MAKNA RUANG DALAM PERMUKIMAN PECINAN (ASPEK YANG
TERLUPAKAN DALAM UPAYA REVITALISASI KAWASAN)
Oleh:
Jamilla Kautsary
Ir. Achmad Djunardi, MUP, Ph.D Ir. Sudaryono, S, M.Eng, Ph.D Ir. LEksono P Subanu, MURP, Ph.D
Disampaikan Pada:
Seminar Nasional Eco Urban Design Universitas Diponegoro
2008
LATAR BELAKANG
Fenomena kegiatan revitalisasi kawasan lama khususnya di Semarang selalu dipandang sebagai upaya esklusif untuk menjadikan kawasan sebagai artefak dan diidentikkan dengan pembuatan produk arahan desain kawasan dari pemerintah (bersifat top-down). Padahal tujuan utama dari konservasi khususnya revitalisasi bukan untuk mengembalikan kesan masa lalu, tetapi melestarikan apa yang ada dan mengarahkan perkembangnnya di masa yang akan datang (Catenese, 1984).
Demikian juga dengan upaya revitalisasi Kawasan Pecinan. Selama ini upaya yang dilakukan lebih banyak menyoroti upaya pengembangan kawasan sebagai kawasan wisata, perubahan struktur morfologi dan arsitektur bangunan. Upaya revitalisasi kemudian berkembang menjadi komoditas prospektif yang hanya memberikan keuntungan ekonomi bagi pihak tertentu khususnya pengusaha pariwisata dan pemerintah daerah. Hal ini menimbulkan kolusi kepentingan ekonomi yang bersifat jangka pendek dan merusak kearifan lokal yang memunculkan banyak persoalanl karena adanya perbedaan antara rahapan masyarakat dan kenyataan dalam upaya revitalisasi. Kondisi ini juga menyebabkan munculnya konflik aktivitas yang berdimensi ruang dan waktu yang pada akhirnya memunculkan respon negative masyarakat yang berupa penolakan warga terhadap upaya revitalisasi (Kautsary, 2005).
Bila ditelaah lebih dalam, penolakan masyarakat ini terjadi karena revitalisasi kawasan lebih banyak menggunakan teori perencanaan, urban design, arsitektur, pariwisata dan bahkan studi-studi yang lainnya yang hanya didasarkan pada tradisi disain tingkat tinggi (hight-design traditions), dengan teori-teori yang menitik beratkan pada hasil pekerjaan para perencana dan perancang, dan mengabaikan lingkungan-lingkungan yang didesain oleh rakyat biasa atau tradisi populer masyarakat akibatnya pemahaman budaya lokal terutama makna ruang terlalu dangkal(Rapopot, 1984).
Dari uraian di atas maka perlu kiranya untuk menemukan makna ruang pemukiman Pecinan yang mempunyai keterkaitan emosional dan kultur dengan masyarakat setempat. Studi ini diharabkan dapat memberikan sedikit sumbangsih terhadap pelestarian kawasan Pecinan, agar karakteristik unik dan interaksi positif antara ruang dan masyarakatnya tetap terjaga dengan baik.
KAJIAN TEORITIK
Terdapat tiga definisi budaya terkait dengan sistem budaya-lingkungan. Pertama menggambarkan jalan hidup yang khas dari suatu kelompok tertentu, kedua sebagai sistem maksud/arti, lambang, dan skhemata yang dipancarkan melalui kode simbolis, dan ketiga sebagai satuan strategi adaptip untuk bertahan hidup berhubungan dengan ekologi dan sumber daya (Rapoport, 1968).
Pengertian di atas menurut Rapoport (1968) adalah saling melengkapi dan bukan saling bertentangan. Dengan demikian kultur dimulai dari strategi adaptasi suatu kelompok di dalam pengaturan ekologis mereka, yang kemudian disandikan dalam teori schemata, lambang, dan beberapa visi dari suatu kondsi ideal, dan hal ini yang belanjut pada generasi berikutnya. Kondisi ini, pada gilirannya, akan mendorong ke arah jalan hidup tertentu dan cara bertindak, mencakup perancangan dan pengaturan lingkungan untuk kelompok tertentu yang dilihat sebagai norma dan gaya hidup tertentu yang penting dan khas, yang berbeda dengan golongan lainnya.
Ruang juga merupakan aspek dari lingkungan yang sangat penting. Hal ini bukan sebuah konsep yang umum atau simpel. Ruang lebih dari sekedar ruang fisik 3 dimensional. Pada waktu dan konteks yang berbeda akan menghasilkan jenis ruang yang berbeda, dan hal ini merupakan isu desain yang penting karena ruang terkait dengan sistem budaya dan lingkungnnya.
Perancangan Kota sebagai Suatu Organisasi Ruang, Waktu Arti dan Komunikasi.
Terkait dengan sistem budaya-lingkungan, kota-kota maupun permukiman merupakan perwujudan dari sistem pengaturan yang menggambarkan organisasi ruang, arti, komunikasi dan waktu.
a. Organisasi ruang. Perencana dan perancang pada dasarnya menangani organisasi ruang. Ruang dapat dipandang dengan cara yang berbeda-beda. Hal ini dapat diperlihatkan dengan suatu ilustrasi, mengingat para perancang dan masyarakat sering memberi arti yang berbeda-beda terhadap konsep ruang. Ruang terbangun pada masyarakat tradisional adalah ruang yang disucikan dan sedangkan pada masyarakat modern ruang terbangun adalah ruang geometris. Lingkungan juga dapat dilihat sebagai serangkaian hubungan antara elemen-elemen dan manusianya (antara benda dan benda lain, antara orang dan benda dan antara manusia dan manusia). Hubungan –hubungan tersebut sebenarnya teratur dalam arti punya suatu pola dan struktur.
b. Organisasi arti. Desain dan rencana juga mewujudkan bayangan ideal dan menggambarkan harmonisasi antara ruang fisik dan ruang sosial. Desain dan rencana dalam organisasi ruang juga mencerminkan budaya dari kelompok atau individu yang terlibat. Desain dan rencana tersebut mewujudkan bayangan ideal dan menggambarkan keharmonisan hubungan (atau tiadanya) antar ruang fisik dan ruang sosial. Hubungan tersebut juga merupakan contoh dari pengorganisasian arti dan keduanya dapat dibedakan secara konseptual yang sering di ekspresikan dalam tanda, bahan/material, warna, bentuk, pemandangan dan yang lainnya.
d. Organisasi waktu. Lingkungan juga bersifat temporal dan dapat dianggap sebagai organisasi waktu, sebagai refleksi dan pengaruh dari organisasi waktu. Hal ini mungkin di pahami dalam 2 cara. Pertama cenderung mengarah pada struktur kognitif waktu pada skala yang luas sebagai aliran linier versus waktu yang berputar, orientasi masa depan versus masa lampau, bagai mana waktu dinilai dan bagaimana dibagi menjadi unit-unit dan sebaginya. Ke dua lebih mengarah pada tempo dan ritme dari aktivitas manusia dan kesamaan atau perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya.
Ruang juga bisa dibedakan menjadi ruang yang didesain dan tidak didesain (dalam arti mengikuti aturan-aturan dan merefleksikan arti lingkungan yang ideal). Dua jenis sistem pengaturan diilustrasikan pada dua jenis ruang yaitu ruang geometrik abstrak dan ruang spiritual. Banyak permukiman dan perumahan hanya dapat dipahami dengan cara ini seperti beberapa kota kebudayaan tinggi seperti Cina, India dan yang lainnya. Kedua ruang ini menggambarkan ruang simbolik
Revitalisasi
Revitalisasi merupakan salah satu jenis pelestarian dengan mengadaptasikan bangunan lama yang sudah tidak tidak praktis lagi untuk melayani penggunaan baru danpada saat yang sama mempertahankan bentuk karakteristik orisinilnya. Revitalisasi dapat dilakukan tanpa atau dengan mengubah bentuk bangunan. Kadang memang tidak dapat dihindari bila ditilik dari analisis biaya manfaat tidak menguntungkan untuk dilestarikan, maka biarlah facade bangunannya saja yang dipertahankan agar pengamat bisa membayangkan wajah kota pada masa lalu (Budihardjo, 1991).
Upaya revitalisasi kawasan lama bukan hanya sekedar usaha melestarikan bangunan, tapi sudah juga merupakan usaha menghidupkan ekonomi kawasan yang mengalami kemunduran Cohen, 1999). Upaya pelestarian pada saat ini merupakan usaha-usaha yang holistik yang bertujuan untuk memberikan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik berdasar kekuatan sumber daya lama, dan melakukan suntikan kehidupan yang menarik dan kreatif, berkelanjutan, serta melibatkan masyarakat dengan memperhitungkan nilai ekonomi. Manajemen merupakan alat untuk mencapai tujuan termasuk keterlibatan total masyarakat untuk mengelola sendiri/people centered management (Laretna, 2000).
Suntikan kegiatan baru yang memanfaatkan budaya dalam suatu kawasan harus terkait erat dengan sistem budaya dan lingkungan yang dibangun oleh masyarakat lokal. Dukungan untuk membangkitkan kebanggaan terhadap apa yang akan dikembangkan sangat penting. Begitu pula dalam pemilihan aktivitas yang akan dihidupkan kembali perlu penanganan yang jeli. Kondisi ini menuntut pengelola yang mampu berkerja dekat dengan masyarakat lokal dan bersamaan dengan itu mampu mengembangkan jaringan dengan pihak luar sangat diperlukan (Boyer, 1994: 8).
METODE PENDEKATAN
Dengan pendekatan ini maka objek penelitian adalah kepala
keluarga yang lahir dan besar di lingkungan Pecinan Semarang
(sample purposiv
e) serta beberapa tokoh di luar objek penelitian
yang ditunjuk oleh informan sebelumnya untuk kepentingan
trianggulasi informasi. Implikasi dari pemilihan informan ini
peneliti tidak menentukan jumlah sampel terlebih dahulu. Sedang
teknik perekaman data melalui wawancara mendala
m,
observasi dan
foto-foto. Data dan informasi yang dikumpulkan berupa kata-kata,
penjelasan, gambaran, sketsa-sketsa, foto dengan catatan, naskah
wawancara, hasil pengamatan dan pencatatan. Data dan informasi
ini kemudian disajikan secara diskriptif (gambaran konteks/sifat
natural).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai naluri untuk
bertahan hidup tetapi karena adanya perbedaan lingkungan tempat
dimana
mereka
tinggal,
akan
memicu
munculnya
perbedaan
‘kehidupan’ yang mereka jalani dan akhirnya setiap suku bangsa
mempunyai corak yang berbeda-beda. Berbedaan ini dapat berupa
tatanan sosial, pemikiran bahkan juga memunculkan ajaran dan
spiritual yang berbeda pula. Kondidi inilah yang kemudian
menyebabkan
masing-masing
suku
bangsa
mempunyai
keunikan
tersendiri dan tercermin dari seni, budaya, tatanan sosial dan
sebagainya.
ui ui ui ui ui ui
GRAND THEORY
KONSEP PARAMETER TEORI
KONSEP KONSEP
TEMA TEMA TEMA
ABSTRAK
EMPIRIS
ui : unit informasi
Gambar 1. Struktur kawasan Pecinan Semarang, yang cenderung menunjukkan struktur yang grid-organik. Sumber: ICONOS SEMARAng 2004
Hal di atas juga akan mempengaruhi tatanan ruang pada
permukiman tradisional. Tatanan permukiman tradisional selalu
memiliki makna tertentu bagi masyarakat penciptanya. Tatanan yang
sama dengan makna yang berbeda akan memiliki struktur yang
berbeda pula. Demikian juga dengan tatanan dan maknan ruang pada
permukiman Pecinan Semarang yang terbentuk dari karakter sosio
kultural yang berkembang dan ada di permukiman ini.
Secara struktur Pecinan semarang memiliki pola grid yang
organic, dengan beberapa klenteng di ujung gang dan sungai yang
memgelilingi kawasan ini. Jika kita melihat lebih dalam terkait
dengan pola peletakan dan fungsi klenteng baik klenteng lokal
maupun lingkungan, maka struktur ini lebih mengarah ke fungsi
sebuah benteng yang akan melindungi kawasan pecinan dari musuh
(jaman dahulu) dan roh jahat yang akan memasuki kawasan. Walaupun
benteng ini secara fisk sudah tidak ada tetapi simbolisme
peletakan klenteng lingkungan dan klenteng lokal ini masih
menyimbulkan adanya suatu upaya perlindungan walaupun secara
imaginer.
Dari hasil wawacara dan perekaman mendalam terhadap
unit-unit informasi yang berupa pemikiran-pemikiran atau pendapat
individu dari masyarakat (tokoh masyarakat), juga terlihat
bahwa
di
dalam
kawasan
juga
ada
benteng-benteng
utuk
mempertahankan kehidupan perekonimian yang berupa aglomerasi
perdagangan yang mengelompok di setiap gang serta benteng rumah
untuk keselamatan penghuni.
Sepanjang gang Pinggir (centra perdagangan emas);
b) Sepanjang
gang
Lombok
(centra
perdagangan
makanan
khas/tradisional Cina);
c) Sepanjang gang Pedamaran (centra perdagangan jamu dan
kelontong);
d) Sepanjang gang Warung (centra perdagangan kain);
f) Sepanjang g
kebutuhan rit
g) Sepanjang
(campuran hun
h) Sepanjang ga
i) Sepanjang
pembuatan pin
Gambar 2. Delapan kl berada di daerah tus bagus untuk rumah at ibadah dimaksudkan un di depan klenteng (k merupakan gambaran j 1999- 2005)
3. Ho Kong Bio
7. Thien Hiem Kie
8. Khay Tjiana Sing On
gang Baru (centra perdagangan h
itus masyarakat Cina/Pasar Gang Ba
gang Gambiran, Belakang dan
unian/rumag tingga dan jasa);
gang Tengah (perkantoran dan jasa)
gang Besen (centra perdaga
intu/pagar besi) .
klenteng yang ada di Pecinan Semarang usuk sate dan menurut kepercayaan kaum
tau usaha. Pemanfaatan ruang tusuk sate ntuk menekan hawa buru dan membuang sial khusus jalan di gang Besen) merupakan j
jalan menuju surga atau kemakmuran (Su 1. T 2. Khong Tie Soe
6
5. L
4. Kwee Lak Kwa Ong
hasil bumi dan
aru);
gang Mangkok
);
angan dan jasa
yang kebanyakan m Tionghoa tidak e untuk bangunan l (Ciong). Jalan jalan besar yang umber: peneliti, . Tay Kak Sie
6.Tang Kee
Gambar 3..Aktivitas mulai parkir di pagi muat pada siang dan s sampai untuk kegiata data primer, 1999-200
di ruang jalan penggal jalan di Kawasa gi hari untuk pengunjung pasar Gang Bar sore, tempat berdo’a dan melakukan ritual an Warung Semawis pada tiam malam mingg
08)
Tabel I.
Perkembangan Fungsi Klenteng Dahulu dan Sekarang
No Nama Klenteng
Lokasi Fungsi Fungsi Klenteng
Dahulu Sekarang
Sebandaran Klenteng Tao
Sumber: Diolah dari berbagai sumber dan hasil induksi, 1999-2008
Semua aktivitas manusia berlangsung dalam ruang fisik. Ruang hanya berarti apabila dihuni oleh manusia, karena makna ruang diwujudkan oleh kehidupan manusia. Ruang tidak bisa ditanggapi secara komplet dari aspek fisik atau budaya secara terpisah. Ruang akan bermakna jika ruang mewadai dua makna sekaligus dimana ruang fisik mempunyai makna sosial dan ruang sosial selalunya dimanifestasikan oleh ruang fisik.
Tabel 2
Aktivitas, Fungsi Dan Bentuk Simbolisme Di Kawasan Pecinan
Unit Ruang Aktivitas dan atau Karakter yang tampak
Fungsi Bentuk Simbolisme Makna
Bangunan/Ruko - Perlindung - Tempat
tinggal/perlindunga baik dari cuaca atau gangguan lainnya
- Berdagang/berkarya - Tempat bekerja/bengkel/
berjualan/usaha dll
- Ruang toko
- Ruang kerja
- Penghidupan
- Berdo’a dan meletakkan sesaji
persembahan
- Tempat pemujaan pada
leluhur
- Kongpo ada di ruang
depan/ruang utama
- Bakti (Hsiao/Houw)
Klenteng - Berdo’a/Pemujaan
- Perayaan dewa/dewi
- Meletakkan sesaji
- Pemberian sedekah
- Tempat sembahyangan - Penempatang meja altar
dan patung mak co/ kong co atau altar leluhur
- Hubungan social
(Ceng Li)
- Bakti (Hsiao/Houw)
- Keseimbangan langit
dan bumi
- Pentas seni - Tempat berekspresi - Ruang terbuka untuk
panggung
- Ruang penerima tamu
- Ruang singgah
-
- Pegawasan - Pintu gerbang yang
menghubungakan dengan kawasan luar Pecinan
- Letak klenteng di ujung
gang
- Arah hadap klenteng
-
- Peletakan
patung/reliefe/gambar harimau putih, dewa pintu, tulisan Long-yai dan Hu-xiong
- Hiasan - Patung/gambar harimau
putih di depan klenteng/bangunan
- lukisan Long-yin atau
naga bersiul dan Hu-xiao
yang berarti harimau menggeram
- Patung/ukiran dewa pintu
- Perlindungan (menantang pengaruh jahat yang
mengganggu kelenteng tersebut)
- Melambangkan anak
Unit Ruang Aktivitas dan atau Karakter yang tampak
Fungsi Simbolisme Makna
Jalan Pergerakan kendaraan,manusia dan
barang
Ruang sirkulasi dan parkir Kehidupan
Bongkat muat barang Memajang barang dagangan Tempat berkarya
Ruang pamer Ruang kerja
Peletakan barang dagangan di ruang jalan Penempelan iklan
Arakan kong co/mak co Jalan lewat kong co/mak
co/Altar
Peletakan lampion Bakti (Hsiao/Houw)
Berdo’a/sujud di depan pintu Mempermudah hubungan antara
langit dan bumi
Meja altar di depan pintu
Pengapdian ‘Cung’ (setia).
Kawasan Klenteng di ujung jalan utama
masuk kawasan
-Penolak hawa buruk,
- Menghadang roh jahat
- Pos jaga
Posisi dan arah hadap kelenteng local dan lingkungan
Perlindungan
Kehidupan berkelompok sesuai
barang dagangan/suku
-Aglomerasi/keuntung-an ekonomi
- Menjaga keutuhan kelompok
Taponim jalan/gang Perlindungan
Pendirian klenteng di pusat aktivitas (dekat sungai)
Kemudahan pencapaian Klenteng masyarakat Rasa syukur
Pola Jalan Efisiensi Arah hadap/orientasi
jalan utara-selatan
Dari tabel di atas aktivitas yang ada baik yang dilakukan didalam rumah/ruko, di ruang jalan atau di dalam kawasan secara umum, bila dicermati secara lebih dalam, juga terlihat adanya keteratura diantara kesemrawuta yang ada. Pola-pola aktivitas baik jenis, lokasi dan karakter yang tampak yang dihasilkan oleh aktivitas tersebut menunjukkan bahwa di dalam lingkungan fisik atau lingkungan geografis ada suatu lingkungan operasional di mana orang-orang bekerja dan mempengaruhi mereka. Di dalam lingkungan perseptual di mana orang-orang sadar secara langsung dan di mana mereka memberi arti simbolis, terdapat lingkungan tingkah laku di mana orang-orang tidaklah hanya peduli tetapi juga menimbulkan tanggapan terhadap tingkah laku yang sama. Ruang ini kenyataannya digunakan oleh kelompok sosial dan merefleksikan pola tingkah laku dan persepsi mereka (ruang sosial).
Dari kajian diatas dapat dilihat bahwa ada sebuah struktur imaginer yang terbentuk dari pemaknaan pada ruang fisik dan ruang sosial di kawasan pecinan, dapat dikatakan sebagai benteng berlapis. Benteng pertama dilindungi oleh benteng nyata (pada awallnya yang saat ini sudah dirobohkan), beteng ini didukung oleh peletakan klenteng masyarakat dan klenteng lokal sebagai penangkal roh jahat dan tempat pos penjagaan. Benteng kedua beropa perlindungan terhadap kegiatan perekonomian yang berupa algomerasi kegiatan, walaupun benteng ini sekarang mulai berubah menjadi spesifikasi, tetapi pada lingkun ini benteng perekonomian masih dapat dikenali. Benteng terakhir dapat dilihat jelas pada bentuk hunian masyarakat di pecinan. Faktoir keamanan merupakan terbenting bagi mereka, sehingga beberapa pengaman dapat dilihat pada bangunan di kawasan ini. Dari bentuk ini terlihat bahwa kawasa
n
juga memiliki makna keamanan. Pola benteng ini secara jelas dapat dilihat pada gambar berikutKeterangan
Pelindung I: musuh (jaman dahulu) dan roh jahat
Pelindung II: Kehidupan perekonmian Pelindung III Keselamatan manusia Klenteng Masyarakat
Klenteng Lokal (orientasi jlan utama) Klenteng Lingkungan (ujung gang)
(Sumber: hasil analisis, 2008)
KESIMPULAN dan REKOMENDASI
Makna ruang yang dapat digali dari studi yang peneliti
lakukan dikawasan Pecinan komplek. Dari ruang-ruang fisik sebagai
wadah aktivitas, jika dikasi lebih lanjut ke ruang sosial akan
banyak makna yang membedakan ruang kawan ini dengan ruang
lainnya. Makna yang dapat dikenali antara lain berupa makna
penghormatan/bakti, pengapdian, , perlindungan, penghidupan, dan
keeimbangan.
Rekomendasi yang dapat diberikan dengan adanya makna-makna
ini, hendaknya dalam perencanaan ataupu upaya revilatlisasi
kawasan kita lebih elihat kearifan yang dibentuk oleh konsesnsus
masyarakat setempat, sehingga bentrokan aktivitas yang berdemensi
ruang dan waktu dapat dihindari
PUSTAKA BUDAYA DAN ARSITEKTUR PERMUKIMAN CINA
Text Books
Catanese, JA., 1983, ” Introduction to Urban Planning (terjemahan), Airlangga, Jakarta
Koentjoroningrat,….., “Manusia dan Kebudayaan di Indinesia” Djembana. LÜ Junhua., and Daniel Benjamin Abramson., 1997, “Vernacular
Architecture in Historic Chinese Cities”. Department of Urban Planning and Design of the School of Architecture at Tsinghua University Beijing, China.
Ma, J.C., and Fulong, Wu., 2005, “Restructuring the Chinese City:
Changing Society, Economy and Space”, First published, Routledge 2
Park Square, New York.
Norbet, Schnoenaver., 1992, “History of Housing”, McGill, University School of Architecture, Canada. (The Traditional Urban Houses in China)
Steinhardt, NS, 1984, “Chinese Traditional Architecture”, Chine Institute in America.
Rapoport, A., 1986, “Asal-Usul Budaya Pemukiman, dalam Pengantar Perencanaan Kota. Penyunting Catanese J. A., dan Snyder, terjemahan Sasongko, Airlangga, Jakarta
Rapoport, A., 1980, “Human Aspects of Urban Form: Toward a Man Environment Approach to Urban Form dan Design” 2nd Edition, Printed in Great Britain, Wheaton & Co. Ltd, Exeter. Oxfort: Pergamon Press. Williams. C. A. S, 2006, “Chinese Symbolism and Art Motifs”, Tuttle
Publishing, Singapore
Researches
Mutiari, Dani .,2007, ”Landasan Konsep Arsitektur Rumah Toko Cina: di Kawasan Sekitar Pasar Gedhe Surakarta”. Sekolah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta (tidak dipublikasikan)
Mutiari, Dani., 2005, “Tipologi dan Morfologi Permukiman Cina di Surakarta: Studi Kasus di Kampung Pecinan Pasar Gedhe Surakarta”. Sekolah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta (tidak dipublikasikan)
Kautsary, J., 2008,“Budaya dan Ruang pada Permukiman Tradisional Pecinan Semarang”, Sekolah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta (tidak dipublikasikan)
Kautsary, J., 2007, “Model Pengembangan Permukiman Tradisional Pecinan Sebagai Kawasan Wisata Budaya (Hibah Bersaing dikti 2007)
Kautsary, J., 2007,“Karakteristik Psikologis, Sosial dan Budaya Masyarakat Pecinan Semarang”, Sekolah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta (tidak dipublikasikan)
Kautsary, J., 2005, ”Konflik Kepentingan di Kawasan Permukiman Wisata Budaya Pecinan Semarang (Proceedings Seminar Nasional Arsitektur Lingkungan dan Pariwisata Menuju Pembangunan Berkelanjutan, Hal. III-6 - III-14, ISSN 979-25-0021-9: 10 September 2005)
Kautsary, J., 2005, “Penolakan Masyarakat Pecinan terhadap Kebijakan dan Program Revitalsasi Kawasan”, Sekolah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta
(tidak dipublikasikan)
Kautsary, J., 2002, “Optimalisasi Ruang Terbuka Kawasan Pecinan sebagai Lingkungan Pejalan Kaki: Suatu Strategi Pendukung Revitalisasi Kawasan Little Netherland sebagai Kawasan Wisata Arsitektural”, Dikti, Jakarta.
Kautsary, J., 2001, “Identifikasi Potensi Ruang Terbuka Kawasan Pecinan Sebagai Kawasan Pejalan Kaki”, Dikti, Jakarta.
Kautsary, J.,1999, “Identifikasi Potensi Road Form dan Townscape Kawasan Pecinan Semarang”, Kopertis Wilayah VI, Jawa Tengah.
Johannes Widodod, 1988, “Chinese Settlement in Changing City”, Katholieke Universieit Lauven. Belgium (Tidak dipublikasikan)