PENERIMAAN DIRI PADA PENDERITA EPILEPSI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)
Rima Ridha Dwirosalia B07211023
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk memahami bentuk bentuk penerimaan d iri serta menemukan faktor faktor yang melatar belakangi terbentukny a penerimaan diri pada penderita epilepsi. Penelitian ini merupaka pen elitian kualitatif dengan metode studi kasus. Subjek dalam penelitian i ni adalah penderita epilepsi. Ada dua subjek yang dijadikan sumber in formasi dengan penderita epilepsi, yang pertama subjek telah menderit a epilepsi selama sepuluh tahun dan subjek ke dua telah menderita epil epsi selama sebelas tahun .
Dari hasil penemuan penelitian subjek memiliki penerimaan diri yang berbeda dengan di temukanya tujuh aspek pada subjek pertama dan 5 aspek pada subjek kedua, diantaranya ialah persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan, sikap terhadap kelemahan dan kekuatan d iri sendiri dan orang lain, perasaan inferioritas sebagai gejala penolaka n diri, respon atas penolakan dan kritikan, keseimbangan antara real s elf dan ideal self, penerimaan diri dan penerimaan orang lain, serta sik ap terhadap penerimaan diri. Hal tersebut dilatar belakangi akibat bebe rapa faktor, diantaranya adalah pemahaman tentang diri sendiri, harap an realistik, tidak adanya hambatan dilingkungan, tidak ada gangguan emosi yang berat, pola asuh dimasa kecil , serta konsep diri yang stab il.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
MOTTO ... vii
DAFTAR ISI ... viii
INTISARI ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN ... 1
B. FOKUS PENELITIAN ... 7
C. TUJUAN PENELITIAN ... 7
D. MANFAAT PENELITIAN ... 7
a. Manfaat teoritis ... 7
b. Manfaat praktis ... 8
E. KEASLIAN PENELITIAN ... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. PENERIMAAN DIRI ... 11
a. Pengertian penerimaan diri ... 11
b. Aspek-aspek penerimaan diri ... 13
c. Faktor-faktor penerimaan diri ... 16
d. Ciri ciri orang dengan penerimaan diri ... 19
B. EPILEPSI ... 23
a. definisi epilepsi ... 23
b. etiologi epilepsi ... 26
c. jenis-jenis epilepsi ... 27
d. diagnosa epilepsi ... 29
BAB III METODE PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN ... 35
B. LOKASI PENELITIAN ... 36
C. SUMBER DATA ... 37
D. CARA PENGUMPULAN DATA ... 39
a. Observasi... 39
b. Wawancara ... 40
c. Dokumentasi ... 40
E. PROSEDUR ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA ... 40
F. KEABSAHAN DATA... 42
a. Kredibilitas Data ... 43
b. Ketegasan Data ... 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. DESKRIPSI PARTISIPAN ... 46
1. Profil subjek 1 ... 46
2. Profil subjek 2 ... 46
3. Profil informan 1 subjek 1 ... 47
4. Profil informan 1 subjek 2 ... 47
5. Profil informan 2 subjek 1 ... 48
6. Profil Informan 2 subjek 2 ... 48
7. Profil informan 3 subjek 1 ... 48
8. Profil informan 3 subjek 2 ... 48
B. HASIL PENELITIAN ... 49
a. Deskripsi hasil temuan ... 49
1. Deskripsi hasil temuan subjek 1 ... 49
2. Deskripsi hasil penelitian subjek 2 ... 60
b. Analisis temuan penelitian ... 67
C. PEMBAHASAN ... 75
BAB V PENUTUP A. SIMPULAN ... 83
DAFTAR PUSTAKA ... 86
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 88
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : guidence wawancara ... 88
Lampiran 2 : guidence observasi ... 94
Lampiran 3 : transkip wawancara subjek 1... 95
Lampiran 4 : transkip wawancara informan 1 subjek 1 ... 122
Lampiran 5 : transkrip wawancara informan 2 subjek 1 ... 132
Lampiran 6 : transkip wawancara informan 3 subjek 1 ... 135
Lampiran 7 : transkip wawancara subjek 2... 140
Lampiran 8 : transkip wawancara informan 1 subjek 2 ... 154
Lampiran 9 : transkip wawancara informan 2 subjek 2 ... 162
Lampiran 10 : transkip wawancara informan 3 subjek 2 ... 165
Lampiran 11 : lampiran obsevasi subjek 1 ... 168
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setiap manusia di lahirkan di dunia ini pasti memiliki keinginan
menjadi manusia yang sempurna dan dapat memenuhi tugas
perkembangannya serta melakukan setiap aktifitas dengan baik. Sehingga
dia mampu menunjukan eksistensi dirinya terhadap orang lain.
Namun tak jarang juga mereka yang mempunyai kekurangan yang
menjadi hambatan dalam mewujudkan keinginan naluriah yang di
inginkan oleh semua orang tersebut.
Seperti halnya dengan orang yang memiliki gangguan
ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan otak
karna cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsang yang
berlebihan, yang disebut dengan epilepsi. Epilepsi ini dapat menimbulkan
kelainan motorik, sensorik otonom atau psikis yang timbul tiba-tiba dan
sesaat disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel otak.
Secara klinis epilepsi merupakan gangguan paroksismal, dimana
cetusan neuron korteks seretonin menyebabkan serangan penurunan
kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau
emosional yang intermiten atau stereotipik.(Ginsberg, 2007)
Mardjono, 1989 (dalam Irawati dan Hadjam, 2002) berpendapat
bahwa epilepsi merupakan nabifestasi gangguang fungsi otak dengan
2
yakni serangan berkala yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik pada
meuron neuron otak secara berlebihan dan praksismal.
Epelipsi yang sering di sebut dengan ayan ini adalah suatu
gangguan saraf yang timbul secara tiba tiba dan berkala, biasanya dengan
perubahan kesadaran. Penyebabnya adalah aksi serentak dan mendadak
dari sekelompok besar sel-sel saraf di otak. Aksi ini disertai dengan
pelepasan muatan listrik yang berlebihan dari neuron-neuron tersebut.
Lazimnya pelepasan muatan listrik ini terjadi secara teratur dan terbatas
dalam kelompok kelompok kecil, yang memberikan ritme normal pada
electroencefalogram (EEG). Serangan ini kadang kala bergejala ringan
dan (hampir) tidak kentara, etapi ada kalanya bersifat demikian hebat
sehingga perlu di rawat di rumah sakit. (tjay dkk, 2007).
Pada abad ini epilepsi masih sering di kaitkan dengan hal-hal
spiritual karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat umum.
Tak jarang mereka menganggap penyakit epilepsi adalah penyakit yang
menular. Mereka menganggap busa dari airliur yang di keluarkan oleh
penderita epilepsi yang sedang kambuh dapat menulari orang yang terkena
airliur tersebut
Penderita epilepsi ini dapat mengalami kejang kejang selama 5-10
menit dimana dan kapan saja, oleh karna itu sebagaian besar pederita
merasa malu dan kurang percaya diri terhadap penyakit yang dideritanya,
sehingga tak sedikit dari keluarga mereka yang membatasi anaknya
3
Epilepsi dapat diderita oleh siapapun, termasuk pada
anak-anak dan remaja. Dalam kehidupan sehari-hari, penderita epilepsi masih
dijauhi oleh masyarakat karena keterbatasan fisiknya. Masyarakat ketika
melihat seseorang tiba-tiba jatuh dan kejang-kejang (karena serangan
epilepsi) cenderung bereaksi untuk menjauhi orang tersebut. Masyarakat
masih memiliki kecenderungan takut menyentuh, apalagi membantu
karena sampai saat ini masih ada anggapan bahwa epilepsi
merupakan penyakit menular. Adanya hal tersebut, dapat menjadi sumber
tekanan bagi penderita epilepsi dan akhirnya membuat penderita epilepsi
membatasi diri dalam berinteraksi (Harsono, 2001,h.10-25).
Kondisi psikologis erat kaitanya dengan bentuk kepribadian. Mc
kinlay menyatakan penderita epilepsi usia muda banyak menunjukan sikap
bermusuhan, kurang memiliki rasa tanggung jawab, banyak tuntutan,
berwajah suram, keras kepala, dan kurang menghiraukan keberadaan
orang lain di sekitarnya. (dalam Irawati dan Hadjam, 2002)
Kondisi fisik dan psikis dari penederita epilepsi dapat membawa
dampak negatif dari psikisnya sehingga penderita kerap kali merasa malu,
tidak percaya diri serta hilangnya harga diri. Penderita yang tidak dapat
menerima dirinya sendiri akan merasa dirinya tidak berarti, tidak berguna
sehingga akan semakin merasaterasing dan terkucil dari lingkungannya
(monty dkk, 2003)
Sartai (dalam purwaningrum, 2013) Penerimaan diri adalah
4
unuk mengakui keberadaan dirinya secara obyektif. Individu yang
menerima dirinya adalah individu yang menerima dan mengakui keadaan
dirinya sebagaimana adanya. Hal ini tidak berarti bahwa seseorang
menerima begitu saja kondisi dirinya tanpa ada usaha yang lebih lanjut.
Sesorang yang menerima dirinya berarti orang tersebut mengenal dimana
dan bagaimana dirinya saat ini serta mempunyai keinginan untuk terus
mengembangkan diri.
Penerimaan diri pada penderita epelipsi ini sangat di perlukan,
karena dengan menerima dan menyadari kekurangan dirinya, penderita
dapat merasa lebih percaya diri dengan lingkungannya.
Seperti halnya subjek dalam penelitian ini yang berinisial UA. UA
menderita eplepsi sejak ia kelas 6 SD. Saat itu UA berusia 12 tahun. UA
tidak mengetahui sebab pasti epilepsi yang di deritanya, yang dia ingat
waktu UA kelas 6 SD ia sangat suka dengan sepak bola karna dia
mengikuti club sepak bola. UA merupakan pemain terbaik di kampung, ia
mampu mencetak banyak gol pada setiap pertandingannya. sehingga setiap
ada pertandingan sepak bola tim UA selalu menjadi juara. suatu ketika
pada satu perlombaan nasional yang bertempat di Surabaya UA dan
timnya tidak dapat memenangkan pertandingan tersebut. Disitulah UA
merasa sangat kecewa. Beberapa hari setelah itu menurut penuturan
ibunya UA mengalami kejang dalam tidurnya kemudian UA di larikan ke
rumah sakit terdekat dan menjalani rawat inap disana. Setelah mejalani
5
sekarang UA berkuliah semester 8 di UIN Sunan Ampel Surabaya. Tak
jarang epilepsi UA kambuh ketika perkuliahan berlangsung. Setiap teman
kuliah UA juga mengetahui penyakit yang di derita UA. Karna menurut
UA dengan teman-temannya tau tentang penyakitnya mereka akan lebih
mengetahu dan menerima UA apa adanya dan bahkan mereka tau
bagaimana cara mengatasi ketika epilepsi UA sedang kambuh. Dengan
begitu UA pun lebih merasa percaya diri dan bisa bersosialisasi dengan
temannya tanpa rasa malu. (berdasarkan wawancara 30 april 2015)
Sama halnya dengan I, I yang merupakan anak ke 3 dari 4
bersaudara ini mengalami epilepsi ketika subjek berusia 9 tahun. Subjek
yang tidak mendapatkan kesempatan formal sejak kecil karena
keterbatasan fisiknya dan ketidak mampuan berbicara seperti hal ya orang
normal ini mengaku bahwa ia tidak mengingat jelas awal kali ia menderita
epelepsi. Yang ia ingat sebelum itu I dan teman temannya bermain di
pemakaman tempat I tinggal. Kala itu I naik di pohon yang seperti biasa di
lakukan oleh anak kecil seusianya dan kemudia I jatuh dari pohon tersebut.
Dan beberapa hari setelah itu I mengalami kejang-kejang secara tiba tiba.
Di tengah keterbatasan fisik dan epileplepsi yang di deritanya I
tetap aktif di masjid, I selalu datang tepat ketika adzan berkumandang
untuk melakukan sholat berjama‟ah dan ia juga mengikuti belajar
membaca al-qur‟an dengan metode tillawati yang rutin di adakan di
6
Dengan penyakit yang di derita kedua subjek tersebut, mereka
memerlukan penerimaan diri yang mana Penerimaan diri sebagai suatu
keadaan dimana seseorang memiliki sikap positif terhadap diri sendiri,
mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik
dan buruk yang ada pada diri dan memandang posiitif terhadap
kehidupan yang telah dijalani
Penerimaan diri berkaitan dengan konsep diri yang positif.
Seseorang dengan konsep diri yang positif dapat memahami dan menerima
fakta – fakta yang begitu berbeda dengan dirinya, orang dapat
menyesuaikan diri dengan seluruh pengalaman mentalnya sehingga
evaluasi tentang dirinya juga positif (Acocella dkk, 1990)
Diluar serangan kejang, penderita epilepsi merupakan pribadi yang
normal seperti halnya yang di Sebenarnya anak penyandang epilepsi
adalah anak yang normal diluar terjadinya serangan. Sebanyak 80%
penderita epilepsi dapat ditolong dengan pengobatan modern. Hasil survei
terhadap 321 kasus epilepsi, 46% menunjukkan adanya kelainan perilaku
(Thompson, 1988 dalam apriani, 2006) .
Di tengah masa dewasa awal dimana merupakan periode
penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan
sosial baru. Periode ini sangat sulit sebab sejauh ini sebagai besar anak
mempunyai orang tua, guru, teman atau orang lain bersedia menolong
dalam penyesuain diri. Sekarang sebagai orang dewasa mereka di
7
menyesuaikan diri dengan baik penderita epilepsi membutuhkan konsep
diri yang positif sehingga penderita mampu menerima dirinya.
B. FOKUS PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang di atas maka fokus penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana penerimaan diri pada penderita epilepsi?
2. Faktor-faktor apa saja yang melatar belakangi penerimaan diri
terhadap penderita epilepsi?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui penerimaan diri penderita epilepsi
2. Untuk mengetahui faktor penerimaan diri terhadap penderita epilepsi
D. MANFAAT PENELITIAN
a. Manfaat teoritis
1. Dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi
perkembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi klinis
dengan memberikan gambaran penerimaan diri individu yang
menderita penyakit epilepsi.
2. Dapat menjadi bahan informasi, memberikan wawasan dan
pemahaman yang menyeluruh bagi masyarakat guna
memahami tentang penerimaan diri individu yang mederita
8
3. Hasil penelitian ini diharapkan bisa diambil hikmah atau
pelajaran bagi seluruh masyarakat yang tidak memiliki
menderita penyakit epilepsi untuk selalu bersyukur kepada
Tuhan.
b. Manfaat praktis
1. Bagi penderita Epilepsi, agar bisa menumbuhkan perasaan
menerima diri sendiri dengan segala kekurangan yang ada.
Sehingga gambaran penderita epilepsi memiliki penerimaan
diri yang positif.
2. Bagi keluarga penderita epilepsi, agar bisa memahami dan
menerima keadaan penderita apa adanya, dengan memberikan
dukungan, kasih sayang, perhatian. Sehingga dapat
membantu penyembuhan pasien.
E. KEASLIAN PENELITIAN
Keaslian penelitian yang di jabarkan oleh peneliti yaitu bersumber
dari beberapa penelitian sebelumnya, di antaranya adalah:
Penelitian dengan judul “penerimaan diri pada wanita penderita
kanker Nasofaring” oleh Riska (2013). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat faktor – faktor yang mempengaruhi penerimaan diri
subyek yaitu pemahaman subyek mengenai dirinya sendiri, harapan yang
realistis, tidak adanya hambatan dari lingkungan subyek, tidak adanya
tekanan emosi yang berat, serta konsep diri yang ada pada diri subyek.
9
menganggap dirinya menjijikkan serta orang yang melihatnya akan merasa
jijik dan kasihan. Sikap subyek sehari – hari dalam menghadapi berbagai
hal ditunjukkan dengan mudahnya subyek marah, sehingga suami maupun
anggota keluarga yang lain menilai bahwa subyek adalah sosok yang
tempramental.
Penelitian selanjutnya dengan judul “penerimaan diri pada
penderita epilepsi” oleh eki vina dkk. Fokus penelitian ini adalah
bagaimana proses penerimaan diri pada penderita dan faktor faktor yang
mempengaruhi proses penerimaan diri pada penderita epilepsi. Pada
penelitian ini menggunakan 3 subjek .Metode kualitatif dengan observasi
dan wawancara adalah metode yang di pilih oleh penelitian ini. Penelitian
ini dengan hasil bahwa proses penerimaan diri yang dialami masing
masing subjek membutuhkan waktu yang berbeda. Hal tersebut di
pengaruhi oleh seberapa cepat subjek mendapatkan informasi mengenai
kondisi dirinya sehinga subjek mengetahui apa yang harus di lakukannya.
Penelitian selanjutnya adalah “penerimaan diri pada remaja yang
berasal dari keluarga bercerai” oleh Naqiyaningrum (2007). Hasil dari
penelitian ini adalah rata-rata para subyek dapat penerima diri terhadap
kritikan dari orang lain dan dapat memahami serta mengakui kelemahan
yang ada pada diri mereka. Para subjek juga ingin menunjukan kepada
semua orang bahwa dirinya mampu menjadi sesuatu dan dapat
10
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,
dapat di pastikan bahwa penelitian ini benar-benar berbeda meskipun
terdapat kesamaan judul. Untuk membuktikan bahwa penelitian ini asli,
berdasarkan penelitian diatas dan penelitian ini memiliki perbedaan
bahwa dalam penelitian penerimaan diri pada penderita epilepsi oleh eki
vina dkk, subjek yang berbeda. Pada subjek yang di pilih oleh peneliti
sebelumnya salah satu subjek sudah menikah dan ada pula yang telah
menempuh pendidikan srata II akan tetapi pada penelitian ini subjek yang
di pilih merupakan subjek dengan latar belakang keterbatasan fisik
sehingga subjek tidak menempuh pendidikan formal akan tetapi subjek
aktif dalam kegiatan keagamaan di kampungnya dan subjek kedua
merupakan mahasiswa semester akhir strata I di Uin Sunan Ampel
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. PENERIMAAN DIRI
a. Pengertian penerimaan diri
Penerimaan diri adalah sikap yang mencerminkan perasaan
senang sehubungan dengan kenyataan yang ada pada dirinya,
sehingga sesorang dapat menerima dirinya dengan baik dan akan
mampu menerima kelemahan dan kelebihan yang dimilikinya (caplin,
2000. Hal 450)
Sedangkan menurut ryff, 1996 (dalam M. Ari, 2013) penerimaan
diri adalah keadaan dimana sesorang individu memiliki penilaian
positif terhadap dirinya, menerima serta mengakui segala kelebihan
maupun segala keterbatasan yang ada dalam dirinya tanpa merasa
malu atau merasa bersalah terhadap kodrat dirinya.
Sartain (dalam handayani, 2000. Hal 41) mengatakan bahwa
penerimaan diri adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya
sebagaimana adanya dan untuk mengakui keberadaan dirinya secara
obyektif. Individu yang menerima dirinya adalah individu yang
menerima dan mengakui keadaan diri sebagaimana adanya. Hal ini
tidak berarti seseorang menerima begitu saja kondisi dirinya tanpa
usaha untuk mengembangkan lebih lanjut. Seseorang yang telah
12
bagaimana dirinya saat ini, serta mempunyai keinginan untuk terus
mengembangkan dirinya (naqiyaningrum, 2007)
Menurut johnson, 1993 (dalam ulina, dkk., 2013) penerimaan
diri di pandang sebagai suatu keadaan dimana seseorang memiliki
penghargaan yang tinggi pada dirinya sendiri. Jika seorang memiliki
konsepdiri yang positif maka ia akan memiliki penerimaan diri yang
positi, dan jika ia memiliki konsep diri yang negatif maka ia tidakan
akan memiliki penerimaan diri atas dirinya
Penerimaan diri menurut helmi (M. Ridha, 2012) adalah sejauh
mana seseorang dapat menyadari dan mengakui karakteristik pribadi
dan menggunakannya dalam menjalani kelangsungan hidupnya. Sikap
penerimaan diri di unjukan oleh pengakuan seseorang terhadap
kelebihan-kelebihan sekaligs menerima kelemahan-kelemahannya
tanpa menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan yang terus
menerus untuk mengembangkan diri
Calhoun dan acocella (1990) mengatakan bahwa penerimaan
diri adalah individu yang dapat menerima dirinya dan juga menirima
orang lain apa adanya. Hal ini tidak berarti dia tidak pernah kecewa
terhadap dirinya sendiri atau bahwa dia gagal mengenali kesalahannya
sebagai suatu kesalahan. Dia tidak perlu meminta maaf atas
eksistensinya, dan dengan menerima dirinya sendiri, dia juga dapat
13
menyesuaikan diri sehingga sifat-sifat dalam dirinya seimbang dan
terintregasi.
Dari berbagai pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa
penerimaan diri adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya,
baik kelebihan ataupun kekurangan yang ada pada dirinya tanpa
menyalahkan orang lain, serta dia mempunyai keinginan untuk dapat
mengembangkan dirinya menjadi pribadi yang lebih baik.
b. Aspek aspek penerimaan diri
Menurut jersild (dalam Melinda, 2013) mengemukakan
beberapa aspek penerimaan diri, sebagai berikut :
a) Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan
Individu yang memiliki penerimaan diri berfikir lebih
realistik tentang penampilan dan bagaimana dirinya terlihat dalam
pandangan orang lai. Individu tersebut dapat melakukan sesuatu
dan dapat berbicara dengan baik mengenai dirinya yang
sebenarnya
b) Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain
Individu memiliki penerimaan diri memandang kelemahan
dan kekuatan dalam dirinya lebih baik daripada individu yang
tidak mempunyai penerimaan diri
c) Perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri
Seorang individu yang biasanya merasakan
14
memiliki sikap penerimaan diridan hal tersebut akan mengganggu
penilaian yang realistik atas dirinya
d) Respon atas penolakan dan kritikan
Individu yang memiliki penerimaan diri tidak menyukai
kritikan, namun demikian individu mempunyai kemampuan untuk
menerima kritakan atau bahkan mengambil hikmah dari kritikan
tersebut
e) Keseimbangan antara “real self dan ideal self
Individu yang memiliki penerimaan diri adalah individu
yang mempertahankan harapan dan tuntutan dari dalam dirinya
dengan baik dalam batas-batas memungkinkan individu ini
mungkin memiliki ambisi yang besar, namun tidak mungkin
mencapainya walau dalam jangka waktu yang lama dan
menghabiskan energinya. Oleh karna itu dalam mencapai
tujuanya individu mempersiapkan dalam konteks yang mungkin
di capai untuk memastikan dirinya tidak akan kecewa saat nanti.
f) Penerimaan diri dan penerimaan orang lain
Hal ini berarti apabila seorang individu menyayangi dirinya
maka akan lebih memungkinkan untuk menyayangi orang lain.
g) Penerimaan diri, menuruti kehendak, dan menonjolkan diri
Menerima diri dan menuruti diri merupakan hal yang
berbeda. Apabila seseorang individu menerima dirinya, hal
15
yang menerima dirinya akan menerima dan bahkan menuntut
pembagian yang layakakan sesuatu yang baik dalam hidup dan
tidak mengambil kesempatan yang tidak pantas untuk memiliki
posisi yang baik atau menikmati sesuatu yang bagus. Semakin
individu menerima dirinya dan di terima orang lain, semakin
individu mampu untuk berbaik hati.
h) Penerimaan diri, spontanitas dan menikmati hidup
Individu dengan penerimaan diri mempunyai lebih banyak
keleluasan untuk menikmati hal-hal dalam hidupnya. Individu
tersebut tidak hanya leluasa menikmati sesuatu yang
dilakukannya. Akan tetapi, juga leluasa untuk menolak atau
menghindari sesuatu yang tidak ingin dilakukannya.
i) Aspek moral penerimaan diri
Individu dengan penerimaan diri bukanlah individu yang
berbudi baik dan bukan pula individu yang tidak mengenal moral,
tetapi memiliki fleksibelitas dalam pengaturan hidupnya. Individu
memiliki kejujuran untuk menerima dirinya sebagai apa dan
untuk apa nantinya, dan tidak menyukai kepura-puraan.
j) Sikap terhadap penerimaan diri
Menerima diri merupakan hal penting dalam kehidupan
sesorang. Individu individu yang dapat menerima beberapa aspek
hidupnya, mungkin dalam keraguan dan kesulitan dalam
16
c. Faktor-faktor penerimaan diri
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penerimaan diri
diantaranya adalah berpikir positif. Berpikir positif adalah
memandang segala persoalan yang muncul dari sudut pandang
yang positif karena dengan berpikir positif individu mempunyai
pandangan bahwa setiap hasil pasti ada pemecahannya dan suatu
pemecahan yang tepat diperoleh melalui proses intelektual yang
sehat (Peale, 1977. Dalam melinda).
Hurlock 1974 (dalam M. Ari, 2013) mengemukakan sepuluh
faktor yang mempengaruhi penerimaan diri individu, yaitu:
a) Pemahaman tentang Diri Sendiri Timbul dari kesempatan
seseorang untuk mengenali kemampuan dan
ketidakmampuannya serta mencoba menunjukan
kemampuannya. Semakin individu memahami dirinya, maka
semakin besar penerimaan individu terhadap dirinya.
b) Harapan Realistik Timbul jika individu menentukan sendiri
harapannya dengan disesuaikan dengan pemahaman
kemampuannya, dan bukan diarahkan oleh orang lain. Dengan
harapan realistik, akan semakin besar kesempatan
tercapainya harapan tersebut sehingga menimbulkan kepuasan
17
c) Tidak Adanya Hambatan di Lingkungan. Harapan individu akan
sulit tercapai bila lingkungan di sekitarnya tidak memberikan
kesempatan atau bahkan menghalangi (walaupun harapan
individu sudah realistik).
d) Sikap-sikap Anggota Masyarakat yang Menyenangkan Tidak
adanya prasangka, adanya penghargaan terhadap kemampuan
sosial orang lain dan kesediaan individu mengikuti kebiasaan
lingkungan.
e) Tidak Adanya Gangguan Emosional yang Berat Tidak adanya
gangguan emosional yang berat akan membuat individu dapat
bekerja sebaik mungkin dan merasa bahagia.
f) Pengaruh Keberhasilan yang Dialami. Keberhasilan yang
dialami dapat menimbulkan penerimaan diri (yang positif).
Sebaliknya, kegagalan yang dialami mengakibatkan adanya
penolakan diri.
g) Identifikasi dengan Orang yang Memiliki Penyesuaian Diri yang
Baik Individu yang mengidentifikasi diri dengan orang yang
well adjusted, dapat membangun sikap-sikap yang positif
terhadap diri sendiri dan bertingkah laku dengan baik, yang
dapat menimbulkan penerimaan diri dan penilaian diri yang
18
h) Adanya Perspektif Diri yang Luas. Yakni memperhatikan
pandangan orang lain tentang diri. Perspektif diri yang luas
ini diperoleh melalui pengalaman dan belajar.
i) Pola Asuh di Masa Kecil yang Baik Anak yang diasuh secara
demokratis akan cenderung berkembang sebagai orang yang
dapat menghargai dirinya sendiri.
j) Konsep Diri yang Stabil. Individu yang tidak memiliki
konsep diri yang stabil (misalnya, kadang menyukai diri dan
kadang tidak menyukai diri), akan sulit menunjukan pada orang
lain siap ia sebenarnya, sebab ia sendiri ambivalen terhadap
dirinya. Hurlock (1974), memberikan pandangan bahwa
semakin baik seorang individu dapat menerima dirinya,
semakin baik penyesuaian diri dan penyesuaian sosialnya.
Penyesuaian diri yang positif adalah adanya keyakinan pada
diri dan adanya harga diri sehingga timbul kemampuan
menerima dan membangun kritik demi perkembangan
dirinya. Penerimaan diri yang disertai dengan rasa aman
untuk mengembangkan diri ini memungkinkan seseorang
untuk menilai dirinya secara lebih realistis sehingga dapat
menggunakan potensinya secara efektif. Selain itu ia juga
merasa puas dengan menjadi dirinya sendiri tanpa adanya
keinginan untuk menjadi orang lain. Penyesuaian sosial yang
19
lain, menaruh minat terhadap orang lain, dapat memberikan
simpati dan toleran, dapat mengatasi keadaan emosionalnya
tanpa mengganggu orang lain, dan memiliki dorongan untuk
membantu orang lain.
d. Ciri-ciri orang dengan penerimaan diri
Menurut osborne (1992, hal 77, dalam Naqiyaningrum 2007)
ciri-ciri individu dengan penerimaan diri yang positif yaitu :
a) Tidak dikendalikan oleh ambisi yang berlebihan, melainkan
memiliki sifat rendah hati dan dewasa secara emosional.
Ambisi yang berlebihan membuat seseorang ingin memiliki
dorongan yang berlebihan untuk mengungguli, mengalahkan,
lebih menonjol, berkuasa, berkedudukan dan memiliki segala
sesuatu yang dapat melebihi orang lain yang di anggap sebagai
saingannya
b) Tidak banyak mengeluh. Seseorang yang menerima dirinya
merasa memiliki kasih dan pengakuan dari setiap orang
sehingga dapat melakukan sesuatu pekerjaan dengan baik. Ia
tahu bagaimana yang harus di kerjakan dan bagaimana yang
merupakan bagian pekerjaan orang lain. Hal ini menyebabkan
ia bekerja dengan benar dantidak terlalu sibuk sehingga
membuat ia tidak terlalu banyak mengeluh.
c) Tidak mudah menyerah. Orang yang tidak mudah menyerah
20
rintangan, belajar dari kegagalan dan tidak takut untuk
mencoba sesuatu yang baru. Memiliki semangat yang kuat
apabila mengalami kegagalan dan berusaha untuk mengubah
keadaan dengan belajar lebih baik.
d) Tidak mudah tersinggung, sabar dan berfikir positif terhadap
orang lain. Sebenarnya wajar apabila seseorang terluka hatinya
karena di sepelekan atau di sakiti. Namun jika terlalu mudah
tersinggung dan marah berarti tidak memiliki pengendalian diri
yang baik. Orang yang menerima dirinya memiliki
kemampuan mengendalikan emosi sehingga tidak mudah
marah dan tersinggung, hatinya tidak mudah di lukai tetapi
beruusaha sabar dan berfikir positif
e) Mengendalikan kemarahan, pikiran-pikirannya dan emosinya
secara benar. Ketika seseorang merasa jengkel dan emosinya
muncul, ia akan meredam kemarahannya karena ia sadar
bahwa hal tersebut tidak baik untuk dirinya. Orang yang
menerima diri akan belajar untuk jujur terhadap emosi-emosi
yang dimilikinya sehingga ia bisa mengungkap kemarahannya
dengan baik dan benar.
f) Hidupnya berorientasi saat ini dan masa yang akan datang.
Seseorang yang memiliki penerimaan diri akan percaya bahwa
ia dapat menghasilkan sesuatu yang baik dan berguna bagi
21
menyesali hal-hal yang sudah terjadi dimasa lalu. Namun
segala sesuatu yang dialaminya akan di anggap sebagai hikmah
untuk belajar sesuatu dari kehidupannya yang lebih baik
dimasa kini.
g) Tidak mengharap belas kasihan orang lain. Orang yang
memiliki penerimaan diri mengetahui bahwa rasa bahagia yang
benar bukan berasal dari orang ain, harta beda, jabatan dan
pendidikan yang dimiliki elainkan berawal dari penerimaan
diri apa adanya dengan merasa cukup puas akan setiap hal
yang dimilikinya.
Menurut sheeree (hartini, 2012) menyatakan bahwa ciri-ciri
orang yang menerima dirinya adalah:
a) Individu mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk
menghadapi persoalan
b) Individu menganggap dirinya berharga sebagai seorang
manusia dan sederajat dengan orang lain
c) Individu tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan
tidak ada harapan di tolak orang lain
d) Individu tidak malu atau hanya memperhatikan dirinya sendiri
e) Individu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya
f) Individu dapat menerima pujian atau celaan secara obyektif
g) Individu tidak menyalahkan diri atau keterbatasan yang
22
Sedangkan menurut johnson, 1993 (dalam hamida, 2012 ),
ciri-ciri orang yang menerima dirinya adalah menerim diri sendiri apa
adany, tidak menolak diri sendir, apabila memiliki kelemahan dan
kekurangan, memiliki keyakinan bahwa untuk mencintai diri sendiri,
maka seseorang tidak harus di cintai oleh orang lain dan di hargai oleh
orang lain. Seseorang merasa berharga, maka seseorang tidak perlu
merasa benar-beanar sempurna, memiliki keyakinan bahwa dia
mampu untuk menghasilkan kerja yang berguna.
Jersild (dalam Hurlock, 1974) mengemukakan beberapa ciri
penerimaan diri untuk dapat membedakan antara orang yang
menerima keadaan dirinya atau yang telah mengembangkan sikap
penerimaan terhadap dirinya dengan orang yang menolak keadaan
dirinya (denial), antara lain:
a) Memiliki harapan yang realistis terhadap keadaannya dan
menghargai dirinya sendiri;
b) Yakin akan standar-standar dan pengakuan terhadap
dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain
c) Memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya dan tidak
melihat dirinya secara irasional
d) Menyadari aset diri yang dimiliki dan merasa bebas untuk
melakukan keinginannya
23
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
ciri-ciri orang yang memiliki penerimaan diri positif adalah menerima
kelebihan dan kekurangannya, mampu mengendalikan emosi, sadar
bahwa kebahagian berasal dari dirinya sendiri, memiliki orientasi
yang baik di masa datang untuk dinya sendiri serta tidak mudah
menyerah.
B. EPILEPSI
a. Definisi epilepsi
Epilepsi (yun= serangan ) atau sawan/penyakit ayan adalah
suatu gangguan syaraf yang timbul secara tiba-tiba dan berkala,
biasanya degan perubahan kesadaran. Penyebabnya adalah aksi
serentak dan mendadak dari sekelompok besar sel-sel saraf di otak.
Aksi ini disertai dengan pelepasan muatan listrik yang berlebihan dari
neuron-neuron tersebut. Lazimnya pelepasan muatan listri ini terjadi
secara teratur dan terbatas dalam kelompok-kelompok keil, yang
memberikan ritme normal pada elektroencefalogram (EEG).(tan hoan,
dkk.,2007. Hal 415)
Epilepsi menurut wordl Health Organization(WHO) merupakan
gangguan kronik otak yang menunjukan gejala-gejala berupa
serangan- serangan berulang-ulang yang terjadi akibat adanya
ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan otak
karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsangan yang
24
otonom atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat di sebabkan
lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel otak (Gofir dan Wibowo,
2006, h.3) dalam eki vina.
Sedangkan menurut satyanegara, dkk,. 2010 (h.473) epilepsi
adalah kejang yang menyerang seseorang yang tampak sehat atau
sebagai sebagai eksaserbasi dam kodisi sakit kronis sebagai akibat
oleh disfungsi otak sesaat dimanifestasikan sebagai fenomena
motorik, sensorik, otonomik atau psikis yang abnormal. Epilepsi
merupakan akibat dari gangguan otak kronis dengan serangan kejang
spontan yang berulang. Gangguan kronis pada epilepsi dapat
berkembang akibat kerusakan korteks khususnya neuron.
Definisi fisiologis epilepsi masih belum berubah dari definisi
yang di berikan oleh hughlings jackson pada abad ke-19 “epilepsi
adalah istilah untuk cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak
yang terjadi sewaktu-waktu mendadak dan cepat” (Lionel, 2007. Hal
79)
Menurut Mardjono, 1989 (dalam Irawati dan hadjam, 2002 )
berpendapat bahwa epilepsi merupakan manisfestasi gangguan fungsi
otak dengan berbagai penyebab (etiologi) namun dengan gejala
tunggal yang khas, yakni serangan berkala yang di sebabkan oleh
lepasnya muatan listrik pada neuron neuron otak secara berlebihan
25
Otak yang kira-kira terdiri atas 10 milyar sel secara fungsional
dapat dipandang sebagai suatu organ yang dapat menerima dan
menyimpan energi serta kemudia dapat mendistribusikan energi ke
tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat pula. Pada penderita
epilepsi, mekanisme yang mengatur kacau sehingga energi di
keluarkansewaktu-waktu ke sembarang tempat atau e seluruh tubuh
Miramis, 1980 (dalam Irawati dan hadjam, 2002) menyatakan
epilepsi adalah perubahan kesadaran yang mendadak, dalam jangka
waktu terbatas dan terjadi secara berulang dengan atau tanpa gerakan
yang tidak teratur (involuntary), bukan disebabkan kelainan seperti
gangguan peredaran darah, kadar glukosa darah yang rendah,
gangguan emosi, pemakaian obat tidur atau keracunan.
Sedangkan menurut sidharta (2004) epilepsi adalah suatu
gangguan serebral khronik dengan berbagai macam etiologi, yang di
cirikan oleh timbulnya serangan paroksismal yang berkala, akibat
lepas muatan listrik neuron-neuron serebral secara eksisf. Tergantung
pada jenis gangguan dan daerah serebral yang secara berkala
melepaskan muatan listriknya, maka terdapatlah berbagai jenis
epilepsi.
Menurut Lionel, (2007, h.79) Secara klinis, epilepsi merupakan
gangguan paroksismal dimana cetusan neuron korteks serbi
mengakibatkan serangan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau
26
b. Etiologi epilepsi
Menrut Lionel (2007, h.79) Kejang epileptik secara umum di
klasifikasikan berdasarkan onset yaitu fokal (parsial) atau menyeluruh
(generalisata). Kejang parsial di subklarifikasikan lagi menjadi:
a) Kejang parsial sederhana, kesadaran masih ada selama
serangan.
b) Kejang parsial kompleks, kesadaran terganggu pada setiap
tahap.
Kejang parsial dapat berkembang menjadi generalisata
(generlisata sekunder), terjadi penurunan kesadaran dengan bukti
klinis penyebaran melalui melalui korteks serebri, misalnya gerakan
konvulsi bilateral.
Separuh dari kasus epilepsi disebabkan oleh cedera otak seperti
gegar otak berat atau infeksi (meningitis/encefalitis. Juga infark otak
dan pendarahan otak, kekurangan oksigen selama persalinan serta
abses atau tumor dapat menimbulkan cacat dan epilepsi. Epilepsi
adakalanya juga dapat di cetuskan oleh obat seperti petidin, asam
nalidiksat, klorpromazin, impranin dan MAO-blocker. Bagitu pula
akabiat penyalahgunaan alkohol atuau drugs. Fator provokasi lainya
adalah bila pengguna obat antikonvulsi dan transquillizer di hentikan
secra tiba-tiba. Kadang serangan dapat di picu oleh
rangsangan-rangsangan sensoris khas seperti kilatan cahayadengan frekuensi
27
musik keras yang berdentum-dentum. Faktor-faktor lain dapat memicu
serangan adalah lkoholosis, hipoglikemia, hipokalsimea, haid dan
kehamilan serta horta kortison dan ACTH. Hanya sekitar 20% dari
kasus epilepsi tidak diketahui penyebabnya, tetapi keturunan (faktor
herediter) memegang peranan.(tan hoan, dkk., 2007. hal 415)
Penyebab (etiologi) epilepsi dapat di bedakan menjadi dua
golongan, yaitu: (a) epilepsi idiopatik yang penyebabnya tidak di
ketahui, (b) epilepsi simptomatik yang penyebabnya dapat di ketahui
atau di temukan.
Penyebab bangkitan epilepsi menurut golongan umur pada
dasarnya dapat di bedakan menjadi tiga kelompok berikut ini
(a) Usia kanak-kanak sampai remaja (0-17 tahun): trauma
kelahiran, infeksi dan kejang demam, degenerasi serebral.
(b) Usia dewasa muda (18-30 tahun): trauma kapitis, tumor otak,
idiopatik, trauma kelahiran, degenerasi serebral.
(c) Usia dewasa lanjut (di atas 30 tahun): trauma kapitis, tumor
otak, penyakit vaskuler.
c. Jenis-jenis epilepsi
Dikenal sejumlah jenis epilepsi dan yang palig lazim adalah
bentuk serangan luas (grand mal, petie mal, absence) pada mana
sebagaian besar otak terlibat dan serangan parsial (sebagian) pada
28
Terdapat pula sejumlah pentuk campurannya. (tan hoan, dkk.,2007.
Hal 415-416)
a) Grand mall (Prancis = penyakit besar atau serangan
tonis-klonis „generalized[Yun.tonis = kontraksi otot otonom yang
bertahan lama, klonis gerakan liar hebat, klonis= kontrasi
ritmis]. Bercirikan kejang kaku bersama dengan
kejutan-kejutan ritmis dari anggota badan dan hilangnya untuk
sementara kesadaran dan tonus. Pada umumnya serangan
demikian diawali oleh suatu perasaan alamat khusus (aura).
Hilangnya tonus menyebabkan penderita terjatuh, berkejang
hebat dan otot-ototnya menjadi kaku. fase tonis ini
berlangsung kira-kira 1 menit untuk kemudian disusul oleh
fase klonis dengan kejang-kejang dari kaki-tangan, rahang dan
muka. Penderita kadang-kadang menggigit lidahnya sendiri
dan juga dapat terjadi inkontinensia urin atau feses. Selain itu
dapat timbul hentakan hentakan klonis, yakni gerakan rotmis
dari kaki-tangan secara tak sadar, sering kali dengan jeritan,
mulut berbusa, mata membelalak dan gejala lainnya. Lamanya
serangan berkisar antara 1 dan 2 menit yang disusul dengan
keadaan pingsan selama beberapa menit dan kemudian sadar
kembali dengan perasaan kacau serta depresi.
b) Petit mal (prancis = penyakit kecil) atau abscence (prancis=
29
antara beberapa detik sampai setengah menit dengan
penurunan kesadaran ringan tanpa kejang-kejang. Seperti
grend mal, petit mal juga bersifat serangan luas di seluruh otak.
Gajalanya beupa keadaan termangu-mangu (pikiran kosong;
kehilangan kesadaran dan respon sesaat), muka pucat
pembicaraan terpotong-potong atau mendadak berhenti
bergerak, terutama anak-anak. Setelah serangan, anak
kemudian melanjutkan aktivitasnya seolah olah tidak terjadi
apa-apa. Bila serangan singkat tersebut berlangsung
berturut-turut dengan cepat, maka dapat pula timbul suatu status
epilepticus. Serangan petit mal pada anak dapat berkembang
menjadi grand mal pada usia pubertas.
c) Parsial (epeilepsi psikomotor). Bentuk serangan parsial
umumnya berlangsung dengan kesadaran hanya menurun
untuk sebagian tanpa hilangnya ingatan. Penderita
memperlihatkan kelakuan otomatis tertentu seperti gerakan
mengunyam dan/atau menelan atau berjalan dalam lingkaran.
d. Diagnosa epilepsi
Elektroencafalogram (EEG). Tes paling terprcaya untuk
mendiagnosa jenis epilepsi adalah melalui pemeriksaan EEG.
Kegiatan listrik pada otak pertama kali di kemukakan oleh seorang
ilmuwan jerman (Dr Hans Berger). Psikiater ini memperkenalkan
30
potensial dari aktivitas listrik di otak. Pencatatan ini berguna untuk
antara lain melokalisasi dan mendiagnosa proses-proses patologis di
otak. Misalnya luka di cortex menimbulkan gelombang khusus yang
dapat di deteksi dalam EEG.
Serangan grand mal di awali oleh aura kemudian di susul oleh
konvulosi umum dengan kontraksi otot dan gerakan klonis,
mempunyai pola EEG yang khusus.
Serangan petit mal memiliki EEG yang khas. Dengan demikian
EEG memungkinkan penentuan jenis epilepsi yang di derita pasien,
yang di tunjang oleh gejala kliis khusus, berdasarkan analisa ini dapat
di pilih obat antikonvulsi yang tepat bagi penderita. Penentuan jenis
epilepsi dan pilihan obat serta dosisnya secara individual adalah
penting sekali, karena obat yang efektif terhadap petit mal bisa bekerja
berlawanan pada grand mal dan sebaliknya. (tan hoan, dkk.,2007. Hal
416)
Pemeriksaan faktor etiologi didasarkan pada anamnesa seperti
riwayat adanya trauma, kejang demam, pendarahan subarakhnoid
ataupun infeksi susunan syaraf. Salah satu patokan dalam investigasi
etiologi adalah usia pasien saat pertama kali mengalami serangan
kejang. Misalnya kejang pada bayi yang biasanya di sebabkan karena
riwayat cidera saat perinatal. Faktor genetik mempunyai peran penting
pada kasus-kasus herediter dan akusita. Contoh epilepsi herediter
31
kromosom 6 (fokus BF dan HLA). Epilepsi pasca trauma cenderung
mempunyai riwayat keluarga khususnya ibu yang menderita epilepsi.
Faktor genetik juga berperan pada anak-anak yang menderita kejang
demam. (satyanegara, dkk. 2010. H 474)
C. PENERIMAAN DIRI PADA PENDERITA EPILEPSI
Memahami dan menerima kelebihan serta kelemahan diri sendiri
merupakan salah satu ciri individu dapat menerima dirinya dengan baik.
Pada penderita epilepsi penerimaan diri bukanlah hal yang mudah
dilakukan begitu saja, akan tetapi memerlukan kesehatan mental serta
dukungan sosial dari keluarga. Hal tersebut terjadi karna stigma
masyarakat tentang epilepsi masih sangat minim
Masyarakat masih memiliki kecenderungan takut menyentuh,
apalagi membantu karena sampai saat ini masih ada anggapan bahwa
epilepsi merupakan penyakit menular . adanya hal tersebut dapat menjadi
sumber tekanan bagi penderita epilepsi dan akhirnya membuat penderita
epilepsi membatasi diri dalam berinteraksi (harsono 2001, h.10)
Masih banyak masyarakat awam beranggapan bahwa penyakit
epilepsi merupakan penyakit yang menular. Banyak masyarakat yang
berkata “jangan dekat dekat sama orang epilepsi pas waktu dia kambuh
loh, busa di mulutnya bisa nular”. Anggapan tersebut masih sangatlah
lekat di masyarakat-masyarakat awam sehingga untuk melawan stigma
32
yang sehat sehingga penderita mampu menyesuaikan diri dan dapat
menerima dirinya.
Epilepsi dapat di derita siapapun, termasuk pada anak-anak dan
remaja. Dalam kehidupan sehari-hari, penderita epelepsi masih di jauhi
oleh masyarakat karena keterbatasan fisiknya. Masyarakat ketika melihat
sesorang yang tiba-tiba jatuh dan kejang-kejang (karena serangan epilepsi)
cenderung bereaksi untuk menjauhi orang tersebut. Kondisi fisik dan
psikis dari penderita epilepsi dapat membawa dampak negatif dari
psikisnya sehingga penderita kerap kali meras malu, tidak percaya diri
serta hilangnya harga diri. Penderita yang tidak dapat menerima dirinya
sendiri akan merasa dirinya tidak berarti, tidak berguna sehingga akan
semakin merasa terasing dan terkucil dari lingkungannya. (monty, dkk,.
2003)
Yang dimaksud penerimaan diri disini adalah menurut Ryff 1996
(dalam M.ari, 2013) adalah keadaan dimana sesorang individu memiliki
penilaian positif terhadap dirinya, menerima serta mengakui segala
kelebihan maupun segala keterbatasan yang ada dalam dirinya tanpa
merasa malu atau merasa bersalah terhadap kodrat dirinya.
Pada penelitian M Ari, 2013 dengan judul penerimaan diri pada
individu yang mengalami prekognosi menunjukan bahwa pada penelitian
ini subjek memiliki penerimaan diri yang positif. Subjek dapat menerima
dirinya yang mengalami prekognisi, bahkan merasa senang dan terbantu
33
diri, justru subjek menceritakan prekognisinya kepada orang lainkarna
dengan itu pula subjek merasa tenang dan hilang kegelisahannya. Walau
kebanyakan prekognisinya tentang hal-hal buruk, subjek mengaku tidak
takut dan bisa tetap menentukan tindakan (yang sesuai dengan
prekognisinya) karena sering kali prekognisi subjek mengarahkan
tindakannya.
Faktor faktor yang mempengaruhi penerimaan diri pada penelitian
penerimaan diri terhadap individu yang mengalami prekognisi adalah
pemahaman yang baik tentang diri sendiri, sikap anggota masyarakat yang
menyenangkan, tidak adanya gangguan emosional yang berat, pola asuh
masa kecil yang baik, konsep diri yang stabil, serta penyesuaian diri dan
penyesuaian sosial yang positif.
Seperti halnya Hurlock, 1974 mengemukakan ada sepuluh faktor
yang mempengaruhi penerimaan diri pada individu, yaitu : pemahaman
tentang diri sendiri, harapan yang realistik, tidak adanya hambatan di
lingkungan, sikap-sikap anggota masyarakat yang menyenangkan, tidak
adanya gangguan emosional yang berat, pengaruh keberhasilan yang
dialami, identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang
baik, adanya persektif diri yang luas, pola asuh di masa kecil yang baik,
konsep diri yang stabil
Hal ini menunjukan bahwa penerimaan diri seseorang yang
mempunyai kelemahan dalam bentuk fisik maupun psikis merupakan hal
34
maka ia tidak akan menutup diri atau mengasingkan dirinya terhadap
orang lain. Hal ini berlaku juga untuk penderita epilepsi.
Tak jarang penderita epilepsi merasa bahwa dirinya harus membatasi
diri dengan lingkungannya karna penderita merasa malu akibat masyarakat
masih menganggap bahwa epilepsi adalah penyakit menular dan
menjijikan ataupun penyakit kutukan sehingga bagi masyarakat awam,
mereka lebih memilih untuk menjauh dari penderita dari pada harus
terkena penyakit yang menurut mereka menular tersebut.
Maka penerimaan diri pada individu penderita epilepsi sangat di
perlukan karena dengan menerima dirinya penderita dapat menyadari
kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya tanpa menyalahkan diri
atau orang lain, sehingga penderita tidak lagi menutup diri dari pergaulan
35
BAB III
METODE PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Pendekatan yg di gunakan pada penelitian ini adalah metode
kualitatif dimana metode kualitatif adalah penelitian yang bermaksud
untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya perilaku, motivasi, tindakan, dll., secara holistik dan
dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan bebagai metode
alamiah (moleong, 2014)
Strategi yang di gunakan dalam menggali data pada penelitian ini
adalah dengan menggunakan metode studi kasus. Menurut punch (dalam
poerwandari 2005) yang di definisikan sebagai kasus adalah fenomena
khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi, meski batas-batas
antara fenomena dan kontes tidak sepenuhnya jelas. Kasus iu dapat
berupa individu peran kelompok kecil organisasi, komunitas, atau bahkan
suatu bangsa. Kasus juga berarti pua keputusan, kebijakan, proses, atau
suatu peristiwa khusus tertentu. Beberapa tipe unit yang dapat di teliti
dalam studi kasus : individu-individu, karekteristik at atribut dari individu,
aksi dan interaksi, peningglan atau artefak perilaku, setting serta peristiwa
atau insiden tertentu.
Melalui pendekatan kualitatif ini peneliti berusaha memberikan
36
Peneliti memilih untuk menggunakan metode kualitatif ini
memungkinkan peneliti mempelajari isu-isu tertentu secara mendalam dan
mendetail, karna pengumpulan data tidak di batasi oleh kategori-kategori
tertentu saja (poerwandari, 2005)
Oleh karna itu dengan menggunakan metode studi kasus membuat
peneliti memahami subjek secara mendalam dan memandang subjek
sebagaimana subjek penelitian memahami dan mengenal dirinya.
B. LOKASI PENELITIAN
Lokasi yang di pilih peneliti adalah wilayah Surabaya alasan peneliti
memilih tempat penelitian didasarkan pada kriteria penderita epilepsi.
Penelitian ini di lakasanakan pada :
1. Rumah subjek
pada rumah subjek pertama ini terletak di salah satu
komplek perumahan yang ada di kecamatan X kota surabaya.
Rumah subjek pertama ini memiliki berada pada sebelah utara
jalan yang menikung, dan halaman rumahnya pun luas. Rumah
subjek kedua ini merupakan rumah terakhir dari kompleknya
yang sebelahnya adalah jalan yang tidak dapat di lewati
sedangkan Pada subjek, rumah subjek berada kurang lebih
700 m dari rumah subjek yang pertama. Rumah subjek kedua
ini berada di salah satu gang kecamata X. Rumah subjek ini
kurang lebih lima ratus meter dari jalan raya dan menghadap ke
37
sepeda motor tersebut memiliki beberapa rumah yang
berhadapan dan letaknya berdekatan. Rumah subjek kedua
berada pada salah satu rumah di dalam gang tersebut. Karna
letaknya berdekan sehingga rumah subjek terlihat kecil dan
tidak memiliki halaman rumah.
2. Masjid
Masjid masih berada di lingkungan rumah subjek . masjid
adalah tempat dimana subjek berjama‟ah dan mengaji. Tujuan
peneliti melakukan penelitian di masjid adalah selain ingin
melihat interaksi subjek di masjid dan juga agar subjek lebih
leluasa ketika bercerita tentang keadaan dirinya. Karna ketika
wawancara di lakukan di rumah di khawatirkan subjek kurang
bisa bercerita dengan gamblang di karnakan malu dengan orang
tuanya.
C. SUMBER DATA
Menurut Lofland dan Lofland (1984, dalam moleong, 2014)
sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan,
selebihnya adalah data tambahan. Seperti dokumen dan lain sebagainya.
Terdapat dua jenis sumber data yaitu sumber data primer dan sumber
data sekunder (Buging, 2001). Sumber data primer adalah data yang
diambil dari sumber pertama yang ada dilapangan. Sedangkan sumber
38
Sumber data yang diperoleh selain dari subjek penilitian juga diambil
dari significant others yaitu orang tua, guru subjek dan teman subjek.
a. Sumber Data Primer
Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data utama
adalah penderita epilepsi.
subjek 1
Nama : UA
Panggilan : U
Jenis kelamin : laki-laki
Usia : 24 th
Anak ke : 2 dari 2 bersaudara
Agama : Islam
Subjek 2
Nama : IR
Panggilan : I
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 20 th
39
Agama : Islam
b. Sumber data skunder
Yang menjadi sumber data skunder untuk significant
others adalah ibu NN dan ibu SN sebagai ibu dari kedua
subjek; teman subjek; serta guru subjek
Peneliti juga mendapat data dari dokumen-dokumen , foto,
dan dokumentasi.
D. CARA PENGUMPULAN DATA
Teknik pengumpulan data penelitian yang di gunakan dalam
penelitian ini adalah
a. Observasi
Menurut moleong (2014) pengamatan mengoptimalkan
kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku
tak sadar, kebiasaan dan sebagainya; pengamatan memungkinkan
pengamat untuk melitat dunia sebagaimana dilihat oleh subjek
penelitian, hidup pada saat itu, menangkap arti kehidupan budaya dari
segi pandang dan anutan para subjek pada keadaan waktu itu;
pengamatan memungkinkan eneliti merasakan apa yang di hayati dan
di rasakan oleh subjek sehingga memungkinkan pula peneliti menjadi
sumber data; pengamatan memungkinkan pembentukan pengetahuan
40
Dengam observasi peneliti mampu memahami bagaimana
kebiasaan subjek serta interaksi subjek dengan tetangga, teman dan
lingkungan sekitar. Jenis observasi yang di gunakan adalah observasi
partipasi pasif, dimana peneliti datang ke tempat kegiatan sujek yang
diamati tetapi tidak terlibat dalam kegiatan subjek.
b. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapn itu di lakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
(interviwee) yang memberikan jawaban (moleong, 2014)
Pada penelitian ini wawancara digunakan untuk menggali data
mengenai bagaimana penerimaan diri subjek sekta faktor-faktor apa
saja yang membuat subjek menerima dirinya. Selain itu, wawancara
juga di gunakan untuk menggali informasi mengenai subjek lebih
mendalam melali significant others (informan).
c. Dokumentasi
Pengumpulan data diperoleh dari dokumen pribadi, arsip, jurnal,
buku, internet dan foto yang masih berhubungan dengan penelitian.
E. PROSEDUR ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA
Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini
adalah dengan melakukan koding terhadap hasil transkrip wawancara
41
mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik
yang dipelajari (Poerwandari, 2005). Pada penelitian kualitatif,koding
dilakukan terhadap semua data yang dikumpulkan.
Analisis data dilakukan secara terus-menerus dari awal hingga
akhir penelitian; dengan induktif; dan mencari pola, model, tema,
serta teori (Prastowo, 2012). Menurut Seiddel (1998 dalam Moleong,
2014) proses analisis data kualitatif yaitu: a) mencatat hasil catatan
lapangan, dengan memberikan kode; b) mengumpulkan dan
mengklasifikasikan, dan membuat koding; c) mencari dan menemukan
pola dan hubungan-hubungan dengan lebih selektif.
Langkah-langkah awal koding dapat dilakukan melalui
(Poerwandari, 2005), yaitu:
1. Peneliti menyusun transkripsi verbatim (kata demi kata)
atau catatan lapangannya sedemikian rupa sehingga ada kolom
kosong yang cukup besar disebelah kiri dan kanan transkrip.
Hal ini akan memudahkannya membubuhkan kode-kode atau
catatan-catatan tertentu di atas transkrip tersebut.
2. Peneliti secara urut dan kontinyu melakukan penomoran
pada baris-baris transkrip dan atau catatan lapangan tersebut.
Dalam hal ini dapat dilakukan dengan memberikan nomor
secara urut dari satu baris ke baris lain atau dengan cara
42
3. Peneliti memberikan nama untuk masing-masing berkas
dengan kode tertentu. Kode yang dipilih haruslah kode
yang mudah diingat dan dianggap paling tepat mewakili
berkas tersebut. Jangan lupa untuk selalu membubuhkan
tanggal di tiap berkas.
Setelah melakukan koding selanjutnya peneliti melakukan
analisis tematik terhadap data yang diperoleh. Analisis tematik adalah
proses yang memungkinkan penerjemah gejala atau informasi
kualitatif menjadi data kualitatif sesuai dengan kebutuhan peneliti
(Boyatzis, 1998 dalam Poerwandari, 2005). Penggunaan analisis
tematik memungkinkan peneliti menemukan „pola‟ yang pihak lain
tidak melihatnya secara jelas. Setelah tema ditemukan (seeing), maka
tahap selanjutnya mengklasifikasikan atau meng-encode pola tersebut
(seeing as) dengan cara memberikan label, definisi atau deskripsi
(Boyatzis, 1998 dalam Poerwandari, 2005). Dengan menggunakan
analisis tematik ini maka hasil penelitian berupa deskripsi dari
pola-pola yang sudah didapatkan dari hasil mengkoding data-data
yang diperoleh dari hasil wawancara.
F. KEABSAHAN DATA
Moleong (2014) untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness)
data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan
43
(transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian
(confirmability). Dalam penelitian ini menggunakan empat kriteria
dalam melakukan pemeriksaan data selama di lapangan sampai
pelaporan hasil penelitian.
a. Kredibiltas Data
Kriteria ini digunakan dengan maksud data dan informasi
yang dikumpulkan peneliti harus mengandung nilai kebenaran atau
valid. Penggunaan kredibilitas untuk membuktikan apakah yang
teramati oleh peneliti sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada
dalam dunia kenyataan, dan apakah penjelasan yang diberikan
tentang dunia kenyataan tersebut memang sesuai dengan yang
sebenarnya ada atau terjadi. Adapun untuk memperoleh keabsahan
data, Moleong merumuskan bebrapa cara, yaitu: 1) perpanjangan
keikutsertaan, 2) ketekunan pengamatan, 3) Triangulasi data, 4)
pengecekan sejawat, 5) kecukupan referensial, 6) kajian kasus
negatif, dan 7) pengecekan anggota.
Peneliti hanya menggunakan teknik ketekunan, triangulasi
data dan pengecekan sejawat.
Pertama, menurut Moleong (2014) ketekunan pengamatan
bermaksud menemukan ciri – ciri dan unsur – unsur dalam situasi
yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan
44
Jika perpanjangan keikutsertaan menyediakan lingkup, maka
ketekunan pengamatan menyediakan kedalaman.
Kedua, triangulasi (Moleong, 2014) yaitu teknik
pemeriksaan keabsahan data dengan melakukan pengecekan atau
perbandingan terhadap data yang diperoleh dengan sumber atau
kriteria yang lain diluar data itu, untuk meningkatkan keabsahan
data. Pada penelitian ini, triangulasi yang dilakukan adalah:
a) triangulasi sumber, yaitu dengan cara membandingkan apa yang
dikatakan oleh subyek dengan dikatakan informan dengan
maksud agar data yang diperoleh dapat dipercaya karena tidak
hanyadiperoleh dari satu sumber saja yaitu subyek penelitian,
tetapi data juga diperoleh dari beberapa sumber lain seperti
tetangga atau teman subyek,
b) triangulasi metode, yaitu dengan cara membandingkan data
hasil pengamatan dengan data hasil wawancara dan
membandingkan data hasil pengamatan data hasil wawancara
dengan isi dokumen yang berkaitan. Dalam hal ini peneliti
berusaha mengecek kembali data yang diperoleh melalui
wawancara.
Ketiga, teknik pengecekan sejawat dilakukan dengan cara
mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh peneliti
45
b. Ketegasan Data
Kriteria ini digunakan untuk mencocokkan data obervasi
dan data wawancara atau data pendukung lainnya. Dalam proses
ini temuan – temuan penelitian dicocokkan kembali dengan data
yang diperoleh lewat rekaman atau wawancara. Apabila diketahui
data – data tersebut cukup koheren, maka temuan penelitian ini
dipandang cukup tinggi tingkat konformabilitasnya. Untuk melihat
konformabilitas data, penelitian meminta bantuan kepada
pembimbing. Pengecekan hasil dilakukan secara berulang – ulang
46
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
a. Deskripsi hasil temuan
1. Profil subyek 1
Sebagai : Subjek 1
Nama : UA
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat saat ini : Surabaya
Agama : Islam
Usia : 22 tahun
Pendidikn terakhir : SMA
Anak ke : 2 dari 2 bersaudara
Bahasa sehari-hari : Campuran (bahasa Indonesia dan
bahasa Jawa)
Saat ini tinggal dengan : Ibu
Subjek mengalami Epilepsi sejak usia 12 tahun
2. Profil subjek 2
Sebagai : Subjek 2
Nama : IM
Jenis kelamin : Laki-laki
47
Usia : 20 tahun
Pendidikn terakhir : TK
Anak ke : 3 dari 4 bersaudara
Bahasa sehari-hari : Bahasa Jawa
Saat ini tinggal dengan : Orang tua
Subjek mengalami Epilepsi sejak usia 9 tahun
3. Profil Informan 1 dari subjek 1
Sebagai : informan 1
Nama : NN
Jenis kelamin : perempuan
Alamat saat ini : Surabaya
Agama : Islam
Usia : 53 tahun
Bahasa sehari-hari : Campuran (bahasa Indonesia dan
bahasa Jawa)
Hubungan dengan subjek : Ibu subjek 1
4. Profil Informan 1 dari subjek 2
Sebagai : informan 1
Nama : SN
Jenis kelamin : perempuan
Alamat saat ini : Surabaya
Agama : Islam
48
Bahasa sehari-hari : bahasa jawa
Hubungan dengan subjek : ibu subjek 2
5. Profil informan 2 dari subjek ke 1
Sebagai : informan 2 dari subyek ke 1
Nama : WN
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat saat ini : Surabaya
Agama : Islam
Usia : 29 tahun
Bahasa sehari-hari : Bahasa jawa
Hubungan dengan subjek : tetangga subjek 1
6. Informan 2 dari subyek 2
Sebagai : informan 2 aubjek 2
Nama : YK
Jenis kelamin : Laki laki
Alamat saat ini : Surabaya
Agama : Islam
Usia : 32 tahun
Bahasa sehari-hari : Bahasa jawa
Hubungan dengan subjek : Tetangga subjek 1
7. Informan 3 subjek 1
Sebagai : informan 3
49
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat saat ini : Surabaya
Agama : Islam
Usia : 22 tahun
Bahasa sehari-hari : Bahasa jawa
Hubungan dengan subjek : Teman