• Tidak ada hasil yang ditemukan

Serapan Cairan dan Kelarutan Elemen-elemen Bahan Restorasi Resin Komposit Mikrohibrid dan Nanohibrid Setelah Direndam di Dalam Saliva Buatan (In Vitro)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Serapan Cairan dan Kelarutan Elemen-elemen Bahan Restorasi Resin Komposit Mikrohibrid dan Nanohibrid Setelah Direndam di Dalam Saliva Buatan (In Vitro)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pemakaian semen silikat pada akhir 1800-an sebagai bahan tambalan memiliki kekurangan yaitu mudah larut di dalam cairan mulut sehingga cepat rusak. Kemudian dikembangkanlah resin akrilik self curing unfilled sekitar tahun 1950-an. Bahan ini lebih tahan terhadap kelarutan serta memiliki warna yang lebih stabil dibandingkan silikat. Bahan ini mudah digunakan, dapat dipoles, dan memiliki estetis yang baik. Tetapi bahan ini memiliki permasalahan dengan polimerisasi shrinkage

yang tinggi setelah pengerasan, perubahan dimensi akibat panas yang tinggi, kadang-kadang mengalami diskolorisasi dan memiliki keausan yang tinggi karena pemakaian. Kemudian sekitar tahun 1960-an resin komposit diperkenalkan oleh Bowen sebagai bahan restorasi dengan mencampurkan oligomer bis-phenol-A-glycidilmethacrylate

(bis-GMA) atau urethanedimethacrylate (UDMA) dengan bahan pengisi inorganik. Penemuan resin komposit pada tahun 1960-an dengan cepat menggantikan semen silikat dan resin akrilik (O’Brien, 2002; Anusavice, 2008; Powers, 2006).

(2)

2.1Resin Komposit

Resin komposit adalah penggabungan dari dua bahan yang menghasilkan suatu bahan dengan sifat-sifat yang lebih baik dibandingkan jika bahan tersebut berdiri sendiri. Resin komposit merupakan suatu bahan hasil penggabungan 3 bahan yang berbeda yaitu matriks resin, bahan pengisi (filler), bahan pengikat (coupling agent). Selain itu, beberapa bahan lain juga ditambahkan seperti sistem inisiator atau aktivator, inhibitor, stabilisator, UV absorber dan bahan pigmen (O’Brien, 2002; Anusavice, 2008; Gladwin, 2009; Powers, 2006; Powers, 2008; Sakaguchi, 2012).

2.1.1 Komposisi resin komposit 2.1.1.1 Matriks resin

Matriks polimer organik merupakan bahan aromatik atau urethane diacrylate

(3)

komposit memiliki kecendrungan menyerap air (O’Brien, 2002; Floyd, 2005; Powers, 2006; Anusavice, 2008; Powers, 2008; Van Noort, 2008).

Bis-GMA merupakan monomer yang memiliki viskositas yang tinggi sehingga dibutuhkan penggunaan monomer pengencer (diluent).

Triethyleneglicoldimetacrylate (TEGDMA) merupakan monomer pengencer yang sering digunakan (Powers, 2006; Anusavice, 2008; Gladwin, 2009). Gambar 2.1 menunjukkan struktur kimia dari monomer pembentuk matriks resin komposit.

(4)

2.1.1.2 Bahan pengisi (filler)

Persentase filler sangat penting dalam menentukan sifat fisis resin komposit. Jika kandungan filler meningkat maka kandungan resin akan berkurang. Sehingga

polymerization shrinkage menurun, dan koefisien termal ekspansi mendekati struktur gigi, kekerasan dan ketahanan abrasi meningkat dengan baik. Persentase kandungan bahan pengisi pada resin komposit dapat berupa berat atau volume. Persentase kandungan bahan pengisi lebih baik dalam ukuran volume karena sifat mekanis resin komposit ditentukan oleh volume fraksi filler. Ukuran partikel filler juga menentukan besarnya penyerapan cairan yang terjadi pada bahan resin komposit. Partikel filler

yang berukuran lebih besar akan lebih banyak menyerap cairan dibandingkan partikel

filler yang berukuran kecil (Anusavice, 2008; Gladwin, 2009).

Partikel filler dikembangkan untuk mendapatkan filler yang mempunyai kekuatan dan ketahanan terhadap abrasi yang besar. Partikel yang lebih lunak lebih sering mengalami keausan dan terlepas dari restorasi ketika terjadi abrasi. Jika partikel terlepas, permukaan resin yang lunak akan cepat mengalami keausan (Powers, 2006; Sakaguchi, 2012).

(5)

Bahan pengisi yang paling banyak digunakan sejak tahun 1970 adalah quartz karena sifat kimiawinya yang inert, kuat, keras, memiliki indeks refraktif yang tinggi dan stabil secara kimia di lingkungan rongga mulut. Tetapi bahan ini memiliki kerugian berupa kurang radiopak, koefisien termal ekspansi yang tinggi dan abrasif (O’Brien, 2002; Powers, 2006).

Sekarang ini, dikembangkan bahan glass untuk mendapatkan kekuatan, kekerasan, dan sifat kimia serta sifat optis yang lebih baik untuk digunakan pada resin komposit. Glass yang mengandung logam berat memberikan efek radiopak terhadap resin komposit dan memiliki indeks refraktif 1,5. Contohnya adalah barium, zirkonium dan strontium glass. Yang paling sering digunakan adalah barium glass. Bahan ini bukan merupakan bahan yang inert seperti quartz (Powers, 2006).

2.1.1.3 Bahan pengikat (coupling agent)

(6)

kekerasan resin komposit yang menyebabkan kerusakan (O’Brien, 2002; Powers, 2006; Powers, 2008; Gladwin, 2009).

Bahan silane yang banyak dipakai sebagai coupling agent adalah

organosilane yaitu gamma-methacryloxypropylmethoxysilane. Bahan silane

merupakan molekul yang memiliki dua gugus fungsional. Gugus silane berikatan dengan gugus hidroksil pada partikel filler melalui reaksi kondensasi dan menghasilkan ikatan siloksan dan gugus metakrilat berikatan dengan matriks resin melalui proses polimerisasi adisi yang dapat diaktivasi secara sinar atau kimia. Bahan

silane tidak menutup partikel filler secara homogen. Pada Gambar 2.2 ditunjukkan

struktur kimia dari bahan organosilane yaitu

gamma-methacryloxypropylmethoxysilane (O’Brien, 2002; Powers, 2006; Powers, 2008; Van Noort, 2008; Gladwin, 2009).

O OCH3

CH2=C-C-O-CH2CH2CH2-Si-OCH3 CH3 OCH3

Gambar 2.2 Rumus Bangun Coupling Agent

2.1.1.4 Inisiator dan akselerator

Resin komposit polimerisasi sinar mengandung fotoinisiator berupa

(7)

menjadi bentuk triplet yang aktif. Dalam keadaan ini, camphorquinone akan berbenturan dengan molekul amin yang berkonjugasi dengan tertiary aliphatic amine, seperti 4-N,Ndimethylaminophenythyl alcohol yang menarik elektron dari amin dan merubah dirinya dan amin menjadi radikal bebas. Hal ini kemudian akan menginisiasi proses polimerisasi. Tertiari amin diketahui sebagai ko-inisiator yang tidak dapat menyerap air tetapi dapat bereaksi dengan fotoinitiator yang diaktivasi untuk menghasilkan radikal bebas yang aktif. Inhibitor juga ditambahkan untuk mempertinggi kestabilan terhadap sinar di sekelilingnya. Pada resin komposit yang diaktivasi sinar, fotoaktivator yang digunakan adalah diketone, seperti

champorquinone. Kadar camphorquinone yang ditambahkan sebesar 0,2%-1,0%. Reaksi ini dipercepat oleh adanya organik amin yang mengandung ikatan karbon ganda. Amin dan camphorquinone di dalam oligomer stabil pada suhu kamar, selama belum terpapar oleh sinar yang dapat mengaktivasi polimerisasi (Powers, 2006; Gladwin, 2009).

2.1.1.5 Inhibitor

Monomer dimethacrylate dapat berpolimerisasi secara spontan ketika disimpan oleh karena itu ditambahkan inhibitor berupa monomethyl ether of hydroquinone ke dalam resin komposit untuk mencegah polimerisasi dini. Inhibitor lain dapat berupa monomethyl ether hydroquinone dan butylated hydroxytoluene

(8)

2.1.1.6 UV absorber

UV absorber ditambahkan pada komposisi resin komposit untuk meningkatkan stabilitas warna dengan menyerap radiasi elektromagnetik yang dapat menyebabkan diskolorasi. UV absorber yang paling banyak digunakan adalah 2-hydroxy-4-methoxy benzophene (Powers, 2006).

2.1.1.7 Bahan pigmen

Oksida inorganik biasanya ditambahkan dalam jumlah kecil untuk memberikan warna yang cocok dengan warna gigi pada umumnya. Warna dari resin komposit berkisar antara warna yang sangat terang (very light shades) sampai kuning dan abu-abu (Powers, 2006; Gladwin, 2009).

2.1.2 Klasifikasi resin komposit

Resin komposit dapat diklasifikasikan dalam beberapa metode klasifikasi, tergantung dari komposisinya, sehingga dapat memudahkan dokter gigi mengenalnya agar penggunaannya sesuai dengan tujuan pengobatan. Klasifikasi yang paling sering digunakan adalah klasifikasi resin komposit berdasarkan ukuran partikel filler oleh Lutz dan Phillips (1983) (Lang,1992).

2.1.2.1 Resin komposit macrofiller

Jenis resin komposit yang pertama kali dikembangkan pada tahun 1960 adalah resin komposit macrofiller. Resin komposit macrofiller memiliki ukuran partikel

(9)

terbesar 50-100 µm. Jumlah filler di dalam resin komposit berkisar 70-80% berdasarkan berat dan 60-80% berdasarkan volume. Filler yang banyak digunakan adalah butiran quartz (Gladwin, 2009).

2.1.2.2 Resin komposit microfiller

Resin komposit microfiller memiliki filler berupa koloida silika, dengan ukuran partikel 0,01-0,12 µm. Kandungan partikel filler dalam resin komposit sebanyak 35-60% ukuran berat(O’Brien, 2002). Gambar 2.3 menunjukkan gambaran mikrostruktur resin komposit microfiller

Gambar 2.3. Mikrostruktur Resin Komposit

Microfiller (O’Brien, 2002)

2.1.2.3 Resin komposit hibrid

(10)

Gambar 2.4. Mikrostruktur Resin Komposit Hibrid (Spiller, 2000)

2.1.2.4 Resin komposit mikrohibrid

Setelah perkembangan resin komposit hibrid, dikembangkanlah resin komposit mikrohibrid. Resin komposit mikrohibrid memiliki beberapa jenis ukuran partikel filler dengan bentuk yang irreguler. Partikel filler dapat berupa glass atau

quartz dengan ukuran 0,2-3 µm ditambah 5-15% partikel microfine berukuran 0,04 µm (Craig, 2002). Dapat dilihat pada Gambar 2.5 gambaran mikrostruktur resin komposit mikrohibrid.

(11)

2.1.2.5 Resin komposit nanofiller

Perkembangan nanoteknologi menciptakan jenis baru bahan restorasi resin komposit, yaitu nanokomposit dan nanohibrid. Nanokomposit menggunakan partikel

filler yang berukuran nanometer, sedangkan nanohibrid merupakan kombinasi partikel filler berukuran nanometer dengan filler berukuran konvensional. Nanokomposit mengandung partikel filler berupa zirkonium atau silika berukuran ±25 nm dan kumpulan nano partikel berukuran ±75 nm. Distribusi partikel filler nano di dalam resin komposit sekitar 79,5% (Gladwin, 2009; Kaur, 2011).

2.1.3 Polimerisasi resin komposit

Polimerisasi resin komposit merupakan hal yang sangat penting di dalam mendapatkan hasil tambalan yang memiliki sifat fisik dan mekanis yang baik. Polimerisasi adalah proses pengerasan polimer dengan membentuk ikatan antara monomer-monomer menjadi rantai polimer yang panjang dengan suatu aktivasi tertentu. Ada 3 macam aktivasi polimerisasi bahan restorasi resin komposit, yaitu aktivasi kimia, aktivasi sinar dan aktivasi kimia-sinar (O’Brien, 2002; Powers, 2006; Anusavice, 2008; Powers, 2008; Van Noort, 2008; Gladwin, 2009).

(12)

melalui pembentukan ikatan antar monomer untuk membentuk rantai polimer dengan adanya radikal bebas. Pada reaksi terminasi telah terbentuk polimer resin komposit dengan sempurna karena semua radikal bebas telah bereaksi dengan monomer membentuk polimer (Anusavice, 2008; Gladwin, 2009; O’Brien, 2002; Powers, 2006).

Polimerisasi resin komposit aktivasi sinar dipengaruhi oleh intensitas sinar, ketebalan bahan, jarak penyinaran dan lama penyinaran. Intensitas sinar pada permukaan dan waktu penyinaran merupakan hal yang sangat penting. Ujung sumber sinar sebaiknya diletakkan pada jarak 3 sampai 4 mm dari permukaan dengan kedalaman restorasi 2 sampai 2,5 mm dan waktu penyinaran standar adalah 40 detik (O’Brien, 2002; Powers, 2006; Anusavice, 2008; Gladwin, 2009).

2.1.4 Sifat resin komposit

Resin komposit memiliki sifat fisik dan mekanis. Sifat fisiknya antara lain:

polymerization shrinkage, sifat termal, penyerapan air, kelarutan dan kestabilan warna. Sedangkan sifat mekanisnya adalah kekuatan, elastic modulus dan kekerasan permukaan (Powers, 2006). Dalam tulisan ini, penulis hanya membahas sifat penyerapan air dan kelarutan resin komposit.

2.1.4.1 Penyerapan air

(13)

memiliki sifat hidrofilik. Polimer dengan gugus polar akan menyerap sejumlah air berkisar 1-2 %. Penyerapan air akan terjadi setelah resin mengeras dan memerlukan waktu untuk mencapai keseimbangan karena proses difusi air ke dalam resin merupakan proses yang lambat (Toledanu, 2003). Penyerapan air terjadi melalui proses difusi terkontrol (Darvell, 2000). Air dapat memasuki polimer melalui porositi dan ruang intermolekuler. Kecepatan dan luasnya penyerapan air tergantung dari kepadatan polimer dan kemampuan ikatan hidrogen dan interaksi polar (Ferracane, 2006).

Penyerapan air dipengaruhi oleh jenis filler dan metode polimerisasi (Prati, 1991).Resin komposit dengan ukuran partikel filler yang lebih besar akan menyerap air lebih banyak dibandingkan resin komposit dengan ukuran partikel filler yang lebih kecil. Hal ini disebabkan volume pecahan partikel filler di dalam resin komposit lebih sedikit pada resin komposit dengan partikel yang besar. Kualitas dan kestabilan silane

sebagai coupling agent juga penting untuk meminimalisasi kerusakan ikatan antara

filler dengan polimer dan jumlah air yang diserap ( Musanje, 2001; O’Brien, 2002; Powers, 2006).

(14)

2.1.4.2 Kelarutan

Apabila resin komposit disimpan di dalam air akan menyebabkan pelepasan ion inorganik dan monomer sisa. Kelarutan resin komposit di dalam air bervariasi mulai dari 0,25 sampai 2,5 mg/mm3 atau 1,5-2,0 % berat. Silikon merupakan ion yang terbanyak keluar selama 30 hari pertama perendaman dan akan berkurang seiring bertambahnya waktu perendaman. Boron, barium dan strontium juga dapat keluar dari resin komposit yang direndam di dalam air. Komponen lain yang dapat terlarut adalah monomer sisa. Monomer sisa adalah monomer resin yang tidak bereaksi polimerisasi terjadi (O’brien, 2002; Powers, 2006).

Pelepasan monomer sisa dari bahan restorasi resin komposit dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kimiawi komposit (terutama kelarutan dan molekul dari monomer yang digunakan), derajat konversi, derajat cross-linking jaringan polimer, perlakuan permukaan dari partikel filler dan sifat pelarut (Ferracane, 2006).

2.2 Saliva dan Saliva Buatan

(15)

1. Perlindungan, saliva memberikan perlindungan dengan membuat pembasahan yang baik pada permukaan jaringan lunak dari kerusakan fisis yang disebabkan oleh tekstur makanan yang kasar atau temperatur tinggi.

2. Perbaikan, adanya lapisan protein dan glikoprotein yang kaya akan kalsium dan fosfat pada permukaan enamel, dipercaya dapat memberikan efek remineralisasi pada karies dini.

3. Pencernaan, pelumasan dengan saliva membantu melunakkan makanan dan membentuk makanan menjadi bolus agar mudah untuk ditelan. Adanya enzim di dalam saliva juga membantu menguraikan makanan.

4. Pengatur keseimbangan air, ketika tubuh mengalami dehidrasi aliran saliva menjadi berkurang sehingga menimbulkan perasaan haus.

5. Pengucapan, adanya pembasahan pada lidah dan bibir memudahkan proses pengucapan.

(16)

pada saliva terjadi apabila pH saliva dibawah nilai 5 dan keefektifan pH dan sifat

buffer saliva tergantung kepada kandungan bikarbonat pada saliva (Cole, 1988; Van Nieuw, 1991).

Kelenjar saliva dapat mengalami disfungsi sehingga jumlah dan kualitas saliva dapat berubah. Untuk menstimulasi fungsi kelenjar saliva digunakan saliva buatan. Saliva buatan menggantikan fungsi saliva asli dalam hal perlindungan, perbaikan, pengucapan dan pengatur keseimbangan air. Selain memiliki manfaat seperti yang disebutkan di atas, saliva buatan juga digunakan pada uji laboratorium yang membutuhkan kondisi kimia yang sama seperti saliva asli di dalam rongga mulut. Penggunaan saliva buatan untuk penelitian di bidang kedokteran gigi telah ditemukan sejak tahun 1931, ketika Souder dan Sweeney meneliti tentang keracunan penggunaan restorasi amalgam. Saliva buatan mengandung komponen yang sama dengan saliva asli, tetapi tidak mengandung enzim. Saliva buatan dapat dibuat dengan berbagai macam metode pencampuran komposisi. Salah satu metodenya adalah dengan mencampurkan berbagai komposisi sebagai berikut NaCl, KCl,KSCN, KH2PO4, Urea, Na2SO4. 10H2O, NH4Cl, CaCl2. 2H2O, NaHCO3 (Preetha, 2005).

2.3 Alat Uji

2.3.1 Mikroskop mikrograf (micrograph microscope)

Mikroskop mikrograf merupakan fotograf atau gambaran digital yang diambil melalui mikoskop atau alat yang sama untuk menunjukkan pembesaran gambar.

(17)

menampilkan gambaran digital ke monitor. Mikroskop mikrograf biasanya memiliki pengukur mikron atau pembesaran. Pembesaran merupakan rasio antara ukuran objek pada gambar dengan ukuran sebenarnya. Akan tetapi, pembesaran merupakan suatu parameter yang kurang dapat dipercaya. Untuk itu digunakan skala bar atau mikron bar yang dapat menampilkan panjang objek sebenarnya pada gambar (Wikipedia, 2012). Gambar 2.6 menunjukkan gambar mikroskop mikrograf (Carl Zeiss Microscopy, 2011).

Gambar 2.6 Mikroskop Mikrograf

2.3.2 Scanning electron microscope (SEM)

(18)

mengalirkan listrik (electrically conductive). Spesimen yang terbuat dari metal hanya memerlukan sedikit tindakan preparasi untuk digambar oleh SEM. Tetapi bagi spesimen yang tidak dapat mengantarkan listrik harus dilapisi (coating) dengan suatu zat yang bersifat sebagai konduktor. Pelapis yang biasa digunakan adalah emas, aloi emas/paladium, platinum, osmium, iridium,tungsten,chromium dan graphite (Lawes, 1987; REM, 2010).

Pembesaran pada SEM dapat dikendalikan mulai dari 10 sampai 500.000 kali. SEM memiliki kondenser dan lensa objektif yang berfungsi memfokuskan sinar kepada suatu tempat dan bukan menggambar keseluruhan spesimen (Lawes, 1987).

(19)

Gambar 2.7 Cara Kerja SEM (REM Purdue University, 2010)

(20)

2.3.3 Energy dispersive x-ray (EDX)

Energy dispersive x-ray (EDX) adalah teknik mikroanalisis kimia yang digabungkan dengan Scanning Electron Microscope (SEM). EDX merupakan suatu alat yang dapat mendeteksi sinar x yang keluar dari sampel selama pemaparan pancaran elektron untuk mengkarakteristikkan komposisi kimia dari sampel yang dianalisa. Sistem ini terdiri dari 3 (tiga) komponen utama, yaitu detektor sinar x yang dipisahkan dari ruang SEM dengan jendela polimer yang sangat tipis, untaian pengolahan getaran yang menentukan energi sinar x yang dideteksi, dan peralatan analisa yang menginterpretasikan data sinar x dan menampilkannya pada layar komputer (Materials Evaluation and Engineering Inc, 2009).

Gambar 2.8 Alat SEM-EDX

(21)

untuk mendapatkan elemen yang terdapat pada sampel. Hasil kuantitatif dapat diperoleh dari hitungan sinar x relatif pada karakteristik tingkat energi dari komponen sampel (Materials Evaluation and Engineering Inc, 2009).

Spektrum EDX ditampilkan secara digital membentuk sumbu x yang menggambarkan energi sinar x dan sumbu y menggambarkan intensitas seperti yang ditampilkan pada Gambar 2.9 (Russ, 1984).

Gambar 2.9 Spektrum EDX yang Menunjukkan Puncak dari K dan Ba

2.4 Landasan Teori

(22)

Resin komposit mikrohibrid dan nanohibrid memiliki perbedaan ukuran partikel filler. Resin komposit mikrohibrid memiliki dua jenis ukuran partikel filler

yaitu 0,2-3 µm dan ukuran partikel microfine 0,04 µm. Resin komposit nanohibrid mengandung partikel filler berukuran nano dan partikel filler berukuran 0,2-3 µm.

Resin komposit merupakan bahan hasil gabungan matriks resin, bahan pengisi (filler) dan bahan pengikat (coupling agent). Matriks resin dapat berupa monomer

bisphenol-A-glycidil methacrylate (bis-GMA) dan urethanedimethacrylate (UDMA). Kedua monomer ini memiliki viskositas yang tinggi, sehingga ditambahkan monomer

diluent untuk mengurangi viskositasnya. Monomer diluent yang ditambahkan adalah

triethylene glycol dimethacrylate (TEGDMA). Filler dapat berupa silika atau quartz. Jumlah filler yang terkandung di dalam resin komposit menentukan sifat fisis dan mekanis bahan tersebut. Untuk menyatukan matriks organik dengan filler digunakan

silane sebagai coupling agent. Organosilane (3-methacriloxiprophyltrimethoxysilane) adalah bahan coupling agent yang dipakai. Bahan silane ini mengandung dua gugus, yaitu gugus yang berikatan dengan gugus hidroksil pada filler dan gugus metakrilat yang berikatan dengan matriks resin. Selain ketiga bahan utama tersebut, resin komposit juga mengandung inisiator, akselerator, inhibitor, bahan pigmen dan UV

absorber.

(23)

filler yang terkandung dan metode polimerisasi. Resin komposit dengan ukuran partikel filler yang lebih besar akan menyerap air lebih banyak dibandingkan dengan resin komposit yang memiliki ukuran partikel filler yang lebih kecil.

(24)

2.5 Kerangka Konsep Penelitian

2.6 Hipotesis Penelitian Hipotesis Umum :

Tidak ada penyerapan cairan dan kelarutan elemen pada bahan restorasi resin komposit mikrohibrid dan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva buatan selama 2, 4, 6, dan 8 jam.

Hipotesis Khusus :

1. Tidak ada cairan yang terserap pada bahan restorasi resin komposit mikrohibrid dan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva buatan selama 2, 4, 6 dan 8 jam.

(25)

2. Tidak ada perbedaan nilai serapan cairan antara bahan restorasi resin komposit mikrohibrid dengan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva buatan selama 2,4,6 dan 8 jam.

3. Tidak ada kedalaman penyerapan cairan pada bahan restorasi resin komposit mikrohibrid dan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva buatan selama 2, 4, 6 dan 8 jam.

4. Tidak ada perbedaan kedalaman penyerapan cairan antara bahan restorasi resin komposit mikrohibrid dengan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva buatan selama 2, 4, 6,dan 8 jam.

5. Tidak ada kecepatan penyerapan cairan pada bahan restorasi resin komposit mikrohibrid dan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva buatan selama 2, 4, 6 dan 8 jam.

6. Tidak ada perbedaan kecepatan penyerapan cairan antara bahan restorasi resin komposit mikrohibrid dengan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva buatan selama 2, 4, 6,dan 8 jam.

7. Tidak ada perubahan komposisi elemen bahan restorasi resin komposit

mikrohibrid dan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva buatan selama 2, 4, 6, dan 8 jam.

(26)

9. Tidak ada perbedaan gambaran morfologi permukaan pada bahan restorasi resin komposit mikrohibrid dan nanohibrid sebelum dan setelah direndam di dalam saliva buatan selama 2, 4, 6, dan 8 jam.

Gambar

Gambar 2.1 Struktur Monomer Bis-GMA, UDMA, dan TEGDMA (Floyd, 2005)
Gambar 2.2 Rumus Bangun Coupling Agent
Gambar 2.3. Mikrostruktur Resin Komposit
Gambar 2.4. Mikrostruktur Resin Komposit
+5

Referensi

Dokumen terkait

Mempelajari pola pewarisan karakter ketahanan cabai terhadap penyakit layu bakteri yang meliputi aksi gen, jumlah gen pengendali, nilai duga heritabilitas, dan ada tidaknya

Pembangunan infrastruktur yang dimaksud juga meliputi pengembangan cakupan infrastruktur (transportasi darat, air, sungai, udara, energi, dan telematika) yang

Hasil uji analisis Spearman Rank didapatkan nilai p-value = 0,001 lebih kecil dari α = 0,05 yang artinya terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu nifas

Dari analisis pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa dari hasil yang diperoleh dari perbandingan mean pretes dan postes pada kelompok eksperimen dan

Pendapatan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu adalah pendapatan yang diterima oleh petani responden yang didapatkan dari selisih total penerimaan dikurangi dengan

Salah satunya yang diterapkan oleh Perum Perhutani dalam menerapkan konsep social forestry dalam pengelolan hutan pada wilayah Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) yaitu Ngawi,

Penelitian dan pengembangan yang akan penulis lakukan ini diadopsi dari model ADDIE (Dick & Carey). Berdasarkan validasi ahli, maka penelitian ini disimpulkan