• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

Kesimpulan

A. Pengantar

Bab V merupakan bab terakhir dari seluruh narasi tulisan ini. Sebagai sebuah kesatuan tulisan yang utuh, ide pokok yang disajikan pada bab ini tidak dapat dipisahkan dari kajian-kajian yang telah dijelaskan di dalam bab-bab sebelumnya. Maka, berdasarkan kajian yang telah ditulis pada bab II, III, dan IV, bab V mencoba menyimpulkan temuan-temuan lapangan secara keseluruhan, mengabstraksikan temuan pada tataran teoritik, serta mendiskusikan kontribusi riset ini terhadap kajian politik lokal secara umum. Dengan memfokuskan pada kajian mengenai patronase, secara khusus, kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi studi bagi kajian mengenai relasi antara patron dan klien di dalam struktur politik lokal di Indonesia.

Bab V juga berupaya untuk menegaskan argumentasi utama yang hendak disampaikan. Dengan mengajukan argumentasi tersebut, penulis berharap dapat menumbuh-kembangkan studi mengenai patronase sebagai bagian dari ikhtiar menjawab rumusan masalah atau pertanyaan riset yang diajukan sebelumnya. Upaya ini menghendaki kejelasan argumentasi dengan mengeksplisitkan temuan untuk menjadi argumentasi utama yang dibangun melalui riset dan disajikan di dalam tulisan ini. Hal ini penting, sebab, misi pengembangan keilmuan menjadi syarat utama menjadi seorang pembelajar; terlebih lagi bagi seorang mahasiswa.

B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

Syarat terjadinya relasi patronase terletak pada kata kunci utamanya: terdapat sumberdaya yang dipertukarkan. Pertukaran sumber daya ini dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Namun, yang harus digarisbawahi adalah, pertukaran sumber daya harus tetap menguntungkan patron dan klien. Selama sumber daya tersebut masih bermanfaat dan saling dibutuhkan

(2)

kedua belah pihak, maka relasi patronase yang bersifat sukarela ini, akan tetap terjalin. Kondisi inilah –adanya pertukaran sumber daya, bersifat sukarela, dan tanpa paksaan kekuasaan formal- yang menjadi faktor pembeda antara patronase dengan relasi kuasa yang lain.

Di Alun-Alun Kidul, dalam upaya memahami karakter patronase yang menguasainya, penelitian ini menemukan beberapa hal. Pertama, relasi patronase terjadi di antara beberapa pemilik sumber daya dan para pekerjanya. Di dalam konteks Alun-Alun Kidul, beberapa pemilik sumber daya seperti pemilik transportasi wisata-hias menempati posisi sebagai patron terhadap para pekerjanya. Para pekerja, yakni orang-orang yang menjaga sepeda hias dan membantu mencari penumpang berposisi sebagai klien. Para pekerja berupaya untuk loyal dan patuh kepada patronnya. Relasi di antara keduanya bersifat sukarela dan subyektif. Relasi patron dan klien juga menjelaskan adanya perbedaan posisi antara patron yang mengayomi dengan klien yang menerima pemberian dari patron.

Kedua, patronase tidak terjadi di antara paguyuban dengan organisasi di atasnya, yakni Paparasi. Seperti kalimat beberapa informan, bahwa tujuan utama mereka berbisnis di Alun-Alun Kidul adalah, hendak mencari berkah dan rezeki, bukan untuk berorganisasi. Sedangkan Paparasi dibentuk untuk mengkoordinasi dan menjadi forum dialog: membicarakan ragam hal menyangkut Alun-Alun Kidul serta ruang komunikasi dengan kraton dan pemerintah Kota Yogyakarta. Sehingga, bagi para anggota paguyuban, menjadi pengurus Paparasi, apalagi harus tunduk-patuh kepada organisasi, tidak akan membawa keuntungan secara ekonomi. Paparasi bagi mereka, sekedar upaya menaikkan daya tawar tatkala kepentingan mereka terancam.

Kesadaran untuk menghargai Paparasi dan pengurusnya baru dilakukan, setelah susunan kepengurusan Paparasi ditandatangani oleh Gusti Prabu. Penandatangan dilakukan pasca terjadinya kasus pemalakan, dengan pesan utama: semua konflik harus diselesaikan di bawah koordinasi Paparasi. Oleh sebab itu, menghargai keberadaan Paparasi karena adanya himbauan dari kraton sebagai patron utama. Maka, menghargai keberadaan Paparasi dipandang sebagai bagian

(3)

dari upaya loyalitas kepada kraton, bukan karena adanya kesadaran untuk taat organisasi. Di titik ini, konsep kunci kajian patronase menjelaskan, bahwa, selama tidak ada sumber daya yang dipertukarkan, atau sumber daya yang ada tidak lagi menguntungkan dan bermanfaat, maka relasi patronase tidak akan terjadi.

Ketiga, penelitian ini menemukan bahwa patron di Alun-Alun Kidul tidaklah tunggal walaupun dalam satu sumber daya yang sama. Di dalam konteks ruang parkir, terdapat lebih dari empat “orang kuat” yang dianggap sebagai “penguasa wilayah”. Sehingga, mereka yang bekerja sebagai juru parkir berupaya untuk menunjukkan loyalitasnya pada beberapa orang. Begitu juga di antara anggota paguyuban sepeda wisata. Beberapa sepeda hias dimiliki oleh lebih dari satu orang. Pekerja yang bertugas untuk menjaga sepeda hias dan mencari penumpang harus dapat membawa diri dalam bekerja. Sistem bagi hasil seperti yang telah diuraikan sebelumnya tetap ada. Namun, sebagai klien, para pekerja harus menunjukkan loyalitasnya secara maksimal untuk mempertahankan pekerjaan dan kepercayaan patron.

Keempat, berkaitan dengan temuan pada poin ketiga, selain patron tidak tunggal, terdapat patron utama yang mengayomi semua orang yang berbisnis di Alun-Alun Kidul. Fenomena ini menjelaskan betapa patron itu berlapis. Patron utama menempati posisi puncak di dalam struktur kuasa di Alun-Alun Kidul. Di bawahnya, terdapat “patron-patron pertengahan” sebagai pemilik sumber daya”. Dari sisi relasi kuasa, fenomena patron yang berlapis menarik untuk dicermati. Sebab, apabila ada aspirasi, konflik, bahkan perlawanan dari lapisan dasar, patron utama tidak perlu menghadapi semuanya seara langsung. Sebab, masih ada lapis tengah untuk meredam dan mereduksi benturan kepentingan yang ada, sebelum berhadapan langsung dengan patron utama yang berada di lapisan puncak piramida kekuasaan.

Kraton, sebagai old state yang memiliki legitimasi kultural sekaligus pemilik Alun-Alun Kidul, telah mempersilakan Alun-Alun Kidul digunakan secara terbuka untuk mencari rezeki dan memanfaatkannya untuk kebaikan. Kondisi inilah yang membuat warga sadar; betapa kraton telah mempersilakan Alun-Alun Kidul untuk dimanfaatkan walaupun kraton tidak mendapatkan “upeti”

(4)

dari ragam aktivitas bisnis di dalamnya. Kesadaran ini sekaligus menjadi pengingat, bahwa, jika kraton memerintahkan Alun-Alun Kidul dibersihkan dan ditutup untuk umum, apalagi menjadi kawasan komersial, maka para pelaku bisnis di dalamnya harus patuh. Sebab, bagaimanapun, Alun-Alun Kidul memang milik kraton; sebuah sumber kemakmuran yang begitu manis dan menggiurkan secara ekonomi bagi banyak orang.

Kelima, oleh sebab itulah, karakter patronase di Alun-Alun Kidul begitu khas dan menarik, dengan model piramida kuasanya. Struktur sosial paling mendasar dibangun dari relasi antara pekerja dan pemilik sumber daya di dalam paguyuban. Relasi kuasa di lapisan kedua kian meluas dengan relasi antara paguyuban dengan paguyuban yang lain serta relasi paguyuban dengan Paparasi. Relasi di antara semua pelaku usaha dengan kraton sebagai pemilik Alun-Alun Kidul, terjadi pada lapisan atas sebagai puncak piramida.

Di dalam piramida kuasa ini, praktek patronase terjadi sejak dari lapisan paling dasar, yakni relasi yang dibangun di antara pemilik sumber daya dan pekerjanya. Lapisan kedua, yakni relasi antara paguyuban dengan Paparasi belum terdapat relasi yang menjelaskan terjadinya patronase, seperti yang telah dijelaskan pada poin kedua di atas. Garis putus-putus menjelaskan bahwa keberadaan paparasi tidak dapat dilepaskan dari pengaruh aktor di lapisan puncak, yakni kraton. Terakhir, di posisi puncak piramida, terdapat relasi kuasa yang semakin meluas, namun jumlah aktor di dalamnya kian sedikit. Yakni, pengaruh dan legitimasi kraton sebagai patron utama yang mengayomi semua pelaku usaha di Alun-Alun Kidul Yogyakarta.

Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa, karakter patronase yang menguasai Alun-Alun Kidul tidak hanya terletak pada relasi antara patron dan klien saja, bersifat sukarela, dan ada pertukaran sumber daya secara langsung. Lebih jauh, patronase terjadi karena terintegrasi ke dalam sistem budaya yang feodalistik dengan kraton berada di posisi puncak struktur kuasa sebagai patron utama. Sumber daya yang dipertukarkan tidak selalu bersifat langsung dan harus bertatap muka, antara patron dan klien. Sebaliknya, restu kraton untuk

(5)

memanfaatkan Alun-Alun Kidul merupakan praktek pertukaran sumber daya secara tidak langsung antara kraton dengan seluruh pelaku usaha di dalamnya.

Faktor pra-kondisi begitu penting bagi kajian ini. Mencermati karakter patronase dalam konteks relasi kuasa antar aktor di dalam Alun-Alun Kidul tidak dapat dilepaskan dari sisi sosio-historis kraton Yogyakarta. Di titik inilah, teorisasi Eisendstadt memberikan penjelasan, bahwa, relasi antara patron dan klien dalam praktek pertukaran sumber daya, tidak dapat dilepaskan dari struktur budaya feodalistik yang melingkupinya. Sehingga bagi Jalong, terdapat pra-kondisi khas yang mengunci setiap relasi patronase dan melampui praktek pertukaran sumber daya di antara patron dan klien.

Keenam, karakter patronase dengan model piramida kuasa menjelaskan, betapa struktur kuasa yang dibangun dari praktek patronase bersifat saling menguntungkan. Di sisi lain, sumber daya berupa Alun-Alun Kidul yang terbuka bagi khalayak begitu penting bagi pelaku usaha. Mereka berupaya patuh pada pesan kraton agar menjaga Alun-Alun Kidul tetap tertib, indah, dan bersih. Dengan menempatkan kraton sebagai patron utama dan berupaya mematuhi pesan kraton, pelaku usaha berharap kearifan kraton tidak dapat diganggu oleh siapapun yang mengancam rezeki, termasuk oleh pemerintah Kota Yogyakarta.

Ragam upaya yang dilakukan untuk merawat patronase agar tetap lestari, tidak dapat dilepaskan dari upaya membangun rezim lokal. Melalui rezim inilah, pelaku usaha berlindung dari ragam ancaman yang dapat mengancam rezeki mereka, seperti penertiban lapak-lapak dan upaya pemerintah Kota Yogyakarta untuk mengatur jadwal sepeda hias. Mereka berpendapat bahwa, hanya kraton yang berhak untuk mengatur Alun-Alun Kidul. Pola pikir seperti ini menyebabkan Alun-Alun Kidul sebagai satu-satunya ruang yang tidak bisa “disentuh” secara langsung oleh pemerintah Kota Yogyakarta.

Oleh sebab itu, beragam upaya penataan yang dilakukan oleh pemerintah kota, seperti menata pedagang, mendata juru parkir dan menata ruang-ruang parkir, serta mengatur jadwal sepeda hias, harus mendapat legitimasi dari kraton. Pemerintah kota –bagi pelaku usaha- harus “izin” dahulu kepada kraton apabila akan ikut menata Alun-Alun Kidul. Pelaku usaha juga beranggapan bahwa,

(6)

apapun kebijakan yang dikeluarkan, pemerintah kota harus selalu berkonsultasi kepada kraton. Selain itu, forum dialog yang difasilitasi oleh Paparasi dan diketahui oleh kraton harus didahulukan untuk membangun ruang komunikasi. Tanpa komunikasi dan restu kraton –baik kraton secara institusi maupun kraton secara personal, seperti Ngarso Dalem dan Gusti Hadi, kebijakan pemerintah kota dianggap tidak memiliki legitimasi untuk diimplementasikan.

Fenomena rezim lokal ini diperkuat oleh kesadaran pemerintah kota terhadap posisinya dan berupaya untuk menjaga komunikasinya dengan kraton. Sebagaimana telah didiskusikan di bab IV, pemerintah Kecamatan Kraton sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah kota, menjalankan politik dua kaki dalam upaya menata Alun-Alun Kidul. Hingga kini, kraton mengakui kewenangan pemerintah Kota Yogyakarta sebagai implikasi politik dari bergabungnya kraton dengan pemerintah RI, seperti yang diamanatkan di dalam Maklumat 5 September. Dengan kesadaran historis, kraton berupaya agar tidak terjadi dualisme pemerintahan di dalam Kota Yogyakarta. Kraton juga berupaya untuk selalu membuka komunikasi dengan pemerintah Kota Yogyakarta sebagai eksekutor kebijakan di wilayah Kota Yogyakarta. Di titik inilah, titik temu dua kuasa antara old state dan new state terjadi.

C.

Refleksi Teoritis dan Kontribusi Penelitian terhadap Kajian

Politik

Lokal di Indonesia

Selama ini, kajian patronase di Indonesia memfokuskan kajiannya pada persoalan, bagaimana relasi patronase dibangun serta sumber daya dipertukarkan dan dipertahankan di antara patron dan klien saja. Penelitian ini mencoba mengembangkan kajian patronase dari kajian sebelumnya, dengan menekankan pentingnya faktor pra-kondisi sebagai ruang bagi tumbuh-suburnya relasi patronase itu sendiri. Sebagaimana telah didiskusikan di dalam kerangka teori, bagi Jalong dan Eisendstadt, pertukaran sumber daya harus dilihat sebagai pertukaran yang digeneralisir. Pertukaran yang digeneralisir merupakan pelembagaan praktek patronase yang tidak sekedar bersifat pragmatis antara patron dan klien saja, melainkan juga mengenai praktek terintegrasinya patronase

(7)

ke dalam setting budaya dan politik dalam masyarakat di mana praktek tersebut berlangsung.

Refleksi teoritis di dalam gagasan ini mensyaratkan adanya tata nilai tertentu yang mengunci relasi patronase yang terjadi. Penelitian ini menemukan bahwa, patronase di Alun-Alun Kidul terintegrasi ke dalam tata nilai budaya Jawa yang telah melahirkan dan membesarkannya, dengan menempatkan kraton sebagai patron utama. Dengan mengetahui siapa yang menjadi patron utama inilah, maka, relasi kuasa antara patron dan klien yang terjadi di dalamnya lebih mudah untuk dipahami dan didalami. Di dalam konteks penelitian ini, karakteristik patronase yang menguasai Alun-Alun Kidul berbentuk piramida kuasa serta menempatkan kraton sebagai patron utama berada di posisi puncak piramida.

Secara teoritis, penelitian ini memiliki dua pendapat utama. Pertama, kajian ini menyepakati pemikiran Eisendstadt bahwa kajian patronase tidak dapat dilepaskan dari kajian mengenai tata nilai lokal yang mempengaruhi kelahiran, pertumbuhan, dan berkembangnya praktek patronase sebagaimana gagasan mengenai pertukaran sumber daya yang digeneralisir. Kajian ini meniscayakan adanya pra-kondisi dan tata nilai yang berbeda di setiap lokus penelitian. Melalui sudut pandang ini, penelitian di Alun-Alun Kidul menemukan bahwa patron tidaklah tunggal. Beragamnya patron yang ada dan bahkan berlapis, dikunci oleh keberadaan patron utama yang mengayomi semua patron (yang lebih kecil) dan klien di dalam struktur sosial yang berlapis. Sehingga, karakter patronase yang menguasai Alun-Alun Kidul melahirkan model relasi kuasa berbentuk piramida kuasa.

Kedua, berpijak dari poin pertama yang menjelaskan kompleksitas aktor di dalam relasi patronase, maka, relasi patronase yang terjadi perlu diseksamai dengan mengembangkan sudut pandang yang lebih luas. Penelitian ini menawarkan perspektif tentang relasi antara relasi patronase dengan lahirnya rezim lokal yang menghendaki terawatnya praktek patronase. Perspektif ini cukup penting sebagai upaya untuk menjelaskan bahwa patronase tidak hanya berhenti pada relasi antara patron dan klien saja, melainkan ada upaya untuk merawat

(8)

patronase itu sendiri. Teknik pencarian data dengan menggunakan perspektif ini mensyaratkan adanya perhatian yang mendalam mengenai relasi antar aktor secara lebih kompleks; bukan hanya di antara patron dan klien saja, melainkan juga relasi antara patron, klien, negara, dan swasta.

Oleh sebab itu, perkembangan kajian patronase sebaiknya tidak lagi berbicara tentang bagaimana ia dilahirkan dan dibentuk, melainkan juga perlu didiskusikan, bagaimana patronase dirawat dan dilestarikan. Pra-kondisi yang membidani lahirnya patronase, juga turut berperan bagi upaya menumbuh-suburkan patronase dan mengupayakannya agar tetap lestari. Patronase, bagi orang yang terlibat di dalamnya, bukan hanya soal bagaimana kesejahteraan dapat diperoleh, melainkan juga bagaimana kesejahteraan yang telah diperoleh dapat dipertahankan, bahkan diwariskan secara turun temurun.

Upaya untuk melestarikan patronase erat kaitannya dengan kapasitas aktor dalam mengelola relasi kuasa yang ada. Di titik inilah, rezim lokal lahir, sebagai upaya untuk melestarikan patronase. Rezim lokal di sini dipahami sebagai seperangkat norma dan aturan dibentuk melalui kesepakatan bersama di antara aktor lokal. Di dalam konteks Alun-Alun Kidul, para anggota paguyuban berupaya untuk mematuhi perintah dan pesan yang dikehendaki kraton. Paparasi sebagai organisasi yang memayungi semua paguyuban yang ada, memfasilitasi untuk membuka ruang komunikasi dan ruang dialog dengan pemerintah Kota Yogyakarta maupun dengan kraton itu sendiri. Alun-Alun Kidul menjadi ruang para pelaku usaha untuk mencari rezeki dengan aturan-aturan yang disepakati bersama berdasarkan pesan dan kehendak kraton.

Tujuan para pelaku usaha menjaga komunikasi yang baik dengan pengurus Paparasi, terutama dengan kraton, tidak lain untuk mengamankan kepentingan usaha mereka di Alun-Alun Kidul. Bahkan, para pelaku usaha “berlindung” kepada kraton dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Kota Yogyakarta. Kondisi ini menyebabkan Alun-Alun Kidul sarat dengan kepentingan dari beragam aktor. Kepentingan pemerintah kota untuk menata langsung terbentur oleh lebatnya belantara kusaa yang dibangun oleh rezim lokal di Alun-Alun Kidul: para pelaku usaha yang tidak mau diatur secara langsung, pengaturan

(9)

harus ada restu dari kraton, serta tuntutan bagi pemerintah kota untuk selalu menjaga komunikasi yang baik dengan kraton dan semua pelaku usaha di Alun-Alun Kidul Yogyakarta.

Alun-Alun Kidul kian sarat dengan kepentingan banyak aktor. Di satu sisi, rezim lokal menghendaki “status quo” dan berupaya agar relasi patronase tetap lestari. Di sisi yang lain, pemerintah kota Yogyakarta berupaya menata Alun-Alun Kidul, sebab, ia menjadi salah satu tujuan wisata favorit di Yogyakarta yang menjadi bagian wilayah pemerintahan pemerintah Kota Yogyakarta. Permainan masangin bahkan telah dikenal di antara wisatawan mancanegara. Titik temu dua kuasa; yakni persinggungan kewenangan formal dengan legitimasi kultural-informal di antara “dua negara” inilah yang telah mewarnai dinamika politik lokal di Kota Yogyakarta. Oleh sebab itulah, pengembangan sudut pandang terhadap kajian patronase di tingkat lokal dapat mengembangkan kajian yang telah ada dan memberikan kontribusi teoritik bagi perkembangan kajian politik lokal di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis data secara statistik membuktikan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan antara variabel Disiplin siswa dan sarana prasarana secara bersama

Tujuan penelitian ini adalah merancang suatu sistem basis data berupa buku alamat online yaitu Gold Pages untuk membantu pihak PT.Finroll dalam memberikan fasilitas tambahan

(3) Semakin tinggi motivasi belajar maka akan semakin baik kesiapan belajar siswa dan ada hubungan dengan prestasi belajar Geografi siswa kelas X SMA Negeri 1 Kotabumi

Dari hasil analisis bahana hukum dapat disimpulkan bentuk perlindungan hukum bagi pemegang bilyet giro dalam hal penerbitan bilyet giro kosong terdapat

Complex formation study of binary and ternary complexes including 2, 3-dihydroxybenzoic acid, N-acetylcysteine and divalent metal ions. N-acetylcysteine in psychiatry: current

Bahan yang digunakan untuk uji daya analgetika dengan rangsang kimia terdiri dari esktrak etanol herba suruhan, tablet Asam Mefenamat sebagai penghambat nyeri (kontrol

Sekilas tentang peradaban Islam di Eropa dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa ini diawali dengan perjalanan Hanum di Wina tepatnya dibukit Kahlenberg disana

Pada hakikatnya penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek atau subyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrument