• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER MEMBANGUN M

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER MEMBANGUN M"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER MEMBANGUN MENTAL YANG SEHAT

(Makalah ini disampaikan dalam rangka kegiatan KANOSPI UNY Oleh: Dr. Awalya, M.Pd. Kons.)

A. Pendahuluan

Berbagai pertanyaan yang selalu hadir dalam diri penulis makalah ini ketika berhadapan dengan arti penting pendidikan karakter: Mengapa perlu pendidikan karakter? Apakah ”karakter” dapat didikkan? Apa sajakah aspek-aspek karakter? Bagaimanakah pendidikan karakter itu? Siapa yang harus melakukan pendidikan karakter? Apakah karakter itu kepribadian?, pendidikan karakter itu memlengkapi kepribadian mental yang sehat?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut kembali diperkuat oleh kebijakan yang menjadikan pendidikan karakter sebagai ”program” pendidikan nasional di Indonesia terutama dalam Kementerian

Menurut Undang – Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan nasional berfungsi (1) Mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; (2) Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sohan Modgil, etc dalam bukunya Multicultural Education: The Interminable Debate (1986) menyatakan bahwa hasil yang diinginkan dalam pendidikan adalah: (1) Manusia yang kritis, imajinatif, self-criticsm, mampu mengungkapkan pendapat mampu berargumen, mampu mengumpulkan bukti yang kuat dan membuat kesimpulan; (2) Suatu hari dapat menjadi manusia yang berpendirian kuat dan hidup sebagai manusia bebas. Bebas disini dalam arti bebas dari ketidakpedulian, dogma, prasangka dan pada akhirnya bisa bebas memilih kepercayaan dan dapat merencanakan hidupnya; (3) Meningkatkan kualitas intelektual dan moral, keterbukaan pada dunia, bersikap objektivitas, keingintahuan akan ilmu, kemanusiaan dan pada akhirnya menghormati dan peduli pada sesama; (4) Bertujuan untuk mensosialisasikan peserta didik kepada intelektual yang lebih luas, moral, agama, dan pencapaian lain dalam diri manusia.

Pemerintah Indonesia, dalam hal ini khususnya Menteri Pendidikan Indonesia mencanangkan pendidikan berbasis karakter sebagai gerakan nasional mulai tahun ajaran 2011/2012. Pendidikan berkarakter ini dinilai penting dimulai sejak dini karena merekalah nantinya yang akan melanjutkan pembangunan Bangsa dan Negara Republik Indonesia. Pembentukan karakter peserta didik, tergantung kepada aspek penekanannya, diantaranya pada Pendidikan Moral, Pendidikan Nilai, Pendidikan Relijius, Pendidikan Budi Pekerti, dan Pendidikan Karakter itu sendiri. Masing-masing penamaan kadang-kadang digunakan secara saling bertukaran (inter-exchanging), misal

(2)

pendidikan karakter juga merupakan pendidikan nilai atau pendidikan religius itu sendiri (Kirschenbaum, 2000).

B. Perkembangan Pandangan Tentang Pendidikan

Sejarah perkembangan pendidikan telah begitu banyak upaya untuk mewariskan pengetahuan dan keterampilan kepada generasinya. Berawal para orang tua menunjukkan ketidaksanggupan untuk mengajarkan semua pengetahuan dan keterampilan kepada anak-anaknya. Sejak saat itu, mulailah ada upaya pembelajaran yang tidak formal sesuai pengetahuan yang diinginkan anaknya. Selanjutnya, pengetahuan dan keterampilan yang harus dipelajari semakin kompleks, upaya pembelajaran tersebut mulai diformalkan dalam bentuk persekolahan.

1. Pendidikan menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai nilai-nilai yang hakiki tentang harkat dan martabat kemanusiaan. Namun, belakangan lembaga pendidikan yang namanya sekolah ini cenderung menganggap sebagai satu-satunya lembaga pendidikan. Akhirnya, manakala membicarakan pendidikan cenderung yang dibahas adalah sekolah; Akibatnya, paradigma pendidikan yang begitu universal hanya dipandang secara adaptif daripada inisiatif.

2. Ivan Illich, telah mengkritik persekolahan ini dengan pertanyaan: “Apakah sekolah itu sesuatu yang perlu dalam pendidikan?”

3. Everet Reimer pun menganggap bahwa pendidikan persekolahan telah ‘mati’ (school is dead). Kritikan Illich dan Reimer setidaknya mengingatkan kita bahwa pendidikan persekolahan bukanlah satu-satunyalembaga pendidikan. Idealnya, pendidikan seharusnya merupakan gambaran kondisi masyarakat seperti yang pernah diungkapkan Nicolas Hans bahwa “pendidikan adalah watak nasional suatu bangsa”. Bahkan dalam kelakarnya dia berkata: “ceritakan sekolahmu, maka akan dapat kuceritakan keadaan masyarakat dan negaramu”.

4. Pandangan tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai pendidikan bukan saja hanya sekedar etika dalam arti baik atau tidak baik, namun lebih ditekankan pada tujuan mengapa perlu ada pendidikan. Kemajuan iptek seharusnya dapat membimbing manusia untuk mempunyai tujuan. Seperti yang manusia yang diibaratkan ‘penumpang’ kapal yang bernama Bumi, berputar di jagat kosmos, melancong ke seberang lautan waktu yang tidak terbatas.

(3)

mendatang. Jika kebijakan dalam pendidikan harus dibuat, menunjukkan bahwa dalam praktek-praktek pendidikan ada sesuatu yang salah atau kurang bermanfaat. Kesalahan dalam pelaksanaan pendidikan harus dapat ditemukan, dianalisis, disintesa, kemudian dipraktekkan kembali sampai menunjukan hasil yang lebihbermanfaat.

6. Berdasarkan amanat undang-undang pendidikan harus dilihat sebagai humaninvestment dalam bidang sosial-budaya, ekonomi dan politik. Dalam perspektif sosial-budaya, pendidikan menjadi faktor determinan dalam mendorong percepatan mobilitas vertikal dan horisontal masyarakat yang mengarah pada pembentukan konstruksi sosial baru yang terdiri atas lapisan masyarakat kelas menengah terdidik, yang menjadi elemen penting dalam memperkuat daya rekat sosial (social cohesion). Pendidikan dapat menjadiwahana strategis untuk membangun kesadaran kolektif (collective conscience) sebagai warga mengukuhkan ikatan-ikatan sosial, dengan tetap menghargai keragaman budaya, ras, suku-bangsa, dan agama, sehingga dapat memantapkan keutuhan nasional.

7. Dalam perspektif ekonomi, pendidikan mutlak diperlukan guna menopang pengembangan education for the knowledge economy (EKE).

8. Satuan pendidikan harus pula berfungsi sebagai pusat penelitian dan pengembangan yang menghasilkan produk-produk unggulan yang mendukung knowledge based ekonomy (KBE). Oleh karena itu, pendidikan harus mampu melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki pengetahuan, teknologi, dan keterampilan teknis yang memadai, serta memiliki kapasitas dan kapabilitas kemampuan berwirausaha untuk meningkatkan daya saing nasional dan membangun kemandirian bangsa.

9. Dalam perspektif politik, pendidikan harus mampu mengembangkan kapasitas dan kapabilitas individu untuk menjadi warganegara yang baik (good citizens),yang memiliki tingkat kesadaran tinggi terhadap hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawabdalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(4)

C. Pendidikan Karakter

Karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.

Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.

Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.

Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).

(5)

Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.

Pendidikan karakter menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

Pendidikan karakter menurut T. Ramli (2003), memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk peserta didik, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Pada kajian akademik, pendidikan karakter tentu saja perlu memuat syarat-syarat keilmiahan akademik seperti dalam konten (isi), pendekatan dan metode kajian. Tokoh-tokoh yang sering dikenal dalam pengembangan pendidikan karakter antara lain Howard Kirschenbaum, Thomas Lickona, dan Berkowitz. Pendidikan karakter berkembang dengan pendekatan kajian multidisipliner: psikologi, filsafat moral/etika, hukum, sastra/humaniora.

”Karakter” itu sendiri sedikitnya memuat dua hal: values (nilai-nilai) dan kepribadian. Karakter merupakan cerminan dari nilai apa yang melekat dalam sebuah entitas. ”Karakter yang baik” adalah suatu penampakan dari nilai yang baik pula yang dimiliki oleh orang atau sesuatu, di luar persoalan apakah ”baik” sebagai sesuatu yang ”asli” ataukah sekadar kamuflase.

(6)

untuk membantu siswa mengembangkan disposisi-disposisi guna bertindak dengan cara-cara yang pasti” (Curriculum Corporation, 2003: 33). Persoalan baik dan buruk, kebajikan-kebajikan, dan keutamaan-keutamaan menjadi aspek penting dalam pendidikan karakter semacam ini.

Sebagai aspek kepribadian, karakter merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang: mentalitas, sikap dan perilaku. Pendidikan karakter semacam ini lebih tepat sebagai pendidikan budi pekerti. Pembelajaran tentang tata-krama, sopan santun, dan adat-istiadat, menjadikan pendidikan karakter semacam ini lebih menekankan kepada perilaku-perilaku aktual tentang bagaimana seseorang dapat disebut berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan norma-norma yang bersifat kontekstual dan kultural.

Bagaimana pendidikan karakter yang ideal? Dari penjelasan sederhana di atas, pendidikan karakter hendaknya mencakup aspek pembentukan kepribadian yang memuat dimensi nilai-nilai kebajikan universal dan kesadaran kultural di mana norma-norma kehidupan itu tumbuh dan berkembang. Ringkasnya, pendidikan karakter mampu membuat kesadaran transendental individu mampu terejawantah dalam perilaku yang konstruktif berdasarkan konteks kehidupan di mana ia berada: Memiliki kesadaran global, namun mampu bertindak sesuai konteks lokal.

Pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.

Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.

(7)

pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan. Hal itu berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah

Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

(8)

(Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.

Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.

D. Pendidikan Karakter Melengkapi Kepribadian Mental Yang Sehat Pada awalnya manusia itu lahir hanya membawa “personality” atau kepribadian. Secara umum kepribadian ada empat macam meskipun banyak teori yang menggunakan istilah yang berbeda, tetapi polanya tetap sama. Secara umum kepribadian dikelompokkan menjadi empat, yaitu :

1. Koleris: tipe ini bercirikan pribadi yang suka kemandirian, tegas, berapi-api, suka tantangan, bos atas dirinya sendiri.

2. Sanguinis: tipe ini bercirikan suka dengan hal praktis, happy dan ceria selalu, suka kejutan, suka sekali dengan kegiatan social dan bersenang-senang.

3. Phlegmatis: tipe ini bercirikan suka bekerjasama, menghindari konflik, tidak suka perubahan mendadak, teman bicara yang enak, menyukai hal yang pasti.

4. Melankolis: tipe ini bercirikan suka dengan hal detil, menyimpan kemarahan, perfection, suka instruksi yang jelas, kegiatan rutin sangat disukai.

Setiap orang punya kepribadian yang berbeda-beda. Dari keempat kepribadian diatas, masing-masing kepribadian tersebut memiliki kelemahan dan keunggulan masing-masing. Tipe koleris identik dengan orang yang berbicara “kasar” dan terkadang tidak peduli, sanguin pribadi yang sering susah diajak untuk serius. Phlegmatis sering kali susah diajak melangkah yang pasti dan terkesan pasif, melankolis terjebak dengan dilemma pribadi “iya” dimulut dan “tidak” dihati, serta cenderung perfectionis dalam detil kehidupan serta inilah yang terkadang membuat orang lain cukup kerepotan.

(9)

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai-nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

1. Konsep kesehatan mental

Konsep kesehatan mental dari konsep mental hygine. “Mental” dari bahasa Yunani, pengertiannya sama dengan psyche dalam bahasa Latin berarti psikis, jiwa atau kejiwaan. Istilah mental hygiene dimaknai sebagai kesehatan mental atau kesehatan jiwa. Istilah mental hygiene pada banyak literatur dapat pula disebut sebagai psychological medicine, nervous health atau mental health, meski memiliki maksud yang sama tetapi memiliki kandungan makna yang berbeda. Kesehatan mental adalah mental hygiene, sedangkan mental health, bermakna keadaan jiwa yang sehat.

Konsep “sehat” menurut WHO dirumuskan sebagai “keadaan yang sempurna baik fisik, mental, maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat”. Sehat disini dimaknai sebagai keadaan yang sempurna, baik fisik, mental, maupun social. Pengertian kesehatan menurut WHO merupakan suatu keadaan ideal dari sisi biologis, psikologis, dan sosial.

Beberapa pengertian cara dalam memberikan pengertian mental yang sehat yaitu: (1) Karena tidak sakit; (2) Tidak jatuh sakit akibat stressor; (3) Sesuai dengan kapasitas dan selaras dengan lingkungannya; dan (4) Tumbuh dan berkembang secara positif.

(10)

Pakar klinis klasik menekankan bahwa orang yang sehat mentalnya adalah orang yang tahan terhadap sakit jiwa atau terbebas dari sakit dan gangguan jiwa. Orang yang mengalami neurosa dan lebih-lebih psikosa dianggap tidak sehat. Orang yang tidak mengalami neurosa dan psikosa dianggap orang yang sehat. Orang yang sehat dapat diberi pengertian sebagai “terbebas dari gangguan”.

b. Sehat mental jika tidak sakit akibat adanya Stressor

Clausen dalam Notosoedirdjo dan Latipun (2005: 24) menyatakan bahwa orang yang sehat mentalnya adalah orang yang dapat menahan diri untuk jatuh sakit akibat stressor (pembuat stress). Pengertian ini tampaknya lebih menekankan pada aspek individual. Seseorang yang tidak sakit meskipun mengalami tekanan-tekanan maka menurtut pengertian ini adalah orang yang sehat.

c. Sehat mental jika jalan dengan kapasitasnya dan selaras dengan lingkungannya

Michael dan Kirk, memandang bahwa individu yang sehat mentalnya jika terbebas dari gejala psikiatris an individu itu berfungsi secara optimal dalam lingkungan sosialnya. Pengertian ini menurut Notosoedirdjo bahwa seseorang yang sehat mental itu jika sesuai dengan kapasitasnynya diri sendiri, dapat hidup tepat yang selaras dengan lingkungan. Meski demikian konsep ‘hidup selarasdengan lingkungan’ dapat menjerumuskan seseorang, maksudnya bahwa adaptasi tanpa selektif selalu ingin menyerupai atau mengikuti kehendak lingkungan juga pada dasarnya tidak sehat.

d. Sehat mental karena tumbuh dan berkembang secara positif

Fran, L.K. merumuskan kesehatan mental secara lebih komprehensiof dan melihat sisi kesehatan mental secara ‘positif’, di kemukakan bahwa orang yang terus menerus tumbuh. Berkembang dan matang dalam hidupnya, menerima tanggung jawab, menemukan penyesuaian dalam berpartisipasi dan dalam memelihara aturan soasial dan tindakan dan budayanya. dalam Notosoedirdjo dan Latipun (2005: 25)

2. Prinsip-prinsip dalam kesehatan mental

Schneiders (1964), mengemukakan lima belas prinsip-prinsip kesehatan mental. Yang di kategorikan menjadi tiga kategori yaitu sebagai berikut:

1. Prinsip yang didasarkan atas sifat manusia mel;iputi:

1) Kesehatan penyesuaian mental memerlukan bagian yang tidak terlepas dari kesehatan fisik dan integritas organisme. Untuk memelihara kesehatan mental dan penyesuaian yang baik, perilaku manusia harus sesuai dengan sifat manusia sebagai pribadi, yang bermoral, intelektual, religius, emosional dan social.

2) Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan intrasi dan pengendalian diri, yang meliputi pengendalian pemikiran, imanjinasi, hasrat, emosi, dan perilaku.

(11)

4) Kesehatan mental memerlukan konsep diri yang sehat. Meliputi penerimaan diri, dan usaha yang realistic terhadap status atau harga dirinya sendiri.

5) Pemahaman diri dan penerimaan diri harus ditingkatkan terus-menerus memperjuangkan untuk peningkatan diri dan realistic diri jika kesehatan dan penyesuaian mental hendak dicapai.

6) Stabilitas mental dan penyesiuaian yang baik memerlukan pengembangan terus menerus dalam diri seseorang mengenai kebaikan moral yang tinggi. Yaitu hokum, kebijaksanaan, ketabahan, keteguhan hati, penolakan diri, kerendahan hati, dan moral.

7) Mencapai dan memelihara kesehatan dan penyesuaian mental tergantung kepada penanaman dan perkembangan kebiasaan yang baik. 8) Stabilitas penyesuaian mental, menuntut kemampuan adaptasi,

kapasitas untuk mengubah meliputi mengubah situasi dan mengubah kepribadian.

9) Kesehatan danpenyesuaian mental memerlukan perjuangan yang terus menarus untuk kematangan dalam pemikiran, keputusan, emosionalitas dan perilaku.

10) Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan belajar mengatasi secara efektif dan secara sehat terhadap konfliik mental dan kekagagalan dan ketegangan yang ditimbulkan.

2. Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan lingkungannya meliputi:

11) Kesehatan dan penyesuaian mental tergantung kepada hubungan interpersonal yang sehat. Khususnya di dalam kehidupan keluarga. 12) Penyesuaian yang baik dan kedamaian pikiran tergantung kepada

kecukupan dalam kepuasan kerja.

13) Kesehatan danpenyesuaian mental memerlukan sikap yang realistic yaitu menerima realitas tanpa distorsi danobjektif.

3. Prinsip yang disasarkan atas hubungan manusia dengan Tuhan:

14) Stamilitas mental memerlukan seseorang mengembangkan kesadaran atas realitas terbesar daripada dirinya yang menjadi tempat bergantung kepada setiap tindakan yang fundamental.

15) Kesehatan mental dan ketenangan hati memerlukan hubungan yang konstan antara manusia dengan Tuhannya.

4. Prinsip dasar kesehatan mental adalah:

1. Kesehatan mental itu lebih dari tiadanya perilaku abnormal 2. Kesehatan mental konsep yang ideal

3. Kesehatan mental sebagai bagian dari karakteristik kualitas hidup.

3. Norma-Norma Kesehatan Mental

Para ahli kesehatan mental menggunakan kriteria seseorang dalam membuat keputusan tentang apakah suatu perilaku itu sehat atau tidak, kriteria yang paling umum digunakan adalah:

(12)

Perilaku yang tidak biasa sering dikatakan abnormal. Hanya sedikit dari kita yang melihat, ataupun mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada ‘melihat sesuatu’ dan ‘mendengar sesuatu’ seperti yang dikatakan abnormal dalam budaya kita, kecuali dalam pengalaman religius tertentu dimana ‘mendengar suara’ atau melihat bayangan’ tokoh religius menjadi bukan yang aneh. Perilaku yang tidak biasa, adalah sesuatu yang jarang ada menjadi ukuran abnormalitas.

2. Perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial atau melanggar norma social.

Setiap masyarakat memiliki norma-norma (standar) yang menentukan jenis perilaku yang menentukan jenis perilaku yang dapat dan diterima dalam beragam konteks tertentu. Perilaku yang diangap normal dalam satu budaya mungkin dipandang sebagai abnormal dalam budaya lainnya. Satu implikasi dari mendasarnya perilaku abnormal pada norma social adalah bahwa norma-norma tersebiut merefleksikan standar relative, bukan kebenaran universal. Apa yang normal dalam satu budaya mungkin dianggap abnormal dalam budaya yang lain.

3. Persepsi atau interpretasi yang salah terhadap realitas

Biasanya system sensori dan proses kognitif memungkinkan untuk membentuk representasi mental yang akurat tentang lingkungan sekitar. Melihat sesuatu ataupun mendengarkan suara yang tidak ada objeknya akan disebut sebagai halusinasi, dimana dalam budaya kita sering dianggap sebagai tanda-tanda yang mendasari gangguan. Bagi seseorang yang berdoa “berbicara pada Tuhan” dianggap suatu hal yang realitas. Tetapi jika seseorang mengklaim dirinya melihat Tuhan dan mendengar suaraNya, dianggap bahwa orang itu mengalami gangguan mental.

4. Orang-orang tersebut berada dalam stress personal yang signifikan

Kondisi stress personal yang diakibatkan oleh gangguan emosi seperti kecemasan, ketakutan, atau depresi dapat dianggap abnormal. Kecemasan, atau depresi terkadang merupakan respon yang sesuai dengan situasi tertentu. Ancaman dan kehilangan yang nyata terjadi dan dialami oleh setiap orang dari waktu-kewaktu dan tidak adanya respon emosional pada kondisi tertentu dapat dianggap abnormal. Perasaan stress yang tepat tidak dapat dikatakan abnormal. Kecuali apabila perasaan tersebut berkelanjutan bahkan lama setelah sumbernya sudah tidak ada (pada kebanyakan orang akan segera menyesuaikan diri) kecuali jika perasaan itu sangat intens sehingga merusak kemampuan individu untuk berfungsi kembali.

5. Perilaku maladaptive atau ‘self-defeating’

(13)

kemampuan individu untuk menyelesaikan pekerjaan dan mengemban tanggung jawab keluarga.

6. Perilaku berbahaya

Perilaku yang menimbulkan bahaya bagi oranng itu sendiri dan atau pun bagi orang lain dapat dikatakan abnormal. Dalam konteks social ini menjadi masalah penting. Orang yang mengancam atau berupaya untuk bunuh diri karena tekanan hidup sehari-hari biasanya juga dianggap abnormal.

E. Pendidikan Karakter Membangun Mental Yang Sehat

Mencermati himbauan Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Menteri Pendidikan Indonesia yang mencanangkan pendidikan berbasis karakter sebagai gerakan nasional mulai tahun ajaran 2011/2012, maka melalui pendidikan berkarakter ini dinilai penting dalam melanjutkan pembangunan Bangsa dan Negara Republik Indonesia. Pendidikan berkarakter penting dimulai sejak dini, aspek penekanannya, diantaranya melalui Pendidikan Moral, Pendidikan Nilai, Pendidikan Religius, Pendidikan Budi Pekerti, dan Pendidikan Karakter itu sendiri.

Himbauan Presiden SBY (dalam Puncak Peringatan Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional 2011, Jumat 20 Mei 2011), bahwa pendidikan karakter mempunyai fungsi strategis bagi kemajuan bangsa, harus ada komitmen untuk menjalankan pendidikan karakter sebagai bagian dari jati diri bangsa. Komitmen yang harus dijalankan, mengacu kepada lima nilai karakter bangsa untuk menjadi manusia unggul dalamhal:

1. Manusia Indonesia yang bermoral, berakhlak dan berperilaku baik 2. Mencapai masyarakat yang cerdas dan rasional

3. Manusia Indonesia ke depan menjadi manusia yang inovatif dan terus mengejar kemajuan;

4. Memperkuat semangat “Harus Bisa”, yang terus mencari solusi dalam setiap kesulitan;

5. Manusia Indonesia haruslah menjadi patriot sejati yang mencintai bangsa, Negara dan tanah airnya.

Sehingga pendidikan bukan hanya membangun kecerdasan dan transfer of knowledge, tetapi juga harus mampu membangun karakter atau character building dan perilaku peserta didik yang berkepribadian sehat mentalnya dalam mengoptimalkan hard skill dan soft skill, disamping itu diwujudkan dalam kemampuan peserta didik dalam olah hati, olah piker, olah raga, olah rasa, dan olah karsa di berbagai jenjang pendidikan.

(14)

Sumber Bacaan Pustaka

David Elkind and Freddy Sweet Ph.D. 2004 are co-Presidents of Live Wire Media, producers and publishers of videos and other media for character education, guidance, and life skills.

Elias, N., 1988, “Kerangka untuk Sebuah Teori Peradaban”, dalam Evers, H.D.(ed.), Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Everett Reimer, 1987. Sekitar Eksistensi Sekolah: Sebuah Essay tentang Alternatif-alternatif Pendidikan. (Penyadur M.Soedomo). Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya.

Hersh, et. al. 1980. Model of Moral Education, New York: Longman, Inc. Howard Kirschenbaum, 2000, From Values Clarificationto Character

Education: A Personal Journey, Journal of Humanistic Counseling and Development. Vol. 39, No. 1 (September), pp. 4 -20.

Kemdiknas (2010). Grand Design Pendidikan Karakter

Musfiroh, Tadkiroatun. 2008. Cerdas Melalui Bermain. Jakarta: Grasindo.

Nevid, Jeffrey S. Rathus, Spencer A & Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal. (terjemahan) Jilid I,II. Jakarta: Penerbit Buku Erlangga

Notosoedirdjo, Moeljono dan Latipun. (2005). Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan. Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang. Schneiders, A. 1964. Personal Adjustment and Mental Health. New York: Rinehart and Windston.Inc.

Sohan Modgil, etc. 1986. Multicultural Education: The Interminable Debate Sudrajat, Akhmad. 2010. Tentang Pendidikan Karakter. (dalam

http://akhmadsudrajat.wordlpress.com/2010/08/20/diakses 15

Oktober 2010)

Paulo Frere, Ivan Illich, dkk, 2006, Menggugat Pendidikan: Konsevatif, Liberal, Anarkis, Cetakan VI. Yogyakarta: Pustaka Pelajara,

Undang – Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

(15)

Referensi

Dokumen terkait

Dinamika zaman terus bergulir dengan berbagai perubahan kebutuhan. Seperti makanan dan minuman menjadi industri yang tidak sekedar menghasilkan makanan atau

Atas undangan Yang Mulia Menteri/Ketua Komite Pemerintah untuk Organisasi dan Kepegawaian Republik Sosialis Vietnam, Yang Mulia Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa : (1) Pola komunikasi yang dilakukan dalam keluarga yang menikah di usia dini ialah

Dengan beragamnya teknologi khususnya alat komunikasi dan interaksi membuat internet tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan informasi saja, lebih dari

Prima Abadi Karya Area Morowali serta dapat menyelesaikan laporan skripsi yang berjudul “Perencanaan perluasan stockyard untuk mendukung peningkatan produksi bijih nikel

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terhadap mutu agregat dari Simeulue sebagai bahan campuran aspal AC-WC dengan menggunakan variasi persentase bahan

c. Penyelenggaraan pemungutan dan penggalian potensi pendapatan daerah di Bidang Pengelolaan Pasar. Namun bidang pengelolaan pasar sendiri tidak memiliki Standar

Terdapat 11 atribut kebutuhan yang termasuk kedalam kategori Must be, yaitu kapasitas bandwidth yang memadai pada website Guteninc, adanya layanan komplain bagi