KRITIK TESIS FRANCIS FUKUYAMA ATAS KEMENANGAN
KAPITALISME DAN DEMOKRASI LIBERAL
Skripsi
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan
Sarjana Strata Satu (S-1)
Ilmu Filsafat Politik Islam
Oleh: PIPI SAPITRI
E74212070
Program Studi Filsafat Politik Islam
Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat
KRITIK TESIS FRANCIS FUKUYAMA ATAS KEMENANGAN
KAPITALISME DAN DEMOKRASI LIBERAL
Skripsi
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan
Sarjana Strata Satu (S-1)
Ilmu Filsafat Politik Islam
Oleh: PIPI SAPITRI
E74212070
Program Studi Filsafat Politik Islam
Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat
ABSTRAK
Dalam tulisan yang berjudul “ Kritik Tesis Francis Fukuyama Atas Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal” ini penulis mencoba untuk melihat relevansi tesis Fukuyama setelah hampir 27 tahun ia menuliskannya dalam sebuah jurnal yang berjudul “The End of History?”. Berakhirnya Perang Dingin yang membawa kejayaan bagi demokrasi liberal dan kapitalisme membuat semua negara terbawa arus hingar bingar maraknya demokratisasi berbagai negara di dunia dengan kehancuran rezim non-demokrasi. Tulisan ini juga tidak hanya membahas tentang bagaimana sejarah yang masih terus berlanjut pasca Perang Dingin tetapi juga melihat efek dan ketidaksempurnaan Demokrasi liberal dan Kapitalisme yang
dikatakan Fukuyama sebagai World’s Default System. Dengan menggunakan
metode Library Researchdan memanfaatkan semua sumber data baik dari buku,
jurnal, media online dan media sosial, penulis berupaya menyajikan bagaimana pergulatan sejarah masih terjadi pada hari ini dan bagaimana dominasi demokrasi dan kaptalisme liberal bukan merupakan bentuk akhir peradaban umat manusia.
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iv
MOTTO ... v
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Kegunaan Penelitian... 8
E. Kerangka Teori... 9
F. Telaah Pustaka ... 13
G. Metode Penelitian... 15
1. Jenis Penelitian ... 15
2. Sumber dan Jenis Data ... 18
H. Sistematika Pembahasan ... 18
BAB II DUNIA DAN POLARITAS A. Selayang Pandang Tentang Francis Fukuyama... 22
B. Landasan Filsafat Fukuyama... 23
C. Akhir Perang Dingin Sebagai Awal “DuniaBaru” ... 29
D. Dunia Unipolar ... 33
BAB III MENGGUGAT KEMAPANAN KAPITALISME DAN
DEMOKRASI LIBERAL
A. Kemunduran Kapitalisme... 46
B. Hutang Sang LingkaranSetan ... 54
C. Kemunduran Demokrasi?... 56
BAB IV ANALISIS A. The End Of History Hari ini ... 67
1. Iliberal Demokrasi dan Bangkitnya FahamPopulis... 72
B. Wajah Demokrasi Indonesia ... 77
C. Ideologi Masa Depan ... 84
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN ... 91
B. SARAN ... 91
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Akhir dasawarsa abad ke 20 muncul tulisan menarik yang diterbitkan The
National Interest mengenai prediksi pergolakan Negara-negara di Dunia pasca Perang Dingin yang ditulis oleh seorang ilmuwan politik sekaligus ekonom politik asal
Amerika Serikat Francis Fukuyama berjudul “The End of History?”. Dalam tesisnya Fukuyama dengan gambalang mengatakan bahwa berakhirnya Perang Dingin
menjadi titik poin akhir dari evolusi ideologi umat manusia dan universalisasi dari
demokrasi liberal sebagai bentuk akhir dari pemerintahan.1Amerika yang bisaa
dikatakan sebagai pemenang perang sejati yang pernah terjadi di muka bumi merasa
berkepentingan untuk mentukan arah Dunia selanjutnya paska Perang Dingin melalui
berbagai kebijakan luar negerinya. Jika kita kembali kepada era Perang Dingin
dimana pertarungan dua kekuatan besar Dunia yang direpresentasikan oleh Amerika
dan USSR lebih dititik beratkan sebagai pertarungan dalam tataran yang sangat sexy
yaitu Ideologi. Munculnya dua kekuatan besar paska Perang Dunia II dianggap
merupakan salah satu pemicu terjadinya rebut-rebutan kekuasaan dan pengaruh di
berbagai Negara sebagai bentuk pengakuan siapa yang paling berkuasa.Ideologi
1
Francis Fukuyama, The End of History?, The National Interest, Summer 1989, 1
2
dianggap menjadi tolak ukur yang menetukan keberhasilan dalam dan luar negeri
suatu Negara, dia merupakan hal krusial yang harus diputuskan secara hati-hati oleh
Negara manapun untuk mengamankan posisinya di tataran politik global.
Tidak ada dua nahkoda dalam satu kapal, setidaknya hal itu jugalah yang
terjadi dengan keadaan politik di Dunia. Munculya dua kekuatan besar yang sangat
berbeda satu sama lain dalam satu waktu akan senantiasa membuat
kekuatan-kekuatan tersebut menonjolkan dirinya baik dalam bidang politik, teknologi,
keamanan, maupun ekonomi, sehingga persaingan merupakan sesuatu yang tak
terelakkan.Dalam prakteknya Perang Dingin merupakan arena pertarungan yang
mumpuni dalam menguji kekuatan mana yang mampu bertahan berjalan beriringan
seusai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman yang semakin modern.
Munculnya suatu Negara adikuasa yang menjadi “leader” dan menjadi patokan
dalam hal ini adalah Amerika membuat masa-masa pasca Perang Dingin merupakan
pesta kemenangan yang selalu di rayakan dan berlangsung relatif lama dan bisa
dikatakan tidak ada hambatan berarti yang membuat pesta harus dihentikan. Selama
lebih kurang dua dasawarsa sejak 1989, kekuatan Amerika Serikat-lah yang
menentukan tatanan Internasional.Semua jalan bermuara ke Washington, sedangkan
pemikiran Amerika di bidang politik, ekonomi, dan kebijakan negeri menjadi titik
tolak dari aksi global. Washington adalah actor terkuat sejagat, menjadi penyeimbang
dalam Eropa-Asia Timur, berperan krusial di Timur Tengah serta Asia Tengah dan
3
hubungan terpenting di panggung Internasional adalah hubungan dengan Amerika
Serikat.2
Kemenangan Demokrasi Liberal dalam arena Perang Dingin yang
dinisbahkan dengan percaya diri oleh Fukuyama menurut penulis menjadi sesuatu
menarik yang harus dilihat kembali legitimasinya dengan konteks perkembangan
keadaan Negara-negara di Dunia saat ini. Fukuyama dalam bukunya memakai
pemikiran Kant yang mengatakan bahwa sejarah manusia akan sampai pada suatu
titik akhir yang bisaa membuat seluruh sejarah manusia bisa dipahami. Pernyataan
Kant ini kemudian hari diteruskan oleh Hegel yang juga mempercayai bahwa
manusia akan sampai pada suatu titik akhir.3 Fukuyama menuliskan bahwa penentang
ideologi Demokrasi Liberal yaitu fasisme sudah sepenuhnya hancur sebagai ideologi
pasca Perang Dunia ke II yang ditandai dengan anggapan sebagain besar rakyat
Jeman bahwa fasisme hanya mendatangkan konflik yang tak berakhir sehingga tidak
ada alasan untuk fasisme berkembang, dijatuhkannya bom di Hiroshima dan
Nagasaki juga menandai akhir fasisme di Jepang. Berhasilnya Masuk dan
diimplemantasikannya kapitalisme barat dan liberalism politik di Jepang
menggantikan sistem sebelumnya yang sempat mapan di Jepang dijadikan Fukuyama
sebagai salah satu keberhasilan ideologi untuk mengantarkan Negara yang sempat
porak poranda akibat perang ini sebagai salah satu pengikut jejak Amerika Serikat
2
Fareed Zakaria, The Post-American World: Gejolak Dunia Pasca Kekuatan Amerika, (Yogyakarta: Bentang, 2015) 59
3
Francis Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal (Yogyakarta – Qalam, 2001) 115-118
4
dalam menciptakan sebuah budaya konsumerisme universal. Kesuksesan cerita
Jepang tersebut disandingkan dengan cerita dari seorang petinggi Myanmar Ne Win
yang mengunjungi Singapura untuk melakukan perawatan kesehatan dan merasa
sangat sedih melihat ketertinggalan Myanmar yang dikuasai oleh rezim militer
tersebut jika dibandingkan dengan keadaan tetangga ASEANnya.4
Bukti konkret selanjutnya yang menunjukkan tren demokrasi liberal sebagai
pemenang pertarungan ideologi Dunia bisa dilihat tren perkembangannya dari tahun
ke tahun di seluruh Negara di Dunia melalui grafik yang di unggah oleh
ourworldindata.org mengalami kenaikan yang sangat signifikan pasca 1970an yang berjumlah 32 negara menjadi 87 negara di tahun 2010. Berikut adalah grafik yang
disadur oleh penulis dari situs ourworldindata.org
Tabel 1.1
Tabel Perkembangan Negara Penganut Sistem Demokrasi
4
5
Sumber: www.ourworldindata.org
Adapun pemetaan demokrasi menurut nobelprize.org pada tahun 2010 adalah
sebagai berikut
Gambar 1.1
6
Sumber: www.nobelprize.org
Apa yang dituliskan Fukuyama 26 tahun silam menggambarkan bagaimana
seakan Demokrasi Liberal tak mempunyai penantang yang berarti, tetapi Dunia
bergerak setiap hari, perimbangan kekuatan berubah setiap waktu yang menandakan
bahwa Amerika Serikat tidak sendiri dalam dinamika politik Internasional.
Liberalisme yang digadang-gadangkan sebagai akhir dari sejarah ideologi umat
manusia seakan kembali perlu untuk dipertanyakan dan diuji kembali ketahanannya.
Bangkitnya “Yang Lain” seperti istilah Fareed Zakaria perlu untuk diperhitungkan
kekuatan rivalitasnya melawan apa yang sudah mapan selama ini.
Mari kita melihat dan mengingat kembali apa yang terjadi dengan keadaan
finansial global 7 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2008 dimana Dunia
7
Liberal, negara Paman Sam. Demokrasi Liberal tidak hanya membuka peluang
siapapun dalam partisipasi politik, tetapi juga membuat market terbuka bagi siapa saja tanpa memandang bulu. Bangkrutnya bank Investasi terbesar di Amerika,
Lehman Brothers yang merupakan korban dari sistem kredit macet menjadi bukti
bahwa kurangnya peran Negara dalam mengatur sendi-sendi perekonomian
memberikan efek domino bukan hanya di dalam negeri tetapi juga menjalar
merambat ke negeri-negeri lainnya.5
Kabar yang paling anyar mungkin datang dari Negara Yunani, asal usul
berkembangnya Demokrasi.Yunani mungkin menjadi representasi Negara Eropa
yang selama ini merupakan dianggap sebagai Negara makmur yang tidak memiliki
masalah berarti dalam ranah ekonomi. Masuknya Yunani sebagai bagian dari Uni
Eropa pada 1981 menbuat Negara para Filsuf ini terlena sehingga sedikit ceroboh
dalam menetapkan kebijakan moneter dan fiskalnya yang membuat Yunani memiliki
hutang sebesar €360 miliar atau setara dengan Rp5.000 Triliun, angka yang sangat
fantastis untuk Negara yang hanya memiliki 11 juta penduduk, hal ini juga
menjadikan Negara Yunani menjadi satu-satunya Negara makmur yang tidak bisaa
membayar hutang.6
5
8
Terkait dengan collapsenya ekonomi yang pernah terjadi pada Amerilka tahun 2008 dan Yunani di penghujung tahun 2015 membuat penulis mempertanyakan
tentang kemapanan system Demokrasi Liberal dengan Kapitalismenya yang
digadang-gadangkan oleh Francis Fukuyama sebagai sesuatu yang tidak bisa
dielakkan oleh Negara-negara yang ingin maju diera teknologi dan informasi ini.7
Bagi penulis banyak hal menarik dari pernyataan-pernyataan Fukuyuma mengenai
akhir dari sejarah umat manusia yang harus di lihat kembali perkembangannya
dengan konteks yang berbeda 26 dengan tahun silam melalui melihat kebangkitan
yang dilakukan oleh Negara-negara lain di Dunia
Berdasarkan uraian diatas untuk selanjutnya, penulis tertarik untuk meneliti
mengenai pergolakan dan dinamika ideologi di Dunia. Oleh karena itu penulis
mengajukan penelitin dengan judul:
Kritik Tesis Francis Fukuyama Atas Kemenangan Kapitalisme Dan Demokrasi
Liberal
yunani-karena-terlilit-utang dan “Studi Kasus Krisis Yunani” yang dapat diakses melalui https://independent.academia.edu/viasyafiqa
7
Francis Fukuytama, Kemenangan Kapitalisme… 175
9
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi dan latar belakang masalah diatas, maka penulis
merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana relevansi tesis Fukuyama melihat perkembangan konstelasi politik
global dewasa ini?
2. Siapakah yang paling berpotensi sebagai pengisi ideologi dimasa depan?
C. Tujuan Penelitian
Berpijak pada rumusan masalah yang ada, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui apakah tesis Francis Fukuyama yang dituliskannya dalam
The End of History? Masih relevan untuk keadaan politik Dunia yang mengalami perekembangan dan dinamika yang sedemikian rupa.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan masa depan dinamika ideologi di
Negara-negara modern.
D. Kegunaan Penelitian
Beberapa manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat Keilmuan. Salah sattu manfaat keilmuan yang didapat dari penelitian
ini adalah menambah wawasan politik mengenai peta konstelasi politik
10
2. Manfaat Teoritik. Manfaat teoritik yang diambil dari penelitian ini adalah
untuk membuktikan teori Neo Realisme yang dibawa oleh Kenneth Waltz
masih bisaa dan relevan untuk diaplikasikan kedalam situasi politik global,
meskipun perang dingin.
E. Kerangka Teori
Teori yang dipakai penulis untuk menganalisis penelitian ini adalah dengan
menggunakan teori kritis. Istilah “teori kritis” sudah bisa dikaitkan dengan berbagai
ragam karya yang dihasilkan oleh Frankfurt Institute of Social Research, sebuah organisasi yang didanai secara swasta dan didirikan di Jerman tahun 1923 oleh
sekelompok intelektual Kiri.8 Teori kritis juga dikenal dengan nama Mazhab
Frankfurt (Frankfurt Schule), tetapi ada juga yang membatasi pemakaian istilah Mazhab Frankfurt hanya dipakai untuk merujuk genarasi pertama para pendiri aliran
ini seperti Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Herbert Mercuse, Franz
Neumann, Otto Kirchheimer dan Karl August Wittfogel. Pembatasan ini karena
banyak yang menganggap bahwa setelah generasi pertama telah terjadi perubahan
yang cukup signifikan dalam perkembangan teori ini karena penerus teori ini seperti
Jurgen Habermas mewarisi cita-cita dasar dari teori kritis dan menggabungkannya
dengan realitas masyarakat industri yang berkembang pada masa setelah Perang
Dunia II.
8
Michael Corzier, “Mazhab Frankfurt”, dalam Teori-Teori Sosial; Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, ed. Peter Beilharz (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 137.
11
Dalam pembukaan bukunya yang berjudul Critical Theory and International
Relations, Steven C. Roach menuliskan ada ada empat prinsip inti yang terdapat dalam teori kritis.Pertama adalah teori kritis menekankan dimensi reflektif dari
teori/ide seseorang, atau sebagai penghubung intrinsik dari perilaku dan nilai
seseorang beserta orientasi ideologinya.Orientasi ideologi menjadi unsur yang sangat
penting.Ideologi dijadikan “kacamata” dalam melihat seseorang. Kedua adalah teori
kritis berfokus pada perubahan struktur politik, dalam perjalannya ia menunjukkan
bagaimana kekuatan politik dan kontrol ideologi bisa membantu mengembangkan
presepsi dari struktur ekonomi dan politik. Ketiga adalah dimensi normatif dari teori
kiritis mengasumsikan bahwa tanggung jawab etika individu selalu dibentuk oleh
keadaan sosial yang berubah, dan yang terakhir adalah bahwa teori sosial adalah
merupakan sebuah analisis integratif dari keadaan sosial.9
Kebanyakan karya aliran kritis ditujukan untuk mengkritik masyarakat
modern dan berbagai jenis komponennya. Salah satu perhatian dialektika paling
terkenal dari teori kritik adalah minat Jurgen Habermas terhadap hubungan antara
pengetahuan dan kepentingan manusia. Habermas membedakan tiga sistem
pengetahuan dan kepentingannya yang saling berhubungan. Tipe pertama, dari
pengetahuan itu adalah ilmu analitik, atau sistem saintifik positivistik klasik. Menurut Habermas, kepentingan dasar dari system pengetahuan semacam itu adalah kontrol
teknis, yang dapat diaplikasikan untuk lingkungan, masyarakat, atau orang di dalam
9
Steven C. Roach, Critical Theory and International Relations (London: Routledge, 2008), xvi-xvii.
12
masyarakat. Tipe sistem pengetahuan yang kedua adalah pengetahuan humanistik,
dan kepentingannya adalah untuk memahami dunia.Ia beroperasi dari pandangan
umum bahwa masa lalu kita pada umumnya membantu kita untuk memahami apa-apa
yang terjadi pada masa sekarang. Tipe ketiga adalah pengetahuan kritis, yang
didukung oleh Habermas dan aliran Frankfurt pada umumnya. Diharapkan bahwa
pengetahuan kritis yang dikemukakan oleh Habermas membangkitkan kesadaran
massa dan menimbulkan gerakan sosial yang akan menghasilkan harapan
emansipasi.10
Melihat system pengetahuan yang dikemukakan oleh Habermas diatas, maka
penulis rasa akan sangat cocok untuk membedah tesis Fukuyama menggunakan teori
kritis karena sesungguhnya klaim hegemoni demokrasi dan kapitalisme liberal yang
dilontarkan oleh Fukuyama sendiri merupakan bentuk dari dampak nyata tipe
pertama yang dengannya kita berasumsi dan menerima secara luas hegemoni
demokrasi dan kapitaslisme liberal yang ternyata masih banyak kekurangan
didalamnya dan melihat alternative lain sebagai sesuatu yang tidak mungkin untuk
diadakan. Tetapi fungsi dari teori kritis sendiri adalah untuk memahami dunia
bagaimana ia sebenarnya bekerja dan pada bab-bab selanjutnya penulis akan
berupaya untuk menghadirkan fakta dan data tentang bagaimana dampak langsung
dari demokrasi dan kapitalisme liberal.
10
13
Fukuyama sendiri yang merupakan penerjemah dari pemikiran Filsafat Hegel
tidak bisa kita lepaskan dari landasan ideologinya bagaimana akhirnya ia
menerjemahkan akhir dari sejarah. Padangan yang bersifat subjektif ini juga
merupakan salah satu agenda tersembunyi yang mungkin diusung oleh Fukuyama
karena menurut Habermas pengetahuan dan kepentingan manusia merupakan sesuatu
yang saling berhubungan dan hubungan antara faktor subjektif dan objektif ini
menurutnya tidak bisa ditangani secara terpisah. Menurutnya, system pengetahuan
ada pada level objektif, sedangkan kepentingan atau minat manusia adalah fenomena
subjektif.
Sisi subjektifitas ini bisa kita lihat salah satunya secara gamblang adalah
bagaimana seorang Fukuyama yang merupakan seorang warga Negara Amerika
mendengungkan tesisnya dengan percaya diri bahwa sejarah telah berakhir dengan
keluarnya demokrasi sebagai system pendominasi di masa depan. Runtuhnya Uni
Soviet menjadikan momen yang tepat bagi rivalnya untuk mengklaim
kemenangannya dengan menerbitkan sebuah jurnal ilmiah yang nantinya akan
menjadi salah satu bentuk peligitamasi kemenangannya dalam ranah akademik.
Meskipun kita tahu bahwa tidak semua sarjana dan pemikir Amerika setuju dengan
Fukuyama, tetapi sebagaimana kita tahu bahwa apa yang ia tuliskan 27 tahun silam
merupakan sesuatu yang kontroversial pada masanya dan membawa perdebatan
14
sebaliknya, mungkin seorang ilmuan dari Soviet akan melakukan hal yang sama
karena penting untuk melakukan semacam legitimasi dalam dunia akademik.
Dalam hubungan internasional juga dikenal teori internasional kritis yang
mengambil bentuk modern dan postmodern. Secara epistimologis teoritisi kritis
mengkritisi upaya formulasi objektif, pernyataan kebenaran tentang dunia alam dan
sosial yang dapat dibuktikan secara empiris.Secara metodologis teori ini juga
berupaya bertindak sebagai suara bagi pengembangan teori-teori yang secara eksplisit
berkomitmen untuk mengungkap dan mengakhiri sturkutur dominasi.11 Dalam
bab-bab selanjutnya dalam upaya mengkritisi bagaimana kebenaran dunia yang
sesungguhnya, penulis akan menyajikan data dan fakta yang berkaitan dengan hal
tersebut yang nantinya akan mendukung hipotesis penulis tentang bagaimana tesis
Fukuyama terlalu tergesa-gesa untuk dibuat.
F. Telaah Pustaka
1. Francis Fukuyama, The End of History? , The National Interest, Summer 1989
Tulisan Francis Fukuyama menjadi salah satu sumber yang akan dipakai
penulis dalam membandingkan hasil temuan penelitian. Tulisan ini menceritakan
tentang mandeknya dinamika mnusia dalam tataran ideologi.Matinya komunisme dan
11
Richard Price dan Christian Reus-Smit, “Hubungan Berbahaya?Teori Internasional Kritis dan Konstruktivisme”, Refleksi Teori Hubungan Internasional dari Tradisional ke
15
fasisme sebagai penantang liberalisme membuat Fukuyama yakin bahwa ini
merupakan bentuk akhir dari sejarah manusia. Hal-hal berbau ideologis tidak akan
mewarnai berita-berita karena masa itu telah lewat, hal yang menjadi tantangan
liberalisme di masa depan adalah agama dan nasionalisme.
2. Fareed Zakaria, The Post-American World; Gejolak Dunia
Pasca-Kekuasaan Amerika, 2015 (Bentang – Jakarta)
Tulisan Fareed Zakaria ini menjadi hal yang menarik untuk dijadikan salah
satu bahan pustaka karena menggambarkan sisi Amerika yang tak lagi
perkasa.Kebangkitan Negara-negara yang dulunya porak poranda baik dalam segi
ekonomi dan politik perlahan mulai bangkit. Zakaria menceritakan tentang
bagaimana kebangkitan Cina, India dan beberapa Negara Amerika Latin seperti
Brazil dan Venezuela yang bisaa saja menjadi penantang terberat Amerika di msaa
depan. Negara non-Barat menurut Zakaria akan memainkan peranan yang sangat
signifikan di msaa depan, karena pembagian kekuatan tidak hanya akan terfokus di
Amerika dan Negara-negara Barat tetapi akan terbagi dan membuat keperkasaan
Amerika bukanlah sesuatu yang istimewa karena perimbangan kekuatan yang
16
3. Chomsky, How The World Works, 2015 (Bentang – Jakarta)
Tulisan Chomsky ini membuat orang lain melihat Amerika dengan sisi dan
sudut pandang yang berbeda. Kebijakan-kebijakan Amerika yang diekspor ke
Negara-negara yang sedang sekarat dilihat juga efek samping dan dampaknya secara
nyata yang selama ini di tutup-tutupi.Amerika dengan system politik dan ekonominya
ternyata tidak begitu saja memberikan untung bagi Negara yang
dimasukinya.Chomsky banyak menuliskn tentang ketimpangan ekonomi yang terjadi
di Brazil dan Meksiko dimana Negara-negara ini hanya dijadikan sapi perah Amerika
untuk memuluskan langkahnya dalam kontelasi perekonomian global.
4. Wildan Insan Fauzi, Akhir dari Ideologi atau Ideologi Tanpa Akhir
(Kajian Perbandingan Pemikiran Daniel Bell, Francis Fukuyama dan
Samuel Huntington Mengenai Konsep The End), Jurnal Pendidikan
Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan, vol I, No. 2
Dalam junnal ini penulis melakukan kajian tentang suatu “konsep akhir” yang
di bawa oleh Bell dan Fukuyama.Berakhirnya ideologi atau menangnya demokrasi
liberal sebagai bentuk akhir keadaan manusia bukan merupakan sesuatu hal yang
disebut sebagai akhir.Penulis jurnal memunculkan pendapat Huntington yang melihat
bahwa merosotnya komunisme dan kemenangan global liberalisme dan hilangnya
17
intelektual.Huntington berpendapat bahwa sumber utama konflik di Dunia baru
bukanlah ideologi atau ekonomi melainkan budaya.
5. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan penulis adalah jenis Pendekatan historis,
yaitu pendekatan untuk mengkaji sejarah.Jenis pendekatan sejarah sendiri
secara umum dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu sebagai berikut12:
1. Penelitian Sejarah Komparatif. Jenis penelitian ini digunakan untuk
membandingkan faktor-faktor dari fenomena-fenomena sejanis pada suatu
periode masa lampau. Penelitian sejarah komparatif ini memungkinkan bagi
penulis untuk menunjukkan aspek persamaan dan perbedaan dalam
fenomena-fenomena sejenis.
2. Penelitian Yuridis atau Legal. Merupakan metode sejarah yang digunakan
untuk menyelidiki berbagai hal atau kejadian yang berhubungan dengan
hokum baik itu hokum formal maupun nonformal di masa lampau.
3. Penelitian Biografis. Merupakan metode sejarah yang digunakan untuk
meneliti kehidupan tokoh dan hubungannya dengan masyarakat. Dalam
penelitian ini yang diteliti adalah sisi individu yang melekat pada seorang
tokoh tersebut, pengaruh lingkungan maupun ide selama masa hidupnya yang
memberikan efek kepada lingkungan yang dikenai pengaruhnya.
12
18
4. Penlitian Bibliografis. Ini merupakan jenis metode penelitian sejarah untuk
mencari, menganalisa, membuat interpretasi serta generalisasi dari fakta-fakta
yang merupakan pendapat para ahli dalam suatu masalah tertentu. Penelitian
ini mencakup hasil pemikiran dan ide yang telah ditulis oleh para pemikir dan
ahli. Proses pengerjaan dari metode ini adalah mengumpulkan karya-karya
tertentu dari seorang pemikir atau ahli, menemukan inti pemikirannya dan
memberikan interpretasi sekaligus generalisasi dari yang tepat terhadap karya
tersebut.
Jenis metode historis yang digunakan penulis adalah metode yang terakhir
yaitu Penelitian Bibliografis. Penelitian ini dianggap tepat oleh penulis yang
membahas tentang karya Francis Fukuyama tentang berakhirnya konsep sejarah
miliknya. Selain itu metode historis dirasa cocok oleh penulis untuk menggabungkan
fakta sejarah yang diperoleh dari kejadian Perang Dingin untuk kemudian kembali di
lihat pengaruh kejadian sejarah tersebut terhadap proses dinamika kejadian masa
lampaudengan penggabungan analisis Fukuyama.Hal ini sejalan dengan yang ditulis
oleh Dudung Abdurrahman dalam bukunya Metode Penelitian Sejarah bahwa analisis
sejarah itu sendiri bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh
dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu
ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh.13 Metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode penelitian literet atau studi pustaka. Jika dalam
13
19
penelitian lapangan studi pustaka dipakai dalam langkah awal untuk menyiapkan
kerangka penelitian. Dalam penelitian pustaka, penelusuran pustaka di fungsikan
lebih dari sekedar menyiapkan kerangka penelitian. Penelitian pustaka sekaligus
memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya, tegasnya
penelitian pustaka membatasi kegiatannya hanya pada bahan-bahan koleksi
perpustakaan saja tanpa memerlukan penelitian lapangan.14
2. Sumber dan Jenis Data
Yang dimaksud dengan sumber data adalah subjek dimana data tersebut
diperoleh dalam hal ini dibedakan menjadi dua. Pertama sumber data primer, yang
diambil oleh penulis sebagai sumber data primer adalah buku Fareed Zakaria yang
berjudul The Post-American Post (Yogyakarta: Bentang, 2015), Buku William Blum yang berjudul Demokrasi; Ekspor Amerika Paling Mematikan (Yogyakarta: Bentang, 2013), buku George Soros yang berjudul Krisis Kapitalisme Global; Masyarakat Terbuka dan Ancaman Terhadapnya (Yogyakarta: Qalam, 1998), buku Francis Fukuyama sendiri berjudul Kemenangan Kapitalisme dan DemokrasiLiberal (Yogyakarta : Qalam, 2001) yang menjadi objek yang diteliti dan yang terakhir adalah sebuah jurnal yang ditulis oleh Jonathan R.Macey dan Geoffrey P.Miller yang berjudul The End of History and the New Wolrd Order: The Triumph of Capitalism and the Competition between Liberaism and Democracy (Cornell International Law Journal: volume 25, 1992). Sumber sekunder berasal dari buku-buku dan jurnal yang berkaitan dengan topik penelitian.
14
20
6. Sistematika Pembahasan
Untuk lebih mudah dalam pembahasan penelitian ini, berikut penulis
menyajikan tentang sistematika pembahasan dalam penelitian yang terdiri dari:
BAB I : Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoritik, telaah pustaka,
metode penelitian dan outline penelitian.
BAB II : Membahas bagaimana polaritas Dunia, latar belakang pemikiran
Fukuyama, lahirnya era baru pasca Perang Dingin dan bagaimana unipolaritas
membawa dampak bagi politik Dunia
BAB III : Membahas bagaimana kemunduran kapitalisme, situasi hutang
Dunia dan kemunduran demokrasi
BAB IV : Analisis
21
BAB II
DUNIA DAN POLARITAS
Buku yang diterbitkan oleh Fareed Zakaria yang diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia The Post-American World; Gejolak Dunia Pasca-Kekuasaan
Amerika ini penulis jadikan sebagai sumber inspirasi utama dalam penulisan bab ini.
Kenapa dalam bukunya Zakaria lebih memilih untuk memberi judul The
Post-American World; Gejolak Dunia Pasca-Kekuasaan Amerika dan membahas semua yang berbau tentang Amerika dibanding negara lain. Titik tolak Dunia seolah-olah
selama ini berada di Amerika dan bukan di Rusia, Kanada atau bahkan Indonesia.
Gegap gempita Perang Dingin menjadi euforia yang tidak bisaa dilepaskan begitu saja. Runtuhnya Uni Soviet dan berbagai kejadian penanda berakhirnya Perang
Dingin mau tidak mau menjadi awal mula penanda kejayaan dan dominasi Amerika.
Zakaria dalam bukunya mengatakan bahwa Amerika bukanlah satu-satunya pemain
tunggal dalam percaturan global baik dalam bidang politik maupun ekonomi.
Berakhirnya Perang Dingin yang bipolar secara tidak langsung juga membuat
keadaan politik menjadi multipolar dan keadaan negara-negara lain tidak hanya
berpacu atau berpatokan pada 2 negara seperti yang terjadi di masa Perang Dingin
sehingga kesempatan negara-negara untuk mengembangkan potensi negaranya dalam
berbagai aspek kehidupan terbuka dengan luas.
22
Dalam pendahuluan bukunya, Zakaria sudah mulai membahas tentang
bagaimana masyarakat Amerika khawatir akan posisi negaranya dalam tataran politik
global, dan bayang-bayang akan mundurnya kekuatan negara Adidaya itu.
Sebenarnya yang ingin lebih ditekankan Zakaria dalam bukunya adalah kebangkitan
negara-negara lain selain Amerika yang berpotensi untuk menjadi negara besar dalam
bidang ekonomi, politik, teknologi, militer dan bahkan budaya. Peta politik Dunia
yang unipolar menyebabkan banyak negara-negara mendapat kesempatan yang sama
untuk menumbuhkan potensi negaranya masing-masing di berbagai bidang dan
“menguasai” Dunia, hal itulah yang terjadi dengan “yang lain”. Sebutan “yang lain”
merujuk kepada negara yang sedang berkembang di kawasan Asia, Amerika Latin
dan Afrika. Kebangkitan “yang lain” pada intinya adalah fenomena ekonomi, tetapi
berdampak juga terhadap semua ranah kehidupan yang lain. Di level politik-militer,
Amerika masih merupakan satu-satunya negara adikuasa di Dunia. Namun, dalam
segala dimensi lain, distribusi kekuasaan telah bergeser, menjauhi dominasi Amerika.
Bukan berarti kita tengah memasuki Dunia anti-Amerika. Namun, memang benar
bahwa kita sedang bergerak ke Dunia pasca-Amerika, yang didefenisikan dan
diarahkan dari banyak tempat dan oleh banyak orang. Sementara negara-negara
menjadi kian kuat dan kaya, bangsa-bangsa berkembang akan semakin berperan
penting dan semakin percaya diri.1
1
Fareed Zakaria, The Post-American World, 4-5
23
Sistem yang berubah pasca Perang Dingin dari bipolar menjadi multipolar
mempengaruhi bagaimana negara-negara menyediakan keamanan untuk negaranya.
Dengan adanya lebih dari dua kekuatan besar, negara banyak mengandalkan
usahanya sendiri untuk keamanannya dan kepada aliansi yang mereka buat dengan
negara lain. Kompetisi dalam sistem multipolar lebih rumit jika dibandingkan dengan
kompetisi dalam sistem bipolar karena ketidakpastian tentang kemampuan
komparatif negara yang selalu berkembang2. Pernyataan Waltz ini tentunya menjadi
tantangan sendiri bagi Amerika di masa depan dimana setiap negara modern dituntut
untuk bisa lebih berdikari diatas kakinya sendiri dengan memanfaatkan seluruh
potensi sumber daya yang dimilikinya, sehingga kemunculan “yang lain” memang
suatu fenomena yang tidak dapat dihindari.
Pada bab ini penulis akan membahas tentang bagaimana pergesaran polaritas
dalam politik Internasional membawa perubahan yang sangat signifikan bagi banyak
negara. Pergesaran ini hampir mempengaruhi segala aspek kehidupan bernegara.
Sebelumnya penulis akan membahas latar belakang pemikiran Francis Fukuyama
yang terinspirasi dari pemikrian seorang Leo Strauss dan juga bagaimana pasca
Perang Dingin menjadi starting point berakhirnya sejarah.
2
Kenneth N. Waltz, “Structural Realism after the Cold War”, International Security, Vol. 25, No. 2 (Summer 2000), 5
24
A. Selayang Padang Tentang Francis Fukuyama
Yoshihiro Francis Fukuyama atau yang lebih dikenal dengan Francis
Fukuyama merupakan ilmuwan politik, ekonom politik dan penulis asal negeri
Paman Sam, Amerika Serikat. Lahir pada 27 Oktober 1952 dengan nama Jepangnya
yang kental, ayah Fukuyama merupakan generasi kedua keturunan Jepang-Amerika.
Fukuyama kecil yang lahir dan dibesarkan di Amerika tumbuh dengan kultur
Amerika dan hanya sedikit sekali terpapar kebudayaan Jepang.
Fukuyama merupakan peneliti senior di Rand Corporation, spesialisasinya
adalah pada hubungan militer dan politik di wilayah Timur Tengah dan kebijakan
luar negeri Uni Soviet. Nama Francis Fukuyama menjadi sorotan banyak akademisi
maupun publik setelah jurnalnya yang berjudul ‘The End of History?’ pada tahun 1989 di terbitkan.Penggunaan judul dengan frasa “The End” menjadi sesuatu yang banyak menarik minat khayalak karena paskah berakhirnya Perang Dingin semua
ingin mengetahui siapakah yang benar-benar keluar sebagai pemenang pertarungan
sengit abad modern.
Dalam The End of History? Yang akhirnya dikembangkannya menjadi sebuah
buku dengan judul The End of History And The Last Man, Fukuyama menulis
gagasannya yang optimist dan penuh keyakinan bahwa paskah runtuhnya tembok
Berlin ia mengumumkan kemenangan telak atas demokrasi liberal diatas ideologi
manapun dengan menyatakan bahwa negara liberal lebih stabil secara internal dan
25
memaparkan ide-ide para filosof dan arti dari konsep “sejarah” yang
dimaksudkannya.
B. Landasan Filsafat Fukuyama
Baik dalam jurnal maupun buku yang ditulis Fukuyama tentang berakhirnya
sejarah, ia menyebut beberapa nama yang menjadi sumber acuan filosofis tentang
makna sejarah yang telah berakhir. Pada bagian satu jurnalnya yang diterbitkan oleh
The Nartional Interest ia menuliskan bahwa konsep dari akhir sejarah sudah diawali
oleh Karl Marx yang berkeyakinan bahwa arah perkembangan sejarah akan berujung
pada suatu keadaan dimana pencapaian dari utopia komunis yang akan
menyelesaikan semua masalah kontradiktif.3 Hal ini menurutnya sejalan dengan
pemikiran Hegel yang juga beranggapan bahwa sejarah Dunia sudah memiliki
akhirnya tersendiri dimana yang membedakan Marx dan Hegel adalah bahwa Marx
meramalkan masyarakat komunis akan menjadi akhir dari bentuk peradaban dimasa
depan dimana Hegel menyatakan sebaliknya, bahwa negara liberal yang akan menjadi
“akhir sejarah” peradaban manusia.4
Hegel menjadi pemikir yang pengaruhnya paling besar di abad ke-19. Karl
Marx muda merupakn salah satu pengagum pemikirannya. Marx masuk ke
Universitas Berlin pada 1836 dimana pengaruh pemikiran Hegel sedang mencapai
puncaknya dan membuat Marx turut ikut mengkaji pemikirannya.Saat itu pengikut
Hegel terpecah menjadi dua yaitu sayap kanan yang konservatif dan sayap kiri yang
3
Francis Fukuyama, The End of History?, The National Interest, Summer 1989, 1
4
Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme…
26
merupakan kelompok radikal.Marx yang saat itu sedang belajar ilmu hukum lebih
tertarik dalam mengkaji pemikirn Hegel dan menjadi salah satu pemimpin di
kelompok radikal yang disebut sebagai Hegelian muda.5
Fukuyama berpegangan pada konsep sejarah universal versi Hegel yang
berpendapat bahwa sejatinya manusia itu terlahir sebagai individu yang bebas yang
kemudian diaplikasikan dalam konsep sejarah perdaban manusia yang pada akhirnya
mencari bentuk kebebasan itu. Dalam bukunya Filsafat Sejarah Hegel menulis
“Tujuan pencapaian yang kita tunjukkan pada sketsa: adalah ruh dalam Keutuhnnya,
dalam keadaannya yang hakiki, yaitu Kebebasan”.6 Di dalam bukunya Hegel
berusaha untuk “menyatukan” sejarah manusia yang berusaha mencari bentuk
kebebasan yang sempurna dalam setiap tahap sejarah yang dialaluinya. Filsafat
Sejarah Hegel memulai dinamika pencarian kebebasan manusia dimulai dari Timur
lebih tepatnya Cina dimana pemerintahan Cina pada masa itu masih berbentuk
kerajaan yang sangat patriakhi, raja merupakan sosok kebenaran mutlak yang menjadi
pusat segalanya dan kemakmuran suatu bangsa dan negara sangat bergantung
padanya. Hegel menuliskan bagaimana hukum Cina pada masa itu menggunakan
hukuman fisik yang diterapkan baik dalam lingkup paling kecil yaitu keluarga hingga
ke ranah publik sekalipun. Bahkan sampai ranah tentang agama pun dijelaskan disini
dimana Cina kuno definisi agama yang dijalankan menjadi berbeda karena mereka
bahkan tidak bisa memisahkan hal yang berbau profan yaitu negara dan
5
T. Z. Lavine, Petualangan Filsafat; Dari Socrates ke Sarte (Yogyakarta: Jendela, 2002), v
6
G.W.F. Hegel, Filsafat Sejarah, terj. Cuk Ananta Wijaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) 77
27
pemerintahan. Dalam seksi Cina Hegel menjelaskan bagaimana masyarakat Cina
tidak memiliki kebebasan bahkan sampai keranah yang sifatnya sangat privasi
sekalipun. Situasi Cina kuno yang tidak mengenal kebebasan individu dimana posisi
yang sama rendah di hadapan raja dapat menyebabakan penurunan kesadaran dan
martabat sehingga berpotensi terjerumus dalam sikap pasrah.7
Perjalanan mencari kebebasan dan penyadaran manusia akan hakikatnya yang
terlahir sebagai individu yang bebas dijelaskan Hegel melalui sejarah Dunia. Seluruh
sejarah Dunia merupakan proses dimana jiwa tampak terbatas pada manusia yang
memaknai kebebasannya sendiri. Sejarah bisa dikatakan sebagai kemanusiaan yang
sedang berlangsung dalam kesadaran atas kebebasan dirinya.8
Perjalanan manusia yang dimulai dari Timur lalu berakhir dengan kesadaran
Barat akan kehendak subjektifnya. T.Z. Lavine dalam bukunya menuliskan:
Kristen Jerman menjaga diri dari tesis negara Timur, yakni kepentingan untuk memiliki seorang kepala negara, seorang raja; juga melindungi diri dari antitesis Dunia Romawi dan Yunani, yakni kepentingan untuk memiliki sebuah undang-undang yang mengakui kebebasan warga Romawi dan Yunani secara keseluruhan, yang telah dikembangkan melalui pencerahan di Inggris dan Perancis. Jerman sebagai negara-bangsa belumlah bersatu untuk memiliki peran dalam mewujudkan kesadaran kebebasan yang paling sempurna, karena hal tersebut menyatukan tesis kerajaan Timur yang bebas dengan antitesis pencerahan kebebasan konstitusional atas segalanya menjadi sebuah tesis baru, meleburnya dalam
7
Ibid., 179.
8
T. Z. Lavine, Petualangan Filsafat. 226.
28
perasaan kebabasan jiwa manusia ala Lutheran. Hal ini dirumuskan dalam laku dalam kesadaran akan kebebasan meraih sebuah dialektika sintesis dan pemenuhan. Orang-orang Jerman melahirkan puncak kesadaran kebebasan dan puncak sejarah Dunia.9
Berakhirnya sejarah menurut Hegel kemudian diperkuat kembali oleh
Fukuyama pasca Perang Dingin.Berakhirnya sejarah sudah lebih dulu di deklarasikan
oleh Hegel melalui pertempuran Jena pada tahun 180610 dan sekarang kembali
dengan tesisnya Fukuyama di abad 20. Dengan berbagai pertimbangan yang ada
Fukuyama melihat bahwa perang ideologi menjadi hal yang sudah tidak perlu untuk
diperbincangkan di masa depan karena pemenangnya sudah jelas yaitu demokrasi
liberal.
Di dalam salah satu jurnal, ada peneliti yang melihat sisi lain pandangan
filsafat dari Fukuyama. Selain sebagai Hegelian, Fukuyama juga dipandang sebagai
seorang Straussian yaitu pengikut dari Leo Strauss. Straussian percaya bahwa
kemakmuran material sendiri berarti sederhana. Straussian meyakinkan orang-orang
bahwa demokrasi gaya barat bisa dengan berhasil memenuhi kebutuhan kekayaan
untuk memuaskan hasrat material manusia, tetapi tidak dapat melakukan apapun
untuk memuasakan hasrat manusia untuk hal-hal yang lebih dalam dan lebih kuat.
Sebagai seorang Straussian Fukuyama dapat secara simultan merayakan dan meratapi
9
Ibid., 235.
10
Fukuyama, The End of History?, 2
29
kejayaan demokrasi di seluruh Dunia. Fukuyama merayakan karena demokrasi liberal
dapat menghasilkan cukup kekayaan untuk memuaskan banyak hasrat manusia.
Fukuyama meratapi karena perjuangan selama Perang Dingin, seringkali di
karakteristikkan sebagai perjuangan kuno antara yang baik dan yang buruk
memungkinkan warganegara utuk mengeskpresikan dorongan mereka untuk
menempatkan diri mereka pada suatu konteks moral yang luas.11
Penulis jurnal mengklaim bahwa ada kecacatan dalam mengartikan
pandangan Strauss yang dilakukan oleh Fukuyama. Fukuyama dianggap gagal untuk
merenenungkan kemungkinan warganegara dari demokrasi kapitalis dapat
menemukan jalan keluar baru untuk dorongan mereka dalam mengartikan diri mereka
di Dunia sebagai makhluk moral. Kegagalan kedua adalah Fukuyama gagal untuk
mengenali bahwa ada beberapa konsepsi dari liberalisme dan demokrasi dan bahwa
perbedaan ini bisa saja menjadi potensi atas perang ideologi dimasa depan.12
Ide dari seorang Fukuyama sebagai penganut Straussian adalah dari judul
bukunya yang terbit dalam Bahasa Inggris The End of History And The Last Man.
Penggalan kata “The Last Man” atau manusia terakhir yang merupakan refleksi dari pemikiran Nietzsche dimana ketika manusia berhenti mempertanyakan tentang
penjarahan dan kemenangan, ia akan jatuh kepada cangkang kosong. Sebagaimana
11
Jonathan R. Macey dan Geoffrey P. Miller, “The End of History and the New World Order: The Triumph of Capitalism and the Competition Between Liberalism and Democracy”, Cornell International Law Journal, Vol.25 (Spring, 1992), 279.
12
Ibid.,
30
yang kita ketahui bahwa Nietzsche memperkenalkan tentang istilah nihilisme dimana
hilangnya kepercayaan akan nilai-nilai yang beralaku dalam agama Kristen, dan
nihilisme sudah diramalkan Nietzsche sebagai sesuatu yang akan menggejala dimasa
depan.13 Menurut salah satu kolumnis di The New York Times yang menulis tentang Leo Strauss mengatakan bahwa dinamika filsafat modern akan menjadi bebas nilai
dan kita sebenarnya tidak bergerak menuju suatu kebebasan atau yang ia sebut
sebagai nihilisme. Ini berbeda dengan anggapan John Dewey bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan terutama ilmu-ilmu sosial modern, membawa kemenangan progresif dari
kebebasan dan demokrasi, faham ini populer di Amerika abad 20 sebelum pemikiran
Strauss masuk.14 Menurut Straussian, ilmu politik modern yang dikalim bebas nilai
pada umumnya gagal melaksanakan tugas utama ilmu politik yang murni. Para
penganut Strauss pada umumnya menekankan kebutuhan akan moderasi dalam
demokrasi liberal. Mereka pada umumnya berpendapat bahwa elemen-elemen
aristokrasi dan demokrasi liberal diketengahkan agar demokrasi itu tidak menderita
kegagalan.15
13
F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Dari Machiavelli sampai Nietzsche) (Jakarta: Erlangga, 2002), 242.
14
Steven B. Smith, “Reading Leo Strauss”,
http://www.nytimes.com/2006/06/25/books/chapters/0625-1st-smith.html?pagewanted=all&_r=0 (Kamis, 09 Juni 2016)
15
Scot J. Zentner, “Pemikiran Strauss”, dalam Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad ke-21; Sebuah Referensi Panduan Tematis, ed. John T. Ishiyama & Marijke Breuning (Jakarta: Kencana, 2013), 104.
31
C. Akhir Perang Dingin Sebagai Awal “Dunia Baru”
Perang Dingin merupakan perang paling damai yang pernah dialami umat
manusia, tidak ada genjatan senjata, dentuman bom dan teriakan warga sipil yang
tidak sengaja terkena peluru, juga tidak mengharuskan negara-negara untuk membuat
barak-barak pengungsian yang menampung korban perang. Keadaan relatif damai ini
merupakan imbas dari berakhirnya Perang Dunia II yang berakhir pada awal tahun
1945 yang ditandai dengan menyerahnya Nazi di Jerman dan pertempuran yang
dimenangkan oleh pihak Sekutu ( Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, Tiongkok).
Berakhirnya perang yang paling banyak memakan korban jiwa tersebut
ternyata dijadikan sebagai pengantar atas kemunculan perang lain yang menjadikan
politik Internasional pada saat itu menjadi bipolar. Beraliansinya dua kekuatan besar
dalam pihak Sekutu pada Perang Dunia II ternyata membawa dampak yang serius
bagi keadaan politik kedepannya karena Dunia dihadapkan pada “pilihan”.
Munculnya Amerika dan Uni Soviet sebagai dua kekuatan yang berbeda dari segi
ideologi, ekonomi maupun militer menimbulkan masalah baru karena perbedaan yang
mencolok ini tidak dapat bersanding sebagai partner dalam tujuan mendominasi
Dunia. Hanya ada satu jenis tipe penguasa ketika ingin dikatakan penguasaan itu
berhasil dalam menancapkan pengaruhnya, setidaknya itulah makna umum dari
32
Perbedaan secara ideologis antara Uni Soviet dan Amerika pada saat itu yang
menjadi penyebab kedua kekuatan ini tidak bisaa bersatu dalam hal apapun. Suatu
ideologi politik adalah suatu sistem gagasan yang dianggap memberi ciri bagi sifat
negara dan hubungan antar pemerintah dengan warganya. Ideologi yang demikian itu
mencakup suatu perangkat nilai-nilai politik, ekonomi, sosial, budaya dan moral.16
Ideologi lah yang membedakan arah perjalanan suatu bangsa dan negara
sehinggabisaa dikatakan bahwa masalah perebedaan ideologi adalah masalah
fundamental yang tidak bisa ditawar. Keadaan politik Internasional yang kala itu
terbagi menjadi dua kutub membuat dua kepentingan saling tarik menarik, saling
mendeklarasikan diri sebagai yang paling kuat dan berpengaruh diantara
negara-negara di Dunia. Situasi Perang Dingin membuat kita kembali mendefenisikan makna
perang yang tidak selalu melulu berbau senjata dan keadaan yang chaos tetapi kini sudah sedikit mengalami perluasan makna dimana keadaan relatif damai yang dialami
Dunia pada sekitar tahun 1947-1991 bisa menjadi perluasan makna “perang”.
Berakhirnya peristiwa Perang Dingin menjadi awal permulaan baru yang
disebut Fukuyama sebagai akhir dari sejarah. Perseteruan antara Soviet dan Amerika
Serikat menjadi peristiwa yang menentukan sebuah kemenangan yang nantinya akan
mendominasi. Dalam bukunya Fukuyama mempersamakan siklus sejarah yang terjadi
antara Soviet vs AS pada saat Perang Dingin dengan perang antara Athena vs Sparta. Fukuyama mengatakan bahwa selalu ada pengulangan sejarah dan ia bersifat siklis.
16
Carlton Clymer Rodee.Dkk., Pengantar Ilmu Politik (Jakarta: Rajawali Press, 1993), 674
33
Bersatunya Jeman Barat dan Jerman Timur, runtuhnya Uni Soviet menjadi
salah dua faktor yang menyebabkan berakhirnya Perang Dingin. Uni Soviet yang
dilanda konflik dalam negeri sehingga harus dibayar mahal dengan hilangnya
pengaruh di negara-negara koloninya dan hilanganya kepercayaan Eropa Timur
menjadi pukulan telak bagi negara yang nantinya bernama Rusia ini. Uni Soviet
dengan faham sosialis-komunisnya tidak mampu mempertahankan pamor
ideologinya sehingga kalah saing dengan faham demokrasi liberalis yang di sponsori
oleh Amerika dan sekutunya.
Hobbes dan Locke menuliskan bahwa masyarakat liberal adalah sebuah
kontrak sosial di antara individu-individu yang memiliki hak-hak alami tertentu dan
untuk mencapai kebahagiaan yang secara umum dipahami sebagai hak untuk
kepemilikan pribadi. Fukuyama menuliskan bahwa hal penting yang terdapat dalam
demokrasi liberal adalah pengakuan atas martabat manusia. Kehidupan dalam sebuah
negara demokrasi liberal secara potensial merupakan jalan menuju kelimpahan
material yang sangat besar, tetapi ia juga menunjukkan jalan pada kita untuk
mencapai tujuan nonmaterial berupa pengakuan dan kebebasan kita.17 Pernyataan ini
jika dilihat pada konteks berakhirnya Perang Dingin akan sangat cocok dimana pada
masa itu kebanyakan negara-negara yang berfaham sosialis – komunis rata-rata
adalah negara yang relatif bisaa dikatakan miskin dan kurang maju sehingga tawaran
untuk hijrah dan mendapatkan penghidupan yang layak dengan ideologi baru pantas
17
Francis Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme, 355
34
untuk dicoba. Kesenjangan yang senantiasa meningkat di antara dan di dalam
lingkungan kelas-kelas di negara-negara komunis, merupakan salah satu dari
sumber-sumber kekacauan dan pemberontakan yang paling eksplosif. Kaum pekerja
Cekoslowakia, Polandia dan Jerman Timur yang memberontak pada tahun 1953 tidak
begitu keberatan dengan ideologi komunisme daripada terhadap ekonomi yang secara
kasar dilakukan terhadap mereka.18 Perubahan-perubahan yang dilakukan Uni Soviet
telah gagal dalam menyelesaikan persoalan keadilan sosial.
Ada satu pernyataan menarik tentang politik pasca Perang Dingin adalah
bahwa politik pasca Perang Dingin adalah bagaimana menyeimbangkan antara
kepentingan ekonomi dan politik demi mempertahankan eksistensi masing-masing
negara. Situasi ini yang sering dikenal dengan istilah globalisasi. Semenatara itu, ada
lima tipe negara-bangsa paska Perang Dingin dan kelima tipe ini sangat bergantung
pada penguasaan masing-masing negara tersebut dalam bidang ekonomi, teknologi
dan militer. Tipe pertama adalah negara otonomi (autounomous states) dimana negara yang secara internal maupaun eksternal dari mereka sendiri, contohnya adalah
Amerika Serikat. Tipe kedua adalah negara komunitas (community states) dimana negara-negara tersebut selalu bersaing untuk menjadi negara otonomi melalui
kegiatan ekonomi. Tipe ketiga adalah negara klien di mana ada negara yang secara
ekonomi dan militer sangat bergantung kepada negara-negara yang sangat kuat,
contohnya adalah Israel. Tipe yang keempat adalah negara satelit (satellite states)
18
William Ebenstein, Isme-Isme yang Mengguncang Dunia(Yogyakarta: Narasi, 2006), 82
35
yaitu negara-negara yang berada di bawah kontrol militer oleh negara lain seperti
kebanyakan negara di Eropa Timur yang bergabung dalam Pakta Warsawa. Dan yang
kelima adalah negara independen (independent states) seperti Swedia dan Swiss. Negara ini memang selalu tidak berada dalam satu blok pun.19
Diterapkannya faham demokrasi liberal sebagai sesuatu yang harus diterima
dimasa depan jika negara-negara penganut sosialis-komunis tidak ingin mengalami
kehancuran seperti yang dialami oleh negara “induk”nya. Seperti yang dapat dilihat
pada bab I tulisan ini, bahwa pasca 1970an banyak negara yang beralih menjadi
penganut faham demokrasi, dan meninggalkan gaya kepimpimpinan yang dulu
mereka anut dan jumlahnya terus bertambah hingga sekarang.
D. Dunia Unipolar
Berakhirnya Perang Dingin berkahir pula bipolaritas dalam perpolitikan
global,dan menjadikan Dunia menjadi unipolar. Politik bipolar yang dimainkan oleh
Uni Soviet dan Amerika Serikat sebagai aktor utama menjadikan Dunia terpecah
menjadi 2 kutub. Uni Soviet yang cendrung sosialis komunis menjadi pesaing
demokrasi liberal yang digawangi oleh Amerika dan pengikutnya. Selama Perang
Dingin merupakan hal wajar dan normal ketika beberapa negara mendefinisikan
bagaimana mereka saling berhubungan dengan negara lain baik dalam hal ideologi,
batas-batas teritorial, suku, identitas nasional atau etnis.
19
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Satu Dasawarsa The Clash of Civilizations; Membongkar Politik Amerika di Pentas Dunia(Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2003), 135-137.
36
Polaritas merujuk kepada pembagian kekuasaan dalam komunitas
internasional. Setalah Perang Dunia II, periode sejarah dalam sistem hubungan
internasional dimulai yang mengambil bentuk sistem bipolar. Bipolaritas dapat
diartikan sebagai sebuah sistem Dunia dimana pembagian kekuasaan termasuk di
dalamnya dan hanya dua negara saja yang memiliki pengaruh yang besar dalam hal
ekonomi, militer dan budaya global. Ketika kekuatan besar mencakup lebih dari dua
negara maka ia disebut sebagai multi-polar, jika hanya dua maka disebut bipolar dan
jika hanya ada satu kekuatan besar maka ia disebut unipolar. Kebanyakan peneliti
setuju bahwa sebelum 1945 ada lebih dari tiga negara yang memenuhi kualifikasi
sebagai kutub, ditahun 1950an hanya ada dua negara yang bermain sebagai aktor
dalam polarisasi, sementara awal 1990an satu dari dua kutub ini kehilangan statusnya.
Sebagai hasilnya Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan terbesar dalam bidang
militer, politik dan ekonomi.20
Kenneth Waltz yang merupakan Bapak Neo-Realis melihat bahwa masa-masa
bipolar merupakan masa dimana negara-negara berada dalam keadaan paling stabil.
Ada empat faktor yang mendorong berkurangnya kekerasan yang terjadi antar
negara.Yang pertama adalah dengan hanya ada dua kekuatan Dunia, maka tidak ada
peripheri. Faktor yang kedua adalah bukan hanya mengenai tidak adanya negara
peripheri tetapi juga mencakup meluasnya kompetisi seiring dengan meningkatnya
intesitas dari kompetisi itu sendiri. Meningkatnya intensitas ini ditunjukkan dalam
20
Alida Tomja, “Polarity and International System Consequences”, Interdisiplinary Journal of Research and Development, Vol. I, No. 1 (2014), 58-59
37
keenganan untuk menerima kehilangan kecil teritori seperti di Korea, selat Formosa
di Taiwan dan Indo-China, dan jika dibandingkan dengan tahun 1930an di era Perang
Dingin terdapat pengurangan penggunaan militer dalam menghadapi konflik,
penggunaan militer hanya dilakukan oleh pihak antagonis dan kedua kekuatan tidak
ingin menimbulkan citra tersebut. Faktor yang membedakan dalam sistem bipolar
yang ketiga adalah adanya kehadiran konstan dari tekanan dan pengulangan krisis.
Menurut Waltz penegasan ancaman kepada negara lain merupakan hal yang tidak
bijak dilakukan karena hanya akan meningkatkan keadaan bahaya, dan faktor yang
keempat adalah kepemilikan senjata nuklir yang hanya dimiliki oleh dua kekuatan
membuat Dunia berada pada keadaan realtif aman, karena ketika jumlah negara yang
memiliki kekuatan nuklir bertambah maka dikhawatirkan akan menambah keinginan
dari negara tersebut untuk bermanuver.21
Era keemasan Perang Dingin sudah berakhir, maka berakhir pula keadaan
bipolar setelah Uni Soviet runtuh dan tinggal Amerika Serikat yang mengisi puncak
kejayaannya sendiri dan otomatis membuat sistem internasional menjadi unipolar.
Para peneliti menggunakan istilah unipolar untuk merujuk kepada struktur hubungan
internasional dimana distribusi kekuasaan hanya terpusat pada satu kutub. Tetapi
yang menjadi pertanyaan selanjutanya adalah bagaimana Amerika Serikat bisaa
menjadi pemimpin Dunia? Sesungguhnya, Amerika Serikat sudah mampu untuk
mempimpin Dunia sebelum Perang Dunia I, tetapi kebijakan asing Amerika Serikat
21
Kenneth N. Waltz, “The Stability of Bipolar World”, Daedalus, Vol.93, No. 3 (Summer, 1964), 882-886
38
dari pertama kali berdiri hingga tahun 1940 adalah bersifat isolasi dan kaku, sehingga
ditarik dari isu global. Hanya pada awal 1940an Presiden Franklin D. Roosevelt
memperkirakan untuk bekerja sama dan menyadari Eropa sebagai partner penting. Setelah Perang Dunia II, ketika Amerika Serikat mampu menunjukkan kepada Dunia
kemampuan dan kekuatnnya untuk keamanan global, kebijakan asing Amerika
Serikat berubah arah dan menjadi aktor paling penting dalam sistem internasional dan
memimpinnya. Dengan pasukan militer yang bertenaga dibandingkan dengan negara
lain, belanja pertahanan yang hampir separuh dari belanja militer global, dengan
superioritas nuklir melebihi mantan rivalnya, Rusia menjadikan Amerika Serikat
wajar untuk meraih status adidaya tunggal untuk melanjutkan sistem yang menurut
banyak sarjana hubungan internasional berlanjut menjadi Unipolar tidak hanya pasca
Perang Dingin, tetapi juga akan berlanjut sampai abad selanjutnya.22
Foreign Affairs pada tahun 1990 mengeluarkan tulisan Krauthammer yang
berjudul Unipolar Moment. Dalam halaman pertama tulisannya Krauthammer
menulisan bahwa masa tak lama setelah Perang Dingin bukanlah Multipolar
melainkan Unipolar. Titik kekuatan Dunia merupakan adidaya yang tidak tertandingi,
yaitu Amerika Serikat dan aliansi baratnya. Munculnya kekuatan Multipolar memang
memungkinkan tetapi menurut para peneliti pada saat itu hal tersebut akan terjadi
selama beberapa dekade setelah Amerika Serikat menikmati kedigdayaannya sendiri.
Tidak ada penantang serius yang benar-benar akan menjadi rival Amerika, meskipun beberapa negara memiliki potensi untuk melakukannya seperti Jerman, Jepang,
22
Tomja, Polarity and International, 59
39
Inggris, Perancis dan Rusia. Meskipun negara-negara tersebut memiliki peningkatan
dalam hal ekonomi, militer, politik dan diplomasi tetapi trennya tidak selalu naik
malah turun dengan cepat.23
Lalu bagaimana dengan kecendrungan kedamaian dalam sistem unipolar?
Banyak peneliti mengatakan bahwa Dunia berada dalam keadaan yang relatif damai
dan terkendali, salah satunya adalah William C. Wohlforth yang menuliskan bahwa
situasi unipolar cenderung kepada kedamaian. Hegemoni terhadap sistem membawa
keuntungan karena tidak ada rivalitas yang dilakukan oleh kekuatan lain untuk
menantang Amerika Serikat dalam perang untuk merebut pucuk kekuasaan. Tidak
ada kemungkinan negara-negara lain untuk mengambil langkah yang mungkin dapat
mengundang permusuhan kepada Amerika Serikat.24
Dalam sebuah struktur unipolar, konflik kekuatan kedua lebih bisa dikendalikan kerena negara yang bertindak sebagai kutub utama merupakan pemain yang paling menentukan dalam setiap kemungkinan pertarungan. Kutub utama mengintervensi untuk menciptakan aturan dan juga mengatur jaringan aliansi yang luas sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya konflik. Unipolaritas juga bertahan lama karena konsentrasi kekuatan yang ekstrim mencegah sistem dari kembali ke keadaan seimbang melalui mekanisme penyimbangan. Karena area pengaruh Amerika, melakukan penyeimbang merupakan hal yang sia-sia dan akan lebih susah karena Amerika Serikat merupakan kekuatan cangkang.25
Dalam sistem unipolar negara yang berkuasa tidak bisa mendapatkan
counterbalance dari negara lain, keadaan ini memungkinkan hegemoni dari negara kuat untuk mempengaruhi dan membentuk negara lain. Lebih jauh, Amerika Serikat
23
Charles Krauthammer, “The Unipolar Moment”, Foreign Affairs, Vol. 70. (1990), 23-24
24
William C. Wohlforth, “The Stability od a Unipolar World”, International Seurity, Vol. 24, No.1 (Summer, 1999), 7
25
William C. Wohlforth, “The Stability of a Strategy after the Cold War”, International Security, Vol.21, No. 4 (Summer 1999), Quddus Z. Snyder, “The Bipolarity of a Unipolar World: Why Secondary Powers Will Stand By America” (University of Maryland), 9.
40
mencoba untuk membentuk dan menjaga Dunia juga secara politik. Selama Perang
Dingin, kekuatan Amerika Serikat mendukung pemerintahan anti komunis untuk
melawan penyebaran nilai-nilai sosialis, mensuplai pasukan kepada kelompok
non-negara di Afghanistan, Angola, Kamboja dan Nikaragua melalui aliansi
regionalnya.26 Posisi Amerika Serikat yang berada di atas angin pada saat itu tidak
mempunyai penantang yang berarti.
Tidak ada garis yang pasti dimana unipolaritas dimulai dan berakhir, yang
juga menjadi penyebab mengapa banyak para ahli yang tidak setuju akan pernyataan
bahwa Dunia berada dalam sistem unipolar sekarang ini. Mungkin akan lebih tepat
menggambarkan situasi sekarang sebagai sistem unipolar terbatas, yang berarti satu
kekuatan berfungsi sebagai dominasi pusat, tetapi tingkat dari kontrol tetap
terkendali. Dalam sistem internasional kekiniaan ada banyak batasan dalam kekuatan
Amerika Serikat. Satu sisi sama seperti semua negara bahwa Amerika menjalin
hubungan dan saling bergantung dengan negara lain.27
Dunia bukanlah tempat keabadian, begitu pula yang terjadi dengan sistem
unipolar dan hegemoni Amerika Serikat sebagai kekuatan adidaya. Geliat
negara-negara di Dunia semakin berkembang dan memberikan kejutan yang menarik untuk
melakukan counterbalance kepada Amerika dan sekutunya. Kondisi kebanyakan
negara-negara di Dunia tidak sama dengan kondisi mereka pada tahun 1990an,
26
Andrea Edoardo Varisco, “Towards a Multi-Polar International System: Which Prospects for Global Peace?”, http://www.e-ir.info/2013/06/03/towards-a-multi-polar-international-system-which-prospects-for-global-peace/(Kamis, 14 Juli 2016)
27
John T. Rourke, International Politics On The World Stage (New York: McGraw-Hill, 2005), 44
41
mereka memperbaiki diri, menghimpun kekuatan dan belajar dari pahitnya kondisi di
masa lalu dan perlahan merangkak naik menyanding kekuatan Amerika Serikat atau
bahkan menggeser posisi Amerika sebagai penguasa tunggal Dunia. Sub bab
selanjutnya akan membahas bagaimana sistem Dunia berubah dari unipolar menuju
multipolar.
E. Unipolaritas dan Ancamannya
Seperti yang penulis tuliskan diatas, geliat negara-negara di Dunia tidak sama
seperti yang terjadi pada era pasca Perang Dingin, di era modern sebenarnya beberapa
negara melakukan perimbangan yang cukup berarti bagi Amerika dan membawa
wajah baru dalam sistem politik internasional. Kebangkitan “yang lain” yang
diistilahkan Zakaria merupakan sesuatu yang tak terelakkan yang harus dipandang
serius oleh Amerika ketika Dunia tidak lagi berbentuk unipolar. Titik kekuatan Dunia
tidak selamanya dikendalikan oleh Amerika, bangkitnya kekuatan-kekuatan lain
menjadikan Amerika bukanlah kontestan tunggal dalam panggung hiburan Dunia
politik internasional. Mari kita lihat lebih jauh bagaimana Dunia berubah menjadi
lebih plural dan lebih memiliki daya saing.
42
agresif. Jepang, meskipun bukan termasuk negara berkembang, makin berani menyuarakan opini dan keberpihakannya kepada negara-negara tetangga. Eropa bertindak semakin tegas dan terarah dalam bidang perdagangan dan ekonomi. Brazil dan Meksiko kian vokal dalam persoalan Amerika Latin.Afrika Selatan telah memosisikan diri sebagai pemimpin di benua Afrika.Seluruh negara tersebut menjadi aktif di arena internasional lebih daripada sebelumnya.28
Pernyataan Zakaria diatas merupakan hal yang menjadi titik fokus tantangan
Amerika dimasa depan dimana beberapa negara muncul menjadi kekuatan menonjol
di regionalnya masing-masing dan tumbuh meraih kepercayaan diri untuk
mengimbangi kekuatan Amerika Serikat dalam berbagai bidang. Banyak ahli yang
meramalkan unipolaritas Amerika Serikat akan bertahan berdekade-dekade lamanya,
tetapi kenyataan yang berkembang sepertinya akan jauh dari ramalan. Seperti
Wohlforth yang menuliskan keadaan unipolar yang tidak hanya damai tetapi juga
akan bertahan lama di tahun 1990, sepertinya akan melakukan revisi terhadap
tulisannya. Ketahanan Amerika Serikat sebagai sentrum kekuatan Dunia tidak akan
bertahan lebih dari dua dekade, dengan kebangkitan “yang lain” yang diistilahkan
Zakaria akan membuat Amerika kewalahan membendung gairah negara-negara
tersebut untuk memiliki peran yang sejajar dan penting dalam sistem internasional.
Krauthammer menulis bahwa stabilitas merupakan sesuatu yang tidak di dapat
dengan sendirinya. Ketika suatu negara mampu untuk mengendalikan stabilitas maka
ia mendapatkan secara sadar dan hanya bisaa dilakukan oleh negara yang memiliki
kekuatan hebat. Jika Amerika menginginkan stabilitas maka ia harus menciptkannya.
Komunisme memang telah selesai, tetapi akan ada ancaman baru yang akan
28
Zakaria, The Post-American World, 61
43
menganggu kedamaian Amerika. Menurut Krauthammer ancaman tersebut adalah
proliferasi senjata pemusnah massal. Lebih dari dua lusin negara berkembang akan
memiliki misil balistik, lima belas negara tersebut akan memiliki kemampuan ilmiah
untuk membuat misil balistik tersebut, dan sebagian dari mereka akan memiliki atau
mendekati untuk mendapatkan kemampuan nuklir. Tiga puluh negara akan memiliki
senjata kimia dan sepuluh negara akan mampu untuk mengembangkan senjata
biologi.29
Proliferasi senjata pemusnah massal (Weapon of Mass Destruction) menurut Krauthammer merupakan ancaman serius dan nyata yang dihadapi Amerika
Serikat.Ia menyebutkan bahwa keberadaan WMD bukanlah sesuatu yang baru tetapi
sistem baru yang tidak seperti bipolar membuat setiap negara berpotensi untuk
memiliki nuklirnya sendiri dan menebar ancaman untuk kedamaian Dunia. Pasca
serangan 9/11 Amerika menyadari kemungkinan musuh-musuh yang dipersenjatai
dengan senjata pemusnah massal semakin tidak dapat dikendalikan dan tidak dapat di
deteksi.30 Tetapi hal lain justru disebutkan oleh Zakaria bahwa pasca 9/11 banyak
negara di Barat termasuk Amerika suka menakut-nakuti diri sendiri dan orang
banyak. Para pakar mengekstrapolasikan tren apa yang mereka sukai, tanpa
repot-29
Krauthammer, The Unipolar Moment, 31
30
Charles Krauthammer, “The Unipolar Moment Revisited”, The National Interest (Winter 2002), 9
44
repot membahas data secara serius.31 Ketakutan akan hal tersebut dianggap
berlebihan dan kadang terkesan mengada-ada.
Pertanyaan tentang ketangguhan unipolar tetap menjadi debat yang panjang di
kalangan para ahli. Banyak analis seperti kembali berpendapat bahwa keunggulan
Amerika mungkin akan memudar dalam waktu dekat, kompetitor potensial, terutama
Tiongkok mulai bangkit dan beberapa ada yang mengkaitkan krisis ekonomi yang
terjadi pada tahun 2008 menjadi tanda buruk bagi keunggulan Amerika.32
Unipolaritas tidak merubah dinamika fundamental dari politik internasional.
Negara-negara lain selalu mempunyai hasrat untuk mengimbangi kemampuan kekuatan besar
bahkan bila sang hegemon tidak memberikan ancaman bagi mereka.33
Hegemoni Amerika Serikat juga tidak hanya di tantang oleh kebangkitan
Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi, Tiongkok diharapkan akan melampaui Amerika
Serikat sabagai pabrikan Dunia terbesar di tahun 2020. The BRICS yang
beranggotakan Brazil, Russia, India, Cina dan Afrika Selatan juga diharapkan bisaa
melampaui produksi gabungan dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman,
Jepang dan Italia di tahun 2039. Di Amerika Latin, jumlah negara yang bergabung
melawan tekanan hegemoni dari Amerika yang tergabung dalam The Bolivarian
Alternative of the Americas (ALBA), yang merupakan gagasan dari presiden
31
Zakaria, The Post-American World, 18
32
Nuno P. Monteiro, “Unrest Assured; Why Unipolarity Is Not Peaceful”, International Security Vol. 23 No. 2 (Winter 2011), 2-3
33
Christopher Layne, “The Unipolar Revisited; The Coming End of the United States’ Unipolar Moment”, International Security, Vol. 31, No. 2 (Fall 2006), 9