ANALISIS FENOMENA SOSIAL DI INDONESIA
DENGAN PERSPEKTIF TEORI AUGUSTE COMTE
DAN KARL MARX
ARTIKEL
Oleh:
Agus Hendro Setiawan NIM 130910302009
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
“FENOMENA SOSIAL DI INDONESIA YANG TERKAIT DENGAN TEORI AUGUSTE COMTE”
Sebelum masuk kedalam ranah pembahasan, akan lebih baik jika kita melihat terlebih dahulu pemikiran-pemikiran seorang Auguste Comte yang berusaha membagi sosiologi menjadi dua bagian yaitu apa yang disebutnya dengan Social Statics dan Social Dynamics. Menurutnya, social statics merupakan studi tentang hukum aksi-reaksi antara bagian-bagian dari suatu sistem sosial. Sedangkan social dynamics merupakan teori yang mengkaji tentang perkembangan dan kemajuan masyarakat manusia. Dalam masing-masing bagian tersebut, terdapat sub-ordinated yang berusaha untuk menjabarkan pola pemikiran manusia dari tahap yang primitif menuju pada pemikiran yang kompleks. Dalam social statics, terdapat empat doktrin yang dikemukakan oleh Comte, yaitu: doctrine of individual, doctrine of family, doctrine of society, dan yang terakhir doctrine of state. Dengan lain kata, empat doktrin yang digagas oleh Comte ini berusaha untuk mengkaji seluk-beluk individu, keluarga, masyarakat dan negara. Di sisi lain, social dynamics dibagi menjadi empat pemikiran yaitu apa yang disebutnya dengan the law of three stages, the law of hierearchie of the sciences, the law of correlation of practical activities dan the law of correlation of the feelings. Artinya, empat gagasan ini memfokuskan pembicaraan pada hukum tiga tingkatan pemikiran manusia, hukum mengenai jenjang-jenjang dalam ilmu pengetahuan, hukum hubungan antara pemikiran teologis dan militerisme serta hukum mengenai hubungan manusia dengan social sentiment. Di dalam masing-masing sub, khusunya the law of three stages, masih terdapat sub-ordinated lagi. Namun, kita tidak akan lebih jauh membahas mengenai itu, melainkan akan menjelaskan secara universal yang tergambar dalam skema seperti berikut:
Doctrine of Individual
Doctrine of Family
Social Statics Doctrine of Society
Doctrine of State
The law of three stages Fetishism
Polytheism
Monotheism
Social Dynamics The law of hierearchie of the sciences
The law of correlation of practical activities
The law of correlation of feelings
Gambar 0.1 Skema pemikiran Auguste Comte
Pembagian pemikiran menjadi dua bagian ini sebenarnya tidaklah memisahkan satu sama lain. Pasalnya, tidak akan pernah bisa dipelajari suatu perkembangan apabila tanpa menggunakan pemikiran social dynamics ataupun pendekatan historis.
a. The law of three stages
Hukum ini berusaha untuk menjelaskan dan menjabarkan tahap pemikiran manusia, tidak hanya sebagai individu, namun juga sebagai masyarakat. Hukum ini adalah generalisasi dari tiap pemikiran manusia yang berkembang semakin maju melalui tiga cabang pemikiran yaitu: the theological or fictitious, the methaphysic or abstract dan the scientific or positive
(
Siahaan, 1986:106). Pada pemikiran theological or fictitious, Comte ternyata juga masih membaginya menjadi tiga pemikiran yaitu: fetishism, polytheism danmonotheism.dunia seisinya dikuasai oleh kekuatan gaib. Mereka berusaha untuk melakukan ritual-ritual sebagai identitas penghormatan terhadap kekuatan. Sebagai ilustrasi, simak contoh yang saya kutip dari www.tribunnews.com berikut:
TRIBUNNEWS.COM, NGAWI - Calon Anggota Legislatif (Caleg) Dapil V DPRD Kabupaten Ngawi dari Partai Demokrat, Miftahul Jannah ditemani suaminya menggelar ritual doa dan mandi di Sungai Tempuk Alas Ketonggo (Srigati) Desa Babadan, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Rabu (12/3/2014).
Ritual dilakukan agar bisa lolos menjadi anggota DPRD Kabupaten Ngawi dalam Pemilihan Umum Lagislatif (Pileg) 9 April 2014. Berbagai upaya, termasuk upaya spiritual yang tidak masuk akal dilakukan para Caleg di daerah untuk mendapatkan berkah dan terpilih menjadi wakil rakyat.
Sejak sebulan mendekati pelaksanaan Pemilihan Umum Legislatif puluhan Caleg mulai berdatangan ke Alas Ketonggo (Srigati) yang berada di tengah hutan jati di wilayah Kabupaten Ngawi.
Fenomena ini menunjukkan upaya para Caleg untuk mendapatkan suara terbanyak, menggunakan berbagai cara agar usahanya berhasil.
Menurut informasi para caleg yang mendatangi Kali Ketonggo jumlahnya sudah mencapai 50 orang lebih. Mereka menggelar ritual mandi dan doa di dalam Sungai Tempuk dengan cara merendam diri di aliran sungai yang tergolong keruh karena masih kerap turun hujan.
Secara logis, sulit memang menghubungkan antara ritual tersebut terhadap harapan untuk memenangkan pemilu. Dari fenomena sosial diatas, dapat diindikasikan bahwa caleg tersebut sudah merasa kalah sebelum bertanding. Tetapi inilah Indonesia dengan segudang pemikiran takhayul yang masih tersisa. Doktrin-doktrin yang diajarkan oleh leluhur mereka masih tertanam kuat dan seakan sulit untuk dihilangkan. Manusia dalam konteks ini, menempatkan diri sebagai peserta yang dalam istilah Bruhl disebut dengan “mental partisipasi” dimana manusia dalam hidupnya tidak bisa lebih selain ikut serta dalam proses-proses kosmos yang dikendalikan oleh proses-proses keagamaan
(
Maliki, 2012:58).
b. The law of correlation of practical activities
(
Siahaan, 1986:109)
. Untuk memahami teori ini baca ilustrasi yang saya kutip dari www.tribunnews.com berikut:JAKARTA — Forum Umat Islam (FUI) terus menentang diselenggarakannya kontes Miss World 2013 di Indonesia. FUI menyatakan siap
berperang jika kontes kecantikan tersebut tetap dilangsungkan.
Ketua Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab mengatakan siap melakukan
perlawanan dalam bentuk apa pun demi membatalkan Miss World 2013 yang diselenggarakan di Bali dan Bogor. Riezieq menambahkan, dirinya sudah mempersiapkan massanya untuk membatalkan ajang tersebut. "Jika Miss World tetap dilangsungkan di Tanah Air kita ini, FUI siap berperang!" ujarnya dalam unjuk rasa di depan Menara MNC, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, hari ini.
Rizieq mengatakan, pada 14 September 2013, massa FUI akan mengepung Hotel Grand Hyatt di Bundaran Hotel Indonesia. Hotel tersebut akan menjadi tempat menginap para peserta Miss World selama di Jakarta.
Rizieq menyebutkan, aksi massa pada 14 September itu merupakan awal perlawanan FUI. Jika penyelenggara tetap melaksanakan kontes tersebut, kata Rizieq, FUI siap mengambil tindakan pada malam final Miss World di Sentul, Bogor, Jawa Barat, pada 28 September 2013.
"Tanggal 14 kita akan melakukan aksi damai. Tetapi, jika final tetap dilaksanakan, tidak ada kata damai, kita siap untuk berperang. Kita lengkapi diri dengan perlengkapan perang," kata Rizieq.
Miss World akan diikuti oleh 120 kontestan dari seluruh negara di dunia. Sejak 1 September, para kontestan Miss World 2013 telah tiba di Indonesia dan pada 8 September 2013 dijadwalkan pembukaan kontes kecantikan tersebut.
Dalam kasus seperti ini, pola pemikiran teologis mendorong seseorang ataupun kelompok melakukan tindakan melalui kekuatan (force). Hal yang dilakukan oleh kelompok Forum Umat Islam (FUI) diatas dilatarbelakangi oleh pemikiran mereka dalam upayanya menjaga nilai-nilai yang terdapat dalam konsep-konsep teologis (agama).
c. The law of correlation of feeling
2. Social Statics
a. Doctrine of individual
Dalam doktrin ini, Auguste Comte menyatakan bahwa individu merupakan cerminan dari sebuah masyarakat. Dia juga menambahkan bahwa apabila Anda menghilangkan segala sesuatu yang diberikan oleh masyarakat kepada individu, maka Anda hanya akan menemukan tubuh dan energi saja dari individu tersebut
(
Siahaan, 1986:111)
. Dengan lain kata, individu adalah sebuah produk dari kehidupan kelompoknya. Simak kutipan berikut:REPUBLIKA.CO.ID,CIANJUR--Sebanyak 8 (delapan) orang warga Kampung Kopeng, Desa Kemang, Kecamatan Bojongpicung, Cianjur, Jabar, Jumat, dilarikan ke RSUD Cianjur karena dibacok pria yang diduga mengalami gangguan jiwa.
Kuswoyo (30) pelaku yang sehari-hari dikenal sebagai buruh tani itu, pernah menjalani perawatan di rumah sakit jiwa, namun warga setempat menganggap pelaku telah sehat dan normal.
Informasi dihimpun, peristiwa naas yang menimpa warga tersebut, berawal ketika mereka tengah berkumpul di salah satu warung di kampung tersebut dan tiba-tiba pelaku datang. Tanpa sebab yang jelas, pelaku langsung membacok warga yang sedang berkumpul. Akibatnya, enam orang yang sedang berkumpul di warung terkena tebasan golok. Sedangkan dua orang korban lainnya di bacok di dalam rumah pemilik warung.
"Setelah melakukan aksinya pelaku sempat mencoba lari ke hutan yang tidak jauh dari perkampungan. Warga yang melihat langsung mengejar dan berhasil menangkap pelaku," kata Yadi Mulyadi (40) salah seorang warga.
"Selain sempat dirawat di rumah sakit jiwa, tahun 2011, pelaku pernah mencoba bunuh diri namun diselamatkan warga. Penyebabnya saya tidak tahu kenapa, sampai pelaku di rawat di RSJ," ucapnya.
Meski pernah mengalami gangguan jiwa, tutur Dadan pihaknya tidak melihat kejanggalan dari pribadi pelaku tersebut, bahkan terlihat seperti orang normal lainnya.
kepada individu niscaya kita hanya akan menemui tubuh dan energi saja. Orang gila yang disebutkan diatas merupakan obyek yang disinggung Comte sebagai ‘tubuh dan energi saja’. Orang gila secara sosiologis telah kehilangan semua aspek yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Kadang muncul sebuah pertanyaan yang unik “kenapa orang gila masih merasa lapar, haus dan sebagainya, padahal mereka secara sosiologis telah kehilangan seluruh aspek yang diberikan oleh masyarakat?” Naluri. Naluri-lah yang sejatinya mengatur mereka untuk merasakan lapar, haus dan sejenisnya, dan naluri semacam ini berada diluar konteks “aspek-aspek yang diberikan oleh masyarakat”.
b. Doctrine of family
Menurut Comte (dalam Siahaan, 1986:112), keluarga adalah unit masyarakat yang sebenarnya, yang merupakan unit darimana masyarakat itu terbentuk.
c. Doctrine of society
Menurut Comte (dalam Siahaan, 1986:113), keluarga bukanlah masyarakat. Masyarakat merupakan satu kesatuan yang lebih luas, dan terdiri dari sejumlah keluarga-keluarga yang berdiri sendiri (independent). Dia juga menambahkan bahwa keluarga dibentuk melalui instink dan afeksi, sedangkan masyarakat dibentuk atas dasar pembagian kerja dalam masyarakat (division of labor).
d. Doctrine of state
“FENOMENA SOSIAL DI INDONESIA YANG TERKAIT DENGAN TEORI KARL MARX”
Karl Marx. Sebuah nama yang tidak asing lagi bagi kaum intelektual khusunya bagi mereka yang mendalami ilmu sosial, khusunya sosiologi. Marx merupakan sosiolog yang maha hebat. Berbeda dengan sosiolog lain, pemikirannya dalam teori-teori nya tidak terbantahkan dan mungkin masih terpakai abad ini. Marx secara garis besar mengemukakan teori kelas, teori alienasi dan sosiologi pengetahuan.
a. Teori Kelas (Class Theory)
Dalam teori kelas, Marx menyatakan bahwa sejarah dari segala bentuk masyarakat dari dahulu hingga sekarang adalah sejarah pertikaian antar golongan. Menurut pandangannya, sejak masyarakat manusia mulai dari bentuknya yang paling primitif secara relatif tidak berbeda satu sama lain, masyarakat itu tetap mempunyai perbedaan yang fundamental antara golongan yag bertikai di dalam mengejar kepentingan masing-masing golongannya (Siahaan, 1986:186).
b. Teori Alienasi
Dalam teori alienasi Marx, alienasi dapat diartikan sebagai sebuah keadaan, dimana manusia dikuasai oleh kekuatan kekuatan yang tercipta dari kreasinya sendiri, yang merupakan kekuatan yang melawan manusia itu sendiri (Siahaan, 1986: 190). Karl Marx membagi tiga jenis alienasi, (1) alienasi pekerja dari obyeknya (alienation of worker in his object/product) yakni alienasi berkaitan dengan hubungan langsung antara pekerja dengan produk yang dihasilkannya, (2) alienasi kepribadian (self alienation), yakni alienasi yang tidak hanya berkait dengan hasil produksi, melainkan lebih berkaitan dengan proses produksi di dalam aktivitas produksi itu sendiri, dan (3) alienasi tenaga kerja (alienation of labor) (Maliki, 2012:171). Dari ketiga konsep alienasi Marx, dapat dijabarkan menjadi 4 (empat) spesifikasi pemikiran, yaitu:
Alienasi pekerja dari obyeknya (alienation of worker in his object/product) a. Manusia mengalami alienasi dari oyek yang diprodusir/dihasilkannya.
Seorang buruh pabrik sepatu “Nike” memang memproduksi sepatu, tetapi sepatu itu kemudian terasing darinya. Artinya, ia hanya bisa membuat sepatu, namun tidak bisa merasakan bagaimana memakai sepatu buatannya. Seperti buruh yang bekerja di proyek pembangunan apartemen mewah; mereka tak bisa tinggal di tempat yang mereka bangun. Seperti kata Marx (dalam Maliki, 2012:154): “Kekuatan kerja menghasilkan istana-istana, tetapi bagi buruh hanya menghasilkan gubuk-gubuk”.
Jika dikaji lebih lanjut, fenomena diatas merupakan bagian dari eksploitasi tenaga besar-besaran. Jika dilihat dalam pandangan Marx, kemalangan para buruh tak sesuai dengan besarnya tenaga yang mereka curahkan. Mereka diperbudak, diperas semua tenaganya, tetapi apa yang mereka berikan tidak sebanding dengan apa yang mereka dapatkan. Inilah yang dinamakan alienation of worker in his object/product.
b. Manusia mengalami alienasi dari proses produksi.
Untuk memahami konsep ini lihat fenomena sosial di Indonesia berikut:
SUKABUMI, KOMPAS.com — Para pekerja di perusahaan sepatu Converse Indonesia diperlakukan tidak manusiawi oleh supervisor mereka. Supervisor melemparkan sepatu pada para buruh, menampar muka mereka, dan memanggil pekerja dengan kata-kata kasar.
Nike, sebagai pemilik merek, mengakui bahwa pelecehan tersebut terjadi di kalangan para produsen kontraktor, tetapi perusahaan tak bisa menghentikannya.
Beberapa pekerja yang diwawancarai oleh AP pada Maret dan April silam mengatakan telah dipukul hingga lengannya terluka, satu orang sampai berdarah. Lainnya mengatakan bahwa mereka dipecat setelah mengajukan keluhan. "Mereka melempar sepatu dan hal-hal lain kepada kami," kata seorang perempuan 23 tahun di divisi bordir. "Mereka menggeram dan menampar kami ketika mereka marah," tuturnya.
Salah satu pekerja, Mira Agustina (30), mengatakan, dia dipecat pada tahun 2009 ketika mengajukan cuti sakit meskipun dia memiliki surat keterangan sakit dari dokter. "Bekerja di perusahaan itu sangat mengerikan," katanya.
Ia melanjutkan, "Bos kami menggunakan kaki untuk menunjuk, lalu memanggil kami dengan nama-nama, seperti anjing, babi, atau monyet."
Di pabrik sepatu lainnya, yaitu PT Amara, yang terletak tepat di luar Jakarta, para supervisor pemegang merek Converse juga memerintahkan enam pekerja perempuan berdiri di terik matahari setelah mereka gagal memenuhi target mereka menyelesaikan 60 lusin sepatu tepat waktu.
"Mereka menangis dan baru diizinkan melanjutkan pekerjaan mereka setelah dua jam di bawah matahari," kata Ujang Suhendi (47), seorang pekerja di bagian gudang pabrik. Supervisor telah menerima surat peringatan atas insiden Mei setelah keluhan dari serikat pekerja.
Sebenarnya, satu dekade yang lalu, Nike pernah mendapat kritik yang cukup keras karena mempekerjakan anak-anak di bawah umur untuk meningkatkan kapasitas produksinya.
Merujuk laporan internal Nike, hampir dua pertiga dari 168 pabrik yang membuat produk-produk Converse di seluruh dunia gagal memenuhi standar yang ditetapkan Nike sebagai produsen kontrak. (Dyah Megasari/Kontan)
Para pekerja seperti ilustrasi diatas mendapat perlakuan sebagaimana layaknya pekerja. Mereka mengalami keterasingan (alienation) saat bekerja. Di mana tugas kerja tidak memberi kepuasan hati yang hakiki, yang mana buruh tidak diberi kesempatan untuk mengatur keadaan fisik atau batin dirinya sendiri sebab dikuasai oleh kekuatan eksternalnya.
Alienasi kepribadian (self alienation)
Mengambil contoh dari ilustrasi sebelumnya, ketika dalam aktivitasnya buruh “kehilangan dirinya”, secara otomatis mereka juga teralienasi dari kodrat hidupnya sebagai “makhluk-spesies” yang membutuhkan waktu-waktu di luar jam kerja untuk pengembangan diri. Jika “keterasingan dari benda” membuat buruh melarat, maka “keterasingan diri” membuat buruh tak dapat merealisasikan pengembangan diri. Saat bekerja, buruh terasing dari dirinya sendiri sebagai manusia.
Buruh menjadi “media pengangkut beban” dalam sistem produksi eksploitatif. Ketika melangkah ke dalam pagar pabrik, kodrat buruh sebagai manusia merdeka tertinggal di luar gerbang (Maliki, 2012:145). Menurut Marx, (dalam Maliki, 2012:147) “…sang pekerja baru bisa merasa satu dengan dirinya di luar kerja, sedangkan dalam kerja, dia tak merasa satu dengan dirinya”. Inilah bentuk ekspolitasi yang berlebihan terhadap sumber daya manusia.
Alienasi tenaga kerja (alienation of labor)
d. Teralienasi dari pergaulannya dengan teman-teman atau masyarakatnya. Masih menggunakan contoh sebelumnya, jika porsi kerja seorang buruh dieksploitasi secara besar-besaran, maka waktu yang mereka miliki untuk bersosialisasi dengan lingkungannya semakin berkurang. Ia merasa terasing terhadap lingkungan sosial disekitarnya, dimana hak-haknya untuk menghabiskan waktu bersama orang lain telah digunakan untuk bekerja. Pabrik telah ‘menjauhkan’ pekerja dengan lingkungan sosialnya demi menghasilkan keuntungan semata.
Buku
Maliki, Zainuddin. 2012. Rekonstruksi Teori Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Siahaan, Hotman M. 1986. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Erlangga.
Internet
http://www.tribunnews.com/regional/2014/03/12/upaya-spiritual-caleg-gelar-ritual-doa-dan-mandi-di-sungai-tempuk-ngawi
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/09/06/1837376/Rizieq.Serukan. Perang.Batalkan.Miss.World