• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen Berbasis Sekolah (5). pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Manajemen Berbasis Sekolah (5). pdf"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Dan Praktik Pengembangannya di MAN Insan Cendekia Yudhi Fachrudin 2112011000010

PENDAHULUAN

Semenjak kran demokrasi, desentralisasi dan otonomi daerah dibuka sesuai UU No. 22 tentang Pemerintah Daerah. Pendidikan satu bagian yang merasakan itu maka kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah meningkat dalam menentukan maju dan mundurnya pendidikan. Pemerintah daerah bertanggung jawab mulai dari perumusan kebijakan daerah, perencanaan, pelaksanaan, sampai pemantauan atau monitoring di daerah masing-masing sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional yang digariskan pemerintah.

Manajemen berasaskan sekolah sebagai paradigm baru pengembangan yang berorientasi pada kebutuhan sekolah dan kebutuhan daerah masing-masing. Kebijakan Bottom-up policy, yaitu kebijakan yang diprakarsai oleh setiap sekolah dan daerah. Sebuah pemikiran ke arah pengelolaan pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara luas.

(2)

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah

1. Sejarah Manajemen Berbasis Sekolah

Istilah manajemen berbasis sekolah atau School Based Management pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat1. Diawali

dengan dibentuknya Asosiasi Pendidikan Nasional (National Education Association, NEA) pada 1887. Guru-guru di New York membentuk asosiasi kepentingan bersama dan asosiasi yangsama didirikan di Chihago, pada 1903 guru-guru Philadelphia membentuk organisasi asosiasi Guru-guru Philadelpia (Philadelphia Teachers Associations). Selain di Amerika, Manajemen berbasis sekolah telah dilakukan di beberapa Negara lainnya, seperti Kanada dikenal pendelegasian finansial (financial delegation), Hongkong, inisiatif manajemen sekolah (School Management Initiative), di Inggris sekolah-sekolah pengelola dana bantuan dan manajemen lokal (grant -maintaned schools and localized management), dan Australia anggaran lokal dan keterlitabatan masyarakat (local budgeting and community involvement)2.

2. Pengertian Manajemen Pendidikan

Manajemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerjasama yang sistematik, sistemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dengan proses yang berkesinambungan yang melibatkan fungsi-fungsi pokok manajemen yang berlaku, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pembinaan.

Manajemen pendidikan merupakan alternatif strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sesuai hasil Balitbangdikbud (1991) menunjukkan bahwa manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan. Manajemen sekolah secara langsung mempengaruhi dan menentukan efektif tidaknya kurikulum, berbagai peralatan belajar, waktu mengajar, dan proses pembelajaran.

(3)

Dalam manajemen pendidikan dikenal dua mekanisme pengaturan, yaitu sistem sentralisasi dan desentralisasi. Sentralisasi segala sesuatu yang berkenaan dengan penelenggaraan pendidikan diatur secara ketat oleh pemerintah pusat. Sementara system desentralisasi. Wewenang pengaturan tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah. Pelaksanaannya merupakan bentuk kontinum; dengan pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (lokal).

Implikasi desentralisasi manajemen pendidikan adalah kewenangan yang lebih besar diberikan kepada kabupaten dan Kota untuk mengelola pendidikan sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerahnya, perubahan kelembagaan untuk memenuhi kebuhan dan meningkatkan eisiensi serta efektivitas dalam perencanaan dan pelaksanaan pada unit-unit kerja di daerah. Kepegawaian sumber daya manusia yang menyangkut perubahan dan pemberdayaan sumber yang menekankan pada profesionalisme, serta perubahan-perubahan anggaran pembangunan pendidikan3.

3. Pengertian Manajemen berbasis sekolah (MBS)

Manajemen berbasis sekolah (MBS) terjemahan “School-Based Management”. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. MBS merupakan paradigm baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumberdana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.

Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupaka inti dari MBS yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan;

1. Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua dan guru

2. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya local

3. Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.

(4)

4. Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancang ulang sekolah dan perubahan perencanaan4.

Manajemen berbasis sekolah merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang ditunjuan dengan pernyataan politik daam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). MBS menjadi alternative suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kenijakan sekolah dalam rangka menigkatkan mutu, efisiesi dan pemerataan pendidian agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Partisipasi masyarakat di tuntut agar lebih memahami pendidikan, membantu, serta mengontrol pengelolaan pendidikan. Dalam konsep ini sekolah dituntut memiliki tanggung jawab yang tinggi, baik kepada orang tua, masyarakat maupun pemerintah5.

Brian J. Caldwell dalam bukunya The Self Managing School mendefinisikan Self -managing school as one for which there has been significant and consistent delegation to the school level of authority to make decisions related to the allocation of resources (knowledge, techonology, power, materiel, people, time and finance). Sementara dalam bukunya yang lain School Based Management, mengartikan School-based management is the systematic decentralization to the school level of authority and responsibility to make decisions on significant matter related to school operations within a centrally determined framework of goals, policies, curriculum, standars, and accountability6. Manajemen

berbasis sekolah adalah desentralisasi yang sistematis dengan memberikan kewewenangan kepada sekolah untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan kegiatan operasional yang meliputi tujuan pendidikan, kebijakan, kurikulum, standar -standar, dan akuntabilitas.

BPPN dan Bank Dunia (1999) memberi pengertian bahwa MBS merupakan alternatif sekolah dalam program desentralisasi di bidang pendidikan yang ditandai oleh otonomi luas di tingkat sekolah partisipasi masyarakat dan dalam kerangka kebijakan pendidian nasional. Otonoi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan serta tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat.

4 Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Rosda, 2000), cet. 2, hal. 53. 5 Ibid, Manajemen Berbasis Sekolah…, hal. 11-12

(5)

A Malik Fadjar dalam kata pengantar buku School-Based Management, secara

konseptual MBS dipahami sebagai salah satu alternatif pilihan formal untuk mengelola struktur penyelenggaraan pendidikan yang terdesentralisasi dengan menempatkan sekolah sebagai unit utama peningkatan. MBS merupakan cara memotivasi kepala sekolah lebih bertanggung jawab terhadap kualitas peserta didik. Karena perlu mengembangkan program-program kependidikan untuk melayani kebutuhan peserta didik di sekolah. Di Indonesia MBS diposisikan sebagai kritik aas penyelenggaraan pendidikan yang selama ini tersentralisasi. Dimana ranah kemandirian manajemen kelembagaan, kepemimpinan, pengembangan institusional, pengembangan kurikulum, penyedian sumber belajar, alokasi sumber daya, dan terutama untuk membangun partisipasi masyarakat untuk ikut memiliki sekolah. Peningkatan pengaruh sekolah, perlu dukungan dari stakeholder meliputi; pemerintah daerah, komite sekolah (kepala sekolah, guru, orang tua siswa, dan tokoh masyarakat) serta siswa. Pengambilan keputusan bersama di kalangan stakeholder pada level sekolah merupakan kunci utama dalam melaksanakan MBS.

Konsep MBS layaknya dipahami sebagai rangkaian usaha; a. mendesentralisasi organisasi, manajemen dan penyelenggaraan pendidikan. b. memberdayakan infastruktur yang ada sesuai dengan kebutuhan para peserta didik. c. menciptakan peran dan tanggung jawab baru bagi para pelaku sisem MBS, dan d. mentransformasikan proses belajar -mengajar secara optimal7.

Dalam bentuk sederhana, MBS menggambarkan suatu kumpulan praktik di mana semakin banyak orang di tingkat sekolah membuat keputusan-keputusan bagi sekolah. MBS sering mulai dengan suatu pendelegasian kewenangan-kewenangan tertentu dari Kantor pusat ke sekolah-sekolah yang mungkin mencakup serangkaian kewenangan dari beberapa bidang terbatas ke hampir segala sesuatu8.

MBS merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pendidikan. Prof. Armai Arief menegaskan pada sistem MBS, sekolah dituntut secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Adapun

(6)

komponen-kompenen manajemen dalam MBS; Manajemen kurikulum dan program pengajaran, manajemen tenaga pendidikan, manajemen kesiswaan, manajemen keuangan dan pembiayaan, manajemen sarana dan prasarana pendidikan, dan manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat9.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, Manajemen Berbasis Sekolah adalah otonomi sekolah dengan memberi kewenangan yang luas kepada sekolah untuk mengelola sumber daya sekolah, sepert sumber daya manusia, sumber Dana, sarana dan prasarana, serta partisipasi aktif dari orang tua dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan arti lain, manajemen berbasis sekolah sebagai satu proses kerja inovasi dalam komunitas sekolah dengan menerapkan beberapa kaidah otonomi, akuntabilitas, dan partisipasi untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara bermutu di lingkungan sekolah.

4. Tujuan dan Manfaat MBS

Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, adayan hadiah dan hukuman sebagai kontrol serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana yang kondusif. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu.

Nursisto menambahkan tujuan MBS; meninggkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayaan sumber daya yang tersedia. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, pemerintah tentang mutu sekolahnya. Meningkatkan kompetensi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang dicapai10.

Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas. MBS dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan kemandirian sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Perwujudannya ditandai dengan pembentukan Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota.

9 Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), cet. 1, hal. 72

10 Nursisto, Peningkatan Prestasi Sekolah Menengah; Acuan Siswa, Pendidik dan Orangtua, (Bandung: Insan

(7)

Manfaat MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi MBS sesuai dengan kondisi setempat, sekolah dapat lebih meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebi berkonsentrasi pada tugas.

Manfaat yang lain MBS menekankan keterlibatan banyak pihak sehingga menjamin partisipasi staf, orang tua, peserta didik, dan masyarakat yang lebih luas dalam perumusan-perumusan keputusan tentang pendidikan. Kesempatan berpartisipasi dapat meningkatkan komitmen mereka terhadap sekolah yang berpengaruh pada efektivitas dalam pencapaian tujuan sekolah11.

5. Karakteristik MBS

Karakteristik MBS mengetahui bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar-mengajar, pengelolaan sumber daya manusia, dan pengelolaan sumber daya administrasi.

Ciri-ciri MBS yang dirumuskan BPPN dan Bank Dunia (1999), mengutip dari Focus on School: the Future Organisation of Education Service for Student, Departement of

(8)

mayarakan sekolah

Dalam buku Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah yang dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas (1996:6-7) dituliskan beberapa indikator yang menjadi karakteristik dari konsep MBS, sebagai berikut12;

1. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib

2. Sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai 3. Sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat

4. Adanya harapan yang tinggi dari personil sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya, termasuk siswa) untuk berprestasi

5. Adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK

12 Amiruddin Siahaan, dkk, Manajemen Pendidikan berbasis Sekolahan, (Ciputat: Quantum Teanching, 2006),

(9)

6. Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan dan atau perbaikan mutu

7. Adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua siswa dan masyarakat lainnya.

6. Prinsip-prinsip MBS

a. Komitmen kepala sekolah dan warga sekolah harus mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya menggerakkan semua warga sekolah untuk ber-MBS

b. Kesiapan, semua warga sekolah harus siap fisik dan mental untuk ber-MBS

c. Keterlibatan, pendidikan yang efektif melibatkan semua pihak dalam mendidik anak d. Kelembagaan, sekolah sebagai lembaga adalah unit terpenting bagi pendidikan yang

efektif

e. Keputusan, segala keputusan sekolah dibuat oleh pihak yang benar-benar mengerti tentang pendidikan

f. Kesadaran, guru-guru harus memiliki kesadaran untuk membantu dalam pembuatan keputusan program pendidikan dan kurikulum

g. Kemandirian, sekolah harus diberi otonomi sehingga memiliki kemandirian dalam membuat keputusan pengalokasian dana

h. Ketahanan, perubahan akan bertahan lebih lama apabila melibatkan stakeholders sekolah13

13 Husaini Usman, Manajemen: Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, cet. 1, hal.

(10)

7. Strategi dan Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan MBS

Berbagai lingkup strategi yang ditawarkan oleh manajemen pendidikan sekolah, diantaranya; a. Kurikulum yang bersifat inklusif,

b. Proses belajar mengajar yang efektif. c. Lingkungan sekolah yang mendukung,

d. Sumber daya yang berasasskan pemerataan, dan

e. Standarisasi dalam hal-hal tertentu, monitoring, evaluasi, dan tes.

Dengan adanya strategi tersebut, maka fungsi sekolah harus memperhatikan beberapa faktor berikut; 1. Manajemen/organisasi/kepemimpinan, 2. Proses belajar mengajar, 3. Sumber daya manusia, 4. Administrasi sekolah14.

Mulyasa menyebutkan beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi MBS; Faktor yang berkaitan dengan kewajiban sekolah, kebijakan dan prioritas pemerintah, peranan orang tua dan masyarakat, peranan dan manajerial, serta pengembangan profesi.

Dalam praktiknya MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas agar dapat membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefisienkan system dan menghilangkan birokrasi yang tumpah tindih. Sekolah juga dituntut kemandirian dan kreativitas sekolah dala mengelola pendidikan dan pembelajaran di balik otonomi yang dimilikinya. Sekolah juga harus mampu mencermati kebutuhan peserta didik yang bervariasi, keinginan staf yang berbeda, kondisi lingkungan yang beragam, harapan masyarakat yang menitipkan anaknya pada sekolah tersebut, serta tuntutan dunia kerja untuk memperoleh tenaga yang produktif, potensial, dan berkualitas.

MBS memberi peluang bagi kepala sekolah, guru, dan peserta didik untuk melakukan inovasi dan improvisasi di sekolah, berkaitan dengan masalah kurikulum, pembelajaran, manajeril dan sebagainya yang tumbuh dari aktivitas, kreativitas, dan profesioalisme yang dimiliki pelibatan masyarakat dalam Dewan sekolah di bawah monitoring pemerintah, mendorong sekolah untuk lebih terbuka, demokratis, dan bertanggung jawab. Pemberian kebebasan yang luas memberi kemungkinan kepada sekolah untuk dapat menemukan jati dirinya dalam membina peserta didik, guru, dan petugas lain yang ada di lingkungan sekolah15.

Sementara menurut Sudarman Danim, MBS menuntut keterlibatan tinggi sumber daya sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf tata usaha), sumber daya masyarakat (orangtua murid,

(11)

anggota masyarakat, penyandang Dana, tokoh-tokoh masyarakat, unsur pimpinan desa), unit struktur di atasnya dan siswa. Dan sumber daya pemerintah dan masyarakat. Ketiganya merupakan tripartite yang saling membahu membangun sebah sosok sekolah yang ideal. Keterlibatan yang intensif dan ekstensi itu adalah kondisi paling tepat bagi terciptanya fungsi layanan keorganisasian sekolah dalam hal, seperti produksi pengetahuan (knowledge production), perubahan lingkungan (changing environment), penyelesaian tugas yang kompleks (complex job), kemantapan pembuatan keputusan (decision making), dan interpedensi tugas di dalam organisasi sekolah16.

Manajemen Berbasis Sekolah terkait dengan perubahan-perubahan pola manajemen dalam pendidikan17

No Pola Lama Pola Baru

1 Subordinasi Otonomi

2 Pengambilan Keputusan terpusat Pengambilan keputusan partisipatif

3 Ruang gerak kaku Ruang gerak luwes

4 Pendekatan Birokratif Pendekatan Profesional

5 Sentralisasi Desentralisasi

6 Diatur Motivasi diri

7 Over regulasi Deregulasi

8 Mengontrol Mempengaruhi

9 Mengarahkan Memfasilitasi

10 Menghindari resiko Mengelola resiko

11 Gunakan uang semuanya Gunakan uang seefisien mungkin

12 Individual yan cerdas Teamwork yang cerdas

13 Informasi terpribadi Informasi terbagi

14 Pendelegasian Pemberdayan

15 Organisasi hierarkis Organisasi datar

16 Sudarman Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah.., (Jakarta: RemajaRosdakarya, 2008), Cet. 2, hal. 202 17 Eman Suparman, Manajemen Pendidikan Masa Depan, www.depdiknas.go.id diakses pada Selasa, 4 April

(12)

B. Pengalaman Model MBS di Beberapa Negara

Di Amerika Serikat, MBS merupakan sebuah strategi baru yang paling popular yang muncul sebagai gerakan reformasi sekolah (school reform movement) pada tahun 1980-an. Dalam hal ini, Sekolah memiliki kewenangan untuk mengelola anggaran, kurikulum, dan keputusan mengenai personel. Sejalan dengan kebijakan distrik, sekolah mendorong kebijakan itu secara antusias18.

Di Amerika semua sekolah telah melakukan MBS, meski sebagian masih mempraktikkan peran terbatas. Seperti di tulis oleh Wohlstetter & Odden (1992), “Past research has shown that MBS is everywhere and nowhere”. Disebut everywhere karena seluruh sistem sekolah (system of school) di seluruh negeri telah menerapkan atau terlibat di dalam MBS. Disebut nowhere karena perluasan tanggung jawab pembuatan keputusan (decision making responsibility) di tingkat sekolah masih cenderung terbatas atau dibatasi. Berdasarkan penelitian di Amerika mengenai kinerja sekolah yang telah berhasil menerapkan MBS terutama di bidang penganggaran. Sementara di Distrik lain tengah mengaplikaskan MBS dengan mengombinasikan reformasi kurikulum dan pembelajaran walaupun ada keragaman mengenai sistem bimbingan penerapan19.

Di Selandia Baru dimulai dengan reformasi administrasi yang kemudian diikuti dengan reformasi sektor pedagogis, berupa komitmen untuk memperkuat pencapaian tujuan kurikulum nasional dan mengembangkan muatan lokal. Dikenal istilah “Sekolah Masa Depan” (Tomorrow’s Schools), dan “Sekolah Khusus” (Charter Schools).

Di Meksiko, pembayaran gaji guru berhasil dilakukan secara tepat waktu setelah kebijakan desentralisasi pendidikan berjalan empat tahun. Brasil berhasil membangun tatanan desentrasilisasi pendidikan yang ditandai dengan peningkatan prestasi belajar siswa. Di Cile, secara pedagogis desentralisasi pendidikan menunjukkan kemajuan berarti, meski mengalami pasang surut dan angka partisipasi pendidikan yang cenderung menurun.

Di Burkina Faso, desentralisasi pendidikan menyebabkan pembengkakan biaya langsung (direct cost) dan biaya kesempatan (opportunity cost) sehingga angka putus sekolah meningkat drastis. Di Argentina, hal ini pun mengalami kegagalan yang ditandai dengan gagalnya pelimpahan masalah fiscal akibat tidak ada dukungan dari

(13)

pejabat kependidikan dan serikat guru. Di Venezuela juga gagal menerapkan desentralisasi pendidikan akibat tidak mendapat dukungan finansial dari pejabat daerah. Di Negara Spanyol, Kolombia dan Zimbabwe penerpan desentralisasi pendidikan hanya berhasil dilihat dari persfektif politis, lemah dalam peningkatan mutu. Papua Nugini pun merupakan contoh lain dari Negara yang gagal menerapkan biaya operasi akibat menggelambungnya struktur dan perangkat organisasi di daerah20.

Di Inggris dan Wales, corak reformasi diartikulasikan dengan pakem “Manajemen Lokal Sekolah” (Local Management of Schools), “Sekolah Pengelola Dana Bantuan” (Grant-Maintained Schools) sebagai bagian dari Undang-Undang Reformasi Pendidikan Inggris 1998 dan 1993.

Di Kanada MBS dipraktikan di Distrik Sekolah Negeri Edmonton di Alberta, di mana pendekatan yang biasanya dikenal dengan “pembuatan keputusan di lingkungan sekolah” (school-site decision-makin), telah menghasilkan desentralisasi alokasi beberapa sumberdaya bagi staf pengajar dan non-pengajar, peralatan, perbekalan dan pelayanan “pendelegasian finansial”. Dengan percobaan di tujuh sekolah pada pertengahan 1970-an membuka jalan untuk adopsi sistem secara luas dari pendekatan manajemen mandiri yang komprehensif pada 1980-1981 yang kini terlembagakan21. Pada 1994, Alberta merancang untuk memulai suatu restrukturisasi

besar sistem adalah untuk melegislasikan beberapa reformasi pendidikan secara luas yang menghasilkan sebuah Kantor pusat Departemen Pendidikan yang lebih sederhana dan pengurangan jumlah sekolah distrik dari 140 menjadi 60, termasuk pelimpahan kewenangan ke tingkat sekolah.

Sementar di Australia, terutama Negara bagian Victoria, dikenal “Sekolah Masa Depan” (the Schools of the future) dan “Sekolah Unggulan” (Better Schools) di Australia Barat. Disini ada titik tekan pendelegasia pada aspek keuangan dan alokasi sumberdaya kepada sekolah-sekolah, seperti yang sudah berjalan di Edmonton, Kanada. Istilah yang digunakan “Pendanaan Berbasis Sekolah” (School-Based Budgeting) telah digantikan dengan “Pengambilan Kebijakan Berbasis Sekolah” (School-Based Decision-Making)22.

(14)

Meskipun demikian tidak menutup mata dari hambatan-hambatan yang membatasi pada tingkat pembuat keputusan. Berdasarkan pengalaman di Australia, Brown (1990) menulis, “Central office administrators tend to be the most prominent among groups that work against the implementation of decentralization. They may experience role confusion, lack of security, and a diminished sense of authority”. Maka dalam pengembangan MBS Dalam konteks kita, hambatannya bukan tidak mungkin datang dari Dinas Diknas Kabupaten/Kota sendiri yang cenderung bekerja bertolak belakang dengan spirit desentralisasi23. Pihak berkuasa ini merasa bingung

pola kerja yang harus dijalankan, merasa kurang aman, dan sepertinya akan merasa terancam kekuasaannya, ketakutan akan kehilangan otonomi, penambahan pekerja baru, dan adanya intervensi orang tua. Padahal MBS memiliki tiga nilai positif; efisiensi administrasi, keefektifan pendidikan dan keterlibatan partisipan24.

Di Hongkong MBS dikenal dengan Inisiatif Manajemen Sekolah (IMS). Sistem sekolah terdiri dari tiga faktor yang berbeda: sekolah negeri, sekolah bersubsidi, dan sekolah swasta. Sektor terbesar adalah sekolah bersubsidi. Sektor ini menyediakan 80% tempat, sedangkan sekolah negeri dan swasta masing-masing menyediakan hanya 7 dan 13%. Reformasi pendidikan yang pertama dipusatkan pada perluasan system, dan peningkatan fasilitas belajar-mengajar.

C. Pengalaman MBS di Indonesia.

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 51 ayat (1) “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah” dan Undang-Undang Otonomi daerah Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yag disempurkan menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, telah mengubah segala peraturan dari yang bersifat sentralistik (top down) menjadi desentralistik25.

Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, sebagaimana tertuang dalam Bab VIII mengenai Standar Pengelolaan pada Pasal 49 ayat 1 tentang standar pengelolaan oleh satuan pendidikan, menjelaskan

23 Sudarman Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah.., hal. 64 24 Sudarman Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah.., hal. 140

(15)

bahwa pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan sekolah dasar dan menengah adalah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Kemudian Pemerintah melakukan penguatan dengan mengeluarkan peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Oleh satuan Pendidikan Dasar dan Menengah itu meliputi beberapa hal, diantaranya; perencanaan program, pelaksanaan rencana kerja, pengawasan dan evaluasi, kepemimpinan sekolah, system informasi manajemen, dan penilaian khusus26.

Dengan lahirnya undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut, idealnya pemerintah telah mendukung sekolah agar mampu mengelola sekolahnya secara mandiri dalam meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini agar menjadi lebih baik dan berkualitas serta mampu meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia di dunia.

D. Pengalaman Otonomi Pendidikan MAN Insan Cendekia Serpong

Sekilas profil MAN Insan Cendekia (MAN IC) adalah sebuah Madrasah Aliyah Negeri setingkat Sekolah Menengah Atas berasrama. Sekolah berada di Jl. Cendekia, BSD Sektor XI No.1, Serpong, Tangerang –Banten. Sekolah yang didirikan oleh Prof. Dr. -Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie

melalui BPPT ini menerapkan prinsip keseimbangan antara penguasan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan iman dan taqwa. Berdiri tahun 21 September 1996, sejak tahun 2001, dengan SK Menteri Agama RI, Nomor 490 Tahun 2001 MA Insan Cendekia Serpong berubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia Serpong27.

Pola praktik MBS di MAN Insan Cendekia dapat kita baca dalam Pedoman Manajemen MAN Insan Cendekia Serpong. Dengan menggunakan konsep Caldwell dan Spinks. Kita bisa melihat keotonomian yang terjadi dalam proses pengembangan dan penyelenggaraan pendidikan di MAN IC.

1. Pengetahuan (Knowledge): desentralisasi keputusan berkaitan dengan kurikulum, termasuk keputusan mengenai tujuan dan sasaran pendidikan

Layaknya tahapan dalam pengelolaan manajemen kurikulum; pertama, tahap perencanaan, kedua, Tahap pengorganisasian, ketiga, tahap pelaksanaan, dan keempat tahap pengendalian. Di MAN Insan Cendekia memuat hal tersebut.

Sebagaimana terlihat dalam alur pembuatan kurikulumnya;

26 Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006),

cet.4, hal.17-18

(16)

Kurikulum versi MAN Insan Cendekia disusun oleh sebuah komisi bidang kurikulum yang bertugas merancang dan merumuskan kurikulum. Dalam pola kerjanya, komisi kurikulum ini dibantu oleh satu Tim yang terdiri dari para pakar, kepala madrasah, dan wakil kepala madrasah yang menghasilkan dokumuen I. Dokumen I merupakan acuan bagi semua bagi semua guru-guru dalam merumuskan kurikulum. Dokumen I itu berisi visi, misi, tujuan, kurikulum muatan local dan pengembangan diri. Semua yang disusun oleh guru-guru harus mengacu pada hasil rumusan dokumen I.

Kurikulum yang ada di MAN dikemas dalam beberapa bentuk; a. struktur program yang menitikberatkan pada penguasaan basic knowledge of science and technology, Pendidikan Agama, serta penguasaan bahasa Inggris dan Arab. b. kurikulum diperkaya dengan pendidikan yang mengarah kepada ketrampilan hidup (life skill), dan c. menggunkan pendekatan intelektual, kegiatan keteladanan, dan laboratorium.

2. Teknologi : desentralisasi keputusan mengenai sarana belajar-mengajar

Sarana belajar yang ada di MAN Insan Cendekia dapat dimanfaatkan oleh guru dan siswa secara maksimal. Begitu juga pengadaan sarana belajar mengaja dilakukan oleh masing-masing guru mata pelajaran. Dalam pembelajaran berbasis multimedia, yakni Over Head Projector (OHP), LCD Projector, Slide, alat –alat praktik yang tersedia di laboratorium Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa.

3. Kekuasaan : desentralisasi kewenangan dalam membuat keputusan

Workshop Pe e tuka

Ko isi

Mera a g da eru uska kurikulu

Doku e I

Sida g Ple o Doku e II

(17)

Menurut Fullan (1993) dalam MBS pembuatan keputusan untuk sebagian besar berbasis pada kemampuan internal sekolah dan pada potensi masyarakat lokal. Dengan keyakinan tumbuh bahwa strategi baru ini dapat menjadi instrument peningkatan kinerja sekolah (improved school performance).

MBS menuntut suatu reformasi politik yang diajukan untuk memperluas basis pembuatan keputusan, baik dalam sekolah, masyarakat luas, maupun keduanya. Tetapi demokratisasi pembuatan keputusan sebagai sebuah tujuan dalam dirinya menyisakan pertanyaan tentang siapa yang seharusnya dilibatkan dalam setiap keputusan28. Dan

meningkatkan proses pembelajaran siswa ialah membiarkan para professional pendidikan membuat keputusan-keputusan professional yang penting.

Di MAN IC langkah pengambilan keputusan sesuai dengan alur berikut;

Mekanisme pengambilan keputusan di MAN, pertama; Wakil kepala madrasah, kepala urusan atau kepala unit pelaksana teknis, menyusun draft rencana kerja, sesuai dengan tugas dan wewenangan masing-masing yang terbentuk dalam beberapa komisi. Kedua; draft dibahasa dalam rapat komisi dan masing-masing komisi memiliki rancangan dan perumusan beberapa program yang disampaikan dalam rapat pleno. Ketiga, hasil rapat komisi dibahas dalam rapat pleno. Masing-masing komisi menyampaikan rancangan dan perumusan program yang dilaksanakan. Keempat, hasil rapat pleno itu menjadi suatu keputusan yang ditetapkan oleh Kepala MAN sebagai program satu tahun ke depan. 4. Material : desentralisasi keputusan mengenai penggunaan fasilitas, pengadaan dan

peralatan alat-alat sekolah

Di MAN dalam manajemen sarana prasana sebagai berikut;

5. Manusia : desentralisasi keputusan mengenai sumberdaya manusia, termasuk pengembangan profesionalisme dalam hal-hal berkaitan dengan proses belajar -mengajar, serta dukungan terhadap proses belajar-mengajar

Dalam pengelolaan SDM di MAN Insan Cendekia sebagai alur berikut;

28 Caldwel dalam Ibtisam Abu-Duhou, School-Based Management, terj, hal. 22

Pe e tuka

Ko isi Rapat Ko isi Rapat Ple o Keputusa

Pere a aa Pe gadaa I e taris

(18)

6. Waktu : desentralisasi keputusan mengenai alokasi waktu

Dalam pengaturan waktu, MAN IC memiliki kewenangan sendiri. MAN IC sebagai sekolah berasrama (boarding school), pastinya memiliki ciri khas tersendiri dalam jadal kegiatan sehari-hari. Berikut jadwal sehari-hari yang terintegrasi dengan kegiatan siswa sehari-hari.

Pukul Kegiatan Tempat

04.00 – 04.40 Bangun, bersih diri dan ke masjid Asrama

04.40 – 05.30 Shalat Subuh berjama’ah, wirid, do’a, tadarus dan wirid Asma al-Husna

Masjid

05.30 – 06.45 Mandi, makan pagi dan persiapan ke sekolah Asrama, kantin

06.45 – 07.00 Baris ke sekolah dan masuk kelas Asrama – Madrasah

07.00 – 09.40 Pelajaran I – IV Madrasah

09.40 – 09.55 Istirahat I Madrasah, Masjid

09.55 – 11.55 Pelajaran ke V-VII Madrasah

11.55 – 12.55 Shalat Dzuhur berjamaah dan makan Masjid dan kantin

12.55 – 15.35 Pelajaran ke VIII-XI Madrasah

15.35 – 16.00 Shalat Ashar berjamaah Masjid

16.00 – 17.30 Kegiatan bebas terawasi (istirahat, olah raga, mencuci, ekstra kurikuler, dll)

Lingkungan IC Serpong

17.30 – 18.00 Bersih diri dan pergi ke Masjid Asrama-Masjid

18.00 – 18.30 Shalat Maghrib berjamaah, wirid dan tadarus Asma al-husna. Pada hari Rabu, Kamis, dan Jumat: wirid pendek

20.00 – 22.00 Belajar mandiri diawasi Pembina asrama.

(19)

harian/tes blok, pecan UTS, dan pecan Ulum semester diawasi guru-guru piket

22.00 – 04.00 Istirahat, tidur, dan mimpi indah Kamar masing-masing

7. Keuangan : desentralisasi keputusan mengenai alokasi keuangan

MAN Insan Cendekia memiliki sumberdana yang terdiri dari Sumbangan Departemen Agama yang berupa Dana dari Daftar Isian Kegiatan (DIK) dan Daftar Isian Proyek (DIP), dan sumbangan orangtua siswa dan serta dari sumber lainnya.

(20)

PENUTUP

Manajemen Berbasis Sekolah merupakan strategi di era desentralisasi sebagai alternatif peningkatan kualitas pendidikan persekolah dengan pemberian yang otonomi yang luas di tingkat sekolah serta partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.

MBS menekankan kepada kemandirian dan kreativitas sekolah. Sekolah menjadi lembaga mandiri dalam menetapkan kebijakannya, tetapi memiliki jaringan kerja dengan berbagai pihak yang dapat meningkatkan mutu kinerja manajemennya.

(21)

DAFTAR PUSTAKA

Abu-Duhou, Ibtisam, School-Based Management, terj (Jakarta: Logos, 2002), cet.1 Arief, Armai, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), cet. 1 Caldwell, Brian J, School Based Management, (Paris: UNESCO, 2005)

Danim, Sudarman, Visi Baru Manajemen Sekolah, (Jakarta: RemajaRosdakarya, 2008), cet. 2 Fattah, Nanang, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Rosda, 2000), cet. 2 Mulyasa, E, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Rosdakarya, 2006), cet. 10

Nursisto, Peningkatan Prestasi Sekolah Menengah; Acuan Siswa, Pendidik dan Orangtua, (Bandung: Insan Cendekia, 2002), cet. Ke-1

Rosyada, Dede, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta: Kencana, 2004), cet. 2 Siahaan, Amiruddin, dkk, Manajemen Pendidikan berbasis Sekolahan, (Ciputat: Quantum

Teanching, 2006), cet.1. 2008, cet. 1

Supriadi, Dedi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), cet.4

Usman, Husaini, Manajemen: Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara,

Suparman, Eman, Manajemen Pendidikan Masa Depan, sumber www.depdiknas.go.id diakses pada Selasa, 4 April 2013.

Referensi

Dokumen terkait

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) tampil sebagai alternatif paradigma baru manajemen pendidikan yang ditawarkan. MBS merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada

Sebagai sebuah konsep manajemen di bidang pengelolaan pendidikan, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) lahir di tengah-tengah era kebebasan yang telah mengemuka sejak

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) sebagai bagian dari Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yaitu model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar

Manajemen berbasis sekolah adalah suatu bentuk manajemen dimana pemerintah memberikan otonomi atau tanggung jawab yang lebih besar kepada pihak sekolah untuk dapat merencanakan

Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas

Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis madrasah (MPMBM) dapat diartikan sebagai sebuah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada

Dalam kerangka inilah, MBS tampil sebagai alternatif paradigma baru dalam pengelolaan sekolah, manajemen pendidikan yang ditawarkan MBS merupakan suatu konsep yang memberikan otonomi

Manajemen berbasis sekolah merupakan salah satu model pengelolaan sekolah yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dalam mengelola sumber daya dan program