• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKTIVITAS KOMUNITAS KHONGHUCU DI KELENTENG HWIE ING KIONG KOTA MADIUN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "AKTIVITAS KOMUNITAS KHONGHUCU DI KELENTENG HWIE ING KIONG KOTA MADIUN."

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

AKTIVITAS KOMUNITAS KHONGHUCU DI KELENTENG HWIE ING

KIONG KOTA MADIUN

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Perbandingan Agama

Oleh:

ASTERIA PUTRI BUDYLIANTI

NIM : E02212019

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA

JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Asteria Putri Budylianti, Aktivitas Komunitas Khonghucu di Kelenteng Hwie Ing Kiong Kota Madiun.

Judul dari penelitian ini yaitu Aktivitas Komunitas Khonghucu di Kelenteng Hwie Ing Kiong Kota Madiun. Penelitian ini menjelaskan tentang berbagai macam kegiatan yang dilakukan oleh komunitas Khonghucu, baik itu bersifat ritual maupun sosial. Penelitian ini menggunakan teori dari Joachim Wach tentang Pengalaman Keagamaan (religious experience). Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif lapangan (field research). Setelah melakukan penelitian, penulis menemukan kegiatan keagamaan komunitas Khonghucu di kelenteng Hwie Ing Kiong, diantaranya selain perayaan tahun baru Imlek dan Cap Go Meh, terdapat pula perayaan Sembahyang Duan Wu, Qing Ming, Sembahyang Arwah Umum / Leluhur, Sembahyang hari lahir dan wafatnya Nabi Khonghucu, dan lain sebagainya. Penulis juga menemukan bahwa komunitas Khonghucu rutin melakukan kegiatan bakti sosial setiap tahunnya, yakni setelah melakukan sembahyang Arwah Umum / Leluhur dan pada saat perayaan hari jadi kelenteng Hwie Ing Kiong. Sedangkan masyarakat Madiun merespon kegiatan tersebut dengan sangat baik, entah itu dari segi kegiatan sosial yang diadakan oleh komunitas Khonghucu maupun keberadaan mereka di kota Madiun.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL ... i

ABSTRAK ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v A. Ajaran dan Kitab Suci Agama Khonghucu 1. Ajaran Agama Khonghucu ... 14

2. Kitab Suci Agama Khonghucu... 17

B. Tempat Ibadah dan Jenis Kebaktian Agama Khonghucu 1. Tempat Ibadah Agama Khonghucu ... 24

2. Jenis Kebaktian Agama Khonghucu ... 25

C. Teori Joachim Wach Mengenai Pengalaman Keagamaan ... 28

BAB III DESKRIPSI KELENTENG HWIE ING KIONG KOTA MADIUN A. Letak Geografis Kelenteng Hwie Ing Kiong ... 30

B. Simbol Keagamaan di Kelenteng Hwie Ing Kiong ... 34

(8)

1. Aktivitas Keagamaan ... 45 2. Aktivitas Sosial ... 52 E. Respon Masyarakat Mengenai Aktivitas Sosial Komunitas Khonghucu

di Kelenteng Hwie Ing Kiong ... 55

BAB IV ANALISIS AKTIVITAS KOMUNITAS KHONGHUCU DI KELENTENG HWIE ING KIONG KOTA MADIUN

A. Aktivitas Keagamaan di Kelenteng Hwie Ing Kiong ... 58 B. Aktivitas Sosial di Kelenteng Hwie Ing Kiong ... 60 C. Respon Masyarakat Mengenai Aktivitas Sosial Komunitas Khonghucu

di Kelenteng Hwie Ing Kiong Kota Madiun ... 61

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 63 B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia pada dasarnya memiliki dua sifat, yakni manusia sebagai makhluk individu dan manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu berarti setiap manusia memiliki perbedaan sifat dan tingkah laku yang khas, yang berasal dari sifat keturunan dari orang tuanya dan juga sifat dari lingkungan dimana ia tinggal. Sedangkan manusia sebagai makhluk sosial berarti setiap manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Sifat manusia sebagai makhluk sosial lainnya yakni secara naluriah, manusia memiliki kebutuhan unutk berkomunikasi atau berbicara dengan manusia lainnya. Hal ini merupakan sifat mendasar yang dimiliki oleh manusia.

Kebutuhan manusia bermacam-macam dan tanpa batas. Namun ada satu hal yang sifatnya paling mendasar dan dapat berfungsi sebagai pegangan / pedoman manusia dalam menajalani kehidupan, yaitu Agama. Agama merupakan media komunikasi antara manusia dengan Sang Pencipta. Sedangkan di Indonesia telah memutuskan dalam undang-undang bahwa setiap warga negara berhak mengikuti 5 agama yang telah diakui di Indonesia. Salah satu agama yang diakui di Indonesia tersebut yakni agama Khonghucu.

(10)

2

5 Tahun 1965, yang menetapkan agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu merupakan agama resmi penduduk Indonesia. Padahal pada masa Orde Baru, seluruh aktivitas peribadatan agama Khonghucu dilarang oleh pemerintah dengan Intruksi Presiden (Inpres) No 14/1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Kemudian di Era Reformasi, Agama Khonghucu mulai mendapatkan pengakuan atas identitasnya, yang ditandai dengan dicabutnya Inpres No 14/1967 dengan diterbitkannya Keppres. No 6/2000, dan kini etnis Cina dapat merayakan kembali Imlek secara bebas dan terbuka.1

Selain itu, alasan mengapa penulis mengambil topik ini sebagai penelitian karena keberadaan agama Khonghucu beserta lembaga-lembaga keagamaannya di Indonesia sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, tepatnya sejak masuknya para pedagang China yang datang ke tanah air. Meski begitu, keberadaan agama Khonghucu di Indonesia, khusunya di kota Madiun, kurang jelas terlihat dibanding dengan keberadaan etnis Tionghoa yang telah lama menetap di Indonesia. Begitu pula dengan kegiatan keagamaan Khonghucu. Tidak semua masyarakat mengetahui apa saja kegiatan keagamaan Khonghucu, dan bagaimana hubungan komunitas Khonghucu dengan masyarakat sekitar. Dengan demikian, penelitian ini diperlukan agar menambah pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan agama Khonghucu di kota Madiun, khususnya yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan dan aktivitas sosial.

1 Sulaiman, “Agam

(11)

3

Setiap agama pasti mempunyai tempat ibadah yang digunakan untuk pusat kegiatan beribadah serta tempat berkumpulnya penganut agama tersebut. Dalam agama Khonghucu, tempat ibadahnya bernama Kong Miao (Baca: Kong Miao).

Kong Miao atau Kelenteng adalah sebutan untuk tempat ibadah penganut kepercayaan tradisonal Tionghoa di Indonesia pada umumnya. Dikarenakan di Indonesia, penganut kepercayaan tradisional Tionghoa sering disamakan sebagai penganut agama Khonghucu, maka Kelenteng dengan sendirinya disamakan sebagai tempat ibadah agama Khonghucu.2

Sedangkan alasan penulis tertarik untuk melakukan penelitian di kelenteng ini karena kelenteng ini merupakan salah satu bangunan yang sudah lama berdiri di Kota Madiun, sehingga hampir seluruh masyarakat mengetahui keberadaan kelenteng tersebut. Penulis mengakui bahwa telah banyak penelitian yang mengambil objek agama Khonghucu, namun ketertarikan penulis terletak pada kegiatan keagamaan dan kegiatan sosial yang ada di kelenteng Hwie Ing Kiong Madiun. Untuk itu, penulis mengambil agama Khonghucu sebagai objek penelitian. Dan alasan lainnya agar penulis lebih mengenal lebih jauh tentang keberadaan kelenteng Hwie Ing Kiong, yang mana merupakan satu-satunya yang ada di Kota Madiun.

(12)

4

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana aktivitas keagamaan komunitas Khonghucu di Kelenteng Hwie Ing Kiong Kota Madiun?

2. Bagaimana aktivitas sosial komunitas Khonghucu di Kelenteng Hwie Ing Kiong Kota Madiun?

3. Bagaimana respon masyarakat mengenai aktivitas sosial komunitas Khonghucu di Kelenteng Hwie Ing Kiong Kota Madiun?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui aktivitas keagamaan komunitas Khonghucu di Kelenteng Hwie Ing Kiong Kota Madiun.

2. Untuk mengetahui aktivitas sosial komunitas Khonghucu di Kelenteng Hwie Ing Kiong Kota Madiun.

3. Untuk mengetahui respon masyarakat mengenai aktivitas sosial komunitas Khonghucu di Kelenteng Hwie Ing Kiong Kota Madiun.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai aktivitas keagamaan komunitas Khonghucu di kelenteng Hwie Ing Kiong Kota Madiun ini diharapkan dapat bermanfaat bagi, antara lain:

(13)

5

Penelitian ini diharapkan dapat sebagai bentuk pengembangan dari ilmu pengetahuan, khususnya untuk mata kuliah Agama Khonghucu, Sosiologi Agama, dan Agama-Agama Dunia. Dan juga, dapa berguna untuk memperluas wawasan terkait dengan hal-hal yang berkaitan dengan agama Khonghucu. Selain itu agar penulis lebih mengenal dan dapat mendalami agama-agama di Indonesia, khususnya agama Khonghucu. Dan juga, sebagai sarana untuk lebih mengenal keberadaan komunitas Khonghucu di kota Madiun itu, serta untuk memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. 2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan sebagai salah satu pijakan oleh berbagai pihak atau instansi terkait dengan kerukunan umat beragama. Dan juga, diharapkan penelitian ini dapat menjadi penambah referensi bagi pembaca yang ingin mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan studi agama-agama.

E. Tinjauan Pustaka

(14)

6

Pertama, skripsi yang ditulis oleh Setiani Kusuma, dengan judul “Aktivitas Keagamaan Khonghucu di Kelenteng Kwan Sing Bio Kabupaten

Tuban”. Didalamnya membahas tentang sejarah kelenteng tersebut dan juga

bagaimana aktivitas keagamaan yang ada di dalamnya. Selain itu, di skripsi tersebut juga membahas bagaimana peran organisasi yang ada di kelenteng tersebut. Letak persamaannya dengan penelitian ini yaitu terletak pada obyeknya yaitu kelenteng. Dan didalamnya juga memiliki sedikit kesamaan karena mengupas bagaimana sejarah kelenteng tersebut. Sedangkan letak perbedaannya yaitu, selain terletak di tempat yang berbeda, penelitian ini juga membahas bagaimana tanggapan masyarakat mengenai aktivitas yang ada di dalam kelenteng tersebut.

Kedua, penelitian yang dibahas oleh Tri Jaka Prassetiya dengan judul

“Makna Perayaan Imlek Menurut Penganut Agama Khonghucu di Makin Kota

Bandung”. Penelitian ini membahas tentang bagaimana perayaan Tahun Baru

Imlek yang dilakukan oleh komunitas Khonghucu di Kota Bandung. Letak persamaannya yaitu sama-sama membahas tentang agama Khonghucu dan ritual yang ada didalam tempat ibadahnya yaitu kelenteng. Sedangkan letak perbedaannya terletak pada pokok pembahasannya.

F. Kerangka Teori

(15)

7

Madiun. Karena penelitian ini merupakan penelitian yang berkaitan dengan hal-hal tersebut, maka penelitian ini didasari oleh teori pengalaman keagamaan

(religious experience) milik seorang tokoh studi agama, bernama Joachim Wach.

Tidak ada agama yang tidak berevolusi menuju suatu bentuk masyarakat keagamaan, demikian menurut Wach. Wach mengemukakan adanya hubungan ganda yang menjadi karakteristik kelompok agama. Pertama, hubungan kolektif ataupun individual para anggotanya terhadap momen yang dipandang sebagai hubungan yang primer. Hal yang dimaksud Wach, yakni hubungan suatu pemeluk agama terhadap kegiatan keagamaan. Sedangkan yang kedua, karakteristik kelompok agama sekunder, yaitu hubungan para anggota dalam kelompok. Wach juga menegaskan bahwa kelompok agama mempunyai aturan-aturan sendiri, pandangan hidup, sikap, dan suasana hidup tersendiri.3

Pengalaman keagamaan atau pengalaman beragama baik individu atau

masyarakat, menurut Joachin Wach4 (1958), dapat diamati melalui tiga bentuk

ekspresinya, yaitu:

a. Ekspresi Teoritis (thought) atau ekspresi pemikiran, yang meliputi sistem

kepercayaan, mitologi, dan dogma-dogma

b. Ekspresi Praktis, yaitu meliputi sistem peribadatan ritual maupun pelayanan.

c. Ekspresi dalam persekutuan, yang meliputi pengelompokan dan interaksi sosial komunitas beragama.

3

Djamannuri, “Joachim Wach tentang Agama”, Jurnal Al-Jamiah, no 30 (2008), 9. 4

(16)

8

Yang termasuk dalam ekspresi teoritis yakni untuk mengungkapkan apa saja yang menjadi isi dari kepercayaan suatu agama dan dirumuskan dalam suatu ajaran agama atau doktrin tertentu. Dalam penelitian ini, penulis akan mengumpulkan data terkait dengan isi doktrin atau ajaran dari Agama Khonghucu seperti menanyakan tentang kitab suci komunitas Khonghucu dan apa kandungan dari kitab tersebut.

Sedangkan ekspresi praktis dari pengalaman keagamaan yakni segala hal yang dilakukan oleh suatu pemeluk agama, yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan. Ibadah itu sendiri mempunyai dua macam bentuk yakni ibadah khusus, dan ibadah dalam konteks umum yang bersifat sosial. Hal akan menjadi titik dari penelitian ini yaitu mencari data mengenai kegiatan keagamaan dan kegiatan sosial komunitas Khonghucu di Kelenteng Hwie Ing Kiong Madiun.

(17)

9

G. Metode Penelitian

Dalam sebuah karya ilmiah, metode penelitian merupakan hal yang sangat penting. Selain itu, metode penelitian juga merupakan hal yang mendasar dalam suatu penelitian. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif lapangan (field research). Dan untuk tempat yang menjadi sasaran penelitian yakni di tempat ibadah komunitas Khonghucu yang merupakan satu-satunya di Kota Madiun, yaitu Kelenteng Hwie Ing Kiong.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan untuk penelitian ini ialah sebagai berikut : a. Sumber Primer

(18)

10

b. Sumber Sekunder

Sedangkan sumber sekunder dari penelitian ini yaitu berasal dari dokumen. Informasi yang bersifat dokumenter atau tertulis yang dapat menjadi sumber sekunder dan sebagai dasar penelitian. Selain itu, fungsi dari sumber sekunder adalah sebagai pelengkap data agar data yang diperoleh lebih jelas dan lengkap. Sumber sekunder ini dapat diperoleh dengan cara pengumpulan data.

3. Teknik Pengumpulan Data

Karena penelitian ini bersifat penelitian lapangan, maka penulis menggunkan teknik sebagai berikut :

a. Observasi

Observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan cara menyelidiki obyek yang akan diteliti. Hal yang akan diamati oleh penulis tentunya tempat ibadah komunitas Khonghucu, yaitu kelenteng. Hal yang diamati oleh penulis di kelenteng Hwie Ing Kiong yaitu kondisi kelenteng dan simbol-simbol keagamaan yang ada di dalamnya. Selain itu, penulis juga melakukan observasi mengenai tempat-tempat yang mendukung kegiatan di kelenteng tersebut. Bila memungkinkan, penulis akan melakukan pengamatan tentang komunitas Khonghucu dalam melakukan ritual keagamaan dan juga melakukan kegiatan sosial.

(19)

11

Interview atau wawancara adalah proses pengumpulan data yang dilakukan dengan cara berdialog antara penulis dengan narasumber. Pada penelitian ini, penulis melakukan wawancara kepada pengurus kelenteng Hwie Ing Kiong. Karena di kelenteng ini tidak terdapat pemuka agama Khonghucu yang khusus, maka penulis hanya melakukan interview pada salah seorang pengurus kelenteng bagian Keagamaan. Beliau bertugas sebagai koordinator keagamaan dari ketiga agama di kelenteng Hwie Ing Kiong yaitu agama Khonghucu, Buddha, dan Tao (Tri Dharma). Selain itu, penulis juga akan melakukan wawancara dengan pengurus kelenteng bagian hubungan masyarakat. Beliau sebagai narasumber tentang apa saja bentuk hubungan komunitas Khonghucu dengan masyarakat.

c. Dokumentasi

Selain menggunakan teknik observasi dan wawancara, penulis juga menggunakan teknik dokumentasi sebagai salah satu teknik pengumpulan data. Dokumentasi diperlukan untuk mengambil objek yang diteliti dengan cara pengambilan gambar dan perekaman suara. Hal ini sangat diperlukan agar tidak ada informasi yang terlewatkan.

4. Teknik Analisis Data

(20)

12

menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.5

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagi sumber, yaitu wawancara, observasi, dokumentasi dan lain sebagainya. Setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah, selanjutnya adalah mereduksi (pemotongan) data, tentunya dalam hal ini adalah data inti. Kegiatan mereduksi data tersebut dilakukan dengan cara mengabstraksi data. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya.6

Dalam menganalisis data, penulis terlebih dahulu mencatat pertanyaan yang akan diajukan kepada narasumber. Setelah itu, penulis melakukan wawancara dengan narasumber yang menjadi sasaran wawancara. Setelah semua data yang diperlukan sudah terkumpul, penulis menyusun seluruh informasi tersebut sehingga menjadi sebuah karya ilmiah yang terstruktur.

H. Sistematika Penulisan

Jika semua data dan informasi terkumpul dan siap disusun, penulis akan menyusun hasil penelitian ini dalam lima bab.

5

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 248. 6

(21)

13

Bab pertama yaitu pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang penelitian berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka teori, dan metode penelitian.

Bab kedua, berisi tentang landasan teori yang berkaitan dengan penelitian ini. Untuk itu penulis membahas mengenai gambaran umum mengenai pengertian aktivitas keagamaan dan aktivitas sosial. Dilanjutkan dengan penjelasan mengenai kitab suci, ajaran-ajaran, dan tempat ibadah serta jenis kebaktian dari Agama Khonghucu.

Bab ketiga, merupakan uraian data yang didapat dari penelitian. Dalam bab ini, dituliskan beberapa informasi terkait dengan lokasi penelitian. Lokasi yang dimaksud yakni Kelenteng Hwie Ing Kiong Kota Madiun. Bab ini diawali dengan pengenalan lokasi mulai dari letak geografis, simbol keagamaan, dan struktur organisasi. Dilanjutkan dengan bagaimana aktivitas keagamaan, dan aktivitas sosial komunitas Khonghucu di kelenteng tersebut, serta bagaimana respon masyarakat terhadap kedua aktivitas tersebut.

Bab keempat, penulis melakukan analisis berdasarkan data-data yang telah terkumpul. Analisis ini terkait dengan menggabungkan teori pada bab dua, dan hasil penelitian pada bab tiga, yang meliputi aktivitas keagamaan dan aktivitas sosial komunitas Khonghucu, serta respon masyarakat terhadap aktivitas tersebut.

(22)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Ajaran dan Kitab Suci Agama Khonghucu

1. Ajaran Agama Khonghucu

Agama Khonghucu dapat disebut sebagai Ji Kauw (menurut dialek Hokkian) yang berarti agama yang mengajarkan kelembutan dan kebaikan bagi pengikutnya. Dapat dikatakan juga bahwa agama Khonghucu merupakan suatu agama bagi kaum yang terpelajar.1

Dalam sebuah skripsi karya Setiani Kusuma dengan judul Aktivitas Keagamaan Khonghucu di Kelenteng Kwan Sing Bio Kabupaten Tuban, ajaran Khonghucu lebih kepada ajaran filsafat yang dapat dikelompokkan dalam ajaran mengenai metafisika dan etika. Disebut metafisika yakni berbicara mengenai konsep Thian atau Tian, yang dalam bahasa Inggris disebut heaven merupakan faktor spiritual yang utama di bidang keagamaan. Kepercayaan Khonghucu terhadap Thian ini sedikit berbeda dengan agama lain yang percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Namun, sebenarnya ada suatu ide yang bersifat universal yaitu sebagai pencipta dan asal mula dari segala yang ada di dunia ini, sedangkan proses penciptaannya yang bervariasi menurut agama masing-masing.2

1 Matakin, “Pokok Ajaran Agama Khonghucu”,

http://www.matakin.or.id/page/pokok-ajaran-agama-khonghucu# (Senin, 18 Juli 2016, 21.50).

2

(23)

15

Sedangkan etika memiliki inti ajaran yang bernama Jen. Jen adalah suatu proses perkembangan nilai-nilai spiritual yang berupa rasa kemanusiaan sejati yang dimiliki oleh setiap manusia, dan merupakan karakteristik yang fundamental dari keteraturan segala sesuatu yang ada, yang akan tercermin dalam kehidupan manusia. Jen terdiri dari dua unsur yaitu Shu dan Chung. Shu adalah suatu prinsip timbal balik atau teposaliro. Sedangkan Chung berarti loyality atau kesetiaan terhadap kewajiban kemanusiaan. Sehingga dalam melakukan perbuatan apapun tidak berharap imbalan baik berupa materi ataupun pujian. Ajaran tersebut dapar diamalkan dengan baik apabila manusia selalu memahami ajaran Tao. Tao merupakan suatu ajaran Khonghucu yang berarti jalan. Dapat diartikan bahwa jalan yang harus ditempuh oleh setiap makhluk, yang disebut dengan watak sejati. Hidup mengikuti watak sejati akan membimbing kita dalam menempuh jalan suci. Dan bimbingan dalam menempuh jalan suci itulah yang disebut agama.3

Di dalam agama Khonghucu, terdapat empat pokok ajaran yang sangat penting dan wajib ditaati oleh para pengikutnya. Pokok-pokok ajaran tersebut antara lain :

1. Lima Kebajikan (Ngo Siang) a. Cinta Kasih (Jien)

b. Kebenaran (Gi) c. Susila (Lee) d. Bijaksana (Ti)

3

(24)

16

f. Menjunjung kebenaran, keadilan, atau kepantasan (Gi) g. Suci Hati (Liam)

h. Tahu malu atau mengenal rasa harga diri (Thi)4 3. Lima Hubungan Kemasyarakatan

a. Pimpinan dan pembantu (Kun Sien) b. Orang tua dan anak (Hu Cu)

c. Suami dan istri (Hu Hu) d. Kakak dan adik (Hing Tie) e. Kawan dan sahabat (Ping Yu)5 4. Delapan Keimanan

a. Sepenuh iman yakin kepada Tuhan Yang Maha Esa b. Sepenuh iman menjunjung kebajikan

c. Sepenuh iman menegakkan firman gemilang d. Sepenuh iman menyadari adanya roh dan nyawa e. Sepenuh iman mengikuti genta rohani

4

B.S. Suryo Hutomo, Tata Ibadah dan Dasar Agama Khonghucu, (Jakarta:Matakin 1983), 19.

5

(25)

17

f. Sepenuh iman mengamalkan isi kitab suci Su Si g. Sepenuh iman menempuh jalan suci6

Selain itu, Nabi Khonghucu juga mengajarkan bahwa dalam kehidupan, hendaknya manusia mengamalkan firman Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, manusia diciptakan oleh Tuhan, lengkap dengan kekuatan dan kemampuan, untuk mengamalkan firman Tuhan. Firman Tuhan inilah yang merupakan jalan menuju kepada Shing atau watak sejati. Hal tentang mengamalkan firman Tuhan tersebut, tertulis dalam Kitab Bingcu VII A : 2, yang berbunyi :

Yang benar-benar dapat menyelami hati, akan mengenal watak sejatinya, yang mengenal watak sejatinya akan mengenal Tuhan Yang Maha Esa. Menjaga hati, merawat watak sejati, demikianlah mengabdi kepada Tuhan YME. Tentang usia pendek atau panjang jangan bimbang, siaplah dengan membina diri.7

Dalam agama Khonghucu, diajarkan pula mengenai mengasihi antarumat manusia, tanpa membedakan golongan ataupun agama. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Khonghucu yang berbunyi :

Aku mengabdikan diriku bagi semua, sebab sesungguhnya semua manusia itu sekeluarga adanya, dan Tian (Tuhan Yang Maha Esa) menugaskan diriku membimbing mereka.8

2. Kitab Suci Agama Khonghucu

Kitab suci merupakan salah satu syarat dalam adanya suatu agama sehingga setiap agama pasti memiliki suatu kitab yang digunakan sebagai pedoman dan tuntunan dalam melakukan kegiatan peribadatan. Selain itu,

(26)

18

kitab suci juga berfungsi sebagai sarana untuk dapat mengetahui isi dalam ajaran agama tersebut. Ada juga fungsi lainnya yakni dengan adanya kitab suci dalam suatu agama, seseorang dapat mengetahui ajaran agama satu dengan yang lainnya. Di dalam agama Khonghucu ada beberapa kitab suci yang wajib digunakan, yaitu :

1. Su Si (Empat Kitab)

Kitab Su Si awalnya ditulis dengan bahasa Mandarin namun MATAKIN telah menterjemahkan kitab ini ke dalam bahasa Indonesia. Kitab ini mempunyai 823 halaman dan dibagi menjadi 4 buah kitab. Di bagian sampul depan tertulis kata Pat Sing Ciam Kwi

yang berarti Delapan Pengakuan Iman dari agama Khonghucu. Pemahaman dari pengakuan Iman ini sama halnya dengan 6 Rukun Iman yang ada dalam agama Islam. Salah satu dari delapan pengakuan iman tersebut ada yang serupa dengan rukun iman dalam Islam yakni

“beriman pada kitab Su Si” yang berarti beriman kepada kitab suci.9

Sedangkan isi dari 4 buah kitab yang ada di dalam kitab Su Si, antara lain :

a. Kitab Thai Hak (Ajaran Besar)

Kitab ini ditulis oleh salah satu murid Khonghucu yang bernama Ching Zi. Kitab ini berisikan panduan pembinaan diri

9

(27)

19

yang meliputi etika dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, dan dunia.10

Kitab ini terdiri dari 10 bab, yang diawali dengan adanya bab utama yang terdiri dari 9 ayat. Selanjutnya, 4 ayat untuk bab I, 4 ayat untuk bab II, 5 ayat untuk bab III, 1 ayat untuk bab IV, 3 ayat untuk bab V, 4 ayat untuk bab VI, 3 ayat untuk bab VII, 3 ayat untuk bab VIII, 9 ayat untuk bab IX, 23 ayat untuk bab X. Dengan begitu, jumlah keseluruhan ayat dalam kitab Thai Hak ini adalam 68 ayat.

b. Kitab Tiong Young (Tengah Sempurna)

Kitab ini ditulis oleh cucu dari Khonghucu yang bernama Zi Shi. Kitab ini berjumlah 32 bab dan ditambah dengan bab utama. Seiring berjalannya waktu, kitab Tiong Young atau kitab Zhong Young atau the Doctrine of the Mean ini disusun kembali oleh Zi Hi, dan berubah menjadi satu bab utama dan 32 bab uraian.

Kitab Tiong Young ini memiliki arti tengah sempurna. Kata “tengah” dalam kitab ini berarti “jalan yang lurus di dunia”.

Sedangkan kata “sempurna” berarti “hukum tetap dunia”. Jadi

dapat dikatakan bahwa arti dari kata tengah sempurna yaitu berbuat sesuai hukum alam.

Dalam kitab ini, disamping membicarakan tentang Tiong Young itu sendiri, juga membicarakan tentang arti agama. Dalam bab utama dari kitab ini dijelaskan bahwa firman Thian (Tuhan) itu

10

(28)

20

disebut sebagai watak sejati. Jika di dalam hidup ini seseorang mengikuti watak sejati, maka hal ini dinamakan menempuh jalan suci. Dan pembimbing yang membimbing kita kearah jalan suci tersebut dinamakan agama. Dalam ayat ke-2 dikatakan bahwa jalan suci tidak boleh terlepas dari manusia. Bila ada manusia yang terpisah dengan jalan suci, maka manusia tidak dapat dikatakan menempuh jalan suci. Maka manusia hendaknya memiliki perasaan mawas diri pada Thian.11

c. Kitab Lun Yu

Kitab ini ditulis oleh murid-murid Khonghucu sebelum wafat. Kitab ini juga dikenal sebagai kitab kumpulan atau Lun Gi yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan The Analects.12 Kitab ini memiliki 20 jilid, dan di dalam kitab Su Si, kitab Lun Yu diletakkan di bagian ketiga, setelah Kitab Thai Hak dan Kitab Tiong Young. Secara umum, kitab ini berisikan hal-hal yang berhubungan dengan sabda-sabda dan nasehat Nabi Khonghucu yang berkaitan dengan kehidupan pada jaman itu.13

d. Kitab Bing Cu

Kitab ini diberi nama kitab Bing Cu, karena bagian pertama dari kitab ini membahas mengenai Bing Cu yang menemui raja

11

Ihsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, (Jakarta: Pelita Kebajikan,TT), 29.

12

Sutradharma Tj. Sudarman, Menjalani Kehidupan Buddhisme, Confucianisme dan Taoisme, (1998), 116.

13 Mochtar Corner, “Kitab Suci Agama Khonghucu”,

(29)

21

Hwi dari negeri Liang dan juga membicarakan tentang Bing Cu yang bertugas menyebarkan dan menjelaskan ajaran Khonghucu ke negeri Liang. Kitab ini memiliki 7 jilid dan merupakan kumpulan percakapan Mencius atau Bing Cu dalam menjalankan kehidupan di masa itu dengan menegakkan ajaran agama Khonghucu. Tujuan Mencius yakni mengungkapkan cinta kasih dan kebenaran dalam menebarkan jalan suci, kebajikan, dan mengakui adanya Thian.14 2. Ngo King (Lima Kitab)

Kitab ini merupakan kitab klasik yang diyakini oleh umat Khonghucu selain kitab Su Si. Kitab ini memiliki 6 buah karya yang telah disusun oleh Khonghucu (551-479 M), pada masa dinasti Han (206-221 M). Keenam karya tersebut yaitu15 :

1. Si King atau Kitab Sajak

Kitab ini disebut pula Pa King / Pa Jing / Kitab Kuncup Bunga. Kitab ini membahas bagaimana iman kepada Thian dan terdiri dari 39.222 huruf. Kitab Si King ini dirintis oleh Ki Tan atau Ciu Kong Tan. Macam-macam sajak yang ada dalam kitab ini : Hong (Nyanyian Rakyat), Hut (Cerita), Pi (Perumpamaan), Hien (Sindiran / Sanjungan), Nge (Pujian), Siong (Pemujaan). Kitab ini Si King ini dibagi menjadi 4 bab yani :

14

Sutradharma Tj. Sudarman, Menjalani Kehidupan Buddhisme, Confucianisme dan Taoisme, (1998), 177.

15

(30)

22

a. Kok Hong / Guo Feng / Nyanyian Rakyat atau Adat Istiadat. Terdiri dari 15 buku, 160 sajak.

b. Siu Nge / Xiau Ya / Pujian Kecil. Terdiri dari 8 buku, 80 sajak. c. Tai Nge / Da Ya / Pujian Besar kepada Nabi Ki Chiang / Bun

Ong. Terdiri dari 3 buku, 31 sajak.

d. Siong / Song yang digunakan untuk mengiringi upacara peribadahan. Terdiri dari 3 buku, 40 sajak.16

2. Su King atau Kitab Dokumentasi

Kitab Su King disebut juga Kitab Shu Jing / Sio Si / Shang Shu / Kitab Mulia dan Cai King / Zai Jing / Kitab Tarikh Buku Jaman dan Piet King / Bi Jing / Kitab Tembok. Disebut kitab Tembok karena berhasil dilestarikan sejak penemuan kitab ini di dalam dinding rumah keluarga Nabi Khongcu. Dan Khong An Kok adalah keturunan Nabi Khongcu yang pada waktu itu mendapat perintah dari Raja Han Bu Te untuk mengkonsolidasikannya. Kitab ini disusun oleh Nabi Khongcu dari jaman Tong Giau (2357 – 2255 SM) sampai Raja Muda Chien Bok Kong pada jaman Raja Ciu Siang Ong (651 – 618 SM). Kitab ini terdiri dari 4 buku 6 jilid, yaitu :

a. Gi Su, berjumlah 5 bab, menceritakan tentang Hikayat Tong Giau (2357 – 2255 SM) dan Gi Sun (2255 – 2205 SM).

(31)

23

b. He Sun, berjumlah 4 bab, membahas mengenai naskah-naskah Dinasti He (2205 – 1766 SM).

c. Siang Su, berjumlah 27 bab, membahas mengenai naskah-naskah Dinasti Siang (1766 – 1122 SM).

d. Ciu Su, terdiri dari 32 bab, membahas tentang naskah-naskah Dinasti Ciu (1122-255 SM).

3. Ya King atau Kitab Perubahan

Kitab Ya King atau dapat disebut juga kitab Yi Jing, Hie King, atau I Ching ini merupakan kitab yang paling utuh menurut sejarah, yang terdiri dari 24.707 huruf di dalamnya. Kitab ini berisikan tentang unsur-unsur ketuhanan, Bu Kik, Tay Kik, Im Yang, Pat Kwa yang dimulai dari Nabi Purba Hok Hie.17

4. Lee King atau Kitab Kesusilaan

Kitab Lee King atau Li Jing, Tay King, atau Dai Jing ini terdiri dari 99.020 huruf dan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :

a. Ciu Lee / Zhou Li (Kitab Kesusilaan Dinasti Ciu) b. Gi Lee / Yi Li (Kitab Kesusilaan dan Peribadahan) c. Lee Ki / Li Ji (Catatan Kesusilaan)

5. Chun Chiu King

Kitab Chun Chiu King atau Chun Qiu Jing, Chun Ciu, Lien King, Lin Jing, atau Kilin ini terdiri dari 18.000 huruf yang didalamnya murni hasil tulisan dari Nabi Khongcu sendiri.

(32)

24

6. Hau King atau Kitab Bakti

Kitab Hau King atau Hauw King, Xiao Jing ini juga merupakan hasil karya Nabi Khongcu sendiri. Kitab ini terdiri dari 18 bab yang didalamnya berisikan percakapan Nabi Khongcu dengan Cingcu. Selain itu, kitab ini juga membahas mengenai ajaran tentang berbakti dan bagaimana memuliakan suatu hubungan.18 Hubungan ini bisa dengan sesama manusia, maupun hubungan manusia dengan Thian (Tuhan Yang Maha Esa).

B. Tempat Ibadah dan Jenis Kebaktian Agama Khonghucu

1. Tempat Ibadah Agama Khonghucu

Dalam suatu agama tentu memiliki kegiatan peribadatan masing-masing. Dan dalam melakukan suatu ibadah, tentunya memerlukan tempat yang tidak sembarangan. Tempat itu harus suci karena dipergunakan untuk menghadap kepada Thian (Tuhan Yang Maha Esa). Seperti halnya agama-agama lain, agama-agama Khonghucu juga memiliki tempat ibadah bernama Kong Miao atau Kelenteng.

Kelenteng pada awalnya tempat ibadah bagi penganut kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia. Karena di Indonesia menyamakan antara penganut kepercayaan tradisional Tionghoa dengan agama Khonghucu, maka nama Kelenteng bergeser menjadi tempat ibadah bagi agama Khonghucu. Nama kelenteng sendiri hanya ada di Indonesia, yang

(33)

25

berasal dari bunyi teng-teng-teng dari lonceng yang ada didalam Kelenteng, pada saat melakukan sembahyang. Sedangkan di negara asli agama Khonghucu yaitu Tiongkok, kelenteng ini bernama Bio atau dalam dialek Hokkian bernama Miao.19

Pada awalnya, Miao merupakan tempat penghormatan untuk para leluhur. Sebelum bernama Miao, tempat ini bernama “Ci” yang berarti

rumah abu (abu milik leluhur). Masing-masing marga membuat bangunan Ci ini untuk menyimpan abu mereka. Seiring berjalannya waktu, abu dari setiap marga dikumpulkan dan diletakkan ke dalam ruangan khusus untuk berbagai marga dan suku. Sampai akhirnya berubah nama menjadi Miao dan didalam Miao tersebut terdapat ruangan tersendiri yang digunakan untuk mempelajari ajaran-ajaran agama Tri Dharma yaitu Khonghucu, Buddha, dan Tao.20

2. Jenis Kebaktian Agama Khonghucu

1. Sembahyang kepada Thian.

a. Melakukan sembahyang yang bertujuan untuk mengucap rasa syukur kepada Thian. Sembahyang ini dilakukan pada saat pagi

19 Kelenteng.com, “Arti Kelenteng”,

http://kelenteng.com/arti-kelenteng/ (Senin, 25 Juli 2016, 20.20).

20 Tionghoa Info, “Klenteng”,

(34)

26

dan sore hari, serta pada saat setelah menerima rezeki di altar rumah masing-masing.21

b. Sembahyang Thiam Tien Gong yang dilakukan setiap tanggal 1 dan 15 menurut kalender Imlek. Sembahyang ini dapat dilakukan di altar rumah, maupun di tempat ibadah.

c. Sembahyang besar yang dilakukan pada hari kemuliaan Thian. Seperti sembahyang malam tutup tahun atau malam menjelang Gwan Tan. Sembahyang King Thi Kong yang dilaksanakan pada tanggal 8 menjelang tanggal 9 Cia Gwee (bulan pertama). Ada juga sembahyang saat Siang Gwan atau Cap Go Meh, yang dilaksanakan pada tanggal 15 Cia Gwee (bulan pertama). Lalu sembahyang hari Tangcik (hari dimana letak matahari tepat di atas garis balik 23,5 LS, yakni pada tanggal 22 Desember).22

2. Kebaktian kepada Nabi Khongcu.

a. Peringatan Hari Lahir Nabi Khonghucu pada tanggal 27 bulan kedelapan kalender Imlek (bulan Ci Sing Tan).

b. Peringatan hari Wafatnya Nabi Khonghucu, yakni pada tanggal 18 bulan kedua kalender Imlek (bulan Ci Sing Ki Sien).

c. Peringatan hari Genta Rohani atau Bok Tok (genta yang terbuat

(35)

27

3. Kebaktian untuk Para Suci

a. Sembahyang untuk memperingati hari Twan Yang, tanggal 5 bulan kelima kalender Imlek. Arti dari Twan Yang yaitu saat matahari memancarkan cahaya yang paling terang.

b. Sembahyang hari Tiong Chiu pada tanggal 15 bulan kedelapan kalender Imlek. Pada tanggal ini bulan purnama telah berada di pertengahan musim gugut di belahan bumi bagian utara. Pada saat itu kondisi cuaca di daerah tersebut sangat baik dan pada malam harinya, bulan bersinar dengan terangnya. Pada hari itu juga, para petani sangat riang gembira karena sedang musim panen. Pada saat bulan purnama tersebut, mereka melakukan sembahyang Hok Tik Cing Sien (malaikat bumi) sebagai bentuk rasa syukur mereka. c. Sembahyang hari He Gwan, yakni pada tanggal 15 bulan

kesepuluh. Makna dari He Gwan yaitu pernyataan terakhir manusia kepada Tuhan dalam satu tahun.

4. Sembahyang Bagi Para Leluhur.

a. Sembahyang yang dilakukan setiap tanggal 1 dan 15 menurut kalender Imlek.23

b. Sembahyang yang dilakukan pada hari dimana leluhur dan orang tua wafat.

c. Sembahyang yang ditujukan untuk penutupan tahun (Tik Sik), yang dilaksanakan pada tanggal 29 bulan 12 menurut kalender Imlek.

23

(36)

28

d. Sembayang Sadranan / Ziarah / Ching Bing yang dilaksanakan pada tanggal 5 April.

e. Sembahyang yang digunakan untuk arwah leluhur, pada tanggal 15 bulan ketujuh menurut kalender Imlek.

5. Sembahyang untuk Kebaktian Masyarakat.

a. Sembahyang King Ho Ping atau sembahyang arwah umum pada tanggal 29 bulan ketujuh kalender Imlek.

Macam-macam sembahyang diatas merupakan jenis kebaktian yang diatur oleh MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia). Setiap kelenteng memiliki ritual tambahan yang tidak dimiliki oleh kelenteng lainnya, seperti hari kelahiran dewa utama mereka, hari jadi tempat ibadah mereka, atau ritual lainnya yang mengikuti budaya yang ada di masing-masing tempat.

C. Teori Joachim Wach Mengenai Pengalaman Keagamaan

Telah dipaparkan pada bab sebelumnya bahwa penelitian ini menggunakan

teori dari tokoh yang bernama Joachim Wach sebagai landasan teori. Ia

mengatakan bahwa pengalaman keagamaan atau pengalaman beragama baik

individu atau masyarakat, menurut Joachin Wach24 (1958), dapat diamati melalui

tiga bentuk ekspresinya, yaitu:

a. Ekspresi Teoritis (thought) atau ekspresi pemikiran, yang meliputi sistem

kepercayaan, mitologi, dan dogma-dogma

b. Ekspresi Praktis, yaitu meliputi sistem peribadatan ritual maupun pelayanan.

24

(37)

29

c. Ekspresi dalam persekutuan, yang meliputi pengelompokan dan interaksi sosial komunitas beragama.

(38)

BAB III

DESKRIPSI KELENTENG HWIE ING KIONG KOTA

MADIUN

A. Letak Geografis Kelenteng Hwie Ing Kiong

Kota Madiun merupakan Kota Madya yang pada jaman penjajahan Belanda berbentuk Karesidenan, sebuah kota yang terletak di bagian Barat dari provinsi Jawa Timur yang memiliki wilayah seluas 33,23 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 202.087 jiwa (menurut sensus penduduk tahun 2011) yang terdiri dari 98.976 laki-laki dan 103.111 perempuan.1 Kota ini berbatasan langsung dengan provinsi Jawa Tengah, sehingga Kota Madiun merupakan kota transit pada jalur selatan yang menghubungkan kota-kota di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat..

Secara astronomis, Kota Madiun terletak diantara 111o Bujur Timur – 112o Bujur Timur dan 7o – 8o Lintang Selatan. Kota Madiun memiliki tiga kecamatan yaitu Kecamatan Taman, Kecamatan Mangunharjo, dan Kecamatan Kartoharjo, yang masing-masing kecamatan terbagi atas 9 kelurahan. Sehingga Kota Madiun memiliki 27 kelurahan yang tersebar di tiga kecamatan. Sedangkan untuk batas-batas administrasinya, Kota Madiun memiliki batas : y (1) Bagian utara berbatasan dengan Kecamatan Madiun, (2) Bagian Timur

1

(39)

31

berbatasan dengan Kecamatan Wungu, (3) Bagian Selatan berbatasan dengan Kecamatan Geger, dan (4) Bagian Barat berbatasan dengan Kecamatan Jiwan.2 Di Kota Madiun terdapat salah satu bangunan berarsitektur Tiongkok yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat Madiun yakni satu-satunya kelenteng di kota ini bernama Kelenteng Hwie Ing Kiong (惠荣宫 Hui Rong

Gong). Kelenteng ini menggambarkan bagaimana kehidupan masyarakat Tionghoa Madiun pada jaman penjajahan Belanda. Pada jaman itu, terdapat kampung Pecinan di sebelah selatan alon-alon Madiun, tepatnya di sepanjang jalan Haji Agus Salim, dan juga terletak pada jalan Kutai, jalan Barito dan ada beberapa di jalan Cokroaminoto.

Kelenteng Hwie Ing Kiong atau masyarakat Tionghoa Madiun sekarang menyebutnya TITD (Tempat Ibadah Tri Dharma) Hwie Ing Kiong, merupakan tempat ibadah yang menaungi tiga jenis ajaran humanis yang saling bersinergi, yaitu Ruis (Khonghucu), Buddhis, dan Taois. Jika ditinjau dari letak lokasinya, kelenteng ini terletak di pusat kota, tepatnya di jalan HOS Cokroaminoto no. 63, Kelurahan Kejuron, Kecamatan Taman, Kota Madiun. Kelenteng ini berdiri di atas tanah seluas kurang lebih 1 hektar, dengan bangunan menghadap ke barat, yang mana berbatasan langsung dengan jalan Cokroaminoto. Sedangkan bagian utara, selatan, dan timur, berbatasan dengan rumah-rumah warga.

Sebelum berada di lokasi seperti sekarang, letak kelenteng ini mula-mula hanya sebuah kuil yang dibangun di sebelah Timur sungai Madiun (samping jembatan Madiun). Masyarakat Tionghoa di Kota Madiun menjalankan tradisi

2

(40)

32

leluhur bersembahyang di kuil sederhana tersebut.3 Sampai pada suatu ketika, ada sebuah kejadian yang menyebabkan bangunan kelenteng berpindah menjadi di lokasi sekarang ini.

Konon istri Residen Belanda (masa itu pemerintahan dan tata laksana Kota Madiun berada dalam pengawasan seorang Residen) sedang menderita sakit serius. Dokter menyarankan agar beliau menjalani pengobatan di negeri Belanda, namun oleh karena jarak dan waktu yang harus ditempuh amatlah panjang sehingga tidak memungkinkan melaksanakan saran dokter tersebut.

Kabar perihal sakit istri Residen telah tersebar hingga Liem Koen Tie, Tokoh Perkumpulan Masyarakat Tionghoa Madiun pada waktu itu juga mendengarnya dan menyarankan kepada sang istri Residen agar bersembahyang di kuil Dewi Ma Zu (妈祖), dan saran tersebut diikuti beliau.

Diceritakan setelah bersembahyang di kuil Dewi Ma Zu (妈祖), pada malam harinya istri Residen bermimpi dengan sangat jelas bahwa beliau telah didatangi oleh seorang wanita Tionghoa mengenakan pakaian bangsawan khas negeri Tiongkok menghampiri beliau dan menghibur dengan mengatakan bahwa sakit yang selama ini diderita dalam waktu tidak lama lagi akan sembuh dan sesudah berkata demikian sosok wanita itupun menghilang. Mimpi tersebut diceritakan kepada Residen dan keesokan harinya istri Residen segera meminum obat tersebut selama satu minggu yang resepnya didapat melalui Yok Jiam / Jiamsi Obat di kuil Dewi Ma Zu (妈祖). Sungguh suatu kejadian

3

(41)

33

yang hampir tidak dapat dipercaya bahwa sang istri Residen sembuh total dari sakit yang dideritanya sesuai mimpi tersebut.

Sebagai ungkapan rasa syukur atas kesembuhan istrinya, Residen lantas merestui diadakannya relokasi kuil Dewi Ma Zu (妈祖). ke tempat yang lebih

layak, jauh dari ancaman banjir di musim hujan (karena letaknya yang dekat dengan sungai). Residen memberikan kemudahan untuk mendapatkan sebidang tanah seluas kurang lebih 10.000 m2 untuk dibangun sebuah kuil baru, yang kemudian dikenal sebagai Kelenteng Hwie Ing Kiong Madiun.

Bangunan utama Hwie Ing Kiong bergaya khas Tiongkok. Konon arsitek dan tenaga kerjanya didatangkan langsung dari Fujian, begitu juga ubin merah yang terpasang pada bangunan utama dibawa langsung dari Tiongkok dan sampai sekarang masih dipertahankan keutuhannya. Selain itu Residen juga menghadiahkan keramik khas negeri Belanda yang sampai sekarang masih terpasang di meja utama altar Ma Zu (妈祖) sebagai pengingat jasa.

Setelah kuil Dewi Ma Zu ( 妈 祖 ) yang baru selesai dibangun,

dilaksanakan ritual keagamaan untuk pemindahan Rupang / Kimsin Dewi Ma Zu (妈 祖) dari kuil lama dengan disaksikan dan diikuti penduduk sekitar Madiun. Demikianlah Kelenteng Madiun dengan nama Hwie Ing Kiong (yang berarti istana kesejahteraan dan kemuliaan) berdiri dan menjadi tempat bernaung sebagian besar masyarakat Tionghoa Kota Madiun pada masa itu.4

4

(42)

34

Bangunan Kelenteng Hwie Ing Kiong Madiun telah mengalami banyak perkembangan dari waktu ke waktu. Berbagai perbaikan dan pemugaran tetap dilaksanakan sebagai agenda rutin kepengurusannya. Pada bagian teras depan, tahun 2010 telah direnovasi dan dibangun empat buah pilar naga. Selain bangunan utama dan bangunan sayap, kelenteng ini juga memiliki bangunan kebanggaan, yaitu Pagoda 3 lantai sebagai ikon kelenteng yang terletak di bagian belakang bangunan utama. Didalam bangunan Pagoda terdapat 3 altar sebagai sarana peribadatan umat Buddhis (lantai 1 dan 2) dan Taois (Lantai 3).5

Di bagian kanan kelenteng, terdapat gedung serbaguna yang dapat disewakan oleh masyarakat Madiun. Gedung ini dibentuk atas inisiatif dari pengurus kelenteng untuk mengumpulkan dana demi terbentuknya gedung tersebut, sehingga gedung ini merupakan sarana perputaran perekonomian di Kelenteng Hwie Ing Kiong Madiun.

B. Simbol Keagamaan

Menurut agama Khonghucu (ajaran Ru), menghargai jasa para pahlawan dan leluhur merupakan hal yang wajib dan termasuk dalam ajaran yang diajarkan oleh Nabi Khonghucu. Karena bagaimanapun juga, leluhur merupakan orang yang telah hidup di masa lampau yang telah wafat dan meninggalkan jasa dalam hal kebaikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka dari itu mengapa di dalam suatu kelenteng pasti memiliki

5

(43)

35

banyak sekali Jinshen atau Rupang (sebutan arca yang digunakan sebagai simbol untuk sembahyang dalam agama Khonghucu).

Karena Kelenteng Hwie Ing Kiong merupakan kelenteng yang menaungi 3 ajaran (Tridharma), maka sarana Rupang yang digunakan untuk sembahyang masing-masing juga berbeda-beda, sehingga di kelenteng akan dijumpai berbagai macam Rupang, yakni mewakili kelompok agama Khonghucu, Buddha, dan Tao. Di kelenteng tersebut memiliki 22 altar dengan masing-masing altar memiliki jumlah Rupang yang bervariasi. Nama-nama Rupang pada setiap altar yaitu :

1. Altar Thi Kong / Tian Gong.

Para filsuf purba telah membangun konsep terkait dengan sistem kepercayaan yang berkembang. Taoisme yang memiliki riwayat sejarah tertua menyebutkan suatu kekuatan besar (bersifat supranatural) dan diyakini telah membentuk alam semesta beserta pola dan pergerakan sifatnya. Kekuatan tersebut dipandang sebagai “aspek yang mengatur” maupun “aspek yang alami”. Lalu muncul pemujaan bersama dengan

obyek “kebesaran” alam semesta. Sehingga hal ini disimbolkan sebagai

Tian (langit).

(44)

36

Dewi Ma Zu dikenal sebagai Dewi Pelindung Pelayaran, Dewi Pengobatan dan Dewi Pelindung Dinasti. Kebesaran nama beliau sejak masa Dinasti Song hingga Qing, memiliki lebih dari 20 gelar dan beberapa gelar diantaranya merupakan gelar yang mendapat pengakuan resmi (kanonisasi) kerajaan. Salah satu kisah menarik ialah laksamana Zheng He setiap akan melakukan pelayaran, beliau selalu bersembahyang menghormat kepada Dewi Ma Zu sebelum memulai perjalanannya. Karena itu di geladak kapal beliau Rupang Dewi Mazu selalu dibawa. 3. Altar Kong Tek Cun Ong / Guang Ze Zun Wang.

Kong Tek Cun Ong lahir pada tanggal 22 bulan 2 (Yinli). Beliau lahir pada masa dinasti Song, di kota Quanzhou Kabupaten Nan’an, Provinsi

Fujian. Nama lainnya yakni Bao An Zun Wang. 4. Altar Tan Sing Ong / Chen Kai Zhang Sheng Wang.

Tan Sing Ong lahir pada tanggal 15 bulan 2 (Yinli), dan lahir pada masa dinasti Tang, di Kota Guizi, Provinsi Henan. Beliau disebut sebagai Sang Pembuka wilayah Zhangzhou.

5. Altar Hauw Ciang Kun / Hu Jiang Jun.

(45)

37

kelenteng yakni pada bagian bawah altar utama Yang Mulia Mazu Tian Shang Sheng Mu, dan diperingati setiap tanggal 16 bulan 2 (Yinli).

6. Altar Kwan Kong / Guan Sheng Da Di.

Kwan Kong lahir pada tanggal 24 bulan 6 (Yinli). Beliau terlahir dengan nama Changsheng/Guanyu/Yunchang, yang merupakan seorang ksatria yang hidup pada masa kekacauan di akhir era dinasti Han, masa Tiga Negara (Cao-Wei, Shu-Han, dan Sun-Wu). Di kalangan Buddhisme, Kwan Kong dikenal sebagai Sangharama Boddhisatva (Pelindung Dharma). Dewa Kwan Kong ini merupakan malaikat pelindung bagi mereka yang menjunjung tinggi kejujuran dan kesetiaan, karena itu gambar beliau sering dijumpai dalam ruang persidangan. Beliau juga sering digambarkan dalam posisi membawa buku, yaitu Chun Qiu Jing (kitab sejarah musim semi dan musim gugur) yang ditulis oleh Khonghucu.

7. Altar Buddha Gautama / Ruang Dharmasala.

(46)

38

8. Altar Kwan Im Posat / Guan Yin Pu Sa.

Nama lain dari Kwan Im Posat yaitu Avalokittesvara Boddhisatva. Peringatan hari kelahiran Kwan Im Posat yakni pada tanggal 19 bulan 2 (Yinli).

9. Altar Cao Kun Kong / Si Ming Zao Jun.

Peringatan kenaikan Zao Jun yaitu setiap penghujung akhir tahun (Yinli), dan turun kembali pada tanggal 4 bulan 1 (Yinli). Diceritakan bahwa pada tanggal 23 hingga 30 di bulan 12 (Yinli), Cao Kun Kong akan mulai berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya untuk mencatat tingkah laku penghuninya, dan kemudian dilaporkan kepada Yu Huang Dadi. Sedangkan pada tangga 4 bulan 1 (awal tahun baru Yinli / Imlek) mereka menyambut kembalinya Cao Kun Kong.

10. Altar Hok Tek Cin Sin / Tu Di Gong – Fu De Zheng Shen.

Hok Tek Cin Sin lahir pada tanggal 2 bulan 2 Yinli. Beliau merupakan salah satu peggambaran figur terhadap satu obyek penghormatan tertua, yaitu Tu Di Gong atau Dewa Bumi.

11. Altar Hian Thian Siang Tee / Xuan Tian Shang Di.

(47)

39

12. Altar Jay Sin Ya (Cai Shen Ye) / Cai Bo Xing Jun.

Beliau dijuluki sebagai Cai Shen Ye yang berarti Dewa Kekayaan. Beliau digambarkan dalam bentuk orang tua berjenggot panjang dengan membawa tongkat dan buah persik, yang berperan sebagai pengatur panjang pendeknya usia manusia serta kejayaan suatu negara. Beliau diperingati pada tanggal 22 bulan 7 (Yinli).

13. Altar Co Su Kong (Zu Shi Gong) / Qing Shui Zu Shi.

Beliau terlahir dengan nama Chen Zhao Ying, yang lahir pada masa Dinasti Song di provinsi Fujian pada tanggal 6 bulan 1 (Yinli). Karena beliau berhasil menaklukkan makhluk gaib berwujud 4 jenderal dalam 7 hari 7 malam, maka beliau dijuluki sebagai Qing Shui Zu Shi yang berarti orang sakti / leluhur dari cadas air jernih.

14. Altar Pa Shien / Ba Xian.

(48)

40

seruling), Zhang Guolao (pertapa tua dan ahli kimia, sehingga perannya sebagai pembuat arak bagi para dewa), dan Lu Dongbin (orang tua terpelajar dengan pedang dibahunnya. Perannya yaitu sebagai dewa yang menjaga unsur kesetiaan dalam ikatan persahabatan). Pa Shien diperingati pada tanggal 8 bulan 8 (Yinli).

15. Altar Ti Bo Nio Nio / Di Mu Niang Niang.

Beliau merupakan malaikat bumi yang digambarkan sebagai sosok wanita. Dalam Taoisme disebut Hou Tu atau Di Mu, yang berarti Bunda Bumi. Ti Bo Nio Nio diperingati setiap tanggal 18 bulan 10 (Yinli).

16. Altar Sakyamuni Buddha. 17. Altar Lao Tze.

18. Altar Khonghucu.

Ketiga altar tersebut merupakan altar Tri Nabi, yang mana merupakan pembawa ajaran dari masing-masing kepercayaan dalam Tri Dharma. Dari unsur Buddhisme, diwakili oleh Sakyamuni Buddha atau Sidharta Gautama. Dari unsur Kongfuzi atau Khonghucu, diwakili oleh Nabi Kong Qiu atau Nabi Khonghucu. Sedangkan dari unsur Tao, diwakili oleh Lao Zi atau Lao Tze.

19. Altar Giok Ong Shang The / Yu Huang Da Di.

Dikenal sebagai Kaisar Pualam, dewa tertinggi dalam Taoisme. Pada tanggal 9 bulan 1 tahun 1015 M, Kaisar Zhengzong memberikan gelar beliau “Hao Tian Jin Que Zhi Zun Yu Huang Da Di” atau Kaisar Giok

(49)

41

20. Altar Yao Shi Guang Wang Fo (Amitabha, Sakyamuni, Bhaisajyaguru, dan Maitreya.

Mereka sebagai Buddha Penyembuhan atau Buddha dari Tiga Wilayah. Sakyamuni mewakili dunia, Amitabha mewakili wilayah Barat, sedangkan Bhaisajyaguru mewakili wilayah Timur. Sedangkan Maitreya disebut sebagai Buddha yang akan datang. Di kelenteng Hwie Ing Kiong, Budda Amithaba diperingati tanggal 17 bulan 11 (Yinli), Maitreya diperingati tanggal 1 bulan 1 (Yinli), sedangkan keempat Buddha atau Yao Shi Guang Wang Fo, diperingati setiap tanggal 29 bulan 9 (Yinli).

21. Altar Te Cong Ong Posat / Di Zang Wang Pu Sa.

Disebut juga Di Zang Pu Sa, You Ming Jiao Zhu, Fengdu Dadi, atau Ksitigarba Boddhisatva. Bertugas untuk menjaga dan memberikan perlindungan kepada manusia yang berbakti, serta sebagai penolong bagi makhluk-makhluk yang berada di alam penderitaan. Penghormatan terhadap Te Cong Ong Posat diperingati pada tanggal 30 bulan 7 (Yinli). 22. Altar Leluhur Kelenteng / Da Zhong You Hun Zhi.

Altar ini merupakan kumpulan foto para leluhur yang pernah menjadi pengurus kelenteng yang tidak diketahui namanya. Namun di altar para leluhur ini tidak berupa Rupang, namun hanya beberapa foto yang dikumpulkan menjadi satu ruangan. Kegiatan sembahyang untuk altar ini dilaksanakan pada saat penghujung pergantian tahun kalender Imlek, yaitu tanggal 30 bulan 12 (Yinli).6

6

(50)

42

Telah disebutkan diatas bahwa pada bagian belakang kelenteng, terdapat sebuah pagoda yang memiliki tiga tingkat. Setiap tingkatnya memiliki altar, dimulai dari yang paling atas yang memiliki kedudukan tertinggi yaitu Giok Ong Shang Tee. Di bagian tengah adalah Sakyamuni Buddha, Amitabha, Bhaisajyaguru, dan Maitreya. Sedangkan pada lantai paling bawah yaitu Ksitigarbha. Jika diperhatikan, setiap altar di kelenteng ini terdapat beberapa dupa dan lilin yang harus terus-menerus menyala, dan juga terdapat berbagai macam buah-buahan serta makanan. Ini bentuk persembahan umat Tri Dharma terhadap dewa-dewa yang ada di kelenteng. Setelah melakukan sembahyang, biasanya umat Tri Dharma meninggalkan air minum dalam kemasan botol diatas meja altar Dewi Ma Zu. Mereka berharap dengan demikian, setelah mereka meminum air tersebut, mereka akan mendapatkah berkahan yang telah diberikan oleh Dewi Ma Zu.

Di kelenteng ini pula, terdapat beberapa simbol lain yang dapat ditemui di dalam kelenteng Hwie Ing Kiong ini, yaitu :

a. Dupa / Hio : selain sebagai pengharum ruangan, dupa diibaratkan sebagai sarana untuk bersuci bagi komunitas Khonghucu. Dengan menghirup aroma dupa, diharapkan komunitas Khonghucu yang sebelumnya memiliki hal-hal negatif, dapat menjadi suci setelah menghirup aroma dupa dan siap untuk sembahyang. Oleh karena itu, dupa di kelenteng ini tidak pernah padam.

(51)

43

cahaya dari lilin tersebut, komunitas Khonghucu tetap berada di jalan yang terang menuju jalan yang benar, tanpa tersesat di jalan yang gelap.

c. Buah-buahan : setiap altar di kelenteng ini disediakan berbagai macam buah. Buah-buahan tersebut secara simbolik sebagai hasil dari kerja keras serta kejayaan manusia. Karena manusia telah mendapatkan manfaat di dunia, maka mereka membagikan manfaat tersebut kepada dewa-dewa. d. Pintu Naga : pada salah satu sisi pintu masuk kelenteng, terdapat sebuah

benda berbentuk naga. Pintu naga ini menurut tradisi masyarakat Tionghoa, bertujuan untuk membuang hal-hal negatif yang berasal dari luar sehingga ketika masuk ke dalam kelenteng, mereka masuk dalam keadaan suci. e. Pintu Harimau : di sisi kanan pintu Naga, terdapat pintu Harimau. Pintu

Harimau merupakan pintu keluar di kelenteng Hwie Ing Kiong. Ketika seseorang keluar dari kelenteng melalui pintu ini, dipercaya akan mendapat keberkahan.

f. Pintu Utama : di antara pintu Naga dan pintu Harimau, terdapat sebuah pintu yang lebih lebar daripada kedua pintu tersebut. Pintu ini bernama pintu utama. Konon pintu tersebut merupakan jalur spiritual dari para leluhur yang menetap di kelenteng ini.7

C. Struktur Organisasi Kelenteng Hwie Ing Kiong Madiun

Karena di kelenteng ini mengutamakan kesadaran penganutnya, maka peran pengurus inti tidak mendominasi. Jika hendak mengadakan suatu acara,

7

(52)

44

maka tanpa ada perintah dari pengurus inti, semua etnis Tionghoa ikut membantu satu sama lain demi lancarnya suatu acara dan juga kebersihan serta keindahan tempat ibadah mereka. Namun secara tertulis, struktur organisasi di kelenteng ini (masa bakti 2014-2019) antara lain :

a. Ketua Umum : Ferry Soetanto

b. Sekretaris : Willy Hoetomo

c. Bendahara : Iwan Budijanto

d. Koordinator Bidang Agama : Widjayanti e. Koordinator Bidang Organisasi : Hartono f. Koordinator Bidang Umum : Soerjanto g. Koordinator Bidang Kepemudaan : Agus Effendy h. Koordinator Bidang Perawatan : Kam Yauw Hong i. Koordinator Bidang Kesenian : Tatang Setyawan j. Koordinator Bidang Wanita : Gee Giok Moey8

Semua hal yang terkait dengan pemeliharaan kelenteng, mereka lakukan tanpa digaji dan hanya didasari dengan niat ikhlas dalam membantu sesama demi mempertahankan tradisi serta ajaran agama yang mereka anut.

8

(53)

45

D. Aktivitas Komunitas Khonghucu di Kelenteng Hwie Ing Kiong

1. Aktivitas Keagamaan

Secara umum, ajaran Khonghucu lebih kepada bersyukur dengan apa yang telah diberikan Thian kepada kita. Karena Nabi Khonghucu mengatakan bahwa kita tidak boleh memikirkan diri sendiri, jadi setiap mereka yang melakukan sembahyang, mereka lebih memohon untuk kepentingan semua makhluk demi kesejahteraan bersama.9

Pada saat melakukan sembahyang, komunitas Khonghucu menghadap kepada salah satu Rupang. Rupang merupakan sarana peribadatan yang berbentuk menyerupai manusia. Kita tidak diperbolehkan menyebutnya dalam sebutan patung, karena rupang dengan patung memiliki perbedaan makna. Rupang mempunyai unsur kesakralan, dan sangat dihormati oleh umat Tri Dharma. Sedangkan patung, hanya memiliki nilai estetika seni saja.10

Agama Khonghucu memiliki beragam aktivitas keagamaan, baik yang dilakukan harian maupun pada hari-hari besar tertentu. Hal-hal yang berhubungan dengan upacara peribadatan telah ditulis oleh Lembaga Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN). Dan juga, dalam suatu kegiatan peribadatan biasanya ada salah seorang yang menjadi pemimpin jalannya ibadah tersebut, yang dalam agama Khonghucu menyebutnya Rohaniawan. Berbeda dengan kelenteng-kelenteng pada umumnya, di Kelenteng Hwie Ing Kiong ini tidak

9

Widjayanti (Pengurus kelenteng bagian Keagamaan), Wawancara, Madiun, 11 Juni 2016. 10

(54)

46

memiliki Rohaniawan yang kompeten menjadi pemimpin suatu ibadah. Jika melakukan ibadah, umat Tri Dharma bergantian menjadi pemimpin atau mengajukan diri secara suka rela. Di kelenteng ini hanya menyediakan koordinator bidang keagamaan yang bertugas untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan ketiga agama sekaligus (Khonghucu, Buddha, dan Tao). Karena mereka memiliki prinsip bahwa ketiga agama tersebut memiliki kedudukan yang sama sehingga mereka lebih bersifat netral antara agama satu dengan yang lain. Jadi, jika hari raya Khonghucu tiba, semua umat di kelenteng merayakan dan begitu juga dengan Buddha dan Tao. Begitu pula jika salah satu agama memiliki suatu kegiatan atau acara yang diadakan di kelenteng, semua umat di kelenteng membaur dan saling tolong- menolong.

Kegiatan peribadatan yang di lakukan oleh komunitas Khonghucu di kelenteng Hwie Ing Kiong antara lain:

a. Sembahyang Rutin.

(55)

47

usahanya.11 Sehingga, sembahyang ini merupakan inti dari setiap bentuk peribadatan yang dilakukan oleh komunitas Khonghucu Madiun.

b. Hari Kelahiran Yang Mulia Ma Zu Tian Shang Sheng Mu.

Perayaan hari kelahiran Yang Mulia Ma Zu Tian Shang Sheng Mu atau Dewi Ma Zu, diperingati pada tanggal 23 bulan ketiga menurut kalender Imlek. Sembahyang ini merupakan sembahyang yang paling utama mengingat Dewi Ma Zu merupakan dewi utama di kelenteng ini.12

c. Sembahyang Tahun Baru Imlek.

Untuk memperingati tahun baru Imlek, komunitas Khonghucu melakukan sembahyang di mulai dari hari ketujuh sebelum datangnya tahun baru Imlek. Sembahyang tersebut lebih dikenal sebagai sembahyang menghantar Dewa Dapur.

Pada waktu sore hari sebelum malam pergantian tahun, komunitas Khonghucu melakukan sembahyang tutup tahun sekaligus sembahyang pergantian tahun, yang dilakukan sebagai bentuk rasa syukur mereka terhadap kedatangan tahun baru tersebut.

Sembahyang tahun baru juga dilakukan pada waktu hari pertama pada bulan pertama. Namun sembahyang ini tidak harus dilakukan di kelenteng, dapat juga di rumah masing-masing.

11

Ervan (Staf Humas kelenteng), Wawancara, Madiun, 31 Juli 2016. 12

(56)

48

d. Sembahyang King Thi Kong.

Pada tanggal 9 bulan pertama dalam kalender Imlek, diadakan Sembahyang King Thi Kong atau Sembahyang kepada Tuhan YME yaitu bersyukur kepada Thian dan alam semesta semoga tahun ini dan tahun yang akan datang akan menjadi lebih baik. Sejak hari ketiga sampai sembahyang kepada Tuhan YME ini tiba, komunitas Khonghucu diwajibkan berpuasa dari makanan yang berbahan daging (berlatih vegetarian).

e. Sembahyang Cap Go Meh.

Selang dua minggu setelah tahun baru imlek, yaitu tanggal 15 bulan 1 (Imlek), komunitas Khonghucu melakukan sembahyang untuk merayakan akhir tanam bertepatan bulan purnama pertama ditahun yang baru, yaitu Cap Go Meh. Perayaan Cap Go Meh merupakan ritual terakhir dalam menyambut tahun baru Imlek. Karena merupakan penutupan ritual, biasanya perayaan Cap Go Meh dimeriahkan oleh Festival Barongsai pada malam harinya.13

f. Sembahyang Ciswak.

Di kelenteng Hwie Ing Kiong ini, pada bulan pertama menurut penanggalan Imlek, komunitas Khonghucu Madiun melakukan sembahyang Ciswak. Sembahyang Ciswak berkaitan dengan istilah Po Un, yang berarti melindungi nasib baik. Jadi sembahyang Ciswak

13

(57)

49

dipercaya dapat menjadi pelindung nasib baik serta keselamatan seseorang, tergantung pada shio masing-masing.

g. Sembahyang Atas Kelahiran Nabi Khonghucu.

Sembahyang untuk memperingari hari kelahiran Nabi Khonghucu. Sembahyang tersebut dilakukan pada tanggal 27 bulan 8 menurut kalender Imlek. Sedangkan pada tahun 2016, usia Nabi Khonghucu dipercaya telah mencapai 2567 tahun.

h. Sembahyang Atas Wafatnya Nabi Khonghucu.

Sembahyang untuk memperingati wafatnya Nabi Khonghucu dilakukan pada tanggal 18 bulan kedua menurut kalender Imlek. i. Sembahyang Qing Ming.

Sembahyang Qing Ming atau Jing Ming dilakukan setiap tanggal 5 April dalam kalender Masehi, yang dirayakan oleh seluruh komunitas Khonghucu di dunia. Dalam sembahyang Qing Ming ini dianjurkan komunitas Khonghucu yang tinggal diperantauan, untuk kembali ke tanah asal leluhurnya atau berkunjung ke makam leluhurnya.14 Ketika berkunjung ke makam leluhur, sebaiknya dimanfaatkan untuk membersihkan makam, memberikan makanan persembahan kepada para leluhur, membawa karangan bunga, membawa perlengkapan persembahyangan seperti dupa dan kertas perak, yang digunakan untuk melakukan Sembahyang Qing Ming di makam tersebut.

14

(58)

50

j. Sembahyang Duan Wu.

Pada tanggal 5 bulan kelima menurut kalender Imlek, komunitas Khonghucu Madiun melakukan sembahyang Duan Wu, atau biasa disebut dengan Sembahyang Bakcang atau Bai Chuan. Sembahyang Bakcang bertujuan untuk menandai awal datangnya musim panas, dan juga untuk mengenang patriot Qiu Yuan yang mati bunuh diri dengan terjun ke sungai karena kecintaan dan kesetiaannya pada negara. Disebut Sembahyang Bakcang karena komunitas Khonghucu membuat makanan bernama Bakcang saat sembahyang tersebut. Bakcang merupakan salah satu makanan khas komunitas Khonghucu yang berbentuk seperti lemper, namun terdapat isi yang berasal dari daging. Pada awalnya, isi dari Bakcang merupakan daging Babi. Namun seiring perkembangan jaman dan menyesuaikan kondisi budaya di Indonesia, saat ini Bakcang telah diisi dengan daging ayam, daging sapi, bahkan sayur-sayuran. Karena Bakcang sendiri telah menjadi kuliner nasional sehingga tidak hanya komunitas Khonghucu saja yang dapat mengkonsumsinya.15

k. Sembahyang Rebutan / Sembahyang Arwah Umum.

Pada tanggal 15 bulan ketujuh menurut kalender Imlek, komunitas Khonghucu Madiun melakukan sembahyang Arwah Umum, atau masyarakat Tionghoa Madiun menyebutnya dengan Sembahyang Rebutan. Makna sembahyang ini bukan berarti berebut dalam

15

(59)

51

melakukan sembahyang, namun secara ritual diyakini bahwa pada bulan ketujuh Imlek adalah saat dimana para arwah “dilepas” untuk

menerima penghormatan dan dana makanan dari sanak keluarga yang masih hidup. Namun demikian arwah yang terlantar atau tidak terurus begitu banyak, sehingga dilaksanakanlah upacara dana makanan kepada mereka para arwah yang kelaparan dengan dilandasi welas asih dan penghormatan kepada semua makhluk. Sesajian dalam upacara ini begitu banyak, sehingga selesai kegiatan dibagi-bagikan kepada seluruh umat yang hadir. Secara simbolik, sesajian tersebut diperebutkan oleh umat untuk menunjukkan penderitaan arwah yang sedang kelaparan dalam memperebutkan mekanan. Dalam perkembangannya, untuk menghindari kejadian anarkis, maka dibuatlah tatanan agar sesajian-sesajian itu disalurkan secara teratur, sehingga berkembang menjadi bentuk kegiatan sosial yaitu pembagian sembako16, dan dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan dengan bantuan pendataan dari kelurahan, RT dan RW di sekitar kelenteng.

l. Sembahyang Musim Gugur.

Pada tanggal 15 bulan 8 menurut kalender Imlek, diadakan Festival Musim Gugur (Tiong Ciu) atau lebih dikenal dengan sebutan Festival Kue Bulan. Festival ini pada awalnya memiliki makna untuk menandai musim gugur, dan juga dengan harapan supaya sinar rembulan yang

16

(60)

52

terang, dapat menyinari tempat ibadah mereka. Kue bulan sendiri yakni kue berbentuk bundar seperti bulan dan diisi berbagai macam makanan mulai daging sampai buah-buahan.17

Dalam melakukan sembahyang yang disebutkan diatas, langkah pertama ketika melakukan sembahyang yakni sembahyang di altar Thian terlebih dahulu. Selanjutnya berpindah ke altar dewi utama di Kelenteng Hwie Ing Kiong yaitu Yang Mulia Dewi Ma Zu Tian Shang Sheng Mu. Selanjutnya umat Tri Dharma dibebaskan untuk melakukan sembahyang kepada altar-altar yang dikehendaki. Umat Tri Dharma tidak diharuskan sembahyang di semua altar di kelenteng ini. Hanya saja, yang wajib disinggahi yakni altar Thian dan altar Dewi Ma Zu.

2. Aktivitas Sosial

Aktivitas Sosial yang dilakukan komunitas Khonghucu Madiun, salah satunya Festival Barongsai yang diadakan pada saat Tahun Baru Imlek, Perayaan Cap Go Meh, dan Perayaan hari jadi kelenteng itu sendiri. Festival Barongsai di kelenteng ini tidak disaksikan oleh masyarakat Tionghoa saja, namun seluruh masyarakat umum yang ada di Madiun diizinkan untuk memasuki halaman kelenteng dan menyaksikan aksi Barongsai tersebut. Bahkan, para pemain Barongsai tidak hanya berasal dari etnis Tionghoa saja. Etnis Jawa yang beragama selain Khonghucu sekalipun dapat menjadi pemain Barongsai di kelenteng ini. Kesenian

17

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mengambil tempat penelitian di internet yakni komunitas Blogger Blogfam.Com, penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana bentuk relasi atau hubungan sosial

( Studi Tentang Konflik Komunitas Becak Motor ( CAKTOR ) dengan Komunitas Angkutan Kota ( ANGKOT ).. di Kabupaten

masih sangat muda KOSTI Kota medan merupakan komunitas sepeda terbesar

Peraturan walikota Madiun Nomor Tahun 2oL7 tentang Kode Etik Pegawai di Lingkungan pemerintah Kota

Simpang yang dianalisa pada penelitian ini adalah di simpang bersinyal tiga lengan yaitu simpang Jawa Kota Madiun. Kondisi simpang tersebut menunjang terjadinya kemacetan

Masjid merupakan bangunan yang sangat familiar dalam kehidupan masyarakat khususnya di kota Padang, karena selain digunakan sebagai tempat ibadah (tempat penyelenggaraan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang cukup kuat dan bersifat positif antara aktivitas fi sik dengan kejadian konstipasi pada lansia di Kota Madiun.

Pada waktu Anjal dikumpulkan oleh peneliti, diberi pengarahan oleh petugas Satpol PP Kota Madiun yang intinya anjal tidak boleh mengamen di perempatan jalan dengan