• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI DAN KOMPONEN TEKNOLOGI PENGENDALIAN ULAT GRAYAK (Spodoptera litura Fabricius) PADA TANAMAN KEDELAI. Marwoto dan Suharsono

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI DAN KOMPONEN TEKNOLOGI PENGENDALIAN ULAT GRAYAK (Spodoptera litura Fabricius) PADA TANAMAN KEDELAI. Marwoto dan Suharsono"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

K

ebutuhan kedelai Indonesia capai 2,20 t/tahun. Dari jumlah tersebut, produksi dalam negeri hanya mampu mencukupi 35−40% sehingga kekurangannya (60−65%) dipenuhi dari impor. Kenaikan harga kedelai di pasar dunia yang mencapai 100% menyebabkan harga kedelai di dalam negeri meningkat tajam, yaitu dari sekitar Rp3.500/kg pada akhir tahun 2007 dan menjadi Rp7.500/kg pada awal tahun 2008. Kenaikan harga tersebut pada gilirannya akan meningkat-kan harga bahan pangan berbahan baku kedelai seperti tahu dan tempe yang

dikonsumsi oleh sebagian besar masya-rakat Indonesia (Departemen Pertanian 2008). Kenaikan harga kedelai diharapkan akan menarik petani untuk kembali me-nanam kedelai yang selama ini ditinggal-kan karena dinilai tidak menguntungditinggal-kan. Selain itu, melalui berbagai program, pemerintah juga terus berupaya menaikkan produksi kedelai nasional menuju swa-sembada pada tahun 2010−2012.

Salah satu ancaman dalam upaya meningkatkan produksi kedelai adalah se-rangan hama. Serangga yang berasosiasi dengan tanaman kedelai di Indonesia

mencapai 266 jenis, yang terdiri atas 111 jenis hama, 53 jenis serangga kurang penting, 61 jenis serangga predator, dan 41 jenis serangga parasit (Okada et al. 1988). Dari 111 jenis serangga hama ter-sebut, 50 jenis tergolong hama perusak daun, namun yang berstatus hama pen-ting hanya 9 jenis (Arifin dan Sunihardi 1997). Berdasarkan hasil identifikasi terhadap 9 jenis serangga hama pemakan daun, ulat grayak (Spodoptera litura) merupakan salah satu jenis hama pemakan daun yang sangat penting. Kehilangan hasil akibat serangan hama tersebut dapat

STRATEGI DAN KOMPONEN TEKNOLOGI

PENGENDALIAN ULAT GRAYAK (Spodoptera litura

Fabricius) PADA TANAMAN KEDELAI

Marwoto dan Suharsono

Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Jalan Raya Kendalpayak, Kotak Pos 66, Malang 65101

ABSTRAK

Kebutuhan kedelai rata-rata Indonesia sekitar 2,20 t/tahun. Dari jumlah tersebut, produksi kedelai dalam negeri hanya mampu mencukupi 35−40%, sedangkan 60−65% selebihnya dipenuhi dari impor. Oleh karena itu, melalui berbagai program pemerintah berupaya keras meningkatkan produksi kedelai nasional menuju swasembada pada tahun 2010−2012. Salah satu gangguan dalam peningkatan produksi kedelai adalah serangan hama ulat grayak (Spodoptera litura). Kehilangan hasil akibat serangan ulat grayak dapat mencapai 80%, dan serangan berat menyebabkan puso (gagal panen). Pengendalian ulat grayak pada tanaman kedelai di tingkat petani umumnya masih mengandalkan insektisida, namun kurang efektif. Untuk mengantisipasi ancaman serangan ulat grayak, perlu diketahui biologi, tingkat kerusakan, kehilangan hasil, dan cara pengendaliannya di tingkat petani untuk menyusun strategi pengendalian yang tepat. Pengendalian ulat grayak dapat dilakukan dengan menerapkan Pengendalian Hama Terpadu (PHT), yakni dengan menggunakan komponen PHT yang kompatibel berlandaskan azas ekologi dan ekonomi.

Kata kunci: Glycine max, Spodoptera litura, pengendalian hama

ABSTRACT

Strategy and technology for controlling armyworm (Spodoptera litura) in soybean

Indonesia needs approximately 2.20 tons of soybean per year. The domestic production only meets 35−40% of the demand and the remaining 60−65% are imported from foreign countries. Therefore, through various programs, the government put strong efforts to increase soybean production toward self-sufficiency in 2010−2012. The armyworm (Spodoptera litura), the leaf feeder pest of soybean, is a constraint in soybean production in Indonesia. In severe damage, the armyworm cause significantly yield loss up to 80−100%. Most of the farmers apply a synthetic insecticide to control soybean armyworm. On the other hand, their frequent application more often could not control the insect effectively. To anticipate the soybean armyworm attack and to develop an effective control measures, the biological aspects, damage, yield loss and farmer control practice have to be understood. Implementation of Integrated Pest Management (lPM) on soybean armyworm control would support the compatibility of all IPM components or methods that match to ecological and economics principles.

(2)

mencapai 80%, bahkan puso jika tidak dikendalikan. Usaha pengendalian hama di tingkat petani hingga kini masih mengandalkan insektisida, namun kurang efektif.

Untuk mengantisipasi ancaman serangan ulat grayak pada tanaman kedelai perlu diketahui: 1) perkembangan ekobiologi populasi hama, 2) tingkat kerusakan tanaman yang terserang, 3) distribusi atau luas serangan, 4) ekosistem pendukung, dan 5) arti ekonomi kerusakan tanaman terhadap hasil. Identifikasi morfologi dan biologi penting untuk menyusun strategi pengendalian yang tepat.

EKOBIOLOGI ULAT

GRAYAK

Dalam sistematika klasifikasi, ulat grayak termasuk dalam ordo Lepidoptera, famili Noctuidae, genus Spodoptera dan spesies

litura. Hama ini bersifat polifag atau

mempunyai kisaran inang yang cukup luas atau banyak inang, sehingga agak sulit dikendalikan. Strategi pengendalian hama yang efektif dapat disusun dengan mem-pelajari bioekologi hama.

Morfologi dan Biologi

Sayap ngengat bagian depan berwarna coklat atau keperakan, dan sayap belakang berwarna keputihan dengan bercak hitam (Gambar 1c). Kemampuan terbang ngengat pada malam hari mencapai 5 km.

Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian dasar melekat pada daun (kadang-kadang tersusun dua lapis), berwarna coklat kekuningan, diletakkan berkelom-pok masing-masing 25−500 butir. Telur diletakkan pada bagian daun atau bagian tanaman lainnya, baik pada tanaman inang maupun bukan inang. Bentuk telur ber-variasi. Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina, berwarna kuning kecoklatan.

Larva mempunyai warna yang ber-variasi, memiliki kalung (bulan sabit) berwarna hitam pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh (Gambar 1b). Pada sisi lateral dorsal terdapat garis kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklatan, dan hidup berkelompok (Gambar 1a). Beberapa hari setelah

menetas (bergantung ketersediaan makan-an), larva menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Pada siang hari, larva bersembunyi di dalam tanah atau tempat yang lembap dan menyerang tanaman pada malam hari atau pada intensitas cahaya matahari yang rendah. Biasanya ulat berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar.

Warna dan perilaku ulat instar terakhir mirip ulat tanah Agrothis ipsilon, namun terdapat perbedaan yang cukup mencolok, yaitu pada ulat grayak terdapat tanda bulan sabit berwarna hijau gelap dengan garis punggung gelap memanjang. Pada umur 2 minggu, panjang ulat sekitar 5 cm. Ulat berkepompong di dalam tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon), berwarna coklat kemerahan dengan panjang sekitar 1,60 cm. Siklus hidup berkisar antara 30−60 hari (lama stadium telur 2−4 hari). Stadium larva terdiri atas 5 instar yang berlangsung selama 20−46 hari. Lama stadium pupa 8− 11 hari. Seekor ngengat betina dapat meletakkan 2.000−3.000 telur.

Ulat grayak tersebar luas di Asia, Pasifik, dan Australia. Di Indonesia, hama ini terutama menyebar di Nanggroe Aceh Darussalam, Jambi, Sumatera Selatan,

Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua.

Gejala Serangan

Larva yang masih muda merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun. Larva instar lanjut merusak tulang daun dan kadang-kadang menyerang polong. Biasanya larva berada di permukaan bawah daun dan menyerang secara serentak dan berkelompok. Serangan berat menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah habis dimakan ulat (Gambar 2). Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim kemarau, dan menyebabkan defoliasi daun yang sangat berat.

Tanaman Inang

Selain kedelai, tanaman inang lain dari ulat grayak adalah cabai, kubis, padi, jagung, tomat, tebu, buncis, jeruk, tembakau, bawang merah, terung, kentang, kacang-kacangan (kedelai, kacang tanah),

Gambar 1. Kelompok telur (a), ulat instar 3 (b), dan imago ulat grayak (c).

(3)

kangkung, bayam, pisang, dan tanaman hias. Ulat grayak juga menyerang berbagai gulma, seperti Limnocharis sp., Passiflora

foetida, Ageratum sp., Cleome sp., Clibadium sp., dan Trema sp.

EKOSISTEM PEMICU

SERANGAN ULAT GRAYAK

PADA KEDELAI

Di dalam ekosistem terdapat mekanisme alami yang bekerja secara efektif dan efisien dalam menjaga kelestarian dan keseimbangan ekologi untuk menekan populasi suatu hama. Mekanisme alami tersebut meliputi predatisme, parasitisme, patogenitas, persaingan intra/inter-spesies, suksesi, produktivitas dan stabi-litas. Jaring-jaring makanan merupakan unsur ekosistem yang cukup penting dalam pengelolaan hama.

Kedelai di lahan sawah biasanya diusahakan setelah padi. Pola tanam yang diterapkan petani bergantung pada keter-sediaan air, meliputi padi-padi-kedelai, padi-kedelai-kedelai atau padi-kedelai. Pola terakhir umumnya diterapkan pada lahan tadah hujan atau berpengairan terbatas. Penanaman kedelai pada pola tanam kedua atau ketiga atau jatuh pada musim kering akan memicu serangan hama khususnya ulat grayak.

Pertumbuhan populasi ulat grayak sering dipicu oleh situasi dan kondisi lingkungan, yakni:

1) Cuaca panas. Pada kondisi kering dan suhu tinggi, metabolisme serangga hama meningkat sehingga memper-pendek siklus hidup. Akibatnya jumlah telur yang dihasilkan meningkat dan akhirnya mendorong peningkatan populasi. Oleh karena itu, intensitas serangan ulat grayak pada pertanaman kedelai musim tanam ketiga (musim kemarau II) umumnya lebih tinggi dibanding pada musim hujan. 2) Penanaman tidak serentak dalam satu

areal yang luas. Penanaman kedelai yang tidak serentak menyebabkan tanaman berada pada fase pertumbuh-an ypertumbuh-ang berbeda-beda sehingga makanan ulat grayak selalu tersedia di lapangan. Akibatnya, pertumbuhan populasi hama makin meningkat kare-na makakare-nan tersedia sepanjang musim. 3) Aplikasi insektisida. Penggunaan insektisida yang kurang tepat baik jenis maupun dosisnya, dapat memati-kan musuh alami serta meningkatmemati-kan

resistensi dan resurgensi hama. Apli-kasi insektisida dengan dosis tinggi dapat memicu timbulnya resistensi hama terhadap insektisida, sedangkan aplikasi insektisida pada dosis

sub-lethal dapat menyebabkan timbulnya

resurgensi. Oleh karena itu, pengen-dalian yang hanya mengandalkan pada penggunaan berbagai jenis insektisida mengakibatkan sebagian besar popu-lasi ulat grayak di lapang berubah men-jadi strain yang mempunyai resistensi silang, seperti yang terjadi di Pakistan (Ahmad et al. 2008), Cina (Huang dan Han 2007), dan Indonesia (Marwoto dan Bejo 1997). Adanya berbagai strain ulat grayak menyebabkan pe-ngendalian dengan insektisida sering tidak efektif.

Dalam rangka pengendalian ulat grayak pada tanaman kedelai, kondisi lingkungan dan cara tanam perlu diatur sedemikian rupa sehingga tidak sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan hama. Beberapa praktek budi daya yang sering memicu timbulnya masalah hama adalah: 1) Waktu tanam. Waktu tanam yang tidak

seragam sering menimbulkan masalah hama karena stadia pertumbuhan tanaman yang dikehendaki hama selalu ada.

2) Benih. Keberhasilan usaha tani kedelai salah satunya bergantung pada benih, terutama daya tumbuh dan kesehatan benih. Penggunaan benih yang kurang sehat menghasilkan tanaman yang mudah terserang hama dan penyakit. 3) Ketersediaan air. Kerusakan tanaman

akibat serangan hama akan makin parah jika terjadi kekurangan air. 4) Kondisi kesuburan tanah. Pada tanah

yang subur, tanaman dapat tumbuh dengan vigor yang baik dan akan me-ningkatkan preferensi serangga hama. Tanaman yang tumbuh pada tanah yang kurang subur memiliki vigor yang kurang baik, dan apabila terserang hama, tanaman menjadi rusak berat sehingga hasil menurun.

5) Keragaman cara pengendalian hama dan penyakit. Pengendalian hama yang dilakukan secara individual, bukan atas dasar musyawarah kelom-pok, akan menyulitkan pengendalian hama pada satu hamparan.

Keragaman teknik budi daya yang di-terapkan petani perlu mendapat perhatian dalam upaya pengendalian ulat grayak berdasarkan atas pertimbangan eko-sistem.

DAYA RUSAK DAN

KEHILANGAN HASIL

AKIBAT ULAT GRAYAK

Ulat grayak bersifat polifag atau dapat menyerang berbagai jenis tanaman pangan, sayuran, dan buah-buahan. Hama ini tersebar luas di daerah dengan iklim panas dan lembap dari subtropis sampai daerah tropis. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (1993), serangan ulat grayak di Indonesia mencapai 4.149 ha dengan intensitas serangan sekitar 17,80%. Serangan tersebut menurun pada tahun 1994 menjadi 3.616 ha, dengan intensitas serangan 14,40% (Badan Pusat Statistik 1994). Luas serangan ulat grayak berkembang dari tahun ke tahun seperti disajikan pada Tabel 1.

Kerusakan dan kehilangan hasil akibat serangan ulat grayak ditentukan oleh populasi hama, fase perkembangan serangga, fase pertumbuhan tanaman, dan varietas kedelai. Serangan pada varietas rentan menyebabkan kerugian yang sangat signifikan. Apabila defoliasi daun karena serangan ulat grayak terjadi pada fase R2 (fase pertumbuhan tanaman berbunga penuh, pada dua atau lebih buku batang utama terdapat bunga mekar), dan fase R3 (fase pertumbuhan tanaman mulai membentuk polong, terdapat satu atau lebih polong sepanjang 5 mm pada batang utama) maka kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada serangan pada fase R4 (fase pertumbuhan tanaman polong berkembang penuh, polong pada batang utama mencapai panjang 2 cm atau lebih), R5 (fase pertumbuhan tanaman polong berisi, polong pada batang utama berisi biji dengan ukuran 2 mm x 1 mm), dan R6 (fase pertumbuhan tanaman biji penuh,

Tabel 1. Luas serangan ulat grayak

(Spodoptera litura) pada

ta-naman kedelai di Indonesia, 2002−−−−−2007.

Tahun Luas serangan Tanaman puso

(ha) (ha) 2002 2.216 8 0 2003 1.528 0 2004 2.902 0 2005 1.714 0 2006 1.316 140 2007 956* 0 * *Angka sementara.

Sumber: Direktorat Perlindungan Tanaman (2008).

(4)

polong pada batang utama berisi biji ber-warna hijau atau biru yang telah memenuhi rongga polong/besar, biji mencapai maksi-mum) (Sumarno 1993). Hasil penelitian Arifin (1986a) menunjukkan bahwa apabila pada fase R2 dan R3 terdapat paling sedikit 1 ekor ulat/m maka kerusakan daun mencapai 50%. Selain itu, serangan ulat grayak pada fase pertumbuhan tersebut menyebabkan bunga banyak yang gugur, sehingga menurunkan jumlah polong yang terbentuk, walaupun tidak mem-pengaruhi bobot 100 biji. Berdasarkan hasil penelitian, ambang luka ekonomi ulat grayak pada R2-R4 rata-rata adalah 2 ekor larva per 1 m baris tanaman. Oleh karena itu, serangan ulat grayak pada fase R3 perlu diwaspadai, karena defoliasi pada fase tersebut menyebabkan kerugian hasil yang lebih besar dibandingkan pada fase V6, R2, R4, dan R5 (Arifin 1986b).

PENGELOLAAN TERPADU

ULAT GRAYAK

Pendekatan Sistem

Pengendalian

Berkembangnya resistensi hama terhadap insektisida yang diikuti dengan mening-katnya kesadaran masyarakat akan dam-pak buruk penggunaan insektisida secara intensif, mendorong perlunya pengenda-lian hama secara terpadu dengan menekan penggunaan insektisida kimia dan mempertahankan keberlanjutan sistem usaha tani (Carter 1989). Hal ini men-dorong penggunaan komponen teknologi pengendalian selain insektisida kimia, seperti azadirachtin dan

nucleopoly-hedrosis pada ulat grayak (Nathan dan

Kalaivani 2006).

Pengendalian hama pada tanaman kedelai diarahkan pada penerapan Pe-ngendalian Hama Terpadu (PHT). PHT adalah suatu pendekatan atau cara pe-ngendalian hama yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan eko-sistem yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Strategi PHT adalah menggunakan secara kompatibel semua teknik atau metode pengendalian hama yang didasarkan pada asas ekologi dan ekonomi. Prinsip operasional yang digunakan dalam PHT meliputi:

1) Budi daya tanaman sehat. Tanaman yang sehat mempunyai ketahanan ekologi yang tinggi terhadap

ganggu-an hama. Oleh karena itu, penerapganggu-an paket teknologi produksi harus di-arahkan kepada terwujudnya tanaman yang sehat.

2) Pelestarian musuh alami. Musuh alami (parasit, predator, dan patogen se-rangga) merupakan faktor pengendali hama penting yang perlu dilestarikan dan dikelola agar mampu berperan secara maksimum dalam pengaturan populasi hama di lapang. Untuk itu, penggunaan insektisida perlu dila-kukan secara selektif. Penggunaan pestisida nabati biji mimba yang mengandung azadirachtin terbukti dapat menekan serangan ulat grayak (Nathan dan Kalaivani 2005).

3) Pemantauan ekosistem secara terpadu. Pemantauan ekosistem pertanaman se-cara rutin oleh petani merupakan dasar analisis ekosistem untuk pengambilan keputusan dan melakukan tindakan pengendalian yang diperlukan. 4) Petani sebagai ahli PHT, yaitu mampu

mengambil keputusan dan memiliki keterampilan dalam menganalisis ekosistem untuk menetapkan cara pengendalian hama secara tepat sesuai dengan dasar PHT.

Analisis Ekosistem sebagai

Dasar Pengendalian Hama

Dalam PHT, pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan pengendalian dida-sarkan atas analisis ekosistem. Analisis ekosistem yang telah ditetapkan dan berfungsi terdiri atas tiga subsistem, yaitu pemantauan, pengambilan keputusan, dan tindakan pengendalian hama.

Pemantauan atau monitoring ber-tujuan untuk mengamati dinamika agro-ekosistem secara rutin, baik komponen biotik (keadaan tanaman, intensitas ke-rusakan, populasi hama dan penyakit, populasi musuh alami, keadaan gulma dan lain-lain) maupun komponen abiotik (curah hujan, suhu, air, angin, dan lain-lain). Peng-amatan secara rutin (misal satu minggu sekali) dapat dilakukan oleh petugas pengamat khusus atau oleh petani yang terlatih. Metode pengamatan harus dibuat praktis dan ekonomis, tetapi memiliki tingkat ketelitian yang dapat dipertang-gungjawabkan.

Subsistem pengambilan keputusan berfungsi untuk menentukan keputusan pengelolaan hama yang tepat yang di-dasarkan pada analisis data hasil

pe-mantauan yang secara rutin diterima dari subsistem pemantauan. Pengambilan keputusan didasarkan pada model dan teknologi pengelolaan hama yang diku-asai oleh dan tersedia bagi pengambil keputusan. Keputusan yang diambil oleh pengambil keputusan merupakan ber-bagai tindakan yang perlu dilakukan pada agroekosistem agar sasaran PHT ter-penuhi, termasuk keputusan kapan dan bagaimana pestisida digunakan.

Subsistem program tindakan (action

program) mempunyai fungsi untuk

segera melaksanakan keputusan dan rekomendasi yang dibuat oleh subsistem pengambilan keputusan dalam bentuk tindakan pengendalian atau pengelolaan hama pada unit lahan atau lingkungan per-tanian yang dikelola. Tindakan tersebut dapat dilakukan oleh petani perorangan atau secara berkelompok.

Komponen Pengendalian

Komponen-komponen pengendalian hama yang dapat dipadukan dalam penerapan PHT pada tanaman kedelai adalah: 1) Pengendalian alami dengan

mengu-rangi tindakan-tindakan yang dapat merugikan atau mematikan perkem-bangan musuh alami. Penyemprotan dengan insektisida yang berlebihan, baik dosis maupun frekuensi aplikasi-nya, akan mengancam populasi musuh alami (parasitoid dan predator). 2) Pengendalian fisik dan mekanik yang

bertujuan untuk mengurangi populasi hama, mengganggu aktivitas fisiologis hama, serta mengubah lingkungan fisik menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan hama. Pengurang-an populasi hama dapat pula dilakukPengurang-an dengan mengambil kelompok telur, membunuh larva dan imago atau men-cabut tanaman yang sakit.

3) Pengelolaan ekosistem melalui usaha bercocok tanam yang bertujuan untuk membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan pembiakan hama, serta mendorong berfungsinya agensia pengendali hayati. Beberapa teknik bercocok tanam yang dapat menekan populasi hama meliputi:

a) Penanaman varietas tahan. Pada tahun 2003 telah dilepas satu varietas kedelai yang toleran ter-hadap serangan ulat grayak yaitu varietas Ijen (Suhartina 2005).

(5)

b) Penggunaan benih sehat dan berdaya tumbuh baik. Benih yang sehat akan tumbuh menjadi tanaman yang sehat pula. Selan-jutnya, tanaman yang sehat akan mampu mempertahankan diri dari serangan hama dengan kemam-puan tumbuh kembali (recovery) yang lebih cepat.

c) Pergiliran tanaman untuk memu-tus siklus hidup hama. Pergiliran tanaman dengan menanam ta-naman bukan inang sebelum atau sesudah kedelai ditanam dapat memutus siklus hama sehingga populasi hama menjadi tertekan. d) Sanitasi dengan membersihkan sisa-sisa tanaman atau tanaman lain yang dapat menjadi inang hama.

e) Penetapan masa tanam dan pena-naman secara serempak pada satu hamparan dengan selisih waktu tanam maksimal 10 hari untuk menghindari waktu tanam yang tumpang-tindih. Waktu tanam yang tidak serempak dalam area yang luas akan mendorong pertumbuhan populasi hama. f) Penanaman tanaman perangkap

atau penolak hama sehingga hama lebih senang pada tanaman perangkap dibanding tanaman utama, misalnya menanam jagung pada areal pertanaman kedelai untuk menarik hama ulat grayak (Marwoto et al. 1991).

4) Penggunaan agens hayati (pengen-dalian biologis). Pengen(pengen-dalian biologis pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan hama. Musuh alami seperti parasitoid, predator, dan patogen serangga hama merupakan agens hayati yang dapat digunakan sebagai pengendali ulat grayak (Marwoto 1999). NPV efektif mengen-dalikan hama ulat grayak (Bejo 1997a). Kombinasi NPV dengan azadirachtin (insektisida nabati dari tanaman mimba) lebih efektif mengendalikan ulat grayak (Nathan dan Kalaivani 2005, 2006). Bacillus thuringiensis (Bt) merupakan agens hayati berbahan aktif bakteri yang efektif mengendali-kan ulat grayak (Bejo 1997b). Peman-faatan Bt sebagai agens hayati untuk mengendalikan ulat grayak aman ter-hadap serangga bukan sasaran seperti parasitoid dan predator (Walker et al.

2007). Kombinasi feromon seks dan aplikasi insektisida berdasarkan pe-mantauan mampu mencegah kehilang-an hasil kedelai akibat serkehilang-angkehilang-an ulat grayak hingga 50% (Marwoto 1996). 5) Pestisida nabati untuk mengembalikan

populasi hama pada asas keseim-bangannya. Serbuk biji mimba efektif mengendalikan hama ulat grayak (Susilo et al. 1996).

Pestisida kimiawi dapat digunakan setelah dilakukan analisis ekosistem terhadap hasil pengamatan dan ketetapan tentang ambang kendali. Pestisida yang dipilih harus yang efektif dan telah diizinkan. Strategi pengendalian ulat grayak dapat dilakukan berdasarkan pemantauan ambang kendali dan strategi komponen pengendalian, sehingga penerapan PHT yang dilakukan dipilih berdasarkan alternatif pengendalian yang ada (Tabel 2).

KESIMPULAN

Ulat grayak (S. litura) merupakan hama penting pada tanaman kedelai karena dapat menurunkan produktivitas tanaman, khususnya pada fase pertumbuhan R2-R4. Hampir 60% pertanaman kedelai ditanam pada musim kemarau atau setelah padi-padi sehingga rawan terhadap serangan ulat grayak.

Pengendalian hama ulat grayak, selain dengan cara kimiawi, dapat

me-manfaatkan agens hayati Nuclear

Polyhedrosis Virus (SlNPV), Bacillus thuringiensis, tanaman perangkap,

feromon seks, dan bahan nabati seperti serbuk biji mimba. Pengendalian ulat grayak pada tanaman kedelai harus berlandaskan pada Pengendalian Hama Terpadu (PHT).

Tabel 2. Ambang kendali dan strategi pengendalian hama ulat grayak pada tanaman kedelai.

Jenis hama Ambang kendali Strategi pengendalian

Spodoptera litura - Intensitas kerusakan - Penanaman serempak dengan 12,50% pada umur 20 selisih waktu relatif

hari. Kerusakan 20% pendek (kurang dari 10 hari) pada umur tanaman > 20 - Menanam tanaman perangkap

hari jagung di pematang

- Pada fase vegetatif, 10 - Pemantauan lahan secara ekor instar 3/10 rumpun rutin dan pemusnahan tanaman kelompok telur dan ulat - Pada fase pembungaan: - Penyemprotan NPV (dari

terdapat 13 ekor instar 25 ulat yang sakit dilarutkan 3/10 rumpun tanaman dalam 500 l air untuk 1 ha) - Pada fase pengisian - Penyemprotan dengan Bacillus

polong: 26 ekor instar thuringiensis

3/10 rumpun tanaman - Serbuk biji mimba 10 g/l - Semprot insektisida sesuai

rekomendasi. Sumber: Marwoto (2007).

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, M., A.H. Sayyed, M.A. Saleem, and M. Ahmad. 2008. Evidence for field resistance to newer insecticides in Spodoptera litura (Lepidoptera:Noctuidae) from Pakistan. Crop Protection 27: 1.367−1.372. Arifin, M. 1986a. Kerusakan dan hasil kedelai

Orba pada berbagai umur tanaman dan populasi ulat grayak Spodoptera litura. Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor Tahun 1986.

Arifin, M. 1986b. Tanggap pertumbuhan dan hasil kedelai varietas Orba terhadap kehilangan daun. Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor Tahun 1986.

Arifin, M. dan Sunihardi. 1997. Biopestisida SlNPV untuk mengendalikan ulat grayak Spodoptera litura. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 9(5 dan 6): 3−5. Badan Pusat Statistik. 1993. Survei Pertanian.

Luas dan Intensitas Serangan Jasad Peng-ganggu Padi dan Palawija di Jawa. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 1994. Survei Pertanian. Luas dan Intensitas Serangan Jasad

(6)

Peng-Marwoto, E. Wahyuni, dan K.E. Neering. 1991. Pengelolaan Pestisida dalam Pengendalian Hama Kedelai secara Terpadu. Monograf Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang No. 7. 39 hlm.

Marwoto. 1996. Pengendalian hama daun kedelai dengan insektisida dan feromonoid seks ulat grayak. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 15(1): 26−29.

Marwoto dan Bejo. 1997. Resistensi hama ulat daun terhadap insektisida di daerah sentra produksi kedelai di Jawa Timur. Laporan Teknis 1996−1997. Balai Penelitian Tanam-an KacTanam-ang-kacTanam-angTanam-an dTanam-an Umbi-umbiTanam-an, Malang. 14 hlm.

Marwoto. 1999. Rakitan teknologi PHT pada tanaman kedelai. hlm. 67−97. Dalam Prosiding Lokakarya Strategi Pengembangan Produksi Kedelai, Bogor 16 Maret 1999. Pusat Peneli-tian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Marwoto. 2007. Dukungan pengendalian hama terpadu dalam program bangkit kedelai. Iptek Tanaman Pangan 2(1): 79−92. Nathan, Sentil S. and K. Kalaivani. 2005. Efficacy

of nucleopolyhedrosis virus and azadirachtin on Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae). Biol. Control 34: 93−98. ganggu Padi dan Palawija di Jawa. Badan Pusat

Statistik, Jakarta.

Bejo. 1997a. Peningkatan efektivitas NPV lalui modifikasi bahan pembawa untuk me-ngendalikan hama kedelai. Laporan Teknis Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. 8 hlm. Bejo. 1997b. Efektivitas Bacillus thuringiensis

(Bt) untuk mengendalikan perusak daun kacang tanah. Laporan Teknis Balai Peneliti-an TPeneliti-anamPeneliti-an KacPeneliti-ang-kacPeneliti-angPeneliti-an dPeneliti-an Umbi-umbian, Malang. 4 hlm.

Carter, H.O. 1989. Agricultural sustainability: an overview and research assessment. Californian Agric. 43: 13−17.

Departemen Pertanian. 2008. Panduan Pelak-sanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanam-an Terpadu (SL-PTT) Kedelai. Departemen Pertanian, Jakarta. 39 hlm.

Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2008. Laporan Luas dan Serangan Hama dan Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta.

Huang, S. and Z. Han. 2007. Mechanisms for multiple resistances in field populations of common cutworm, Spodoptera litura (Fabricius) in China. Pesticide Biochem. Physiol. 87: 14−22.

Nathan, Sentil S. and K. Kalaivani. 2006. Combined effects of azadirachtin and nucleopolyhedrosis virus (SpltNPV) on Spo-doptera litura Fabricius (LepiSpo-doptera: Noctuidae) larvae. Biol. Control 39: 96−104. Okada, T., W. Tengkano, and T. Djuarso. 1988. An outline of soybean pest in Indonesia in faunistic aspects. Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor, 6 Desember 1988. 37 hlm.

Suhartina. 2005. Diskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. 154 hlm.

Sumarno. 1993. Penandaan stadia pertumbuhan kedelai metode Fehr dan Caviness 1977. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. 12 hlm.

Susilo, A., D. Haryanto, dan S. Satriyo. 1996. Pengaruh bagian tanaman mimba (Azadi-racta indica) terhadap mortalitas ulat grayak (Spodoptera litura F.). Majalah Ilmiah Pem-bangunan 5(9): 136−143.

Walker, G.P., P.J. Cameron, F.M. MacDonald, V.V. Madhusudhan, and A.R. Wallace. 2007. Affiacy of nucleopolyhedrovirus and azadirachtin on Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera : Noctuidae). ELSEVIER. Biological Control 40(2007): 142−151.

Gambar

Gambar 2. Gejala serangan ulat grayak pada daun kedelai.
Tabel 2. Ambang kendali dan strategi pengendalian hama ulat grayak pada tanaman kedelai.

Referensi

Dokumen terkait

Siklus Hidup Ulat Grayak (Spodoptera litura, F) dan Tingkat Serangan pada Beberapa Varietas Unggul Kedelai di Sulawesi Selatan.. Abdul Fattah dan

Tingkat serangan ulat grayak pada galur harapan kedelai tahan lebih rendah dibandingkan dengan galur rentan yang mengelilinginya (investasi hama terjadi secara alami).. Tingkat

dan akhirnya mendorong peningkatan populasi; Penanaman tidak serentak sehingga tanaman berada pada fase pertumbuhan yang berbeda-beda dan makanan ulat grayak

Penelitian eksperimen yang telah dilakukan dengan menggunakan air rendaman daun pepaya sebagai pestisida nabati mengendalikan hama ulat grayak (Spodoptera litura)

Mortalitas hama yang disebabkan oleh senyawa alkaloid dan saponin dalam ekstark daun tembakau menyebabkan penurunan intensitas serangan ulat grayak pada tanaman

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul : Pemanfaatan Limbah Batang Tembakau Untuk Pengendalian Hama Ulat Grayak (Spodoptera litura F.),

Ulat grayak ( Spodoptera litura F) merupakan salah satu hama utama tanaman kedelai yang perlu penanganan secara cepat dan tepat, dengan memanfaatkan ekstrak biji

Tingkat serangan ulat grayak pada galur harapan kedelai tahan lebih rendah dibandingkan dengan galur rentan yang mengelilinginya (investasi hama terjadi secara alami).. Tingkat