KEHILANGAN PENERUS, MBAH KARTO JALAN TERUS
Mungkin anak-anak generasi masa kini tidak lagi mengenal apa yang dinamakan angkrek// Mainan tradisional anak jadul/ atau jaman dulu itu/ adalah boneka 2 dimensi yang menyerupai wayang// Untuk menggerakkannya/ angkrek dimainkan dengan seutas tali/ dengan cara ditarik-tarik//
Tempo dulu/ mainan angkrek yang terbuat dari dos bekas itu/ banyak dibeli anak laki-laki// Konon/ tujuannya untuk menakut-nakuti anak perempuan// Karenanya/ angkrek dibuat menyerupai hantu yang kondang di masa lalu// Ada hantu bagaspati/ genderuwo dan sebagainya// Minimal/ angkrek dibuat menyerupai monyet//
Kini/ anak-anak di era mainan serba plastik/ jangankan takut genderuwo// Mengenal angkrek saja mungkin sudah tidak lagi// Apalagi bahannya dibuat dari kerdus bekas/ yang kurang menarik penampilannya/ dengan pewarnaan dari bahan nofal//
Tak hanya angkrek/ payungpun yang juga dibuat dari bahan sederhana namun ramah lingkungan itu/ pastilah tak lagi diminati anak perempuan di jaman teknologi canggih seperti saat ini//
Boleh dibilang/ mainan tradisional itu sudah kehilangan peminat// Sehingga wajar/ bila pembuatnyapun tinggal segelintir orang / dan bisa dihitung dengan jari sebelah tangan//
Di sekitar tahun 60 sampai 70-an/ dusun Pandes/ Panggungharjo/ Sewon/ Bantul/ sebagian besar penduduknya membuat mainan tradisional ini/ di samping menggarap sawah// Namun kini/ tinggal 4 orang saja yang masih setia membuatnya// Dua di antara mereka adalah ibu anak/ yang keduanya sudah uzur dan dipanggil simbah-simbah/ lantaran usianya yang sudah di atas 60 tahun//
Mbah Karto Utomo/ mengaku berumur 93 tahun dan sudah terganggu pendengarannya// Mbah Karjiyem/ anak Mbah Karto/ umurnya sudah 75 tahun/ juga mengalami penurunan daya dengar// Salah seorang cucunya membantu menjelaskan/ ketika ada orang yang mengajak berbincang dengan kedua simbah-simbah itu//
Meski renta/ gerakan keduanya tidak loyo// Masih ada semangat untuk berkarya// Miniatur sangkar berbahan baku baku anyaman bambu yang diwarnai dengan bahan nofal/ serta miniatur perkutut berbahan lilin/ mereka kerjakan/ berselang-seling dengan pengerjaan angkrek/ dan payung mini//
Wayang kertas juga mereka kerjakan//
Kedua simbah itu nyaris kerja total// Tanpa membuat mal lebih dulu/ mereka memotong kertas/ dua tiga lembar sekaligus// Kemudian untuk mewarnainya juga langsung digoreskan setelah pengguntingan selesai//
Pastilah dari usaha membuat mainan tradisional ini tidak mungkin untuk andalan menegakkan periuk/ agar tetap mengepul saban hari// Harga jual setiap produk mainan tradisional ini hanyalah seribu rupiah// Dulu/ sepekan mampu melego 20 kodi// tapi kini/ hanya 2 kodi saja/ dengan wilayah edar sekitar DIY dan Jawa Tengah selatan//
Sayang/ mbah-mbah yang masih bersemangat tinggi itu nyaris kehilangan penerus// Lokasi dusun Pandes yang hanya 400 meteran dari kampus ISI Yogyakarta/ mestinya mampu menggugah para seniman kampus untuk meningkatkan kualitas produk serta melatih kawula muda Pandes/ agar mau meneruskan pergumulan simbah-simbahnya dalam nguri-uri kekayaan tradisional//
Widi Nugroho / a – er – em melaporkan untuk APA KABAR JOGJA/ RBTV//
News reader : KEHILANGAN PENERUS, MBAH KARTO JALAN TERUS