BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Sampel 2.1.1 Alpukat
Menurut United States Department of Agriculture (1994), klasifikasi
lengkap tanaman alpukat adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Sub kingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super divisio : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisio : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Class : Magnoliopsida (Berkeping dua/dikotil)
Sub class : Magnoliidae
Ordo : Laurales
Familia : Lauraceae
Genus : Persea
Species : Persea americana Mill
Hampir semua orang mengenal alpukat karena buah ini dapat
ditemukan di pasar-pasar setiap saat, tanpa mengenal musim. Menurut
sejarahnya, tanaman alpukat berasal dari daerah tropis Amerika. Nikolai
Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet, memastikan sumber genetik
kemudian menyebar ke berbagai negara yang beriklim tropis (Rukmana,
1997).
Tanaman alpukat terdiri dari 3 tipe keturunan/ras, yaitu :
1. Ras Meksiko
Berasal dari dataran tinggi Meksiko dan Ekuador beriklim semi tropis
dengan ketinggian antara 2.400-2.800 meter di atas permukaan laut. Ras ini
mempunyai daun dan buah yang berbau adas. Masa berbunga sampai buah bisa
dipanen lebih kurang 6 bulan. Buah kecil dengan berat 100-225 gram, bentuk
jorong (oval), bertangkai pendek, kulitnya tipis dan licin. Biji besar memenuhi
rongga buah. Daging buah mempunyai kandungan minyak/lemak yang paling
tinggi. Ras ini tahan terhadap suhu dingin (Karina, 2012).
2. Ras Guatemala
Berasal dari dataran tinggi Amerika Tengah beriklim sub tropis dengan
ketinggian sekitar 800-2.400 meter di atas permukaan laut. Ras ini kurang
tahan terhadap suhu dingin (toleransi sampai -4,50C). Daunnya tidak berbau
adas. Buah mempunyai ukuran yang cukup besar, berat berkisar antara
200-2.300 gram, kulit buah tebal, keras, mudah rusak, dan kasar (berbintil-bintil).
Masa berbunga sampai buah bisa dipanen lebih kurang antara 9-12 bulan.
Bijinya relatif berukuran kecil dan menempel erat dalam rongga, dengan kulit
biji yang melekat. Daging buah mempunyai kandungan minyak yang sedang
3. Ras Hindia Barat
Berasal dari dataran rendah Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang
beriklim tropis, dengan ketinggian di bawah 800 meter di atas permukaan laut.
Varietas ini peka terhadap suhu rendah, dengan toleransi sampai -20C.
Daunnya tidak berbau adas, warna daunnya lebih terang dibandingkan dengan
kedua ras yang lain. Buahnya berukuran besar dengan berat antara 400-2.300
gram, tangkai pendek, kulit buah licin agak liat dan tebal. Masa berbunga
sampai buah bisa dipanen lebih kurang 6-9 bulan. Biji besar dan sering lepas di
dalam rongga, keping biji kasar. Kandungan minyak dari daging buahnya
paling rendah (Karina, 2012).
Varietas-varietas alpukat yang dapat ditemukan di Indonesia,
digolongkan menjadi dua, yaitu:
1. Varietas Unggul
Sifat-sifat unggul tersebut antara lain produksinya tinggi, tahan
terhadap hama dan penyakit, buah berbentuk seragam oval dan berukuran
sedang, daging buah berkualitas baik dan tidak berserat, berbiji kecil melekat
pada rongga biji, serta kulit buahnya licin. Sampai dengan tanggal 14 Januari
1987, Menteri Pertanian telah menetapkan dua varietas alpukat unggul, yaitu
alpukat Hijau Panjang dan alpukat Hijau Bundar (Karina, 2012).
2. Varietas Lain
Varietas alpukat kelompok ini merupakan plasma nutfah dari Instalasi
Penelitian dan Pengkajian Teknologi, Tlekung, Malang. Beberapa varietas
Merah Panjang, Merah Bundar, Dickson, Butler, Winslowson, Benik, Puebla, Furete, Collinson, Waldin, Ganter, Mexcola, Duke, Ryan, Leucadia, Queen
dan Edranol (Karina, 2012).
2.1.2 Alpukat Hijau Panjang
Alpukat ini berbuah sepanjang tahun tergantung lokasi dan kesuburan
tanah. Kerontokan buah sedikit. Tinggi pohon 5-8 meter. Bentuk daun bulat
panjang dengan tepi rata. Berat buahnya 0,3-0,5 kg. Bentuknya seperti buah
pear dengan ujung tumpul dan pangkal meruncing. Panjangnya 11,5-18 cm dan diameternya 6,5-10 cm. Tebal kulit buah 1,5 mm berwarna hijau kemerahan
dengan permukaan licin berbintik kuning. Daging buahnya tebal (sekitar 2 cm),
bertekstur agak lunak, berwarna kuning, dan rasanya gurih. Bijinya berbentuk
jorong dengan rata panjang 5,5 cm dan diameter 4 cm. Produksi buah
rata-rata 16,1 kg per pohoh per tahun (Kementrian Pertanian Indonesia, 2011).
2.1.3 Alpukat Hijau Bundar
Buah alpukat ini berbentuk lonjong dengan ujung bulat dan pangkal
tumpul. Tinggi pohon 6-8 meter. Bentuk daun bulat panjang dengan tepi
berombak. Rasa buah enak, gurih, dan agak kering. Berat buahnya 0,3-0,4
kg. Panjang buah sekitar 9 cm dengan diameter 7,5 cm. Kulit buah tebalnya 1
mm berwarna hijau tua saat matang. Permukaannya licin berbintik kuning.
Daging buah berwarna kuning kehijauan dengan tebal sekitar 1,5 cm. Biji
berbentuk jorong dengan panjang 5,5 cm dan diameter 4 cm. Setiap pohon
dapat menghasilkan rata-rata 22 kg per tahun. Produksi buah terus menerus
2.1.4 Alpukat Hass
Alpukat Hass menghasilkan buah sepanjang tahun dan menyumbang
80% dari alpukat yang dibudidayakan di dunia. Daging memiliki rasa yang
kaya dengan minyak 19%. Tipe A Guatemala hibrid, dapat menahan
temperatur -30C (260F). Alpukat Hass merupakan keturunan dari ras
Guatemala yang memiliki masa simpan yang baik. Alpukat Hass memiliki
kulit tebal bergelombang coklat gelap hampir hitam ketika matang. Alpukat
ini berbentuk oval dan berukuran sedang. Buah Hass berukuran sedang
(150-250 g). Bijinya dari kecil sampai sedang. Daging hijau pucatnya memiliki
tekstur lembut (California Avocado Commission, 1978).
2.1.5 Syarat Pertumbuhan 2.1.5.1 Iklim
Angin diperlukan oleh tanaman alpukat, terutama untuk proses
penyerbukan. Namun demikian, angin dengan kecepatan 62,4 -73,6 km/jam
dapat mematahkan ranting dan percabangan tanaman alpukat yang tergolong
lunak, rapuh, dan mudah patah (Kementrian Pertanian Indonesia, 2011).
Curah hujan minimum untuk pertumbuhan adalah 750-1000 mm/tahun.
Ras Hindia Barat dan persilangannya tumbuh dengan subur pada dataran
rendah beriklim tropis dengan curah hujan 2500 mm/tahun. Untuk daerah
dengan curah hujan kurang dari kebutuhan minimal (2-6 bulan kering),
tanaman alpukat masih dapat tumbuh asal kedalaman air tanah maksimal 2 m
Kebutuhan cahaya matahari untuk pertumbuhan alpukat berkisar 40-80
%. Untuk ras Meksiko dan Guatemala lebih tahan terhadap cuaca dingin dan
iklim kering, bila dibandingkan dengan ras Hindia Barat (Kementrian
Pertanian Indonesia, 2011).
Suhu optimal untuk pertumbuhan alpukat berkisar antara 12,8-28,30C.
Mengingat tanaman alpukat dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran
tinggi, tanaman alpukat dapat bertahan pada suhu antara 15-300C atau lebih.
Besarnya suhu kardinal tanaman alpukat tergantung ras masing-masing.
Antara lain ras Meksiko memiliki daya toleransi sampai -70C, Guatemala
samapai -4,50C, dan Hindia Barat sampai 20C (Kementrian Pertanian
Indonesia, 2011).
2.1.5.2 Media Tanam
Tanaman alpukat agar tumbuh optimal memerlukan tanah gembur,
tidak mudah tergenang air, subur, dan banyak mengandung bahan organik
(Kementrian Pertanian Indonesia, 2011).
Jenis tanah yang baik untuk pertumbuhan alpukat adalah jenis tanah
lempung berpasir (sandy loam), lempung liat (clay loam), dan lempung endapan (aluvial loam) (Kementrian Pertanian Indonesia, 2011).
Keasaman tanah yang baik untuk pertumbuhan alpukat berkisar antara
pH sedikit asam sampai netral, (5,6-6,4). Bila pH di bawah 5,5 tanaman akan
menderita keracunan karena unsur Al, Mg, dan Fe larut dalam jumlah yang
seperti Fe, Mg, dan Zn akan berkurang (Kementrian Pertanian Indonesia,
2011).
2.1.5.3 Ketinggian Tempat
Pada umumnya tanaman alpukat dapat tumbuh di dataran rendah
sampai dataran tinggi, yaitu 5-1500 meter di atas permukaan laut. Namun,
tanaman ini akan tumbuh subur dengan hasil yang memuaskan pada
ketinggian 200-1000 meter di atas permukaan laut. Untuk tanaman alpukat
ras Meksiko dan Guatemala lebih cocok ditanam di daerah dengan
ketinggian 1000-2000 meter di atas permukaan laut, sedangkan ras Hindia
Barat pada ketinggian 5-1000 meter di atas permukaan laut (Kementrian
Pertanian Indonesia, 2011).
2.1.6 Manfaat Buah Alpukat
Sejak zaman dulu, buah alpukat sudah dikenal sebagai salah satu
makanan yang berkhasiat untuk pengobatan. Manfaat yang dapat diperoleh
dari buah alpukat antara lain dapat membantu dalam menurunkan kolesterol
darah, regenerasi darah merah, mencegah anemia, melembabkan kulit, dan
mencegah konstipasi (Mahendra dan Rachmawati, 2008).
Alpukat kaya akan mineral (14 jenis) yang semuanya berguna untuk
mengatur fungsi tubuh dari menstimulasi pertumbuhan. Peran mineral yang
menonjol adalah besi dan tembaga yang membantu dalam proses regenerasi
darah merah dan mencegah anemia dan kandungan kalium sebagai
pengontrol tekanan darah. Selain itu, ternyata kandungan karbohidrat, gula,
lemaknya, alpukat juga sangat baik digunakan dalam perawatan kulit/wajah.
Mengoles wajah dengan alpukat akan membuat kulit kering menjadi sedikit
berminyak dan lembab sehingga kesehatan kulit akan terjaga (Mahendra dan
Rachmawati, 2008).
2.2 Mineral
Mineral merupakan salah satu unsur yang memegang peranan penting
dalam pemeliharaan fungsi tubuh baik pada tingkat sel, jaringan, organ,
maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Mineral digolongkan ke dalam
mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro adalah mineral yang
dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg/hari, sedangkan mineral
mikro dibutuhkan kurang dari 100 mg/hari. Yang termasuk mineral makro
antara lain: natrium, klorida, kalium, kalsium, fosfor, dan magnesium,
sedangkan yang termasuk mineral mikro antara lain: besi, mangan dan
tembaga (Almatsier, 2002).
Keseimbangan ion-ion mineral dalam tubuh mengatur proses
metabolisme, mengatur keseimbangan asam basa, tekanan osmotik,
membantu transpor senyawa-senyawa penting pembentuk membran,
beberapa di antaranya merupakan konstituen pembentuk jaringan tubuh.
Secara tidak langsung, mineral banyak yang berperan dalam proses
pertumbuhan. Peran mineral dalam tubuh kita berkaitan satu sama lainnya
dan kekurangan atau kelebihan salah satu mineral akan berpengaruh terhadap
2.2.1 Kalsium
Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam
tubuh, yaitu 1,5 – 2% dari berat badan orang dewasa atau kurang lebih
sebanyak 1 kg (Barasi, 2004). Peningkatan kebutuhan akan kalsium terjadi
pada masa pertumbuhan, kehamilan, dan menyusui (Almatsier, 2002).
Mineral kalsium dibutuhkan untuk perkembangan tulang. Jumlah yang
dianjurkan per hari untuk anak-anak sebesar 500 mg, remaja 600-700 mg,
dan dewasa sebesar 500-800 mg (Almatsier, 2002).
Kekurangan kalsium pada masa pertumbuhan dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan. Tulang kurang kuat, mudah bengkok dan rapuh
(Almatsier, 2002).
2.2.2 Kalium
Kalium merupakan salah satu mineral makro yang berperan dalam
pengaturan keseimbangan cairan tubuh. Sebanyak 95% kalium berada di
dalam cairan intraseluler (Almatsier, 2002). Bahan pangan yang mengandung
kalium baik dikonsumsi penderita darah tinggi (Astawan, 2008).
Kekurangan kalium karena makanan jarang terjadi, sepanjang
seseorang cukup makan sayuran dan buah segar. Kebutuhan minimum akan
kalium ditaksir sebanyak 2000 mg sehari (Almatsier, 2002).
2.2.3 Natrium
Natrium adalah kation utama dalam darah dan cairan ekstraselular.
Fungsi natrium di dalam tubuh bersama-sama dengan kalium menjaga
serabut syaraf (Almatsier, 2002). Konsumsi harian kita terhadap natrium
yang berlebih, perlu diimbangi dengan konsumsi kalium yang tinggi
(Astawan, 2004). Kebutuhan natrium diperkirakan sebesar 500 mg/hari
(Almatsier, 2002).
2.2.4 Magnesium
Magnesium memegang peranan penting dalam lebih dari tiga ratus
jenis sistem enzim di dalam tubuh. Magnesium bertindak di dalam semua sel
jaringan lunak sebagai katalisator dalam reaksi-reaksi biologik termasuk
reaksi-reaksi yang berkaitan dengan metabolisme energi, karbohidrat, lipida,
protein, dan asam nukleat serta dalam sintesis, degradasi, dan stabilitas bahan
gen DNA. Sebagian besar reaksi ini terjadi dalam mitokondria sel.
Magnesium mencegah kerusakan gigi dengan cara menahan kalsium di
dalam email gigi (Almatsier, 2002).
2.3 Destruksi Kering
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara
pengabuannya. Apabila akan ditentukan jumlah mineralnya dalam bentuk
aslinya adalah sangat sulit, oleh karenya biasanya dilakukan dengan
menentukan sisa-sisa pembakaran garam mineral tersebut, yang dikenal
dengan pengabuan (Sudarmadji, dkk., 1989).
Penentuan kadar abu adalah dengan mengoksidasi semua zat organik
penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut.
Temperatur pengabuan harus diperhatikan sunguh-sungguh karena banyak
elemen abu yang dapat menguap pada suhu yang tinggi misalnya K, Na, S,
Ca, Cl, P. Selain itu, suhu pengabuan juga dapat menyebabkan dekomposisi
senyawa tertentu misalnya K2CO3, CaCO3, MgCO3 (Sudarmadji, dkk.,
1989).
Hasil proses pengabuan berwarna putih abu-abu dengan bagian
tengahnya terdapat noda hitam, ini menunjukkan pengabuan belum
sempurnah maka perlu diabukan lagi sampai noda hitam hilang dan diperoleh
abu yang berwarna putih keabu-abuan (Warna abu ini tidak selalu abu-abu
atau putih tetapi ada juga yang berwarna kehijauan, kemerah-merahan)
(Sudarmadji, dkk., 1989).
2.4 Spektrofotometri Serapan Atom
Spektroskopi serapan atom (SSA) didasarkan pada serapan radiasi
UV-Vis oleh mineral-mineral yang teratomisasi, sementara spektroskopi emisi
atom (SEA) menggunakan emisi radiasi sampel. Sampel biasanya harus
diabukan, dilarutkan dalam air atau asam encer, dan diuapkan (vaporisasi).
Dalam SSA, sampel diatomkan oleh nebulizer dan suatu pemanas (nyala SSA) atau dengan tungku grafit (SSA elektrotermal). SSA elektrotermal
menggunakan sampel dengan ukuran yang lebih kecil dan mempunyai batas
deteksi yang jauh lebih kecil (lebih sensitif) dibanding SAA nyala, akan
eksitasi dapat dilakukan dengan nyala atau dengan plasma yang dikopel
secara induktif (ICP = inductively coupled plasma), yang mana sampel dipanaskan pada suhu lebih dari 60000K dengan adanya gas argon. Baik SSA
ataupun SEA mengukur kosentrasi logam dalam jumlah sekelumit dalam
matriks sampel bahan makanan dengan akurasi dan presisi yang sangat baik.
SAA merupakan instrumen yang lebih eksis dan sekarang hampir tersedia
disemua laboratorium kimia analisis. Sementara itu, SEA-ICP dapat
digunakan untuk mengukur lebih dari satu unsur dalam suatu sampel dan
dapat digunakan untuk analisis senyawa-senyawa yang stabil pada suhu
tinggi. Kedua teknik ini telah menggantikan teknik klasik (seperti
kompleksometri) untuk analisis mineral dalam bahan makanan (Rohman,
2013).
Spektrofotometri serapan atom didasarkan pada penyerapan energi
sinar oleh atom-atom netral, dan sinar yang diserap biasanya sinar tampak
atau sinar ultraviolet (Gandjar dan Rohman, 2007)
Metode spektrofotometri serapan atom berprinsip pada absorpsi cahaya
oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu,
tergantung pada sifat unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang ini
mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu atom.
Transisi elektronik suatu unsur bersifat spesifik. Dengan absorpsi energi,
berarti memperoleh lebih banyak energi, suatu atom pada keadaan dasar
dinaikkan tingkat energinya ke tingkat eksitasi (Khopkar, 1985).
a. Sumber Radiasi
Sumber radiasi yang digunakan adalah lampu katoda berongga (hollow cathode lamp). Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda dan anoda. Katoda berbentuk silinder berongga yang dilapisi
dengan mineral tertentu (Gandjar dan Rohman, 2007).
Lampu katoda berongga (Hollow Cathode Lamp) dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Lampu Katoda Berongga (Hollow Cathode Lamp)
(Filho, et al., 2012)
b. Tempat Sampel
Dalam analisis dengan spektrofotometer serapan atom, sampel yang akan
dianalisis harus diuraikan menjadi atom-atom netral yang masih dalam keadaan
dasar. Ada berbagai macam alat yang digunakan untuk mengubah sampel
menjadi uap atom-atomnya, yaitu:
1. Dengan nyala (Flame)
Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa cairan
menjadi bentuk uap atomnya dan untuk proses atomisasi. Suhu yang
untuk gas asetilen-udara suhunya sebesar 22000C. Sumber nyala
asetilen-udara ini merupakan sumber nyala yang paling banyak digunakan. Pada
sumber nyala ini asetilen sebagai bahan pembakar, sedangkan udara
sebagai bahan pengoksidasi (Gandjar dan Rohman, 2007).
Sistem pembakar spektrofotometer serapan atom dapat dilihat pada
Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Sistem Pembakar Spekrofotometer Serapan Atom (Filho, et al., 2012)
2. Tanpa nyala (Flameless)
Pengatoman dilakukan dalam tungku dari grafit. Sejumlah sampel
diambil sedikit (hanya beberapa µL), lalu diletakkan dalam tabung grafit,
kemudian tabung tersebut dipanaskan dengan sistem elektris dengan cara
melewatkan arus listrik pada grafit. Akibat pemanasan ini, maka zat yang
akan dianalisis berubah menjadi atom-atom netral dan pada fraksi atom
ini dilewatkan suatu sinar yang berasal dari lampu katoda berongga
sehingga terjadilah proses penyerapan energi sinar yang memenuhi
Tungku masmann dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Tungku Masmann (Gandjar dan Rohman, 2007) c. Monokromator
Monokromator merupakan alat untuk memisahkan dan memilih spektrum
sesuai dengan panjang gelombang yang digunakan dalam analisis dari sekian
banyak spektrum yang dihasilkan lampu katoda berongga (Gandjar dan
Rohman, 2007).
d. Detektor
Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui
tempat pengatoman (Gandjar dan Rohman, 2007).
e. Readout
Readout merupakan suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai pencatat hasil. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau berupa kurva yang
menggambarkan absorbansi atau intensitas emisi (Gandjar dan Rohman, 2007).
Sistem peralatan spektrofotometer serapan atom dapat dilihat pada
Gambar 2.4. Sistem Peralatan Spektrofotometer Serapan Atom (Gandjar dan Rohman, 2007)
2.5 Validasi Metode Analisis
Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap
parameter tertentu berdasarkan percobaan laboratorium untuk membuktikan
bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya
(Harmita, 2004).
Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi
metode analisis adalah sebagai berikut:
a. Kecermatan
Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil
analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan
sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan ditentukan dengan dua cara, yaitu:
-Metode simulasi
Metode simulasi (Spiked-placebo recovery) merupakan metode yang dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah analit bahan
campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar
analit yang ditambahkan (kadar yang sebenarnya) (Harmita, 2004).
-Metode penambahan baku
Metode penambahan baku (standard addition method) merupakan metode yang dilakukan dengan cara menambahkan
sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang
diperiksa, lalu dianalisis dengan metode yang akan divalidasi. Hasilnya
dibandingkan dengan sampel yang dianalisis tanpa penambahan
sejumlah analit. Persen perolehan kembali ditentukan dengan
menentukan berapa persen analit yang ditambahkan ke dalam sampel
dapat ditemukan kembali (Harmita, 2004).
b. Keseksamaan (presisi)
Keseksamaan atau presisi diukur sebagai simpangan baku atau
simpangan baku relatif (koefisien variasi). Keseksamaan atau presisi
merupakan ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji
individual ketika suatu metode dilakukan secara berulang untuk sampel yang
homogen (Harmita, 2004).
c. Selektivitas (Spesifisitas)
Selektivitas atau spesifisitas suatu metode adalah kemampuannya
yang hanya mengukur zat tertentu secara cermat dan seksama dengan adanya
d. Linearitas dan rentang
Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan
respon baik secara langsung maupun dengan bantuan transformasi
matematika, menghasilkan suatu hubungan yang proporsional terhadap
konsentrasi analit dalam sampel (Harmita, 2004).
e. Batas deteksi (Limit of detection) dan batas kuantitasi (Limit of quantitation)
Batas deteksi merupakan jumlah terkecil analit dalam sampel yang
dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan, sedangkan batas
kuantitasi merupakan kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih