• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRITIK TESIS FRANCIS FUKUYAMA ATAS KEMENANGAN KAPITASLISME DAN DEMOKRASI LIBERAL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KRITIK TESIS FRANCIS FUKUYAMA ATAS KEMENANGAN KAPITASLISME DAN DEMOKRASI LIBERAL."

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

KRITIK TESIS FRANCIS FUKUYAMA ATAS KEMENANGAN

KAPITALISME DAN DEMOKRASI LIBERAL

Skripsi

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan

Sarjana Strata Satu (S-1)

Ilmu Filsafat Politik Islam

Oleh: PIPI SAPITRI

E74212070

Program Studi Filsafat Politik Islam

Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat

(2)

KRITIK TESIS FRANCIS FUKUYAMA ATAS KEMENANGAN

KAPITALISME DAN DEMOKRASI LIBERAL

Skripsi

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan

Sarjana Strata Satu (S-1)

Ilmu Filsafat Politik Islam

Oleh: PIPI SAPITRI

E74212070

Program Studi Filsafat Politik Islam

Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Dalam tulisan yang berjudul “ Kritik Tesis Francis Fukuyama Atas Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal” ini penulis mencoba untuk melihat relevansi tesis Fukuyama setelah hampir 27 tahun ia menuliskannya dalam sebuah jurnal yang berjudul “The End of History?”. Berakhirnya Perang Dingin yang membawa kejayaan bagi demokrasi liberal dan kapitalisme membuat semua negara terbawa arus hingar bingar maraknya demokratisasi berbagai negara di dunia dengan kehancuran rezim non-demokrasi. Tulisan ini juga tidak hanya membahas tentang bagaimana sejarah yang masih terus berlanjut pasca Perang Dingin tetapi juga melihat efek dan ketidaksempurnaan Demokrasi liberal dan Kapitalisme yang

dikatakan Fukuyama sebagai World’s Default System. Dengan menggunakan

metode Library Researchdan memanfaatkan semua sumber data baik dari buku,

jurnal, media online dan media sosial, penulis berupaya menyajikan bagaimana pergulatan sejarah masih terjadi pada hari ini dan bagaimana dominasi demokrasi dan kaptalisme liberal bukan merupakan bentuk akhir peradaban umat manusia.

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

MOTTO ... v

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Kegunaan Penelitian... 8

E. Kerangka Teori... 9

F. Telaah Pustaka ... 13

G. Metode Penelitian... 15

1. Jenis Penelitian ... 15

2. Sumber dan Jenis Data ... 18

H. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II DUNIA DAN POLARITAS A. Selayang Pandang Tentang Francis Fukuyama... 22

B. Landasan Filsafat Fukuyama... 23

C. Akhir Perang Dingin Sebagai Awal “DuniaBaru” ... 29

D. Dunia Unipolar ... 33

(9)

BAB III MENGGUGAT KEMAPANAN KAPITALISME DAN

DEMOKRASI LIBERAL

A. Kemunduran Kapitalisme... 46

B. Hutang Sang LingkaranSetan ... 54

C. Kemunduran Demokrasi?... 56

BAB IV ANALISIS A. The End Of History Hari ini ... 67

1. Iliberal Demokrasi dan Bangkitnya FahamPopulis... 72

B. Wajah Demokrasi Indonesia ... 77

C. Ideologi Masa Depan ... 84

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN ... 91

B. SARAN ... 91

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Akhir dasawarsa abad ke 20 muncul tulisan menarik yang diterbitkan The

National Interest mengenai prediksi pergolakan Negara-negara di Dunia pasca Perang Dingin yang ditulis oleh seorang ilmuwan politik sekaligus ekonom politik asal

Amerika Serikat Francis Fukuyama berjudul “The End of History?”. Dalam tesisnya Fukuyama dengan gambalang mengatakan bahwa berakhirnya Perang Dingin

menjadi titik poin akhir dari evolusi ideologi umat manusia dan universalisasi dari

demokrasi liberal sebagai bentuk akhir dari pemerintahan.1Amerika yang bisaa

dikatakan sebagai pemenang perang sejati yang pernah terjadi di muka bumi merasa

berkepentingan untuk mentukan arah Dunia selanjutnya paska Perang Dingin melalui

berbagai kebijakan luar negerinya. Jika kita kembali kepada era Perang Dingin

dimana pertarungan dua kekuatan besar Dunia yang direpresentasikan oleh Amerika

dan USSR lebih dititik beratkan sebagai pertarungan dalam tataran yang sangat sexy

yaitu Ideologi. Munculnya dua kekuatan besar paska Perang Dunia II dianggap

merupakan salah satu pemicu terjadinya rebut-rebutan kekuasaan dan pengaruh di

berbagai Negara sebagai bentuk pengakuan siapa yang paling berkuasa.Ideologi

1

Francis Fukuyama, The End of History?, The National Interest, Summer 1989, 1

(11)

2

dianggap menjadi tolak ukur yang menetukan keberhasilan dalam dan luar negeri

suatu Negara, dia merupakan hal krusial yang harus diputuskan secara hati-hati oleh

Negara manapun untuk mengamankan posisinya di tataran politik global.

Tidak ada dua nahkoda dalam satu kapal, setidaknya hal itu jugalah yang

terjadi dengan keadaan politik di Dunia. Munculya dua kekuatan besar yang sangat

berbeda satu sama lain dalam satu waktu akan senantiasa membuat

kekuatan-kekuatan tersebut menonjolkan dirinya baik dalam bidang politik, teknologi,

keamanan, maupun ekonomi, sehingga persaingan merupakan sesuatu yang tak

terelakkan.Dalam prakteknya Perang Dingin merupakan arena pertarungan yang

mumpuni dalam menguji kekuatan mana yang mampu bertahan berjalan beriringan

seusai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman yang semakin modern.

Munculnya suatu Negara adikuasa yang menjadi “leader” dan menjadi patokan

dalam hal ini adalah Amerika membuat masa-masa pasca Perang Dingin merupakan

pesta kemenangan yang selalu di rayakan dan berlangsung relatif lama dan bisa

dikatakan tidak ada hambatan berarti yang membuat pesta harus dihentikan. Selama

lebih kurang dua dasawarsa sejak 1989, kekuatan Amerika Serikat-lah yang

menentukan tatanan Internasional.Semua jalan bermuara ke Washington, sedangkan

pemikiran Amerika di bidang politik, ekonomi, dan kebijakan negeri menjadi titik

tolak dari aksi global. Washington adalah actor terkuat sejagat, menjadi penyeimbang

dalam Eropa-Asia Timur, berperan krusial di Timur Tengah serta Asia Tengah dan

(12)

3

hubungan terpenting di panggung Internasional adalah hubungan dengan Amerika

Serikat.2

Kemenangan Demokrasi Liberal dalam arena Perang Dingin yang

dinisbahkan dengan percaya diri oleh Fukuyama menurut penulis menjadi sesuatu

menarik yang harus dilihat kembali legitimasinya dengan konteks perkembangan

keadaan Negara-negara di Dunia saat ini. Fukuyama dalam bukunya memakai

pemikiran Kant yang mengatakan bahwa sejarah manusia akan sampai pada suatu

titik akhir yang bisaa membuat seluruh sejarah manusia bisa dipahami. Pernyataan

Kant ini kemudian hari diteruskan oleh Hegel yang juga mempercayai bahwa

manusia akan sampai pada suatu titik akhir.3 Fukuyama menuliskan bahwa penentang

ideologi Demokrasi Liberal yaitu fasisme sudah sepenuhnya hancur sebagai ideologi

pasca Perang Dunia ke II yang ditandai dengan anggapan sebagain besar rakyat

Jeman bahwa fasisme hanya mendatangkan konflik yang tak berakhir sehingga tidak

ada alasan untuk fasisme berkembang, dijatuhkannya bom di Hiroshima dan

Nagasaki juga menandai akhir fasisme di Jepang. Berhasilnya Masuk dan

diimplemantasikannya kapitalisme barat dan liberalism politik di Jepang

menggantikan sistem sebelumnya yang sempat mapan di Jepang dijadikan Fukuyama

sebagai salah satu keberhasilan ideologi untuk mengantarkan Negara yang sempat

porak poranda akibat perang ini sebagai salah satu pengikut jejak Amerika Serikat

2

Fareed Zakaria, The Post-American World: Gejolak Dunia Pasca Kekuatan Amerika, (Yogyakarta: Bentang, 2015) 59

3

Francis Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal (Yogyakarta – Qalam, 2001) 115-118

(13)

4

dalam menciptakan sebuah budaya konsumerisme universal. Kesuksesan cerita

Jepang tersebut disandingkan dengan cerita dari seorang petinggi Myanmar Ne Win

yang mengunjungi Singapura untuk melakukan perawatan kesehatan dan merasa

sangat sedih melihat ketertinggalan Myanmar yang dikuasai oleh rezim militer

tersebut jika dibandingkan dengan keadaan tetangga ASEANnya.4

Bukti konkret selanjutnya yang menunjukkan tren demokrasi liberal sebagai

pemenang pertarungan ideologi Dunia bisa dilihat tren perkembangannya dari tahun

ke tahun di seluruh Negara di Dunia melalui grafik yang di unggah oleh

ourworldindata.org mengalami kenaikan yang sangat signifikan pasca 1970an yang berjumlah 32 negara menjadi 87 negara di tahun 2010. Berikut adalah grafik yang

disadur oleh penulis dari situs ourworldindata.org

Tabel 1.1

Tabel Perkembangan Negara Penganut Sistem Demokrasi

4

(14)

5

Sumber: www.ourworldindata.org

Adapun pemetaan demokrasi menurut nobelprize.org pada tahun 2010 adalah

sebagai berikut

Gambar 1.1

(15)

6

Sumber: www.nobelprize.org

Apa yang dituliskan Fukuyama 26 tahun silam menggambarkan bagaimana

seakan Demokrasi Liberal tak mempunyai penantang yang berarti, tetapi Dunia

bergerak setiap hari, perimbangan kekuatan berubah setiap waktu yang menandakan

bahwa Amerika Serikat tidak sendiri dalam dinamika politik Internasional.

Liberalisme yang digadang-gadangkan sebagai akhir dari sejarah ideologi umat

manusia seakan kembali perlu untuk dipertanyakan dan diuji kembali ketahanannya.

Bangkitnya “Yang Lain” seperti istilah Fareed Zakaria perlu untuk diperhitungkan

kekuatan rivalitasnya melawan apa yang sudah mapan selama ini.

Mari kita melihat dan mengingat kembali apa yang terjadi dengan keadaan

finansial global 7 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2008 dimana Dunia

(16)

7

Liberal, negara Paman Sam. Demokrasi Liberal tidak hanya membuka peluang

siapapun dalam partisipasi politik, tetapi juga membuat market terbuka bagi siapa saja tanpa memandang bulu. Bangkrutnya bank Investasi terbesar di Amerika,

Lehman Brothers yang merupakan korban dari sistem kredit macet menjadi bukti

bahwa kurangnya peran Negara dalam mengatur sendi-sendi perekonomian

memberikan efek domino bukan hanya di dalam negeri tetapi juga menjalar

merambat ke negeri-negeri lainnya.5

Kabar yang paling anyar mungkin datang dari Negara Yunani, asal usul

berkembangnya Demokrasi.Yunani mungkin menjadi representasi Negara Eropa

yang selama ini merupakan dianggap sebagai Negara makmur yang tidak memiliki

masalah berarti dalam ranah ekonomi. Masuknya Yunani sebagai bagian dari Uni

Eropa pada 1981 menbuat Negara para Filsuf ini terlena sehingga sedikit ceroboh

dalam menetapkan kebijakan moneter dan fiskalnya yang membuat Yunani memiliki

hutang sebesar €360 miliar atau setara dengan Rp5.000 Triliun, angka yang sangat

fantastis untuk Negara yang hanya memiliki 11 juta penduduk, hal ini juga

menjadikan Negara Yunani menjadi satu-satunya Negara makmur yang tidak bisaa

membayar hutang.6

5

(17)

8

Terkait dengan collapsenya ekonomi yang pernah terjadi pada Amerilka tahun 2008 dan Yunani di penghujung tahun 2015 membuat penulis mempertanyakan

tentang kemapanan system Demokrasi Liberal dengan Kapitalismenya yang

digadang-gadangkan oleh Francis Fukuyama sebagai sesuatu yang tidak bisa

dielakkan oleh Negara-negara yang ingin maju diera teknologi dan informasi ini.7

Bagi penulis banyak hal menarik dari pernyataan-pernyataan Fukuyuma mengenai

akhir dari sejarah umat manusia yang harus di lihat kembali perkembangannya

dengan konteks yang berbeda 26 dengan tahun silam melalui melihat kebangkitan

yang dilakukan oleh Negara-negara lain di Dunia

Berdasarkan uraian diatas untuk selanjutnya, penulis tertarik untuk meneliti

mengenai pergolakan dan dinamika ideologi di Dunia. Oleh karena itu penulis

mengajukan penelitin dengan judul:

Kritik Tesis Francis Fukuyama Atas Kemenangan Kapitalisme Dan Demokrasi

Liberal

yunani-karena-terlilit-utang dan “Studi Kasus Krisis Yunani” yang dapat diakses melalui https://independent.academia.edu/viasyafiqa

7

Francis Fukuytama, Kemenangan Kapitalisme… 175

(18)

9

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi dan latar belakang masalah diatas, maka penulis

merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana relevansi tesis Fukuyama melihat perkembangan konstelasi politik

global dewasa ini?

2. Siapakah yang paling berpotensi sebagai pengisi ideologi dimasa depan?

C. Tujuan Penelitian

Berpijak pada rumusan masalah yang ada, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui apakah tesis Francis Fukuyama yang dituliskannya dalam

The End of History? Masih relevan untuk keadaan politik Dunia yang mengalami perekembangan dan dinamika yang sedemikian rupa.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan masa depan dinamika ideologi di

Negara-negara modern.

D. Kegunaan Penelitian

Beberapa manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Manfaat Keilmuan. Salah sattu manfaat keilmuan yang didapat dari penelitian

ini adalah menambah wawasan politik mengenai peta konstelasi politik

(19)

10

2. Manfaat Teoritik. Manfaat teoritik yang diambil dari penelitian ini adalah

untuk membuktikan teori Neo Realisme yang dibawa oleh Kenneth Waltz

masih bisaa dan relevan untuk diaplikasikan kedalam situasi politik global,

meskipun perang dingin.

E. Kerangka Teori

Teori yang dipakai penulis untuk menganalisis penelitian ini adalah dengan

menggunakan teori kritis. Istilah “teori kritis” sudah bisa dikaitkan dengan berbagai

ragam karya yang dihasilkan oleh Frankfurt Institute of Social Research, sebuah organisasi yang didanai secara swasta dan didirikan di Jerman tahun 1923 oleh

sekelompok intelektual Kiri.8 Teori kritis juga dikenal dengan nama Mazhab

Frankfurt (Frankfurt Schule), tetapi ada juga yang membatasi pemakaian istilah Mazhab Frankfurt hanya dipakai untuk merujuk genarasi pertama para pendiri aliran

ini seperti Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Herbert Mercuse, Franz

Neumann, Otto Kirchheimer dan Karl August Wittfogel. Pembatasan ini karena

banyak yang menganggap bahwa setelah generasi pertama telah terjadi perubahan

yang cukup signifikan dalam perkembangan teori ini karena penerus teori ini seperti

Jurgen Habermas mewarisi cita-cita dasar dari teori kritis dan menggabungkannya

dengan realitas masyarakat industri yang berkembang pada masa setelah Perang

Dunia II.

8

Michael Corzier, “Mazhab Frankfurt”, dalam Teori-Teori Sosial; Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, ed. Peter Beilharz (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 137.

(20)

11

Dalam pembukaan bukunya yang berjudul Critical Theory and International

Relations, Steven C. Roach menuliskan ada ada empat prinsip inti yang terdapat dalam teori kritis.Pertama adalah teori kritis menekankan dimensi reflektif dari

teori/ide seseorang, atau sebagai penghubung intrinsik dari perilaku dan nilai

seseorang beserta orientasi ideologinya.Orientasi ideologi menjadi unsur yang sangat

penting.Ideologi dijadikan “kacamata” dalam melihat seseorang. Kedua adalah teori

kritis berfokus pada perubahan struktur politik, dalam perjalannya ia menunjukkan

bagaimana kekuatan politik dan kontrol ideologi bisa membantu mengembangkan

presepsi dari struktur ekonomi dan politik. Ketiga adalah dimensi normatif dari teori

kiritis mengasumsikan bahwa tanggung jawab etika individu selalu dibentuk oleh

keadaan sosial yang berubah, dan yang terakhir adalah bahwa teori sosial adalah

merupakan sebuah analisis integratif dari keadaan sosial.9

Kebanyakan karya aliran kritis ditujukan untuk mengkritik masyarakat

modern dan berbagai jenis komponennya. Salah satu perhatian dialektika paling

terkenal dari teori kritik adalah minat Jurgen Habermas terhadap hubungan antara

pengetahuan dan kepentingan manusia. Habermas membedakan tiga sistem

pengetahuan dan kepentingannya yang saling berhubungan. Tipe pertama, dari

pengetahuan itu adalah ilmu analitik, atau sistem saintifik positivistik klasik. Menurut Habermas, kepentingan dasar dari system pengetahuan semacam itu adalah kontrol

teknis, yang dapat diaplikasikan untuk lingkungan, masyarakat, atau orang di dalam

9

Steven C. Roach, Critical Theory and International Relations (London: Routledge, 2008), xvi-xvii.

(21)

12

masyarakat. Tipe sistem pengetahuan yang kedua adalah pengetahuan humanistik,

dan kepentingannya adalah untuk memahami dunia.Ia beroperasi dari pandangan

umum bahwa masa lalu kita pada umumnya membantu kita untuk memahami apa-apa

yang terjadi pada masa sekarang. Tipe ketiga adalah pengetahuan kritis, yang

didukung oleh Habermas dan aliran Frankfurt pada umumnya. Diharapkan bahwa

pengetahuan kritis yang dikemukakan oleh Habermas membangkitkan kesadaran

massa dan menimbulkan gerakan sosial yang akan menghasilkan harapan

emansipasi.10

Melihat system pengetahuan yang dikemukakan oleh Habermas diatas, maka

penulis rasa akan sangat cocok untuk membedah tesis Fukuyama menggunakan teori

kritis karena sesungguhnya klaim hegemoni demokrasi dan kapitalisme liberal yang

dilontarkan oleh Fukuyama sendiri merupakan bentuk dari dampak nyata tipe

pertama yang dengannya kita berasumsi dan menerima secara luas hegemoni

demokrasi dan kapitaslisme liberal yang ternyata masih banyak kekurangan

didalamnya dan melihat alternative lain sebagai sesuatu yang tidak mungkin untuk

diadakan. Tetapi fungsi dari teori kritis sendiri adalah untuk memahami dunia

bagaimana ia sebenarnya bekerja dan pada bab-bab selanjutnya penulis akan

berupaya untuk menghadirkan fakta dan data tentang bagaimana dampak langsung

dari demokrasi dan kapitalisme liberal.

10

(22)

13

Fukuyama sendiri yang merupakan penerjemah dari pemikiran Filsafat Hegel

tidak bisa kita lepaskan dari landasan ideologinya bagaimana akhirnya ia

menerjemahkan akhir dari sejarah. Padangan yang bersifat subjektif ini juga

merupakan salah satu agenda tersembunyi yang mungkin diusung oleh Fukuyama

karena menurut Habermas pengetahuan dan kepentingan manusia merupakan sesuatu

yang saling berhubungan dan hubungan antara faktor subjektif dan objektif ini

menurutnya tidak bisa ditangani secara terpisah. Menurutnya, system pengetahuan

ada pada level objektif, sedangkan kepentingan atau minat manusia adalah fenomena

subjektif.

Sisi subjektifitas ini bisa kita lihat salah satunya secara gamblang adalah

bagaimana seorang Fukuyama yang merupakan seorang warga Negara Amerika

mendengungkan tesisnya dengan percaya diri bahwa sejarah telah berakhir dengan

keluarnya demokrasi sebagai system pendominasi di masa depan. Runtuhnya Uni

Soviet menjadikan momen yang tepat bagi rivalnya untuk mengklaim

kemenangannya dengan menerbitkan sebuah jurnal ilmiah yang nantinya akan

menjadi salah satu bentuk peligitamasi kemenangannya dalam ranah akademik.

Meskipun kita tahu bahwa tidak semua sarjana dan pemikir Amerika setuju dengan

Fukuyama, tetapi sebagaimana kita tahu bahwa apa yang ia tuliskan 27 tahun silam

merupakan sesuatu yang kontroversial pada masanya dan membawa perdebatan

(23)

14

sebaliknya, mungkin seorang ilmuan dari Soviet akan melakukan hal yang sama

karena penting untuk melakukan semacam legitimasi dalam dunia akademik.

Dalam hubungan internasional juga dikenal teori internasional kritis yang

mengambil bentuk modern dan postmodern. Secara epistimologis teoritisi kritis

mengkritisi upaya formulasi objektif, pernyataan kebenaran tentang dunia alam dan

sosial yang dapat dibuktikan secara empiris.Secara metodologis teori ini juga

berupaya bertindak sebagai suara bagi pengembangan teori-teori yang secara eksplisit

berkomitmen untuk mengungkap dan mengakhiri sturkutur dominasi.11 Dalam

bab-bab selanjutnya dalam upaya mengkritisi bagaimana kebenaran dunia yang

sesungguhnya, penulis akan menyajikan data dan fakta yang berkaitan dengan hal

tersebut yang nantinya akan mendukung hipotesis penulis tentang bagaimana tesis

Fukuyama terlalu tergesa-gesa untuk dibuat.

F. Telaah Pustaka

1. Francis Fukuyama, The End of History? , The National Interest, Summer 1989

Tulisan Francis Fukuyama menjadi salah satu sumber yang akan dipakai

penulis dalam membandingkan hasil temuan penelitian. Tulisan ini menceritakan

tentang mandeknya dinamika mnusia dalam tataran ideologi.Matinya komunisme dan

11

Richard Price dan Christian Reus-Smit, “Hubungan Berbahaya?Teori Internasional Kritis dan Konstruktivisme”, Refleksi Teori Hubungan Internasional dari Tradisional ke

(24)

15

fasisme sebagai penantang liberalisme membuat Fukuyama yakin bahwa ini

merupakan bentuk akhir dari sejarah manusia. Hal-hal berbau ideologis tidak akan

mewarnai berita-berita karena masa itu telah lewat, hal yang menjadi tantangan

liberalisme di masa depan adalah agama dan nasionalisme.

2. Fareed Zakaria, The Post-American World; Gejolak Dunia

Pasca-Kekuasaan Amerika, 2015 (Bentang – Jakarta)

Tulisan Fareed Zakaria ini menjadi hal yang menarik untuk dijadikan salah

satu bahan pustaka karena menggambarkan sisi Amerika yang tak lagi

perkasa.Kebangkitan Negara-negara yang dulunya porak poranda baik dalam segi

ekonomi dan politik perlahan mulai bangkit. Zakaria menceritakan tentang

bagaimana kebangkitan Cina, India dan beberapa Negara Amerika Latin seperti

Brazil dan Venezuela yang bisaa saja menjadi penantang terberat Amerika di msaa

depan. Negara non-Barat menurut Zakaria akan memainkan peranan yang sangat

signifikan di msaa depan, karena pembagian kekuatan tidak hanya akan terfokus di

Amerika dan Negara-negara Barat tetapi akan terbagi dan membuat keperkasaan

Amerika bukanlah sesuatu yang istimewa karena perimbangan kekuatan yang

(25)

16

3. Chomsky, How The World Works, 2015 (Bentang – Jakarta)

Tulisan Chomsky ini membuat orang lain melihat Amerika dengan sisi dan

sudut pandang yang berbeda. Kebijakan-kebijakan Amerika yang diekspor ke

Negara-negara yang sedang sekarat dilihat juga efek samping dan dampaknya secara

nyata yang selama ini di tutup-tutupi.Amerika dengan system politik dan ekonominya

ternyata tidak begitu saja memberikan untung bagi Negara yang

dimasukinya.Chomsky banyak menuliskn tentang ketimpangan ekonomi yang terjadi

di Brazil dan Meksiko dimana Negara-negara ini hanya dijadikan sapi perah Amerika

untuk memuluskan langkahnya dalam kontelasi perekonomian global.

4. Wildan Insan Fauzi, Akhir dari Ideologi atau Ideologi Tanpa Akhir

(Kajian Perbandingan Pemikiran Daniel Bell, Francis Fukuyama dan

Samuel Huntington Mengenai Konsep The End), Jurnal Pendidikan

Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan, vol I, No. 2

Dalam junnal ini penulis melakukan kajian tentang suatu “konsep akhir” yang

di bawa oleh Bell dan Fukuyama.Berakhirnya ideologi atau menangnya demokrasi

liberal sebagai bentuk akhir keadaan manusia bukan merupakan sesuatu hal yang

disebut sebagai akhir.Penulis jurnal memunculkan pendapat Huntington yang melihat

bahwa merosotnya komunisme dan kemenangan global liberalisme dan hilangnya

(26)

17

intelektual.Huntington berpendapat bahwa sumber utama konflik di Dunia baru

bukanlah ideologi atau ekonomi melainkan budaya.

5. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan penulis adalah jenis Pendekatan historis,

yaitu pendekatan untuk mengkaji sejarah.Jenis pendekatan sejarah sendiri

secara umum dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu sebagai berikut12:

1. Penelitian Sejarah Komparatif. Jenis penelitian ini digunakan untuk

membandingkan faktor-faktor dari fenomena-fenomena sejanis pada suatu

periode masa lampau. Penelitian sejarah komparatif ini memungkinkan bagi

penulis untuk menunjukkan aspek persamaan dan perbedaan dalam

fenomena-fenomena sejenis.

2. Penelitian Yuridis atau Legal. Merupakan metode sejarah yang digunakan

untuk menyelidiki berbagai hal atau kejadian yang berhubungan dengan

hokum baik itu hokum formal maupun nonformal di masa lampau.

3. Penelitian Biografis. Merupakan metode sejarah yang digunakan untuk

meneliti kehidupan tokoh dan hubungannya dengan masyarakat. Dalam

penelitian ini yang diteliti adalah sisi individu yang melekat pada seorang

tokoh tersebut, pengaruh lingkungan maupun ide selama masa hidupnya yang

memberikan efek kepada lingkungan yang dikenai pengaruhnya.

12

(27)

18

4. Penlitian Bibliografis. Ini merupakan jenis metode penelitian sejarah untuk

mencari, menganalisa, membuat interpretasi serta generalisasi dari fakta-fakta

yang merupakan pendapat para ahli dalam suatu masalah tertentu. Penelitian

ini mencakup hasil pemikiran dan ide yang telah ditulis oleh para pemikir dan

ahli. Proses pengerjaan dari metode ini adalah mengumpulkan karya-karya

tertentu dari seorang pemikir atau ahli, menemukan inti pemikirannya dan

memberikan interpretasi sekaligus generalisasi dari yang tepat terhadap karya

tersebut.

Jenis metode historis yang digunakan penulis adalah metode yang terakhir

yaitu Penelitian Bibliografis. Penelitian ini dianggap tepat oleh penulis yang

membahas tentang karya Francis Fukuyama tentang berakhirnya konsep sejarah

miliknya. Selain itu metode historis dirasa cocok oleh penulis untuk menggabungkan

fakta sejarah yang diperoleh dari kejadian Perang Dingin untuk kemudian kembali di

lihat pengaruh kejadian sejarah tersebut terhadap proses dinamika kejadian masa

lampaudengan penggabungan analisis Fukuyama.Hal ini sejalan dengan yang ditulis

oleh Dudung Abdurrahman dalam bukunya Metode Penelitian Sejarah bahwa analisis

sejarah itu sendiri bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh

dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu

ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh.13 Metode penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode penelitian literet atau studi pustaka. Jika dalam

13

(28)

19

penelitian lapangan studi pustaka dipakai dalam langkah awal untuk menyiapkan

kerangka penelitian. Dalam penelitian pustaka, penelusuran pustaka di fungsikan

lebih dari sekedar menyiapkan kerangka penelitian. Penelitian pustaka sekaligus

memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya, tegasnya

penelitian pustaka membatasi kegiatannya hanya pada bahan-bahan koleksi

perpustakaan saja tanpa memerlukan penelitian lapangan.14

2. Sumber dan Jenis Data

Yang dimaksud dengan sumber data adalah subjek dimana data tersebut

diperoleh dalam hal ini dibedakan menjadi dua. Pertama sumber data primer, yang

diambil oleh penulis sebagai sumber data primer adalah buku Fareed Zakaria yang

berjudul The Post-American Post (Yogyakarta: Bentang, 2015), Buku William Blum yang berjudul Demokrasi; Ekspor Amerika Paling Mematikan (Yogyakarta: Bentang, 2013), buku George Soros yang berjudul Krisis Kapitalisme Global; Masyarakat Terbuka dan Ancaman Terhadapnya (Yogyakarta: Qalam, 1998), buku Francis Fukuyama sendiri berjudul Kemenangan Kapitalisme dan DemokrasiLiberal (Yogyakarta : Qalam, 2001) yang menjadi objek yang diteliti dan yang terakhir adalah sebuah jurnal yang ditulis oleh Jonathan R.Macey dan Geoffrey P.Miller yang berjudul The End of History and the New Wolrd Order: The Triumph of Capitalism and the Competition between Liberaism and Democracy (Cornell International Law Journal: volume 25, 1992). Sumber sekunder berasal dari buku-buku dan jurnal yang berkaitan dengan topik penelitian.

14

(29)

20

6. Sistematika Pembahasan

Untuk lebih mudah dalam pembahasan penelitian ini, berikut penulis

menyajikan tentang sistematika pembahasan dalam penelitian yang terdiri dari:

BAB I : Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoritik, telaah pustaka,

metode penelitian dan outline penelitian.

BAB II : Membahas bagaimana polaritas Dunia, latar belakang pemikiran

Fukuyama, lahirnya era baru pasca Perang Dingin dan bagaimana unipolaritas

membawa dampak bagi politik Dunia

BAB III : Membahas bagaimana kemunduran kapitalisme, situasi hutang

Dunia dan kemunduran demokrasi

BAB IV : Analisis

(30)

21

BAB II

DUNIA DAN POLARITAS

Buku yang diterbitkan oleh Fareed Zakaria yang diterjemahkan kedalam

bahasa Indonesia The Post-American World; Gejolak Dunia Pasca-Kekuasaan

Amerika ini penulis jadikan sebagai sumber inspirasi utama dalam penulisan bab ini.

Kenapa dalam bukunya Zakaria lebih memilih untuk memberi judul The

Post-American World; Gejolak Dunia Pasca-Kekuasaan Amerika dan membahas semua yang berbau tentang Amerika dibanding negara lain. Titik tolak Dunia seolah-olah

selama ini berada di Amerika dan bukan di Rusia, Kanada atau bahkan Indonesia.

Gegap gempita Perang Dingin menjadi euforia yang tidak bisaa dilepaskan begitu saja. Runtuhnya Uni Soviet dan berbagai kejadian penanda berakhirnya Perang

Dingin mau tidak mau menjadi awal mula penanda kejayaan dan dominasi Amerika.

Zakaria dalam bukunya mengatakan bahwa Amerika bukanlah satu-satunya pemain

tunggal dalam percaturan global baik dalam bidang politik maupun ekonomi.

Berakhirnya Perang Dingin yang bipolar secara tidak langsung juga membuat

keadaan politik menjadi multipolar dan keadaan negara-negara lain tidak hanya

berpacu atau berpatokan pada 2 negara seperti yang terjadi di masa Perang Dingin

sehingga kesempatan negara-negara untuk mengembangkan potensi negaranya dalam

berbagai aspek kehidupan terbuka dengan luas.

(31)

22

Dalam pendahuluan bukunya, Zakaria sudah mulai membahas tentang

bagaimana masyarakat Amerika khawatir akan posisi negaranya dalam tataran politik

global, dan bayang-bayang akan mundurnya kekuatan negara Adidaya itu.

Sebenarnya yang ingin lebih ditekankan Zakaria dalam bukunya adalah kebangkitan

negara-negara lain selain Amerika yang berpotensi untuk menjadi negara besar dalam

bidang ekonomi, politik, teknologi, militer dan bahkan budaya. Peta politik Dunia

yang unipolar menyebabkan banyak negara-negara mendapat kesempatan yang sama

untuk menumbuhkan potensi negaranya masing-masing di berbagai bidang dan

“menguasai” Dunia, hal itulah yang terjadi dengan “yang lain”. Sebutan “yang lain”

merujuk kepada negara yang sedang berkembang di kawasan Asia, Amerika Latin

dan Afrika. Kebangkitan “yang lain” pada intinya adalah fenomena ekonomi, tetapi

berdampak juga terhadap semua ranah kehidupan yang lain. Di level politik-militer,

Amerika masih merupakan satu-satunya negara adikuasa di Dunia. Namun, dalam

segala dimensi lain, distribusi kekuasaan telah bergeser, menjauhi dominasi Amerika.

Bukan berarti kita tengah memasuki Dunia anti-Amerika. Namun, memang benar

bahwa kita sedang bergerak ke Dunia pasca-Amerika, yang didefenisikan dan

diarahkan dari banyak tempat dan oleh banyak orang. Sementara negara-negara

menjadi kian kuat dan kaya, bangsa-bangsa berkembang akan semakin berperan

penting dan semakin percaya diri.1

1

Fareed Zakaria, The Post-American World, 4-5

(32)

23

Sistem yang berubah pasca Perang Dingin dari bipolar menjadi multipolar

mempengaruhi bagaimana negara-negara menyediakan keamanan untuk negaranya.

Dengan adanya lebih dari dua kekuatan besar, negara banyak mengandalkan

usahanya sendiri untuk keamanannya dan kepada aliansi yang mereka buat dengan

negara lain. Kompetisi dalam sistem multipolar lebih rumit jika dibandingkan dengan

kompetisi dalam sistem bipolar karena ketidakpastian tentang kemampuan

komparatif negara yang selalu berkembang2. Pernyataan Waltz ini tentunya menjadi

tantangan sendiri bagi Amerika di masa depan dimana setiap negara modern dituntut

untuk bisa lebih berdikari diatas kakinya sendiri dengan memanfaatkan seluruh

potensi sumber daya yang dimilikinya, sehingga kemunculan “yang lain” memang

suatu fenomena yang tidak dapat dihindari.

Pada bab ini penulis akan membahas tentang bagaimana pergesaran polaritas

dalam politik Internasional membawa perubahan yang sangat signifikan bagi banyak

negara. Pergesaran ini hampir mempengaruhi segala aspek kehidupan bernegara.

Sebelumnya penulis akan membahas latar belakang pemikiran Francis Fukuyama

yang terinspirasi dari pemikrian seorang Leo Strauss dan juga bagaimana pasca

Perang Dingin menjadi starting point berakhirnya sejarah.

2

Kenneth N. Waltz, “Structural Realism after the Cold War”, International Security, Vol. 25, No. 2 (Summer 2000), 5

(33)

24

A. Selayang Padang Tentang Francis Fukuyama

Yoshihiro Francis Fukuyama atau yang lebih dikenal dengan Francis

Fukuyama merupakan ilmuwan politik, ekonom politik dan penulis asal negeri

Paman Sam, Amerika Serikat. Lahir pada 27 Oktober 1952 dengan nama Jepangnya

yang kental, ayah Fukuyama merupakan generasi kedua keturunan Jepang-Amerika.

Fukuyama kecil yang lahir dan dibesarkan di Amerika tumbuh dengan kultur

Amerika dan hanya sedikit sekali terpapar kebudayaan Jepang.

Fukuyama merupakan peneliti senior di Rand Corporation, spesialisasinya

adalah pada hubungan militer dan politik di wilayah Timur Tengah dan kebijakan

luar negeri Uni Soviet. Nama Francis Fukuyama menjadi sorotan banyak akademisi

maupun publik setelah jurnalnya yang berjudul ‘The End of History?’ pada tahun 1989 di terbitkan.Penggunaan judul dengan frasa “The End” menjadi sesuatu yang banyak menarik minat khayalak karena paskah berakhirnya Perang Dingin semua

ingin mengetahui siapakah yang benar-benar keluar sebagai pemenang pertarungan

sengit abad modern.

Dalam The End of History? Yang akhirnya dikembangkannya menjadi sebuah

buku dengan judul The End of History And The Last Man, Fukuyama menulis

gagasannya yang optimist dan penuh keyakinan bahwa paskah runtuhnya tembok

Berlin ia mengumumkan kemenangan telak atas demokrasi liberal diatas ideologi

manapun dengan menyatakan bahwa negara liberal lebih stabil secara internal dan

(34)

25

memaparkan ide-ide para filosof dan arti dari konsep “sejarah” yang

dimaksudkannya.

B. Landasan Filsafat Fukuyama

Baik dalam jurnal maupun buku yang ditulis Fukuyama tentang berakhirnya

sejarah, ia menyebut beberapa nama yang menjadi sumber acuan filosofis tentang

makna sejarah yang telah berakhir. Pada bagian satu jurnalnya yang diterbitkan oleh

The Nartional Interest ia menuliskan bahwa konsep dari akhir sejarah sudah diawali

oleh Karl Marx yang berkeyakinan bahwa arah perkembangan sejarah akan berujung

pada suatu keadaan dimana pencapaian dari utopia komunis yang akan

menyelesaikan semua masalah kontradiktif.3 Hal ini menurutnya sejalan dengan

pemikiran Hegel yang juga beranggapan bahwa sejarah Dunia sudah memiliki

akhirnya tersendiri dimana yang membedakan Marx dan Hegel adalah bahwa Marx

meramalkan masyarakat komunis akan menjadi akhir dari bentuk peradaban dimasa

depan dimana Hegel menyatakan sebaliknya, bahwa negara liberal yang akan menjadi

“akhir sejarah” peradaban manusia.4

Hegel menjadi pemikir yang pengaruhnya paling besar di abad ke-19. Karl

Marx muda merupakn salah satu pengagum pemikirannya. Marx masuk ke

Universitas Berlin pada 1836 dimana pengaruh pemikiran Hegel sedang mencapai

puncaknya dan membuat Marx turut ikut mengkaji pemikirannya.Saat itu pengikut

Hegel terpecah menjadi dua yaitu sayap kanan yang konservatif dan sayap kiri yang

3

Francis Fukuyama, The End of History?, The National Interest, Summer 1989, 1

4

Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme

(35)

26

merupakan kelompok radikal.Marx yang saat itu sedang belajar ilmu hukum lebih

tertarik dalam mengkaji pemikirn Hegel dan menjadi salah satu pemimpin di

kelompok radikal yang disebut sebagai Hegelian muda.5

Fukuyama berpegangan pada konsep sejarah universal versi Hegel yang

berpendapat bahwa sejatinya manusia itu terlahir sebagai individu yang bebas yang

kemudian diaplikasikan dalam konsep sejarah perdaban manusia yang pada akhirnya

mencari bentuk kebebasan itu. Dalam bukunya Filsafat Sejarah Hegel menulis

“Tujuan pencapaian yang kita tunjukkan pada sketsa: adalah ruh dalam Keutuhnnya,

dalam keadaannya yang hakiki, yaitu Kebebasan”.6 Di dalam bukunya Hegel

berusaha untuk “menyatukan” sejarah manusia yang berusaha mencari bentuk

kebebasan yang sempurna dalam setiap tahap sejarah yang dialaluinya. Filsafat

Sejarah Hegel memulai dinamika pencarian kebebasan manusia dimulai dari Timur

lebih tepatnya Cina dimana pemerintahan Cina pada masa itu masih berbentuk

kerajaan yang sangat patriakhi, raja merupakan sosok kebenaran mutlak yang menjadi

pusat segalanya dan kemakmuran suatu bangsa dan negara sangat bergantung

padanya. Hegel menuliskan bagaimana hukum Cina pada masa itu menggunakan

hukuman fisik yang diterapkan baik dalam lingkup paling kecil yaitu keluarga hingga

ke ranah publik sekalipun. Bahkan sampai ranah tentang agama pun dijelaskan disini

dimana Cina kuno definisi agama yang dijalankan menjadi berbeda karena mereka

bahkan tidak bisa memisahkan hal yang berbau profan yaitu negara dan

5

T. Z. Lavine, Petualangan Filsafat; Dari Socrates ke Sarte (Yogyakarta: Jendela, 2002), v

6

G.W.F. Hegel, Filsafat Sejarah, terj. Cuk Ananta Wijaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) 77

(36)

27

pemerintahan. Dalam seksi Cina Hegel menjelaskan bagaimana masyarakat Cina

tidak memiliki kebebasan bahkan sampai keranah yang sifatnya sangat privasi

sekalipun. Situasi Cina kuno yang tidak mengenal kebebasan individu dimana posisi

yang sama rendah di hadapan raja dapat menyebabakan penurunan kesadaran dan

martabat sehingga berpotensi terjerumus dalam sikap pasrah.7

Perjalanan mencari kebebasan dan penyadaran manusia akan hakikatnya yang

terlahir sebagai individu yang bebas dijelaskan Hegel melalui sejarah Dunia. Seluruh

sejarah Dunia merupakan proses dimana jiwa tampak terbatas pada manusia yang

memaknai kebebasannya sendiri. Sejarah bisa dikatakan sebagai kemanusiaan yang

sedang berlangsung dalam kesadaran atas kebebasan dirinya.8

Perjalanan manusia yang dimulai dari Timur lalu berakhir dengan kesadaran

Barat akan kehendak subjektifnya. T.Z. Lavine dalam bukunya menuliskan:

Kristen Jerman menjaga diri dari tesis negara Timur, yakni kepentingan untuk memiliki seorang kepala negara, seorang raja; juga melindungi diri dari antitesis Dunia Romawi dan Yunani, yakni kepentingan untuk memiliki sebuah undang-undang yang mengakui kebebasan warga Romawi dan Yunani secara keseluruhan, yang telah dikembangkan melalui pencerahan di Inggris dan Perancis. Jerman sebagai negara-bangsa belumlah bersatu untuk memiliki peran dalam mewujudkan kesadaran kebebasan yang paling sempurna, karena hal tersebut menyatukan tesis kerajaan Timur yang bebas dengan antitesis pencerahan kebebasan konstitusional atas segalanya menjadi sebuah tesis baru, meleburnya dalam

7

Ibid., 179.

8

T. Z. Lavine, Petualangan Filsafat. 226.

(37)

28

perasaan kebabasan jiwa manusia ala Lutheran. Hal ini dirumuskan dalam laku dalam kesadaran akan kebebasan meraih sebuah dialektika sintesis dan pemenuhan. Orang-orang Jerman melahirkan puncak kesadaran kebebasan dan puncak sejarah Dunia.9

Berakhirnya sejarah menurut Hegel kemudian diperkuat kembali oleh

Fukuyama pasca Perang Dingin.Berakhirnya sejarah sudah lebih dulu di deklarasikan

oleh Hegel melalui pertempuran Jena pada tahun 180610 dan sekarang kembali

dengan tesisnya Fukuyama di abad 20. Dengan berbagai pertimbangan yang ada

Fukuyama melihat bahwa perang ideologi menjadi hal yang sudah tidak perlu untuk

diperbincangkan di masa depan karena pemenangnya sudah jelas yaitu demokrasi

liberal.

Di dalam salah satu jurnal, ada peneliti yang melihat sisi lain pandangan

filsafat dari Fukuyama. Selain sebagai Hegelian, Fukuyama juga dipandang sebagai

seorang Straussian yaitu pengikut dari Leo Strauss. Straussian percaya bahwa

kemakmuran material sendiri berarti sederhana. Straussian meyakinkan orang-orang

bahwa demokrasi gaya barat bisa dengan berhasil memenuhi kebutuhan kekayaan

untuk memuaskan hasrat material manusia, tetapi tidak dapat melakukan apapun

untuk memuasakan hasrat manusia untuk hal-hal yang lebih dalam dan lebih kuat.

Sebagai seorang Straussian Fukuyama dapat secara simultan merayakan dan meratapi

9

Ibid., 235.

10

Fukuyama, The End of History?, 2

(38)

29

kejayaan demokrasi di seluruh Dunia. Fukuyama merayakan karena demokrasi liberal

dapat menghasilkan cukup kekayaan untuk memuaskan banyak hasrat manusia.

Fukuyama meratapi karena perjuangan selama Perang Dingin, seringkali di

karakteristikkan sebagai perjuangan kuno antara yang baik dan yang buruk

memungkinkan warganegara utuk mengeskpresikan dorongan mereka untuk

menempatkan diri mereka pada suatu konteks moral yang luas.11

Penulis jurnal mengklaim bahwa ada kecacatan dalam mengartikan

pandangan Strauss yang dilakukan oleh Fukuyama. Fukuyama dianggap gagal untuk

merenenungkan kemungkinan warganegara dari demokrasi kapitalis dapat

menemukan jalan keluar baru untuk dorongan mereka dalam mengartikan diri mereka

di Dunia sebagai makhluk moral. Kegagalan kedua adalah Fukuyama gagal untuk

mengenali bahwa ada beberapa konsepsi dari liberalisme dan demokrasi dan bahwa

perbedaan ini bisa saja menjadi potensi atas perang ideologi dimasa depan.12

Ide dari seorang Fukuyama sebagai penganut Straussian adalah dari judul

bukunya yang terbit dalam Bahasa Inggris The End of History And The Last Man.

Penggalan kata “The Last Man” atau manusia terakhir yang merupakan refleksi dari pemikiran Nietzsche dimana ketika manusia berhenti mempertanyakan tentang

penjarahan dan kemenangan, ia akan jatuh kepada cangkang kosong. Sebagaimana

11

Jonathan R. Macey dan Geoffrey P. Miller, “The End of History and the New World Order: The Triumph of Capitalism and the Competition Between Liberalism and Democracy”, Cornell International Law Journal, Vol.25 (Spring, 1992), 279.

12

Ibid.,

(39)

30

yang kita ketahui bahwa Nietzsche memperkenalkan tentang istilah nihilisme dimana

hilangnya kepercayaan akan nilai-nilai yang beralaku dalam agama Kristen, dan

nihilisme sudah diramalkan Nietzsche sebagai sesuatu yang akan menggejala dimasa

depan.13 Menurut salah satu kolumnis di The New York Times yang menulis tentang Leo Strauss mengatakan bahwa dinamika filsafat modern akan menjadi bebas nilai

dan kita sebenarnya tidak bergerak menuju suatu kebebasan atau yang ia sebut

sebagai nihilisme. Ini berbeda dengan anggapan John Dewey bahwa kemajuan ilmu

pengetahuan terutama ilmu-ilmu sosial modern, membawa kemenangan progresif dari

kebebasan dan demokrasi, faham ini populer di Amerika abad 20 sebelum pemikiran

Strauss masuk.14 Menurut Straussian, ilmu politik modern yang dikalim bebas nilai

pada umumnya gagal melaksanakan tugas utama ilmu politik yang murni. Para

penganut Strauss pada umumnya menekankan kebutuhan akan moderasi dalam

demokrasi liberal. Mereka pada umumnya berpendapat bahwa elemen-elemen

aristokrasi dan demokrasi liberal diketengahkan agar demokrasi itu tidak menderita

kegagalan.15

13

F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Dari Machiavelli sampai Nietzsche) (Jakarta: Erlangga, 2002), 242.

14

Steven B. Smith, “Reading Leo Strauss”,

http://www.nytimes.com/2006/06/25/books/chapters/0625-1st-smith.html?pagewanted=all&_r=0 (Kamis, 09 Juni 2016)

15

Scot J. Zentner, “Pemikiran Strauss”, dalam Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad ke-21; Sebuah Referensi Panduan Tematis, ed. John T. Ishiyama & Marijke Breuning (Jakarta: Kencana, 2013), 104.

(40)

31

C. Akhir Perang Dingin Sebagai Awal “Dunia Baru”

Perang Dingin merupakan perang paling damai yang pernah dialami umat

manusia, tidak ada genjatan senjata, dentuman bom dan teriakan warga sipil yang

tidak sengaja terkena peluru, juga tidak mengharuskan negara-negara untuk membuat

barak-barak pengungsian yang menampung korban perang. Keadaan relatif damai ini

merupakan imbas dari berakhirnya Perang Dunia II yang berakhir pada awal tahun

1945 yang ditandai dengan menyerahnya Nazi di Jerman dan pertempuran yang

dimenangkan oleh pihak Sekutu ( Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, Tiongkok).

Berakhirnya perang yang paling banyak memakan korban jiwa tersebut

ternyata dijadikan sebagai pengantar atas kemunculan perang lain yang menjadikan

politik Internasional pada saat itu menjadi bipolar. Beraliansinya dua kekuatan besar

dalam pihak Sekutu pada Perang Dunia II ternyata membawa dampak yang serius

bagi keadaan politik kedepannya karena Dunia dihadapkan pada “pilihan”.

Munculnya Amerika dan Uni Soviet sebagai dua kekuatan yang berbeda dari segi

ideologi, ekonomi maupun militer menimbulkan masalah baru karena perbedaan yang

mencolok ini tidak dapat bersanding sebagai partner dalam tujuan mendominasi

Dunia. Hanya ada satu jenis tipe penguasa ketika ingin dikatakan penguasaan itu

berhasil dalam menancapkan pengaruhnya, setidaknya itulah makna umum dari

(41)

32

Perbedaan secara ideologis antara Uni Soviet dan Amerika pada saat itu yang

menjadi penyebab kedua kekuatan ini tidak bisaa bersatu dalam hal apapun. Suatu

ideologi politik adalah suatu sistem gagasan yang dianggap memberi ciri bagi sifat

negara dan hubungan antar pemerintah dengan warganya. Ideologi yang demikian itu

mencakup suatu perangkat nilai-nilai politik, ekonomi, sosial, budaya dan moral.16

Ideologi lah yang membedakan arah perjalanan suatu bangsa dan negara

sehinggabisaa dikatakan bahwa masalah perebedaan ideologi adalah masalah

fundamental yang tidak bisa ditawar. Keadaan politik Internasional yang kala itu

terbagi menjadi dua kutub membuat dua kepentingan saling tarik menarik, saling

mendeklarasikan diri sebagai yang paling kuat dan berpengaruh diantara

negara-negara di Dunia. Situasi Perang Dingin membuat kita kembali mendefenisikan makna

perang yang tidak selalu melulu berbau senjata dan keadaan yang chaos tetapi kini sudah sedikit mengalami perluasan makna dimana keadaan relatif damai yang dialami

Dunia pada sekitar tahun 1947-1991 bisa menjadi perluasan makna “perang”.

Berakhirnya peristiwa Perang Dingin menjadi awal permulaan baru yang

disebut Fukuyama sebagai akhir dari sejarah. Perseteruan antara Soviet dan Amerika

Serikat menjadi peristiwa yang menentukan sebuah kemenangan yang nantinya akan

mendominasi. Dalam bukunya Fukuyama mempersamakan siklus sejarah yang terjadi

antara Soviet vs AS pada saat Perang Dingin dengan perang antara Athena vs Sparta. Fukuyama mengatakan bahwa selalu ada pengulangan sejarah dan ia bersifat siklis.

16

Carlton Clymer Rodee.Dkk., Pengantar Ilmu Politik (Jakarta: Rajawali Press, 1993), 674

(42)

33

Bersatunya Jeman Barat dan Jerman Timur, runtuhnya Uni Soviet menjadi

salah dua faktor yang menyebabkan berakhirnya Perang Dingin. Uni Soviet yang

dilanda konflik dalam negeri sehingga harus dibayar mahal dengan hilangnya

pengaruh di negara-negara koloninya dan hilanganya kepercayaan Eropa Timur

menjadi pukulan telak bagi negara yang nantinya bernama Rusia ini. Uni Soviet

dengan faham sosialis-komunisnya tidak mampu mempertahankan pamor

ideologinya sehingga kalah saing dengan faham demokrasi liberalis yang di sponsori

oleh Amerika dan sekutunya.

Hobbes dan Locke menuliskan bahwa masyarakat liberal adalah sebuah

kontrak sosial di antara individu-individu yang memiliki hak-hak alami tertentu dan

untuk mencapai kebahagiaan yang secara umum dipahami sebagai hak untuk

kepemilikan pribadi. Fukuyama menuliskan bahwa hal penting yang terdapat dalam

demokrasi liberal adalah pengakuan atas martabat manusia. Kehidupan dalam sebuah

negara demokrasi liberal secara potensial merupakan jalan menuju kelimpahan

material yang sangat besar, tetapi ia juga menunjukkan jalan pada kita untuk

mencapai tujuan nonmaterial berupa pengakuan dan kebebasan kita.17 Pernyataan ini

jika dilihat pada konteks berakhirnya Perang Dingin akan sangat cocok dimana pada

masa itu kebanyakan negara-negara yang berfaham sosialis – komunis rata-rata

adalah negara yang relatif bisaa dikatakan miskin dan kurang maju sehingga tawaran

untuk hijrah dan mendapatkan penghidupan yang layak dengan ideologi baru pantas

17

Francis Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme, 355

(43)

34

untuk dicoba. Kesenjangan yang senantiasa meningkat di antara dan di dalam

lingkungan kelas-kelas di negara-negara komunis, merupakan salah satu dari

sumber-sumber kekacauan dan pemberontakan yang paling eksplosif. Kaum pekerja

Cekoslowakia, Polandia dan Jerman Timur yang memberontak pada tahun 1953 tidak

begitu keberatan dengan ideologi komunisme daripada terhadap ekonomi yang secara

kasar dilakukan terhadap mereka.18 Perubahan-perubahan yang dilakukan Uni Soviet

telah gagal dalam menyelesaikan persoalan keadilan sosial.

Ada satu pernyataan menarik tentang politik pasca Perang Dingin adalah

bahwa politik pasca Perang Dingin adalah bagaimana menyeimbangkan antara

kepentingan ekonomi dan politik demi mempertahankan eksistensi masing-masing

negara. Situasi ini yang sering dikenal dengan istilah globalisasi. Semenatara itu, ada

lima tipe negara-bangsa paska Perang Dingin dan kelima tipe ini sangat bergantung

pada penguasaan masing-masing negara tersebut dalam bidang ekonomi, teknologi

dan militer. Tipe pertama adalah negara otonomi (autounomous states) dimana negara yang secara internal maupaun eksternal dari mereka sendiri, contohnya adalah

Amerika Serikat. Tipe kedua adalah negara komunitas (community states) dimana negara-negara tersebut selalu bersaing untuk menjadi negara otonomi melalui

kegiatan ekonomi. Tipe ketiga adalah negara klien di mana ada negara yang secara

ekonomi dan militer sangat bergantung kepada negara-negara yang sangat kuat,

contohnya adalah Israel. Tipe yang keempat adalah negara satelit (satellite states)

18

William Ebenstein, Isme-Isme yang Mengguncang Dunia(Yogyakarta: Narasi, 2006), 82

(44)

35

yaitu negara-negara yang berada di bawah kontrol militer oleh negara lain seperti

kebanyakan negara di Eropa Timur yang bergabung dalam Pakta Warsawa. Dan yang

kelima adalah negara independen (independent states) seperti Swedia dan Swiss. Negara ini memang selalu tidak berada dalam satu blok pun.19

Diterapkannya faham demokrasi liberal sebagai sesuatu yang harus diterima

dimasa depan jika negara-negara penganut sosialis-komunis tidak ingin mengalami

kehancuran seperti yang dialami oleh negara “induk”nya. Seperti yang dapat dilihat

pada bab I tulisan ini, bahwa pasca 1970an banyak negara yang beralih menjadi

penganut faham demokrasi, dan meninggalkan gaya kepimpimpinan yang dulu

mereka anut dan jumlahnya terus bertambah hingga sekarang.

D. Dunia Unipolar

Berakhirnya Perang Dingin berkahir pula bipolaritas dalam perpolitikan

global,dan menjadikan Dunia menjadi unipolar. Politik bipolar yang dimainkan oleh

Uni Soviet dan Amerika Serikat sebagai aktor utama menjadikan Dunia terpecah

menjadi 2 kutub. Uni Soviet yang cendrung sosialis komunis menjadi pesaing

demokrasi liberal yang digawangi oleh Amerika dan pengikutnya. Selama Perang

Dingin merupakan hal wajar dan normal ketika beberapa negara mendefinisikan

bagaimana mereka saling berhubungan dengan negara lain baik dalam hal ideologi,

batas-batas teritorial, suku, identitas nasional atau etnis.

19

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Satu Dasawarsa The Clash of Civilizations; Membongkar Politik Amerika di Pentas Dunia(Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2003), 135-137.

(45)

36

Polaritas merujuk kepada pembagian kekuasaan dalam komunitas

internasional. Setalah Perang Dunia II, periode sejarah dalam sistem hubungan

internasional dimulai yang mengambil bentuk sistem bipolar. Bipolaritas dapat

diartikan sebagai sebuah sistem Dunia dimana pembagian kekuasaan termasuk di

dalamnya dan hanya dua negara saja yang memiliki pengaruh yang besar dalam hal

ekonomi, militer dan budaya global. Ketika kekuatan besar mencakup lebih dari dua

negara maka ia disebut sebagai multi-polar, jika hanya dua maka disebut bipolar dan

jika hanya ada satu kekuatan besar maka ia disebut unipolar. Kebanyakan peneliti

setuju bahwa sebelum 1945 ada lebih dari tiga negara yang memenuhi kualifikasi

sebagai kutub, ditahun 1950an hanya ada dua negara yang bermain sebagai aktor

dalam polarisasi, sementara awal 1990an satu dari dua kutub ini kehilangan statusnya.

Sebagai hasilnya Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan terbesar dalam bidang

militer, politik dan ekonomi.20

Kenneth Waltz yang merupakan Bapak Neo-Realis melihat bahwa masa-masa

bipolar merupakan masa dimana negara-negara berada dalam keadaan paling stabil.

Ada empat faktor yang mendorong berkurangnya kekerasan yang terjadi antar

negara.Yang pertama adalah dengan hanya ada dua kekuatan Dunia, maka tidak ada

peripheri. Faktor yang kedua adalah bukan hanya mengenai tidak adanya negara

peripheri tetapi juga mencakup meluasnya kompetisi seiring dengan meningkatnya

intesitas dari kompetisi itu sendiri. Meningkatnya intensitas ini ditunjukkan dalam

20

Alida Tomja, “Polarity and International System Consequences”, Interdisiplinary Journal of Research and Development, Vol. I, No. 1 (2014), 58-59

(46)

37

keenganan untuk menerima kehilangan kecil teritori seperti di Korea, selat Formosa

di Taiwan dan Indo-China, dan jika dibandingkan dengan tahun 1930an di era Perang

Dingin terdapat pengurangan penggunaan militer dalam menghadapi konflik,

penggunaan militer hanya dilakukan oleh pihak antagonis dan kedua kekuatan tidak

ingin menimbulkan citra tersebut. Faktor yang membedakan dalam sistem bipolar

yang ketiga adalah adanya kehadiran konstan dari tekanan dan pengulangan krisis.

Menurut Waltz penegasan ancaman kepada negara lain merupakan hal yang tidak

bijak dilakukan karena hanya akan meningkatkan keadaan bahaya, dan faktor yang

keempat adalah kepemilikan senjata nuklir yang hanya dimiliki oleh dua kekuatan

membuat Dunia berada pada keadaan realtif aman, karena ketika jumlah negara yang

memiliki kekuatan nuklir bertambah maka dikhawatirkan akan menambah keinginan

dari negara tersebut untuk bermanuver.21

Era keemasan Perang Dingin sudah berakhir, maka berakhir pula keadaan

bipolar setelah Uni Soviet runtuh dan tinggal Amerika Serikat yang mengisi puncak

kejayaannya sendiri dan otomatis membuat sistem internasional menjadi unipolar.

Para peneliti menggunakan istilah unipolar untuk merujuk kepada struktur hubungan

internasional dimana distribusi kekuasaan hanya terpusat pada satu kutub. Tetapi

yang menjadi pertanyaan selanjutanya adalah bagaimana Amerika Serikat bisaa

menjadi pemimpin Dunia? Sesungguhnya, Amerika Serikat sudah mampu untuk

mempimpin Dunia sebelum Perang Dunia I, tetapi kebijakan asing Amerika Serikat

21

Kenneth N. Waltz, “The Stability of Bipolar World”, Daedalus, Vol.93, No. 3 (Summer, 1964), 882-886

(47)

38

dari pertama kali berdiri hingga tahun 1940 adalah bersifat isolasi dan kaku, sehingga

ditarik dari isu global. Hanya pada awal 1940an Presiden Franklin D. Roosevelt

memperkirakan untuk bekerja sama dan menyadari Eropa sebagai partner penting. Setelah Perang Dunia II, ketika Amerika Serikat mampu menunjukkan kepada Dunia

kemampuan dan kekuatnnya untuk keamanan global, kebijakan asing Amerika

Serikat berubah arah dan menjadi aktor paling penting dalam sistem internasional dan

memimpinnya. Dengan pasukan militer yang bertenaga dibandingkan dengan negara

lain, belanja pertahanan yang hampir separuh dari belanja militer global, dengan

superioritas nuklir melebihi mantan rivalnya, Rusia menjadikan Amerika Serikat

wajar untuk meraih status adidaya tunggal untuk melanjutkan sistem yang menurut

banyak sarjana hubungan internasional berlanjut menjadi Unipolar tidak hanya pasca

Perang Dingin, tetapi juga akan berlanjut sampai abad selanjutnya.22

Foreign Affairs pada tahun 1990 mengeluarkan tulisan Krauthammer yang

berjudul Unipolar Moment. Dalam halaman pertama tulisannya Krauthammer

menulisan bahwa masa tak lama setelah Perang Dingin bukanlah Multipolar

melainkan Unipolar. Titik kekuatan Dunia merupakan adidaya yang tidak tertandingi,

yaitu Amerika Serikat dan aliansi baratnya. Munculnya kekuatan Multipolar memang

memungkinkan tetapi menurut para peneliti pada saat itu hal tersebut akan terjadi

selama beberapa dekade setelah Amerika Serikat menikmati kedigdayaannya sendiri.

Tidak ada penantang serius yang benar-benar akan menjadi rival Amerika, meskipun beberapa negara memiliki potensi untuk melakukannya seperti Jerman, Jepang,

22

Tomja, Polarity and International, 59

(48)

39

Inggris, Perancis dan Rusia. Meskipun negara-negara tersebut memiliki peningkatan

dalam hal ekonomi, militer, politik dan diplomasi tetapi trennya tidak selalu naik

malah turun dengan cepat.23

Lalu bagaimana dengan kecendrungan kedamaian dalam sistem unipolar?

Banyak peneliti mengatakan bahwa Dunia berada dalam keadaan yang relatif damai

dan terkendali, salah satunya adalah William C. Wohlforth yang menuliskan bahwa

situasi unipolar cenderung kepada kedamaian. Hegemoni terhadap sistem membawa

keuntungan karena tidak ada rivalitas yang dilakukan oleh kekuatan lain untuk

menantang Amerika Serikat dalam perang untuk merebut pucuk kekuasaan. Tidak

ada kemungkinan negara-negara lain untuk mengambil langkah yang mungkin dapat

mengundang permusuhan kepada Amerika Serikat.24

Dalam sebuah struktur unipolar, konflik kekuatan kedua lebih bisa dikendalikan kerena negara yang bertindak sebagai kutub utama merupakan pemain yang paling menentukan dalam setiap kemungkinan pertarungan. Kutub utama mengintervensi untuk menciptakan aturan dan juga mengatur jaringan aliansi yang luas sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya konflik. Unipolaritas juga bertahan lama karena konsentrasi kekuatan yang ekstrim mencegah sistem dari kembali ke keadaan seimbang melalui mekanisme penyimbangan. Karena area pengaruh Amerika, melakukan penyeimbang merupakan hal yang sia-sia dan akan lebih susah karena Amerika Serikat merupakan kekuatan cangkang.25

Dalam sistem unipolar negara yang berkuasa tidak bisa mendapatkan

counterbalance dari negara lain, keadaan ini memungkinkan hegemoni dari negara kuat untuk mempengaruhi dan membentuk negara lain. Lebih jauh, Amerika Serikat

23

Charles Krauthammer, “The Unipolar Moment”, Foreign Affairs, Vol. 70. (1990), 23-24

24

William C. Wohlforth, “The Stability od a Unipolar World”, International Seurity, Vol. 24, No.1 (Summer, 1999), 7

25

William C. Wohlforth, “The Stability of a Strategy after the Cold War”, International Security, Vol.21, No. 4 (Summer 1999), Quddus Z. Snyder, “The Bipolarity of a Unipolar World: Why Secondary Powers Will Stand By America” (University of Maryland), 9.

(49)

40

mencoba untuk membentuk dan menjaga Dunia juga secara politik. Selama Perang

Dingin, kekuatan Amerika Serikat mendukung pemerintahan anti komunis untuk

melawan penyebaran nilai-nilai sosialis, mensuplai pasukan kepada kelompok

non-negara di Afghanistan, Angola, Kamboja dan Nikaragua melalui aliansi

regionalnya.26 Posisi Amerika Serikat yang berada di atas angin pada saat itu tidak

mempunyai penantang yang berarti.

Tidak ada garis yang pasti dimana unipolaritas dimulai dan berakhir, yang

juga menjadi penyebab mengapa banyak para ahli yang tidak setuju akan pernyataan

bahwa Dunia berada dalam sistem unipolar sekarang ini. Mungkin akan lebih tepat

menggambarkan situasi sekarang sebagai sistem unipolar terbatas, yang berarti satu

kekuatan berfungsi sebagai dominasi pusat, tetapi tingkat dari kontrol tetap

terkendali. Dalam sistem internasional kekiniaan ada banyak batasan dalam kekuatan

Amerika Serikat. Satu sisi sama seperti semua negara bahwa Amerika menjalin

hubungan dan saling bergantung dengan negara lain.27

Dunia bukanlah tempat keabadian, begitu pula yang terjadi dengan sistem

unipolar dan hegemoni Amerika Serikat sebagai kekuatan adidaya. Geliat

negara-negara di Dunia semakin berkembang dan memberikan kejutan yang menarik untuk

melakukan counterbalance kepada Amerika dan sekutunya. Kondisi kebanyakan

negara-negara di Dunia tidak sama dengan kondisi mereka pada tahun 1990an,

26

Andrea Edoardo Varisco, “Towards a Multi-Polar International System: Which Prospects for Global Peace?”, http://www.e-ir.info/2013/06/03/towards-a-multi-polar-international-system-which-prospects-for-global-peace/(Kamis, 14 Juli 2016)

27

John T. Rourke, International Politics On The World Stage (New York: McGraw-Hill, 2005), 44

(50)

41

mereka memperbaiki diri, menghimpun kekuatan dan belajar dari pahitnya kondisi di

masa lalu dan perlahan merangkak naik menyanding kekuatan Amerika Serikat atau

bahkan menggeser posisi Amerika sebagai penguasa tunggal Dunia. Sub bab

selanjutnya akan membahas bagaimana sistem Dunia berubah dari unipolar menuju

multipolar.

E. Unipolaritas dan Ancamannya

Seperti yang penulis tuliskan diatas, geliat negara-negara di Dunia tidak sama

seperti yang terjadi pada era pasca Perang Dingin, di era modern sebenarnya beberapa

negara melakukan perimbangan yang cukup berarti bagi Amerika dan membawa

wajah baru dalam sistem politik internasional. Kebangkitan “yang lain” yang

diistilahkan Zakaria merupakan sesuatu yang tak terelakkan yang harus dipandang

serius oleh Amerika ketika Dunia tidak lagi berbentuk unipolar. Titik kekuatan Dunia

tidak selamanya dikendalikan oleh Amerika, bangkitnya kekuatan-kekuatan lain

menjadikan Amerika bukanlah kontestan tunggal dalam panggung hiburan Dunia

politik internasional. Mari kita lihat lebih jauh bagaimana Dunia berubah menjadi

lebih plural dan lebih memiliki daya saing.

(51)

42

agresif. Jepang, meskipun bukan termasuk negara berkembang, makin berani menyuarakan opini dan keberpihakannya kepada negara-negara tetangga. Eropa bertindak semakin tegas dan terarah dalam bidang perdagangan dan ekonomi. Brazil dan Meksiko kian vokal dalam persoalan Amerika Latin.Afrika Selatan telah memosisikan diri sebagai pemimpin di benua Afrika.Seluruh negara tersebut menjadi aktif di arena internasional lebih daripada sebelumnya.28

Pernyataan Zakaria diatas merupakan hal yang menjadi titik fokus tantangan

Amerika dimasa depan dimana beberapa negara muncul menjadi kekuatan menonjol

di regionalnya masing-masing dan tumbuh meraih kepercayaan diri untuk

mengimbangi kekuatan Amerika Serikat dalam berbagai bidang. Banyak ahli yang

meramalkan unipolaritas Amerika Serikat akan bertahan berdekade-dekade lamanya,

tetapi kenyataan yang berkembang sepertinya akan jauh dari ramalan. Seperti

Wohlforth yang menuliskan keadaan unipolar yang tidak hanya damai tetapi juga

akan bertahan lama di tahun 1990, sepertinya akan melakukan revisi terhadap

tulisannya. Ketahanan Amerika Serikat sebagai sentrum kekuatan Dunia tidak akan

bertahan lebih dari dua dekade, dengan kebangkitan “yang lain” yang diistilahkan

Zakaria akan membuat Amerika kewalahan membendung gairah negara-negara

tersebut untuk memiliki peran yang sejajar dan penting dalam sistem internasional.

Krauthammer menulis bahwa stabilitas merupakan sesuatu yang tidak di dapat

dengan sendirinya. Ketika suatu negara mampu untuk mengendalikan stabilitas maka

ia mendapatkan secara sadar dan hanya bisaa dilakukan oleh negara yang memiliki

kekuatan hebat. Jika Amerika menginginkan stabilitas maka ia harus menciptkannya.

Komunisme memang telah selesai, tetapi akan ada ancaman baru yang akan

28

Zakaria, The Post-American World, 61

(52)

43

menganggu kedamaian Amerika. Menurut Krauthammer ancaman tersebut adalah

proliferasi senjata pemusnah massal. Lebih dari dua lusin negara berkembang akan

memiliki misil balistik, lima belas negara tersebut akan memiliki kemampuan ilmiah

untuk membuat misil balistik tersebut, dan sebagian dari mereka akan memiliki atau

mendekati untuk mendapatkan kemampuan nuklir. Tiga puluh negara akan memiliki

senjata kimia dan sepuluh negara akan mampu untuk mengembangkan senjata

biologi.29

Proliferasi senjata pemusnah massal (Weapon of Mass Destruction) menurut Krauthammer merupakan ancaman serius dan nyata yang dihadapi Amerika

Serikat.Ia menyebutkan bahwa keberadaan WMD bukanlah sesuatu yang baru tetapi

sistem baru yang tidak seperti bipolar membuat setiap negara berpotensi untuk

memiliki nuklirnya sendiri dan menebar ancaman untuk kedamaian Dunia. Pasca

serangan 9/11 Amerika menyadari kemungkinan musuh-musuh yang dipersenjatai

dengan senjata pemusnah massal semakin tidak dapat dikendalikan dan tidak dapat di

deteksi.30 Tetapi hal lain justru disebutkan oleh Zakaria bahwa pasca 9/11 banyak

negara di Barat termasuk Amerika suka menakut-nakuti diri sendiri dan orang

banyak. Para pakar mengekstrapolasikan tren apa yang mereka sukai, tanpa

repot-29

Krauthammer, The Unipolar Moment, 31

30

Charles Krauthammer, “The Unipolar Moment Revisited”, The National Interest (Winter 2002), 9

(53)

44

repot membahas data secara serius.31 Ketakutan akan hal tersebut dianggap

berlebihan dan kadang terkesan mengada-ada.

Pertanyaan tentang ketangguhan unipolar tetap menjadi debat yang panjang di

kalangan para ahli. Banyak analis seperti kembali berpendapat bahwa keunggulan

Amerika mungkin akan memudar dalam waktu dekat, kompetitor potensial, terutama

Tiongkok mulai bangkit dan beberapa ada yang mengkaitkan krisis ekonomi yang

terjadi pada tahun 2008 menjadi tanda buruk bagi keunggulan Amerika.32

Unipolaritas tidak merubah dinamika fundamental dari politik internasional.

Negara-negara lain selalu mempunyai hasrat untuk mengimbangi kemampuan kekuatan besar

bahkan bila sang hegemon tidak memberikan ancaman bagi mereka.33

Hegemoni Amerika Serikat juga tidak hanya di tantang oleh kebangkitan

Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi, Tiongkok diharapkan akan melampaui Amerika

Serikat sabagai pabrikan Dunia terbesar di tahun 2020. The BRICS yang

beranggotakan Brazil, Russia, India, Cina dan Afrika Selatan juga diharapkan bisaa

melampaui produksi gabungan dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman,

Jepang dan Italia di tahun 2039. Di Amerika Latin, jumlah negara yang bergabung

melawan tekanan hegemoni dari Amerika yang tergabung dalam The Bolivarian

Alternative of the Americas (ALBA), yang merupakan gagasan dari presiden

31

Zakaria, The Post-American World, 18

32

Nuno P. Monteiro, “Unrest Assured; Why Unipolarity Is Not Peaceful”, International Security Vol. 23 No. 2 (Winter 2011), 2-3

33

Christopher Layne, “The Unipolar Revisited; The Coming End of the United States’ Unipolar Moment”, International Security, Vol. 31, No. 2 (Fall 2006), 9

Gambar

  Tabel 1.1
  Gambar 1.1
 Tabel 3.1
gambar dan grafik yang disadur dari Freedom House tentang bagaimana kondisi
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji Mann Whitney pada kelompok yang mendapat paparan asap rokok kretek biasa sesudah induksi formaldehyde (K2) dan kelompok yang mendapat paparan asap divine

[r]

Pelaksanaan pekerjaan ini dimaksudkan untuk menghasilkan suatu dokumen rencana penyelenggaraan pembangunan kawasan permukiman perkotaan sebagai bagian dari

Beberapa hal yang diduga menyebabkan negatif palsu pada deteksi antigen dengan metode AL adalah efek prozone atau akibat proses masking antigen GXM oleh protein yang

pelayanan yang dihasilkan akan tinggi sehingga berpengaruh pula pada tingginya tingkat kepuasan masyarakat, sebaliknya jika unsur pelayanan tidak sesuai atau tidak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan ikan nila pada kerupuk singkong memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar protein, warna secara fisik,

Guna mendapatkan keuntungan tersebut, korporasi akan melakukan segala macam cara yang lazimnya tidak memperhatikan moral atau etika, karena berpandangan (1) Bisnis

Pemanfaatan Rimpang Kunir Putih ( Curcuma zeduaria ) Sebagai Pengurang Kerusakan Struktur Mikroanatomi Hepar Mencit Akibat Alkohol. Jakarta: Universitas Indonesia Press.