• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Umum - Kajian Sistem Jaringan Drainase Guna Menanggulangi Genangan Air Hujan di Kawasan Pasar Glugur Kota Rantauprapat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Umum - Kajian Sistem Jaringan Drainase Guna Menanggulangi Genangan Air Hujan di Kawasan Pasar Glugur Kota Rantauprapat"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Umum

Drainase berasal dari bahasa inggris yaitu drainage yang artinya mengalirkan, menguras, membuang atau mengalihkan air. Dalam bidang Teknik Sipil, drainase secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan maupun kelebihan air irigasi dari suatu kawasan/lahan, sehingga fungsi kawasan/lahan tidak terganggu (Suripin, 2004).

Kelebihan air pada suatu kawasan perkotaan akibat air hujan dan air limbah rumah dialirkan melalui suatu bangunan drainase perkotaan ke badan air. Untuk dapat menjalankan fungsinya drainase terdiri dari beberapa elemen bangunan yang direncanakan secara sistimatis sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga membentuk suatu sistem drainase, sehingga sistem drainase dapat didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal (Suripin, 2004) yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat.

2.1.1 Sistem Drainase

(2)

penerima (interceptor drain), saluran pengumpul (collector drain), saluran pembawa (conveyor drain), saluran induk (main drain), dan badan air penerima (receivingwaters). Di sepanjang sistem sering dijumpai bangunan lainnya, seperti gorong-gorong, jembatan-jembatan, talang dan saluran miring/got miring (Suripin, 2004).

Sesuai dengan cara kerjanya, jenis saluran drainase buatan dapat dibedakan menjadi:

a. Saluran Interceptor (Saluran Penerima)

Berfungsi sebagai pencegah terjadinya pembebanan aliran dari suatu daerah terhadap daerah lain di bawahnya. Saluran ini biasanya dibangun dan diletakkan pada bagian yang relatif sejajar dengan garis kontur. Outlet dari saluran ini biasanya terdapat di saluran collector atau

conveyor atau langsung di natural drainage/sungai alam. b. Saluran Collector (Saluran Pengumpul)

Berfungsi sebagai pengumpul debit yang diperoleh dari saluran drainase yang lebih kecil dan akhirnya akan dibuang ke saluran conveyor

(pembawa).

c. Saluran Conveyor (Saluran Pembawa)

Berfungsi sebagai pembawa air buangan dari suatu daerah ke lokasi pembuangan tanpa harus membahayakan daerah yang dilalui.

Menurut keberadaannya, sistem jaringan drainase dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:

a. Natural Drainage (Drainase Alamiah)

(3)

bertahun-tahun mengikuti hukum alam yang berlaku. Dalam kenyataannya sistem ini berupa sungai beserta anak-anak sungainya yang membentuk suatu jaringan alur aliran.

b. Artifical Drainage (Drainase Buatan)

Dibuat oleh manusia, dimaksudkan sebagai upaya penyempurnaan atau melengkapi kekurangan-kekurangan sistem drainase alamiah dalam fungsinya membuang kelebihan air yang mengganggu. Jika ditinjau dari sistem jaringan drainase, kedua sistem tersebut harus merupakan kesatuan tinjauan yang berfungsi secara bersama.

Menurut konstruksinya, saluran drainase dapat dibedakan menjadi: a. Drainase saluran terbuka

Saluran drainase primer biasanya berupa saluran terbuka, baik berupa saluran dari tanah, pasangan batu kali atau beton.

b. Drainase saluran tertutup

Pada kawasan perkotaan yang padat, saluran drainase biasanya berupa saluran tertutup. Saluran dapat berupa buis beton yang dilengkapi dengan bak pengontrol, atau saluran pasangan batu kali/beton yang diberi plat tutup dari beton bertulang. Karena tertutup, maka perubahan penampang saluran akibat sedimentasi, sampah dan lain-lain tidak dapat terlihat dengan mudah (Suripin, 2004).

Menurut fungsinya, saluran drainase dapat dibedakan menjadi:

a. Single purpose, yaitu saluran hanya berfungsi mengalirkan satu jenis air buangan saja.

(4)

buangan, baik secara tercampur maupun secara bergantian.

Menurut konsepnya, sistem jaringan drainase dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:

a. Drainase konvensional

Drainase konvensional adalah upaya membuang atau mengalirkan air kelebihan secepatnya ke sungai terdekat. Dalam konsep drainase konvensional, seluruh air hujan yang jatuh di suatu wilayah harus secepatnya dibuang ke sungai dan seterusnya mengalir ke laut. Jika hal ini dilakukan pada semua kawasan, akan memunculkan berbagai masalah, baik di daerah hulu, tengah, maupun hilir.

Dampak dari pemakaian konsep drainase konvensional tersebut dapat kita lihat sekarang ini, yaitu kekeringan yang terjadi di mana-mana, juga banjir, longsor, dan pelumpuran. Kesalahan konsep drainase konvensional yang paling pokok adalah filosofi membuang air genangan secepatnya ke sungai. Demikian juga mengalirkan air secepatnya berarti menurunkan kesempatan bagi air untuk meresap ke dalam tanah. Dengan demikian, cadangan air tanah akan berkurang kekeringan di musim kemarau akan terjadi. Sehingga banjir dan kekeringan merupakan dua fenomena yang saling memperparah dan terjadi susul-menyusul.

b. Drainase Ramah Lingkungan

(5)

kelebihan pada musim hujan harus dikelola sedemikian rupa sehingga tidak mengalir secepatnya ke sungai. Namun diusahakan meresap ke dalam tanah, guna meningkatkan kandungan air tanah untuk cadangan pada musim kemarau.

Beberapa metode drainase ramah lingkungan yang dapat dipakai diantaranya adalah metode kolam konservasi, metode sumur resapan, metode river side polder, dan metode pengembangan areal perlindungan air tanah.

2.1.2 Pola Jaringan Drainase

Pola jaringan drainase adalah perpaduan antara satu saluran dengan saluran lainnya baik yang fungsinya sama maupun berbeda dalam suatu kawasan tertentu. Beberapa contoh model pola jaringan yang dapat diterapkan dalam perencanaan jaringan drainase meliputi:

1. Pola Siku

Dibuat pada daerah yang mempunyai sedikit lebih tinggi dari pada sungai. Sungai sebagai saluran saluran pembuang akhir berada di tengah kota.

(6)

2. Pola Paralel

Saluran utama terletak sejajar dengan saluran cabang. Dengan saluran cabang (sekunder) yang cukup banyak dan pendek-pendek, apabila terjadi perkembangan kota, saluran saluran akan dapat menyesuaikan diri.

Gambar 2.1 Pola jaringan paralel

3. Pola Grid Iron

Untuk daerah dimana sungainya terletak di pinggir kota, sehingga saluran cabang dapat dikumpulkan dulu pada saluran pengumpul

(7)

4. Pola Alamiah

Sama seperti pola siku hanya beban sungai pada pola alamiah lebih besar.

Gambar2.4 pola jaringan alamiah

5. Pola Radial

Pada daerah berbukit, sehingga pola saluran memencar ke segala arah.

Gambar2.5 Pola jaringan Radial

6. Pola Jaring-Jaring

(8)

Gambar2.6 Pola jaringan Jaring jaring

2.2 Analisis Hidrologi

Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk air, kejadian dan distribusinya, sifat alami dan sifat kimianya, serta reaksinya terhadap kebutuhan manusia.

(9)

2.2.1 Siklus Hidrologi

Siklus hidrologi merupakan serangkaian proses gerakan/perpindahan air di alam yang berlangsung secara terus menerus. Gerakan air ke udara, air kemudian jatuh kepermukaan laut/tanah, air mengalir di permukaan/dalam tanah kembali ke laut atau langsung menguap ke udara merupakan proses sederhana dari siklus. Rangkaian proses dalam siklus hidrologi tersebut merupakan hal penting yang harus dimengerti oleh para ahli teknik keairan.

Ada empat macam proses penting dari siklus hidrologi yang harus dipahami yang berkaitan dengan perencanaan bangunan air yaitu:

a. Presipitasi adalah uap air di atmosfir terkondensasi dan jatuh ke permukaan bumi dalam berbagi bentuk (hujan, salju, kabut, embun);

b. Evaporasi adalah penguapan air dari permukaan badan air (sungai, danau, waduk)

c. Infiltrasi adalah air yang jatuh ke permukaan menyerap kedalam tanah; d. Limpasan permukaan (surface run off) dan limpasan air tanah (subsurface

runoff).

Konsep sederhana dari siklus yang menunjukkan masing-masing proses digambarkan secara skematik seperti pada Gambar 2.7

(10)

Proses penting yang berkaitan dengan drainase adalah presipitasi dan limpasan permukaan. Proses yang dapat dikelola oleh para ahli teknik adalah limpasan permukaan.

Karakteristik presipitasi (hujan) yang perlu dipelajari dalam analisis dan perencanaan prasarana yang berhubungan dengan hujan seperti drainase adalah:

a. Intensitas hujan (I) adalah laju hujan atau tinggi genangan air hujan persatuan waktu (mm/menit, mm/jam, atau mm/hr);

b. Lama waktu hujan (durasi, t) adalah rentang waktu kejadian hujan (menit atau jam);

c. Tinggi hujan d, adalah kedalaman/ketebalan air hujan diatas permukaan datar selama durasi hujan (mm);

d. Frekuensi terjadinya hujan (T) adalah frekwensi kejadian hujan dengan intensitas tertentu yang biasanya dinyatakan dengan kala ulang (return period) T (tahun);

e. Luas hujan adalah luas geografis daerah sebaran hujan.

2.2.2 Curah Hujan Kawasan

(11)

dipergunakan pada suatu DAS dapat ditentukan dengan mempertimbangkan tiga faktor seperti pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Tabel Pemilihan metode analisis sesuai dengan kondisi DAS

No. Kondisi DAS Metode

1. Jaring-Jaring Pos Penakar Hujan

Jumlah pos penakar hujan cukup

Jumlah pos penakar hujan terbatas Jumlah pos penakar hujan tunggal

Metode isohyet, Thiessen, atau Rata-Rata Aljabar

Thiessen, atau Rata-Rata Aljabar Metode Hujan Titik

  2.

Luas DAS

DAS besar (>5000 km2)

DAS sedang (500 s/d 5000 km2) DAS kecil ( < 500 km2

Metode Isohyet Metode Thiessen

Metode Rata-Rata Aljabar

3. Tofografi DAS

Pegunungan Dataran

Berbukit dan tidak beraturan

Metode Rata-Rata Aljabar

Metode Thiessen , Metode Rata-Rata Aljabar

Metode Isohyet

Sumber : Suripin, 2004

 

a. Cara Tinggi Rata-Rata (Arithmatic Mean)

(12)

sederhana. Biasanya cara ini dipakai pada daerah yang datar dan banyak stasiun curah hujannya, dengan anggapan bahwa di daerah tersebut sifat curah hujannya adalah sama rata (uniform distribution). Tinggi rata-rata curah hujan didapatkan dengan mengambil nilai rata-rata pengukuran hujan di pos penakar hujan di dalam areal tersebut. Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:

     

n

i n

n d n

d d

d d d

1 1 3

2

1 ....

... (1)

Dimana:

d = tinggi curah hujan rata-rata (mm)

d1, d2, d3,...dn = tinggi curah hujan di stasiun 1,2,3,...,n (mm) n = banyaknya stasiun penakar hujan

Gambar 2.8 DAS dengan Tinggi rata-rata

(13)

b. Metode Poligon Thiessen

Cara ini diperoleh dengan membuat poligon yang memotong tegak lurus pada tengah-tengah garis penghubung dua stasiun hujan. Dengan demikian tiap stasiun penakar Rn akan terletak pada suatu poligon tertentu An. Dengan menghitung perbandingan luas untuk setiap stasiun yang besarnya

= A

An , dimana A adalah luas daerah penampungan atau jumlah luas seluruh

areal yang dicari tinggi curah hujannya. Curah hujan rata-rata diperoleh dengan cara menjumlahkan pada masing-masing penakar yang mempunyai daerah pengaruh yang dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua pos penakar. Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:

A

d A d

A d A d A

d  1. 1  2. 2  3. 3 ... n n =

A d Ai i

.

  ... (2)      

Keterangan:

A = Luas areal (km2)

d = Tinggi curah hujan rata-rata areal d1, d2, d3,...dn = Tinggi curah hujan di pos 1, 2, 3,...n A1, A2, A3,...An= Luas daerah pengaruh pos 1, 2, 3,...n  

         

 

(14)

c. Metode Isohyet

Metode ini memperhitungkan secara aktual pengaruh tiap-tiap pos penakar hujan. Metode ini cocok untuk daerah berbukit dan tidak teratur dengan luas lebih dari 5000 km2. Hujan rerata daerah dihitung dengan persamaan berikut (Suripin, 2004). Dalam metode ini harus digambarkan dahulu kontur dengan tinggi hujan yang sama (isohyet). Kemudian luas bagian di antara isohyet-isohyet yang berdekatan diukur, dan harga rata-ratanya dihitung sebagai harga rata-rata timbang dari nilai kontur, dengan persamaan sebagai berikut :

n yang bersangkutan

(15)

Gambar 2.10 Hitungan dengan Metode Isohyet

Ini adalah cara yang paling teliti untuk mendapatkan hujan areal rata-rata, tetapi memerlukan jaringan stasiun penakar yang relatif lebih padat yang memungkinkan untuk membuat garis-garis Isohyet. Pada waktu menggambar garis-garis Isohyet sebaiknya juga memperhatikan pengaruh bukit atau gunung terhadap distribusi hujan.

2.2.3 Distribusi Frekuensi Curah Hujan

Curah hujan maksimum adalah curah hujan terbesar tahunan dengan suatu kemungkinan terjadi yang tertentu, atau hujan dengan suatu kemungkinan periode ulang tertentu. Metode analisis hujan rancangan tersebut pemilihannya sangat bergantung dari kesesuaian parameter statistik dari data yang bersangkutan, atau dipilih berdasarkan pertimbangan-pertim bangan teknis lainnya. Beberapa metode perhitungan menggunakan persamaan berikut :

a. Distribusi Gumbel

Menurut Gumbel (1941) dalam buku Suripin (2004), persoalan tertua adalah berhubungan dengan nilai-nilai ekstrem datang dari persoalan banjir. Tujuan teori statistik nilai-nilai ekstrem adalah untuk menganalisis hasil pengamatan nilai-nilai ekstrem tersebut untuk memperkirakan nilai-nilai ekstrem berikutnya.

(16)

probabilitas kumulatifnya P, pada sebarang nilai di antara n buah nilai Xn akan lebih kecil dari nilai X tertentu (dengan waktu balik Tr), mendekati

) (

)

(

X

e

e a x b

P

   ... (5)

Jika diambil Y = a(X-b), maka dapat menjadi

Y

e

e X

P( )  ... (6)

Dengan ; e = bilangan alam = 2.7182818

Y = reduced variate

Jika diambil nilai logaritmanya dua kali berurutan dengan bilangan dasar e terhadap rumus (6) didapat

ln ln ( )

1

X P ab

a

X    ... (7)

Waktu balik merupakan nilai rat-rat banyaknya tahun (karena Xn merupakan data debit maksimum dalam tahun), dengan suatu variate disamai atau dilampaui oleh suatu nilai, sebanyak satu kali. Jika interval antara 2 buah pengamatan konstan, maka waktu baliknya dapat dinyatakan sebagai berikut :

) ( 1

1 )

(

X P X

Tr

 ... (8)

(17)

Chow menyarankan agar variate X yang menggambarkan deret hidrologi acak dapat dinyatakan dengan rumus berikut ini

K

X   . ... (11)

Dengan  = Nilai tengah (mean) populasi  = Standard deviasi populasi K = Factor frekwensi

Rumus (11) dapat diketahui dengan

sK X

X   ... (12)

Dengan X = nilai tengah sampel s = Standard deviasi sampel

Faktor frekwensi K untuk nilai-nilai ekstrim Gumbel ditulis dengan rumus berikut ini :

Yn= Reduced mean yang tergantung dari besarnya sampel n

(18)

Tr = periode ulang (return period).

Periode ulang untuk debit rencana saluran berdasarkan besar kota dapat ditentukan berdasarkan Tabel 2.2

Tabel 2.2 Rencana periode ulang sistem drainase

No. Uraian

Berdasarkan Jumlah Penduduk (P)

Periode Ulang Desain (Tr)

1. Sistem Drainase Primer (Catchment Area > 500 ha)

Metropolitan (P >2.000.000) Besar (500.000<P<2.000.000) Sedang (200.000 <P<500.000) Kecil (P<200.000)

10 -25 5 – 15 5 – 10 2-5

2. Sistem Drainase Sekunder (Catchment Area 100 - 500 ha)

Metropolitan (P >2.000.000) Besar (500.000 <P<2.000.000) Sedang (200.000 <P<500.000) Kecil (P<200.000)

5 - 10 2-5 2-5 1-2

3. Sistem Drainase Tertier (Catchment Area 10 - 100 ha)

Metropolitan (P >2.000.000) Besar (500.000 <P<2.000.000) Sedang (200.000 <P<500.000) Kecil (P<200.000)

2-5 2-5 2-5 1-2

4. Sistem Drainase (Catchment Area <10 ha)

Metropolitan (P >2.000.000) Besar (500.000 <P<2.000.000) Sedang (200.000 <P<500.000) Kecil (P<200.000)

1-2 1-2 1-2 1-2

Sumber :Suripin,2004

(19)

Jika dimasukkan a s Sn

 dan b

s s Y

Xn.  , maka

T

T Y

a b

X  1 ... (15)

Dengan XT = debit banjir waktu balik T tahun YT = Reduced varíate

b. Distribusi Log Pearson Type III

Parameter-parameter statistic yang diperlukan oleh distribusi Pearson Type III adalah:

 Nilai tengah

 Standard deviasi

 Koefisien skewness

Untuk menghitung banjir perencanaan dalam praktek, the Hydrology Committee of the Water Resources Council, USA, menganjurkan, pertama kali mentransformasikan data ke nilai-nilai logaritma kemudian menghitung parameter-parameter statistiknya. Karena transformasi tersebut, maka cara ini disebut log Pearson type III.

Dalam pemakaian Log Pearson Type III, kita harus mengkonversi rangkaian datanya menjadi logaritma.

Rumus untuk metode Log Pearson :

Log Xr=

n LogX

n

i

i

1 ... (16)

(20)

Sx =

1

) (

1

2

 

n

LogX LogX

n

i

r i

... (17)

dengan: Sx = Standard deviasi

Nilai XT bagi setiap probabilitas dihitung dari persamaan yang telah dimodifikasikan :

Log XT = log Xr + K. log Sx ... (18)

dengan :

XT = besarnya curah hujan rancangan untuk periode ulang pada T tahun K = faktor freluensi yang merupakan fungsi dari periode ulang dan tipe

distribusi frekuensi.

c. Distribusi Normal

Untuk analisis frekuensi curah hujan menggunakan metode distribusi Normal, dengan persamaan sebagai berikut :

. ... (19)

Dengan :

XT = Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan rencana untuk periode ulang T tahun.

= Harga rata – rata dari data = ∑ Sx = Standard Deviasi

K = Variabel reduksi Gauss

d. Distribusi Log-Normal

Untuk analisis frekuensi curah hujan menggunakan metode distribusi Log Normal, dengan persamaan sebagai berikut :

(21)

µ =½ln ( µ

µ ) ... (21)

= ln ( µ

µ ) ... (22)

Besarnya asimetri adalah

γ = 3 ... (23)

dengan

µ 1

0,5

... (24)

kurtosis

k = 6 15 16 3 ... (25)

Dengan persamaan (25), dapat didekati dengan nilai asimetri 3 dan selalu bertanda positif. Atau nilai ‘skewness’ Cs kira-kira sama dengan tiga kali nilai koefisien variasi Cv.

 

2.2.4 Uji Kesesuaian Pemilihan Distribusi

(22)

……….(26) Dengan :

X2 = Chi-Square.

Ef = frekuensi (banyaknya pengamatan) yang diharapkan Of = frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama.

Nilai X2 yang terhitung ini harus lebih kecil dari harga X2cr (yang didapat dari tabel Chi-Square).

Derajat kebebasan ini secara umum dapat dihitung dengan :

DK = K – (P + 1)………(27) Dengan :

DK = derajat kebebasan. K = banyaknya kelas.

P = banyaknya keterikatan atau sama dengan banyaknya parameter, yang untuk sebaran Chi-Square adalah sama dengan 2 (dua).

(23)

Tabel 2.3 Nilai X2cr untuk uji Chi-Square

Dk a derajat kepercayaan

0.995 0.99 0.975 0.95 0.05 0.025 0.01 0.005 1 0.0000393 0.000157 0.000982 0.00393 3.841 5.024 6.635 7.879 2 0.01 0.0201 0.0506 0.103 5.991 7.378 9.21 10.597 3 0.0717 0.115 0.216 0.352 7.815 9.348 11.345 12.838 4 0.207 0.297 0.484 0.711 9.488 11.143 13.277 14.86 5 0.412 0.554 0.831 1.145 11.07 12.832 15.086 16.75 6 0.676 0.872 1.237 1.635 12.592 14.449 16.812 18.548 7 0.898 1.239 1.69 2.167 14.067 16.013 18.472 20.278 8 1.344 1.646 2.18 2.733 15.507 17.535 20.09 21.955 9 1.735 2.088 2.7 3.325 16.919 19.023 21.666 23.589 10 2.156 2.558 3.247 3.94 18.307 20.483 23.209 25.188 11 2.603 3.053 3.816 4.575 19.675 21.92 24.725 26.757 12 3.074 3.571 4.404 5.226 21.026 23.337 26.712 28.3 13 3.565 4.107 5.009 5.892 22.362 24.736 27.688 29.819 14 4.075 4.66 5.629 6.571 23.685 26.119 29.141 31.319 15 4.601 5.229 6.262 7.261 24.996 27.488 30.578 32.801 16 5.142 5.812 6.908 7.962 26.296 28.845 32 34.267 17 5.697 6.408 7.564 8.672 27.587 30.191 33.409 35.718 18 6.265 7.015 8.231 9.39 28.869 31.526 34.805 37.156 19 6.844 7.633 8.907 10.117 30.144 32.852 36.191 38.582 20 7.434 8.26 9.591 10.851 31.41 34.17 37.566 39.997

Sumber: Suripin (2004)

(24)

Distribusi hujan jam-jaman dihitung untuk mendapatkan hidrograf banjir rancangan dengan cara unit hidrograf, untuk mendapatkan curah hujan jam-jaman dihitung Rational Method dianggap hujan terpusat selama 5 jam setiap hari dengan rumus sebagai berikut:

a. Rerata hujan sampai jam ke T maka:

Rt = Ro ( t 5

) 2/3. ... (28 )

dimana : Rt : intensitas hujan selama t jam (mm/jam); t : lama hujan (jam).

Ro : hujan harian rerata (mm) : 5

R24 R

24: hujan harian efektif

b. Curah hujan jam ke t ialah

Rt = t . Rt – (t – 1) .R( t – 1 ) ... (29)

dimana: RT : curah hujan pada jam ke t (mm); Rt : intensitas hujan selama t jam;

T : lamanya hujan (jam); R( t – 1 ): intensitas hujan selama (t-1) jam.

Dengan masukkan harga t = 1 sampai t = 5, maka pola pembagian hujan. t = 1.

R ( 1 ) = t(

5

24 R (

t

5 ) 2/3 ) –R( t – 1 ).(t – 1)

= 1.(

5

R24 ( 5 ) 2/3

)-0=0,585R24

Hidrograf banjir dipengaruhi oleh hujan efektifnya. Sedang hujan efektif dipengaruhi oleh koefisien pengaliran. Rumus koefisien pengaliran sebagai berikut:

f = 1 -

 

1/2

65 . 5

(25)

dimana: f : koefisien pengaliran; Rt : kemungkinan hujan harian maksimum (mm). Sedangkan rumus untuk menentukan hujan efektif adalah sebagai berikut:

Re (hujan efektif) = f. Rt ... (31) dimasukkan harga curah hujan rancangan, hujan efektif akan didapatkan.

2.2.6 Intensitas Curah Hujan Rencana

Intensitas hujan didefinisikan sebagai tinggi curah hujan persatuan waktu. Untuk mentransformasikan tinggi hujan rencana menjadi debit banjir rancangan diperlukan curah hujan jam-jaman. Pada umumnya data hujan yang tersedia pada stasiun meteorologi adalah data hujan harian, artinya data yang tercatat secara kumulatif selama 24 jam.

Jika data hujan jaman tidak ter-sedia, maka pola distribusi hujan jam-jaman dapat dilakukan dengan menggu-nakan pendekatan sebaran dan nisbah hujan jam-jaman dengan menggunakan Rumus Mononobe sebagai berikut :

I = ( t R24 ) x (

c T

T )2/3 ... (32)

Dengan : I = intensitas hujan rata-rata dalam t jam (mm/jam) R24 = curah hujan efektif dalam satu hari (mm); t = lama waktu hujan (jam);

T = waktu mulai hujan (jam); Tc = waktu konsentrasi hujan (jam).

77 , 0

0195 ,

0 

     

s L

T s

c menit ...(33)

(26)

 

2.2.7 Koefisien Limpasan (run off)

Koefisien limpasan adalah suatu variabel yang didasarkan pada kondisi daerah pengaliran dan karakteristik hujan yang jatuh di daerah tersebut. Adapun kondisi dan karakteristik yang dimaksud adalah :

1.Keadaan hujan

2.Luas dan bentuk daerah aliran

3.Kemiringan daerah aliran dan kemi-ringan dasar sungai 4.Daya infiltrasi dan perkolasi tanah

5.Kelembaban tanah

6.Suhu udara dan angin serta evaporasi 7.Tata guna tanah

Faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan adalah:

a. Faktor meteorologi yang meliputi intensitas curah hujan, durasi curah hujan dan distribusi curah hujan;

b. Karakteristik daerah aliran yang meliputi luas dan bentuk daerah aliran, tofografi dan tata guna lahan.

Salah satu metoda untuk memperkirakan koefisien aliran permukaan (C) adalah metoda rasional USSCS (1973). Berdasarkan metoda ini, faktor utama yang mempengaruhi nilai C adalah laju infiltrasi tanah atau persentase lahan kedap air, kemiringan lahan, vegetasi, sifat dan kondisi tanah dan intensitas hujan.

2.2.8 Analisa Debit Banjir Rancangan

(27)

saluran drainase utama di dalam daerah studi. Debit banjir rancangan (Qr) adalah debit air hujan (Qah) ditambah dengan debit air kotor (Qak). Bentuk perumusan dari debit banjir rancangan tersebut sebagai berikut :

Qr = Qah + Qak ... (34) dengan :

Qr = debit banjir rancangan (m3/detik) Qah = debit air hujan (m3/detik)

Qak = debit air kotor (m3/detik)

2.2.8.1 Debit Air Hujan

Metode yang digunakan untuk menghitung debit air hujan pada saluran-saluran drainase dalam studi ini adalah metode rasional USSCS (1973). Rumus ini banyak digunakan untuk sungai-sungai biasa dengan daerah pengaliran yang luas dan juga untuk perencanaan drainase daerah pengaliran yang sempit.Pada 1889, Kuichling (USA) memperkenalkan bentuk umum persamaan metrik sebagai berikut (Subarkah, 1980) :

Qah = I(

jam

mm ).A(km2 )

= (

s m

3600 103

)(1000000m2)

= 0,2778 m3/det

Qah = 0,2778 C I A ... (35) Dimana: Q = debit banjir rencana (m3/det),

C = koefisien run off,

I = intensitas hujan untuk waktu konstan (mm/jam) A = luas catchment area (km2).

2.2.8.2 Debit Air Kotor

(28)

jumlah penduduk dan kebutuhan air rata-rata penduduk. Adapun besarnya kebutuhan air penduduk rata-rata adalah 250 liter/orang/hari. Sedangkan debit kotor yang harus dibuang di dalam saluran adalah 70% dari kebutuhan air bersih sehingga besarnya air buangan adalah (Wesli:2003) :

250 x 70% = 175 liter/orang/hari = 2,025 x 10-6m3/det/orang

Untuk menghitung debit air kotor diperlukan data luas daerah pengaliran, kepadatan penduduknya, peningkatan penduduk setiap tahunnya dan rata-rata buangan air limbah penduduk perhari.

1. Menghitung jumlah penduduk dalam daerah pengaliran:

Po= Sp x A ... (36) Dimana : Sp = Kepadatan Penduduk

A = Luas Daerah Pengaliran

... (37)

2. Menghitung jumlah penduduk periode 5 (lima) tahun dalam daerah

pengaliran:

1 ... (38)

Dimana: Po = jumlah penduduk tahun 2011

Pn = jumlah penduduk periode n tahun

n = periode pertambahan penduduk (tahun)

m = laju pertumbuhan penduduk

Dengan demikian jumlah air kotor yang dibuang pada suatu daerah setiap km2 adalah

... (39)

(29)

2.3 Analisis Sistem Drainase

Analisis sistem drainase dilakukan untuk mengetahui apakah secara teknis sistem drainase direncanakan sesuai dengan persyaratan teknis. Analisis sistem drainase diantaranya adalah perhitungan kapasitas saluran, penentuan tinggi jagaan, penentuan daerah sempadan, perhitungan kepadatan drainase, dan bagunan-bangunan yang dibutuhkan dalam sistem drainase.

Dalam kaitannya dengan pekerjaan pengendalian banjir, analisis sistem drainase digunakan untuk mengetahui profil muka air, baik kondisi yang ada (eksisting) maupun kondisi perencanaan. Untuk mendukung analisa hitungan guna memperoleh parameterisasi desain yang handal, dibutuhkan validasi data dan metode hitungan yang representatif. Analisis untuk drainase dapat dijelaskan sebagai berikut:

2.3.1 Kapasitas Saluran

Kapasitas rencana dari setiap komponen sistem drainase dihitung berdasarkan rumus Manning:

Q sal= Vsal x Asal ... (40)

Vsal =

n

1 R2/3

S1/2 ... (41)

Qsal =

n

1 .R2/3

S1/2.Asal ... (42)

Dimana: Vsal = kecepatan aliran rata-rata dalam saluran (m/det), Qsal = debit aliran dalam saluran (m3/det),

n = koefisien kekasaran Manning, R = jari jari hidraulik (m), R =

P

A dimana Asal = luas penampang saluran (m2)

(30)

a. Pe emiringan d sebut S = 0, emiringan d

uas Penampa

eliling Basah

ri jari hidrol

Trapesium (G

g ekonomis

amaan: ...

...

arkan jenis b tentukan be

yang digun

(31)

Tin tengah dari

G ar dasar salu miringan talu alaman salu ling basah s

ersegi ang melinta aman air h, ka bentuk p etengah dar

ng saluran (m is (m) luran

saran Mann

uran (m) ri lebar das

air.

12 Penampa

g persegi ya

...

... m2)

ning

n berbentuk mpang basa g persegi pa sar saluran

ang Saluran

(32)

B 2h atau h =

2

B ... (50)

Jari-jari hidroulik R :R = P

A ... (51)

Tabel 2.4 Nilai Koefisien Kekasaran Manning (n)

(33)

Sumber :Chow, 1959

2.3.2 Tinggi Jagaan (freeboard)

Saluran, dilapis atau dipoles 1. Logam

a. Baja dengan permukaan licin Tidak dicat

Dicat

b. Baja dengan permukaan bergelombang 2. Bukan logam

a. Semen Acian Adukan b. Kayu

Diserut, tidak diawetkan Diserut , diawetkan dengan creosoted

Tidak diserut Papan

Dilapis dengan kertas kedap air c. Beton

Dipoles dengan sendok kayu Dipoles sedikit

Dipoles Tidak dipoles

Adukan semprot, penampang rata Adukan semprot, penampang bergelombang

Pada galian batu yang teratur Pada galian batu yang tak teratur d. Dasar beton dipoles sedikit dengan

tebing dari

Batu teratur dalam adukan Batu tak teratur dalam adukan Adukan batu, semen, diplester Adukan batu dan semen e. Batu kosong atau rip-rap f. Dasar kerikil dengan tebing dari

Beton acuan

Batu tak teratur dalam adukan Batu kosong atau rip-rap g. Bata

Diglasir

Dalam adukan semen h. Pasangan batu

Batu pecah disemen Batu kosong i. Batu potong, diatur j. Aspal

Halus Kasar

k. Lapisan dari tanaman

(34)

Yang dimaksud dengan Freeboard dari suatu saluran drainase adalah jarak vertikal dari puncak tanggul sampai permukaan air pada kondisi perencanaan. Suatu Freeboard direncanakan untuk dapat mencegah peluapan air akibat gelombang serta fluktuasi permukaan air, akibat gerakan angin serta pasang surut. Jagaan tersebut direncanakan antara 5 % sampai dengan 30 % dari dalamnya aliran.

Tinggi jagaan untuk saluran terbuka dengan permukaan diperkeras (lining) ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain:

a. Ukuran saluran;

b. Kecepatan pengaliran;

c. Arah dan belokan saluran;

d. Debit banjir;

e. Gelombang permukaan akibat tekanan aliran sungai.

Tabel 2.5 Tinggi Freeboard

Q (m3/ dt)

Tinggi Jagaan (m) < 0,5

0,5 – 1,5

1,5 – 5,0

5,0 – 10,0

10,0 – 15,0

> 15,0

0,40

0,50

0,60

0,75

0,85

1,00

Gambar

Gambar 2.1 Pola jaringan siku
Gambar 2.1 Pola jaringan paralel
Gambar 2.7  Siklus hidrologi
Tabel 2.1  Tabel Pemilihan metode analisis sesuai dengan kondisi DAS
+7

Referensi

Dokumen terkait

Diisi Pengadilan Tingkat Banding masing-masing Unit Kerja (Contoh: PT. Jawa Timur).. Diisi Pengadilan/ Unit Kerja masing-masing (Contoh: PN. Surabaya) Diperbolehkan isi

Tanda Daftar Usaha Pariwisata yang selanjutnya disingkat TDUP adalah dokumen resmi Izin yang diterbitkan Bupati dan/atau pejabat yang ditunjuk, sebagai

Faktor yang sangat mempengaruhi status gizi adalah pola asuh gizi anak melalui makanan, yang akan direspon dan dipraktekan oleh pemberi perawatan secara berbeda-beda pada

BAB III, penulis akan mendeskripsikan fluktuasi hubungan Suriah dengan Rusia BAB IV, berisi tentang pembuktian pada jawaban hipotesa, penulis akan menjelaskan alasan

Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Diploma III Teknik Informatika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Dari beberapa teori mengenai iklim kelas tersebut, maka dapat diambil pengertian bahwa iklim kelas merupakan kondisi psikologis dan hubungan sosial yang terbentuk dari

Solusi yang peneliti usulkan berdasarkan permasalahan di atas adalah dengan mengembangkan sebuah aplikasi media pembelajaran untuk anak usia dini yang dikembangkan

Setiap orang, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara dan/atau penanggung jawab tempat/kegiatan dan fasilitas umum yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 11