangan
Dalam melakukan studi lapangan, maka penelitian dilakukan di Pengadilan
Negeri Medan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara,
Yayasan Pusaka Indonesia Sumatera Utara, dan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak
Sumatera Utara.
Penelitian lapangan dilakukan dengan melakukan wawancara secara langsung
dalam rangka untuk menentukan kapasitas dan kapabilitas serta relevansinya dengan
penelitian ini untuk menghasilkan data primer yang akan menunjang dan melengkapi
data sekunder sebagaimana yang telah diterangkan di atas.
4. Analisis Data
Setelah data dikumpulkan maka dilakukan analisa data sedemikian rupa
sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk
menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Analisa dalam penelitian ini dilakukan
secara kualitatif dengan sifat deskriptif analitis. Hasil studi kepustakaan berupa bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier serta hasil
wawancara dikumpulkan. Selanjutnya, semua data tersebut diolah dan dianalisis