• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I III Tesis Bambang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB I III Tesis Bambang"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pemuda merupakan generasi penerus sebuah bangsa, kader bangsa, kader masyarakat dan kader keluarga. Melihat peran pemuda dalam membangun bangsa ini, peran pemuda dalam menegakkan keadilan, peran pemuda yang menolak kekuasaan, maka pemuda selalu diidentikan dengan perubahan. Benedict Anderson, seorang Indonesianist mengungkapkan bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya. Pernyataan Ben Anderson ini tak salah memang apabila dikaitkan dengan sejarah panjang bangsa Indonesia, di mana pemuda menjadi aktor dari setiap langkah perjalanan bangsa Indonesia (baca Anderson, 1988).

Sejarah telah mencatat kiprah pemuda-pemuda yang tak kenal waktu, yang selalu berjuang dengan penuh semangat biarpun jiwa raga menjadi taruhannya. Indonesia merdeka berkat pemuda-pemuda Indonesia yang berjuang seperti Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Bung Tomo dan lain-lain dengan penuh semangat perjuangan. Bukti semangat nasionalisme para pemuda tertuang dalam Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Isi Sumpah Pemuda yaitu Satu Tumpah Darah, Satu Bangsa dan Satu Bahasa, yakni Indonesia. Begitu pentingnya sumpah pemuda bagi seluruh pemuda pemudi di seluruh Indonesia untuk membakar semangat nasionalisme mereka.

(2)

angkat senjata untuk melawan penjajah, maka sesudah kemerdekaan peran pemuda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara semakin terdiversifikasi. Dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, peran pemuda begitu sangat memberikan arti. Di periode awal Orde Lama pemuda memang masih tetap berkiprah untuk membangun negara yang bebas secara mutlak dari penjajah dengan tetap angkat senjata sebab pada periode ini agresi penjajah masih terjadi. Di periode pertengahan Orde Lama, peran angkat senjata pemuda sudah mulai berubah dikarena bentuk serta medan perjuangan pemuda juga berubah. Harir (2014) dalam sebuah tulisan menyebutkan bahwa pada periode ini keterlibatan pemuda di bidang politik mulai muncul. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya organisasi kepemudaan yang mulai muncul dan memainkan peran sebagai sarana pendidikan politik. Beberapa organisasi pemuda yang muncul pada periode ini di antaranya adalah Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) dengan Partai Katholik, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan Partai Serikat Islam (PSI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai Nahdlatul Ulama (NU), serta Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi.

(3)

KNPI. Pertama, organisasi pemuda yang menerima kebijakan yang dibuat dalam menyatukan ideologi, yakni ideologi Pancasila terhadap semua organisasi kepemudaan. Organisasi tersebut antara lain: HMI, GMNI, PMII, PMKRI, GMKI, dan berbagai organisasi pemuda yang loyal terhadap kebijakan pemerintahan. Kedua, organisasi pemuda yang berbasis di kampus. Organisasi pemuda ini mampu bersembunyi di balik organisasi kemahasiswaan yang formal.

Peran pemuda yang bersatu dalam organisasi pemuda berbasis kampus memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak yang pada masa itu kesulitan karena inflasi yang tinggi. Organisasi kampus ini banyak melakukan perlawanan dan penolakan terhadap setiap kebijakan yang dibuat oleh Pemerintahan Orde Baru tersebut. Tercatat berbagai peristiwa politik yang dilakukan oleh mahasiswa dalam melakukan oposisi terhadap kebijakan yang dibuat oleh Soeharto, seperti: Peristiwa Lima Belas Januari (Malari) 1974 yang menyebabkan kerusuhan dan sentimen anti produk Jepang (Muradi, 2007).

(4)

kesejahteraan sosial. Sebagai organisasi sosial kepemudaan Karang Taruna merupakan wadah pembinaan dan pengembangan serta pemberdayaan dalam upaya mengembangkan kegiatan ekonomis produktif dengan pendayagunaan semua potensi yang tersedia di lingkungan baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam yang telah ada (baca Aqorie, 2015). Sebagai organisasi kepemudaan, Karang Taruna berpedoman pada Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga di mana telah pula diatur tentang struktur pengurus dan masa jabatan di masing-masing wilayah mulai dari desa/kelurahan sampai pada tingkat nasional. Semua ini wujud dari pada regenerasi organisasi demi kelanjutan organisasi serta pembinaan anggota Karang Taruna baik di masa sekarang maupun masa yang akan datang.

Karang Taruna adalah organisasi sosial kemasyarakatan sebagai wadah dan sarana pengembangan setiap anggota masyarakat yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran dan tanggung jawab sosial dari, oleh dan untuk masyarakat terutama generasi muda di wilayah desa/kelurahan terutama bergerak dibidang usaha kesejahteraan sosial. Anggota Karang Taruna yang selanjutnya disebut Warga Karang Taruna adalah setiap anggota masyarakat yang berusia 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 45 (empat puluh lima) tahun yang berada di desa/kelurahan. (Sumber : Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 77/HUK/2010 tentang Pedoman Dasar Karang Taruna).

(5)

Pada mulanya, kegiatan Karang Taruna hanya sebatas pengisian waktu luang yang positif seperti rekreasi, olahraga, kesenian, kepanduan (pramuka), pendidikan keagamaan (pengajian) dan lain-lain bagi anak yatim, putus sekolah, yang berkeliaran dan main kartu serta anak-anak yang terjerumus dalam minuman keras dan narkoba. Dalam perjalanan sejarahnya dari waktu ke waktu kegiatan Karang Taruna telah mengalami perkembangan sampai pada sektor usaha ekonomis produktif (UEP) yang membantu membuka lapangan kerja/usaha bagi pengangguran dan remaja putus sekolah.

(6)

terbentuk, namun kondisi dan keaktifan kepengurusan di tiap desa di seluruh Kabupaten Deliserdang relatif tidak sama. Desa Telaga Sari Kabupaten Deliserdang menarik diteliti karena pemuda Karang Taruna di desa itu cukup aktif, pada 2014 Karang Taruna Desa Telaga Sari berhasil mewakili Sumatera Utara dalam pemilihan Karang Taruna Teladan Tingkat Nasional.

Peran pemuda Karang Taruna semakin relevan saat pemerintah mengesahkan Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam banyak kajian, undang-undang ini disampaikan banyak kalangan memerlukan keaktifan semua elemen untuk terlibat termasuk pemuda. Untuk kasus di Sumatera Utara, keterlibatan pemuda dalam urusan penyelenggaraan desa telah diakomodir secara kultural. Sebut saja kelompok sosial “Naposo Bulung” di pemerintahan Huta yang merupakan bentuk pemerintahan tradisional masyarakat Toba atau Tapanuli pada umumnya.

Atas kondisi demikian, maka kehadiran Undang-undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa secara formal jelas sebuah hal baru walaupun secara kultural telah lama ada. Pada konteks inilah implementasi undang-undang tersebut memiliki prospek untuk melibatkan pemuda Karang Taruna secara aktif, tentu dalam kerangka aturan yang ada. Kenyataan inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa penelitian tentang peran pemuda Karang Taruna dalam implementasi Undang-undang No. 6 tentang Desa tahun 2014 di Desa Telaga Sari Kabupaten Deliserdang menjadi penting untuk dilakukan.

1.2. Perumusan Masalah

(7)

baik sekalipun ada banyak kekhawatiran di dalam implementasinya. Tantangan terberat yang dihadapi dalam penerapan otonomi desa ini adalah begitu tidak meratanya kemampuan dari perangkat desa dan elemen masyarakat yang ada di masing-masing daerah. Dalam hal pengelolaan sumber daya serta potensi sumberdaya lainnya. Pemuda Karang Taruna sebagai salah satu komponen jelas dianggap penting untuk dipersiapkan dalam menyongsong impelementasi Undang-undang tersebut. Berdasarkan latar belakang yang disampaikan sebelumnya, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana peran pemuda Karang Taruna di Desa Telaga Sari Kabupaten Deliserdang dalam implementasi Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa?

2. Apa hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh pemuda Karang Taruna dalam berpartisipasi pada penyelenggaraan pemerintahan desa seiring dengan peluang implementasi Undang-undang No.6 tahun 2014 tentang Desa tersebut dalam analisis strength, weaknesses, opportunities dan threats (SWOT)?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah penelitian yang diajukan, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis peran pemuda Karang Taruna di Kabupaten Deliserdang khususnya Desa Telaga Sari dalam implementasi Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

(8)

dengan peluang implementasi Undang-undang No.6 tahun 2014 tentang Desa dalam analisis analisis strength, weaknesses, opportunities dan threats (SWOT). 1.3.2. Manfaat Penelitian

Bila mana semua tujuan yang direncanakan dalam penelitian ini tercapai, maka manfaat yang akan diperoleh di antaranya adalah:

1. Akan diperoleh bahan pertimbangan dan masukan yang layak dirujuk karena memiliki nilai ilmiah terkait tentang pola pelibatan pemuda Karang Taruna dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yang sesuai dengan Undang-undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa, yang disesuaikan dengan karakter Desa Telaga Sari.

(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Memahami Pemuda dan Peranannya di Republik Indonesia

Pemuda merupakan generasi penerus sebuah bangsa, kader bangsa, kader masyarakat dan kader keluarga. Sejarah juga telah mencatat kiprah pemuda-pemuda yang tak kenal waktu yang selalu berjuang dengan penuh semangat biarpun jiwa raga menjadi taruhannya. Indonesia merdeka berkat pemuda-pemuda Indonesia yang berjuang seperti Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Bung Tomo dan lain-lain dengan penuh semangat perjuangan (Iskandar, 2015).

(10)

seluruh dunia mencapai angka 1,2 milyar. Dari jumlah tersebut, sekitar 87% (±1 milyar) berada di negara-negara berkembang serta 8 dari 10 orang pemuda berada di wilayah Afrika dan Asia. Data juga menunjukkan hampir sekitar 50 persen dari penduduk negara-negara berkembang adalah pemuda dan anak-anak. Angka ini merupakan potensi besar jika dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Namun sebaliknya, apabila potensi tersebut tidak dikelola dengan baik justru akan berdampak negatif terhadap proses pembangunan yang sedang berlangsung. Oleh karena itu untuk memastikan agar potensi pemuda dapat tersalurkan untuk menghasilkan manfaat semaksimal mungkin, pemuda perlu dilibatkan dalam proses-proses pembangunan (Wahyudini, 2011).

(11)

tentang tahapan dan proses pembangunan. Belum terlihat adanya suatu mekanisme yang dapat memastikan keterlibatan pemuda dalam pembangunan. Selain itu pihak penyelenggara pemerintahan masih belum memberikan kepercayaan untuk melibatkan pemuda. Pemuda masih dianggap sebagai sumber masalah, bukannya sebagai potensi dan modal utama pembangunan.

Dalam kosakata bahasa Indonesia, pemuda juga dikenal dengan sebutan generasi muda dan kaum muda yang memiliki terminologi beragam. Untuk menyebut pemuda, digunakan istilah young human resources sebagai salah satu sumber pembangunan. Mereka adalah generasi yang ditempatkan sebagai subjek pemberdayaan yang memiliki kualifikasi efektif dengan kemampuan dan keterampilan yang didukung penguasaan Iptek untuk dapat maju dan berdiri dalam keterlibatannya secara aktif bersama kekuatan efektif lainnya guna penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi bangsa. Meskipun tidak pula dipungkiri bahwa pemuda sebagai objek pemberdayaan, yaitu mereka yang masih memerlukan bantuan, dukungan dan pengembangan ke arah pertumbuhan potensi dan kemampuan efektif ke tingkat yang optimal untuk dapat bersikap mandiri dan melibatkan secara fungsional (Hanifah, 2011).

(12)

hubungan ini, generasi tua tidak dapat mengklaim bahwa merekalah satu-satunya penyelamat masyarakat dan negara.

Dewasa ini, potensi yang dimiliki oleh generasi muda diharapkan mampu meningkatkan peran dan memberikan kontribusi dalam mengatasi persoalan bangsa. Persoalan bangsa, bahkan menuju pada makin memudarnya atau tereliminasinya jiwa dan semangat bangsa. Berbagai gejala sosial dengan mudah dapat dilihat, mulai dari rapuhnya sendi-sendi kehidupan masyarakat, rendahnya sensitivitas sosial, memudarnya etika, lemahnya penghargaan nilai-nilai kemanusiaan, kedudukan dan jabatan bukan lagi sebagai amanah penderitaan rakyat, tak ada lagi jaminan rasa aman, mahalnya menegakan keadilan dan masih banyak lagi problem sosial yang kita harus selesaikan. Hal ini harus menjadi catatan agar pemuda lebih memiliki daya sensitivitas, karena bangsa ini sesungguhnya sedang menghadapi problem multidimensi yang serius, dan harus dituntaskan secara simultan tidak fragmentasi (Hasibuan, 2008). Oleh karena itu, rekonstruksi nilai-nilai dasar bangsa ke depan perlu beberapa langkah strategis dalam mengatasi persoalan bangsa;

1. Komitmen untuk meningkatkan kemandirian dan martabat bangsa. Kemandirian dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia adalah terpompanya harga diri bangsa. Seluruh aktivitas pembangunan sejauh mungkin dijalankan berdasar kemampuan sendiri, misalnya dengan menegakkan semangat Berdikari.

(13)

3. Penyelenggara negara dan segenap elemen bangsa harus terjalin dalam satu kesatuan jiwa, kata kuncinya adalah segera terwujudnya sistem kepemimpinan nasional yang kuat dan berwibawa di mata rakyat yang memiliki integritas tinggi (terpercaya, jujur dan adil), adanya kejelasan visi (ke depan) pemimpin yang jelas dan implementatif, pemimpin yang mampu memberi inspirasi (inspiring) dan mengarahkan (directing) semangat rakyat secara kolektif, memiliki semangat jihad, komunikatif terhadap rakyat, mampu membangkitkan semangat solidaritas (solidarity maker) atau conflict resolutor. Dan untuk pemuda, mereka harus mampu memperjuangkan sistem nilai-nilai yang merepresentasikan aspirasi, sensitivitas dan integritas para generasi muda terhadap gejala ketidakadilan yang terjadi di masyarakat.

2. 1.1. Konsep Partisipasi

Melihat sejauh mana peran pemuda dalam pembangunan dapat digunakan teori partisipasi. Menurut Nasdian (2006), pemberdayaan merupakan jalan atau sarana menuju partisipasi. Sebelum mencapai tahap tersebut, tentu saja dibutuhkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan memiliki dua elemen pokok, yakni kemandirian dan partisipasi (Nasdian, 2006). Nasdian (2006) mendefinisikan partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) di mana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif.

(14)

menciptakan peranserta yang maksimal dengan tujuan agar semua orang dalam masyarakat tersebut dapat dilibatkan secara aktif pada proses dan kegiatan masyarakat. Cohen dan Uphoff (1979) membagi partisipasi ke beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:

1. Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat. Tahap pengambilan keputusan yang dimaksud disini yaitu pada perencanaan dan pelaksanaan suatu program. 2. Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap terpenting dalam

pembangunan, sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaanya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk tindakan sebagai anggota proyek.

3. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini merupakan umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan pelaksanaan proyek selanjutnya.

4. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subjek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek dirasakan, berarti proyek tersebut berhasil mengenai sasaran.

(15)

masyarakat tersebut bertingkat, sesuai dengan gradasi, derajat wewenang dan tanggung jawab yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan.

2. 1.2. Analisis SWOT

Analisis strength, weaknesses, opportunities dan threats (SWOT) secara sederhana dapat dipahami sebagai pengujian terhadap kekuatan dan kelemahan internal sebuah organisasi, serta kesempatan dan ancaman lingkungan eksternalnya. SWOT adalah perangkat umum yang didesain dan digunakan sebagai langkah awal dalam proses pembuatan keputusan dan sebagai perencanaan strategis dalam berbagai terapan (Johnson, dkk, 1989).

Dengan menggunakan analisis ini, sebuah organisasi akan mampu mendapatkan sebuah gambaran yang menyeluruh mengenai kondisi internal organisasinya dalam hubungannya dengan masyarakat. Sedangkan mengenai faktor-faktor eksternal, yang terdiri atas ancaman dan kesempatan kemudian digabungkan dengan suatu pengujian mengenai kekuatan dan kelemahan akan membantu dalam mengembangkan sebuah visi tentang masa depan. Analisis akan menghasilkan kesimpulan terkait program apa yang kompeten atau mengganti program-program yang tidak relevan serta berlebihan dengan program yang lebih inovatif dan relevan.

Langkah pertama dalam analisis SWOT adalah membuat sebuah lembaran kerja dengan jalan menarik sebuah garis persilangan yang membentuk empat kuadaran, keadaan masing-masing satu untuk kekuatan, kelemahan, peluang/kesempatan dan ancaman. Secara garis besar dapat terlihat dalam matriks sebagai berikut:

Tabel. 1.  Matriks SWOT

(16)

Eksternal

Langkah berikutnya adalah membuat daftar item spesifik yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi di bawah topik masing-masing. Dengan membatasi daftar sampai 10 poin atau lebih sedikit untuk menghindari generalisasi yang berlebihan (Jhonson, dkk, 1989).

SWOT dapat dilaksanakan oleh para karyawan secara individual atau secara kelompok dalam organisasi. Teknik secara kelompok akan lebih efektif khususnya dalam pengadaan struktur, objektifitas, kejelasan dan fokus untuk diskusi mengenai strategi, sehingga tidak akan cenderung melantur. SWOT harus mencakup semua aspek yang masing-masng dapat merupakan sumber kekuatan, kelemahan, kesempatan atau ancaman (Glass,1991).

(17)

lingkungannya, sesuai dengan kondisi daerah dan tingkat kemampuan masing-masing.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 77/HUK/2010 Karang Taruna adalah Organisasi Sosial kemasyarakatan sebagai wadah dan sarana pengembangan setiap anggota masyarakat yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran dan tanggung jawab sosial dari, oleh dan untuk masyarakat terutama generasi muda di wilayah desa/kelurahan atau komunitas adat sederajat terutama bergerak di bidang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Ini sesuai dengan tujuan Karang Taruna pada pasal 2 Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 77/HUK/2010, yaitu:

1. Pertumbuhan dan perkembangan setiap anggota masyarakat yang berkualitas, terampil, cerdas, inovatif, berkarakter serta memiliki kesadaran dan tanggung jawab sosial dalam mencegah, menangkal, menanggulangi dan mengantisipasi berbagai masalah kesejahteraan sosial khususnya generasi muda;

2. Kualitas kesejahteraan sosial setiap anggota masyarakat terutama generasi muda di desa/kelurahan secara terpadu, terarah, menyeluruh serta berkelanjutan;

3. Pengembangan usaha menuju kemandirian setiap anggota masyarakat terutama generasi muda; dan

4. Pengembangan kemitraan yang menjamin peningkatan kemampuan dan potensi generasi muda secara terarah dan berkesinambungan.

(18)

penampungan kembali dalam suatu kehidupan masyarakat yang lebih cocok dengan kebutuhan baru masyarakat dimana norma-norma yang lebih cocok ini akan merupakan ikatan dari masyarakat yang baru atau lebih luas.

Dalam menampung kembali suatu kehidupan bermasyarakat maka diperlukan suatu wadah yang bisa mewadahi sepenuhnya dan terorganisir. Dalam wadah yang terorganisir secara optimal akan menjadikan sumber daya manusia yang ada berhasil guna dan berdaya guna bagi masyarakat lainnya dan lingkungan di sekitarnya. Dengan adanya wadah tempat masyarakat berorganisasi akan berdampak pada perkembangan suatu daerah ataupun desa menjadi lebih berfikir maju dan terus survive. Oleh sebab itu dalam suatu Desa harus adanya organisasi seperti Karang Taruna Desa sebagai wadah tempat berkumpulnya dan bersatunya masyarakat yang mampu menampilkan karakternya melalui cipta, rasa, karsa dan karya di bidang kesejahteraan sosial.

(19)

Demikian disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 tentang Pedoman Dasar Karang Taruna ("Permensos 77/2010") yang kami akses dari laman resmi Mahkamah Konstitusi. Dari sini kita bisa lihat bahwa karang taruna berada di wilayah desa/kelurahan, seperti halnya Anda yang bekerja pada karang taruna di wilayah desa. Hal ini kembali ditegaskan dalam Pasal 4 Permensos 77/2010: "Karang Taruna berkedudukan di desa/kelurahan di dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia."

Perlu diketahui bahwa Karang Taruna termasuk sebagai Lembaga Kemasyarakatan. Berdasarkan Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan ("Permendagri 5/2007"), Karang Taruna adalah Lembaga Kemasyarakatan yang merupakan wadah pengembangan generasi muda yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial dari, oleh dan untuk masyarakat terutama generasi muda di wilayah desa/kelurahan atau komunitas adat sederajat dan terutama bergerak di bidang usaha kesejahteraan sosial, yang secara fungsional dibina dan dikembangkan oleh Departemen Sosial.

Untuk menjalankan tugas pokok di atas, karang taruna mempunyai fungsi seperti yang tercantum dalam_Pasal 6 Permensos 77/2010:

a. mencegah timbulnya masalah kesejahteraan sosial, khususnya generasi muda;

b. menyelenggarakan kesejahteraan sosial meliputi rehabilitasi, perlindungan sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan diklat setiap anggota masyarakat terutama generasi muda;

(20)

d. menumbuhkan, memperkuat dan memelihara kesadaran dan tanggung jawab sosial setiap anggota masyarakat terutama generasi muda untuk berperan secara aktif dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial;

e. menumbuhkan, memperkuat, dan memelihara kearifan lokal; dan

f. memelihara dan memperkuat semangat kebangsaan, Bhineka Tunggal Ika dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara berdasarkan Pasal 17

Permendagri 5/2007, ada tambahan fungsi karang taruna, yaitu:

a. pengembangan kreatifitas remaja, pencegahan kenakalan, penyalahgunaan obat terlarang (narkoba) bagi remaja; dan

b. penanggulangan masalah-masalah sosial, baik secara preventif, rehabilitatif dalam rangka pencegahan kenakalan remaja, penyalahgunaan obat terlarang (narkoba) bagi remaja.

(21)

Sebagai organisasi berbasis kemasyarakatan yang merupakan mitra pemeritah desa kehadiran karang taruna memiliki peranan dalam memelihara dan melestarikan nilai-nilai kehidupan kemasyarakatan yang berdasarkan swadaya, kegotongroyongan dan kekeluargaan dalam rangka menghadirkan kesejahteraan, ketentraman dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat. Karang taruna yang merupakan bagian dari organisasi tentunya harus memiliki susunan pengurus dan anggota yang lengkap dan masing-masing anggota dapat melaksanakan fungsinya sesuai dengan bidang tugasnya serta dapat dapat bekerja sama dengan didukung oleh administrasi yang tertib dan teratur. Memiliki program kegiatatan yang jelas sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang ada disekitarnya program kegiatan karang taruna berlangsung secara melembaga terarah dan berkesinambungan serta melibatkan seluruh unsur generasi muda yang ada.

2.3. Memahami Desa Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Ada banyak upaya yang bisa dilakukan untuk memahami desa. Secara etimologis merujuk pendapat Soeparmo (1977) istilah atau perkataan “desa” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran. Selain itu, oleh Kartohadikoesoemo (1984) desa didefinisikan sebagai suatu kesatuan hukum, di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri.

(22)

berada di daerah Kabupaten (Wijaya, 2002). Dalam pengertian yang lebih umum desa dianggap sebagai suatu gejala yang bersifat universal, terdapat di mana pun di dunia ini, sebagai suatu komunitas kecil, yang terikat pada lokalitas tertentu

baik   sebagai   tempat   tinggal   (secara   menetap)   maupun   bagi   pemenuhan

kebutuhannya, dan yang terutama yang tergantung pada sektor pertanian. 

Ciri   utama   yang   terlekat   pada   setiap   desa   adalah   fungsinya   sebagai

tempat   tinggal   (menetap)   dari   suatu   kelompok   masyarakat   yang   relatif

kecil.Sementara   itu   Koentjaraningrat  (1977)  memberikan   pengertian   tentang

desa melalui pemilahan pengertian komunitas dalam dua jenis, yaitu komunitas

besar (seperti: kota, negara bagian, negara) dan komunitas kecil (seperti: band,

desa, rukun tetangga dan sebagainya).

Dalam   hal   ini   Koentjaraningrat   (1977)   mendefinisikan   desa   sebagai

“komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat”. Koentjaraningrat melalui

tulisannya tidak memberikan penegasan bahwa komunitas desa secara khusus

tergantung pada sektor pertanian. Dengan kata lain artinya bahwa masyarakat

desa sebagai sebuah komunitas kecil itu dapat saja memiliki ciri­ciri aktivitas

ekonomi yang beragam, tidak di sektor pertanian saja.

Desa pada mulanya terbentuk karena adanya kearifan lokal dan adat lokal

dalam suatu kelompok masyarakat untuk mengatur serta mengurus pengelolaan

sumberdaya   lokal   seperti   kebun,   sungai,   tanah,   hutan,   dan   sebagainya   yang

diperuntukkan   untuk   kesejahteraan   masyarakat   komunal.   Atas   dasar   inilah

kemudian   konstitusi   dan   regulasi   negara   memberikan   pengakuan   atas

(23)

Pada   dasarnya,   desa   merupakan   awal   bagi   terbentuknya   masyarakat

politik   dan   pemerintahan   di   Indonesia.   Jauh   sebelum   negara   modern   ini

terbentuk,   kesatuan   sosial   sejenis   desa   atau   masyarakat   adat   telah   menjadi

institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting.  Mereka ini merupakan

institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri yang

mengakar   kuat   serta   relatif   mandiri   dari   campur   tangan   kekuasaan   dari   luar

(Santoso,   2003).   Lebih   lanjut,   Sapari   (1977)   melalui   sebuah   tulisannya

mengatakan bahwa filosofi otonomi desa dianggap sebagai kewenangan yang

telah   ada,   tumbuh   mengakar   dalam   adat   istiadat   desa   bukan   juga   berarti

pemberian   atau   desentralisasi.   Otonomi   desa   berarti   juga   kemampuan

masyarakat dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri dan secara legal

formal diatur oleh pemerintah pusat melalui undang­undang.

Selanjutnya,   menurut   Landis   (dalam   Endrizal,  1997)   seorang   sarjana

sosiologi perdesaan dari Amerika Serikat, mengemukakan definisi tentang desa

dengan cara membuat tiga pemilahan berdasarkan pada tujuan analisis. Untuk

tujuan   analisis   statistik,   desa   didefinisikan   sebagai   suatu   lingkungan   yang

penduduknya kurang dari 2500 orang.  Untuk tujuan analisisi  sosial­psikologi,

desa   didefinisikan   sebagai   suatu   lingkungan   yang   penduduknya   memiliki

hubungan yang akrab dan serba informal di antara sesama warganya. Sedangkan

untuk tujuan analisis ekonomi, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang

penduduknya tergantung kepada pertanian. 

Dari sudut pandang politik dan hukum, desa sering diidentikkan sebagai

organisasi   kekuasaan.  Desa   dipahami   sebagai   organisasi   pemerintahan   atau

(24)

struktur pemerintahan negara.  Dengan sudut pandang  ini desa dipilah  dalam

beberapa unsur penting: 

1. Adanya orang­orang atau kelompok orang.

2. Adanya pihak­pihak yang menjadi “penguasa” atau pemimpin.

3. Adanya organisasi (badan) penyelenggara kekuasaan.

4. Adanya   tempat   atau   wilayah   yang   menjadi   teritori   penyelenggara

kekuasaan. 

5. Adanya mekanisme, tata aturan dan nilai, yang menjadi landasan dalam

proses pengambilan keputusan (Pambudi dkk, 2003). Setidaknya terdapat

tiga posisi politik desa di Indonesia:

1. Desa sebagai organisasi komunitas lokal yang memiliki pemerintahan sendiri

atau disebut sebagai self governing community, komunitas lokal membentuk

dan   menyelenggarakan   pemerintahan   sendiri   berdasarkan   pranata   lokal,

bersifat swadaya dan otonom.

2. Local self government merupakan bentuk pemerintahan lokal yang otonom,

sebagai konsekuensi dari desentralisasi politik (devolusi).

3. Local   state   government,  merupakan   bentuk   lain   dari   pemerintahan   yang

sentralistik,   yang   tidak   melakukan   devolusi,   melainkan   hanya   melakukan

dekonsentrasi (Eko, 2007).

(25)

seakan turun ranjang lewat Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 yang ditindaklanjuti lewat peraturan daerah masing-masing. Dengan harapan besar yang disandarkan pada UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi desa dibayangkan tumbuh kembali sebagaimana masa sebelum 1979. Sayangnya, otonomi desa justru mengalami penyusutan akibat ekspansi otonomi daerah. Semakin luas hak mengatur dan mengurus yang dikembangkan pemerintah daerah atas nama hak dan kewajiban otonomi, bersamaan dengan itu menyusut pula makna otonomi desa. Desa menjadi powerless, kehilangan kewenangan sekalipun secara ekpslisit dikatakan memiliki otonomi asli. Otonomi desa yang awalnya asli ketika itu berubah menjadi palsu. Harus diakui bahwa pemalsuan otonomi desa sebenarnya telah terjadi sejak diterapkannya UU 5/1979. Orde Baru praktis memalsukan semua kumpulan warga dalam bentuk apapun ke dalam identitas bernama desa. Kebijakan uniformitas mengakibatkan musnahnya sistem sosial mikro yang menjadi penunjang bagi upaya penyelesaian masalah sosial secara fungsional. Desa dan semua perangkatnya berubah menjadi mesin birokrasi yang efektif dalam menjalankan semua kebijakan rezim berkuasa secara top down. Dengan sendirinya peran dan kedudukan desa mengalami pergeseran dari entitas sosial yang bertumpu pada kehendak basis alami terkecil masyarakat menjadi unit pemerintahan mikro yang bersandar bagi kepentingan pemerintah.

(26)

sebagaimana lebih awal telah dikoreksi oleh UU 22/1999 dan UU 32/2004. Desa dan atau nama lain berhak mengatur dan mengurus urusannya masing-masing berdasarkan hak asal usul yang diakui dan dihormati oleh negara berdasarkan amanah konstitusi pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Bahkan lebih dari itu rezim ini memberi tempat bagi tumbuhnya desa adat di luar desa administratif. Terhadap persoalan kedua tampak bahwa desa diharapkan mampu mengembangkan otonomi aslinya untuk membatasi kuasa otonomi daerah yang mengancam hingga ke pori-pori desa. Untuk mewujudkan harapan tersebut rezim kali ini memberi senjata yang lebih efektif digunakan desa dalam meningkatkan bargaining position ketika berhadapan dengan supradesa. Persoalannya adalah apakah pengaturan soal desa ke depan akan memberi peluang atau menjadi ancaman nyata bagi pertumbuhan dan perkembangan otonomi desa? Tulisan ini akan melihat akar pertumbuhan dan perkembangan otonomi desa di Indonesia serta sejumlah catatan penting bagi peluang tumbuhnya otonomi desa. Uraian ini juga akan menyertakan beberapa catatan kritis terhadap pengaturan desa yang berpotensi menjadi ancaman di kemudian hari.

(27)

ada jauh sebelum negara hadir juga memiliki ciri dengan konstruksi organisasi paling minimalis di mana kepala desa merupakan simbol dalam semua entitas pemerintahan, ekonomi, sosial budaya dan politik. Integrasi semua fungsi dalam personifikasi kepala desa merupakan konstruksi sistem politik totaliter klasik yang cenderung memberi diskresi bagi kepala desa dalam memainkan peran dominan bagi kehidupan kelompok. Secara kelembagaan kepala desa menjadi representasi politik sebab ia secara traditional dilahirkan untuk memimpin kelompok masyarakat dalam sebutan yang tertua (tetua) (Suroyo dalam Nurcholis, 2013).

(28)

internal maupun eksternal. Pada titik tertinggi entitas semacam itu berubah menjadi pemerintahan yang lebih kompleks seperti negara. Oleh karena negara merupakan refleksi paling sempurna yang lahir dari rahim desa, maka tidaklah salah jika negara penting mengakui dan menghormati eksistensi desa atau semacamnya sebagai akar-akar pemerintahan.

Pemahaman lainnya tentang desa diungkap oleh Beratha (1982:26), yang memberi batasan bahwa desa dimaknai sebagai salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal, kebanyakan hidup dari pertanian, perikanan dan sebagainya, usaha yang dapat dipegaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Dan dalam tempat tinggal itu terdapat ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan pada tradisi dan kaidah-kaidah sosial. Apa yang dijelaskan oleh Beratha tersebut setidaknya sejalan dengan gambaran karakteristik desa yang menurut Ferdinand Tonies yang kemudian dikenal dengan karakteristik kelompok sosial yang berupa gemenschaft berbanding gesselschaft.

Melihat rekaman sejarah penggunaan terminologi kampung setidaknya dapat dilihat dari catatan Muntinghe kepada Raffles (1811-1817) (dalam Tahir, 2013). Sekalipun demikian, ada banyak dugaan bahwa penggunaan istilah Dusun, Marga, Kampung, Gampong, Dati, Nagari dan Wanua yang tersebar di wilayah Jawa dan luar Jawa sudah banyak dipergunakan jauah sebelum catatan Raffles dibuat (baca Ndraha, 2010).

(29)

proses semacam itu desa tampak memperlihatkan bibit demokrasi, di mana pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif, bersifat kelembagaan (adhoc), melibatkan beberapa tokoh yang merepresentasikan kepentingan tertentu, serta dalam suatu wadah yang relatif terpisahkan dari eksekutif. Namun demikian meskipun pelembagaan politik memperlihatkan perubahan ke arah diferensiasi, namun kebiasaan pemilihan kepala desa yang awalnya bersifat turun-temurun (tradisionalistik) di kemudian hari berubah pula lewat pemilihan secara tak langsung yang diwakili oleh sekelompok orang. Fenomena tersebut cukup menarik dalam pandangan Raffles (1811), sehingga pola demokrasi representatif oleh sekelompok pengurus desa yang memilih kepala desa kemudian diubah menjadi mekanisme demokrasi langsung di mana kepala desa dipilih oleh masyarakat dari beberapa orang yang dipandang mampu (Nurcholis, 2013).

Dinamika perkembangan desa terus terjadi hingga 1854, desa kemudian memperoleh dasar hukum lewat Regeringsreglement (RR) yang kemudian melahirkan peraturan pelaksanaan berbentuk Inlandse Gemeente Ordonantie (IGO)

dan Inlandse Gemeente Ordonantie Buitengewesteen (IGOB).

Pola kepemimpinan desa dari waktu ke waktu terus mengalami dinamika. Namun demikian, pada era pasca kemerdekaan Indonesia (1945), pengaturan soal desa sebenarnya tak memperoleh landasan konstitusional yang bersifat eksplisit, kecuali kesatuan masyarakat hukum adat yang telah tumbuh dan berkembang jauh sebelum Indonesia merdeka. Satuan masyarakat hukum adat diakui dan dihormati

(30)

sebagaimana terlihat dalam pengaturan pasal 18B ayat (4) hingga amandemen terakhir pasal 18B ayat (2). Hal ini menyiratkan bahwa hanya satuan masyarakat hukum adat sajalah yang diakui dan dihormati negara, selain satuan daerah yang bersifat khusus/istimewa sebagaimana diatur pula dalam pasal 18B ayat (1). Oleh karena konstitusi tak menyebut jelas eksistensi desa-desa bentukan yang bersifat administratif (desa dinas) setelah kemerdekaan Indonesia, maka sejauh ini harus diakui bahwa logika konstitusi hanya memberi landasan kuat bagi satuan masyarakat hukum adat yang dalam hal ini di sebut desa adat sesuai penjelasan konstitusi awal (baca Wasistiono, 2013). Konsekuensi dari hal itu maka pengaturan selanjutnya oleh UU Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 1 Tahun 1957 dan UU Nomor 19 Tahun 1965 menempatkan desa sebagai lokus otonomi tingkat tiga. Dengan alasan desa dan semua entitas semacamnya adalah sendi-sendi negara maka perluasan dan dinamisasi desa dibutuhkan untuk mendorong kemajuan negara secara umum. Sekalipun keinginan untuk meningkatkan desa memperoleh pijakan yang cukup, namun keadaan negara yang tak begitu stabil mengakibatkan upaya mewujudkan desa sebagai entitas otonom selain daerah otonom tingkat satu dan dua tak dapat direalisasikan.

(31)

administratif. Dalam kondisi semacam itu sekalipun tetap bernama desa, namun secara cepat kehilangan otonomi, berorientasi ke atas, serta praktis tak tumbuh sebagai entitas yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah desa secara fungsional.

Sebenarnya, hancurnya sistem nilai desa dalam 30 tahun terakhir pasca kejatuhan Orde Baru disadari oleh rezim Orde Reformasi yang kemudian mencoba memulihkan realitas desa melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sayangnya, upaya menghadirkan wajah desa yang lebih merdeka dalam aspek otonomi aslinya tak juga memperlihatkan hasil yang maksimal. Hal ini justru disebabkan oleh kuatnya ekspansi otonomi daerah yang memasuki pori-pori desa. Desa dan atau nama lain semestinya dapat ditumbuh-kembangkan oleh pemerintah daerah melalui kebijakan yang sesuai dengan karakternya masing-masing. Faktanya, semua kebijakan pemerintah daerah relatif melalui peraturan daerah semakin membatasi otonomi desa, bahkan melenyapkan peluang otonomi yang diakui dan dihormati negara dalam konstitusi. Penempatan sekretaris desa dari pegawai negeri sipil serta longgarnya konsistensi daerah dalam alokasi dana desa membuat desa semakin terpojok dalam kemiskinan otonomi. Akhirnya desa tampak seperti keluar dari himpitan negara selama 30 tahun dalam kerangka local state government, tiba-tiba berada di bawah ketiak pemerintah daerah dalam pendekatan yang lebih interventif atas nama otonomi daerah (local self government). Harus dikatakan bahwa episode desa dalam kurun waktu otonomi daerah dilaksanakan tak memberi perubahan signifikan, kecuali sejumlah daerah yang secara politis mencoba mengintrodusir desa lewat bantuan di atas Rp1 miliar.

(32)

Kerangka berfikir adalah dasar pemikiran dari penelitian yang disintesiskan dari fakta-fakta observasi dan kajian kepustakaan. Uraian dalam kerangka berfikir menjelaskan hubungan dan keterkaitan antara variable penelitian. Variabel relevan dengan permasalahan yang diteliti, sehingga dapat dijadikan dasar untuk menjawab permasalahan penelitian.

(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Bila merujuk pada rumusan masalah yang diajukan pada penelitian ini, maka desain penelitian yang paling relavan digunakan adalah jenis penelitian deskriptif. Hal ini paling tidak dapat dilihat dari prosesnya, di mana jenis data cara memperolehnya serta tahapan dan langkah menganalisisnya sepenuhnya bertujuan untuk memperoleh gambaran, arti dan makna atas masalah yang diamati. Tidak hanya itu, penelitian ini disusun sebagai penelitian induktif yakni mencari dan mengumpulkan data yang ada di lapangan dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor, unsur - unsur bentuk, dan suatu sifat dari fenomena di masyarakat (Nazir, 1998).

(34)

memperoleh gambaran yang terukur tentang kondisi kesiapan pemuda, maka diperlukan penggunaan pendekatan kuantitatif. Kuantifikasi ini sepenuhnya hanya dipergunakan untuk bisa memudahkan penggambaran kondisi tersebut dengan menggunakan angka. Karenanya, khusus untuk rumusan pertama, akan dipergunakan pendekatan tambahan yang sifatnya komplementer yaitu pendekatan kuatitatif.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Sugiyono (2003), bahwa pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, dari berbagai sumber, dan dengan berbagai cara. Bila dilihat dari settingnya, data penelitian ini dapat dikumpulkan pada pengaturan alamiah (natural setting). Sedangkan jika dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan penelitian ini dapat dikumpulkan dari sumber datanya.Pengumpulan penelitian ini dapat dikumpulkan dari sumber primer, dan sumber sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah informan yang langsung memberikan informasi atau data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini. Informan utama dalam penelitian ini adalah Pengurus Karang Taruna Satria Pandawa, aparat pemerintahan Desa Telaga Sari, tokoh masyarakat, dan pemuda Desa Telaga Sari.

(35)

yang dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian sesuai dengan judul meliputi kegiatan pengumpulan data sebagai berikut :

a. Data sekunder

Data sekunder merupakan data historis yang sudah terkumpul untuk tujuan penelitian. Dalam penelitian ini data sekunder yang digunakan adalah dokumentasi. Dokumentasi sering disebut juga catatan peristiwa yang sudah berlalu. Adapun data ini meliputi data riwayat organisasi, arsip-arsip, serta gambar-gambar yang relevan dengan penelitian ini (Sugiyono, 2005).

Metode dokumentasi ini merupakan metode yang membantu dalam upaya memperoleh data. Kejadian-kejadian atau peristiwa tertentu yang dapat dijadikan atau dipakai untuk menjelaskan kondisi didokumentasikan oleh peneliti. Dalam penelitian ini menggunakan dokumen terdahulu misalnya berupa foto-foto kegiatan, catatan kegiatan dan berbagai informasi yang dipergunakan sebagai pendukung hasil penelitian yang bersumber dari organisasi Karang Taruna dan Kantor Desa Telaga Sari.

b. Data primer

Data primer berupa kumpulan data yang dimaksudkan untuk tujuan penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan sebagai berikut:

1. Pengamatan (Observasi)

Peneliti mengadakan pengamatan langsung ke organisasi Karang Taruna Satria Pandawa dan Desa Telaga Sari.

2. Wawancara

(36)

atau sesuai dengan tujuan penelitian dan informasi-informasi penting yang ingin digali dapat terungkap secara jelas. Wawancara dilakukan terhadap informan yang sebelumnya sudah dipilih atau ditentukan dengan ciri dan sifat yang khas. Kekhususan yang dimaksud adalah informan yang memiliki pengetahuan dan mendalami situasi yang sedang diteliti, atau informan yang memiliki pengalaman langsung dengan objek yang akan diteliti tersebut. Dengan kata lain informan adalah orang atau subjek yang lebih mengetahui tentang hal-hal atau informasi yang dibutuhkan. Wawancara yang akan dilakukan dalam penelitian ini berupa komunikasi langsung dengan pengurus Karang Taruna Satria Pandawa untuk melakukan identifikasi terhadap faktor pendukung serta penghambat partisipasi Karang Taruna serta komunikasi langsung dengan pemerintah desa untuk mengetahui implementasi uu no 6 tahun 2014 yang terjadi di Desa Telaga Sari .Wawancara dilakukan secara mendalam dan terstruktur (deep interview). Penganalisisan data yang terkumpul dimaksudkan untuk menemukan hal-hal

penting dan pokok-pokok pikiran yang menggambarkan permasalahan di sekitar tema yang diteliti.

3.3 Informan Penelitian

(37)

Informan penelitian ini adalah pihak-pihak yang mengetahui, terlibat dan menerima manfaat dari partisipasi Karang Taruna Satria Pandawa dalam Implementasi UU No 6 Tahun 2014 di Desa Telaga Sari. Dalam menentukan informan, peneliti berdasarkan pada pendapat Newman (2000) tentang karakteristik informan yang baik yaitu (1) seseorang yang mengetahui dengan baik budaya, daerah dan menyaksikan kejadian-kejadian di tempatnya, (2) anggota masyarakat yang dapat meluangkan waktu bersama peneliti, (3) terlibat aktif dengan kegiatan yang ada di tempat penelitian. Adapun informan yang dilibatkan adalah:

a. Informan kunci yaitu mereka yang secara lengkap dan mendalam mengetahui serta memiliki informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. Dalam penelitian ini informan kunci berjumlah 2 (dua) orang yaitu Ketua Karang Taruna Satria Pandawa dan Kepala Desa Telaga Sari.

b. Informan utama yaitu mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti. Dalam penelitian ini informan utama berjumlah 5 orang yaitu Pengurus Karang Taruna Satria Pandawa

c. Informan tambahan merupakan mereka yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial yang diteliti. Dalam penelitian ini informan tambahan yaitu anggota masyarakat (tokoh masyarakat) untuk melengkapi hasil wawancara penulis.

3.4. Lokasi dan Waktu Penelitian

(38)

Tabel 3.1

Jadwal Kegiatan

4.

No. Kegiatan Bulan Ke-Mei Juni

Juli

1 Persiapan

Penyusunan Instrumen Penelitian (Pengurusan Izin

Pengambilan Data Penelitian)

2 Pelaksanaan

a. Pengumpulan Data - Wawancara mendalam - Observasi

- Dokumentasi b. Pengolahan data - Tabulasi

- Pembahasan - Analisis

- Kesimpulan Sementara 3 Pembuatan laporan

3.5 Defenisi Operasional Variabel

1. Partisipasi merupakan keterlibatan Karang Taruna Satria Pandawa dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pemeliharaan serta evaluasi guna membantu Implemntasi UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa di Desa Telaga Sari

2. Karang Taruna Satria Pandawa merupakan organisasi sosial kepemudaan yang ada di Desa Telaga Sari Kecamatan Tanjung Morawa. Partisipasi Karang Taruna dalam Implementasi UU No 6 Tahun 2014 dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu :

(39)

inovasi, serta keinginan sendiri anggota Karang Taruna Satria Pandawa untuk berpartisipasi dalam pembangunan desa.

b. Faktor Eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar kelompok, seperti dukungan yang diberikan oleh pemerintah desa, Dinas Sosial, dan Dinas Tenaga Kerja kepada Karang Taruna serta masyarakat.

3. Implementasi UU No 6 Tahun 2014 merupakan bagian dari ikhtiar mencapai keberdayaan negara bangsa Indonesia dari kemandirian desa-desanya. suatu bentuk tindakan kolektif suatu masyarakat desa yang bertujuan untuk membangun desa mandiri guna meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hal ini menandakan bahwa implementasi UU Desa berkohesi dengan semangat pemerintah yang hendak memulihkan harga diri bangsa dalam pergaulan antarbangsa yang sederajat dan bermartabat yakni berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Desa kemudian menjadi elemen paling fundamental, juga paling prioritas dalam skema pembangunan nasional.

3.6 Analisis Data

(40)

dimana data diperoleh. Dalam penelitian ini, membuat matriks strength, weaknesses, opportunities dan threats (SWOT). peneliti juga melakukan analisis data dengan pendekatan teori. Dimana teori yang digunakan adalah teori partisipasi.

Penelitian ini menggambarkan partisipasi Karang Taruna Satria Pandawa dalam empat tahapan partisipasi,yaitu : pertama, partisipasi Karang Taruna Satria Pandawa dalam setiap proses perencanaan pembangunan desa yang diwujudkan dengan keikutsertaan Karang Taruna Satria Pandawa dalam rapat-rapat yang diadakan oleh pemerintah desa. Pada tahapan ini dilihat sejauh mana Karang Taruna Satria Pandawa memberikan sumbangan pemikiran dalam bentuk saran dan pembangunan.

(41)

Tabel 3.2

Instrumen Penelitian Peran Karang Taruna Satria Pandawa dalam Implementasi UU No 6 Tahun 2014 desa Telaga Sari

Perencanaan Implementasi

Konsep Indikator Instrumen

UU No 6 Tahun 2014

1. Kehadiran dan keterlibatan Karang

Taruna Satria Pandawa secara aktif dalam menerima informasi, pembinaan atau pemahaman dari aparat pemerintah dalam melakukan survey pembangunan desa.

4. Keikutsertaan Karang Taruna dalam pengambilan keputusan rencana pembangunan desa.

1. Keterlibatan Karang Taruna Satria Pandawa dalam gotong royong pembangunan desa.

2. Keterlibatan Karang Taruna Satria Pandawa dalam memberikan bantuan secara materi seperti semen, pasir, makanan, dan sebagainya.

3. Keterlibatan Karang Taruna dalam panitia pelaksana kegiatan.

4. Keterlibatan Karang Taruna dalam mencari bantuan mencari dana pembangunan desa

Wawancara

Pemeliharaan dan Pemanfaatan implementasi

Konsep Indikator Instrumen

UU No 6 Tahun 2014 1. Kehadiran dan keterlibatan Karang

Taruna dalam gotong royong kebersihan. 2. Kehadiran dan keterlibatan Karang Taruna dalam pemugaran sarana umum, sarana ibadah, sarana olahraga dan sarana kesehatan.

(42)

3. Keterlibatan Karang Taruna dalam memanfaatkan fasilitas pembangunan yang ada.

UU No 6 Tahun 2014 1. Keterlibatan Karang Taruna dalam memanfaatkan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan atau keterampilan anggota Karang Taruna 2. Keterlibatan Karang Taruna dalam

memanfaatkan pelatihan untuk meningkatkan penghasilan anggota Karang Taruna maupun masyarakat desa 3. Keterlibatan Karang Taruna dalam

memanfaatkan program implementasi untuk menambah wawasan.

1. Kehadiran dan keterlibatan Karang Taruna dalam menilai kegiatan pembangunan dalam rapat desa.

2. Keterlibatan Karang Taruna dalam menyampaikan masukan dan saran

Faktor Internal 1. Adanya keterlibatan seluruh anggota Karang Taruna atas dasar keinginan sendiri.

2. Adanya rasa kepedulian anggota Karang Taruna terhadap generasi muda Desa Telaga Sari.

3. Adanya inovasi dan kreatifitas dalam diri anggota Karang Taruna untuk mengisi pembangunan desa.

4. Rentang usia pengurus Karang Taruna 13-45 tahun.

Faktor Eksternal 1. Adanya dukungan dari aparat pemerintahan desa.

2. Adanya dukungan dari instansi/lembaga yang terkait dengan bidang sosial.

3. Adanya dukungan dari masyarakat desa.

(43)

Tabel 3.3

Lima sampai enam indikator terpenuhi Sangat Berpengaruh Tiga sampai empat indikator terpenuhi Berpengaruh

(44)

Contoh Penilaian Partisipasi untuk 4 Indikator

No Perencana

an

Indikator Kualifik

asi Penilaian

1 Pembangunan Fisik 1. Kehadiran dan

(45)

Contoh Penilaian Partisipasi untuk 3 Indikator dalam memanfaatkan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan atau keterampilan anggota Karang Taruna.

Ada

2. Keterlibatan Karang Taruna dalam memanfaatkan pelatihan untuk meningkatkan penghasilan anggota Karang Taruna maupun masyarakat desa .

Ada

(46)

Gambar

Tabel 3.1Jadwal Kegiatan
Tabel 3.2Instrumen Penelitian Peran Karang Taruna Satria Pandawa dalam
Tabel 3.3Penilaian Indikator Partisipasi

Referensi

Dokumen terkait

Altman berusaha mengkombinasikan beberapa rasio keuangan menjadi suatu model prediksi dengan teknik statistik, yaitu analisis diskriminan yang dapat digunakan untuk

Titik didihnya menunjukkan kecenderungan  berkurang dengan bertambahnya massa unsur penyebabnya adalah tiap unsur dalam golongan ini memiliki susunan yang berbeda pada

Sehingga perkembangan teknologi yang ada berjalan sangat lambat. Contoh masyarakat yang mengalami kemiskinan natural adalah masyarakat yang tinggal di puncak-puncak

Adanya peningkatan keaktivan karena penambahan logam tertentu menunjukkkan bahwa ion logam diperlukan sebagai komponen dalam sisi aktif enzim. Mekanisme ion logam dapat

Sebagaimana kita tau pasar adalah sebuah tempat bertemunya pembeli dengan penjual guna melakukan transaksi ekonomi yaitu untuk menjual atau membeli suatu barang

Atas dasar hasil uji F yang diperoleh, dapat diambil kesimpulan bahwa citra merk yang terdiri atas keunggulan asosiasi merek (favorability of brand association),

b) Implementansi kebijakan pengurangan risiko bencana. Dimana potensi kerentanan akan lebih banyak berbicara tentang aspek teknis yang berhubungan dengan dimensi

Skenario merupakan suatu pengambaran langkah-langkah aksi aktor terhadap sistem untuk melakukan input data penggunana aplikasi forecasting, untuk skenario use case