NILAI ISLAM DALAM BUDAYA MASANGIN DI ALUN-ALUN KIDUL KRATON YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)
Oleh : Muji Cahyani NIM : A02211068
FAKULTAS ADAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN AMPEL ISLAM
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “ Nilai Islam Dalam Budaya Masangin Di Alun – Alun Kidul Kraton Yogyakarta” Skripsi ini menfokuskan tentang 1. Bagaimna latar belakang munculnya budaya Masangin alun-alun kidul Kraton Yogyakarta? 2. Bagaimana prosesi dalam budaya Masangin di alun-alun kidul Kraton Yogyakarta?. Selanjutnya dibahas tentang, 3. Bagaimana nilai islam dalam budaya masangin?.
Adapun pendekatan dan kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan antropologi dan teori tindakan dengan observasi lapangan dan wawancara yang dilakukan secara langsung. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode etnografi.
ABSTRACT
This thesis entitled "Cultural Values of Islam In Masangin In Alun - Alun Kidul in Yogyakarta Kraton" This thesis focuses on How Masangin cultural background of the square kidul the Kraton? 2. How does the cultural procession on the square Masangin kidul the Kraton ?. Further discussed, 3. How Islamic values in the culture Masangin ?
The approach and theoretical framework used in this study is the anthropological approach and theory of action with field observations and interviews were conducted in person. While the method used is the method of ethnography.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
TRANSLITERASI ... v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Kegunaan Penelitian ... 5
E. Pendekatan dan Kerangka Teoretik ... 5
F. Penelitian Terdahulu ... 8
G. Metode Penelitian ... 9
H. Sistematika Bahasan ... 13
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KRATON YOGYAKARTA A. Sejarah dan SusunanPemerintahanKerajaan ... 15
B. Kondisi Geografis ... 19
C. Kondisi Sosial Masyarakat ... 22
1. Setruktur Sosial Masyarakat ... 22
3. Kondisi Sosial Ekonomi ... 30
4. Kondisi Pendidikan ... 31
BAB III BUDAYA MASANGIN DI ALUN-ALUN KIDUL KRATON YOGYAKARTA A. Munculnya Budaya Masangin ... 36
B. Simbol Budaya Masangin ... 38
1. Lokalisasi/Setting ... 38
2. Peralatan Dalam Laku Budaya Masangin ... 44
C. Prosesi Budaya Masangin ... 46
BAB IV NILAI ISLAM DALAM BUDAYA MASANGIN A. Nilai islam dalam budaya masangin ... 49
B. Pemaknaan BudayaMasangin ... 53
1. PenyewaKacu ... 53
2. Pihak Kraton Yogyakarta ... 55
C. Dampak Diadakan Budaya Masangin ... 58
1. Aspek Ekonomi ... 58
2. Aspek Sosial ... 60
3. Aspek Agama ... 61
D. Respon masyarakat dan pihak Kraton Yogyakarta Terhadap Pelaksanaan BudayaMasangin ... 62
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 64
B. Saran ... 65
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Penduduk Laki-laki Menurut Golongan Umur ... 21
2 Penduduk Perempuan Menurut Golongan Umur ... 22
3 Jenis Pekerjaan Masyarakat Kraton ……….. 30
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Isi kebudayaan di dunia ini meliputi tujuh unsur kebudayaan universal
yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem
pengetahuan, religi dan kesenian. Ketujuh unsur kebudayaan ini merupakan
isi dari kebudayaan yang mewarnai seluruh kebudayaan di dunia baik
kebudayaan yang sudah maju maupun kebudayaan yang masih bersifat
sederhana. 1
Masyarakat Jawa memiliki kebudayaan khas dimana dalam sistem
budayanya menggunakan simbol-simbol sebagai sarana atau media untuk
menyampaikan pesan. Hal ini juga diperkuat bahwa budaya itu sendiri
sebagai hasil tingkah laku atau kreasi manusia, memerlukan alat pengantar
untuk menyampaikan maksud. Media budaya itu dapat berupa bahasa, benda,
warna, suara, tindakan yang merupakan simbol-simbol budaya.2
Sebagai salah satu contoh adalah budaya Masangin di alun-alun
kidul, Kraton Yogyakarta yang hingga saat ini masih dijaga
kelestariannya. Budaya Masangin penuh dengan simbol-simbol yang
menitipkan suatu pesan di dalamnya. Untuk mengetahui makna simbol dalam
1
Koentjaraningrat, Pengantar ilmu Antropologi ( Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002 ),180.
2
2
budaya Masangin digunakan sudut pandang simbolik. Dengan menggunakan
perspektif simbolik ini maka peneliti berusaha menggali makna yang
tersembunyi pada simbol-simbol yang digunakan dalam melakukan budaya
Masangin. Simbol yang sudah ada sejak budaya tersebut pertama kali
diselenggarakan.
Berawal dari kepercayaan masyarakat Yogyakarta tentang budaya
Masangin adalah berhubungan dengan orang yang berhasil melewati kedua
pohon beringin di tengah alun-alun kidul dengan menutup mata, berarti orang
itu memiliki hati yang bersih dan apabila dia berdoa dalam Masanginnya,
akan dipermudah dalam meraih cita-citanya. Secara logis akal peneliti,
pelaku budaya Masangin yang menutup matanya diasumsikan tidak tahu atas
apa yang dikehendaki oleh Tuhan-Nya. Oleh karena itu, manusia hanya bisa
berusaha melalui segala cobaan hidup yang digambarkan kesulitan mencapai
celah diantara dua pohon tersebut. Dalam hal ini, orang yang memiliki
keyakinan terhadap dirinya sendiri cenderung tidak mudah terpengaruh oleh
berbagai hambatan, termasuk gelap dan keragu-raguan. Dalam kehidupan
nyata, mereka adalah orang yang mampu mewujudkan cita-cita dan
harapannya.
Sebelum Masangin menjadi ikon yang menjadi ikon alun-alun kidul
adalah gajah. Keberadaan gajah pada waktu itu ternyata mampu menjadi
3
menjadi ‘ladang basah’ bagi bekerjanya sektor ekonomi. Dengan pemindahan
binatang prasejarah ini ke lokasi lain, tentu saja orang-orang yang
diuntungkan sebelumnya merasa terancam kering pangan. Dan momentum
itulah yang lantas digunakan oleh mereka ini untuk mereproduksi ulang
budaya yang ada dengan menciptakan mitos Masangin. Masangin dalam hal
ini dapat dikatakan produk dari reproduksi budaya. Masyarakat setempat
dalam hal ini berperan penting membangun sebuah kepercayaan
mikrokosmos.
Bagi peneliti, yang menarik untuk dikaji dari budaya Masangin ini
adalah terkait dengan Simbol yang dijadikan oleh masyarakat Yogyakarta,
yakni kepercayaan masyarakat Yogyakarta tentang orang yang berhasil
melewati kedua Pohon Beringin tersebut dengan menutup mata, maka akan
dipermudah dalam meraih cita-citanya. Kepercayaan ini terus berkembang
hingga menarik perhatian wisatawan.
Berangkat dari hal di atas, peneliti mengangkat tema Nilai Islam
Dalam Budaya Masangin di Alun-alun kidul, Kraton Yogyakarta ini
diharapkan bisa memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas mengenai
kebudayaan yang mungkin kurang dijadikan perhatian secara khusus oleh
sebagian besar masyarakatnya dan menjadikan sebagai sarana untuk
diadakannya komunikasi antar masyarakat agar bisa tetap melestarikan
4
sedikit kemudian hilang karena adanya pergeseran perkembangan zaman.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang munculnya budaya Masangin di alun-alun
kidul, Kraton Yogyakarta?
2. Bagaimana prosesi budaya Masangin di alun-alun kidul, Kraton
Yogyakarta?
3. Bagaimana nilai islam dan respon antara masyarakat dan pihak Kraton
Yogyakarta terhadap budaya Masangin di alun-alun kidul?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui latar belakang munculnya budaya Masangin di
alun-alun kidul, Kraton Yogyakarta
2. Untuk mendiskripsikan dan mengetahui prosesi budaya Masangin di alun-
alun kidul Yogyakarta
3. Untuk memahami niali islam dalam budaya Masangin serta pemaknaan
masyarakat dan pihak Kraton Yogyakarta terhadap budaya Masangin di
5
D. Kegunaan Penelitian
Adapun hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan seperti berikut :
1. Bidang Akademis :
Pengembangan dalam bidang Sejarah Dan Kebudayaan Islam Di Fakultas
Adab Dan Humaniora Universitas Islam Negri Sunan Ampel, Surabaya.
2. Bidang Praktis
Dengan adanya penelitian tentang Nilai Islam Dalam Budaya Masangin
Di Alun-alun kidul, Kraton Yogyakarta ini, diharapkan sebagai bahan
bacaan yang bermanfaat. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat
memperluas cakrawala kita tentang wacana sejarah dan kebudayaan
Indonesia.
E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik
Dalam penelitian fenomena budaya yang ada di masyarakat
dibutuhkan sebuah pendekatan atau langkah. Hal tersebut bertujuan untuk
mempermudah peneliti dalam mengarahkan bagaimana data dapat diambil
dan didiskripsikan. Pendekatan akan memberikan arah pada peneliti agar
penelitian yang dihasilkan berkualitas.
Peneliti menggunakan pendekatan antropologi. Antropologi adalah
ilmu yang mempelajari makhluk anthropos atau manusia, merupakan suatu
6
masalah-masalah khusus mengenai makhluk manusia.3Pendekatan Anropologi
mengungkapkan nilai-nilai yang mendasari prilaku tokoh sejarah, status dan
gaya hidup, sistem kepercayaan yang mendasari pola hidup. Pendekatan
antropologi merupakan salah satu upaya memahami agama dengan cara
melihat wujud praktek yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.4
Wujud praktek yang dimaksudkan di sini adalah tentang orang yang akan
melakukan budaya Masangin di alun-alun kidul dengan ditutup matanya
dengan kain hitam, lalu berjalan ke arah celah di antara kedua pohon beringin.
Selain menggunakan pendekatan antropologi pada penelitian ini juga
menggunakan pendekatan sosiologi. Pendekatan sosiologi meneropong dari
segi-segi sosial peristiwa yang dikaji, umpanya golongan sosial mana yang
berperan, serta nilai-nilainya hubungan dengan golongan lain, konflik
berdasarkan kepentingan, ideologi (kepercayaan) dan lain sebagainya.5
Pendekatan sosiologi yang digunakan dari segi kepercayaan. Yaitu
kepercayaan masyarakat kraton dengan adanya budaya Masangin yang
memiliki mitos siapapun yang bisa melewati dua pohon beringin maka
cita-citanya akan segera terpenuhi.
Sedangkan Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
tindakan. Teori tindakan adalah suatu tindakan berdasarkan pengalaman,
3
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UI Press, 1987), 1.
4
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2000), 35.
5
7
pemahaman dan penafsiran atas suatu objek stimulus atau situasi tertentu.
Tindakan itu merupakan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang menuntut
dan mengatur sesuatu prilaku. Kondisi objektif disatukan dengan komitmen
kolektif terhadap suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk tindakan
sosial tertentu. Tindakan tersebut bisa dipengaruhi oleh sistem sosial, sistem
budaya dan sistem kepribadian dari masing-masing individu.6 Dari teori ini,
peneliti kemudian mencoba mendeskripsikan makna budaya Masangin di
alun-alun kidul, Kraton Yogyakarta.
Sesungguhnya, sebelum Masangin menjadi ikon, yang menjadi ikon
alun-alun kidul adalah gajah. Keberadaan gajah pada waktu itu ternyata
mampu menjadi magnet bagi wisatawan untuk datang ke alun-alun kidul. Dari
situ artinya menjadi ‘ladang basah’ bagi bekerjanya sektor ekonomi. Dengan
pemindahan binatang prasejarah ini ke lokasi lain, tentu saja orang-orang yang
diuntungkan sebelumnya merasa terancam kering pangan. Dan momentum
itulah yang lantas digunakan oleh mereka ini untuk mereproduksi ulang
budaya yang ada yakni mitos Masangin. Masangin dalam hal ini dapat
dikatakan produk dari reproduksi budaya. Masyarakat setempat dalam hal ini
berperan penting membangun sebuah kepercayaan mikrokosmos.
6
8
F. Penelitian Terdahulu
Mengenai kajian tentang tradisi atau budaya Jawa sudah banyak yang
menulis, akan tetapi, kajian yang membahas secara khusus tentang budaya
Masangin di alun-alun kidul, Kraton Yogyakarta ini belum ada yang
membahasnya. Namun ada beberapa karya tulis yang berhubungan topik ini
yang peneliti temukan. Ada pun karya tulis tersebut antara lain :
1. Prespektif Upacara Tradisional Sekatendi Yogyakarta (Studi Kajian
Dalam Akulturasi Budaya Jawa dan Isalam). Yang ditulis oleh H.Siti
Achlah Fakulas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 1998.
Pembahasan mengenai latar belakang timbunya Tradisi Sekaten dan
perkembangan tradisi Sekaten serta gambaran umum masyarakat kraton
Yogyakarta. Metode kajian yang digunakan adalah wawancara dan
observasi serta metode komparatif yaitu perbandingan data dengan dengan
sesuatu diluara data untuk mengambil kesimpualan tentang tradisi
Sekaten. Hasil penelitian ini dapat member informasi dan pemahaman
tentang masyarakat Kraton Yogyakarta.
2. Upacara Pernikahan Adat Jawa tentang analisis simbol untuk memahami
Pandangan Hidup Orang Jawa. Yang ditulis oleh Puji Wiyandari fakultas
adab IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2004. Membahas tentang
makna-makna simbol yang ada dalam prosesi upacara pernikahan di
Karang Talun, Imogiri, bantul dengan menekankan pada keunikan adanya
9
penelitian ini juga memberikan pemahaman tetang simbol-simbol yang
ada pada tradisi masyrakat Yogyakarta.
3. Kebudayaan Jawa karangan Koentjaraningrat. Buku ini membahas tentang
seluruh aspek yang ada dalam kebudayaan jawa, mulai dari sejarah, sistem
kemasyarakatan, ekonomi, politik, religi, upacara, kesenian, dan
kesusatraan.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya karena dalam
penelitian terdahulu sebagian besar membahas prosesi dalam kebudayaan
Jawa serta nila-nilai Islam di dalamnya. Sedangkan dalam penelitian ini
membahas tentang nilai islam yang terkandung dalam budaya Masangin dan
terfokus kepada simbol-simbolnya. Untuk mengetahui makna simbol dalam
budaya Masangin digunakan sudut pandang simbolik. Dengan menggunakan
perspektif simbolik ini maka peneliti berusaha menggali makna yang
tersembunyi pada simbol-simbol yang digunakan dalam melakukan budaya
Masangin. Baik itu simbol yang sudah ada sejak budaya tersebut pertama
kali diselenggarakan, maupun simbol-simbol tambahan guna mendukung
semaraknya budaya Masangin.
G. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode etnografi.
10
menggambarkan). Etnografi merupakan ragam pemaparan penelitian budaya
untuk memehami cara orang-orang berinteraksi dan bekerja sama melalui
fenomena teramati dalam kehidupan sehari-hari. Etnografi bertujuan untuk
menguraikan budaya tertentu secara holistic, yaitu aspek budaya aspek
spiritual maupun material. Dari sini akan terungkap sudut pandang hidup dari
sudut pandang penduduk setempat.7 Adapun langkah-langkah yang dilakukan
adalah sebagai berikut.
1. Heuristik
Heuristik atau pengumpulan sumber adalah suatu proses yang
dilakukan oleh peneliti untuk menyimpulkan sumber-sumber, data-data,
atau jejak sejarah. Maka heuristik adalah mencari dan menemukan
data-data yang diperlukan.8
a. Jenis Data
Jenis data yang akan dikumpulkan adalah jenis data primer dan
sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari informan
dengan menggunakan wawancara dan pengamatan. Dalam tulisan ini,
informan tersebut terdiri dari penyewa kacu, beberapa orang abdi
dalem Kraton Yogyakarta dan wisatawan. Sedangkan data sekunder
adalah data yang diperoleh dari dokumentasi dan bacaan lainnya yang
7
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan (Yogyaakarta: Gajah Mada University Press, 2006), 50.
8
11
berkaitan dengan masalah yang diteliti. Data-data ini biasa berupa
buku-buku yang ada kaitannya dengan judul yang akan dibahas.
b. Pengamatan Terlibat (Participant Observation)
Pengamatan langsung dilakukan untuk memperoleh fakta nyata
tentang budaya Maasangin, kemudian dilakukan pencatatan lapangan
yang meliputi prosesi, perlengkapan dan tempat penyelenggaraan
budayanya. Agar terpenuhinya standar ilmiah maka peneliti harus ikut
berpartisipasi dalam prosesi budaya tersebut dan ikut andil di
dalamnya sebagai pelaku budayanya.9
c. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk memperoleh data primer karena data ini
diperoleh langsung dari pelaku budayanya. Adapun pelaku budaya itu
adalah penyewa kacu, beberapa orang abdi dalem Kraton Yogyakarta
dan wisatawan yang terlibat di dalam laku Masangin
d. Dokumentasi
Peneliti melakukan dokumentasi yaitu pengumpulan data-data yang
ada dengan menggunakan alat-alat dokumentasi seperti kamera dan
rekorder. Yaitu dengan mengambil foto-foto saat pelaksanaan budaya
Masangin dan aktivitas masyarakatnya di alun-alun kidul, Kraton
Yogyakarta.
e. Penelusuran Pustaka
9
12
Peneliti juga akan mengumpulkan dan mengkaji data-data dari sumber
bertulis untuk memperkuat data yang diperoleh di lapangan.
Sumber-sumber tersebut diperoleh dari kelurahan yaitu data-data tentang
kependudukan dalam membantu mengetahui kondisi geografis,
ekonomi, agama dan sosial kultur masyarakat.
2. Kritik Sumber
Kritik sumber dilakukan terhadap sumber-sumber yang diperoleh,
kritik ini menyangkut vertivikasi sember yaitu pengujian mengenai
kebenaran atau ketepatan (akurasi) dari sumber itu. Merupakan cara-cara
menguji rumusan kaidah-kaidah atau memperkuat “ pengertian” yang
telah dicapai.10 Dalam metode sejarah dikenal dengan cara melakukan
kritik eksteren dan kritik interen. Kritik eksteren yaitu proses untuk
melihat apakah sumber yang didapatkan autentik atau tidak, sedangkan
kritik interen adalah upaya yang dilakukan untuk melihat apakah isi
sumber tersebut kredibel atau tidak.
3. Interpretasi atau Penafsiran
Data yang terkumpul bukanlah merupakan hasil akhir dari suatu
penelitian ilmiah, tetapi data-data tersebut masih perlu dianalisis lagi.
Dalam hal ini, peneliti menggunakan sudut pandang simbolik untuk
menghubungkan sistem kognitif dengan sistem nilai, yaitu kaitan antara
bagaimana menerjemahkan sistem pengetahuan dan makna menjadi sistem
10
13
nilai atau menerjemahkan sistem nilai menjadi sistem pengetahuan dan
makna.
Kebudayaan pada intinya terdiri dari tiga hal utama, yaitu sistem
pengetahuan (kognitif), sistem nilai (evaluatif) dan sistem simbol yang
memungkinkan pemaknaan dan interpretasi. Adapun titik pertemuan
antara pengetahuan dan nilai yang dimungkinkan oleh simbol adalah yang
dinamakan makna (system of meaning). Dengan demikian, melalui sistem
makna sebagai perantara, sebuah simbol dapat menerjemahkan
pengetahuan menjadi nilai dan menerjemahkan nilai menjadi
pengetahuan.11
4. Histografi
Histografi adalah proses akhir dari pengerjaan skripsi. Setelah langkah
operasional dilakukan maka, hasil penelitian ini ditulis berdasarkan fakta
dan data yang diperoleh selama penelitian.12
H. Sistematika Pembahasan
Pembahasan yang akan dikemukan dalam proses penulisan skripsi ini
dibagi dalam 5 bab yakni :
Bab I Pendahuluan. Bab ini bertujuan untuk mengantarkan secara
sekilas, segala sesuatu yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini di
antaranya Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
11
Nur Syam, Madzhab-Madzhab Antropologi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2007), 92.
12
14
Kegunaan Penelitian, Pendekatan dan Kerangka Teoretik, Penelitian
Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Bahasan.
Bab II gambaran Umum Masyarakat Kraton Yogyakarta.Sebagai
langkah awal memasuki pembahasan dalam bab ini, sejarah dan susunan
pemerintahan pada masa Mataram, kondisi geografis, kondisi sosial
masyarakat meliputi aspek setruktur sossial, keagamaan, ekonomi,
pendidikan dalam Kraton Yogyakarta.
Bab III Budaya Masangin Di Alun-alun kidul Kraton Yogyakarta.
Setelah mengetahui gambaran umum dari masyarakat Kraton Yogyakarta.
Pembahasan selanjutnya dalam bab ini. terkait dengan latar belakang
munculnya budaya Masangin, simbol budaya Masangin, serta prosesi
budaya Masangin.
Bab IV Nilai Islam dan Makna Budaya Masangin. Dalam bab ini akan
mendiskripsikan Nilai Isalam dan Pemaknaan Budaya Masangin menurut
penyewa kacung,pihak kraton dan para wisatawan. Kemudian dampak
diadakan budaya Masangin dari aspek sosial, hiburan ,ekonomi. Dan
selanjutnya respon masyarakat dan pihak Kraton Yogyakarta Terhadap
Pelaksanaan Budaya Masangin.
Bab V Penutup. Sebagai tanda diakhiri pembahasan skripsi, maka bab
ini berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan yang ada pada bab-bab
15
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KRATON YOGYAKARTA
A. Sejarah dan Susunan Pemerintahan Kerajaan Pada Masa Mataram
Kerajaan Mataram Islam, yang didirikan oleh panembahan senopati
pada tahun 1575, mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan
Agung, raja ketiga, memerintah pada tahun 1613 sampai dengan 1645. Pada
waktu itu wilayah kekuasaan kerajaan meliputi jawa Tengah, jawa Timur dan
sebagian dari jawa Barat. Namun dalam masa pemerintahan raja – raja yang
menggantikannya nampak adanya kemunduran.
Setelah perang Trunojoyo berakhir pada tahun 1678, Mataram harus
melepaskan daerah Krawang, sebagian dari daerah Priangan dan Semarang,
demikian pula setelah perlawanan Untung Surapati dapat dipadamkan sekitar
tahun 1705, daerah Cirebon yang juga mengakui kekuasaan mataram juga sisa
dari daerah priangan. Wilayah kerajaan makin menyempit setelah berakhirnya
perang giyanti pada tahun 1755, kerajaan Mataram dipecah menjadi dua
bagian, yaitu kerajaan Surakatra dan kerajaan Yogyakarta.13
Kraton Yogyakarta mulai didirikan oleh sultan Hamengku buwono I
beberapa bulan setelah perjanjian giyanti. Lokasi krtaton ini konon adalah
bekas sebuah pesanggrahan yang bernama Garjitawati. Pesangrahan ini
13
16
digunakan untuk istirahat iring–iringan jenazah raja–raja Mataram yang akan
di makamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi kraton merupakan
sebuah mata air, Umbul Pacethokan yang ada di tengan hutan Beringan.
Sebelum menempati kraton Yogyakarta, Sultan Hameng Kubuwono I berdiam
diri di Pasenggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah
kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.14
Dalam susunan pemerintahan kerajaan perlu dibedakan antra
pemerintah dalam istana dan pemerintahan luar istana. Untuk pemerintahan
dalam istana dibebankan pada empat orang Wedana Dalam (Wedana Lebet),
yaitu Wedana Gedong Kiwah,Wedana Gedong Tenggen , Wedana Keparak
Kiwa,dan Wedana Kerapak Tenggen. Ada jabatan Patih Lebet yang bertugas
mengkoordinasi tugas Wedana-wedana tersebut. Para Wedana Gedong di
tugaskan untuk mengurusi keuangan dan perbendaharaan istana, Sedangkan
Wedana Kerapak bertugas mengurusi kaprajuritan dan pengadilan.
Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 untuk wilayah Kasultanan
Yogyakarta pengurusannya diserahkan pada Wedana Bupati yang
berkedudukan di maospati, Madiun. Baik wilayah pasisiran Wetan ataupun
kilen masing-masing dikepalai oleh seorang Wedana Bupati. Wedana Bupati
pasisiran bertugas mengawasi dan mengkoordinasi Bupati–Bupati Kepala
Daerah yang ada di bawah juridiksinya. Selain memakai gelar Adipati atau
14
17
Tumenggung, penguasa–pengusa daerah Pasisiran juga ada yang memakai
gelar Kyai Demang atau Kiyai Ngabehi, terutama mereka yang menjabat
sebagai bupati. Untuk pemerintahan kota di Pasisiran biasanya di percayakan
pada seorang kepala yang bergelar Kiyai Lurah.
Selain jabatan–jabatan Kepala daerah tersebut. Masih banyak terdapat
jabatan–jabatan lainya baik tingkat tinngi, menengah maupun tingkat bawah,
yang diserahi tugas-tugas tersendiri dalam kerajaan. Pada masa Mataram
Kartasura, terdapat jabatan–jabatan yang di beri tugas khusus untuk
mengepalai golongan-golongan rakyat tertentu. Jabatan ini dipegang oleh
empat Tumenggung, iyalah Tumenggung yang mengepalai 6000 orang
kalang,15 Tumenggung yang membawahkan 1000 orang Gowong,
tumenggung dari 1200 orang Tuwaburu.16
Kemudian Tumenggung yang mengepalai 1400 orang Kadipaten.
Sebagai mana haknya pejabat daerah Kepala Daerah yang mempunyai staf
pegawai yang mengurusi tugas–tugas tertentu, para Tumenggung tersebut
juga dibantu oleh pejabat-pejabat bawahan. Pejabat keagamaan di dalam
Kerajaan Mataram disebut Abdi Dalem Pametakan atau Mutihan. Penghulu
istana dipandang sebagai penghulu Ageng (Penghulu Besar). Dalam
15
Orang Kalanng diberi tugas sebagai tukang kayu, pengangkut barang, kusir pedati dan sebagainya.
16
18
pandangan orang jawa ulama- ulama kraton ini mempunyai pengetahuan yang
mendalam mengenai soal – soal agama, juga di anggap orang yang kramat.
Perlu pula disebut jabatan penting dalam kraton iyalah jabatan
Pujangga. Pujangga ini dalah pejabat yang menpunyai keahlian dalam
berbagai bidang pengetahuan. Oleh raja ia diberi tugas menuli seluk –beluk
yang berhubungan dengan raja, kraton maupun kerajaan, seperti menyusun
syair mengenai peristiwa-peristiwa dalam kraton dll. Dalam bidang
pengadilan terdapat jabatan Jeksa. Di dalam siding pengadialan istana Jeksa
mengemukakan bukti–bukti kesalahan dari terdakwa (pesakitan) dan
mengajukan tuntutan–tuntutan. Untuk mengurusi penghasilan praja dilakukan
antara lain oleh pejabat Pemaosan dan Melandang. Pemaos mempunyai tugas
mengumpulkan pajak tanah, sedangkan Melandang bertugas mengurusi
pungutan hasil bumi yang di serahkan ke kraton.
Selain itu ada kelompok pekerja yang ditugaskan untuk membuat
barang–barang tertentu ataupun perlengkapan lain untuk keperluan istana.
Mereka adalam abdi dalem gending yang bertugas untuk membuat gamelan,
Kemas untuk membuat barang–barang perhiasan dari emas, Genjang pekerja
yang membuat barang–barang dari selaka, Gemblak sebagai pekrja yang
membuat barang dari kuningan, Sarawedi sebagai pengasah intan dan berlian.
Abdi dalem Pande yang di tugaskan membuat barang–barang dari besi,
19
dari batu, Undangi sebagai pembuat barang dari kayu dan Gerji sebagai
tukang jahit istana.
Disamping itu terdapat juga kelompok pekerja yang diberi tugas untuk
membersihkan complex istana inti (Lebet cepuri) iyalah abdi dalem Kemit
Bumi, sedang pekerja yang membersihkan komlekx di luarnya di tambah
tugas sebagai pengangkut barang adalah pekaerja gladang. Kelompok
pekerja-pekerja tersebut masing–masing dikepalai oleh pejabat yang biasanya
berpangkat Lurah dan pembantunya yang berpangkat Bekel.17
B. Kondisi Geografis
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan istana resmi kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di kota Yogyakarta. Kraton
adalah sebuah kecamatan di kota Yogyakarta, propinsi daerah istimewa
Yogyakarta. Keraton merupakan titik tengah antara utara dan selatan DIY.
Jika diambil garis tengah wilayah provinsi Yogyakarta, dari arah utara ke
selatan maka akan melewati Gunung Merapi, Monumen Yogya kembali,tugu
pal putih, kraton Yogyakarta, panggung pondok pesantren krapyak,dan
samudra hindia. Letak kraton sangat strategis, yaitu diantara dua lapangan
besar yang sering disebut Alun-Alun Utara (LOR) dan Alun-Alun Selatan
(Kidul).
17
20
Secara geografis Yogyakarta terletak di pulau Jawa bagian
Tengah.Kota Yogyakarta terletak antara 110̊ 24 ’19”- 110̊ 28’53” Bujur timur
dan 07̊ 15’24”- 07̊ 49’26” lintang selatan. Kota Yogyakarta terdapat 14
kecamatan, salah satunya adalah kecamatan Kraton.
Kecamatan kraton Yogyakarta, memiliki tiga kelurahan yaitu
kelurahan panembang, kelurahan kadipaten, dan kelurahan patehan dengan
jumlah 43 Rw dan 175 Rt. Sedangkan batas wilayah kecamatan kraton
sebagai berikut.
1. Sebelah Utara : Kecamatan Ngampilan Dan Kecamatan
Gondomanan
2. Sebelah Timur : Kecamatan Gondomanan Dan
Kecamatan Mergangsan
3. Sebelah Selatan : Kecamatan Mantrijeron
4. Sebelah Barat : Kecamatan Matrijeron Dan Kecamatan
Ngampilan.
Luas kraton mencapai 14.000 m2. Sedangkan luas wilayah kecamatan kraton
139.9375 Ha. Suhu maksimum 220C .tinggi pusat pemerintahan wilayah
kecamatan kraton kurang lebih 114.0 m dari permukaan laut.
Jumlah penduduk Kecamatan Kraton Yogyakarta sebanyak 24.273
21
penduduk 17.338 (jiwa/ km2). Jumlah penduduk laki sebanyak 11.890,
sedangkan jumlah penduduk perempuan sebanyak 12.383. Untuk lebih
lengkapnya, berkaitan dengan penduduk Kraton, dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.18
TABEL 1
Penduduk Laki – Laki Menurut Golongan Umur
NO KELOMPOK
22
TABEL 2
Penduduk Perempuan Menurut Golongan Umur
NO KELOMPOK
Sumber : data monografi dinamis kecamatan Kraton Yogyakarta 2014
C. Kondisi Sosial Masyarakat
1. Struktur Sosial Masyarakat
Suatu golongan sosial merupakan suatu kesatuan manusia yang
ditandai oleh ciri tertentu, bahkan seringkali ciri itu juga dikenakan kepada
mereka oleh pihak luar kalangan mereka sendiri.Walaupun demikian suatu
kesatuan manusia yang kita sebut golongan sosial itu mempunyai ikatan
23
yang dapat disebut golongan sosial yaitu lapisan atau kelas sosial. Seperti
halnya dikraton Yogyakarta yang terdapat beberapa lapisan masyarakat.19
Kraton Yogyakarta terkenal dengan budaya yang masih sangat
kental dengan nuansa budaya jawanya. Bahkan kraton bisa dibilang
merupakan pusat dari kebudayaan di jawa. Kesultanan Yogyakarta
khususnya wilayah kecamatan Kraton membagi penduduknya menjadi
tiga golongan yaitu golongan bangsawan yang terdiri dari keluarga Sultan,
priyayi, pegawai (Abdi Dalem) dan rakyat jelata (Kawula Dalem).
Anggota lapisan bangsawan memiliki hubungan kekerabatan dengan
Sultan yang pernah atau sedang memerintah.
a. Golongan Bangsawan
Keluarga kesultanan yang merupakan anggota lapisan
bangsawan menempati urutan puncak dalam sistem sosial. Anggota
lapisan bangsawan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan
yang pernah atau sedang memerintah. Termasuk dalam golongan ini
adalah Sultan, putra dalem, 20saudara dalem, cucu (wilayah dalem),
istri (garwo dalem ), dan menantu Sultan, mereka juga mendapat gelar
keningratan yang berbeda-beda.21
19
Ibid., 150.
20
Dalem merupakan sebutan bagi keturunan Sultan.
21
24
Priyayi merupakan lapisan kedua dari golongan pertama
(bangsawan). Sebagian dari golongan priyayi ada juga yang masih
kerabat Sultan, sebagian lagi adalah penggawa (kepala pasukan atau
hulu balang) Kraton yaitu abdi dalem dan para kepatihan yang
mendapat gelar keningratan sesuai dengan pangkatnya. Tugas priyayi
ini mengemban dawuh dalem (menjalankan perintah-perintah dari
sultan).22
b. Golongan pegawai (abdi dalem )
Abdi dalem adalah golongan yang sanggup menjadi pamong
atau pengurus Kraton Yogyakarta dan sudah mendapat ketetapan atau
kecancingan (surat keputusan atau surat pengukuhan yang dikeluarkan
oleh pihak kraton Yogyakarta). Abdi dalem terbagi dalam dua bagian
abdi dalem Panokawan yaitu orang–orang yang mendapat pengakuan
dari kraton,penggajian oleh kraton, dan seluruh tugas yang
dijalankanya adalah untuk Kraton. Sedangkan abdi dalem kaprajan
pengukuhan dan penggajianya adalah dari Negara RI dan mereka tidak
memiliki beban tugas dari Kraton.23 Urut – urutan kepangkatan dalam
Kraton Yogyakarta sebagai brikut:
1) Magang yaitu abdi dalem baru yang belum memakai keris.
2) Jajar yaitu abdi dalem yang sudah lima tahun mengabdi
22
Ibid., 33.
23
25
dan naik pangkat tapi belum memakai keris.
3) Bekel Anom yaitu abdi dalem yang telah naik pangkat dari
jajar dan sudah memakai keris .
4) Bekel Sepuh yaitu pangkat abdi dalem di atas Bekel anom.
5) Lurah
6) Wedono
7) Raden Bupati Anom
8) Bupati Anom bergelar KRT / KMT (Kanjeng Raden
Tumenggung Atau Kanjeng Mas Tumenggung).
9) Bupati (KRT).
10)Bupati Sepuh (KRT).
11)Bupati Kliwon (KRT).
12)Bupati Nayoko (KRT). Merupakan pangkat tertinggi dalam
jajaran abdi dalem kraton.
Dalam kepangkatan tertinggi ini (Bupati nayoko), kalau abdi
dalem tersebut telah menunjukkan loyalitas yang tinggi maka akan
dianugrahi gelar oleh Sri Sultan dengan pangkat KPH (Kanjeng
Pangeran Haryo). Merupakan gelar luar biasa bagi para abdi dalem
Kraton.
Pemberian gelar KRT atau Kanjeng Raden Tumenggung
26
dengan keluarga Kraton atau mereka yang mempunyai loyalitas dalam
masa penabdian. Sedangkan KMT atau Kanjeng Mas Tumenggung
diberikan kepada abdi dalem yang berasal dari kalangan masyarakat
awam. Kenaikan pangkat dari tiap–tiap kepangkatan di peroleh selama
masa lima tahun atau juga didasarkan pada prestasi yang di peroleh
abdi dalem.24
c. Rakyat jelata ( kawulo dalem )
Merka di sebut juga wong cilik. Bagi kawulo dalem tidak di
perkenankan untuk perpola hidup seperti priyayi dan abdi dalem. Bagi
rakyat jelata, Sultan adalah raja yang memiliki kekuasaan atas
negaranya.
Dalam masyarakat jawa khususnya daerah Yogyakarta dipakai
tiga jenjang bahasa yaitu, ngoko (bahasa jawa rendah), krma andhap
(bahasa jawa tengah), karma inggil (bahasa jawa tinggi). Bahasa yang
tercermin dalam kebudayaan ini mengajarkan bentuk penghormatan
dan saling menghargai, tergantung status yang bersangkutan dan
lawan bicara. Status sosial bisa di tentukan oleh usia, posisis sosial,
atau hal – hal lain.
24
27
2. Kondisi Sosial Keagamaan
Menurut Clifford Gertz agama merupakan suatu simbol yang
berfungsi untuk mengukuhkan suasana hati dan motivasi yang kuat dan
mendalam pada diri manusia.25sebelum agama Hindu dan Budha masuk
ke wilayah indonesia, rakyat Indonesia telah memiliki sistem keyakinan
sendiri yaitu animism dan dinamisme. Sistem religi diwujudkan dalam
bentuk upacara dengan menggunakan simbol - simbol tertentu, baik yang
berhubungan dengan jenjang kehidupan baru manusia maupun yang
berhubungan dengan kesejahteraan, keselamatan masyarakat ataupun
perseorangan. Sebagaimana halnya masyarakat jawa pada umumnya, di
kraton Yogyakarta juga tampak adanya sistem terhadap benda–benda
tertentu yang dianggap mengandung kekuatan gaib.
Ketika agama Hindu dan Budha masuk ke Indonesia, banyak
rakyat Indonesia yang kemudian mengikuti ajaran ini. Karena ajaran
agama ini tidak banyak perbedaan dengan sistem kepercayaan terhadap
leluhur yaitu kepercayaan terhadap roh yang dalam hidupnya memiliki
banyak pengaruh dan jasa.26 Dalam kehidupan beragama, orang jawa
sering menyatukan unsure lama yang cenderung ke arah mistik. Yang
bercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama islam. Masyarakat di
25
Geertz Clifford dalam sutiyono, benturan budaya islam : puritan & singkretis, ( jakata; kompas, 2010),37.
26
Suyami, Upacra Ritual Di Kraton Yogyakarta Refleksi Mithologi Dalam Budaya Jawa( Yogyakarta:
28
lingkungan kraton Yogyakarta pada umumnya beragama islam, tetapi
sebagian orang jawa tidak dapat sepenuhnya meninggalkan kepercayaan
lamanya.27
Ajaran islam mudah di terima oleh masyarakat karena tidak
membedakan status manusia dengan kasta, semua manusia sama di
hadapan tuhan dan hal lain yang mudah di terima adalah
penyampaiannya melalui tradisi yang esensinya kembali kepada Allah.
Sejak awal berdirinya kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah
kerajaan islam. Hal ini jelas tercantumkan dalam gelar yang di sandang
Raja, seajak sultan pertama memiliki gelar keagamaan yaitu senopati ing
ngalaga adbulrokhman sayidin pertagama kholifatullah. Dan juga dari
simbol-simbol yang dicantumkan dalam bangunan fisik maupun karya
sastranya, serta upacara-upacara budaya yang bernafaskan islam.
Bentuk hubungan islam dengan kraton dapat dilihat dari arsitektur
dan letak bangunan kraton yang sangat kompleks dengan simbol-simbol
yang sarat dengan filosofis. Nuansa islam di lingkungan kraton, di
buktikan dengan didirikanya masjid oleh beberapa sultan di antaranya:28
27
Koentjaroningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka 1994 ),312.
28
29
Hamengku Buwono I : Masjid Gedhe Kauman
(1773 )
Hamengku Buwono IV : Masjid Wonokromo
Hamengku Buwono VII : Masjid Panepen
Hamengku Buwono IX : Masjid Soko Tunggal
Nuansa islam di lingkungan Kraton Yogyakarta juga
ditunjukkan melalui organisasi remaja masjid Kraton atau pemuda
Muhammadiyah Kraton yang ikut serta mengelolah kigiatan islami untuk
remaja. Contohnya mengadakan forum kajian sebagai media silaturahmi
dan interaksi dakwah untuk menghasilkan kader-kader dalam
pengembangan dakwah. Adapun kegiatan keagamaan masyarakat di
masjid-masjid kraton meliputi; sholat lima waktu di masjid secara
berjama’aah, anak–anak kecil dan remaja tingkat TK, SD, SMP, dan
SMA, yasinan dan tahlilan untuk pelaksnaannya tergantung kesepakatan
dari masing- masing kampung yang di ikuti oleh jama’ah masjid, Diba’an
di laksanakan setiap malam jumat, Ceramah agama adalah salah satu
30
berpartisipasi dalam pembangunan bidang spiritual, Mengadakan sholat
‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha dan penyembelihan hewan kurban.29
3. Kondisi sosial Ekonomi
Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai potensi yang sangat
besar untuk tumbuh sebagai kota yang kaya akan budaya dan kesenian
jawa. Karena eksistensi Kraton Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan.
Dari segi potensi alam khususnya lahan, willayah kecamatan Kraton
Yogyakarta kurang menguntungkan karena kepadatan penduduknya
sangat tinggi.
Ekonomi merupakan factor utama dalam keerlangsungan
masyarakat. Sebagian besar perekonomian di Yogyakarta disokong oleh
hasil cocok tanam, berdagang, kerajinan dan wisata. Penduduk pribumi
lebih banyak mengembangkan potensinya dalam berbagai kerajinan
daerah (kerajinan perak, kerajinan wayang kulit, dan kerajinan,anyaman),
TABEL 3
Jenis Pekerjaan Masyarakat Kraton
No Jenis Pekerjaan Jumlah
1 Belum / tidak bekerja 3485
2 Menurus rumah tangga 2975
29
31
3 Pelajar/ mahasiswa 5174
4 Pegawai Negri Sipil ( PNS ) 906
5 Pensiun 793
6 Tentara Nasional Indonesia(TNI) 15
7 Kepolisian RI (POLRI) 45
8 Wiraswasta 3675
9 Petani 10
10 Buruh 579
11 Karyawan 4281
12 Gubenur 1
13 DPRD 1
14 Pekerjaan lainya 122
Jumlah 22.057 jiwa
Sumber :data monografi dinamis kecamatan Kraton Yogyakarta 2014.
4. Kondisi Pendidikan
Perkembangan budaya tidak pernah lepas dari sistem pendidikan
semula sistem pendididkan yang di gunakan adalah sistem yang pernah
dilakukan di zaman Mataram. Sebelum belanda datang ke Indonesia,
Indonesia telah memiliki lembaga pendidikan sendiri. Sejak dulu, wayang
32
anak muda sebagai cantrik30 di rumahnya. Mereka diajari bagaimana
menjadi masyarakat yang baik dan juga menerima pelajaran filsafat.
Pada masa Hamengku Buwono I sampai Hamengku Buwono VII,
pendidikan untuk putrid-putri kraton hanya di laksanakan di dalam Kraton
saja. Mereka mempelajari penggetahuan tentang pemerintahan, sastra dan
keterampilan. Sejak masa Hamengku Buwono VII kesadaran intelektual
mulai berkembang, Sultan sebagai kelas penguasa berupaya meningkatkan
pengetahuan putra–putrinya, dengan mengajari mereka mengenai
pendidikan barat. Bagi bangsawan putra di wajibkan mengenyam
pendidikan setingi-tinginya. Berbeda halnya dengan bangsawan putri,
mereka hanya di beri pendidikan ketrampilan seperti menyulam,
memasak, membordir, membaca dan menulis. Sedang kan pendididkan
sekolah dan pengetahuan umum yang diberkan sangat sedikit.31
Pada masa pemerintahannya, Hamengku Buwono VII mendirikan
skolah khusus putra, semula tempat belajar tersebut berada di taman dalam
Kraton, kemudian pindah keluar Kraton di sebelah timur pagelaran alun–
alun utara (sekolah ini masih aktif sampai sekarang dengan nama SDN 1
Keputran). Saat Hamengku Buwono VIII memegang pemerintahan, para
30
Berarti orang yang berguru kepada orang pandai, sakti.Digunakan atau merujuk pada orang yang selalu mengikuti seorang guru kemanapun pergi, tentunya dengan satu tujuan utama dan yang di junjungnya, agar dapat belajar keahlian tertentu dari orang yang di ikuti.Di ambil dari internet, http://gri.or.id/news/view/606/cantrik-abdi-sejati.
31
33
pangeran mulai di sekolahkan di luar istana dan tinggal bersama keluarga
Belanda, sehingga mempermudah pengamatan mereka terhadap pola
hidup dan sifat pribadi bangsa Belanda, bahkan mereka dianjurkan
sekolah di negeri Belanda.
Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX beliau
mulai memperhatikan bagi kaum perempuan, namun pendidikan bagi
laki-laki tetap diutamakan.Untuk pendidikan keagamaan yang diajarkan yaitu
mengaji kitab turutan, Al-Quran dan tafsir, hukum agama, tradisi
ngayogyakarta yang berhubungan dengan agama, hukum waris Islam
perkawinan dan talak.32
Masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono X, pendidikan
bangsawan putra dan putrid tidak dibedakan lagi. Bahkan pendidikan bagi
rakyat dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi sudah banyak
dikembangkan, sehingga masayarakat tidak ada yang buta huruf. Berikut
ini merupakan data penduduk menurut taraf pendidikan.
32
34
TABEL 4
Data Penduduk Menurut Taraf Pendidikan
Sumber: Data Monografi Dinamis Kecamatan Kraton Yogyakarta, 2014.
Berdasarkan tabel di atas ada pendududk yang tidak/ belum
sekolah, dikarenakan beberapa factor diantaranya: faktor ekonomi yaitu
tidak mampu (kurang biaya) dan kurangnya kesadaran akan arti
pentingnya pendidikan serta factor usia (masih kanak-kanak). Pada prinsip
dari orang orang tua zaman dahulu yang berpendapat bahwa anak
No Pendidikan Jumlah Orang
1 Tidak / belum sekolah 3104
2 Belum tamat SD/ Sederajat 2074
3 Tamat SD / Sederajat 1722
4 SLTP / Sederajat 2434
5 SLTA / Sederajat 7181
6 Dploma I /II 223
7 Akademi / Diploma III/ Sarjana 1387
8 Diploma IV / Strata I 3578
9 Strata II 325
35
perempuan tidak wajib bersekolah sampai jenjang tinggi, dikarenakan
36
BAB III
BUDAYA MASANGIN DI ALUN-ALUN KIDUL KRATON YOGYAKARTA
A. Muncul Budaya Masangin
Suatu budaya terkadang tidak diketahui dengan jelas awal
kemunculanya, karena tidak semua budaya termuat dalam suatu dokumen
tertulis. Namun, kebanyakan budaya hanya ditinggalkan dan diturunkan
secara lisan atau melalui suatu cerita tertentu. Walaupun demikian, suatu
budaya dan tradisi sangat diyakini keberadaanya.
Seperti halnya budaya Masangin yang sering dilakukan masyarakat
Kraton Yogyakarta yang diawali dengan ritual mubeng beteng, yang
dilakukan pada malam tanggal 1 Syuro untuk menyambut tahun baru dalam
kalender Jawa. Bentuk aktivitasnya adalah orang yang akan melakukannya
ditutup matanya dengan kain hitam, lalu berjalan kearah celah di antara kedua
pohon beringin. Ada yang menyebutnya dengan aktivitas ngalap berkah.
Karena masyarakat percaya ritual mubeng benteng jika dilakukan, lingukngan
keraton akan dilingkupi aman dan damai.
Menurut Bapak Panggih,33Ada pula cerita yang mengatakan asal mula
Masangin yaitu ketika Sultan Hamengku Buwono pertama bertahta, Putri sang
sultan akan dipinang oleh seorang lelaki, namun sang putri tidak begitu
33
Bapak Panggih ( penyewa kacu ), Wawancara, Yogyakarta, 25 april 2015.
37
menyukainya. Kemudian Sang putri meminta syarat kepada laki-laki yang
akan meminagnya Jika dia ingin menikahinya, maka dia harus bisa berjalan
dengan mata ditutup dengan kain, lalu berjalan dari pendopo yang ada di
sebelah utara alun–alun kidul (Alun-alun kidul) melewati dua beringin kembar
ditengah alun dan berakhir di pendopo yang ada di sebelah selatan
alun-alun kidul tersebut. Jika hal itu berhasil, maka sang putri mau menerima
pinangan laki–laki tersebut. Dan ternyata siasat sang putri ini berhasil,
pemuda itu gagal menjalankan syarat yang di berikan sang putri. Kemudian
sang sultan memberikan sabdanya bahwa yang bisa melewati syarat sang putri
itu, hanyalah pemuda yang hatinya benar benar bersih dan tulus.
Peneliti tidak menemukan cerita apakah dikemudian hari banyak
pemuda yang berusaha melewati pohon beringin kembar itu atau tidak. Yang
peneliti dengar hanyalah bahwa ternyata seorang pemuda dari Siliwangi
(katanya anak dari prabu siliwangi) berhasil melewati rintangan yang
disyaratkan oleh sang putri. Dan sang putri akhirnya dipersunting oleh
pemuda tersebut begitulah menurut cerita .34
Pohon beringin (ringin kurung) merupakan ciri khusus dari kompleks
bangunan karaton Yogyakarta dan sudah ada sejak jaman dahulu dan diyakini
sebagai pohon keramat dilingkungan kehidupan Karaton Yogyakarta. Bagi
34
38
orang yang percaya, lingkungan Karaton Yogyakarta dilingkupi suasana
mistis yang sulit diterima secara logis. Oleh karena itu, banyak orang
yang gagal melakukan ritual ini, karena ada keyakinan bahwa orang yang
melakukannya harus dengan hati yang bersih, tidak iri dengki, ataupun jahat.
Dan kalau bisa melewati atau masuk diantara kedua pohon beringin dengan
mata tertutup bisa terkabul semua keinginannya.
Masyarakat sekitar juga percaya bahwa di antara kedua pohon beringin
itu terdapat tolak balak bagi musuh yang ingin menyerang Kraton
Yogyakarta. Saat prajurit kraton Yogyakarta bisa berjalan di antara kedua
beringin tersebut, berarti dia memiliki kekuatan dan penglihatan hati yang
bersih, sehingga dia bisa menolak bahaya yang ada di pohon beringin. Hal itu
juga berarti bahwa dia akan mampu menaklukkan musuh yang berusaha
menyerbu kraton Yogyakarta. 35
B. Simbol Budaya Masangin
1. Lokalisasi/Setting
alun Selatan atau yang sekarang lebih dikenal sebagai
Alun-alun kidul (Alun-Alun-alun kidul) yaitu Alun-alun-Alun-alun yang terletak disebelah
selatan Karaton Yogyakarta. Alun-alun ini berbentuk tanah lapang luas
berpasir, dengan luas sekitar 160mx 160m. Alun-alun ini dikelilingi pagar
tembok batu bata setinggi 2,20 m, tebal pagar tembok 30cm, sudah banyak
35
39
yang runtuh dan rusak. Adapun pagar tembok yang dapat disaksikan
sekarang adalah pagar tembok baru, yang dibangun oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono ke VII pada masa pemerintahannya
tahun1877-1921M.36
Alun-alun kidul ini merupakan bagian belakang Kraton Yogyakarta.
Menurut sejarahnya, alun-alun kidul dibuat untuk mengubah suasana
bagian belakang keraton menjadi seperti bagian depan karena Gunung
Merapi, Kraton Yogyakarta, dan laut Selatan Pulau Jawa jika ditarik
dalam satu garis imajiner akan membentuk satu garis lurus. Agar posisi
Kraton Yogyakarta tidak seperti membelakangi laut Selatan, maka
dibangunlah Alun-alun Selatan.37
Sejalan dengan makna filosofi Jawa serta garis sumbu imajiner
Karaton Yogyakarta serta ajaran tentang sang kanparan dumadi (asal
mula dan tujuan kehidupan), di Alun-alun Selatan ditanam tanaman yang
sudah tertentu, yaitu tanaman yang mengandung makna kehidupan yang
selalu mengalir terus berganti. Contohnya, dua pohon beringin yang
disebut wok, yang ditanam dikanan kiri jalan masuk dari arah selatan. Wok
atau bewok melambangkan anak laki-laki menginjak dewasa sudah
tumbuh kumis dan jambangnya. Tahapan gadis dan jejaka ini di Alun-alun
36
M.Shafiq bin asan, “Alun-Alun Sebagai Identitas Kota dan Kraton (Periode Prakolonial, Kolonial dan Pasca Kolonial)” ( Makalah, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya,2014),2.
37
40
Selatan dilambangkan dengan pohon kweni diseling pohon pakel yang
ditanam berjajar mengelilingi Alun-alun Selatan. Pohon pakel symbol dari
akil balik, sedangkan pohon kweni melambangkan wiswani (sudah berani).
Hal ini sebagai tanda bahwa manusia yang sudah akil balik atau dewasa
sudah berani mengutarakan isi hatinya.
Selanjutnya Pohon beringin kembar yang ada ditengah Alun-alun
Selatan disebut supit urang, yang diberi pagar berupa jeruji sebagai
gambaran busur dan anak panah. Hal ini sebagai lambang bahwa gadis
atau jejaka yang sudah dewasa, akil balik, sudah berani melepaskan isi
hati kepada lawan jenisnya. Selain itu, pohon beringin ditengah alun-alun
tersebut dikelilingi oleh pagar segi empat juga disebutkan dengan
‘waringin kurung’ (beringin kurung).38 Kedua kata tersebut waringin
(beringin) dan kurung tersebut melambangkan kematangan manusia yang
arief bijaksana, karena orang Jawa beranggapan bahwa kegiatan bijaksana
berasal dari kosmos. Pohon beringin dengan demikian melambangkan
kesatuan dan harmoni antara manusia dengan jagatnya. Pohon beringin
melambangkan langit dan permukaan tanah yang persegi empat didalam
pagar kayu mengartikan tugas manusia untuk mengatur kehidupan dibumi
dan dialam supaya tercipta sebuah harmoni.
38
41
Selanjutnya keutara lagi tepatnya didepan regol (gapura) Siti
Hinggil, ke arah barat dan timur ditanam pohon gayam berjumlah 8 buah.
Pohon gayam jika sedang berbunga baunya harum melambangkan anak
gadis dan jejaka jika sedang bertemu saling melepas rindu merasakan
tenang dan damai (ayom ayem). Manusia yang sudah mulai dewasa berani
melepaskan isi hatinya dalam suasana yang tenang bahagia dengan
kata-kata yang manis, indah, dan menarik hati. Selain pohon gayam. terdapat
pohon Mangga Cempora serta Soka. Kedua pohon ini mempunyai bunga
yang halus panjang berkumpul menjadi satu, ada yang merah ada yang
putih, gambaran bercampurnya benih manusia laki-laki dan perempuan.39
Bahkan ada juga tanaman pohon Kepel dan Cengkir Gading. Pohon
kepel dari perkataan kempel atau kempal, menggambarnya bersatunya
kemauan, bersatunya benih, bersatunya rasa, bersatunya cita-cita. Cengkir
Gading adalah sejenis pohon kelapa dan kecil bentuknya. Dipakai pada
upacara “minoti” yaitu memperingati Sang Bayi sudah tujuh bulan
dikandungan. Jalan kecil dari sini ke kanan dan ke kiri menggambarkan
pengaruh-pengaruh negatif yang dapat menganggu pertumbuhan Sang
Bayi.
39
42
Jika dilihat dari aspek fungsi alun-alun kidul ini maka dapat dibagi
menjadi 2 bagian, yakni alun–alun kidul (Alun-alun kidul) masa lampau
dengan alun-alun kidul (Alun-alun kidul) masa kini.
Alun–alun kidul Masa Lampau, masyarakat cenderung
menggunakan alun-alun kidul sebagai tempat ritual maupun hal-hal yang
berhubungan dengan spiritual, karena memang pada dasarnya objek-objek
yang berada pada alun–alun kidul (Alun-alun kidul) sendiri memiliki
filosofi-filosofi tersendiri yang sebagaimana dibuat oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono 1 yang memiliki nasehat kepada kita untuk cinta dan
menyerahkan diri kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, berlaku sederhana
dan tekun, berhati-hati dalam bertingkah laku kita sehari-hari dan
lain-lain.
Misalnya, digunakan untuk berlatih (gladhen) bagi para prajurit
karaton menjelang upacara adat tradisi budaya Garebeg, yang setiap tahun
diadakan tigakali, yaitu Garebeg Mulud, Garebeg Sawal, dan Garebeg
Besar. Kedua, Alun-alun Selatan digunakan untuk tempat menghadap
bagi abdi dalem Wadana Prajurit dalam tradisi dibulan Puasa, yaitu pada
malam 23, 25, 27, dan 29 bulan Puasa. Selain itu, pada masa pemerintahan
43
alun Selatan diadakan pertandingan panahan, adu harimau melawan
kerbau, serta hiburan berupa Rampogan prajurit menangkap harimau.40
Alun–alun kidul Alun-alun kidul Masa Kini, dijadikan sebagai
ruang publik bagi masyarakat luas Yogyakarta, bahkan bukan dari warga
Yogyakarta sendiri yang datang guna menikmati suasana disini ada pula
warga dari luar Yogyakarta seperti Solo, Semarang, dll yang sengaja
datang ke alun-alun kidul (Alun-alun kidul) untuk bersantai bersama
keluarga menghabiskan weekend bersama keluarga (karena biasanya
pengunjung dari luar kota Yogyakarta berkunjung ke alun-alun kidul pada
weekend). Berbagai macam kegiatan dapat dijumpai di alun-alun kidul
menjelang sore hingga malam hari, alun-alun kidul menjelma sebuah
tempat rekreasi publik untuk rakyat yang tentunya sayang untuk
dilewatkan.
Berbagai makanan jajanan kuliner dihadirkan oleh para pedagang
dan dapat dijumpai di alun-alun kidul (Alun-alun kidul). Pada pagi
harinya alun-alun kidul (Alun-alun kidul) menjadi area olahraga yang
diminati oleh masyarakat Yogyakarta serta dijadikan area olah raga41 dari
beberapa institusi pendidikan tingkat SD sampai SMA. Selain itu, pada
malam harinya area alun-alun kidul (Alun-alun kidul) ini juga menjadi
area wisata untuk semua kalangan dan ada beberapa fasilitas yang dapat
40
Sartono kartodirdjo, Perkembangan Peradapan Priyayi (yogyakatra: gadjah mada university press,1993), 29.
41
44
menghibur pengunjung yang memang sengaja dihadirkan oleh para
pedagang seperti wisata bersepeda, berjajar sepeda tandem hingga becak
yang telah dimodifikasi hingga sedemikian rupa dengan hiasan lampu
kelap kelip yang mencolok disewakan oleh sejumlah pemilik sewa sepeda.
2. Peralatan Dalam Laku Budaya Masangin
Peralatan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam
pelaksanaan sebuah tradisi. peralatan menurut sifatnya dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu peralatan yang sakral dan profan. Peralatan yang
bersifat sakral di tunjukkan kepada roh-roh halus seperti kemenyan
(dupa), bunga-bunga yang di buat sesaji, dalam budaya Masangin ini
peralatan yang sakral di tunjukkan pada pohon beringin yang ada di alun–
alun kidul. Sedangkan peralatan yang sifatnya profan yaitu peralatan yang
nantinya kembali pada manusia. Seperti kacu yang dipakai untuk tutup
mata yang bisa dipakai lagi.
Peralatan yang digunakan dalam laku Masangin di alun-alun kidul,
Kraton Yogyakarta, yaitu Kacu dan pohon beringin.
Kacu yang dimaksud dalam budaya Masangin ini merupakan kain
berwarna hitam, yang digunakan sebagai penutup mata saat melakukan
budaya Masangin. Dalam budaya Masangin kacu dapat diperoleh dari
penyewa kacu yang terdapat di alun- alun kidul Kraton Yogyakarta.
45
siang, sore, dan malam, dari jam 11 siang sampai jam 11 malam. Dahulu
harga sewa kacu adalah Rp 3000, namun pada 2 tahun terakhir ini sewa
kacu naik menjadi Rp 5000. Dengan harga tersebut para penyewa dapat
menggunakan kacu sepuasnya tanpa di batasi waktu dan dapat menyewa
satu kacu untuk beberapa orang.
Pada saat melakukan budaya Masangin mata ditutup dengan Kacu
karena menurut Bapak Panggih, Orang yang memiliki keyakinan terhadap
dirinya sendiri cenderung tidak mudah terpengaruh oleh berbagai
hambatan, termasuk gelap dan keragu-raguan.
Dalam kehidupan nyata, mereka adalah orang yang mampu
mewujudkan cita-cita dan harapannya.Sama dengan saat menjalani laku
Masangin, pemain mesti ikhlas, sabar, dan tidak menyerah, untuk tetap
mewujudkan cita-citanya. Di sisi lain, pelaku yang berhasil melewati celah
di antara dua beringin kembar memiliki keyakinan terhadap langkahnya
sendiri. Hatinya sangat yakin bahwa langkah kakinya telah lurus.
Karenanya, dia akan melangkahkan kakinya dengan pasti.42
Pohon Beringin dalam budaya Masangin ini merupakan pohon
beringin yang berada di alun–alun kidul kraton Yogyakarta dan
merupakan ciri khusus dari kompleks bangunan karaton Yogyakarta.
Pohon Beringin ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalau,yang di
percaya oleh masyarakat sekitar bahwa pohon beringin tersebut diyakini
42
46
sebagai pohon keramat di lingkungan kehidupan karaton Yogyakarta.
Selain itu dalam budaya Masangin ini yang berhasil melewati pohon
beringin ini juga di yakini memiliki hati yang bersih dan cita–citanya
terpenuhi.
Terdapat dua pohon Beringin dalam budaya Masangin ini yang
berjarak sekitar 15 meter, Pohon beringin ini sudah ada sejak jaman
dahulu, biasa disebut Ringin Kurung karena di beri pagar batu bata yang
mengelilingi pohon tersebut.
C. Prosesi Budaya Masangin
Cara melakukan Masangin sangat mudah dan sederhana.Orang yang
akan melakukan Masangin berdiri disebelah utara pohon beringin kembar,
ditutup matanya dengan kain hitam, lalu berjalan dari utara ke selatan
menujucelah di antara dua pohon beringin. Dengan kata lain, orang itu
berjalan dari utara keselatan dengan melalui jalur diantara kedua pohon
beringin yang terletak ditengah-tengah Alun-alun Selatan. Jika berhasil
melewati celah kedua pohon beringin maka dinyatakan berhasil. Akan tetapi
jika arahnya melenceng maka dinyatakan gagal.
Memang tampaknya sangat mudah, tetapi pada kenyataannya banyak
yang gagal melakukannya, hanya berputar-putar ditempat, meleceng jauh
kemana-mana, atau bahkan kembali kearah awal dia berjalan. Hal ini dapat
47
atau mengetahui arah yang akan dituju, yang sesuai dengan arah yang
dikehendaki.
Menurut Pak Nino mengenai tata cara yang sebenar dalam melakukan
budaya Masangin, seperti berikut:
1. Berdiri lurus ke depan sekitar 25 meter dari beringin kembar
tepatnya dekat dengan gedung Sasana Hinggil arah utara dari
pohon beringin kembar.
2. Mata dalam keadaan tertutup, ditutup dengan kain hitam untuk
48
3. Badan harus diputar lebih dahulu 360 derajat berkali-kali.
4. Setelah merasa cukup diputar-putar, arahkan posisi badan lurus ke
depan dengan jalan menuju ke arah tengah beringin kembar.
5. Setelah ke empat proses tersebut dijalankan barulah pemain
berjalan lurus menuju ke arah tengah pohon beringin kembar tanpa
bantuan orang lain dengan berdoa sebelum memulainya dengan
mengucapkan ke inginan dan cita- citanya yang di tujukan kepada
allah. Jika permain itu beruntung dapat melalui dengan baik dan
dapat berada di tengah-tengah beringin kembar, InsyaAllah
keinginan pelaku tersebut terkabul. Jika tidak beruntung, mungkin
akan jadi bahan tertawaan teman-temannya karena bisa-bisa salah
arah, menabrak orang, menabrak pedagang kaki lima dan
sebagainya.43
43
49
BAB IV
NILAI ISLAM DALAM BUDAYA MASANGIN DI ALUN-ALUN KIDUL,
KRATON YOGYAKARTA
A. Nilai Islam Dalam Budaya Masangin
Terdapat nilai Islam dalam budaya Masangin, diantara nilai-nilai Islam dalam
budaya Masangin adalah:
1. Doa
Doa merupakan permintaan seorang hamba kepada Tuhannya,
tetapi bukan berarti orang yang tertimpa musibah saja yang layak
memanjatkan doa melainkan suatu keinginan baik itu cita-cita,
kelancaran rizeki dan lain sebagainya. Seperti halnya budaya Masangin
di Alun-alun kidul Kraton Yogyakarta, maka dapat disimpulkan
bahwasanya wujud dari kebudayaan Islam jika dilihat dari aspek prilaku
dari pelaku budayanya sendiri adalah dia berdoa dalam laku
Masanginnya. Pelaku Masangin sebelum melakukan budaya Masangin di
awali dengan mebaca tawasul kepada Rasulallah kemudian mengucapkan
keinginannya, kemudahan urursan, kelancaran rizki,dan lain-lain. seperti
halnya Hamim Tohari yang juga sebagai pelaku budaya Masangin yang
laku Masanginnya di awali dengan membaca tawasul 44yaitu
kemudian dia mengucapkan keinginan agar di beri kemudahan. Doa yang
dia baca yaitu “Allahumma yassir wala tu’assir’’
ا
ْرﱢسي
ﱠمھﱠلل
و
ا
رْيخب
ْمﱢمت
ﱢ رْرﱢسعت
Artinya : “ ya Allah, mudahkanlah jangan engkau persulit sempurnakan
dengan kebaikan.”
Menurut Bapak Suhartono keyakinan masyarakat sekitar Kraton
apabila sudah dapat melewati celah di antara kedua beringin kembar
tersebut dengan mata tertutup, berarti orang itu memiliki hati yang
bersih. dan InsyaAllah cita-citanya akan terkabul. Dan apabila dalam
laku Masangin orang yang melakukan gagal maka ia akan
mengulanginya lagi dengan cara yang sama yaitu berdoa lagi.
Menurut Bapak Panggih, tidaklah salah jika saat melalui celah di
antara kedua pohon beringin kembar kita berdoa memohon kepada Allah.
Media apa pun juga bisa berupa apa saja asalkan niat dan kesungguhan
kita tetap kepada-Nya, bukankah masjid dan Ka’bah sekalipun
merupakan media juga.
51
Dalam budaya Masangin ini terdapat interaksi antar sesama
manusia. Seperti pada peringatan 1 Syuro untuk menyambut tahun baru
yang dilakukan masyarakat kraton bentuk aktivitasnya adalah ritual
Mubeng Benteng disitu banyak masyarakat yang melakukannya. Dimana
terjalin silaturahmi antar sesama masyarakat kraton. Sebagaimana yang
penulis teliti di lapangan pada tanggal 26 april 2015. Antar sesama
pelaku budaya Masangin saling membantu seperti halnya mbk Yufida
dan Erma yang awalnya tidak saling mengenal menjadi kenal karena saat
melakukan budaya Masangin merasa kesulitan jika melakukan sendiri.
akhirnya mereka saling membantu bergantian untuk melakukan budaya
Masangin.
Manakala dari aspek nilai-nilai dan sikap yang bercorak Islam
dalam budaya Masangin yang bisa mengatur dan mempengaruhi
kehidupan masyarakat pendukungnya, di antaranya dalam bentuk usaha
atau ikhtiar menjalani hidup untuk mencapai cita-cita dengan cara
meneguhkan keyakinan diri, dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Sama
dengan saat menjalani laku Masangin, pelaku mesti ikhlas, sabar, dan
tidak menyerah, untuk tetap mewujudkan cita-citanya. Di sisi lain, pelaku
yang berhasil melewati celah di antara dua beringin kembar memiliki
keyakinan terhadap langkahnya sendiri. Hatinya sangat yakin bahwa
langkah kakinya telah lurus. Karenanya, ia akan melangkahkan kakinya
52
cenderung tidak mudah terpengaruh oleh berbagai hambatan, termasuk
gelap dan keragu-raguan. Dalam kehidupan nyata, mereka adalah orang
yang mampu mewujudkan cita-cita dan harapannya.
Berkaitan dengan Isi kebudayaan yang ada dalam pelaksanaan
budaya Masangin adalah dari aspek religi. Dalam hal ini, masyarakat
kraton Yogyakarta memiliki sistem religi kepada agama dan sistem
kepercayaan yang bersifat animism dan dinamisme. Bahkan nilai-nilai
kebhinekaan dalam konteks budaya menjadikan segala sesuatunya selalu
dimaknai sebagai wujud interaksi manusia dengan Tuhan dan alam
sekitarnya. Contohnya Masangin dijadikan salah satu bagian dari acara
yang dipercayai oleh masyarakat Islam kejawen sebagai sarana “ngalap
berkah” atau simbol permohonan pada Allah Yang Maha Kuasa agar
melingkupi Kraton dengan keamanan dan kenyamanan.
Menurut kepercayaan masyarakat Kraton Yogyakarta biasanya ada
hari-hari tertentu yang dipercaya sebagai hari keramat atau hari baik
untuk melakukan Masangin. Memang bagi masyarakat islam kejawen,
khususnya, ada hari-hari yang dianggap keramat atau diistimewakan,
seperti hari Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon, maka pada hari-hari itulah
yang biasanya ramai orang melakukan ritual Masangin. Dalam hal ini,
hari-hari tersebut mustajab untuk setiap permohonan doa dari pelaku