• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA HARTH DALAM AL-QUR’AN : ANALISA TEORI PENAFSIRAN IBN KATHIR DAN ALI AL-SHABUNI ATAS AYAT TENTANG HIKMAH BERAMAL UNTUK KEPENTINGAN AKHIRAT.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MAKNA HARTH DALAM AL-QUR’AN : ANALISA TEORI PENAFSIRAN IBN KATHIR DAN ALI AL-SHABUNI ATAS AYAT TENTANG HIKMAH BERAMAL UNTUK KEPENTINGAN AKHIRAT."

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA

H}ARTH

DALAM AL-

QUR’A

>N

(Analisa teori penafsiran Ibn Kathi>r dan Ali Al-S}abuni atas ayat tentang

hikmah beramal untuk kepentingan akhirat)

Skripsi:

Diajukan untuk memenuhi Tugas Akhir Guna memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu al-Qur’a>n dan Tafsir

Oleh:

KHOIRUL ANAM NIM : E03212016

PRODI ILMU AL-QUR’A>N DAN TAFSIR

JURUSAN TAFSIR DAN H}ADITH

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv

ABTRAKSI ...v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

MOTTO ... xi

PERSEMBAHAN ... xii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Identifikasi Masalah Dan Batasan Masalah ...7

C. Rumusan Masalah ...8

D. Tujuan Masalah ...8

E. Kegunaan Penelitian ...9

F. Metode Penelitian ...9

G. Sistematika Penulisan ...12

(7)

1. Kedudukan }adi>th ...14

2. Fungsi }adi>th ...16

a. Baya>n al-Taqri>r ...18

b. Baya>n al-Tafsi>r ...18

c. Baya>n al-Tashri’ ...18

d. Baya>n al-Nasakh ...19

B. Cara Mengetahui Makna Lafaz} dalam Al-Qur’a>n ...19

C. Pengertian Majaz ...23

D. Macam-macam Majaz ...24

BAB III BIOGRAFI IBN KATHI>>R DAN ALI AL-S}ABUNI A. Biografi Ibn Kathi>r ...34

1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Ibn Kathi>r ...34

2. Guru-guru Ibn Kathi>r...37

3. Karya-karya Ibn Kathi>r ...38

4. Sistematika dan Metode Penafsiran Kitab al-Qur’a>n al-Az}i>m ...40

B. Biografi Muhammad Ali Al-S}abuni ...44

1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Muhammad Ali Al-S}abuni ...44

2. Guru-guru Muhammad Ali Al-S}abuni ...48

3. Karya-karya Muhammad Ali Al-S}abuni ...48

(8)

BAB IV PENAFSIRAN IBN KATHI>>R DAN ALI AL-S}ABUNI ATAS

MAKNA H}ARTH PADA SURAT ASH-SHU>RA> AYAT 20

BESERTA ANALISA PENAFSIRANNYA

A. Penafsiran Ibn Kathi>>r pada surat Ash-Shu>ra> ayat 20 ...55 B. Penafsiran Ali Al-S}abuni pada surat Ash-Shu>ra> ayat 20 ...57 C. Analisa Penafsiran Ayat tentang hikmah beramal untuk

kepentingan akhirat dalam Tafsir Ibn Kathi>r dan kitab Tafsir

S}afwat al-Tafasir ...79

1. Persamaan Antara Penafsiran Tafsir Ibn Kathi>r dan Tafsir

S}afwat al-Tafasir ...79

2. Perbedaan Antara Penafsiran Tafsir Ibn Kathi>r dan Tafsir

S}afwat al-Tafasir ...80

3. Penggunaan Hadis Bashshir Hadhihi al-Ummah oleh Ibn Kathir Terhadap Surat Ash-Shu>ra> ayat 20 ...81 4. Penggunaan Majaz oleh Ali Ash-S}abuni Terhadap Surat

Ash-Shu>ra> ayat 20 ...83

BAB IV PENUTUP

(9)

ABTRAKSI

Nama: Khoirul Anam No. Nim: E03212016

Judul: Makna H}arth Dalam Al-Qur’a>n (Analisa teori penafsiran Ibn Kathi>r dan Ali

Al-S}abuni atas ayat tentang hikmah beramal untuk kepentingan akhirat)

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah tentang teori dan penafsiran yang digunakan dalam tafsir Ibn Kathi>r serta tafsir S}afwat al-Tafasir dalam menafsirkan h}arthatas ayat tentang hikmah beramal untuk kepentingan akhirat.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui teori yang digunakan Ibn

Kathi>r dan Ali Al-S}abuni dalam menafsirkan h}arthatas ayat tentang hikmah beramal

untuk dan kepentingan akhirat.

Dalam menjawab permasalahan tersebut, maka penelitian ini mengunakan jenis penelitian kualitatif, kemudian menggunakan metode penelitian library research (penelitian perpustakaan). Sumber data primer yang digunakan berasal dari kitab tafsir Ibn Kathi>r dan kitab tafsir S}afwat al-Tafasir, serta data sekunder yang berasal dari buku Ulumul Qur’a>n Praktis, karya Hafiz} Abdurrahman, dan buku berjudul Hidup di Alam Akhirat, karya Abdurrazaq Naufal serta kaidah tafsir yang relevan dengan penelitian ini. Selanjutnya, analisis datanya menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif yakni penelitian berupaya untuk mendeskripsikan yang saat ini berlaku. Didalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, menganalisis, dan menginterpretasikan kondisi yang saat ini terjadi. Maka, setelah menerangkan tentang penafsiran dan teori yang digunakan oleh Ibn Kathi>r dan Ali al-S}abuni, selanjutnya menganalisis isinya.

Data yang ditemukan bahwa maksud dari h}arth adalah yaitu keuntungan, menurut Ibn Kathi>r. Sedangkan menurut Ali Al-S}abuni, h}arth makna asalnya ialah menjatuhkan benih diatas bumi atau hasil tanaman yang tumbuh dari proses tersebut. Kemudian diartikan buah dari amal perbuatan dengan cara isti‘a>rah (meminjam istilah).

Dengan menganalisis atau mengkaji bahasa Arab, yang telah ada dalam beberapa buku ulama’ pakar tafsir. Maka terlihat dengan jelas bahwa terdapat empat cara dalam mengetahui makna lafaz{ Arab, yakni haqi>qah, maja>z, ishtiqa>q, dan ta’ri>b.

Maja>z sendiri dibagi menjadi dua yaitu isti’a>rah dan mursal. Majaz Isti’a>rah

dibedakan menjadi empat, yakni tas}ri>h}}{{{{iyyah, makniyyah, takhyi>liyyah, dan

tamthi>liyyah. Sedangkan majaz mursal dibedakan menjadi empat, yaitu juz’iyyah,

kulliyah, sababiyyah, dan musabbabiyyah.

Hal inilah yang digunakan oleh Ali Al-S}abuni dalam menafsirkan makna

h}arth pada surat Ash-Shu>ra> ayat 20, yakni dengan menggunakan majaz isti’a>rah

tasri>h}}{{{{iyyah. Sedangkan Ibn Kathi>r menggunakan fungsi adith bagi tafsir al-Qur’an

yakni bayan al-taqrir.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia pasti mengharapkan lama hidup di dunia ini, dan tidak menginginkan kematian, karena hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan. Akan tetapi bagaimana mungkin ada kehidupan yang tidak diakhiri dengan adanya kematian, jumlah manusia yang semakin banyak setiap tahunnya tidak memungkinkan bagi mereka untuk tinggal pada satu wilayah yang sama.1

Kehidupan itu tidak akan diketahui nilai dan harganya, kecuali dari adanya kematian, rasa takut pada kematian membuat manusia selalu memelihara hidupnya untuk mencapai nilai yang baik. Kematian adalah pintu gerbang untuk kembali kepada Allah SWT.2 Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah SWT:

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.3

1Abdurrazaq Naufal, Hidup di Alam Akhirat, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), 48.

2Muhammad Abdel Haleem, Memahami Al-Qur’a>n: Pendekatan Gaya dan Tema,

(Bandung: Marja, 2002), 122.

(11)

2

Adanya kematian itu banyak pengaruhnya bagi setiap manusia, antara lain seperti untuk membatasi kesombongannya terhadap orang lain, dan membatasi pula pada perasaan mulia, serta kekuasaannya.

Orang yang tertimpa penyakit cinta dunia sebenarnya tidak meyakini bahwa kehidupan yang dijalani di dunia adalah sementara. Kenikmatan dan kesenangan yang dikejarnya di dunia ini tidak ada artinya setelah datangnya kematian. Di akhirat kelak, keimanan serta kecintaan seseorang pada Allah lah yang menentukannya layak tidaknya mereka masuk surga, selain itu juga terdapat hal lain yang bisa dilakukan, yakni dengan mengerjakan amal perbuatan yang diniatkan untuk amal di akhirat kelak.4

Penyakit terbesar yang melanda manusia ialah ketergila-gilaan terhadap dunia yang mengakibatkan mereka larut dalam segala kenikmatannya. Jika kematian terlintas di benak mereka, hati mereka langsung berdebar, takut usianya segera berlalu. Banyak orang tertipu dengan gemerlap duniawi. Oleh sebab itu, mereka mendekatkan diri pada kalangan yang punya kedudukan serta pada kaum hartawan.5

Orang-orang yang lebih mengutamakan kehidupan dunia daripada kehidupan di akhirat, pada hakikatnya lebih dekat pada kekufuran daripada keimanan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:6

4M. Achsin Sakho, Ensiklopedia Tematis Al-Qur’a>n , Vol. 4, (Jakarta: PT. Kharisma

Ilmu, 2010), 7.

5Ibid, 12.

(12)

3























Allah-lah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih, (yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh.7

Memang, kehidupan dunia diibaratkan dengan ladang tempat seseorang menanam benih. Apa yang ditanam mereka ialah amal perbuatannya. Masa panen akan terjadi di akhirat kelak. Di sana masing-masing orang akan menemukan hasil usahanya. Pada firman Allah, yakni surat Ash-Shu>ra> ayat 20 diterangkan:8



Barangsiapa yang menghendaki menanam benih akhirat maka akan Kami tambah keuntungan itu baginya penanaman benihnya. Dan

7Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, 14: 2-3.

(13)

4

barangsiapa yang hendak menanam benih dunia maka Kami berikan untuknya sebagian darinya sedang tidak ada bagiannya di akhirat suatu bagian pun.9

Ayat diatas menjelaskan, bahwa ketika mengerjakan suatu amal perbuatan niatkanlah untuk kepentingan akhirat, dengan begitu maka setiap orang akan menerima hasilnya di dunia serta mendapatkan pahala di akhirat. Contohnya adalah seorang pengajar yang selalu berniat mencerdaskan serta mengamalkan ilmunya dengan cara mengajar, selain guru tersebut mendapatkan honor (gaji) dari hasilnya mengajar, guru tersebut juga mendapatkan pahala di akhirat nantinya, karena guru itu berniat untuk mengamalkan ilmunya demi mendapatkan pahala kelak di akhirat.10

Al-Qur’a>n merupakan kitab petunjuk yang dapat menuntun umat

manusia menuju jalan kebenaran. Selain itu, al-Qur’a>n juga berfungsi sebagai pemberi penjelasan terhadap segala sesuatu dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Untuk mengungkap petunjuk dan penjelasan dari

al-Qur’a>n, telah dilakukan berbagai upaya oleh sejumlah pakar dan ulama’

yang berkompeten untuk melakukan penafsiran terhadap al-Qur’a>n, sejak masa awal hingga sekarang ini. Meski demikian, keindahan bahasa

al-Qur’a>n, kedalaman maknanya serta keragaman temanya, membuat

9Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, 42: 20.

10 Muhammad Ali Al-S}abuni, S}afwat al-Tafasir, Vol. 4, (Jakarta: Pustaka al-Kauthar,

(14)

5

pesannya tidak penah berkurang, apalagi sampai habis meskipun telah dikaji dari berbagai aspeknya.11

Keagungan dan keajaiban al-Qur’a>n selalu muncul seiring dengan perkembangan akal manusia dari masa ke masa, kandungannya seakan-akan tak pernah habis. Karena itu, upaya menghadirkan pesan-pesan

al-Qur’a>n merupakan proses yang tidak pernah berakhir selama manusia

hadir di muka bumi.12

Al-Qur’a>n adalah kitab suci yang diturunkan dengan bahasa Arab,

jadi untuk memahami al-Qur’a>n seseorang harus menguasai bahasa Arab dengan baik. Oleh sebab itu, para ulama’ banyak membuat karya untuk dibaca bagi setiap manusia untuk memahami bahasa yang terdapat dalam

al-Qur’a>n yang sulit dipahami, agar semua orang paham akan kandungan

makna al-Qur’a>n tersebut.13

Makna bahasa al-Qur’a>n bisa diketahui dengan menganalisis bahasa Arab. Sebagaimana yang telah ada dalam beberapa buku ulama’ pakar tafsir, terlihat dengan jelas bahwa dalam mengetahui makna lafaz} Arab itu ada empat cara, yakni pertama haqi>qah, kedua maja>z, ketiga ishtiqa>q, dan

keempat, ta’ri>b. 14

Dari keempat cara diatas yang dipilih untuk menganalisis makna

h}arth pada surat Ash-Shu>ra> ayat 20 adalah mengenai majaz dalam

11Kementrian Agama RI, Tafsir al-Qur’a>n Tematik Pembangunan Ekonomi Umat, M.

Hanafi Muchlis (ed), (Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2012), xix.

12 Ibid, x.

13Hafiz} Abdurrahman, Ulumul Qur’a>n Praktis, (Bogor: CV. Idea Pustaka Utama, 2003),

103.

(15)

6

Qur’a>n yang akan digunakan untuk menganalisis makna yang terkandung

pada ayat tersebut. Majaz adalah lafaz} yang digunakan tidak sesuai dengan asal penggunaannya yang pertama, karena adanya indikasi yang menghalangi dinyatakannya makna yang hakiki.15 Hal inilah yang

digunakan oleh Ali Al-S}abuni, yang mana beliau dalam menafsirkan

al-Qur’a>n lebih banyak dengan menggunakan majaz. Maka, akan ditelusuri

pula tentang teori yang akan digunakan oleh Ali Al-S}abuni dalam tafsir

S}afwat al-Tafasir untuk memahami ayat yang berkenaan dengan hikmah

beramal untuk kepentingan akhirat.

Sedangkan h}adi>th, baik secara struktural maupun fungsional disepakati oleh mayoritas umat Islam dan berbagai madhab Islam sebagai sumber ajaran Islam. Karena dengan adanya h}adi>th dan sunnah itulah ajaran Islam menjadi jelas, rinci, dan spesifikasi.16

Oleh sebab itu, pada tafsir Ibn Kathi>r banyak dijumpai penafsirannya banyak menerangkan tentang h}adi>th serta ayat al-Qur’a>n yang lain untuk menjelaskan penafsiran suatu ayat tertentu. Jadi, dalam memahami ayat yang berkenaan dengan hikmah beramal untuk kepentingan akhirat juga akan ditelusuri tentang teori yang akan digunakan oleh Abu Fida’ dalam tafsir Ibn Kathi>r.

Penelitian ini ingin memaparkan penafsiran Ali Al-S}abuni dan Abu Fida’ dalam menafsirkan makna h}arth atas ayat yang berkenaan tentang

15 Abdurrahman, Ulumul Qur’a>n..,,106.

(16)

7

hikmah beramal untuk kepentingan akhirat dengan menggunakan majaz

al-Qur’a>n serta fungsi h}adith penjelas bagi tafsir al-Qur’a>n.

Fokus pembahasan pada skripsi ini, tertitik dan tertuju pada ayat-ayat yang berkenaan tentang hikmah beramal untuk kepentingan akhirat pada surat Ash-Shu>ra> ayat 20, surat Hud ayat 15, surat Al-Nisa’ ayat 134, dan

surat Al-Isra>’ ayat 18-21. Makna h}arth ketika ditinjau dengan menggunakan majaz al-Qur’a>n, serta fungsi h}adi>th sebagai penerang bagi tafsir al-Qur’a>n.

B. Identifikasi Masalah

Ayat al-Qur’a>n yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah ayat-ayat yang berkenaan tentang hikmah beramal untuk kepentingan akhirat pada surat Ash-Shura ayat 20, surat Hud ayat 15, surat Al-Nisa’ ayat 134, dan surat Al-Isra>’ ayat 18-21. Makna h}arth ketika ditinjau dengan menggunakan majaz al-Qur’a>n, serta fungsi h}adi>th sebagai penerang bagi tafsir al-Qur’a>n, dapat diidentifikasi beberapa masalah diantaranya:

1. Makna h}arth atas ayat tentang hikmah beramal untuk kepentingan akhirat dalam tafsir Ibn Kathi>r dan tafsir S}afwat al-Tafasir

2. Penafsiran ayat yang berkenaan tentang hikmah beramal untuk kepentingan akhirat.

(17)

8

C. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan untuk memperkuat fokus penelitian ini, diantaranya:

1. Apa teori yang digunakan dalam Tafsir Ibn Kathi>r dan Tafsir S}afwat al-Tafasir dalam menafsirkan makna h}arth atas ayat tentang hikmah beramal untuk kepentingan akhirat ?

2. Bagaimana penafsiran dalam Tafsir Ibn Kathi>r dan Tafsir S}afwat al-Tafasir atas ayat tentang hikmah beramal untuk kepentingan akhirat ?

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai beberapa tujuan, diantaranya:

1. Memahami teori yang digunakan dalam Tafsir Ibn Kathi>r dan Tafsir

S}afwat al-Tafasir dalam menafsirkan makna h}arth atas ayat tentang

hikmah beramal untuk kepentingan akhirat.

2. Memahami bagaimana penafsiran dalam Tafsir Ibn Kathi>r dan Tafsir

S}afwat al-Tafasir atas ayat tentang hikmah beramal untuk kepentingan

akhirat.

E. Kegunaan Penelitian

(18)

9

1. Kegunaan secara teoritis

Hasil penelitian ini berguna untuk menambah wawasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam penelitian tafsir yang terkait dengan pengertian makna h}arth ketika dikaji menggunakan maja>z

al-Qur’a>n dan fungsi hadith terhadap suatu penafsiran perspektif Abu

Fida’ dan Ali Al-S}abuni pada kitab Tafsir Ibn Kathi>r dan Tafsir S}afwat

al-Tafasir.

2. Kegunaan secara praktis

Implementasi penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi agar dapat memberi solusi terhadap masyarakat agar manusia tidak hanya mementingkan kepentingan di dunia dan mengabaikan kepentingan untuk amal di akhirat kelak.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif beberapa kata-kata tertulis atau lisan dari suatu objek yang dapat diamati dan diteliti.17 Disamping itu, penelitian ini juga menggunakan metode penelitian library research (penelitian perpustakaan), dengan mengumpulkan data dan informasi dari data-data tertulis baik berupa literatur berbahasa Arab maupun literatur berbahasa Indonesia yang mempunyai relevansi dengan penelitian.

17 Lexy J. Moleing, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,

(19)

10

2. Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini, bersumber dari dokumen perpustakaan tertulis, antara lain yaitu: kitab, buku ilmiah, dan referensi tertulis lainnya. Data-data tertulis tersebut terbagi menjadi dua jenis sumber data, yakni: sumber data primer dan sumber data sekunder.

a. Sumber data primer merupakan rujukan data utama dalam penelitian ini, yaitu:

1) Tafsir Ibn Kathi>r Karya Abu Fida’

2) Tafsir S}afwat al-Tafasir Karya Ali Al-S}abuni

b. Sumber data sekunder, merupakan referensi pelengkap sekaligus sebagai data pendukung terhadap sumber data primer. Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini diantaranya:

1) Ulumul Qur’a>n Praktis, karya Hafiz} Abdurrahman 2) Hidup di Alam Akhirat, karya Abdurrazaq Naufal

3) Perkembangan Tafsir al-Qur’a>n Di Indonesia, karya Nashruddin Baidan

4) Ilmu adith; Historis & Metodologis, karya Zainul Arifin

3. Teknik Pengumpulan Data

(20)

11

atau variabel yang berupa catatan, transkip, skripsi, buku, dan sebagainya.18

4. Metode Analisis Data

Untuk sampai pada prosedur akhir penelitian, maka penulis menggunakan metode analisa data untuk menjawab persoalan yang akan muncul di sekitar penelitian ini. Teknik analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga ditemukan tema dan dirumuskan.19

Semua data yang telah terkumpul, baik primer maupun sekunder diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Selanjutnya dilakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek penelitian dengan menggunakan analisis isi (content analysis). a. Metode Deskriptif Kualitatif

Deskriptif adalah menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya dengan menuturkan atau menafsirkan data yang berkenaan dengan fakta, keadaan, variabel, dan fenomena yang terjadi saat penelitian berlangsung dan menyajikan apa adanya.20

Penelitian deskriptif kualitatif yaitu penelitian berupaya untuk mendeskripsikan yang saat ini berlaku. Didalamnya terdapat upaya

18 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka

Cipa, 1996), 234.

19 Ibid,.

(21)

12

mendeskripsikan, mencatat, analisis, dan menginterpretasikan kondisi yang sekarang ini terjadi. Dengan kata lain, penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan yang ada.21

G. Sistematika Penulisan

Menimbang pentingnya struktur yang terperinci dalam penelitian ini, maka peneliti akan menampilkan sistematika penulisan karya ini. Sehingga dengan sistematika yang jelas, hasil penelitian tentang teori dan kaidah penafsiran yang digunakan untuk menafsirkan makna h}arth dalam

al-Qur’a>n lebih baik dan terarah, sebagaimana yang diharapkan oleh peneliti

dan semua orang. Adapun sistematika karya ini sebagai berikut:

Bab pertama, adalah pendahuluan yang menjelaskan segala persoalan atau masalah yang melatarbelakangi kajian ini, dan merupakan pintu gerbang untuk memasuki kajian penelitian ini. Bab ini memuat berbagai ketentuan penulisan, yang berisikan antara lain: latar belakang masalah, identifikasi masalah dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian yang meliputi: jenis penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, metode analisis data, dan sistematika penulisan.

Bab dua, ialah landasan teori yang akan digunakan sebagai batu pijakan dalam penelitian ini, antara lain berisikan: kedudukan dan fungsi

21 Convelo G Cevilla, dkk, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta: Universitas Islam,

(22)

13

adith dalam kaitannya dengan al-Qur’a>n, penjelasan tentang cara untuk mengetahui makna lafaz} dalam al-Qur’a>n, definisi majaz dan macam-macamnya.

Bab tiga, ialah biografi kedua tokoh mufasir yang akan diteliti yakni Abu Fida’ dan Ali Al-S}abuni meliputi antara lain: riwayat hidup dan

pendidikan kedua mufasir tersebut, guru-guru kedua mufasir tersebut, karya-karya yang dihasilkan oleh mufasir tersebut, serta sistematika dan metode penafsiran kitab tafsir yang dihasilkan oleh kedua mufasir tersebut. Bab empat, merupakan penyajian data dan analisis. Diantaranya menyajikan, sebagai berikut: Pertama, penafsiran Ali Al-S}abuni pada surat

Ash-Shu>ra> ayat 20. Kedua, penafsiran Ibn Kathi>r pada surat Ash-Shu>ra>

ayat 20. Ketiga, analisa penafsiran ayat-ayat tentang hikmah beramal untuk kepentingan akhirat dalam kitab Tafsir S}afwat al-Tafasir dan Tafsir

Ibn Kathi>r, meliputi: persamaan kedua tafsir tersebut, perbedaan antara

penafsiran kedua tafsir tersebut, serta teori dan kaidah yang digunakan oleh kedua tafsir tersebut.

(23)

BAB II

FUNGSI

H}ADI><TH

DAN TEORI

MAJA>Z

DALAM

PENAFSIRAN

AL-

QUR’A>N

A. Kedudukan dan FungsiḤadi>th dalam Kaitannya dengan al-Qur’a>n

1. Kedudukan Ḥadi>th

Umat Islam telah sepakat, bahwa }adi>th merupakan salah satu sumber ajaran Islam setelah al-Qur’a>n. Keharusan mengikuti adi>th bagi umat Islam, sama halnya dengan kewajiban mengikuti al-Qur’a>n, karena adith merupakan mubayyin bagi al-Qur’a>n. Oleh karena itu, siapapun

tidak akan memahami al-Qur’a>n tanpa dengan memahami dan menguasai adith, begitu pula sebaliknya, menggunakan adi>th tanpa al-Qur’a>n.1

Sebab, al-Qur’a>n sendiri merupakan dasar hukum pertama, yang mana didalamnya berisi garis besar syari’at. Maka, dengan demikian

antara h}adi>th dan al-Qur’a>n memiliki keterkaitan yang sangat erat, yang untuk memahaminya dan mengamalkannya tidak dapat dipisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.2

Selain dengan h}adith, makna bahasa al-Qur’a>n juga bisa diketahui dengan menganalisis bahasa Arab. Sebab, al-Qur’a>n merupakan kitab mu’jizat yang memiliki nilai sastra dan nilai bahasa yang tinggi, maka

1

Utang Ranuwijaya, Ilmu H}adi>th, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), 19.

(24)

15

untuk memahaminya dibutuhkan usaha yang sungguh-sungguh. Hal inilah yang menjadi daya tarik untuk memilih fungsi hadis dan teori majaz dalam penelitian ini.

Banyak ayat al-Qur’a>n yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima seegala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup.3 Salah satu diantara ayat-ayat yang dimaksud ialah firman Allah SWT sebagai berikut:









Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam Keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya diantara rasul-rasul-Nya. Oleh karena itu, berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya. Dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.4

(25)

16

Selain ayat al-Qur’a>n diatas, kedudukan h}adi>th ini juga dapat dilihat melalui }adi>th- }adi>th Rasul sendiri, dalam suatu riwayat telah diterangkan bahwa Rasulullah bersabda:5

ِك اَمِهِب ْمُتْكسَمَت ْنِااَم اولِضَت ْنَل ِنْيَرْمَأ ْمُكيِف ُتْكَرَ ت

ِهِلْوُسَرًةُّسَو ِها َباَت

اورُ

َمكاحلا

Aku tinggalkan dua perkara pada kalian, jika kalian berpegang kepada keduanya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah

(al-Qur’a>n) dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. al-Hakim dari Abu

Hurairah)6

2. FungsiḤadi>th

Al-Qur’a>n menekankan bahwa Rasulullah berfungsi menjelaskan

maksud dari firman-firman Allah SWT. Penjelasan atau bayan tersebut menurut pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk, sifat serta fungsinya. ‘Abdul Halim Mahmud dalam bukunya al-Sunnah fi>

Makanatiha wa fi> Tarihkiha menulis bahwa Sunnah memiliki fungsi yang berhubungan dengan al-Qur’a>n dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’.

Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Sya>fi‘i> dalam al-Risa>lah, ‘Abd al-Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan al-Qur’a>n,

ada dua fungsi al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu baya>n ta‘kid

dan baya>n tafsi>r. Yang pertama yaitu sekedar menguatkan atau

menggarisbawahi kembali apa yang ada dalam al-Qur’a>n, sedangkan yang

5 Zainul Arifin, Ilmu H}adi>th; Historis & Metodologis, (Surabaya: Pustaka al-Muna,

2014),47.

6 Abu Umar Yunus, Syarh Hadi>th al-Tauhid lima> fi al-Muwatha’ min al-ma’ani wal

(26)

17

kedua yakni memperjelas, memperinci bahkan membatasi, pengertian secara teks dari ayat-ayat al-Qur’a>n.7

Berdasarkan kedudukan al-Qur’a>n dan h}adi>th, sebagai pedoman hidup dan sumber ajaran Islam, antara satu dengan lainnya jelas tidak bisa dipisahkan. Al-Qur’a>n sebagai sumber pertama memuat ajaran-ajaran bersifat umum dan global yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan diperinci. Disinilah h}adi>th menduduki dan menempati fungsinya sebagai sumber ajaran kedua. Ia menjadi penjelas (mubayyin) makna kandungan al-Qur’a>n yang sangat dalam dan global atau li al-baya>n (menjelaskan).8 Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Nahl ayat 44, yang berbunyi sebagai berikut:















Dan Kami turunkan kepadamu al-Qura>n, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.9

Fungsi h}adi>th sebagai penjelas al-Qur’a>n, di kalangan ulama amatlah beragam. Imam Malik ibn Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu

baya>n al-taqri>r, baya>n al-tafsi>r, baya>n al-tafshi>l, baya>n al-basth, dan baya>n

tasyri>’. Imam al-Syafi’i menyebutkan lima fungsi yaitu baya>n al-tafshi>l,

7 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’a>n, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam

Kehidupan Masyarakat, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013), 188.

8 Abdul Majid Khon, Ulumul H}adi>th, (Jakarta: Amzah, 2013), 18.

(27)

18

baya>n al-takhshi>sh, baya>n al-ta’yi>n, bayan al-tasyri>’, dan baya>n al-nasakh.

Dalam kitabnya “al-Risalah”, al-Syafi’i menambahkan baya>n al-isya>rah.

Sedangkan Imam Ahmad ibn Hanbal menyebutkan empat macam fungsi, yakni bay>an al-taqyi>d, baya>n al-tafsi>r, baya>n al-tasyri>’, dan baya>n

al-takhshi>sh.10 Agar masalah ini lebih jelas, maka akan diuraikan satu

persatu.

a.) Baya>n al-Taqri>r

Bayan al-taqri>r disebut pula baya>n al-taqyi>d dan baya>n

al-itsba>t, yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan

dalam al-Qur’a>n. Fungsi h}adi>th dalam hal ini hanya memperkuat isi atau kandungan al-Qur’a>n.

b.) Baya>n al-Tafsi>r

Baya>n al-Tafsi>r adalah penjelasan terhadap ayat-ayat yang

memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat yang mujmal, mutlaq, dan ‘am. Maka fungsi h}adi>th dalam hal ini, memberikan perincian (tafsir) dan penafsiran terhadap ayat-ayat

al-Qur’a>n yang masih mujmal. Memberikan taqyid ayat-ayat yang

masih mutlaq, dan memberikan takhsis ayat-ayat yang masih umum.11

c.) Baya>n al-Tashri’

Kata al-Tashri’ artinya pembuatan, mewujudkan, atau menetapkan aturan atau hukum. Maka yang dimaksud dengan Baya>n

(28)

19

al-Tashri’ adalah penjelasan h}adi>th yang menetapkan suatu hukum

atau aturan-aturan syara’ yang tidak didapati nashnya dalam

al-Qur’a>n. Rasulullah dalam hal ini berusaha menunjukkan suatu

kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul pada saat itu, dengan sabdanya sendiri.12

d.) Baya>n al-Nasakh

Kata nasakh secara bahasa berarti ibtha>l (membatalkan), iza>lah (menghilangkan), tah}}wi>>l (memindahkan), dan taghyi>r (mengubah).13 Menurut ulama’ Mutaqaddimin, bahwa yang dimaksud dengan baya>n al-Nasakh adalah dalil syara’ yang datangnya kemudian. Dari

pengertian tersebut dapat diketahui, bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat menghapus ketentuan yang datang terdahulu.14

B. Cara Mengetahui Makna Lafaz} dalam Al-Qur’a>n

Al-Qur’a>n adalah kitab suci yang diturunkan dalam bahasa Arab

yang sangat jelas dan terang. Sedangkan bahasa Arab itu sendiri merupakan bahasa yang dibuat dan digunakan oleh orang Arab. Maka untuk memahami bahasa Arab hanya ada satu metode, yakni riwayat. Dengan kata lain, agar seseorang memahami bahasa Arab, maka mau tidak mau, harus meriwayatkan bahasa tersebut dari penutur asli atau

an-na>thiqi>nnya yaitu orang Arab. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai

12Ibid.., 58.

(29)

20

bahasa juga bisa disebut pengetahuan transformatif (al-ulu>m an-naqliyyah).15

Untuk memahami bahasa al-Qur’a>n, seseorang harus menguasai bahasa Arab dengan baik. Tanpa hal tersebut, mustahil al-Qur’a>n dikuasai. Oleh sebab itu, para ulama’ telah bangkit mengerahkan seluruh

kemampuan mereka untuk memindahkan bahasa Arab ini dari para penuturnya untuk didokomentasikan dalam buku yang bisa yang dipelajari oleh siapapun sepanjang sejarah kehidupan manusia.16

Sebut saja, Ibn al-Mandlu>r yang terkenal dengan karya monumentalnya, lisan al-‘Arab. Belum ilmu-ilmu lain, seperti nahwu,

s}araf, balaghah, sosiolinguistik (fiqh al-lughah), dan lain sebagainya.

Dengan menganalisis atau mengkaji bahasa Arab, sebagaimana yang telah ada dalam beberapa buku ulama’ pakar tafsir. Maka terlihat dengan jelas

bahwa dalam mengetahui makna lafaz} Arab itu ada empat cara, yakni: pertama haqi>qah, kedua maja>z, ketiga ishtiqa>q, dan keempat ta’ri>b.17

1. Haqi>qah

Haqi>qah ialah kata yang lafaz}nya digunakan sebagaimana

pertama kali dipergunakan dalam konteks kebahasaan. Contohnya

lafaz}al-asad yang digunakan dengan konotasi hewan buas. Ini tampak

pada konteks kalimat seperti berikut:

15 Hafiz} Abdurrahman, Ulumul Qur’a>n Praktis, (Pengantar Untuk Memahami Al-Qur’a>n),

(Bogor: CV IDeA Pustaka Utama), 104. 16

Abdurrahman, Ulumul Qur’a>n..,104.

(30)

21

ناَوَ يَحْلا ِةَقْ يِدَح يِف اًمْخَض اًدَسَأ ُتْيَأَر

Saya telah melihat singa besar di kebun binatang.

2. Maja>z

Maja>z ialah lafaz} yang digunakan tidak sesuai dengan asal

penggunaannya yang pertama, karena adanya indikasi yang menghalangi dinyatakannya makna yang hakiki.18

3. Ishtiqa>q

Jika orang Arab menggunakan kata dasar dengan konotasi tertentu, maka seluruh derivat atau pecahan (mushtaqqa>t) kata tersebut, sebagaimana paradigma kata (wazn al-kalimah), bisa digunakan dengan konotasi yang berkaitan langsung dengan makna kata dasarnya, baik pecahan baru ini telah digunakan atau tidak. Contohnya, orang Arab telah menggunakan kata salima, dengan makna yang sudah populer yakni selamat.19

4. Ta’ri>b

Ta’ri>b adalah proses pengAraban kata non Arab (‘ajam) ke

dalam bahasa Arab. Misalnya, ketika orang non Arab menggunakan sebutan tertentu untuk sebuah benda, kemudian benda tersebut diambil, dan sebutannya juga digunakan oleh orang Arab untuk menyebutnya.20

18 Ibid, 106.

19 Abdurrahman, Ulumul Qur’a>n..,114.

(31)

22

Contohnya, pengAraban yang dilakukan dalam al-Qur’a>n, antara lain terlihat pada penggunaan kata: al-Qist}a>s dalam surat

Al-Isra>’ ayat 35 yang diambil dari bahasa Yunani, al-sijji>l dalam surat

Al-Hijr ayat 74 yang diambil dari bahasa Persia, al-ghassa>q dalam surat An-Naba’ ayat 25 yang diambil dari bahasa Turki, at-t}u>r dalam surat Al-Baqarah ayat 63 yang diambil dari bahasa Syiria, al-kifl dalam surat Al-Hadid ayat 28 yang diambil dari bahasa Abisinia.21

Kata non Arab tersebut dibentuk mengikuti paradigma kata yang mereka miliki, kadang dengan mengubah, mengurangi, atau menambah hurufnya agar sesuai dengan paradigma kata yang mereka miliki. Ketika itulah, maka kata asing yang telah diArabkan tersebut menjadi lafaz} Arab.

Namun hal yang perlu digarisbawahi, bahwa pengAraban (sebagaimana yang telah dikenal) tersebut hanya berlaku untuk kata benda yang terindera, bukan pada makna-makna non inderawi. Sebab, orang Arab hanya melakukannya terhadap benda yang terindera dan ada di negeri non Arab, yang mereka bawa ke negeri mereka, setelah huruf-hurufnya disesuaikan dengan paradigma kata dalam bahasa mereka.22

21 Ahmad von Danffer, Ulu>m al-Qur’a>n An Introduction to the sciences of the Qur’a>n,

(United Kingdom: The Islamic Foundation, 1991), 73.

(32)

23

C. Pengertian Maja>z

Sebagaimana yang pernah dijelaskan diatas, bahwasanya dalam mengetahui makna lafaz} Arab itu ada empat cara, yakni: pertama haqi>qah, kedua maja>z, ketiga ishtiqa>q, dan keempat ta’ri>b. Hal inilah yang digunakan oleh Ali Al-S}abuni dalam menafsirkan al-Qur’a>n, yakni lebih banyak dengan menggunakan majaz.23

Maja>z secara bahasa ialah memaknai suatu kalimat bukan pada

tempatnya. Sedangkan secara istilah maja>z ialah lafaz} yang digunakan tidak sesuai dengan asal penggunaannya yang pertama, karena adanya indikasi yang menghalangi dinyatakannya makna yang hakiki. Contohnya

lafaz} raqabah dalam firman Allah SWT surat Al-Nisa ayat 92:

ةَِمْؤم ةَبَ قَر ُرْ يِرْحَتَ ف

Maka, hendaknya memerdekakan budak yang beriman.24

Lafaz} tersebut digunakan untuk menyebut budak yang dimiliki (‘abd

mamluk). Sebab, ia merupakan bagian dari budak, sehingga hubungannya merupakan hubungan bagian. Dalam istilah ahli balaghah, disebut ithla>q al-juz’i wa ira>dat al-kulli (yang dinyatakan sebagian, sementara maksudnya keseluruhan). Dalam hal ini, yang menentukan bahwa lafaz} tersebut majaz adalah hubungan dan indikasi, yang diperoleh oleh ahli bahasa dan balaghah melalui penelitian dan analisis yang mendalam.25

23

Abdurrahman, Ulumul Qur’a>n..,106.

24 Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, (Jakarta: Pena Pundi Aksara,

2002), 604. 25

(33)

24

D. Macam-macam Maja>z

Dari aspek hubungan antara makna yang digunakan dengan makna yang diletakkan pertama kali, maka maja>z bisa dibagi menjadi dua yaitu:

1. Isti’a>rah. Secara harfiah, isti’a>rah berarti meminjam. Disebut

demikian, sebab pada dasarnya majaz dalam konteks ini disusun dengan meminjam lafaz} asal untuk digunakan dengan maksud baru, karena adanya persamaan (musha>bahah) antara masing-masing. Maka, disini berlaku konteks persamaan yakni mushabbah (yang disamakan), mushabbah bihi (obyek yang menjadi persamaan), dan wajh as-shabah (bentuk persamaan).26 Contoh:

ًءاَيِض ٌرْدَب َتْنَأ

Anda, auranya bak bulan purnama.

Maka, anda statusnya sebagai mushabbah (yang disamakan), auranya adalah wajh as-shabah (bentuk persamaan), dan bak bulan purnama adalah mushabbah bihi (obyek yang menjadi persamaan).27

Isti’a>rah kemudian diklasifikasikan menjadi sebagai berikut:

(1) Isti’a>rah Tas}ri>h}}{{{{iyyah. Disebut tas}ri>h{{{{{}iyyah karena lafaz} yang dipinjam digunakan untuk menjelaskan persamaan mushabbah bihi dengan mushabbah. Maka, dalam isti’a>rah

(34)

25

tas}ri>h{{{{{}iyyah ini, biasanya mushabbah bihinya disebutkan.

Contohnya:









Alif, laam raa. (Ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang.28

Lafaz} az-z}uluma>t (gelap gulita) dan an-nu>r (cahaya terang

benderang) disini dipinjam, masing-masing untuk menjelaskan

az-z}ala>lah (kesesatan atau kekufuran) dan al-hida>yah (petunjuk atau

Islam). Sebenarnya yang dikehendaki oleh Allah, melalui indikasi diturunkannya al-Kitab kepada Rasulullah SAW ialah mengeluarkan dari kesesatan menuju jalan hidayah, sebab itu masing-masing az-z}ala>lah dan al-hida>yah (yang tidak dinyatakan dalam ayat tersebut) disebut mushabbah (yang disamakan), sedangkan az-z}uluma>t dan an-nu>r disebut mushabbah bihi (obyek yang menjadi persamaan).29

Kedua lafaz} ini dipinjam dengan maksud untuk menjelaskan

az-z}ala>lah dan al-hida>yah dengan majaz (kiasan): az-z}uluma>t dan

an-nu>r dengan maksud menguatkan impresi pihak yang dijelaskan.

Oleh karena itu, disebut isti’a>rah tas}ri>hi{{{}yyah, sebab didalamnya

28 Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, 14:1.

29

(35)

26

terjadi peminjaman lafaz} untuk menguatkan penjelasan maksud pihak penyeru.

(2) Isti’a>rah Makniyyah ialah isti’a>rah yang musyabbah

bihinya dibuang, kemudian digantikan dengan lafaz} yang mencerminkan sifatnya yang dominan. Contohnya:









Dan rendahkanlah “sayap kerendahan” terhadap mereka berdua (ibu dan bapak) dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”30

Maka disini, lafaz} adh-dhull (kerendahan) yang merupakan mushabbah (yang disamakan) disamakan dengan at-t}ayr (burung) yang merupakan mushabbah bihi (obyek yang menjadi persamaan). Mushabbah bihi (burung) ini telah dihilangkan, lalu posisinya digantikan dengan sifatnya yang dominan, jana>h} (sayap).31

Inilah yang dimaksud isti’a>rah makniyyah, karena dalam konteks ayat ini telah terjadi peminjaman lafaz} yakni at-t}ayr (burung) yang kemudian posisinya dihilangkan, lalu diganti dengan sifatnya yang dominan jana>h} (sayap). Sementara disandingkannya

30 Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, 17: 24.

31

(36)

27

lafaz} jana>h} dan adh-dhull mengindikasikan adanya majaz dalam

bentuk tashbih (persamaan). Sebab, masing-masing lafaz} tersebut tidak relevan. Dari sini, maka dapat disimpulkan bahwa adh-dhull merupakan persamaan at-t}ayr (burung), sebab ada lafaz} jana>h} (sayap) yang menjadi ciri khas burung.32

(3) Isti’a>rah Takhyi>liyyah adalah isti’a>rah yang menetapkan keberadaan mushabbah bihi bagi mushabbah, sehingga pihak yang diseru akan membayangkan, bahwa mushabbah (yang disamakan) tadi sejenis dengan mushabbah bihi (obyek yang menjadi persamaan). Ciri takhyi>liyyah ini adalah adanya penetapan sesuatu yang sejatinya tidak menjadi miliknya, untuk dimiliki.33 Contohnya:





Hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali dilemparkan kedalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: “Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?”34

Perhatikan firman Allah SWT tersebut diatas, maka akan tergambar bahwasanya neraka dalam bentuk makhluk besar, kejam, seram wajahnya, muram, dan bergejolak dadanya karena dendam

32 Abdurrahman, Ulumul Qur’a>n..,108. 33 Ibid,109.

(37)

28

dan marah.35 Lafaz} tamayyazu min al-ghayz} (meledak-ledak karena marah) tersebut, merupakan karakter manusia yang perangainya keras dan kasar.36

Dalam hal ini, neraka (mushabbah) disamakan dengan manusia (mushabbah bihi) tanpa menyebut sama sekali kata “manusia” selain karakternya saja, tamayyazu min al-ghayz}

(meledak-ledak karena marah). Peminjaman lafaz} tamayyazu min

al-ghayz} (meledak-ledak karena marah) yang seharusnya menjadi

milik manusia untuk diberikan kepada neraka (mushabbah), dan ditetapkannya apa yang lazim mushabbah bihi (manusia), yaitu

lafaz} tamayyazu min al-ghayz} (meledak-ledak karena marah)

tersebut sebagai karakter (mushabbah) neraka ketika marah, sehingga ada kesan (image) neraka itu sebangsa manusia yang bisa meledak-ledak kemarahannya. Inilah, yang disebut isti’a>rah

takhyi>liyyah.37

(4) Isti’a>rah Tamthi>liyyah adalah susunan kata (tarki>b) yang

digunakan tidak pada tempatnya, disebabkan karena adanya hubungan persamaan, dengan dihilangkannya wujud persamaan wajh al-shabahnya dari beberapa perkara, dimana mushabahnya masuk dalam jenis atau kelompok mushabbah bihi. Contohnya:

35 Ali Al-Jarim dan Mustafa Usman, “Al-Balaaghatul Waadhihah”, (Bandung: Sinar

Baru Algensindo, 2005), 146.

(38)

29



Maka Apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapatkan petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?38

Struktur (tarki>b): man yamshi mukibban ‘ala> wajhihi (orang yang berjalan dengan muka terjungkal) dan man yamshi sawiyyan

‘ala> s}ira>tin mustaqi>m (orang yang berjalan dengan tegak mengikuti

jalan yang lurus) ialah struktur yang masing-masing tidak digunakan pada tempatnya, atau majaz. Namun, karena adanya persamaan antara masing-masing dengan mushabbah (yang disamakannya), maka struktur tersebut digunakan. Masing-masing digunakan untuk menyebut orang kafir dan mukmin.39

Orang kafir disamakan secara tamthi>l (pemisalan) -dengan orang yang berjalan muka terjungkal (man yamshi mukibban ‘ala> wajhihi), sementara orang mukmin dengan cara yang sama disamakan -dengan orang yang berjalan tegak mengikuti jalan yang lurus (man yamshi sawiyyan ‘ala> s}ira>tin mustaqi>m). Peminjaman struktur lafaz} (tarki>b) karena persamaan antara masing-masing

38 Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, 67:22.

39

(39)

30

dengan gaya pemisalan (tamthi>l) inilah yang disebut isti’a>rah

tamthi>liyyah.40

2. Mursal. Mursal merupakan bentuk maja>z, jika hubungan antara makna yang digunakan dengan makna yang diletakkan pertama kali tidak mempunyai persamaan. Berdasarkan hubungan antara makna yang digunakan dengan makna yang diletakkan pertama kali, maja>z mursal dapat diklasifikasikan sebagai berikut:41

(1) Juz’iyyah. Disebut juz’iyyah karena sesuatu disebut dengan menyebut bagiannya. Misalnya:



Bangunlah (salatlah) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya).42

Lafaz} qum dengan konotasi salatlah, ialah bentuk penyebutan

bagian dari salat yakni berdiri, tetapi dengan maksud melaksanakan keseluruhan salat. Hal ini juga biasa disebut dengan ithla>q al-juz’i

wa ira>dat al-kulli (menyebut bagian dengan maksud

keseluruhan).43

40 Abdurrahman, Ulumul Qur’a>n..,110. 41 Ibid,.

42 Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, 73:2.

43

(40)

31

(2) Kulliyah. Dinamakan demikian, sebab yang dinyatakan adalah seluruhnya, sementara yang dimaksud hanya sebagiannya saja. Misalnya:







Mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati.44

Lafaz} as}a>bi’ahum (anak-anak jarinya) yang berarti seluruh

jarinya digunakan untuk menyumbat telinga, sementara lubang telinga hanya cukup untuk satu jari, membuktikan bahwa sebenarnya yang dimaksud ialah sebagian jari, masing-masing sebelah kanan satu, dan sebelah kiri satu. Oleh sebab itu, bisa disebut ithla>q al-kulli wa ira>dat al-juz’i (menyebut keseluruhan dengan maksud sebagian).

(3) Sababiyyah ialah menyebut sesuatu sesuai dengan sebutan aslinya. Misalnya:

Maka siapa saja yang menyerang kamu, Maka balaslah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.45

(41)

32

Lafaz}

fa

tadu>

(balaslah) adalah lafaz} yang sama, yang

digunakan dalam konteks sebelumnya faman i‘tada> (siapa saja yang menyerang), padahal maksudnya raddu> (balaslah). Penggunaan lafaz} yang sama dengan maksud yang berbeda, yang satu “menyerang” sedangkan yang lain “membalas” didasarkan

pada sebabnya inilah yang disebut sababiyyah, bisa juga disebut

baya>n musha>kalah.46

(4) Musabbabiyyah. Disebut demikian, sebab yang menjadi dasar penyebutan adalah akibatnya. Misalnya:



Maka mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang bumi tumbuhkan, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya.”47

Penyebutan tunbitu al-ard{u (bumi tumbuhkan), dimana bumi dinyatakan sebagai subyek dari predikat tunbitu (menumbuhkan), adalah bentuk musabbabiyyah. Karena, sebenarnya yang menumbuhkan tanaman adalah Allah, hanya Allah yang menumbuhkannya di bumi, dimana bumi sejatinya merupakan akibat dari perbuatan Allah menumbuhkan tanaman diatasnya.

46

Abdurrahman, Ulumul Qur’a>n..,112.

(42)

33

Namun ayat ini tidak menyebut Allah sebagai Dzat yang menumbuhkan, sebaliknya bumi disebut-sebut sebagai yang menumbuhkan. Maka, penyebutan seperti ini disebut musabbabiyyah.48

48

(43)

BAB III

BIOGRAFI IBN

KATHI>R

DAN ALI AL-

S}

ABUNI

A. Biografi Ibn Kathi>r

1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Ibn Kathi>r

Nama lengkap Ibn Kathi>r adalah Ima>m ad-Di>n Abu> al-Fida> Isma>’i>l Ibn ‘Amr Ibn Kathi>r Ibn Zara’ al-Bushra al-Dimasyqi>.1 Beliau lahir di Desa

Mijdal dalam Wilayah Bushra (Basra>) pada tahun 700 H/ 1301 M. Oleh karena itu, ia mendapat predikat “al-Bushrawi” (orang Basra>).2

Ibn Kathi>r ialah anak dari Shihab ad-Din Abu Hafsh Amar Ibn Kathi>r Ibn Dhaw Ibn Zara’ al-Qurasyi, yang merupakan seorang ulama terkemuka pada masanya. Ayahnya bermazhab Syafi’i dan pernah mendalami mazhab

Hanafi, kendatipun meenganut madhab Syafi’i setelah menjadi khatib

Bushra.3 Dalam usia kanak-kanak, ayahnya sudah meninggal dunia. Kemudian Ibn Kathi>r tinggal bersama kakaknya (Kamal ad-Din Abd Wahab) dari desanya ke Damaskus. Di kota inilah Ibn Kathi>r tinggal hingga akhir hayatnya.4

1 Muhammad Hussain ad-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Vol. II, (Kairo: Maktabah

Wahbah, 1985), 242.

2 Ibn Kathi>r, al-Bidayah wa al-Nihayah, jilid XIV, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), 32. 3 Ibid,.

(44)

35

Pada usia 11 tahun Ibn Kathi>r menyelesaikan hafalan al-Qur’a>n, dilanjutkan memperdalam Ilmu Qira’at, studi Tafsir dan Ilmu Tafsir dari

Syaikhul Islam Ibn Taimiyah (661-728 H).5 Hal yang sangat menguntungkan

bagi Ibn Kathi>r dalam pengembangan karir keilmuan, adalah kenyataan bahwa dimasa pemerintah Dinasti Mamluk merupakan pusat studi Islam seperti madrasah-madrasah dan masjid-masjid berkembang pesat.6

Perhatian penguasa pusat di Mesir maupun penguasa daerah Damaskus sangat besar terhadap studi Islam. Banyak ulama yang ternama lahir pada masa ini, yang akhirnya menjadi tempat menimba ilmu sangat baik bagi Ibn

Kathi>r.7

Ibn Kathi>r mendapat gelar keilmuan dari para ulama, sebagaimana yang dikatakan oleh Manna al-Qatthan dalam Mabahits fil Ulum al-Qur’an, sebagai berikut: Ibn Kathi>r merupakan pakar fiqh yang dapat dipercaya, pakar h}adith yang cerdas, sejarawan ulung, dan pakar tafsir yang paripuna.”8

Para ahli meletakkan beberapa gelar keilmuan kepada Ibn Kathi>r sebagai kesaksian atas kepiawaiannya dalam beberapa bidang keilmuaan yang beliau geluti, antara lain yaitu:

5 Manna Khalil Al-Qatta>n, Mabahits fi Ulum al-Qur’a>n, (Riya>dh: Al-‘Asr al-Hadith al-‘Arabiyyah, 1973), 386.

6 Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Anda Utama,

1993),145-149.

7Ibid,.

8Manna’ Khalil al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir, (Jakarta: Litera Antar

(45)

36

a. Al-Hafidzh, orang yang mempunyai kapasitas hafal 100.000 h}adith, matan maupun sanad, walaupun dari beberapa jalan, mengetahui

h}adith shahih.9

b. Al-Muhaddith, orang yang ahli mengenai h}adith riwayah dan dirayah, dapat membedakan cacat atau sehat, mengambilnya dari imam-imamnya, serta dapat menshahihkan dalam mempelajari dan mengambil faedahnya.10

c. Al-faqih, gelar keilmuan bagi ulama yang ahli dalam Ilmu Hukum Islam namun tidak sampai pada tingkat mujtahid. Ia menginduk pada suatu madzhab yang sudah ada, tapi tidak taqlid.

d. Al-Mu’arrikh, seorang yang ahli dalam bidang sejarah atau sejarawan.

e. Al-Mufassir, seorang yang ahli dalam bidang tafsir yang menguasai beberapa peringkat berupa Ulum al-Qur’a>n dan memenuhi syarat-syarat mufasir.

Diantara lima predikat tersebut, al-Hafidzh merupakan gelar yang paling sering disandangkan pada Ibn Kathi>r. Ini terlihat pada penyebutan namanya pada karya-karyanya atau ketika menyebut pemikirannya.

Selain di dunia keilmuan, Ibn Kathi>r juga terlibat dalam urusan kenegaraan. Tercatat aktivitasnya pada bidang ini, seperti pada akhir tahun

(46)

37

741 H, Ibn Kathi>r ikut dalam penyelidikan yang akhirnya menjatuhkan hukuman mati atas sufi Zindiq yang menyatakan Tuhan pada dirinya (hulul). Tahun 752 H, Ibn Kathi>r berhasil menggagalkan pemberontakan Amir Baibughah ‘Urs, pada masa Khalifah Mu’tadid. Bersama ulama lainnya, pada tahun 759 H Ibn Kathi>r pernah diminta Amir Munjak untuk mengesahkan beberapa kebijaksanaan dalam memberantas korupsi, dan peristiwa kenegaraan lainnya.11

Dalam menjalani kehidupan, Ibn Kathi>r didampingi oleh seorang isteri yang bernama Zainab (putri Jamaluddin al-Mizzi) yang masih sebagai gurunya. Setelah menjalani kehidupan yang panjang, pada tanggal 26 Sya’ban

774 H bertepatan dengan bulan Februari 1373 M pada hari kamis, Ibn Kathi>r meninggal dunia.12

2. Guru-guru Ibn Kathi>r

Ibn Kathi>r dibesarkan di kota Damaskus. Disana beliau banyak menimba Ilmu dari para ulama di kota tersebut, salah satunya adalah Burhan al-Din al-Fazari (660-729 H) yang merupakan guru utama Ibn Kathi>r, seor

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 % variabel independen meliputi variabel produksi (X1), luas lahan (X2), harga (X3),

Final results showed that in all nature reserves, the top three were the Lushan Nature Reserve, the Jinggangshan Nature Reserve, the Taohongling National Nature Reserve of Sikas

KOMUNIKASI ANTAR KELOMPOK MASYARAKAT BERBEDA AGAMA DALAM MENGEMBANGKAN RELASI DAN TOLERANSI SOSIAL (Studi kasus pada masyarakat desa Ngadas suku tengger kecamatan

PENERAPAN MODEL INDUKTIF KATA BERGAMBAR DALAM PEMBELAJARAN MENULIS TEKS NARATIF PERSONAL.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Strategi pemasaran tempat yang pihak pengelola agrowisata gunakan untuk mempertahankan pengunjung yaitu dengan cara mempertahankan kualitas dari tempat wisata

1. Konsep kemandirian yang diusung dan dikembangkan oleh Panti Asuhan berangkat dari tekad panti untuk menyelamatkan anak agar tumbuh berkembang secara mandiri

2.1 2.1 Menghayati Menghayati pentingnya pentingnya kerjasama kerjasama sebagai hasil sebagai hasil pembelajara pembelajara n sablon n sablon (screen (screen printing) printing)

Pengelolaan kebudayaan dan kepariwisataan pada satu kawasan merupakan upaya dalam mensinergiskan berbagai kepentingan sebagaimana makna dari suatu kawasan merupakan