• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang

senantiasa harus dijaga karena di dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak

sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari

hak asasi manusia yang termuat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan

bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa,

sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang,

berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindakan kekerasan dan diskriminasi

serta hak sipil dan kebebasan.1

Munculnya permasalahan hak asasi manusia menurut Burns H. Weston

disebabkan dua hal, pertama bahwa manusia dimana-mana menuntut realisasi dari

bermacam-macam nilai guna memastikan kesejahteraan individual dan kolektif

mereka. Kedua, tuntutan-tuntutan terhadap kesejahteraan individual dan kolektif

tersebut sering diabaikan sehingga mengakibatkan eksploitasi, penindasan,

penganiayaan dan bentuk-bentuk perampasan lain.2

1

Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, (Bandung: Fokus Media, 2010), hal. 35

2

(2)

Hak-hak anak secara universal telah ditetapkan melalui Sidang Umum PBB

pada tanggal 20 November 1959, dengan memproklamasikan deklarasi hak-hak anak.

Dengan deklarasi tersebut, diharapkan semua pihak mengakui hak-hak anak dan

mendorong semua upaya untuk memenuhinya. Ada sepuluh prinsip tentang hak anak

menurut deklarasi tersebut, yaitu:3

1. Prinsip 1 : Setiap anak harus menikmati semua hak yang tercantum dalam

deklarasi ini tanpa terkecuali, tanpa perbedaan dan diskriminasi;

2. Prinsip 2 : Setiap anak harus menikmati perlindungan khusus, harus diberikan

kesempatan dan fasilitas oleh hukum atau oleh peralatan lain, sehingga mereka

mampu berkembang secara fisik, mental, moral dan spiritual, dan sosial dalam

cara yang sehat dan normal;

3. Prinsip 3 : Setiap anak sejak dilahirkan harus memiliki nama dan indentitas

kebangsaan;

4. Prinsip 4 : Setiap anak harus menikmati manfaat dari jaminan sosial;

5. Prinsip 5 : Setiap anak baik secara fisik, mental, dan sosial mengalami kecacatan

harus diberi perlakuan khusus, pendidikan dan pemeliharaan sesuai dengan

kondisinya;

6. Prinsip 6 : Setiap anak bagi perkembangan pribadinya secara penuh dan

seimbang memerlukan kasih sayang dan pengertian;

7. Prinsip 7 : Setiap anak harus menerima pendidikan secara cuma-cuma dan atas

dasar wajib belajar;

3

(3)

8. Prinsip 8 : Setiap anak dalam situasi apapun harus menerima perlindungan dan

bantuan yang pertama;

9. Prinsip 9 : Setiap anak harus dilindungi dari setiap bentuk keterlantaran,

tindakan kekerasan dan eksploitasi;

10. Prinsip 10 : Setiap anak harus dilindungi dari setiap praktek diskriminasi

berdasarkan rasial, agama dan bentuk-bentuk lainnya.

Bangsa Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian terhadap

perlindungan anak karena amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28 B (2)

menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang,

serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 33 (1) menyatakan bahwa

“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan

kejam yang tidak manusiawi”5, sedangkan Pasal 29 (1) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak

miliknya”.6

Anak sebagai bagian dari generasi muda seharusnya perlu dibina secara terus

menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan fisik, mental dan sosial serta

perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa

4

Pasal 28 B (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945

5

Pasal 33 (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

6

(4)

di masa depan.7

Pemerintah Indonesia ikut meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990

melalui suatu keputusan Presiden yaitu KEPRES No. 36/1990. Setelah 12 tahun

Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak, tepatnya pada tanggal 25 Agustus 1990,

Indonesia belum mempunyai peraturan perundang-undangan tentang perlindungan

anak yang berorientasi pada Konvensi Hak Anak. Kemudian, pada tanggal 22

Oktober 2002, Indonesia menetapkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak yang berorientasi pada hak-hak anak seperti yang tertuang dalam

Konvensi Hak Anak. Sejak saat itu pula Indonesia mengakui bahwa anak memiliki

beberapa hak yang terdapat di dalamnya, khususnya masalah eksploitasi seksual

komersial anak.

Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, anak memiliki hak-hak

sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh peraturan

perundang-undangan. Anak perlu mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk

tumbuh dan berkembang secara optimal. Namun, seiring dengan perkembangan

zaman, bangsa Indonesia dihadapkan dengan kejahatan eksploitasi seksual komersial

anak yang menjadi fenomena global dan merupakan suatu kejahatan yang

memberikan dampak buruk hampir diseluruh belahan dunia terutama terhadap anak.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah salah

satu bagian dari mengoperasionalkan Konvensi Hak Anak. Hal tersebut dikarenakan

7

(5)

undang-undang tersebut didasari oleh 4 (empat) prinsip umum Konvensi Hak Anak

antara lain:

1. Prinsip non-diskriminasi;8

2. Prinsip kepentingan terbaik anak;9

3. Prinsip hak anak yang merupakan kodrat hidup dan kewajiban negara-negara

peserta untuk menjamin semaksimal mungkin kelangsungan hidup dan tumbuh

kembang anak;10

4. Prinsip partisipasi anak.11

8

Pasal 2 Konvensi Hak Anak menyatakan: 1. “Negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini terhadap anak dalam setiap wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain, asal usul bangsa, suku bangsa atau sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status lain dari anak atau dari orang tua anak atau walinya yang sah menurut hukum”. 2. ”Negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah yang layak untuk menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikukuhkan atau kepercayaan orang tua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya.

9

Pasal 3 (1) Konvensi Hak Anak menyatakan “ Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, kepentingan terbaik anak akan merupakan pertimbangan utama”. 2. “Negara- negara peserta akan berupaya untuk menjamin adanya perlindungan dan perawatan sedemikian rupa yang diperlukan untuk kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua dan anak, walinya yang sah, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab atas anak yang bersangkutan, dan untuk maksud ini, akan mengambil semua tindakan legislatif dan administrasi yang layak”. 3. “Negara-negara peserta akan menjamin bahwa lembaga-lembaga, instansi-instansi, dan fasilitas-fasilitas yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dan perlindungan anak, akan menyesuaikan diri dengan norma-norma yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, terutama dalam bidang keselamatan, kesehatan, baik dalam jumlah maupun petugas yang sesuai, jumlah dan keserasian petugas mereka, begitu pula pengawasan yang berwenang.

10

Pasal 6 (1) Konvensi Hak Anak menyatakan: “Negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang merupakan kodrat hidup.” (2). “Negara-negara peserta semaksimal mungkin akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan anak.

11

(6)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam

Pasal 13 (1) menyebutkan bahwa “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua,

wali, atau pihak lain maupun yang bertanggungjawab atas pengasuhan berhak

mendapatkan perlidungan dari perlakuan:

a. Diskriminasi;

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

c. Penelantaran;

d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan;

e. Ketidakadilan; dan

f. Perlakuan salah lainnya”.12

Pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga

menyebutkan bahwa:13

“Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran”.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan

pemahaman bahwa begitu banyak kejahatan dan permasalah yang mengancam anak

dan hak-hak anak. Namun, dari sekian banyak permasalahan anak yang ada, hal yang

12

Pasal 13 (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

13

(7)

menjadi fokus dalam tulisan ini adalah mengenai masalah kejahatan eksploitasi

seksual komersial anak. Hal tersebut dikarenakan, pertama, eksploitasi seksual

komersial anak merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak anak dan mencakup

praktek-praktek kriminal yang merendahkan dan mengancam integritas fisik dan

psikososial anak.

Berbagai definisi telah mengarahkan bahwa pengertian eksploitasi seksual

komersial anak merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak-hak anak. Agenda Aksi

Stokholm yang merupakan instrumen internasional pertama yang bertujuan untuk

menghapuskan eksploitasi seksual komersial anak yang diselenggarakan di Stokholm

pada tahun 1996 mendefinisikan eksploitasi seksual komersial anak sebagai:14

“Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai sebuah objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi Seksual Komersial Anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak, dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern”

Kejahatan eksploitasi seksual komersial anak merupakan suatu kejahatan

dimana anak sebagai korban diperlakukan sebagai sebuah komoditas yang dapat

diperjualbelikan. Dalam hal ini anak sebagai korban dirampas hak-haknya bahkan

beresiko tinggi terhadap gangguan jasmani, rohani dan sosialnya serta memberikan

pengaruh yang buruk terhadap masa depan anak yang menjadi korban.

14

(8)

Terdapat tiga bentuk eksploitasi seksual komersial anak yaitu prostitusi anak,

pornografi anak, dan perdagangan anak (trafficking) anak untuk tujuan seksual.15 Trevor Buck juga menyebutkan bahwa ada tiga bentuk eksploitasi seksual

komersial anak. Hal tersebut sesuai dengan Optional Protocol to the Convention on

The Rights of Child on the Sale of Children, Child Prostitution, and Child

Pornography. Trevor Buck menyebutkan:

There are a number of provisions of the Convention on the Rights of the

Child that relate to the issues of the sale of children, child prostitution and child pornography: Art 11 (illicit transfer of children aboard), 21 (regulation of adoption), 32 (economic exploitation), 33 (illicit of drugs), 34 (sexual exploitation), 35 (sale and traffick in children) and 36 (other exploitation of children). There has been increasing international concern about the phenomenon of “sex tourism” that contributes to the sale of children, child prostitution, and child pornography.”16

Bentuk-bentuk eksploitasi seksual komersial anak ini merupakan bentuk

transaksional seksual dimana seorang anak terlibat dalam kegiatan seksual dapat

memiliki kebutuhan utama yang terpenuhi seperti makan, tempat tinggal, dan akses

ke pendidikan. Ini merupakan suatu bentuk transaksional dimana kekerasan seksual

terhadap anak tidak dihentikan atau dilaporkan oleh anggota keluarga karena manfaat

yang diperoleh oleh pihak keluarga dari pelaku.

Berdasarkan pemetaan yang dilakukan terhadap ketiga bentuk eksploitasi

seksual komersial anak yang dilakukan di Indonesia pada tahun 1997 sampai dengan

15

Lampiran I Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak tanggal 30 Desember 2002

16

(9)

1998, ketiga bentuk eksploitasi seksual komersial anak tersebut ditemukan dengan

skala dan intensitas yang berbeda. Pada masalah prostitusi anak, diperkirakan sekitar

30 % dari total prostitusi adalah anak-anak. Gejala prostitusi anak diperkirakan akan

terus meningkat karena tidak ada prasyarat yang menunjukkan adanya penurunan

permintaan.17

Pornografi anak terjadi dalam skala yang paling rendah, namun dengan

terbukanya arus informasi global, bukanlah hal yang tidak biasa menampilkan figure

anak berusia belasan tahun dalam situs internet yang dapat diakses oleh siapapun.

Selain itu, kasus-kasus perdagangan (trafficking) anak untuk tujuan seksual komersial

diidentifikasi terjadi di Indonesia. Dalam hal perdagangan anak untuk tujuan seksual

secara lintas batas negara, Indonesia merupakan negara asal dengan tujuan ke

negara-negara tetangga sekitar Indonesia.18

Uraian definisi dan bentuk dari eksploitasi seksual komersial anak jelas

memberikan gambaran tentang begitu banyak pelanggaran hak-hak anak yang

disebabkan oleh kejahatan ini dan menjadi nyata bahwa kejahatan eksploitasi seksual

komersial anak merupakan kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran berat hak asasi

manusia. Terutama terhadap hak-hak anak yang terkandung pada Pasal 4

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Hal kedua yang menjadi latar belakang permasalahan eksploitasi seksual

komersial anak ini adalah meningkatnya kasus eksploitasi seksual komersial anak di

17

Lampiran I Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak tanggal 30 Desember 2002

(10)

Indonesia setiap tahunnya. Perkembangan industri seks di beberapa negara termasuk

Indonesia, mendongkrak permintaan pasar terhadap anak-anak untuk dieskploitasi

secara seksual komersial.

Kasus yang pernah terjadi mengenai masalah eksploitasi seksual komersial

anak adalah kasus yang terjadi pada bulan juni tahun 2008. Santi, seorang gadis

berusia 15 tahun asal Lampung, diculik dan diperdagangkan ke Malaysia dan dipaksa

untuk menjadi seorang pekerja seks. Keperawanannya dijual seharga 5.000 ringgit

(15 juta rupiah) oleh seorang mucikari. Dari dua pelaku trafficking untuk tujuan

seksual tersebut yaitu Nurdin dan Chong Kum telah ditangkap dan dijatuhi hukuman

penjara selama 15 tahun. 19

Menurut laporan UNICEF pada tahun 2000 tentang situasi anak dan

perempuan di Indonesia, anak di bawah usia 18 tahun yang dieksploitasi secara

seksual dilaporkan mencapai 40-70 ribu anak. Sementara itu, menurut Pusat Data dan

Informasi CNSP (Children in Need Special Protection) Center, pada tahun 2000,

terdapat sekitar 75.106 tempat pekerja seks komersial yang terselubung maupun yang

“terdaftar”. Sementara itu, diperkirakan 30 % dari penghuni tempat pekerja seks

komersial itu adalah anak perempuan berusia 18 tahun ke bawah atau setara dengan

200-300 ribu anak-anak.

20

19

Ahmad Sofian, ESKA: Buruknya Potret HAM Anak di Indonesia, http://hukum.kompasiana.com/2011/01/06/eska-buruknya-potret-ham-anak-di-indonesia-ahmad-sofian-332627.html, (diakses 7 Februari, 2014)

20

(11)

Catatan akhir tahun 2011 Komisi Nasional Perlindungan Anak menyebutkan

bahwa anak yang membutuhkan perlindungan khusus dari ancaman eksploitasi

seksual komersial juga turut meningkat.21 Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, pada tahun 2010 terdapat 412 pengaduan anak korban eksploitasi

seksual komersial. Pada tahun 2011, jumlah pengaduan terhadap kasus eksploitasi

seksual komersial anak yang dilaporkan ke Komisi Nasional Perlindungan Anak

meningkat menjadi 480 kasus.22 Pada tahun 2012 ketua KPAI Badriyah Fayumi mengatakan bahwa terdapat 746 kasus eksploitasi seksual komersial anak. Data kasus

eksploitasi seksual komersial anak pada tahun 2013 sejak januari sampai dengan

oktober berjumlah 525 kasus atau sebanyak 15,85% dari kasus yang ada.23

Peningkatan angka ini cukup memprihatinkan. Dalam kasus eksploitasi

seksual komersial anak, modus kejahatan yang berkembang selain tipu muslihat dan

janji-janji untuk dipekerjakan, penculikan dengan pembiusan yang diperuntukan bagi

anak-anak remaja pada saat pergi dan pulang sekolah maupun melalui kecanggihan

teknologi seperti internet juga mulai berkembang.24

21

Komisi Nasional Perlindungan Anak, Catatan Akhir Tahun 2011 Komisi Nasional Perlindungan Anak, http://komnaspa.wordpress.com/2011/12/21/catatan-akhir-tahun-1011-komisi-nasional-perlindungan-anak/, (diakses 7 Februari, 2014)

22

Harian Pelita, Anak Indonesia Rentan “Trafficking”, http://harian-pelita.pelitaonline.com/cetak/2013/07/22/anak-indonesia-rentan-“trafficking”, (diakses 7 Februari, 2014)

23

Ayu Rachmaningtyas, Tiap Tahun Kekerasan Terhadap Anak Meningkat, http://m.sindonews.com/read/2013/12/12/13/816455/tiap-tahun-kekerasan-terhadap-anak-meningkat, (diakses 7 Februari, 2014)

24

(12)

Keberadaan anak-anak yang dilacurkan untuk tujuan eksploitasi seksual bukan

hanya dikota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, atau Yogyakarta

saja, melainkan sudah menyebar keseluruh wilayah nusantara.25 Diperkirakan sekitar 30% dari seluruh pekerja seks yang ada di Indonesia masih berusia dibawah 18

tahun.26 Di Indonesia sendiri, berbagai estimasi menyebutkan jumlah anak yang terlibat dalam eksploitasi seksual komersial anak dibandingkan dengan orang dewasa

adalah 2:8 atau 3:7.27

Hal ketiga yang menjadi latar belakang permasalahan eksploitasi seksual

komersial anak ini adalah lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku eksploitasi

seksual komersial anak di Indonesia. Setiap kejahatan pasti tidak bisa dipisahkan

dengan pelaku kejahatan itu sendiri, termasuk kejahatan eksploitasi seksual komersial

anak. Menurut data Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial

Anak situasi eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia sangat memprihatinkan.

Data tersebut diambil dari beberapa kota di Indonesia antara lain Manado, Medan,

Lampung, Bali, Solo, Surabaya, Indramayu, Semarang dan Lombok.

Menurut data Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial,

di kota Manado jenis eksploitasi seksual komersial anak adalah parawisata seks,

prostitusi anak, dan perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual. Pelaku

kejahatan ini antara lain teman-teman bergaul, pacar, pemilik tempat hiburan dan

perdagangan anak untuk dipekerjakan untuk melayani para penikmat seksual sampai saat ini belum bisa diselamatkan, walaupun masalah ini juga sudah dilaporkan kepada Pemerintah Daerah.

25

Bagong Suyanto, Anak Perempuan yang Dilacurkan: Korban Eksploitasi di Industri Seksual Komersial, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hal. 3

26

Ibid.

27Ibid,

(13)

pengelola tempat hiburan serta mucikari. Di Kota Medan, jenis eksploitasi seksual

komersial anak adalah prostitusi anak dengan pelaku yaitu pemilik salon, pemilik

cafe, pengusaha diskotik/karaoke, pengusaha hotel dan penggiat seks. Di Lampung

jenis eksploitasi seksual komersial anak yang mendominasi adalah prostitusi anak,

pelakunya antara lain mucikari, orang tua, kerabat dan pacar.28

Bali yang merupakan daerah wisata yang sangat terkenal di Indonesia sampai

ke mancanegara menghadapi permasalahan eksploitasi seksual komersial anak

dengan jenis prostitusi anak, korban praktek pedofil, dan pornografi anak. Pelakunya

antara lain mucikari, orang-orang asing, aktor perekrut, broker dan penerima. Di kota

Solo, kejahatan eksploitasi seksual komersial anak didominasi oleh bentuk prostitusi

anak. Pelakunya antara lain pacar, teman, preman serta mucikari. Di kota Surabaya,

bentuk kejahatan eksploitasi seksual komersial anak antara lain perdagangan anak

untuk tujuan eksploitasi seksual dan prostitusi anak dengan pelaku saudara kandung,

kerabat, orang tua, orang tua angkat/tetangga, pemilik kafe dan teman.29

Kota Indramayu menghadapi kasus eksploitasi seksual komersial anak dengan

bentuk yang paling mendominasi yaitu prostitusi anak dengan pelaku yaitu orang tua

ataupun keluarga anak tersebut. Di kota Semarang bentuk eksploitasi seksual

komersial anak yang sering dijumpai yaitu prostitusi anak, pornografi anak dan

penjualan anak dengan tujuan eksploitasi seksual. Pelakunya antara lain merupakan

28

Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Data, http://gugustugastrafficking.org/index.php?option=com_content&view=article&id=659&itemid=82, (diakses 7 Februari, 2014)

(14)

orang-orang yang sebelumnya telah dikenal oleh anak yaitu pacar, tetangga, teman

dan anggota keluarga sendiri. Terakhir yaitu kota Lombok, Lombok yang juga

terkenal karena keindahannya juga menyimpan permasalahan eksploitasi seksual

komersial anak dengan bentuk seperti pariwisata seks, prostitusi anak dan korban

praktek pedofil dengan pelaku kejahatan antara lain keluarga anak sendiri, mucikari

serta pengelola tempat hiburan.30

Data di atas menunjukkan bahwa pelaku kejahatan eksploitasi seksual

komersial anak didominasi oleh orang-orang terdekat yang telah dikenal oleh anak

sebelumnya. Dari berbagai kasus eksploitasi seksual komersial anak yang pernah

terjadi, para pelaku yang telah diadili di persidangan senantiasa mendapat hukuman

minimal. Tidak jarang pula ada pelaku eksploitasi seksual komersial anak yang

diputus bebas oleh hakim. Padahal, anak merupakan generasi penerus cita-cita dan

perjuangan bangsa yang berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta

mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Berdasarkan hal tersebut maka perlu dibahas mengenai kejahatan eksploitasi

seksual komersial anak dari sudut pandang hukum pidana. Hal tersebut dikarenakan

eksploitasi seksual komersial anak merupakan perbuatan yang mengandung sifat

melawan hukum yang sangat merugikan anak sebagai korban baik dari segi fisik

maupun psikis.

(15)

Tanggung jawab hukum (liability) merupakan proses tanggung jawab atas

sikap tindak hukum. Di dalam kejahatan eksploitasi seksual komersial anak, pelaku

dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila telah terjadi tindak pidana yaitu

peristiwa tersebut telah mengandung tiga unsur yaitu adanya kemampuan

bertanggungjawab dari pelaku, perilaku tersebut didasarkan pada kesalahan, dan tidak

ada alasan penghapusan pidana dalam diri pelaku.

Belum adanya suatu ukuran yang tegas terhadap pengaturan kejahatan

eksploitasi seksual komersial anak menunjukkan adanya kebutuhan akan adanya

hukum yang dapat diterapkan dalam masalah kejahatan eksploitasi seksual komersial

anak. Banyak kasus eksploitasi seksual komersial anak dimana pelaku dihukum

dengan hukuman maksimal sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya. Akan

tetapi, banyak pula kasus eksploitasi seksual komersial anak yang pelakunya

dinyatakan bebas. Kasus eksploitasi seksual komersial anak yang diputus bebas salah

satunya adalah kasus yang terjadi di Surabaya dengan tersangka Juki Chandra yang

melakukan pencabulan terhadap anak dan merekam seluruh adegan ke dalam film.

Pihak kepolisian mencatat ada sekitar 100 rekaman film di dalam HP tersangka yang

dibuat sejak Maret 2006.31

Penegakan aturan yang terkait terhadap pelaku kejahatan eksploitasi seksual

komersial anak dapat dilihat salah satunya melalui vonis hakim. Vonis hakim yang

31

(16)

akan menjadi bahan perbandingan untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana

pelaku eksplotasi seksual komersial anak antara lain:32

1. Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 1554/Pid.B/2012/PN.Mdn atas nama

terdakwa Andreas Ginting Alias Ucok yang memutuskan terdakwa terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perdagangan

orang. 33

2. Putusan Pengadilan Negeri Jayapura Nomor: 87/Pid.B/2012/PN.Jpr atas nama

terdakwa Hermin Mangiwa alias Mama Mangiwa yang memutuskan terdakwa

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak.34

3. Putusan Pengadilan Negeri Kandangan Nomor: 114/Pid.B/2012/PN.Kgn atas

nama terdakwa Angga Ryan Saputra Bin Akhmad Gazali yang memutuskan

terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

menyebarluaskan pornografi anak.35

Berangkat dari deskripsi permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka

dipandang penting untuk dilakukan penelitian terhadap “Pertanggungjawaban Pidana

Terhadap Pelaku Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Studi Putusan

Pengadilan Negeri)” sebagai judul dalam penelitian ini.

32

Vonis hakim tersebut akan dijadikan bahan perbandingan untuk melihat bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku eksploitasi seksual komersial anak.

33

http://putusan.mahkamahagung.go.id/direktori/pidana-khusus/anak/index-25.html, (diakses 7 Februari, 2014)

34

Ibid.

(17)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka yang akan

menjadi pokok permasalahan dalam pengkajian tesis ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan kejahatan eksploitasi seksual komersial anak di

Indonesia?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan eksploitasi seksual

komersial anak di Indonesia?

3. Bagaimana penegakan aturan-aturan terkait kejahatan eksploitasi seksual

komersial anak dalam vonis hakim?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan kejahatan eksploitasi seksual

komersial anak di Indonesia.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pertanggungjawaban pidana pelaku

eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia.

3. Untuk mengetahui dan mengalisis penegakan aturan-aturan terkait kejahatan

eksploitasi seksual komersial anak dalam vonis hakim.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini, dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian

(18)

1. Manfaat secara teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan

kajian, sumbangan pemikiran yang bermanfaat dalam memperkaya khasanah

kepustakaan dalam perkembangan ilmu hukum khususnya hukum yang mengatur

tentang pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan eksploitasi

seksual komersial anak.

2. Manfaat secara praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

yang berguna bagi aparat penegak hukum terutama para penyidik, jaksa penuntut

umum, advokat maupun hakim dalam menangani perkara yang menyangkut

tentang eksploitasi seksual komersial anak. Penelitian ini juga diharapkan dapat

menjadi bahan pertimbangan bagi peneliti lanjutan yang fokus terhadap

pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan eksploitasi seksual

komersial anak.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan yang

khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, terdapat penelitian yang

berkaitan dengan masalah kejahatan eksploitasi seksual komersial anak. Penelitian

dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Eksploitasi

Seksual Komersial Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri)”, belum pernah

dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Adapun judul peneliti terdahulu yang membahas

tentang masalah kejahatan eksploitasi seksual komersial anak adalah

(19)

Kabupaten Asahan”, diteliti oleh saudara Hanan, NPM: 107005047, Magister Ilmu

Hukum.

Pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya adalah mengenai

penanggulangan kejahatan eksploitasi seksual secara komersial terhadap anak,

sedangkan pada penelitian kali ini peneliti mencoba menganalisis

pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan eksploitasi seksual komersial

anak, yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Sehingga, dapat dikatakan

penelitian ini asli dan keasliannya baik secara akademis maupun keilmuan dapat

dipertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah salah satu konsep terpenting dalam sebuah penelitian.

Kerangka teori dalam sebuah penelitian merupakan pisau analisis pembahasan

tentang peristiwa atau fakta yang diajukan dalam masalah penelitian terutama dalam

penelitian hukum.36 Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.37

M. Solly lubis menyatakan bahwa landasan teori adalah suatu kerangka

pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu permasalahan

(problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin

36

Mukti Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 146

37

(20)

disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka

berpikir dalam penulisan.38

Teori yang dipergunakan sebagai alat untuk melakukan analisis di dalam

penelitian ini adalah teori pertanggungjawaban pidana. Sebegitu jauh permulaan

hukum pasti memiliki teori, maka teori pertama mengenai pertanggungjawaban

adalah mengenai suatu kewajiban untuk menebus pembalasan dendam dari seseorang

yang terhadapnya telah dilakukan suatu tindakan perugian (injuri), baik oleh orang

yang disebut pertama itu sendiri maupun oleh sesuatu yang ada di bawah

kekuasaannya.39

Langkah sesudah itu adalah mengukur tebusan itu bukan dengan pembalasan

dendam yang harus ditebus, melainkan menurut ukuran perugian yang sudah

ditimpakan. Satu tindakan penghabisan ialah menghabiskan kesumat itu dengan

menentukan pampasan yang harus dibayar. Tindakan ini diambil dengan

kebimbangan dan telah saling bercampur satu dengan yang lainnya, sehingga kita

mungkin mendengar orang menyebutkan satu hukuman pampasan. Tetapi akibatnya

mengubah tebusan untuk pembalasan dendam menjadi pampasan untuk kerugian.

Demikianlah penerimaan ganti kerugian berupa sejumlah uang sebagai hukuman bagi

satu delik telah menjadi titik tolak dari sejarah pertanggungjawaban.40

38

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80

39

Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, trans. Muhammad Radjab (Jakarta: Bharata, 1965), hal. 80

40Ibid,

(21)

Demikianlah pertanggungjawaban itu rupanya sebagai akibat dari perbuatan

yang dilakukan dengan sengaja, baik dalam bentuk penyerangan maupun dalam

bentuk persetujuan. Sumber pertanggungjawaban menurut hukum alam (natural)

adalah delik dan kontrak. Yang lainnya adalah digabungkan kepada yang satu atau

kepada yang lain di antara yang dua ini. Pertanggungjawaban tanpa kesalahan adalah

bersifat quasi-deling. Pertanggungjawaban yang dipikulkan oleh itikat baik untuk

mencegah menjadikan kaya secara tidak adil adalah bersifat quasi-kontrak. Jadi,

gagasan pusat telah menjadi satu dari tuntutan itikat baik, mengingat tindakan yang

disengaja.41

Dalam abad ke-19, konsepsi tentang pertanggungjawaban berdasarkan sebagai

niat ditempatkan dalam bentuk metafisik lebih dulu dari pada dalam bentuk etik.

Hukum dianggap sebagai satu perwujudan dari gagasan kebebasan dan diadakan

untuk memberikan kebebasan seluas mungkin kepada setiap perseorangan. Apa yang

dulunya merupakan suatu teori positif dan kreatif tentang pertanggungjawaban yang

berkembang berdasarkan niat, kemudian menjadi suatu teori yang negatif yang

membatasi, atau boleh yang dikatakan suatu teori yang memangkas tentang tidak

adanya pertanggungjawaban kecuali atas dasar niat. Pertanggungjawaban hanya

diakibatkan oleh kelalaian atau oleh apa yang dianggap kewajiban. Kehendak

perseorangan yang abstrak adalah titik tengah di dalam teori pertanggungjawaban.

Dasar pertanggungjawaban itu adalah kelalaian dan transaksi hukum dan yang

dua ini meluas terus sampai kepada satu dasar terakhir dalam kehendak. Konsepsi

41Ibid,

(22)

dasar dalam pertanggungjawaban hukum adalah konsepsi mengenai satu perbuatan,

mengenai satu manifestasi kehendak di dalam dunia luar. Adanya kesalahan karena

adanya pertanggungjawaban, sebab semua pertanggungjawaban tumbuh dari

kesalahan.42

Pertanggungjawaban pidana atau yang dikenal dengan konsep liability dalam

segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan

bahwa “ I use simple word “liability” for the situation whereby one may exact legally

and other is legally subjeced to the exaction”.43 Pertanggungjawaban pidana

diartikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang

akan diterima oleh pelaku dari seseorang yang telah dirugikan. Menurutnya juga

bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut

masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral

ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.44

Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan

penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan

sepanjang pembuat tidak memiliki defence, ketika melakukan suatu tindak pidana.

Dalam lapangan acara pidana, hal ini berarti seorang terdakwa dipandang

bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat

membuktikan bahwa dirinya mempunyai defence ketika melakukan tindak pidana itu.

42Ibid,

hal. 88

43

Roscoe Pound, Introduction to the Philosophy of Law, dalam Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 65

(23)

Konsep demikian itu membentuk keseimbangan antara hak mendakwa dan menuntut

dari penuntut umum, dan hak menyangkal dan mengajukan pembelaan dari terdakwa.

Penuntut umum berhak untuk mendakwa dan menuntut seseorang karena melakukan

tindak pidana. Untuk itu, penuntut umum berkewajiban membuktikan apa yang di

dakwa dan dituntut itu, yaitu membuktikan hal-hal yang termuat dalam rumusan

tindak pidana. Sementara itu, terdakwa dapat mengajukan pembelaan atas dasar

adanya alasan-alasan penghapus pidana. Untuk menghindar dari pengenaan pidana,

terdakwa harus dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai alasan penghapus

pidana ketika melakukan tindak pidana.45

Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari

ketentuan Pasal 44 Kitab Undang Hukum Pidana. Pasal 44 Kitab

Undang-undang Hukum Pidana merumuskan hal yang dapat mengecualikan pembuat dari

pengenaan pidana. Pengecualian pengenaan pidana di sini dapat dibaca sebagai

pengecualian adanya pertanggungjawaban pidana. Dalam hal tertentu dapat berarti

pengecualian adanya kesalahan. Merumuskan pertanggungjawaban pidana secara

negatif, terutama berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini,

dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan

demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang

diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana.46

45

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan : Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Kencana, 2011),hal. 64

(24)

Pertanggungjawaban pidana di sini dimaksudkan untuk menentukan apakah

seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap

tindakan yang dilakukannya itu.47

Terdapat banyak kasus kejahatan terhadap anak, namun kejahatan eksploitasi

seksual komersial anak merupakan bentuk kejahatan terhadap anak yang sangat

berkembang saat ini. Populasi anak yang menjadi korban semakin meningkat.

Anak-anak yang dijadikan komoditas perdagangan dan objek seks orang dewasa sehingga

banyak anak yang kehilangan masa depannya. Kejahatan eksploitasi seksual

komersial anak dapat dilakukan oleh siapa saja. Bahkan menurut data yang ada,

pelaku eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia adalah orang-orang terdekat

korban baik keluarga, kerabat, teman, maupun orang yang telah dikenal baik oleh

korban.

Dalam hal ini, penggunaan teori pertanggungjawaban pidana adalah untuk

menentukan apakah pelaku ekploitasi seksual komersial anak tersebut dapat

dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang

dilakukannya tersebut. Penggunaan teori pertanggungjawaban pidana maka

diharapkan dapat memenuhi tujuan dari teori pertanggungjawaban yaitu kepercayaan

yang di dapat dari masyarakat. Selain itu, untuk menentukan bahwa pelaku

eksploitasi seksual komersial anak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila

telah terjadi tindak pidana yaitu eksploitasi seksual komersial anak.

47

(25)

2. Kerangka Konsep

Konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk

menghindari pemahaman dan penafsiran yang berbeda antara satu sama lain sekaligus

sebagai pedoman memberikan arahan dalam pemaknaan yang sama terhadap

konsep-konsep yang digunakan, antara lain:

1. Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak

pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu

adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya tindak

pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.

Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang

dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas

“kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.48

2. Pelaku adalah orang yang memenuhi suatu rumusan delik, atau orang yang

memenuhi semua unsur dari rumusan suatu delik.49

3. Kejahatan adalah delik (menurut) hukum (rechtsdelicten). Dalam konteks

kejahatan, suatu perbuatan dipandang mutlak atau secara esensial bertentangan

pengertian tertib hukum.50

4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk

anak yang masih dalam kandungan. 51

48

Chairul Huda, Op. Cit, hal. 70-71

Penentuan batas usia anak tersebut

49

van HATTUM, Hand-en Leerboek I, hal. 379 dalam P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 597

50

(26)

mengacu pada ketentuan dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah

diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990.

Menurut Konvensi Hak Anak, anak didefinisikan sebagai setiap orang yang

berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku

bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. 52

5. Eksploitasi seksual komersial anak adalah penggunaan anak untuk tujuan seksual

dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain antara anak, pembeli jasa seks,

perantara atau agen, dan pihak lain yang memperoleh keuntungan dari

perdagangan seksualitas anak tersebut.53

6. Prostitusi anak adalah penggunaan anak dalam kegiatan seksual dengan

pembayaran atau dengan imbalan dalam bentuk lain.54

7. Pornografi anak adalah setiap representasi, dengan sarana apapun, pelibatan

secara eksplisit seorang anak dalam kegiatan seksual baik secara nyata maupun

51

Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

52

United Nations Children Fund, Convention on The Rights Of The Child, Resolusi PBB No. 44/25, 20 November 1989 dalam Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013) hal. 5

53 Background Paper Prepared for the World Congress Againts Commercial Sexual

Exploitation of Children, Stockholm, 27-31 Agustus 1996, hal. 3 dalam Lampiran Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak. Definisi ekploitasi seksual komersial anak tersebut digunakan dalam Lampiran Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak pada Bab I Lampiran Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002.

(27)

disimulasikan, atau setiap representasi dari organ-organ seksual anak untuk

tujuan seksual.55

8. Perdagangan anak untuk tujuan seksual adalah rekruitmen, transportasi, transfer,

penampungan atau penerimaan atas seseorang yang umurnya belum mencapai

delapan belas tahun untuk tujuan eksploitasi dengan menjerumuskannya kedalam

prostitusi atau dalam bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya.56

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan penelitian

hukum empiris dalam melakukan pengkajian pertanggungjawaban pidana terhadap

kejahatan eksploitasi seksual komersial anak. Penelitian hukum normatif dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.57

55Ibid,

Pasal 2 (c) Background Paper Prepared for the World Congress Againts Commercial Sexual Exploitation of Children menyatakan Child Pornography means any representation, by whatevermeans, of a child engaged in real or simulated explicit sexual activities or any representation of the sexual parts of a child for primarily sesual purposes.

Kemudian sebagai

penelitian hukum normatif, penelitian ini disesuaikan dengan pendekatan yang

digunakan. Untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini pendekatan yang

digunakan adalah melalui pendekatan perundang-undangan (statuate approach) dan

56Ibid. 57

(28)

pendekatan kasus (case approach).58 Sedangkan untuk penelitian hukum empiris dengan cara meneliti data primer yang dilakukan langsung di lapangan.59

Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis yang ditujukan untuk

menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala-gejala hukum terkait

pertanggungjawaban pidana terhadap kejahatan eksploitasi seksual komersial anak.

2. Sumber Data

Sebagai data dalam penelitian ini digunakan data sekunder yang meliputi:

a. Bahan Hukum Primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang

relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta

Amandemen;

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

3. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

5. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang.

6. Undang-Undang No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002 tentang

Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak.

8. Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 1554/Pid.B/2012/PN.Mdn

58

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana , 2011), hal. 93-95

59

(29)

9. Putusan Pengadilan Negeri Kandangan Nomor: 114/Pid.B/2012/PN.Kgn

10. Putusan Pengadilan Negeri Jayapura Nomor: 87/Pid.B/2012/PN.Jpr

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis dan

disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum60

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, meliputi: kamus dan

ensiklopedia hukum.

yang berkaitan mengenai

pertanggungjawaban pidana terhadap kejahatan eksploitasi seksual komersial

anak.

3. Teknik Pengumpulan Data

Data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder

dan bahan hukum tersier merupakan data yang digunakan untuk penelitian hukum

normatif. Untuk memperoleh data yang dapat melengkapi penulisan ini maka juga

akan digunakan data primer. Data primer ini digunakan untuk memperoleh gambaran

langsung mengenai jawaban dari pertanyaan penelitian langsung dari objek

penelitian.

Selanjutnya dalam rangka memperoleh data primer dan data sekunder yang

akurat untuk penelitian ini, maka dilakukan pengumpulan data dengan cara sebagai

berikut:

a. Studi Kepustakaan

60

(30)

Studi untuk menemukan berupa studi dokumen yang dipandang relevan

terkait dengan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan

pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan eksploitasi seksual komersial

anak yang dilakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan

Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

b. Studi Lapangan

Dalam melakukan studi lapangan, maka penelitian dilakukan di Pengadilan

Negeri Medan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara,

Yayasan Pusaka Indonesia Sumatera Utara, dan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak

Sumatera Utara.

Penelitian lapangan dilakukan dengan melakukan wawancara secara langsung

dalam rangka untuk menentukan kapasitas dan kapabilitas serta relevansinya dengan

penelitian ini untuk menghasilkan data primer yang akan menunjang dan melengkapi

data sekunder sebagaimana yang telah diterangkan di atas.

4. Analisis Data

Setelah data dikumpulkan maka dilakukan analisa data sedemikian rupa

sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk

menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Analisa dalam penelitian ini dilakukan

secara kualitatif dengan sifat deskriptif analitis. Hasil studi kepustakaan berupa bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier serta hasil

wawancara dikumpulkan. Selanjutnya, semua data tersebut diolah dan dianalisis

Referensi

Dokumen terkait

Mann-Whitney sesudah perlakuan didapatkan bahwa metode stimulasi perkembangan satu jam bersama ibu efektif untuk perkembangan anak usia 12-24 bulan dengan tingkat signifikansi

Setidaknya ada tiga tujuan dalam penelitian ini, yang pertama u ntuk memahami dan melakukan analisis bagaimana metode penanaman nilai-nilai agama Islam dalam

Pada tahap design ini merupakan proses mengubah kebutuhan yang ada dalam tahap plan menjadi rancangan sistem yang diimplementasikan secara nyata. Pada tahap

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.J DENGAN GANGGUAN SENSORI PERSEPSI : HALUSINASI PENDENGARAN.. DI RUANG BIMA RUMAH SAKIT UMUM

Penilaian merupakan komponen penting dalam sistem pendidikan untuk mengetahui perkembangan dan tingkat pencapaian hasil pembelajaran. Penilaian memerlukan data yang baik. Salah satu

Berdasarkan hasil penelusuran peneliti di Indonesia belum banyak penelitian terkait pemanfaatan kola- gen ikan untuk penyembuhan luka, sehingga peneliti tertarik

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan bahwa dengan menerapkan model contextual teaching and learning dapat meningkatkan aktivitas guru dan siswa serta

Pekerja sekarang umumnya dituntut untuk sanggup melakukan pengayaan atau ( enrichment ) dari bentuk pekerjaan yang telah ada. Setiap individu dituntut untuk semakin aktif