• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesehatan Mental and Pekerjaan Sosial da

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kesehatan Mental and Pekerjaan Sosial da"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

KESEHATAN MENTAL DAN PEKERJAAN SOSIAL DALAM PENCAPAIAN MDGS DI INDONESIA*

Toton Witono

Abstrak

Kesehatan merupakan salah satu indikator penting dalam pencapaian Millenium Development Goals. Namun demikian, kesehatan dalam tujuan Millenium tersebut tampaknya lebih fokus ke bidang kesehatan secara fisik, sementara kesehatan mental tidak tercakup secara spesifik. Dengan memperhatikan fakta cukup tingginya angka penderita gangguan mental-emosional di Indonesia, pengabaian isu kesehatan mental dapat menyebabkan upaya mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan Milenium bidang kesehatan menjadi tidak efektif. Namun sayangnya Indonesia tidak mempunyai kebijakan khusus terkait penanganan kesehatan mental karena landasan hukum yang kurang memadai. Satu sisi, dalam Undang-Undang terkait, definisi kesehatan dan kesejahteraan sosial telah melingkupi aspek fisik, mental, sosial, spiritual, dan intelektual. Ini berarti landasan legal formal sebetulnya memandang totalitas manusia sebagai entitas utuh yang saling terkoneksi satu sama lain. Namun, di sisi lain, perspektif semacam ini akan sulit diwujudkan apabila praktik penanganan masih berkutat pada pendekatan biomedis dan psikososial yang kurang memperhatikan dimensi-dimensi penting lain. Untuk itu, perencanaan dan kebijakan kesehatan mental harus diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan primer dalam kerangka pencapaian Deklarasi Milenium tersebut.

Kata kunci: kesehatan, kesehatan mental, kesejahteraan sosial, dan MDGs

A. Latar Belakang

Globalisasi dengan ideologi kapitalismenya digadang-gadang dapat mewujudkan

cita-cita keadilan dan kemakmuran bagi seluruh penghuni planet bumi, namun

ternyata gagal total. Stiglitz (2006) dalam bukunya, Making Globalization Work,

menyimpulkan bahwa globalisasi mendatangkan kemakmuran bagi hanya segelintir

orang dalam suatu negara. Pendapatan domestik bruto memang menunjukkan

perbaikan, “namun cara hidup dan nilai-nilai dasar terancam” (p. 292). Bukannya

memberantas kemiskinan, ideologi kapitalisme bahkan menciptakan kemiskinan baru

dan juga kerusakan lingkungan yang parah.

Berbagai masalah yang berakar dari kemiskinan dan kerusakan lingkungan

seperti dijelaskan di atas muncul tak terkendali. Orang menjadi putus asa, stres,

bahkan gila karenanya. Dengan materialisme dan konsumerisme, alih-alih membuat

manusia bahagia dan sejahtera, era modernisasi malah menjadikan banyak orang

* Artikel ini diambil dari sebagian tema dalam paper yang dipresentasikan dalam Asia Pacific

Conference yang diselenggarakan oleh International Consortium for Social Development (ICSD), Yogyakarta, 27-30 Juni 2012. Artikel ini pernah dipublikasikan dalam Quantum: Jurnal

(2)

merasa teralienasi, hidup tanpa tujuan, hampa makna, dan kering secara spiritual.

Pada intinya globalisasi dan modernisasi menyebabkan, atau paling tidak memicu,

terganggunya kondisi mental, emosional, dan tingkah laku penduduk bumi ini.

Isu kemiskinan dan lingkungan merupakan dua dari delapan target Millenium

Development Goals (MDGs) hingga 2015. Kemiskinan dan kerusakan lingkungan itu

sendiri memiliki hubungan sebab akibat (Cox, 1996; Tveitdal, 2002). Menurut salah

satu badan dunia yang menangani kesehatan, WHO (2001), kemiskinan juga menjadi

faktor penyebab gangguan mental dan tingkah laku, di samping determinan lain

seperti jenis kelamin, usia, bencana, penyakit berat, keluarga, dan lingkungan sosial.

Kesehatan mental dan kemiskinan digambarkan WHO memiliki hubungan yang

kompleks dan multidimensional bagai lingkaran setan. Keterkaitan erat antara ketiga

isu ini secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut dalam Gambar 1 di

bawah ini.

Gambar 1 Hubungan sebab-akibat antara kesehatan mental, kemiskinan, dan lingkungan

B. Kesehatan Mental dan MDGs

Isu kesehatan mental tidak secara eksplisit termasuk dalam salah satu tujuan

ataupun target pembangunan Milenium. Isu ini tampak tenggelam di bawah

bayang-bayang dominasi kesehatan secara umum. Padahal sebagian besar MDGs memiliki

keterkaitan tertentu dengan kesehatan mental, baik selaku sebab maupun akibat,

yakni kemiskinan dan kelaparan, gender dan pemberdayaan perempuan, kematian

balita, kesehatan ibu, penyakit menular, dan kelestarian lingkungan.

Hubungan tersebut didasarkan atas asumsi WHO (2001) yang memandang

bahwa kesehatan mental punya sejumlah faktor determinan, yaitu kemiskinan,

gender, usia, konflik sosial, bencana alam, penyakit berat, keluarga, dan lingkungan

sosial. Gambar 2 di bawah ini menunjukkan delapan MDGs yang memiliki hubungan

multidimensional dengan kesehatan mental beserta faktor penyebabnya. Item dengan

cetak miring dan tebal adalah yang memiliki hubungan tertentu dengan kesehatan

mental.

Gangguan Masalah Mental-Emosional

Kemiskinan

(3)

Gambar 2 Hubungan antara MDGs dan kesehatan mental beserta faktor determinannya

Seperti tampak pada Gambar 2, kemiskinan menjadi salah satu MDGs

sebagaimana juga menjadi faktor determinan kesehatan mental. Kesehatan mental

adalah satu wilayah dalam kesehatan secara umum karena kesehatan seperti

didefinisikan UU Kesehatan dan WHO, tidak hanya mencakup kesehatan fisik, tetapi

juga mental. Penjelasan Anandita (17 November 2011) tentang pembiayaan

kesehatan dan pengaruhnya terhadap pencapaian MDGs dapat mengilustrasikan

kaitan erat antara kemiskinan dan kesehatan. Dia mengutip ADB yang melaporkan

ada 78 juta orang di dunia terseret ke bawah garis kemiskinan karena harus

membayar biaya kesehatan secara tunai. WHO, seperti dikutip Anandita, bahkan

memperkirakan 5% penduduk di sejumlah negara akan jatuh menjadi miskin setiap

tahunnya karena masalah kesehatan.

Singkatnya, dari uraian tersebut Anandita menyimpulkan bahwa masalah

kesehatan dapat menjadi faktor pemicu kemiskinan, dan kemiskinan dapat membuat

orang lebih rentan terhadap masalah kesehatan, dan seterusnya. Anandita memang

tidak menyinggung kesehatan mental secara khusus, namun dalam lingkaran setan ini

problem kesehatan mental pasti kental turut mewarnai. Betapa tidak, problem

keuangan yang melilit seseorang, sebagai contoh, dapat membuat mentalnya

terganggu. Belum lagi bila jatuh sakit, sedih dan stres karena ketiadaan biaya

pengobatan akan membuat sakitnya tambah parah.

C. Penanganan Masalah Kesehatan Mental

Sebelum menjelaskan kesehatan mental dalam pencapaian MDGs lebih jauh, di

sini perlu dijelaskan terlebih dahulu kondisi penanganan isu ini di Indonesia. Kondisi

(4)

yang dilaporkan WHO (2001) bahwa beban jumlah penderita dengan beban anggaran

sangat tidak berimbang. Sebagai gambaran, menurut WHO dari 450 juta penderita,

hanya sebagian kecil saja yang memperoleh perawatan, meskipun dalam bentuk

sangat dasar sekalipun. Di negara berkembang bahkan sebagain besar penderita

gangguan mental-perilaku, semacam depresi, demensia, skizofrenia, dan

ketergantungan obat, tidak tertangani. Lebih jauh dijelaskan, jumlah penderita

gangguan mental-perilaku sebesar 12% dari keseluruhan jenis penyakit, namun

anggaran buat penanganannya hanya 1% saja dari total anggaran belanja kesehatan.

Ini menunjukkan jumlah penderita dengan beban anggaran sangat tidak proporsional.

Itu terjadi karena Indonesia tidak memiliki kebijakan spesifik untuk penanganan

kesehatan mental. Sebenarnya pijakan hukum tentang kesehatan mental pernah lama

dibuat, yaitu UU No. 3/1966 tentang Kesehatan Mental. Namun UU ini tidak cukup

memadai untuk dijadikan payung hukum penanganan kesehatan mental yang memiliki

wilayah sangat luas dan kompleks. Selain itu, UU ini masih sangat bernuansa medis

yang dapat berimplikasi pada medikalisasi penanganan kesehatan mental.

Menarik untuk disinggung bahwa orang dengan gangguan mental serius

dimasukkan dalam nomenklatur penyandang cacat mental menurut UU Penyandang

Cacat No. 4/1997. UU ini praktis menjadi landasan pijak operasional Kementerian

Sosial (Kemensos) yang mengategorikan orang-orang dengan masalah mental ke

dalam kelompok penyandang cacat. Pasal 1 mendefinisikan kelompok ini sebagai

“setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat

mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan

secara selayaknya.” Mereka terdiri dari penyandang cacat fisik, cacat mental, dan

cacat fisik dan mental. Semuanya masuk dalam satu kategori atau nomenklatur

penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dengan sebutan orang dengan

kecacatan (ODK). ODK hanya memasukkan kelompok penderita retardasi mental dan

eks-psikotik.

Penanganan bagi orang yang mengalami gangguan mental-emosional dilakukan

oleh dua institusi utama: 1) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan pendekatan

medis untuk kelompok target penderita masalah mental-emosional berat; dan 2)

Kemensos yang menggunakan pendekatan pekerjaan sosial dengan penekanan pada

aspek psikososial bagi penderita retardasi mental dan eks-psikotik. Kalau demikian

halnya, sejumlah gangguan mental-emosional lain seperti depresi, neurosis, frustrasi,

stres, fobi, kepanikan berlebih, trauma, atau masalah spiritual-religius yang umum

dialami masyarakat Indonesia tidak termasuk dalam skema penanganan oleh

pemerintah secara serius. Gangguan-gangguan seperti itu merupakan fenomena

(5)

kesehatan buruk, perumahan tidak layak, penelantaran, penyakit kronis yang

mematikan, bencana alam, konflik sosial, kekerasan, penindasan, dan seterusnya.

Padahal faktor-faktor ini sesungguhnya masih menjadi persoalan besar bangsa ini.

Kemenkes memakai landasan pijak UU Kesehatan No. 36/2009. Pendekatan

medikal dan model institusional (hospital-based care) cukup dominan dilakukan oleh

kementerian ini. Profesi utama yang terlibat adalah dokter, perawat, dan psikiater. Di

beberapa rumah sakit jiwa milik pemerintah ada juga pekerja sosial, seperti di RS dr.

H. Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor ada lima pekerja sosial. Nomenklatur yang muncul

dalam Riskesdas adalah penderita gangguan mental-emosional dan gangguan jiwa

berat. Persentase keduanya di tahun 2007 hampir 12% dan anggarannya disatukan

dengan penyakit fisik yang lebih menjadi fokus utama Kemenkes dan dengan

persentase yang jauh lebih besar. Oleh karenanya, anggaran untuk kesehatan mental

itu sendiri menjadi tidak proporsional dan jauh lebih kecil dibanding untuk kesehatan

fisik.

Kemensos menggunakan UU Penyandang Cacat sebagai dasar. Penanganannya

lebih banyak berbasis institusional dengan pendekatan pekerjaan sosial melalui

intervensi psikososial. Sumber daya manusia yang terlibat juga terutama terdiri dari

pekerja sosial, perawat, dan psikolog. Ketika menggunakan metode manajemen

kasus, beberapa profesi lain seperti dokter, psikiater, dan ahli agama juga dilibatkan

dalam tim multidisiplin.

Dalam UU, usaha-usaha kesejahteraan sosial tidak saja menjadi tanggung jawab

pemerintah, tetapi juga masyarakat. Dalam hal kesehatan mental, masyarakat telah

banyak melakukan upaya penanganan melalui yayasan atau lembaga sosial baik

dengan model institusional maupun berbasis masyarakat. Pelayanannya lebih inklusif

karena mencakup segala jenis penderita mental, baik yang berat maupun ringan, dan

melibatkan banyak profesi, termasuk di antaranya pekerja sosial. Pendekatan mereka

lebih beragam dan inovatif. Sebagian ada yang menggunakan metode alternatif, yakni

dengan memanfaatkan tradisi atau praktek keagamaan dan spiritualitas. Sehingga,

lebih banyak penderita atau keluarga yang memiliki penderita memanfaatkan

pelayanan oleh masyarakat ini ketimbang dari pemerintah dengan berbagai alasan,

seperti masalah biaya, malu, takut terstigma negatif, tidak tercakup dalam kelompok

target, dan kekhawatiran tidak dihargainya pandangan atau keyakinan mereka.

D. Pendekatan Pekerjaan Sosial dalam Penanganan Kesehatan Mental

Seperti dijelaskan di atas, penanganan kesehatan mental di Indonesia masih

bersifat reduksionistik. Padahal, landasan legal-formal telah mengadopsi pendekatan

(6)

sekian lama menjadi prioritas melalui perencanaan dan penganggaran hingga saat ini,

tetapi juga aspek sosial, intelektual, dan spiritual. Di samping alasan legal,

masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang komunal, bukan individualis,

dimana hampir semua aktivitas dan upaya penyelesaian masalah selalu melibatkan

orang-orang sekitar.

Selain itu, Indonesia juga memiliki kekayaan tradisi keagamaan dan praktik

spiritual yang secara teoretis merupakan kekuatan potensial untuk mengatasi

gangguan mental, emosional, dan perilaku. Sebagai gambaran, Nelson (2009)

berpendapat masyarakat tradisional Muslim pada umumnya meyakini gangguan

kesehatan mental sebagai akibat dari masalah spiritual atau lemahnya iman si

penderita, sehingga mereka lebih memilih datang ke pemimpin spiritual atau imam

mereka. Di samping itu, mereka juga punya pandangan negatif terhadap psikologi dan

sistem kesehatan mental karena stigma negatif yang akan dilekatkan ke penderita

gangguan mental dan juga kekhawatiran kalau pandangan religius mereka tidak akan

dihargai.

Bagian berikut akan menjelaskan pendekatan pekerjaan sosial yang telah sekian

lama terabaikan dalam arus utama penanganan kesehatan mental di negeri ini.

Padahal dalam sejarah, penanganan kesehatan mental sangat erat berkaitan dengan

profesi yang satu ini. Penanganan kesehatan mental merupakan salah satu bidang

dalam upaya pembangunan kesejahteraan sosial. Salah satu pilar penting

penyelenggaraannya adalah profesi pekerjaan sosial.

Hubungan antara pekerjaan sosial dan kesehatan mental memiliki latar belakang

sejarah yang panjang lebih dari seabad atau hampir sama dengan kemunculan disiplin

pekerjaan sosial itu sendiri di masyarakat Barat, yakni sejak akhir abad ke-19.

Menurut Heinonen dan Metteri (2005), aktivitas pekerjaan sosial pada masa itu telah

terjalin-kelindan dengan praktik medis dan psikiatri, khususnya yang menawarkan

pertolongan dan konseling bagi pasien rumah sakit tidak mampu. Baik dalam bidang

kesehatan (fisik) maupun kesehatan mental, pekerja sosial berupaya memromosikan

kesehatan, kesejahteraan (well-being), pertumbuhan, dan perubahan baik di tingkat

individu, keluarga, kelompok, maupun komunitas.

Meskipun sama-sama menangani masalah kesehatan mental, keduanya berbeda

dari sisi pendekatan atau model. Menurut Pritchard (2006), perbedaan inilah yang

menyebabkan hubungan panjang itu selalu diwarnai kontroversi antara dua kubu yang

berbeda. Dua kubu tersebut yakni model atau pendekatan medikal dan psikiatri

dengan pendekatan pekerjaan sosial atau, menurut Zastrow (2004), model

(7)

Kubu pertama menjelaskan kondisi terganggunya tingkah laku (atau tingkah

laku yang mengganggu) sebagai akibat dari gangguan fisik tertentu (Pritchard, 2006).

Model medikal memandang masalah tersebut sebagai penyakit mental, sebagaimana

mereka menyebut penyakit fisik. Penyebabnya bisa karena keturunan, kekacauan

metabolik, penyakit menular, konflik batin, penggunaan bawah sadar sebagai

mekanisme bertahan, pengalam traumatik waktu anak-anak, dan lain-lain (Zastrow,

2004).

Model kedua, pendekatan pekerjaan sosial, dengan akar ilmu-ilmu sosial dan

behavioral menawarkan perspektif yang berbeda tentang mereka yang terstigma

sebagai orang aneh, tidak normal, atau “outsiders” (Pritchard, 2006). Model ini

merupakan bentuk kritik terhadap pendekatan medikal. Kritik ini pertama kali muncul

dekade 1950-an oleh Thomas Szasz, yang menganggap penyakit mental hanyalah

mitos. Teorinya menekankan pada proses interaksi sosial sehari-hari dan pengaruh

pemberian label. Menurut Szasz, seperti dikutip Zastrow (2004), implikasi menyebut

penyakit mental adalah berarti ada penyakit dalam pikiran atau jiwa seseorang, dan

itu sangat tidak tepat.

Selaras dengan pendekatan pekerjaan sosial terhadap kesehatan mental yang

dimaksud Pritchard (2006) dan model interaksional menurut Thomas Szasz,

Kirst-Ashman (2010) menyarankan para pekerja sosial untuk berpikir kritis terhadap

panduan diagnostik oleh APA yang sangat bernuansa medikal. Ada dua hal yang

menjadi alasan Kirst-Ashman untuk bersikap kritis. Pertama, penekanan panduan

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) pada patologi atau

kelemahan individu berarti mengabaikan kekuatan mereka. Pengategorian tersebut

juga kurang memperhatikan pentingnya lingkungan bagi individu. Kedua, masalah

pemberian label (labeling) menurut kriteria tertentu, padahal belum tentu sama atau

dipandang berbeda menurut standar yang lain.

Model interaksional yang diusung Thomas Szaz atau kritisisme Kirst-Ashman

terhadap model medikal merupakan ciri khas pekerjaan sosial yang sangat

menekankan sisi kekuatan atau potensi si penderita ketimbang sisi patologis atau

kelemahannya. Ciri khas lain adalah bahwa praktik pekerjaan sosial tidak saja fokus

pada si penderita masalah mental, namun yang tidak kalah penting adalah lingkungan

sosialnya. Model semacam ini dikenal sebagai individu dalam lingkungan atau

person-in-environment (PIE).

E. Signifikansi Kesehatan Mental dalam Pencapaian MDGs

Selanjutnya, di sini patut dijelaskan sejumlah alasan mengapa isu kesehatan

(8)

Deklarasi Meilenium. Alasan tersebut di antaranya adalah tingginya jumlah penderita

gangguan mental-emosional di dunia dan juga di Indonesia, alasan yuridis formal, dan

alasan konseptual.

1. Fakta Penderita Masalah Kesehatan Mental

Di awal Milenium ke-21 ini, WHO (2001) melaporkan ada sekitar 450 juta orang

di dunia menderita gangguan mental dan tingkah laku. Lebih detail WHO

memperkirakan tahun 2008 dan 2010 angka penderita depresi berturut-turut berkisar

154 juta dan 151 juta jiwa; penderita skizofrenia 25 juta dan 26 juta; orang dengan

pengaruh alkohol 91 juta dan 125 juta; orang terpengaruh penyalahgunaan NAPZA

ada 15 juta (2008); penderita epilepsi 50 juta dan 40 juta; penderita alzheimer dan

gangguan demensia lain 24 juta (2008 dan 2010); dan orang meninggal bunuh diri

ada 877 ribu dan 844 ribu setiap tahunnya (WHO & Wonca, 2008; WHO, 2010).

Gangguan mental, emosional, dan perilaku juga banyak dijumpai di Indonesia,

dari yang ringan sampai berat. Fobi air laut, kecemasan berlebih, depresi, stres,

panik, dan trauma, misalnya, adalah fenomena umum setelah tsunami atau gempa

yang kerap menimpa bangsa ini. Kondisi sosial-ekonomi Indonesia yang semakin sulit,

seperti pengangguran, kemiskinan, tindak kekerasan, ketelantaran, keterasingan, dan

ketertindasan, juga menjadi akar penyebab utama timbulnya gangguan mental di

masyarakat. Bahkan penderita HIV/AIDS dan korban penyalahgunaan NAPZA pun

banyak yang mengalami gangguan mental-emosional semacam perasaan terasing

atau terkucil, terbuang, terdiskriminasi, kekosongan atau kehampaan, tidak berguna,

atau perasaan bersalah.

Jumlah penderita gangguan mental di Indonesia tidak bisa dihitung secara pasti

karena masalah mental dari stres ringan hingga yang paling berat umum dialami

orang. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang dilakukan Kementerian

Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan persentase penderita gangguan

mental-emosional sebesar 0,46% dan gangguan jiwa berat sebesar 11,6%. Data persentase

penderita gangguan mental tampak tidak terlalu signifikan, namun mengingat

fenomena gunung es jumlah penderita yang sebenarnya jauh lebih besar. Ini bisa

dipahami karena kebanyakan penderita atau keluarga yang anggotanya terkena

gangguan cenderung menutupi-nutupi karena malu dan sering kali menjadi sasaran

stigma atau diskriminasi. Para penderita juga kadang mengabaikan gangguan

mental-emosional yang dialami, terutama gangguan ringan, karena menganggapnya masih

lumrah dan tidak berbahaya.

Di samping itu, apabila dikaitkan dengan laporan WHO (2001) yang

(9)

disebutkan di atas dan lingkaran setan kemiskinan-kesehatan mental, realitas dan

data yang ada tampaknya bisa menjadi petunjuk tingginya jumlah penderita

gangguan tersebut. Sebagai contoh, faktor konflik sosial dan bencana alam di

Indonesia menjadi berita sehari-hari di media massa. Untuk contoh ekstrim, tsunami

26 Desember 2004 yang melanda Aceh telah merenggut nyawa sekitar 250 ribu jiwa.

Kondisi mental korban selamat menjadi terganggu karena mengalami ketakutan akan

kematian, kehilangan orang-orang tercinta, kehilangan atau kerusakan harta-benda,

kesulitan secara fisik (disabilitas), rusak atau bahkan hilangnya pranata sosial, dan

kesulitan ekonomi. Jumlah mereka yang mental, emosional, dan perilakunya

terganggu seperti ini tentu jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang jumlah korban

meninggal.

2. Landasan Hukum Penanganan Mental di Indonesia

Setiap upaya pelayanan untuk penderita masalah mental memiliki tujuan utama

mewujudkan kondisi sejahtera, bahagia, sehat, dan sentosa. Istilah bahasa Inggris

yang dapat mengambarkan kondisi tersebut adalah well-being, wellness, social

welfare, atau health. Tujuan lain dari pelayanan semacam itu adalah mewuujudkan

kemandirian, ketahanan, atau perkembangan. Tujuan-tujuan tersebut dijamin negara

melalui seperangkat kebijakan dan program, khususnya Undang-Undang (UU) tentang

kesejahteraan sosial dan tentang kesehatan.

UU kesejahteraan sosial, baik UU lama No. 6/1974 dan penggantinya No.

11/2009, pada prinsipnya mendefinisikan istilah kesejahteraan sosial (social welfare)

sebagai suatu kondisi dimana kebutuhan fisik, spiritual, dan sosial terpenuhi. UU No.

4/1997 tentang Penyandang Cacat, yang di dalamnya memasukkan penderita

gangguan mental-emosional berat ke dalam penyandang cacat mental, juga merujuk

ke kesejahteraan sosial menurut UU Kessos 1974 terkait tujuan penanganannya.

Aspek spiritual secara eksplisit disebutkan bersamaan dengan aspek fisik dan sosial,

namun tidak menyebut aspek mental atau psikologis. Akan tetapi, penjelasan UU ini

dan peraturan-peraturan terkait masih melulu berputar-putar pada biopsikososial,

tanpa penjelasan terang-benderang apa yang dimaksud dengan aspek spiritual itu.

Dalam sejumlah penjelasan dan peraturan, aspek spiritual dalam UU kesejahteraan

sosial tampak disalahpahami. Aspek ini sering disilihgantikan dengan aspek mental

dan/atau psikologis. Terlepas dari ketidakjelasan ini, pada prinsipnya kesejahteraan

sosial yang dimaksud UU ini merujuk ke suatu kondisi yang memperhatikan

aspek-aspek yang agak lebih menyeluruh.

Begitu juga UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menjadi landasan

(10)

sebagai “keadaaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang

memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.”

Dalam salah satu konsideran UU ini, kesehatan merupakan salah satu unsur

kesejahteraan. WHO pun telah memasukkan aspek spiritual bersama aspek-aspek

penting manusia lain sejak 1946. Menurut badan PBB ini, kesehatan adalah “sebuah

kondisi optimalnya kesehatan jasmani, intelektual, emosional, sosial, dan spiritual dan

tidak hanya hilangnya penyakit atau kelemahan” (Meier et al., 2005, p. 1). Jelas

kiranya bahwa definisi kesehatan lebih komplit dengan memasukkan aspek mental,

intelektual, dan emosional ketimbang definisi kesejahteraan sosial di atas. Ironisnya,

impelementasi pelayanan kesehatan mental didominasi model biomedikal dan/atau

psikososial yang lebih menekankan aspek fisik, mental, dan sosial.

3. Pentingnya Kesehatan Mental dalam Kesehatan secara Umum

Meskipun kesehatan mental tidak secara spesifik masuk dalam tujuan

pembangunan Milenium, terdapat sejumlah tujuan yang berhubungan dengan

kesehatan: mengurangi kematian anak; meningkatkan kesehatan ibu; dan memerangi

HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lain. Terkait pandangan para ahli bahwa

ragam dimensi dalam diri manusia saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu

sama lain, di sini dapat dikatakan kesehatan jasmani seseorang akan mempengaruhi

kondisi mentalnya. Begitupun sebaliknya, masalah kejiwaan seseorang mungkin dapat

memperburuk kondisi fisiknya. Dengan kata lain, problem kesehatan fisik dan mental

saling berjalin-kelindan sebagaimana disimpulkan WHO dan Wonca (2008). Lihat

Gambar 3 berikut ini:

Gambar 3 Hubungan sebab-akibat antara kesehatan mental dan kesehatan fisik

Untuk memahami lebih jauh hubungan tersebut, konsep neurosis yang dibuat

pakar psikologi eksistensialis, Viktor E. Frankl (2004), mungkin dapat membantu

secara konseptual. Seperti tampak pada Tabel 1 di bawah, baik mental-psikologis

maupun fisik dapat bertindak sebagai penyebab atau genesis (sumbu datar etiologi)

maupun selaku akibat atau gejala (sumbu vertikal simptomotologi). Tatkala kondisi

kejiwaan (psikogenik), seperti stres dan kecemasan, menyebabkan atau memicu

Kesehatan

Mental

(11)

penyakit fisik (feno-somatik), seperti hipertensi atau diabetes, namanya Neurosis

Somatis atau umumnya disebut Psikosomatis. Kasus lain ketika kejadiannya

sebaliknya, seseorang yang menderita penyakit kronis dapat menjadi penyebab atau

memicu (somatogenik) masalah mental semacam frustrasi, ketakutan akan kematian,

putus asa, dan sejenisnya (feno-psikologis). Kasus yang kedua ini dinamakan Psikosis.

Tabel 1 Bentuk-bentuk Neurosis dilihat dari asal-usul dan gejalanya

Simptomotologi

Feno-psikologis Feno-somatik

E

ti

o

lo

g

i

Somatogenik Psikosis Penyakit fisik “biasa”

Psikogenik Psikoneurosis Neurosis somatis

Sumber: Frankl (2004, p. 44)

Selaras dengan alasan-alasan teoretis dan faktual yang dikemukakan tadi, WHO

(2001) telah mengusulkan agar pelayanan kesehatan mental diintegrasikan dengan

penanganan kesehatan secara umum, di samping alasan beban terlalu berat untuk

menangani tingginya jumlah dan kompleksnya masalah gangguan mental (p. 9). Oleh

karena itu, isu kesehatan mental tidak selayaknya dipinggirkan dalam pencapaian

MDGs, khususnya terkait tujuan-tujuan yang berhubungan dengan bidang kesehatan.

Hal ini tidak saja karena tingginya jumlah penderita gangguan mental, akan tetapi

juga eratnya kaitan antara kesehatan mental dengam kemiskinan dan juga kelestarian

lingkungan, yang keduanya termasuk dalam tujuan MDGs pula. Seperti telah

dijelaskan, kemiskinan dan lingkungan adalah determinan bagi kondisi mental dan,

sampai tahap tertentu, kesehatan mental juga dapat menjadi faktor pengaruh atau

menyebabkan kemiskinan dan perusakan lingkungan.

F. Kesimpulan

Pada intinya, uraian di atas secara keseluruhan hendak meyakinkan betapa

penting kedudukan isu kesehatan mental dalam mewujudkan MDGs yang target

waktunya tinggal tersisa tiga tahun saja hingga 2015. Dengan begitu, di sini tidak ada

pretensi untuk memastikan atau menjanjikan bahwa apabila isu kesehatan mental

beserta pendekatan pekerjaan sosialnya yang non-reduksionistik turut dipromosikan,

maka kemudian tujuan-tujuan pembangunan Milenium bidang kesehatan akan dapat

terwujud.

Sebaliknya, MDGs tahun 2015 yang penuh angka-angka itu tidak harus menjadi

patokan dengan menyadari keterbatasan kemampuan pemerintah Indonesia.

(12)

tampaknya belum menunjukkan capaian yang memuaskan. Oleh karena itu,

pandangan atau masukan dalam artikel ini harus diletakkan dalam kerangka waktu

panjang ke depan, sementara upaya-upaya mewujudkan MDGs yang lewat menjadi

pelajaran berharga bagi bangsa ini. Dengan kata lain, ketimbang terpaku pada MDGs

yang disepakati bersama 188 negara lain di dunia, Indonesia sebaiknya membuat

perencanaan dan program yang melampaui (go beyond) batas waktu MDGs pada

2015 nanti.

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan paling tidak ada tiga tantangan

atau penghalang besar (barrier) untuk memastikan bahwa isu kesehatan mental dan

pendekatan pekerjaan sosial mesti dipertimbangkan untuk mendukung efektivitas

pencapaian MDGs. Tiga barrier tersebut kurang-lebih dapat diilustrasikan dalam

Gambar 4.

Gambar 4 Penghalang besar bagi isu kesehatan mental, pendekatan pekerjaan sosial, dan perspektif holistik dalam pencapaian MDGs

Pertama, kesehatan mental tidak termasuk isu utama dalam Dekalarasi Milenium

yang disepakati 189 negara. Padahal WHO dan, terutama, UNCRPD (Konvensi PBB

tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas) telah menjadikan isu ini sebagai arus

utama. Kedua, seandainya kesehatan mental diperhatikan dalam pencapaian MDGs

untuk sisa tiga tahun terakhir, pekerjaan sosial masih menjadi profesi yang dipandang

sebelah mata dalam penanganan gangguan mental. Padahal pengetahuan dan

keahlian profesi ini tidak kalah penting dibanding profesi-profesi lain. Ini terjadi

Mainstream kesehatan fisik Model biomedikal Fokus psikososial

MDGs in 2015 Pendekatan

Holistik

Pendekatan Pekerjaan Sosial

Kesehatan Mental

Barrier 3

Barrier 2

Barrier 1

Marginalisasi level 3

Marginalisasi level 2

(13)

karena model dominan yang dipakai dalam penanganan kesehatan mental adalah

biomedikal. Terakhir, arus utama pekerjaan sosial yang dipraktikkan di Indonesia

masih berkutat pada pendekatan reduksionistik psikososial yang agak menepikan

aspek-aspek penting lain, seperti intelektual, spiritual, dan agama. Padahal, secara

yuridis formal pandangan holistik terhadap manusia seutuhnya telah diadopsi, yang

seharusnya jadi landasan pijak utama dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial.

Masing-masing barrier, seperti tampak pada gambar 4 di atas, juga dapat

dikatakan merepresentasikan tingkatan marginalisasi isu atau pendekatan. Sebagai

contoh penjelasan, untuk memasukkan pendekatan pekerjaan sosial pada lingkup

kesehatan mental ke dalam upaya-upaya pencapaian MDGs bidang kesehatan,

pendekatan ini harus menghadapi dua penghalang besar, yaitu barrier 2 (model

dominan biomedikal dalam kesehatan mental) dan barrier 1 (arus utama kesehatan

fisik dalam MDGs). Artinya, marginalisasi terhadap pendekatan pekerjaan sosial dalam

MDGs ada di tingkat 2. Begitupun misalnya untuk pendekatan holistik, akan ada tiga

penghalang besar, yakni barrier 1-3, apabila hendak turut-serta dipromosikan ke

dalam upaya pencapaian MDGs.

G. Rekomendasi

Dalam artikel ini diajukan tiga rekomendasi sebagai berikut. Pertama,

Indonesia mempunyai angka penderita gangguan mental yang tinggi yang disebabkan

atau dipicu oleh serangkaian faktor penyebab yang juga masih menjadi persoalan

besar di negara ini, seperti kemiskinan, bencana, konflik, kekerasan, dan kecelakaan.

Oleh karena itu, kebijakan khusus tentang penanganan kesehatan mental mendesak

untuk dibuat. Atau kalau tidak, alternatif lainnya adalah dengan membuat aturan

penjelas di bawah UU Kesehatan, yang baru beberapa tahun disahkan, yang mampu

mengintegrasikan kesehatan mental ke dalam penanganan kesehatan secara umum.

Kedua, di sini sangat direkomendasikan untuk mengembangkan model

penanganan kesehatan mental dengan menggunakan pendekatan pekerjaan sosial

yang sensitif terhadap kultur lokal, termasuk di dalamnya spiritualitas dan agama.

Pendekatan semacam ini dapat dibangun melalui penelitian dengan mengeksplorasi

konteks dan kearifan lokal masyarakat Indonesia. Grounded theory tampaknya bisa

menjadi strategi menguntungkan karena, menurut Sherman dan Reid (1994), metode

ini cukup menjanjikan untuk membangun teori dan pengetahuan pekerjaan sosial

bermuatan kultur lokal. Oleh Shaw dan Gould (2001), grounded theory dikatakan

dapat menjadi stimulus bagi penelitian yang dilakukan secara bersamaan dengan

praktik pekerjaan sosial. Bahkan Denzin dan Lincoln (1994) menganggapnya sebagai

(14)

grounded theory akan lebih baik dipakai dalam penelitian kualitatif, ketimbang tradisi

kuantitatif, bersama-sama dengan paradigma konstruktivis terkait eksplorasi terhadap

pemahaman (verstehen) dan pengalaman yang bersifat subjektif berdasarkan sudut

pandang pelaku, baik praktisi maupun pemanfaat layanan.

Ketiga, upaya-upaya dalam pencapaian MDGs hingga tahun 2015, khususnya

tiga tujuan bidang kesehatan, akan lebih baik apabila mengadopsi perspektif holistik

yang memandang totalitas manusia secara utuh, tidak terbagi-bagi. Berkaitan dengan

isu yang diangkat dalam artikel ini, di sini dapat diklaim bahwa efektivitas

program-program kesehatan jasmani, atau kesehatan mental, tidak akan optimal apabila aspek

sosial dan spiritual dipandang sebagai perkara yang remeh-temeh. Begitupun

sebaliknya, penekanan terhadap aspek sosial dan spiritual dalam penanganan problem

gangguan mental bukan berarti aspek-aspek lain menjadi kurang relevan. [ ]

Referensi

Anandita, W. (November 17, 2011). Pembiayaan Kesehatan; Pengaruhnya dalam Pencapaian MDGs. In www.mdgsindonesia.org (diakses 30 Maret 2012)

Cox, D. (1996). Focusing on Poverty: Enhancing Social World’s Developmental Relevance Through Poverty Alleviation Programs. The Journal of Applied Social Sciences, 21 (1), Fall/Winter, 27-36.

Denzin, N. & Lincoln, Y. (1994). Introduction: Entering the Field of Qualitative Research. Dalam N. Denzin & Y. Lincoln (Eds.), Handbook of Qualitative Research (pp. 1-17). California: Sage Publications, Inc.

Frankl, V. E. (2004). On the Theory and Therapy of Mental Disorders: An Introduction to Logotherapy and Existential Analysis. 8th Edition. Terj. James M. DuBois. New York dan Hove: Bruner-Routledge.

Heinonen T. & Metteri, A. (2005). Social Work in Health and Mental Health: Issues, Developments, and Actions. Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc.

Kirst-Ashman, K. K. (2010). Introduction to Social Work & Social Welfare: Critical Thinking Perspective. 3rd Edition. Belmont, CA: Brooks/Cole Cengage Learning. Meier, A., O’Connor, T., & VanKatwyk, P. L. (2005). Introduction. Dalam A. Meier, T.

S. O’Connor, & P. L. VanKatwyk (Eds.). Spirituality & Health: Multidisciplinary Explorations (pp. 1-8). Ontario: Wilfrid Laurier University Press.

Nelson, J. M. (2009). Psychology, Religion, and Spirituality. Valparaiso, USA: Springer Science + Business Media, LLC.

Pritchard C. (2006). Mental Health Social Work: Evidence-Based Practice. London & New York: Routledge.

Shaw, I. & Gould, N. (2001). A Review of Qualitative Research in Social Work. Dalam Shaw dan N. Gould (Eds.), Qualitative Research in Social Work (pp. 32-46).

(15)

Tveitdal, S. (2002). Special Issue for the Johannesburg Summit. Environment and Poverty Times. No. 1 First Issue, August 2002. Diakses dari http://www.povertymap.net/ publications/povertytimes/01/

Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa. Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.

Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

WHO (2001). The World Health Report 2001. Mental Health: New Understanding, New Hope. Geneva: WHO Press.

WHO & Wonca (2008). Integrating Mental Health into Primary Health Care: A Global Perspective. Singapore: WHO Press.

WHO (2010). Mental Health and Development: Targeting People with Mental Health Conditions as a Vulnerable Group. Geneva: WHO Press.

Gambar

Gambar 1 Hubungan sebab-akibat antara kesehatan mental, kemiskinan, dan lingkungan
Gambar 2 Hubungan antara MDGs dan kesehatan mental beserta faktor determinannya
Gambar 3 berikut ini:
Tabel 1 Bentuk-bentuk Neurosis dilihat dari asal-usul dan gejalanya
+2

Referensi

Dokumen terkait

Traktor Landini Vision 105 pri vožnji navzgor z bremenom 2,22 m3 ob uporabi kolesnih verig in tlaku v pnevmatikah 2 bara.. Traktor je opravil 139,5 m poti, pri tem je

Klasifikasi tingkat status sosial ekonomi menurut Suhardi p (2009, hlm. Dapat dilihat hasil penggolongan pendapatan penduduk tersebut dapat menunjukkan pemenuhan kebutuhan

Magister Ilmu Hukum Universitas Bhayangkara Raya dan Pembimbing Dua yang penuh perhatian dan ketulusan memberikan koreksi teknis dalam penulisan tesis

Pada penerapan tabu search , oleh Hertz dan De Werra (1987) untuk pewarnaan graf yang tepat, setiap candidate solution dibangkitkan dengan cara memilih

Beberapa senyawa kompleks dari ion logam Zn(II), Cd(II) dan Hg(II) dengan ligan monodentat dari unsur golongan 15, terutama nitrogen, dan Hg(II) dengan ligan

Oven gelombang mikro menghasilkan kenaikan suhu dalam kayu pinus yang lebih cepat dengan profil kurva suhu bagian dalam lebih tinggi dibanding bagian luarnya..

1) Pengembangan Kapasitas (X1) terhadap Retensi Karyawan (Y) adalah berpengaruh secara signifikan sebesar 57,1% pada PT. Istana Kebayoran Raya Motor. Dimana jika

Tabel analisis variasi (ANAVAR) untuk model regresi parabola dapat dibuat seperti pada model regresi garis lurus. Dengan bantuan SAS. Kita sekarang perlu menentukan