• Tidak ada hasil yang ditemukan

menjaga kemerdekaan pers

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "menjaga kemerdekaan pers"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Briefing Paper 3/2012

(2)

Penulis: Anggara

Lisensi Hak Cipta

Kecuali disebutkan sebaliknya, SA 3.0

Diterbitkan oleh

Institute for Criminal Justice Re Jl. Cempaka No 4, Pasar Minggu http://icjr.or.id | http://twitter.c Phone/Fax (62-21) 7810265 Email : infoicjr@icjr.or.id

aliknya, seluruh isi laporan ini berada dibawah lis

stice Reform

Minggu, Jakarta Selatan 12530

twitter.com/icjrid | http://reformasidefamasi.net

(3)

BY-NC-Daftar Isi

Kata Pengantar ... 4

Pendahuluan ... 6

Pers dan Etika... 7

Sengketa pers dari masa ke masa ... 8

Berpegang pada Etika, Meneguhkan Kemerdekaan Pers ... 10

(4)

Kata Pengantar

Tahun 1998 merupakan tahun bersejarah bagi kebebasan dan kemerdekaan berbagai bidang di Indonesia. Bidang yang turut mencicipi kebebasan dan kemerdekaan setelah tumbangnya rezim orde lama di tahun 1998 tersebut adalah pers. Pers sempat mengenyam kebebasan dan kemerdekaan yang diperjuangkan oleh masayarakat yang mendamba iklim keterbukaan dan keluar dari keterkungkungan. Setahun kemudian, menteri Sekretaris Negara mengundangkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang disahkan oleh presiden RI waktu itu, BJ Habibie, pada bulan September 1999 yang di dalamnya memuat pasal perlindungan terhadap pers nasional atas penyensoran, pembredelan dan pelarangan penyiaran. Dengan kata lain sejak disahkan dan diundangkannya UU Pers tersebut, tak diperkenankan lagi bredel terhadap media.

Industri mediapun tumbuh subur, bak cendawan di musim hujan. Seiring perkembangan kebebasan dan kemerdekaan pers, tak hanya media cetak saja yang hadir sebagai ruang publik dan pemenuh informasi bagi publik, media elektronik dan media online juga turut mewarnai dan menandai kesuburan kebebasan dan kemerdekaan pers itu. Akses publik untuk mendapatkan informasi menjadi semakin mudah dan terbuka. Wadah untuk berekspresi, menyalurkan pendapat secara lisan dan tulisan semakin bervariasi. Jurnalis dalam menjalankan profesinya untuk mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi juga menjadi leluasa karena dalam menjalankan profesinya tersebut mendapatkan perlindungan hukum. Begitu juga dengan kerja-kerja investigatif jurnalis dalam mengungkap fakta dan kebenaran. Beberapa skandal dan kasus dapat terbongkar melalui jurnalisme investigasi. Sehingga hak publik atas informasi terpenuhi, publik dapat mengontrol proses penyelenggaran pemerintahan/ kekuasaan yang notabene

dalam proses penyelenggaraan pemerintahan itu, pemerintah adalah menjalankan mandat publik, maka pemerintah juga harus dapat memepertanggungjawabkannya kepada publik secara terbuka dan transparan.

Namun dalam perjalanannya, dunia pers kembali menghadapi masa suram. Kondisi itu ditandai dengan banyaknya gugatan, dan laporan delik pers yang dilayangkan kepada pers dan jurnalis. UU No 40 Tahun 1999 seringkali diabaikan oleh para penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) yang memproses kasus pers pada level peradilan terhadap pers atau jurnalis yang karya jurnalistiknya dianggap melanggar hukum.

Profesi jurnalis yang hampir setiap waktu berurusan dengan akses informasi ke badan-badan publik dan perorangan dalam rangka memberikan informasi bagi publik secara cepat, akurat, akuntabel, dan cover bothside, memang menuntut aktifitas kerja yang cepat dengan jaminan terhadap hak-hak mereka dalam menjalankan profesi jurnalistiknya. Ketika jurnalis dapat menunaikan tugasnya dengan baik, maka kebutuhan masyarakat akan informasi dapat terpenuhi dengan baik pula. Keduanya seperti dua sisi mata uang.

Menjadi penting, bagi tiap-tiap jurnalis untuk memahami dan memegang teguh Kode Etik Jurnalistik dalam melakukan kerja jurnalistiknya. Kode Etik tersebut menjadi semacam pedoman atau panduan kerja.

Secara filosofi, pers tanpa kode etik bagaikan berilmu tapi tidak dituntun oleh hati, atau ilmu tanpa moral. Sedangkan dari sisi hukum, kode etik jurnalistik bagaikan samurai atau alat, yang bisa menjadi instrumen yang dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa karya jurnalistik yang dihasilkan bukanlah karya jurnalistik yang melanggar hukum. Hal tersebut akan diurakan lebih mendalam dalam tulisan ini.

(5)

College (MJC), Beurawe, Banda Aceh, pada Sabtu, 16 Juni 2012. Karena, kadang diperlukan sebuah forum atau wadah untuk saling bertukar pikiran, untuk memahami bersama-sama sebuah hal, dalam hal ini posisi kode etik jurnalistik sebagai instrumen hukum atau pedoman. Disamping itu, kode etik tersebut meski diperkenalkan sejak dini, kepada jurnalis-jurnalis mula, atau calon jurnalis. Dengan senang hati, pada kesempatan ini ICJR memenuhi undangan AJI kota Banda Aceh. dengan menghadirkan Anggara, SH, Ketua Badan Pengurus ICJR, sebagai perwakilan dari ICJR, untuk menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut. Atas kepercayaan dan kerjasamanya, kami mengucapkan terima kasih.

Jakarta, Juni 2012

Institute for Criminal Justice Reform Badan Pelaksana

(6)

Pendahuluan

Pers adalah salah satu jembatan informasi yang penting, tugas pers terpenting adalah memberikan informasi seluas – luasnya kepada masyarakat tentang suatu keadaan di dalam masyarakat. Pers yang bebas adalah sebuah keniscayaan yang diperlukan dalam suatu negara yang mengklaim dirinya adalah negara demokratis dan berdasarkan hukum. Tanpa adanya pers yang bebas maka kontrol dari masyarakat terhadap jalannya penyelenggaraan negara semakin kecil, dan tanpa ada kontrol maka kesewenang – wenangan niscaya akan terjadi

Pers Indonesia sejak awal, tidak pernah dimaksudkan sebagai pers yang semata – mata berorientasi pada pengumpulan modal. Seperti halnya kelompok profesi advokat, pers Indonesia sejak awal telah memposisikan diri sebagai pers perjuangan. Pada masa kemerdekaan banyak diantara para pejuang kemerdekaan Indonesia telah memandang bahwa pers menjadi alat yang penting untuk memperjuangkan kemerdekaan. Demikian pula partai – partai politik yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia juga memandang penting peran dari pers sebagai salah satu alat untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat dan sekaligus juga menentang hadirnya kolonialisme di bumi Indonesia. Pers pada saat itu juga menjadi sarana berdiskusi antar para tokoh – tokoh politik pergerakan kemerdekaan Indonesia. Mereka tidak hanya berdiskusi mengenai cara dan strategi politik tapi juga mengenai kondisi umum masyarakat Indonesia. Permikiran dan perdebatan panas antara para tokoh – tokoh politik tersebut disalurkan melalui kolom – kolom yang tersedia di pers.

Sejarah pers di Indonesia tentu dimulai di Batavia pada 1676 pada saat terbitnya koran yang bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Setelah itu terbit pula

Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810. Dari saat itu hingga terbitnya Medan Prijaji pada 1903, seluruh pers yang ada di Batavia menggunakan bahasa Belanda dan berita – beritanya terasa kering.

Namun, jauh sebelum munculnya Medan Prijaji, kalangan pers di Indonesia telah merasakan dampak dari pengekangan kebebasan pers dengan munculnya Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie pada 1856. Kemunculan peraturan tersebut mengindikasikan bahwa meskipun dalam situasi yang tidak benar – benar bebas, pers yang terbit pada saat itu dan dikelola oleh orang – orang Belanda, telah membuat kuping pemerintah Hindia Belanda memerah.

Kemunculan “Medan Prijaji” pada tahun 1903, merupakan masa permulaan bangsa Indonesia benar – benar terjun dalam dunia pers. Pemimpin redaksi Medan Prijaji R. M. Tirtoadisuryo telah menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Hal ini terbukti dari keberaniannya menulis kalimat yang tertera di bawah judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah di Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah bangsa yang dijajah.

Tak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian

Oetoesan Hindia. Nama Semaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat A.K.A. Ki Hajar Dewantoro juga telah mengeluarkan koran yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka

(7)

membuat pada 7 September 1931 pemerintah Hindia Belanda melahirkan peraturan yang dikenal sebagai Presbreidel Ordonantie. Melihat situasi demikian beberapa tokoh pers Indonesia pada masa Hindia Belanda berkumpul dan mendirikan Persatuan Djurnalis Indonesia (PERDI) pada Desember 1933 dan sikap dasar organisasi tersebut menyatakan dengan tegas bahwa kedudukan pers Indonesia sebagai terompet perjuangan bangsa.

Melihat kondisi yang makin “memanas” dalam dunia pers Indonesia, maka tidak hanya puas dengan membekukan dan menutup pers, pemerintah Hindia Belanda bahkan juga memberlakukan, dalam bentuk yang lunak - peraturan hukum pidana yang keras terhadap para Pemimpin Redaksi dari pers Indonesia saat itu1. Tindakan dari pemerintah Hindia Belanda tersebut dapat dimengerti dalam konteks bahwa karena pada dasarnya para pemimpin redaksi dari pers saat itu sekaligus juga para penganjur yang gigih dari perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Pengalaman – pengalam keras dibawah pemerintah Hindia Belanda ini pulalah yang agaknya membuat para pemimpin Indonesia pada saat hendak mendirikan negara Indonesia, meski berdebat dan bertentangan keras dalam soal – soal Hak Asasi Manusia tapi mampu berkompromi dalam soal kebebasan berkumpul dan berpendapat2. Tak heran jika Wakil Presiden RI, Bung Hatta pada saat 1954 menyatakan “yang bersuara setiap hari adalah surat kabar. Sebab surat kabarlah yang mendekati sifat apa yang disebut orang anggota perasaan umum. Sifat ini hanya dapat dipenuhi oleh suatu surat kabar apabila ia memberikan kesempatan kepada tiap – tiap orang untuk menyampaikan pendapatnya secara obyektif, yang benar – benar mencerminkan perasaan rakyat yang terpendam

Pers dan Etika

Sejarah perkenalan dunia pers Indonesia dengan etika jurnalistik dapat ditelusuri sejak masa paska kemerdekaan, salah satu tokoh pers Indonesia yaitu Mr. Sumanang pada 1946 telah menyusun suatu konsep konvensi dari etika jurnalis Indonesia yaitu “tiap wartawan Indonesia berkewajiban bekerja bagi kepentingan Tanah Air dan Bangsa, dengan senantiasa mengingat akan persatuan bangsa dan kedaulatan negara”. Namun hingga munculnya kasus Asa Bafagih, dunia pers Indonesia tidak mengenal secara formal apa yang kini dinamakan Kode Etik Jurnalistik.

Pers Indonesia sejak awal kemerdekaan sudah dikenal dengan menjaga keras prinsip independensi dari pers terutama dalam hal hubungan pers dengan pemerintah . Dalam hal demikian Mr. Sumanang saat itu menggariskan sikapnya “Tentang perhubungan dengan pemerintah, Janganlah kita terlampau gampang meminta, meskipun kepada pemerintah kita sendiri. Kita harus merasa puas dengan usaha kita sendiri, yang kita atur sendiri pula. Selama kita masih bertenaga dan bernafas, janganlah pula minta pertolongan siapapun, supaya kita tetap bebas dalam menjalankan tugas kita.

Bahkan terkait dengan regulasi dalam bentuk UU Pers yang sedang digodok oleh BP KNIP, kalangan pers Indonesia telah menolak keras pengaturan apapun yang digodok melalui tangan negara. Salah satu pernyataan yang sangat terkenal adalah “kita lawan adanya sensor, kita tidak menyukai hukuman administrative, kita tidak senang dengan adanya pemberangusan. Dalam pada itu kita harus sanggup mengadakan pembatasan sendiri”.

1 Dalam bentuk lunak, maksudnya karena pada saat itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda memiliki hak

istimewa untuk membuang orang – orang Indonesia yang dianggap menganggu ketertiban umum kemanapun tanpa proses hukum

2

(8)

Kasus Asa Bafagih, kasus yang melibatkan Pemimpin Redaksi Harian Pemandangan itu menjadi titik tolak dimana kalangan pers Indonesia merasa perlu adanya Kode Etik yang mengatur etika profesi pers. Saat itu Harian Pemandangan membuat berita “Rencana Gaji Baru untuk Pegawai Negeri. Minimum Rp. 135 dan maksimum Rp. 2700.” Berita itu telah membuat Asa Bafagih berurusan dengan Kejaksaan Agung dan Harian Pemandangan menggunakan hak tolak untuk melindungi sumber berita yang meminta identitasnya dirahasiakan3. Tak hanya sekali itu Asa Bafagih berurusan dengan Kejaksaan, di saat lain, Harian Pemandangan juga berurusan dengan Kejaksaan karena pada 18 Maret 1953 menerbitkan berita “21 Perusahaan Industri Dimana Menurut Rencana Modal Asing Baru Dapat Diusahakan”. Kejaksaan memeriksa Asa Bafagih karena ada surat dari PM Wilopo yang meminta Jaksa Agung untuk memeriksa Asa Bafagih karena berita tersebut dikualifikasi sebagai perbuatan yang melanggar delik pers. Kalangan pers Indonesia meradang dan mendesak pemerintah agar menghentikan penuntutan terhadap Asa Bafagih karena hak tolak dijamin sepenuhnya dalam kode etik jurnalistik4.

Sejak peristiwa itu, kalangan pers Indonesia merasa perlu adanya pengaturan diri sendiri dalam bentuk Kode Etik Jurnalistik. Kita tidak boleh lupa peran Suardi Tasrif, SH sebagai orang yang merumuskan untuk pertama kalinya Kode Etik Jurnalistik dan kemudian mendapatkan pengesahan pada Kongres PWI VIII di Medan pada 31 Desember – 2 November 1955. Sejak saat itulah kalangan pers Indonesia secara formal mengenal Kode Etik Jurnalistik.

Sengketa pers dari masa ke masa

Sejarah sengketa pers Indonesia pada masa kemerdekaan hingga masa Orde Baru usai dipenuhi dengan maraknya pembreidelan atau penutupan pers. Setelah kemerdekaan diproklamasikan, tercatat breidel pertama telah dilakukan terutama pada 1948 ketika peristiwa politik di Madiun bergolak, di masa penuh konflik inilah untuk pertama kalinya terjadi pemberedelan koran dalam sejarah pers RI. Tercatat beberapa koran dari pihak FDR seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota telah dibreidel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengeritik pihaknya (http://bit.ly/LKFihu).

Tindakan breidel tersebut dari sisi hukum tentu ada landasan hukumnya, karena ketentuan yang tertuang dalam Persbreidel Ordonnantie masih terus dipakai dan secara formal baru diganti pada 1954. Pada 14 September 1956, Kepala Staf Angkatan Darat, selaku Penguasa Militer, mengeluarkan peraturan No. PKM/001/0/1956 dimana Pasal 1 peraturan ini menegaskan larangan untuk mencetak, menerbitkan dan menyebarkan serta memiliki tulisan, gambar, klise atau lukisan yang memuat atau mengandung kecaman atau penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Larangan itu juga berlaku bagi tulisan dan gambar yang dinilai mengandung perenyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan. Mengikuti penerapan situasi darurat perang (SOB), Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1 Oktober 1958. Pembredelan pers di era Soekarno banyak terjadi setelah pemberlakuan SOB, 14 Maret 1957, termasuk penahanan sejumlah wartawan. Aturan soal ijin terbit bagi harian dan majalah kemudian dipertegas dengan Penetapan Presiden No.6 Tahun 1963 tentang Pembinaan Pers (http://bit.ly/LeXYHj). Namun, sayang karena dokumentasi tidak memadai, tidak dapat diketahui apakah pada saat itu ada Pemimpin Redaksi yang diajukan ke Pengadilan sebagai Terdakwa.

Pada masa Orde Baru, ketentuan Penetapan Presiden No.6 Tahun 1963 tentang Pembinaan Pers dicabut dan diberlakukan UU No 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan –

3

Saat itu Kementerian Urusan Pegawai menyatakan bahwa berita itu tersmasuk Pembocoran Rahasia Negara”

(9)

Ketentuan Pokok Pers (http://bit.ly/NpFDIV) yang kemudian diamandemen melalui UU No 4 Tahun 1967 (http://bit.ly/MuTZ7y) dan diamandemen kembali UU No 21 Tahun 1982 (http://bit.ly/KGnyRA). Pemerintah Orde Baru juga menyatakan tidak berlakuknya Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 (http://bit.ly/MEc4wS) tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum sepanjang menyangkut ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala.

Namun, meski ada jaminan tidak pembreidelan dalam UU Pokok Pers saat itu, ternyata kenyataan yang terjadi jauh dari situasi ideal yang diharapkan oleh UU Pokok Pers tersebut5. Kasus pertama kali sejak munculnya UU No 11 Tahun 1966 adalah Kasus yang menyeret HB Jassin, Pemimpin Redaksi Majalah Sastra yang menerbitkan Cerpen berjudul “Langit Makin Mendung” pada Agustus 1968. Kasus ini mencuat karena munculnya protes dari kalangan Islam dan dianggap sebagai penodaan terhadap agama Islam. HB Jassin sendiri karena menolak mengungkap identitas sebenarnya dari Ki Pandji Kusmin akhirnya dihadapkan di Pengadilan karena didakwa melanggar Pasal 156a KUHP dan dijatuhi hukuman penjara 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun (Lihat http://bit.ly/KM9ap4 ; Lihat http://bit.ly/LKGiSx)6.

Pada 1972, majah Sendi terjerat delik pers karena dianggap menghina Kepala Negara dan keluarganya. Ijinnya dicabut dan Pemimpin Redaksinya dituntut ke Pengadilan. Pada 1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen. Pada 1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah “menjurus ke arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional; menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan negara; menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan makar”. Pemberangusan terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitan dengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden. Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta (Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore) dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon, kepada pemimpin nasional (Soeharto). Pada 1982 Majalah Tempo ditutup untuk sementara waktu, ketika menulis peristiwa kerusuhan kampanye pemilu di Lapangan Banteng. Koran Jurnal Ekuin, dilarang terbit pada Maret 1983 oleh Kopkamtib akibat menyiarkan berita penurunan patokan harga ekspor minyak Indonesia yang merupakan informasi off the record. Pada 1984 majalah Expo setelah memuat serial tulisan mengenai Seratus Milyader Indonesia. Tulisan tersebut dinilai telah “melakukan penyimpangan terhadap ketentuan perundangan yang mengatur manajemen penerbitan pers”. Pada 14 Februari 1984 majalah Topik akibat menulis editorial Mencari Golongan Miskin dan menurunkan wawancara imajiner dengan Presiden Soeharto berjudul Eben menemui Pak Harto. Tulisan pertama dinilai “cenderung beraliran ekstrim kiri dan ingin mengobarkan pertentang kelas”, sedangkan tulisan kedua dianggap “bernada sinis, insinuatif dan tidak mencerminkan pers bebas dan bertanggungjawab.” Mei 1984, majalah Fokus dilarang terbit dan dicabut SIT-nya setelah menurunkan tulisan yang dianggap dapat mempertajam prasangka sosial. Berikutnya, pada 9 Oktober 1986, koran Sinar Harapan dilarang terbit Deretan pembredelanitu terus berlanjut dengan korban koran Prioritas, tabloid Monitor, majalah Senang, hingga pada 21 Juni 1994 ketika pemerintah membunuh Tempo, Editor dan Detik. (http://bit.ly/LKFihu)

5

Meski UU No 11 Tahun 1966 dan perubahannya dalam UU No 4 Tahun 1967 tidak lagi mengenal perijinan, namun perijinan pers masih diberlakukan dalam konteks transisi sambil dicabutnya ketentuan perijinan tersebut. Namun melalui UU No 21 Tahun 1982 Pemerintah dan DPR memperkenalkan instrumen SIUPP 6

(10)

Berpegang pada Etika, Meneguhkan Kemerdekaan Pers

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, maka yang dapat dikategorikan pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia

Secara khusus sebuah lembaga sosial dan wahama komunikasi massa di Indonesia untuk dapat masuk dalam kategori pers sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers maka kegiatan jurnalistik tersebut harus diselenggarakan oleh sebuah Perusahaan Pers sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 jo Pasal 9 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Selain itu, secara implisit UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menekankan pentingnya kegiatan jurnalistik yang diselenggarakan oleh Perusahaan Pers mematuhi Kode Etik Jurnalistik sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1 angka 4 jo Pasal 7 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan juga dapat ditemukan dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 yang pada pokoknya menyatakan, “Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik serta sesuaidengan hati nurani insan pers”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menekankan setidaknya 6 fungsi pers yaitu: (1) media informasi (2) media pendidikan, (3) media hiburan, (5) kontrol sosial dan (6) lembaga ekonomi.

Pers yang profesional bukanlah pers yang tidak salah, akan tetapi pers yang mau mengakui kesalahan terhadap karya jurnalistik yang dihasilkannya. Kemerdekaan pers harus ditanamkan sebagai bukan milik dari jurnalis, perusahaan pers, organisasi perusahaan pers, apalagi organisasi jurnalis, akan tetapi kemerdekaan pers sesungguhnya adalah milik pembaca, penonton, dan pendengar. Kemerdekaan pers bukan untuk menjamin jurnalis dan perusahaan pers tidak dipenjara atau digugat tapi untuk semata – mata untuk menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi.

Untuk itu, penting bagi setiap insan pers untuk memegang teguh Kode Etik Jurnalistik dan juga pelayanan terhadap Hak Jawab untuk dapat dinyatakan sebagai pers yang profesional. Selain itu penting juga memahami dengan baik Kode Etik Jurnalistik dan juga Hak Jawab sebagai “alasan pembenar” dalam menyelesaikan sengketa di Pengadilan.

(11)

keadilan serta hati nurani masyrakat dan bangsa. Selain Mahkamah Agung menyatakan dengan tegas bahwa fungsi kebebasan pers menyampaikan kritik dan koreksi, dihubungkan dengan tanggung jawab pemberitaan dan ulasan yang dikemukakan pers mka kepada masyarakat diberikan hak jawab. Dimana tujuan pemberian hak jawab adalah agar kebebasan pers disatunafaskan dengan tanggung jawab pers.

Mengenai kebenaran atas suatu peristiwa Mahkamah Agung juga berpendapat bahwa kebenaran yang diberitakan oleh pers merupakan suatu kebenaran yang elusive yang berarti sukar dipegang kebenarannya, dimana kebenaran yang hendak diberitakan sering berada diantara pendapat dan pendirian seseorang dengan orang lain atau antara satu kelompok dengan kelompok lain. Oleh karena itu kebenaran yang elusive tidak mesti merupakan kebenaran absolut

Dalam penggunaan hak jawab, Mahkamah agung berpendapat bahwa apabila penggunaan hak jawab tersebut tidak digunakan, maka pemberitaan yang dilakukan oleh pers mengandung kebenaran atau paling tidak mempunyai nilai estimasi karena sudah dianggap memenuhi batas minimal investigasi reporting yaitu mencari, menemukan, dan menyelidiki sumber berita, sehinga paling tidak sudah terpenuhi pemberitaan yang konfirmatif.

Pendapat – pendapat ini, yang menekankan pentingnya kepatuhan terhadap Kode Etik Jurnalistik, Hak Jawab dan peran sentral dari Dewan Pers kemudian diikuti secara konsisten oleh MA dalam perkara – perkara perdata melalui Putusan No 903 K/

PDT/2005 (http://bit.ly/LQwbwv), Putusan PN Jakarta Pusat No

408/Pdt.G/2007/PN.JKT.PST (http://bit.ly/KriaoC), Putusan MA No 273 PK/PDT/2008 (http://bit.ly/LQwYhb), Putusan PN Jakarta Pusat No 253/PDT.G/2007/PN.JKT.PST (http://bit.ly/KMacRZ), Putusan PN Palu No 32/Pdt.G/2008/PN.PL jo Putusan MA No No.1171 K/Pdt/2011 (http://bit.ly/KMaokb), dan Putusan MA No 819 K/PDT/2006 (http://bit.ly/KGoBRB).

Sementara itu dalam perkara perdata pula, ketika pers tidak lagi memegang teguh Kode Etik Jurnalistik dan tidak mau melayani hak jawab, maka Pengadilan memandang telah terjadi perbuatan melawan hukum. Pandangan ini dianut setidaknya dalam perkara Irawan Santoso Vs. PT Forum Adil Mandiri dkk (http://bit.ly/MEdqHX). Mahkamah Agung berpendapat bahwa “Bahwa alasan- alasan kasasi I dan II tidak dapat dibenarkan, Judex Facti tidak salah menerapkan hukum, oleh karena Tergugat tidak melayani hak jawab dan tidak mengindahkan rekomendasi Dewan Pers, karena itu Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum”

Begitu juga dalam perkara pidana, Kasus Bambang Harymurti Vs. Negara Republik Indonesia (http://bit.ly/LQwbwv) dapat dipandang menjadi landmark decision dalam perkara pidana yang dihadapi oleh Pers, karena untuk pertama kalinya Mahkamah Agung membahas secara luas keterkaitan antara Kode Etik Jurnalistik dan HaK Jawab dalam konteks pertanggungjawaban pidana. Mahkamah Agung berpendapat bahwa perkara ini tidak bisa hanya dilihat dari sudut pandang ketentuan KUHP sementara tindakan yang dilakukan oleh terdakwa dilakukan berdasarkan UU Pers.

(12)

Mahkamah Agung juga menilai filosofi yang dianut dalam UU Pers telah menempatkan posisi pers nasional sebagai pilar keempat dalam negara demokrasi, meskipun demikian Mahkamah Agung juga menyatakan keharusan adanya improvisasi dalam menciptakan yurisprudensi agar perlindungan hukum terhadap insan pers dan sekaligus juga menempatkan UU Pers sebagai lex specialist karena diakui sendiri oleh Mahkamah Agung bahwa UU Pers belum mampu memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan pers terutama dalam hal adanya delik pers karena tidak adanya ketentuan pidana dalam UU Pers dan diberlakukan ketentuan KUHP. Mahkamah Agung juga menekankan pentingnya instrumen hukum dan kode etik pers untuk memastikan kehadiran pers bebas dan mencegah penyalahgunaan kebebasan pers.

Mahkamah Agung juga berpendapat bahwa tindakan penghukuman dalam bentuk pemidanaan tidak mengandung upaya penguatan pers bebas dan malah membahayakan pers bebas oleh karena itu tata cara yang diatur dalam UU Pers harus didahulukan daripada ketentuan hukum yang lain. Dalam kasus ini pula Mahkamah Agung meneguhkan kembali tentang upaya penggunaan hak jawab dan pemeriksaan melalui Dewan Pers sebagai upaya yang harus didahulukan dibandingkan melalui proses hukum karena cara ini dipandang oleh Mahkamah Agung sebagai sendi penyelesaian sengketa pers dalam hal pemulihan cedera akibat adanya pemberitaan yang keliru. Mengenai unsur melawan hukum, Mahkamah Agung berpendapat bahwa unsur melawan hukum dalam pemberitaan pers tidak dapat digunakan ukuran unsur melawan hukum sebagaimana yang terdapat dalam KUHP semata karena berkaitan dengan UU Pers.

Dalam perkara pidana yang lain menarik untuk melihat bagaimana MA memandang peran penting antara keterkaitan Kode Etik Jurnalistik dan Hak Jawab. Dalam perkara Joppie H.E. Worek Vs. Negara Republik Indonesia (http://bit.ly/Lf4vlu), MA berpandangan “Terdakwa sebagai Pemimpin Redaksi Harian Telegraf memikul tanggung jawab pekerjaan yang dilakukan oleh para wartawan yang meliput pemberitaan; Saksi Bupati Minahasa telah menggunakan hak jawab yang disampaikan oleh Sekretaris Daerah tanggal 26 Januari 2001 dan telah dimuat di dalam harian yang sama pada tanggal 29 Januari 2001; Bahwa Terdakwa selaku Pemimpin Redaksi Harian Telegraf setelah tanggal 29 Januari 2001, masih memuat pemberitaan tersebut yang terakhir pada tanggal 31 Januari 2001 tanpa pernah melakukan ” koreksi ” terhadap apa yang telah dikemukakan di dalam hak jawab, karena itu perbuatan Terdakwa telah selesai; Dari fakta-fakta yang terungkap dipersidangan Terdakwa atau wartawan lainnya tidak melakukan ” both Side Cover ” di dalam investigasi dan pengumpulan berita, karena itu Terdakwa dapat dipandang sebagai telah melakukan pelanggaran kode etik pers

Penutup

Dari keseluruhan pemaparan diatas terlihat bagaimana peran penting dari Kode Etik Jurnalistik, pelayanan terhadap hak jawab dan juga peran sentral dari Dewan Pers. Begitu pentingnya peran Dewan Pers maka Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan SEMA No 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli (http://bit.ly/K798Zc). Melalui SEMA No 13 Tahun 2008 ini, Mahkamah Agung berharap agar dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers, hendaknya majelis mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktek.

Referensi

Dokumen terkait

Apabila t-hitung lebih besar pada t-tabel (t-hit > t-tab) maka dinyatakan terjadi hubungan secara signifikan. Hasil pengujian VAR ditunjukkan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil

Hasil kajian dari tiga budaya meliputi (1) tradisi sedekah laut di Teleng Ria Pacitan, (2) Reog Ponorogo, dan (3) seni bela diri di Madiun menunjukkan adanya nilai kearifan lokal

Tak jarang pula profesi ini juga mengalami pasang surut popularitasnya, di saat orang mulai bosan dengan keindahan sosok Sinden yang sebelumnya maka para

Di sini baik polisi mau pun penegak hukum dalam menghadapi pengaduan terhadap para pekerja pers dan media perlu menyadari hukum yang digunakan dalam menghadapi persengketaan

Pada kesempatan kali ini pemate ri yang ikut mengisi adalah para senior dan tokoh pers dipandu oleh mo de­ rator Subekti diantaranya Imam Wah­ yudi Ketua Ikatan Jurnalis Te lev isi

Tata busana tari Wayang karya Raden Ono Lesmana Kartadikusumah memilki ciri khas sendiri, ciri khas tersebut dapat kita analisis dari hasil penelitian dari segi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada kumpulan puisi Kloset, dari Cengkeh sampai Utrecht karya Rieke Diah Pitaloka ditemukan 29 puisi yang memakai gaya bahasa

Nazaruddin, M.HI NIP... Nazaruddin,