• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI KEPEMIMPINAN DAN KON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI KEPEMIMPINAN DAN KON"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORI KEPEMIMPINAN DAN KONFLIK

D. Kepemimpinan

Kepemimpinan atau leadership mempunyai arti yang berbeda pada orang-orang yang berbeda. Kata ini merupakan suatu kata yang diambil dari kamus dan dimasukkan ke dalam kamus teknis sebuah disiplin ilmiah tanpa didefinisikan dengan tepat. Sebagai konsekuensinya, kata ini mempunyai konotasi-konotasi yang tidak saling berhubungan yang menciptakan ambivalensi pengertian (Janda, 1960). Para peneliti biasanya medefinisikan kepemimpinan sesuai dengan prespektif-prespektif individual dan aspek dari fenomena yang paling menarik perhatian mereka. Stogdill (1974: 259) menyimpulkan bahwa terdapat hampir sama banyaknya definisi tentang kepemimpinan dengan jumlah orang yang telah mendefinisikan konsep tersebut. Kepemimpinan telah didefinisiskan dalam kaitannya dengan ciri-ciri individual, perilaku, pengaruh terhadap orang lain, pola-pola interaksi, hubungan peran, tempatnya pada posisi administratif, serta persepsi oleh orang lain mengenai keabsahan dari pengaruh.

Namun demikian, ada beberapa definisi kepemimpinan yang dapat dianggap cukup mewakili yaitu sebagai berikut:

a) Hemhill dan Coons (1957: 7) mendefinisikan kepemimpinan sebagai perilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai bersama (shared goal).

(2)

b) Tannenbaum, Weschler, dan Massarik (1961: 24) menyimpulkan bahwa kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu.

c) Katz dan Kahn (1978: 528) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada dan berada di atas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan-pengarahan rutin organisasi. d) Rauch dan Behling (1984: 46) mendefinisikan kepemimpinan sebagai

proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasi ke arah pencapaian tujuan.

e) Jacobs dan Jacques (1990: 281) mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran.

(3)

dari pengaruh, cara bagaimana pengaruh tersebut digunakan, serta hasil dari usaha menggunakan pengaruh tersebut.

Beberapa definisi kepemimpinan tersebut menunjukkan bahwa definisi secara tunggal (a single definition of leadership) sangat sulit ditentukan dan tidak ada definisi yang paling tepat. Tetapi dari perbedaan yang ada, kita bisa menarik akar definisi kepemimpinan sebagai suatu proses dan perilaku untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk

mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat

individu dan organisasi.

Di dalam Islam kepemimpinan disebut dengan “Imamah”, berasal dari kata dasar “Imam” yang artinya pemimpin, seperti ketua atau yang lainnya, baik dia memberikan petunjuk ataupun menyesatkan. Imam juga disebut khalifah, yaitu penguasa dan pemimpin-pemimpin rakyat (Salus, 1997: 15). Dengan demikian hakekat kepemimpinan di dalam Islam adalah untuk mewujudkan khilafah di muka bumi demi terwujudnya kebaikan dan reformasi (Mahdi, 2001: 2). Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Nahl ayat 36:

ِ

ِ

ﹰ 

ﱢ ﹸ

ِ

...

Artinya: Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu...(al-Nahl (18): 36).

(4)

adalah untuk mewujudkan khilafah di muka bumi, demi terwujudnya kebaikan dan reformasi. Perintah Allah demikian jelas dalam firman-Nya:

ِ

ِ

ﹸﹶ

ِ

ِ

ِ

ﹶِ

ِ

ِ

Artinya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (al-Nisa’(4):65)

Demikian juga diutusnya Rasul ke muka bumi juga untuk memimpin umat dan mengeluarkannya dari kegelapan menuju pada kebenaran. Mengenai kepemimpinan ini Rasulullah Saw memberikan petunjuk dalam sabdanya yang artinya:

“Apabila tiga orang keluar untuk melakukan sesuatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah satu seorang di antara mereka sebagai pemimpin” (HR. Abu Daud).

Hadits tersebut memberikan konstribusi besar pada kebutuhan kepemimpinan baik dalam kegiatan, perkumpulan, lebih-lebih dalam lembaga atau organisasi. Ibnu Taimiyah (dalam Mahdi, 2001: 3) mengatakan bahwa memimpin urusan manusia termasuk sebuah kewajiban terbesar agama, bahkan tidak akan tegak agama kecuali dengannya.

(5)

Ini banyak dialami dalam pendidikan, yang nantinya akan melahirkan pemimpin. Oleh karenanya seorang pelajar/mahasiswa harus mempunyai pembimbing yang mampu menunjukkan jalan yang benar di jalan Allah, sehingga jika mereka kelak menjadi pemimpin, ia siap mengajak bawahannya menuju jalan yang benar.

Dengan demikian kepemimpinan dalam Islam adalah perilaku interaktif yang mampu mempengaruhi perilaku individu-individu untuk menunaikan tugasnya dalam rangka memberikan arahan, petunjuk yang lebih baik dalam mewujudkan target umat, mengembangkan, memegang, teguh dan menjaga kekuatan yang diamanahkan.

(6)

Kepemimpinan adalah aksi dan pengaruh yang berbasis ke logika dan juga inspirasi. Pemimpin bukanlah sosok commander data dalam star trek, yang selalu merespon permasalahan dengan prediksi logika dan data. Tiap-tiap manusia memiliki sisi rasional dan emosional yang membawa implikasi terjadinya perbedaan pemikiran, feelings, pengharapan, mimpi, kebutuhan, ketakutan, ambisi dan tujuan. Maka konsekuensinya, seorang pemimpin dituntut untuk cerdik menggunakan pendekatan rasional dan emosional untuk mempengaruhi pengikut, tentu dengan bobot yang adil dan disesuaikan dengan keadaan.

Mengenai kepemimpinan ini ada banyak teori yang telah dikemukakan oleh para pakar ilmu manajemen. Di antaranya adalah House (1977) yang mengajukan sebuah teori tentang kepemimpinan karismatik. Teori tersebut didasarkan pada hasil penemuan dari berbagai disiplin ilmu sosial. Menurutnya pemimpin karismatik mempunyai dampak yang dalam dan tidak biasa terhadap pengikutnya, mereka merasa bahwa keyakinan pemimpin tersebut adalah benar, mereka menerima pemimpin tanpa menanyakan lagi mereka tunduk pada pemimpin dengan rasa senang, mereka merasa sayang terhadap pemimpin, mereka terlibat secara emosional dalam misi kelompok atau organisasi, mereka percaya bahwa mereka dapat memberi konstribusi terhadap keberhasilan misi, dan mereka mempunyai tujuan-tujuan kinerja yang tinggi.

(7)

pemimpin tersebut adalah kompeten (memperlihatkan rasa percaya diri akan keberhasilan sebelumnya) untuk meningkatkan kesediaan pengikut agar patuh; (b) menekankan pada tujuan idiologis yang menghubungkan misi kelompok kepada nilai-nilai atau cita-cita serta aspirasi-aspirasi yang berakar dan mendalam yang dirasakan bersama oleh pengikutnya; (c) menetapkan suatu contoh perilaku mereka sendiri agar diikuti oleh pengikutnya. Peran yang demikian lebih dari sekedar imitasi terhadap perilaku pemimpin, untuk mempengaruhi agar bawahan puas dan termotivasi; (d) mengomunikasikan harapan-harapan yang tinggi tentang kinerja para pengikut dan mengekspresikan rasa percaya pada pengikut; dan (e) menimbulkan motivasi yang relevan bagi misi kelompok (Yukl, 1994: 269).

(8)

orang. Konflik-konflik di antara kelompok-kelompok membuat kehidupan pemimpin tersebut lebih sukar, namun pada saat bersamaan dapat berguna memobilisasi dan menyalurkan energi untuk mencapai sasaran idiologis yang dirasakan bersama.

Adapun perilaku kepemimpinan transformasional adalah: (a) karisma, perilaku pemimpin yang mempengaruhi para pengikutnya dengan menimbulkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi dengan pemimpin tersebut; (b) stimulasi intelektual (intelectual stimulation), perilaku pemimpin yang meningkatkan kesadaran para pengikut terhadap masalah-masalah dari sebuah perspektif yang baru; dan (c) perhatian yang individualisasi, pemimpim berperilaku memberi dukungan, membesarkan hati, dan memberikan pengalaman tentang pengembangan kepada para pengikut (Yukl, 1994: 297).

(9)

akan analisis masalah yang hati-hati; dan (g) mereka adalah orang-orang yang mempunyai visi yang mempercayai institusi mereka (Yukl, 1994: 297).

Sedangkan beberapa teori tentang perilaku kepemimpinan, sebagaimana penelitian tentang kepemimpinan yang efektif telah didominasi oleh pengaruh dari studi-studi kepemimpinan dari Ohio State Uviversity. Dalam penelitian Fleishmen (1953), Halpin dan Winner (1957), menghasilkan perilaku kepemimpinan dalam dua dimensi, yaitu: concideration dan initiating structure. concideration adalah tingkat sejauh mana pemimpin bertindak

dengan cara ramah dan mendukung bawahan, serta memperhatikan kesejahteraan mereka. Sedangkan initiating structure adalah sejauh mana seorang pemimpin menentukan dan menstruktur perannya sendiri dan peran bawahan ke arah pencapaian tujuan-tujuan formal kelompok atau pemimpin yang cenderung memperhatikan tugas.

Menurut Likert (dalam Yukl, 1998: 49) ada tiga kepemimpinan yang efektif, yaitu: (a) perilaku yang berorientasi pada tugas (task-oriented behavior); (b) perilaku yang berorientasi pada hubungan (relation-oriented

behavior); dan (c) kepemimpinan partisipatif.

Sedangkan House dan Mitchell (1974) menyebutkan perilaku kepemimpinan yang efektif itu ada empat, yaitu:

(10)

b) Kepemimpinan yang mendukung (supportive leadership), ciri-cirinya adalah memberi perhatian pada kebutuhan bawahan, memperlihatkan perhatian terhadap kesejahteraan mereka dan menciptakan suasana bersahabat dalam unit kerja.

c) Kepemimpinan partisipasi (participative leadership), ciri-cirinya adalah berkomunikasi dengan bawahan dan memperhitungkan opini serta saran mereka, bawahan memiliki kemampuan rendah namun memiliki kemauan kerja tinggi. d) Kepemimpinan yang berorientasi pada keberhasilan (achievement oriented

ledership), ciri-cirinya adalah menetapkan tujuan-tujuan yang menantang,

mencari perbaikan dalam kinerja, menekankan keunggulan kinerja, serta memperlihatkan kepercayaan bahwa bawahan akan mencapai standar yang tinggi. Penerapannya bagi bawahan yang memiliki kemampuan dan kemauan tinggi.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Yukl (1998: 13) bahwa perilaku dalam menerima tugas dari pimpinan menurutnya ada tiga, yaitu:

a) Komitmen merupakan suatu hasil yang dituju, sepakat pada suatu keputusan yang telah diberikan atasannya.

b) Kepatuhan merupakan suatu hasil yang di dalam target bersedia untuk melakukan apa yang diberikan atasannya.

(11)

a) Power ekskutif (pelaksana), yaitu pengaruh yang dapat menimbulkan kharisma dan wibawa untuk mengatur anggota kelompok ataupun untuk mengatur orang lain.

b) Power legislative (pembuat hukum), yaitu pengaruh untuk mengatur hubungan antar kelompok.

c) Power pembuat keputusan, yaitu pengaruh untuk melerai perselisihan yang terjadi dalam penerapan hukum (Taufiq, 2004: 36).

Susunan pengaruh tersebut harus dilaksanakan dengan tertib dan cocok diterapkan dalam sebuah lembaga, keluarga, perusahaan dan bahkan negara. Allah telah memberikan tiga kekuatan pengaruh seperti itu kepada Nabi Daud a.s sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Shaad ayat 20:

ِ ﹶ

ِﹾ

ﹶ ﹶ

ِ

Artinya: ”Dan kami kuatkan kerajaannya dan kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan” (al-Shaad (38): 20).

Pertama, Allah menguatkan kerajaan Daud dengan membekalinya

kharisma dan kewibawaan (power pelaksanaan). Kedua, Allah membekali Daud dengan hikmah berupa hukum atau perundang-undangan yang mengatur hak dan kewajiban. Berdasarkan hikmah ditentukan perbuatan mana yang harus dikerjakan (power pembuat hukum). Ketiga, Allah membekali Daud tata cara dalam pengambilan keputusan dengan merinci penjelasan antara yang hak dan yang batil (power penentu keputusan).

(12)

beragamnya gaya kepemimpinan, melahirkan berbagai pendekatan atau teori kepemimpinan yang beragam pula. Sehingga efektifitas kepemimpinan dapat diidentifikasikan dari berbagai kriteria sesuai dengan konsep gaya kepemimpinan yang dipergunakan.

Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempegaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat (Thoha, 2003: 49). Dalam hal ini usaha menselaraskan persepsi di antara orang yang akan mempengaruhi perilaku dengan orang yang perilakunya akan dipengaruhi menjadi amat penting kedudukannya. Pada suatu proses kepemimpinan berlangsung, seorang pemimpin mengaplikasikan suatu gaya kepemimpinan tertentu. Gaya kepemimpinan yang efektif merupakan gaya kepemimpinan yang dapat mempengaruhi, mendorong, mengarahkan dan menggerakkan orang-orang yang dipimpin sesuai dengan situasi dan kondisi supaya mereka mau bekerja dengan penuh semangat dalam mencapai tujuan organisasi.

(13)

demokratis, keduanya merupakan gaya kepemimpinan, oleh karenanya dapat didudukkan dalam suatu kontinum dari perilaku pemimpin yang sangat otokratis pada suatu ujung, sampai kepada perilaku pemimpin yang sangat demokratis pada ujung lain. Selanjutnya kedua gaya kepemimpinan tersebut disebut dengan gaya kepemimpinan kontinum (Thoha, 2003: 50).

Gaya kepemimpinan kontinum sebenarnya termasuk klasik. Orang yang pertama kali mengenalkan ialah Robert Tannenbaum dan Warren Schmidt, kedua ahli ini menggambarkan gagasannya sebagaimana pada gambar berikut:

Membaca gambar di atas, dapat dipahami bahwa ada dua bidang pengaruh yang ekstrem. Pertama bidang pengaruh pimpinan, dan kedua

Penggunaan otoritas oleh pemimpin

Daerah kebebasan untuk bawahan

Terpusat pada atasan Terpusat pada bawahannya

(14)

bidang pengaruh kebebasan bawahan. Pada bidang pertama pemimpin menggunakan otoritasnya dalam gaya kepemimpinannya, sedangkan dalam bidang kedua pemimpin menunjukkan gaya yang demokratis. Kedua bidang pengaruh ini dipengaruhi dalam hubungannya kalau pemimpin melakukan aktivitas pembuatan keputusan. Ada tujuh model gaya pembuatan keputusan yang dilakukan pemimpin. Ketujuh model ini masih dalam kerangka dua gaya otokratis dan demokratis di atas, yaitu:

a) Pemimpin membuat keputusan dan kemudian mengumumkan kepada bawahannya. Model ini terlihat bahwa otoritas yang digunakan atasan terlalu banyak, sedangkan daerah kebebasan bawahan sempit sekali.

b) Pemimpin menjual keputusan. Dalam hal ini pemimpin masih terlihat banyak menggunakan otoritas yang ada padanya, sehingga persisi dengan model yang pertama. Bawahan di sini belum banyak terlibat dalam pembuatan keputusan.

c) Pemimpin memberikan pemikiran-pemikiran atau ide-ide dan mengundang pertanyaan-pertanyaan. Dalam model ini pemimpin sudah menunjukkan kemajuan, dibatasinya penggunaan otoritasnya dan diberi kesempatan bawahan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Bawahan sudah sedikit terlibat dalam rangka pembuatan keputusan.

(15)

e) Pemimpin memberikan persoalan, meminta saran-saran, dan membuat keputusan. Model ini sudah jelas, otoritas pemimpin dipergunakan sedikit mungkin, sebaliknya kebebasan bawahan dalam berpartisipasi membuat keputusan sudah banyak dipergunakan.

f) Pemimpin merumuskan batas-batasnya, dan meminta kelompok bawahan untuk membuat keputusan. Partisipasi bawahan dalam kesempatan ini lebih besar dalam model kelima di atas.

g) Pemimpin mengizinkan bawahan melakukan fungsi-fungsinya dalam batas-batas yang telah dirumuskan oleh pemimpin. Model ini terletak pada titik ekstrem penggunaan kebebasan bawahan, adapun titik ekstrem penggunaan otoritas tercermin pada model pertama di atas.

Sedangkan Hersey dan Blanchard (1982) mengidentifikasi bahwa gaya kepemimpinan yang efektif itu ada empat, yaitu:

(16)

(4) masih memberikan pengarahan yang spesifik; (5) pimpinan secara bertahap memberikan tanggung jawab kepada pegawai walaupun bawahan masih dianggap belum mampu; dan (6) tingkat kematangan bawahan rendah ke sedang.

c) Kepemimpinan partisipatif, juga dikenal dengan istilah kepemimpinan terbuka, bebas, non directive. Orang yang menganut pendekatan ini hanya sedikit memegang kendali dalam proses pengambilan keputusan. Ia hanya menyajikan informasi mengenai sesuatu permasalahan dan memberikan kesempatan kepada anggota tim untuk mengembangkan strategi dan pemecahannya. Tugas pemimpin adalah mengerahkan tim kepada tercapainya konsensus. Asumsi yang mendasari gaya kepemimpinan ini adalah bahwa para karyawan akan lebih siap menerima tanggung jawab terhadap solusi, tujuan dan strategi di mana mereka diberdayakan untuk mengembangkannya. Kritik terhadap pendekatan ini adalah bahwa pembentukan konsensus banyak membuang waktu dan hanya berjalan bila semua orang yang terlibat memiliki komitmen terhadap kepentingan utama organisasi.

(17)

bawahan untuk berpartisipasi; dan (f) tingkat kematangan bawahan dari sedang ke tinggi.

d) Gaya delegatif, penerapannya bagi bawahan yang memiliki kemampuan dan kemauan tinggi. Ciri-ciri gaya kepemimpinan delegatif adalah: (1) memberikan pengarahan bila diperlukan saja; (2) memberikan semangat dianggap tidak perlu lagi; (3) penyerahan tanggung jawab kepada bawahan untuk mengatasi dan menyelesaikan tugas; (4) tidak perlu memberi motivasi; dan (5) tingkat kematangan bawahan tinggi (Burhanuddin, 1994).

E. Konflik

5. Definisi Konflik

Dalam keberadaan bersama dan kehidupan bermasyarakat dengan orang lain, friksi atau gesekan, perselisihan, tabrakan, pertikaian dan konflik itu merupakan bagian hakiki dari kehidupan. Karena itu juga menjadi garapan bagi manajemen atau kepemimpinan. Demikian juga Hendrick (2001: 1) menyatakan bahwa konflik adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan, konflik selalu melekat erat dalam jalinan kehidupan. Umat manusia selalu berjuang dengan konflik. Oleh karenanya sampai sekarang kita dituntut untuk memperhatikan konflik, kita memerlukan jalan untuk meredam konflik.

(18)

antagonistik-bertentangan. Kata konflik mengandung banyak pengertian. Ada pengertian negatif, netral, dan posistif. Dalam pengertian negatif konflik dikaitkan dengan sifat-sifat animalistic, kebuasan, kekerasan, barbarisme, destruksi, penghancuran, irrasionalisme, tanpa control emosional, huru-hara, pemogokan, perang, dan seturusnya. Dalam pengertian positif, konflik dihubungkan dengan peristiwa: petualangan, hal-hal baru, inovasi, pembersihan, pemurnian, pembaharuan, penerangan batin, kreasi, pertumbuhan, perkembangan, rasionalitas yang dialektis, mawas diri, perubahan, dan seterusnya. Sedangkan dalam pengertian netral, konflik diartikan sebagai akibat biasa dari keanekaragaman individu manusia dengan sifat-sifat yang berbeda, dan tujuan hidup yang tidak sama pula (Kartono, 1998: 213).

Clinton F. fink (1968) mendefinisikan konflik sebagai berikut:

a) Konflik ialah relasi-relasi psikologis yang antagonistis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan; interest-interest eksklusif dan tidak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan, dan sturktur-struktur nilai yang berbeda.

(19)

Dari definisi-definisi konflik di atas, dapat ditarik sebuah konklusi bahwa konflik adalah segala bentuk interaksi yang bersifat oposisi, atau dengan kata lain suatu interaksi yang bersifat antagonis (berlawanan, bertentangan, berselisih, berbenturan, bersebrangan, dst). Definisi tersebut senada dengan apa yang diungkapkan Winardi (1994: 1) yang memandang konflik sebagai suatu oposisi atau pertentangan-pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi.

6. Sumber-Sumber konflik

Banyak sekali hal-hal yang dapat menyebabkan timbulnya konflik dalam organisasi. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli diketahui adanya beberapa penyebab timbulnya konflik adalah: (a) adanya kesalahfahaman (kegagalan dalam berkomunikasi); (b) keadaan pribadi individu-individu yang saling konflik; (c) perbedaan nilai, pandangan dan tujuan; (d) perbedaan standar penampilan (performance); (e) perbedaan-perbedaan yang berkenaan dengan cara; (f) hal-hal yang menyangkut pertanggung jawaban; (g) kurangnya kemampuan dalam unsur-unsur berkomunikasi; (h) hal-hal yang berkenaan dengan kekuasaan; (i) adanya frustasi dan kejengkelan; (j) adanya kompetisi karena memperebutkan sumber yang terbatas; dan (k) tidak menyetujui butir-butir dalam peraturan dan kebijakan.

(20)

sumber-sumber daya organisasi yang sama; (b) perbedaan dalam tujuan antara bagian/kelompok dalam organisasi; (c) saling ketergantungan pekerjaan dalam organisasi; (d) perbedaan nilai-nilai persepsi atau persepsi dianut oleh masing-masing bagian dalam organisasi; dan (e) sumber-sumber lain: seperti gaya perorangan, kekaburan organisasi dan masalah komunikasi.

Akan tetapi secara garis besar berdasarkan hasil-hasil penelitian yang ada, sumber-sumber tersebut dapat disebutkan empat sumber yang paling banyak menimbulkan konflik. Faktor-faktor tersebut adalah: (a) ketergantungan dan kebersamaan dalam menggunakan sumber; (b) perbedaan dalam kelompok di dalam tujuan, nilai-nilai atau persepsi; (c) ketidakseimbangan kekuasaan dan kekaburan.

Menurut pendapat March dan Simon, gagalnya orang dalam memperoleh kesempatan untuk ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan telah menyebabkan orang tersebut mengalami konflik dalam kelompok. Walton dan Dutton memberikan definisi tentang ketergantungan adalah sebagai keadaan di mana dua unit saling tergantung dalam hal pemberian bantuan, informasi, kelengkapan, atau lain-lain hal yang memerlukan adanaya koordinasi di dalam melaksanakan tugas-tugas.

(21)

meningkatkan perlawanan dan kesekawanan. Adanya perbedaan dalam tujuan merupakan sumber konflik yang sudah dikenal oleh umum. Walton mengatakan bahwa sangat sering terjadi konflik di dalam kelompok yang disebabkan karena beberapa orang mungkin lebih mengutamakan pada pengabdian, tetapi orang lainnya mementingkan pada perolehan keuntungan. Sedangkan Dalton lebih menekankan penelitiannya mengenai perbedaan nilai dan persepsi yang ada pada anggota-anggota kelompok di dalam lembaga.

Menurut Mulyasa (2003:241-242) konflik dapat terjadi karena setiap pihak atau salah satu pihak merasa dirugikan, baik secara material maupun nonmaterial. Untuk mencegahnya harus dipelajari peneyababnya, antara lain: a) Perbedaan pendapat. Konflik dapat terjadi karena perbedaan pendapat dan

masing-masing merasa paling benar. Jika perbedaan pendapat ini meruncing dan mencuat ke permukaan, maka akan menimbulkan ketegangan.

b) Salah paham. Konflik dapat terjadi karena salah paham (mis understanding), misalnya tindakan seseorang mungkin tujuannya baik,

tetapi dianggap merugikan oleh pihak lain. Kesalahpahaman ini akan menimbulkan rasa kurang nyaman, kurang simpati dan kebencian.

(22)

dapat menimbulkan konflik yang mengakibatkan kerugian baik secara materi, moral, maupun sosial.

d) Terlalu sensitif. Konflik dapat terjadi karena terlalu sensitif, mungkin tindakan seseorang adalah wajar, tetapi karena pihak lain terlalu sensitif maka dianggap merugikan, dan menimbulkan konflik, walapun secara etika tindakan ini tidak termasuk perbuatan yang salah.

Semantara itu, Pareek (1996:177-180) lebih terinci mengemukakan beberapa kemungkinan sumber konflik dalam kelompok serta persepsinya para anggota kelompok.

Lebih luas Perspektif jangka panjang

Berbagai tujuan

Bertentangan Individualis Melengkapi Superordinasi

Soal-soal sumber daya

Terbatas Berkelahi Dapat dikembangkan

Dapat dibagi Kepercayaan

Idiologi yang berbeda-beda

Bertentangan Membuat stereotype

Beraneka ragam Mengerti

Beraneka ragam norma

Harus seragam Tidak toleran

Bermacam-macam dan berkembang

Toleransi

Hubungan Tergantung Dominasi/tunduk Saling tergantung

Empati dan kerjasama

(23)

Kelompok akan tetap berselisih kecuali jika para anggotanya dapat memperluas persepsi mereka apa yang disebutkan oleh Sherif dan Sherif (1953) “tujuan superordinat”. Tujuan superordinat adalah tujuan yang sangat penting bagi semua orang dalam suatu kelompok, tetapi tidak dapat dicapai hanya oleh seseorang sendirian. Hanya jika semua anggota bekerjasama, maka kebutuhan orang-orang itu dapat dipenuhi.

Konflik juga dapat terjadi jika para anggota suatu kelompok merasakan tujuan mereka bertentangan. Alih-alih mempunyai orientasi individualistis, para anggota hendaknya berusaha mencapai bebrapa tujuan sekaligus. Hal ini mungkin tidak sukar, karena tujuan-tujuan itu sering saling melengkapi. Misalnya, satu orang lain mungkin ingin belajar sebanyak-banyaknya, sedangkan orang lain ingin membagi pengetahuannya dengan kelompok itu. Ini merupakan tujuan-tujuan yang saling melengkapi yang kedua-duanya dapat dipenuhi. Beberapa orang harus juga bersedia untuk menangguhkan tujuan mereka demi kebaikan kelompok.

(24)

Kekuasaan juga sering dirasakan terbatas. Misalnya, dalam suatu kelompok kedudukan “kedua” mungkin sangat penting, dan orang yang memegangnya menjalankan kekuasaan yang terbesar. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya kepercayaan di antara para anggota, dan menimbulkan konflik. Jika kedudukan ketua dianggap dapat dibagi, bisa jadi kepercayaan di antara para anggota bertumbuh dan benar-benar menambah kekuasaan semua anggota.

Jika ada konflik idiologi dalam suatu kelompok, akibatnya orang membuat stereotype, dan orang-orang akan memainkan “peranan” mereka, dan bukan bekerjasama demi kebaikan keseluruhan. Jika para anggota kelompok dapat menerima gagasan bahwa idiologi dapat beranekaragam dan bahwa orang-orang dapat bekerjasama meskipun berlainan idiologi, hal ini akan menyebabkan adanya pengertian.

(25)

Satu masalah pokok lainnya, terutama dalam kelompok-kelompok antar-kebudayaan, ialah hubungan antara orang yang satu dengan yang lain dalam suatu struktur hirarkis. Sementara orang merasa enak saja mendapatkan peran bawahan, tetapi orang lain berjuang keras untuk memperoleh kedudukan yang berkuasa. Harapan agar orang lain menjadi bawahan sering menyebabkan konflik dan dominasi atau kegantungan perlu ditentukan dahulu bagi tiap anggota, sebelum kelompok mulai bekerja. Jika hubungan dianggap ebagai saling tergantung (bahwa A tergantung pada B untuk beberapa hal, dan B tergantung dari A untuk beberapa hal lainnya), lebih besar kemungkinannya orang-orang merasa empati satu sama lain dan akan kerjasama dalam menyelesaikan persoalan.

(26)

bermacam-macam idiologi, bersikap toleran terhadap berbagai norma kelompok, dan bekerjasama dengan dan merasa empati terhadap orang lain. Konflik tidak dapat diselesaikan tanpa kesediaan orang untuk mengambil resiko-resiko ini.

3 Jenis-Jenis dan Konsekuensi Konflik

Konflik dapat terjadi di manapun, kapanpun dan oleh siapapun, baik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok. Konflik juga dapat terjadi antara pihak yang mempunyai tujuan sama karena salah satu pihak atau kedua belah pihak merasa dirugikan. Individu dan kelompok dalam organisasi mengembangkan keahlian dan pandangan yang berbeda tentang pekerjaan, tugas dengan yang lain, yang dalam interaksinya dapat menimbulkan konflik.

(27)

seperti konflim yang terjadi dalam satua organisasi. Sebab-sebabnya pun pada umumnya sama.

Konflik di antara unit-unit dalam lini dan staf, secara teori teoritik memang sudah terjadi. Dengan struktur demikian ini hubungan personal bawahan dengan atasan sudah dibatasi dengan garis. Segala yang datang dari atas sudah dapat diterima dan dipilih oleh personal yang menduduki garis di bawahnya. Pada umumnya menurut hasil penelitian terjadinya konflik lini dan staf disebabkan karena kesalahfahaman tentang peranan dan wewenang pimpinan bagi bahwahannya (Arikunto, 1990: 234-235).

Selanjutnya, Mulyasa (2003: 243-244) mengemukakan bahwa konflik dalam suatu lembaga (misalnya sekolah dan kampus) dapat terjadi dalam semua tingkatan, baik intrapersonal, interpersonal, intragroup, intergroup, intraorganisasi, maupun interorganisasi.

a) Konflik intrapersonal, yaitu konflik internal yang terjadi dalam diri seseorang. Konflik intrapersonal akan terjadi ketika individu harus memilih dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan, dan bimbang mana yang harus dipilih untuk dilakukan. Misalnya, konflik antar tugas kampus dengan acara pribadi. Konflik ini bisa diibaratkan seperti makan buah simalakama, dimakan salah tidak juga salah, dan kedua pilihan yang ada memiliki akibat yang seimbang. Konflik intrapersonal juga bisa disebabkan oleh tuntutan tugas yang melebihi kemampuan.

(28)

dan tujuan di mana hasil bersama sangat menentukan. Misalnya konflik antar tenaga kependidikan dalam memilih mata pelajaran unggulan daerah. c) Konflik intragoup, yaitu konflik antar anggota dalam satu kelompok.

Setiap kelompok dapat mengalami konflik substantif atau efektif. Konflik substantif terjadi karena adanya latar belakang keahlian yang berbeda, ketika anggota dari satu komite menghasilkan kesimpulan yang berbeda atas data yang sama. Sedangkan konflik efektif terjadi karena tanggapan emosional terhadap suatu situasi tertentu. Contoh konflik intragroup, misalnya konflik yang terjadi pada beberapa guru dalam musyawarah guru mata pelajaran (MGMP).

d) Konflik intergroup, yaitu konflik yang terjadi antar kelompok. Konflik intergroup terjadi karena adanya saling ketergantungan, perbedaan persepsi, perbedaan tujuan, dan meningkatnya tuntutan akan keahlian. Misalnya konflik antara kelompok guru kesenian dengan kelompok guru matematika. Kelompok guru kesenian memandang bahwa untuk membelajarkan lagu tertentu dan melatih pernapasan perlu disuarakan dengan keras, sementara kelompo guru matematika merasa terganggu, karena para peserta didiknya tidak konsentrasi belajar.

(29)

antara kepala sekolah dengan guru; (2) konflik horisontal, yang terjadi antara karyawan atau departemen yang memiliki hirarki yang sama dalam organisasi. Misalnya konflik antar guru; (3) konflik lini-staf, yang sering terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang keterlibatan staf dalam proses pengambilan keputusan oleh manager lini. Misalnya konflik anta kepala sekolah dengan tenaga administrasi; (4) konflik peran, yang terjadi karena seseorang mempunyai lebih dari satu peran. Misalnya kepala sekolah menjabat sebagai ketua dewan pendidikan.

f) Konflik interorganisasi, yang terjadi antarorganisasi. Konflik interorganisasi terjadi karena mereka memiliki saling ketergantungan satu sama lain, konflik terjadi bergantung pada tindakan suatu organisasi yang menyebabkan dampak negatif terhadap organisasi lain. Misalnya konflik yang terjadi antara sekolah dengan salah satu organisasi masyarakat.

Semua bentuk-bentuk konflik tersebut dapat menimbulkan konsekuensi, baik positif maupun negatif. Menurut Veithzal Rivai (2004: 174-175) ada tiga faktor yang menentukan apakah suatu konflik akan berimbang, bermanfaat atau merusak:, yaitu: (a) tingkat pertikaian/konflik; (b) susunan dan iklim dalam organisasi; dan (c) cara mengelolah konflik.

(30)

terpendam; (c) pertengkaran secara jujur bisa membuat pimpinan menyadari adanya perselisihan; (d) mendorong pimpinan untuk menilai kebijakan, prosedur atauperaturan agar itu tidak terjadi lagi; (e) masing-masing dapat instropeksi diri dan memikirkan kembali posisinya; (f) dapat mendorong kinerja seseorang agar lebih keras dan cerdik meskipun itu hanya untuk membuktikan bahwa mereka benar; (g) saling menghormati dan pengertian antara anggota dalan kelompok.. Sedangkan konsekuensi negatifnya adalah (a) munculnya istilah ”kawan” dan ”lawan”; (b) kordinasi usaha, kepuasan kerja, semangat kerja, dan produktivitas menjadi sia-sia, (c) kepentingan personal mengalahkan tujuan lembaga, dan (d) munculnya prilaku dendam atara pihak yang berselisih.

(31)

yang merugikan pihak tertentu jika terjadi antara suatu atasan dan bawahan, misalnya tidak memberikan suatu jabatan atau sering menjadi tantangan untuk mengembangkan solusi yang lebih baik.

Sedangkan konsekuensi negatifnya adalah: (a) subyektif dan emosional, pada umumnya pandangan pihak yang sedang berkonflik satu sama lain sudah tidak obyektif dan bersifat emosional; (b) apriori, jika konflik sudah meningkat bukan hanya subjektivitas dan emosional yang muncul tetapi dapat menyebabkan apriori, sehingga pendapat pihak lain selalu dianggap salah dan dirinya salalu benar; (c) saling menjatuhkan. Konflik yang berkelanjutan bisa mengakibatkan saling benci, yang memuncak dan mendorong individu menjatuhkan lawan, fisalnya fitnah, menghambat, dan mengadu; (d) stres, konflik yang berkepanjangan, tidak dapat menurunkan kinerja, tetapi bisa menimbulkan stres. Stres terjadi karena konflik yang berkepanjangan menimbulkan ketidakseimbangan fisik dan psikis, sebagai bentuk reaksi terhadap tekanan yang intensitasnya sudah terlalu tinggi; (e) frustasi, konflik dapat memacu berbagai pihak yang terlibat untuk berprestasi, tetapi jika konflik tersebut sudah pada tingkat yang cukup parah dan di antara pihak-pihak yang terlibat ada yang lemah mentalnya bisa menimbulkan stres.

(32)

stereotypes yang negative (e) seleksi wakil-wakil yang kuat (f) perkembangan akan kebutuhan terhadap diri masing-masing.

Seharusnya konflik tidak perlu melumpuhkan jalannya fungsi-fungsi yang ada. Konflik akan melumpuhkan jika menghabiskan kekuatan orang atau kelompok dan mengurangi efektivitas mereka. Persaingan yang tidak sehat dan melumpuhkan sering dapat dicegah dengan diagnosis dini. Konsepsi “upaya pencegahan penyakit” berlaku untuk menajemen konflik dan juga untuk manajemen penyakit.

4. Pendekatan-Pendekatan Kepemimpinan dalam Memandang Konflik Untuk menangani konflik disemua bidang kehidupan, para pakar mengembangkan tiga macam pendekatan pemimpin, yaitu: (a) pendekatan pemimpin yang tradisional; (b) pendekatan pemimpin yang netral atau “behavioral”; dan (c) pendekatan pemimpin yang modern atau intraksional.

(33)

norma-norma yang harus dipatuhi oleh anak-anak; anak harus menyesuaikan diri terhadap kemauan orang tua.

Sekolah dan kampus tradisional juga mencerminkan adanya paternalistik. Guru atau dosen ditampilkan dalam sosok ”maha-kuasa”, patut dipercaya dan ditiru. Kreteria guru atau dosen merupakan kadar kebenaran, dan pendapat mereka tidak boleh disanggah. Sikap tidak setuju terhadap pendapat guru atau dosen dianggap tabu, dan sebagai sikap pemberontak terhadap kebenaran. Sekolah atau kampus mengharuskan siswa/mahasiswa menerima semua informasi dengan sikap ”terimakasih” dan ”suamaa”, tanpa bertanya-tanya.

Selanjutnya, ajaran-ajaran religius menekankan juga masalah kedamaian, harmoni, keseluruhan, ketenangan, kerukunan di dunia. Segala sesuatu yang diciptakan Allah dan dilimpahkan pada manusia harus diterima dengan rasa sykur. Untuk hidup secara tenang orang harus menjahui konflik. Maka jika konflik muncul, harus segera dilenyapkan, ditekan dalam alam ketidaksadaran atau dilupakan. Ringkasnya, bagi masyarakat tradisional, konflik itu mengandung pengertian negatif, karena mengandung unsur ketidaksesuaian, pertentangan, perselisihan dan permusuhan yang harus diberantas dari muka bumi.

(34)

kerusakan. Maka anak manusia harus dibesarkan dengan pendidikan dan gizi “anti-konflik”, supaya hidupnya tentram, dan selaras dengan lingkungannya.

Pandangan tradisional tersebut di atas kemudian diikuti dengan pandangan behavioral, yang melihat konflik sebagai ciri hakiki tingkah laku manusia yang berkembang sebagai built in element. Konflik bersumber dari perbedaan kodrati masing-masing individu dan kelompok. Penghapusan terhadap perbedaan berarti penghapusan terhadap individu-individu dan kelompok-kelompok itu sendiri. Maka kita mengenal peristiwa konflik dalam bentuk: macam-macam perbedaan, aneka tujuan, kompetisi, persaingan dan rivalitas.

Dengan demikian, pandangan kaum behavioris merasionalisir konflik. Tujuan mereka ialah untuk mengurung, membatasi, dan menjinakkan konflik sebagai unsur netral, atau unsur biasa dan tidak berbahaya. Namun, ketika mereka diharapkan agar bertindak lebih jauh, yaitu untuk mengelolah dan memanage konflik, mereka lalu menjadi ragu-ragu. Pernyataan mereka ialah: Konflik-konflik di antara individu-individu dan sesama kelompok itu jelas mempunyai fungsi sosial.

(35)

Jika pandangan tradisional menyatakan konflik sebagai unsur yang merusak, menagganggu kelancaran proses, dan sifatnya disfungsional, maka kaum intraksionis menyatakan bahwa: konflik itu memperkokoh fundamen organisasi, dan dapat melancarkan fungsi organisasi (bada, lembaga, jawatan) berkat adanya intropeksi, refleksi, wawasan kembali, revisi dan reorganisasi. Inilah konflik dalam wujudnya yang positif, konstruktif, dan fungsional. Dengan begitu ada pandangan yang fungsional dan disfungsional mengenai konflik.

Kaum intraksionis menyatakan bahwa organisasi yang tidak mendorong adanya konflik, cenderung akan macet, mengalami stagnasi, tidak mampu mengambil keputusan tepat, condong menjadi dekadent atau merosot, dan menjadi mundur. Jikalau hal tersebut ekstrim sifatnya, dapat menyebabkan kematian atau kebangkrutan organisasi. Organisasi yang terus maju berkembang itu pada umumnya lebih banyak didukung oleh unsur konflik-konflik kecil dikalangan para pemimpinnya, jika dibandingkan dengan hanya ada persetujuan belaka.

(36)

uniformitas, kebekuan mental, indolensi psikis (kelambanaan, kemalasan psikis), dan apatisme. Sebaliknya konflik pada batas-batas yang wajar itu mencerminkan adanya demokrasi, kebinekaan, perbedaan, keragaman, perkembangan, pertumbuhan, progres, aktualisasi diri dan transendesi diri. Karena itu konflik menjadi benih vital bagi pertumbuhan dan suksesnya lembaga serta organisasi (Kartono, 1989: 214-216).

F. Strategi Penyelesaian Konflik Kepemimpinan

Banyak cara untuk memecahkan persoalan-persoalan konflik, misalnya membuka diri, mnerima umpan balik, menaruh percaya pada orang lain, atau tidak menutup diri mengenai informasi dirinya. Selain cara-cara yang disebutkan tersebut, menurut Thoha (2003: 109) ada beberapa cara yang merupakan strategi dasar. Strayegi dasar ini menurut hasilnya dapat disebut sama-sama merugi (lose-lose), kalah menang (win lose), dan sama-sama beruntung (win-win).

(37)

menjdi konflik tersebut. Cara ini dipakai jika pihak-pihak yang konflik mau berlindung pada peraturan-peraturan birokrasi. Dalam empat cara pendekatan ini pada hakikatnya kedua pihak yang konflik sama-sama merugi.

Pendekatan kala menang (win-lose), strategi ini adalah suatu cara yang biasa dipergunakan untuk memecahkan konflik di masyarakat Amerika. Dalam suatu kebudayaan yang bersaing, satu pihak yang sedang dalam situasi konflik akan berusaha untuk memaksakan kekuatannya untuk menang, dan mengalahkan pihak lain. Persoalan yang amat besar dari strategi kalah-menang ini bahwa dengan strategi kalah-menang ini seseorang selalu mendapatkan kekalahan. Orang-orang yang menderita kekalahan ini mungkin saja mereka akan mempelajari sesuatu yang terjadi dalam proses kalah-menang tadi, dan pihak yang merasa kalah tersebut mempunyai rasa dendam dan ingin membalaskan dendamnya. Suatu strategi yang barangkali amat sehat ialah memberikan kemungkinan kedua pihak tersebut untuk menang.

(38)

organisasi yang menguntungkan, dan lebih banyak menawarkan cara musyawarah yang menyenangkan.

Contoh yang mengesankan dari strategi menang-menang ini pernah diberikan oleh Muhammad Saw, sebelum beliau diangkat oleh Allah sebagai Rasul dan Nabi. Ketika itu kepala-kepala suku Quraisy berselisih tentang siapakah yang paling patut memindahkan batu hitam (hajar aswad) ke tempatnya semula. Perselisihan ini mencapai puncaknay, hampir saja terjadi peperangan di antara suku-suku tersebut. Untung peperangan itu bisa dicegah, dengan dimintainya Muhammad seorang pemuda terpercaya (al-Amin) untuk mengatasi konflik tersebut. Cara yang dilakukan beliau adalah dengan membeberkan surbannya, kemudian semua kepala suku dimintanya untuk memegang ujung kain surban tersebut. Setelah itu, Muhammad menaruh batu tersebut di atas surban. Sesampai di tempatnya batu hitam tersebut diambil Muhammad dan ditaruhkan olehnya. Sampai di sini perselisihan dan konflik di antara suku-suku tersebut hilang. Mereka sama-sama menang, dapat memindahkan batu tersebut ketempatnya semula.

(39)

memanajemeni perselisihan dapat digambarkan dalam beberapa langkah. Langkah-langkah tersebut disajikan di bawah ini secara berurutan, yaitu:

1. Pencairan. Dua kelompok yang sedang konflik mungkin “beku” dalam

suatu hubungan yang stereotype. Kecuali jika harapan-harapan dan pola-pola hubungan ini dicairkan, tidaklah mungkin diadakan suatu gerakan menuju perundingan. Untuk menjadikan suasana lebih lunak para anggota kelompok dapat membangkitkan citra yang mereka punyai tentang para anggota kelompok sendiri dan para anggota kelompok lainnya. Perundingan yang terjadi bisa memberikan peluang bagi para anggota dari kedua kelompok itu untuk mengungkapkan banyak hal yang kalau tidak demikian tak mungkin mereka katakan. Atau, para anggota dari kedua kelompok dapat dicampur untuk membicarakan beberapa masalah. Dengan cara demikian, orang-orang akan menambah pengertian mereka tentang perspektif masing-masing.

2. Keterbukaan. Para anggota kelompok mungkin “tertutup” satu dari yang

lain dan mungkin memerlukan pengembangan norma-norma untuk mengemukakan segi pandagan yang berbeda atau berbagai alternative, tanpa takut akibatnya. Keterbukaan biasanya paling sulit, jika perselisihan itu melibatkan soal-soal kritis dan jika suasana emosional, namun keterbukaan bahkan lebih penting lagi pada waktu-waktu itu.

3. Belajar empati. Para anggota kelompok mungkin hanya melihat segi

(40)

atau tujuan mereka. Saling pengetahuan seperti itu dapat membantu orang-orang untuk memperoleh pengertian baru tentang diri mereka sendiri dan tentang orang-orang lain.

4. Mencari tema bersama. Kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik

dapat dibantu mencari tujuan-tujuan bersama atau bidang-bidang lain yang saling isi dengan membuat daftar harapan, kecemasan, tujuan mereka, dan sebagainya.

5. Mengambil alternative. Setelah kelompok-kelompok itu menyadari

perspektif yang satu dan yang lain, mereka dapat menghsilakan berbagai alternatif untuk menyelesaikan beberapa persoalan mereka. Jika kedua kelompok ikut serta menyusun berbagai alternatif, sehingga mungkin merasa sama-sama bertanggungjawab untuk menemukan atau menyelesaikan.

6. Menanggapi berbagai alternatif. Setelah beberapa laternatif disusun, para

anggota dari kedua kelompok itu hendaknya mempelajarinya dan memberikan tanggapan mereka. Harus diadakan segala usaha untuk melihat persoalan secara positif, cara yang mengarah pada penyelesaian persoalan. Hendaknya dihindari penolakan dari alternatif-alternatif itu, tetapi semuanya hendaknya dibicarakan oleh seluruh kelompok demi kejelasan dan pemikiran bersama.

7. Mencari penyelesaian. Sejumlah alternative dapat dijelajahi secara

(41)

mencapai consensus atau suatu penyelesaian, lalu melapor pada kelompok yang lebih besar. Karena banyak dari segi pandangan diwakili dalam sub-kecil itu, mereka mungkin akan dating dengan beberapa kemungkinan alternatif.

8. Membuka jalan buntu. Kadang-kadang kelompok-kelompok yang

berkonflik itu begitu terlibat secara emosional sehingga mereka tidak dapat maju menuju penyelesaian sendiri. Dalam hal demikian, pihak ketiga yang obyektif dan berpengalaman dengan jelas masalah seperti itu dapat diikutsertakan.

9. Mengikat diri pada penyelesaian di dalam kelompok. Setelah dihasilkan

penyelesaian oleh sub-sub kelompok, kelompok-kelompok dapat memperdebatkan dan mempertimbangkan penyelesaian ini dan mengikatkan diri pada penyelesaian itu. Keterbukaan antara para anggota kelompok akan membantu adanya keikatan yang sungguh-sungguh. Semua keragu-raguan harus dihilangkan dan dikesampingkan pada titim ini. 10.Mengikat seluruh kelompok. Tahap akhir dari suatu penyelesaian konflik

(42)

Gambar

gambar berikut:

Referensi

Dokumen terkait

Jetstream Tooling adalam sistem pengiriman bahan pendingin tekanan tinggi terarah yang dapat dipasang dengan cepat dan mudah yang secara cepat mampu melepaskan panas dari

Justru perusahaan-perusahaan kecil dengan produk yang lebih baik dan customer service yang baik akan dapat menggunakan masyarakat virtual ini untuk

Hasil analisis koefisien jalur menunjukkan pengaruh Service Marketing Mix terhadap Keputusan Pembelian dengan koefisien beta sebesar 0,595 yang menjelaskan bahwa

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa (1) watak tokoh utama sombong, kasar, emarah, selalu ingin dihormati, egois dan sombong; (2) perkembangan watak tokoh yang dimiliki oleh

Soetomo didapatkan bahwa pada pasien trauma tembus yang dilakukan kraniotomi debridement kurang dari 12 jam post trauma diikuti pemberikan antibiotik profilaksis

Merujuk pada bagian diatas, secara umum ada tiga sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan, yaitu memberikan penyuluhan kepada warga mengenai manfaat eceng gondok,

Dengan tersusunnya Landasan Program Perencanaan dan Perancangan Arsitektur Tugas Akhir di Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro ini, penyusun

- Gratis biaya maintenance (biaya jasa dan sukucadang sesuai dengan Service Manual Book) hingga 50.000km atau 4 tahun (mana yang dicapai lebih dahulu) untuk