MASA DEPAN
Oleh : Dra. Nandiyah Abdullah M.Si.
PENDAHULUAN
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, anak harus dilindungi dari kekerasan, eksploitasi, diskriminasi serta tidak ditelantarkan. Anak juga harus dilindungi dari sanksi hukuman yang tidak adil dan tidak tepat. Hal tersebut disampaikan pada peringatan hari anak nasional sekaligus pencanangan gerakan Indonesia sayang anak di Sasana Langen Budoyo Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta tanggal 23 Juli 2010 (Kompas, Sabtu, 24 Juli 2010). Setiap kali memperingati hari anak nasional, barangkali bayangan kita selalu tertuju pada keceriaan anak Indonesia yang tengah bebas bermain di alam terbuka, seperti bermain sepak bola atau liburan ke obyek wisata yang indah. Padahal anak yang lain masih bergulat melawan nasib, banyak diantara mereka yang bekerja di jalanan sebagai pengamen, pengelap kaca mobil. Namun apa yang disampaikan presiden tersebut berbada dengan keyataan yang ada. Tentu kita pernah tersentak oleh berita - berita mengenai kekerasan terhadap anak yang seringkali berada di luar akal sehat. Misalnya ada seorang ibu yang tega membakar anak kandungnya sendiri dan akhirnya meninggal. Adapula seorang ibu yang menganiaya anaknya. Bertahun - tahun baru terungkap berkat tetangganya yang curiga karena sering mendengar tangisan (kompas, Senin 26 Juli 2010). Ketika ketahuan anak sudah terlanjur menderita lahir dan batin yang amat berat, banyak bekas luka di sekujur tubuhnya. Demikian pula yang
dilakukan Riri seorang ibu tega membunuh bayinya yang baru lahir karena tidak tahan mendengar tangisan keras anaknya (Kompas, Minggu, 17 Oktober 2010). Ada anak yang disekap, diculik, ditelantarkan, diperkosa atau diperdagangkan. Sebenarnya banyak kasus kekerasan di sekitar kita tetapi barangkali tidak disadari karena kurang peka atau sebagai hal biasa.
Tindak kekerasan biasanya dilakukan oleh pihak yang secara fisik kuat terhadap yang lemah. Kasus tersebut bisa terjadai dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat. Di keluarga kekerasan terhadap anak lebih disebabkan oleh paradigma keliru orang tua. Mereka beranggapan anak adalah miliknya dan bebas diberlakukan apa saja. Dalam kadar yang ringan anak diberi hukuman berupa pukulana tau tugas serta dilecehkan jika tidak melakukan sesuatu yang diinginkan. Sampai kategori agak berat dan berat antara lain diminta bekerja tanpa mengenal waktu untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga, seperti yang dialami Dave Pelzer (dalam Danan, 2003). Di sekolah dianggap sebagai hal yang wajar jika guru menghukum muridnya yang melakukan kesalahan dengan berdiri di depan kelas. Bahkan bagi murid yang nakal hukumannya bisa lebih berat yakni dijemur di halaman sekolah gara - gara gagal ikut piknik (Suara Merdeka, Selasa 19 Desember 2006). Sepintas hukuman semacam itu dianggap lumrah tetapi sebenarnya merupakan tindakan kekerasan meskipun kadarnya ringan. Kemiskinan yang
seringkali bergandengan dengan rendahnya pendidikan, pengangguran, dan tekanan mental umumnya dipandang sebagai faktor dominan yang mendorong terjadinya kekerasan terhadap anak. Lemahnya penegakan hukum dan praktek budaya bisa berdampak pada fenomena kekerasan terhadap anak yang seringkali lepas dari jeratan hukum dan secara budaya diterima sebagai hal yang wajar dilakukan terhadap anak.
Ironisnya disatu sisi permasalahan anak dianggap sesuatu yang penting hingga membutuhkan perhatian dan kepedulian yang serius tetapi disisi lain dalam realitasnya kekerasan terhadap anak dan penelantaran anak masih belum tertangani dengan baik. Dengan kata lain masih terjadi kesenjangan antara harga dan kenyataan.
PENGERTIAN KEKERASAN TERHADAP ANAK
Kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak secara fisik maupun emosional.
Sedangkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan (UUPA No. 23 tahun 2002).
Istilah kekerasan terhadap anak meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai pada penelantaran kebutuhan - kebutuhan dasar anak Eichards J Pelles (dalam Abu Hurairah, 2006).
Baker (2003) mendefinisikan kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang - ulang secara fisik dan emosi terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman
badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.
Jadi kekerasan terhadap anak merupakan perilaku secara langsung dengan tujuan untuk merusak, melukai, merugikan anak dilakukan oleh orang yang lebih dewasa atau lebih kuat.
BENTUK - BENTUK KEKERASAN TERHADAP ANAK
Bentuk - bentuk kekerasan terhadap anak dapat digolongkan menjadi empat yaitu :
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik merupakan kekerasan yang sering terjadi karena mudah dideteksi. Biasanya terbuka dan mudah diketahui oleh orang lain. Terjadinya kekerasan fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orang tuanya seperti nakal, rewel, suka menangis.
2. Kekerasan Psikis
Meliputi penyampaian kata - kata kotor, penghardikan. Anak yang mendapat perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptife seperti menarik diri, pemalu.
3. Kekerasan Seksual
Dapat berupa perlakuan pra kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih dewasa atau melalui kontak langsung antara anak dengan orang dewasa.
4. Kekerasan Sosial
Berupa penelantaran dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian layak terhadap proses tumbuh kembang anak.
Dari keempat bentuk kekerasan tersebut maka kekerasan fisik yang paling sering terjadi karena mudah dideteksi dan biasanya terbuka serta mudah diketahui orang lain.
FAKTOR - FAKTOR PENYEBAB TINDAK KEKERASAN
Beberapa faktor yang membangkitkan perilaku tindak kekerasan adalah sebagai berikut :
1. Serangan
Serangan atau gangguan yang dilakukan orang lain bisa menimbulkan agresifitas. Demikian pula berbagai rangsangan yang tidak disukai. Misal seorang menunggu lampu merah dan pengemudi mobil di belakang kita membunyikan klakson begitu lampu berganti hijau.
2. Frustasi
Frustasi adalah kegagalan dalam mencapai tujuan. Bila seseorang akan pergi ke suatu tempat untuk melakukan sesuatu dan dihalangi maka orang tersebut akan mengalami frustasi. Salah satu prinsip dasar dalam psikologi adalah bahwa frustasi cenderung membangkitkan perasaan agresif.
3. Penguatan (Reinforcement)
Tindakan kekerasan biasanya merupakan reaksi yang dipelajari dan penguatan merupakan penunjang agresi yang utama. Bila perilaku tertentu diberi ganjaran kemungkinan besar
individu akan mengulangi perilaku tersebut dimasa mendatang. Bila perilaku itu diberi hukuman kecil kemungkinan akan mengulanginya.
4. Imitasi
Anak mempunyai kencederungan kuat untuk meniru orang lain. Anak yang mengamati orang lain melakukan tindakan kekerasan maka ada kemungkinan anak tersebut akan meniru orang tersebut. Anak belajar kapan perilaku boleh dilakukan dan kapan tidak boleh dilakukan. Jadi perilaku kekerasan anak dibentuk dan ditentukan oleh pengamatannya terhadap perilaku orang lain. Karena itu proses belajar melalui orang lain (vicarious learning) akan mengikat bila perilaku orang dewasa tersebut diberi penguatan dan bila situasinya mendukung identifikasi terhadap model orang dewasa tersebut. Orang tua merupakan sumber penguatan dan obyek imitasi utama. Perilaku anak dimasa mendatang sangat bergantung pada cara mereka memperlakukan anak dan pada perilaku mereka sendiri.
5. Norma Sosial
Anak belajar untuk melakukan kekerasan atau tidak melakukan kekerasan sebagai suatu reaksi kebiasaan terhadap isyarat - isyarat tertentu. Isyarat mana yang dikaitkan dengan pengharapan agresi dan isyarat mana yang dikaitkan dengan penekanan agresi, diatur oleh norma sosial yang dipelajari untuk situasi tertentu.
Menurut Rusmil (dalam Abu Hurairah, 2006), faktor penyebab tindakan kekerasan dan penelantaran dapat dibagi menjadi tiga faktor, yaitu faktor anak itu sendiri, faktor orang tua / keluarga dan faktor lingkungan sosial / komunitas.
1. Faktor internal atau faktor anak itu sendiri
a. Penderita gangguan perkembangan, anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental terlalu bergantung pada orang tua.
b. Perilaku menyimpang pada anak c. Ketidaktahuan tentang hak - haknya d. Frustasi
e. Tipe kepribadian
2. Faktor orang tua / keluarga
Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan dan penelantaran pada anak. Faktor - faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan dan penelantaran terhadap anak diantaranya :
a. Dibesarkan dengan penganiayaan b. Gangguan mental
c. Belum mempunyai kematangan fisik, emosi maupun sosial terutama mereka yang mempunyai anak sebelum berusia dua puluh tahun.
d. Pecandu minuman keras dan obat. e. Keluarga pecah (broken home)
f. Keluarga yang belum matang secara psikologis, anak yang tidak diinginkan. g. Penyakit parah pada salah satu atau kedua
orang tua.
3. Faktor lingkungan sosial / komunitas
Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan terhadap anak, diantaranya :
a. Sejarah penelantaran anak
b. Kondisi lingkungan sosial yang buruk
c. Adanya nilai - nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua yang bisa diberlakukan sekehendaknya.
d. Sistem keluarga patriarkhal
e. Nilai masyarakat yang terlalu individualistis Richard J Gelles (2006) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor personal, sosial dan kultural. Faktor -faktor tersebut dikategorikan ke dalam empat kategori yaitu :
1. Pewarisan kekerasan antar generasi
Banyak anak belajar kekerasan dari orang tuanya. Ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian perilaku kekerasan diwarisi dari generasi ke generasi. Anak - anak yang mengalami perlakuan salah dan kekerasan mungkin menerima perilaku ini sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orang tua. Sebagian besar dari anak - anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa yang memperlakukan kekerasan terhadap anak - anaknya. Faktor yang mempengaruhi tindakan kekerasan di masa depan yaitu apakah anak menyadari bahwa perilaku tersebut salah. Anak yang yakin bahwa perilaku buruk dan layak mendapat tindakan kekerasan akan lebih sering menjadi orang tua yang memperlakukan anaknya secara salah, dibandingkan anak - anak yang yakin bahwa orang tua mereka salah untuk memperlakukan dengan tindakan kekerasan.
2. Stres Sosial
Stres yang ditimbulkan berbagai kondisi sosial meningkatkan resiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi sosial ini mencakup : pengangguran, penyakit, kondisi perumahan buruk, ukuran keluarga besar dari rata - rata, kematian anggota keluarga. Sebagian besar kasus tindakan kekerasan karena kemiskinan.
Pengguna alkohol dan narkoba yang umum diantara orang tua yang melakukan tindakan kekerasan memperbesar stres dan merangsang tindakan kekerasan.
3. Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah
Orang tua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Kekurangan keterlibatan sosial ini menghilangkan sistem dukungan dari orang tua yang bertindak ekras yang akan membantu mereka mengatasi stres keluarga atau sosial dengan lebih baik. Kurangnya kontak dengan masyarakat menjadi orang tua ini kurang memungkinkan mengubah perilaku mereka sesuai dengan nilai - nilai masyarakat.
Faktor kultural sering menentukan jumlah dukungan masyarakat yang akan diterima suatu keluarga. Dalam budaya dengan tingkat tindakan kekerasan terhadap anak yang rendah, perawatan anak biasanya dianggap sebagai tanggung jawab masyarakat, apabila orang tua tidak bersedia atau tidak sanggup.
4. Struktur Keluarga
Tipe - tipe keluarga tertentu memiliki resiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Keluarga yang sering bertengkar, istri diperlakukan salah, mempunyai tingkat tindakan kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga yang dimana antara suami istri sama - sama bertanggung jawab atas keputusan tersebut. Kebanyakan penyebabnya adalah kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis serta kesulitan ekonomi. Kemudian anak - anak menjadi pelampiasan. Tetapi perlu juga diketahui bahwa tidak ada penyebab utama, yang ada semua faktor berinteraksi saling mendukung sehingga dikatakan sebagai multi kausal.
KEKERASAN DAPAT DIPELAJARI
Tindak kekerasan pada manusia tidak hanya diatur oleh dorongan internal melainkan juga dipelajari dari orang lain. Proses belajar dapat terjadi melalui dua metode, yaitu :
1. Instrumental Learning
Proses belajar terjadi ketika suatu perilaku mendapatkan respon positif (rewarded) atau mendapat pengukuh (reinforced). Karena adanya proses belajar, seseoranga cenderung mengulang - ulang perilaku yang mendapat respon positif atau diperkuat. Beberapa bentuk respon positif untuk tindak kekerasan antara lain : persetujuan masyarakat, peningkatan status, perolehan uang. Pada orang yang sangat terprovokasi, fakta si korban menderita dapat berarti sebagai reinforcement.
2. Observational Learning
Atau sosial modeling merupakan cara yang lebih umum dalam menghasilkan tindakan kekerasan. Menurut metode ini kita dapat mempelajari perilaku baru dengan mengamati tindakan orang lain (model). Pengamatan dapat dilakukan terhadap model yang ada di sekeliling kita atau dari televisi. Perilaku kekerasan yang ditayangkan di televisi secara terus menerus tanpa disensor, lama kelamaan oleh masyarakat dianggap sebagai cara yang benar (menjadi semacam norma baru) untuk menyelesaikan masalah.
Hal tersebut terjadi karena dalam masyarakat ada proses belajar yang disebut learning social norm. Televisi memiliki peran yang sangat besar dalam pembelajaran masyarakat. Perilaku kekerasan, kasar, anarkhis dan sadis yang sering terjadi di tengah - tengah masyarakat kemungkinan merupakan hasil pembelajaran dari tayangan kekerasan di televisi.
DAMPAK KEKERASAN TERHADAP ANAK
Seringan apapun jenis kekerasan yang dilakukan, tetaplah sebuah kekerasan yang bisa berdampak terhadap anak. Kekerasan dapat menyebabkan anak kehilangan hal - hal paling mendasar dalam kehidupannya dan pada gilirannya berdampak sangat serius pada kehidupan anak di kemudian hari, antara lain :
1. Cacat tubuh permanen 2. Kegagalan belajar
3. Gangguan emosional bahkan dapat menjurus pada gangguan kepribadian
4. Konsep diri yang buruk dan ketidakmampuan untuk mempercayai atau mencintai orang lain 5. Pasif dan menarik diri dari lingkungan takut
membina hubungan baru dengan orang lain 6. Agresif dan kadang - kadang melakukan tindakan
kriminal.
7. Menjadi penganiaya ketika dewasa. 8. Menggunakan obat - obatan ketika dewasa. 9. Kematian
Agustin D.P (2010) mengatakan bahwa dampak kekerasan korban biasanya akan merasakan berbagai emosi negative, seperti marah, dendam, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam, tetapi tidak berdaya menghadapinya. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mengembangkan perasaan rendah diri dan tidak berharga. Bahkan tak jarang ada yang ingin pergi dari rumah. Ada yang mencoba untuk bunuh diri seperti yang dilakukan Vita (Kick Andy, Metro TV, Minggu 17 Oktober 2010). Dampak psikologis yang lebih berat adalah kemungkinan timbulnya masalah pada korban seperti rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi dan ingin bunuh diri.
Para orang tua dan guru yang melakukan kekerasan mungkin tidak menyadari tindakannya bisa berdampak panjang pada anak. Kekerasan yang dilakukan akan membekas pada benak anak dan bisa mempengaruhi perkembangan kejiwaannya. Anak yang sering menerima tindakan kekerasan kemungkinan besar menjadi pribadi yang kurang percaya diri, minder, peragu dan bergantung pada orang lain. Anak yang sering mendapat kekerasan secara fisik, ketika dewasa bisa tumbuh menjadi pribadi yang agresif dan suka melakukan kekerasan.
Mereka mendapat contoh kekerasan di masa kecilnya sehingga pola dan cara hidup mereka akan dijalani dengan kerasan pula.
Dari uraian tersebut terlihat bahwa dampak dari tindakan kekerasan terhadap anak begitu mengenaskan. Mungkin belum banyak orang menyadari bahwa pemukulan yang bersifat fisik bisa menyebabkan kerusakan emosi anak. Anak merupakan cermin dari apa yang terjadi dalam suatu rumah tangga. Jika suasana keluarga sehat dan bahagia maka wajah anak akan ceria dan aberseri. Sebaliknya jika mereka murung dan bersedih biasanya telah terjadi sesuatu yang berhubungan dengan keluarganya. Sebagai wadah sosialisasi primer dimana anak belajar untuk pertama kalinya mengenal nilai -nilai dan cara bertingkah laku, perilaku orang tua sering mempengaruhi perilaku anaknya kelak. Bila kekerasan begitu dominan tidak mengherankan jika anak kemudian melakukannya dan akan terbawa sampai dewasa.
LANGKAH - LANGKAH UNTUK MENEKAN TINDAKAN KEKERASAN TERHADAP ANAK
Anak mempunyai hak untuk disayangi, dihidupi secara layak, berkreasi, kebebasan, bahkan hak untuk nakal. Oleh karena itu butuh penyadaran para orang tua atau guru untuk menghindarkan tindakan kekerasan fisik, psikologis, ekonomi dan sosial terhadap anak. Meski tidak mudah membentuk norma sosial dan budaya baru yang bersifat melindungi dan menghormati anak. Sekecil apapun tindak kekerasan terhadap anak harus mendapat perhatian dari masyarakat dengan saling mengingatkan atau lapor ke polisi.
Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk mengurangi tindakan kekerasan terhadap anak : 1. Mensosialisasikan tindakan - tindakan yang
tergolong sebagai kekerasan terhadap anak beserta peraturan - peraturannya.
2. Memberi dorongan pada korban kekerasan untuk melaporkan kasus yang menimpanya kepada pihak berwajib.
3. Penegak hukum harus lebih serius menindak lanjuti laporan - laporan kekerasan terhadap anak hingga tuntas.
4. Mensosialisasikan pada anak bahaya kekerasan yang mengancam mereka sehingga anak dapat menghindari bahaya kekerasan.
Mengapa Sulit Diungkap ?
Kasus kekerasan terhadap anak sulit diungkap ke permukaan (fenomena gunung es). Banyak orang tua atau kalangan masyarakat yang tidak dapat mengungkap kasus kekerasan karena dianggap aib. Meskipun kasusnya sudah terindetifikasi, proses penyelidikan dan peradilan sering sangat terlambat. Kesulitan dalam mengungkap kasus kekerasan terhadap anak bisa disebabkan oleh faktor internal maupun struktural (Suharto, 1977).
1. Penolakan korban sendiri
Korban tidak melaporkan kasusnya karena takut akan akibat yang kelak diterima baik dari pelaku karena adanya ancaman maupun dari kejadian itu sendiri (traumatis) atau karena dianggap sebagai aib.
2. Manipuasi dari si pelaku
Pelaku umumnya orang yang lebih besar (dewasa) sering menolak tuduhan (setidaknya diawal proses penyelidikan) bahwa dia adalah pelakunya. Strategi yang digunakan adalah pelaku menuduh anak melakukan kebohongan atau mengalami “wild imagination”.
3. Keluarga yang mengalami kasus menganggap bahwa kekerasan terhadap anak sebagai aib yang memalukan jika diungkap secara umum. 4. Anggapan hal - hal yang berkaitan dengan urusan
keluarga (hubungan orang tua, anak, hubungan suami - istri) tidak patut dicampuri oleh masyarakat.
5. Masyarakat luas tidak mengetahui secara jelas tanda - tanda pada diri anak yang mengalami kekerasan, khususnya pada kasus kekerasan seksual karena tidak adanya tanda - tanda fisik yang terlihat jelas.
6. Sistem dan prosedur pelaporan yang belum diketahui secara pasti dan jelas oleh masyarakat luas.
Sebagai suatu kasus yang tergolong tabu dan disadari melanggar batas - batas etika, ditengarai kasus - kasus kekerasan umumnya jarang terekspose ke luar dan kalaupun kemudian diketahui umum biasanya berkat peran keterlibatan media massa atau karena ada kejadian yang menghebohkan. Seorang ayah atau ibu yang memukul kepala anaknya atau bahkan menghajar dengan keras sekalipun, sepanjang apa yang mereka lakukan tidak sampai menimbulkan luka fisik yang serius atau kematian, maka kejadian itu akan lewat dan menguap begitu saja.
KESIMPULAN
Masalah kekerasan terhadap anak semakin banyak dalam masyarakat Indonesia. Padahal masa depan anak adalah masa depan bangsa. Kesiapan mereka menjadi generasi penerus yang tangguh dan andal sangat tergantung pada sejauh mana mereka telah dipersiapkan dengan baik sejak sekarang. Oleh karena itu jika semua orang tua, guru maupun masyarakat orang dewasa lain tidak melakukan atau menghindari tindak kekerasan maka kita dapat berharap kelak bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa ya ng ra mah, sa nt un ser ta mencinta i kehidupan yang aman, tentram dan damai. Ketidak optimalan penanganan tindak kekerasan terhadap anak akan menjadi bom waktu dimasa mendatang. Bukan tidak mungkin anak - anak korban kekerasan saat dewasa kelak anak melakukan hal serupa kepa da or a ng la in. Ana k mempunya i kecenderungan meniru segala hal disekitarnya. Jika mereka terbiasa menjadi korban kekerasan hal itu akan dianggap sebagai hal yang wajar jika terjadi pada orang lain.
Hak - hak anak harus terus disosialisasikan agar masyarakat semakin memahami dan waspada t er ha da p b a ha ya keker a sa n t er ha da p a na k. Pemerintah atau pihak lain perlu mendorong kesadaran masyarakat untuk melapor. Anak -anakpun perlu juga disosialisasikan mengenai bahaya yang mengancam mereka sehingga anak -anak da pat melindungi mereka sendir i untuk mencegah terjadinya kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
Suara Merdeka, Batal Ikut Piknik Murid Dijemur Guru, Selasa 19 Desember 2006.
_____________, Kekerasan terhadap Anak di Sekitar Kita, Senin 16 Oktober 2006.
Kompas, Lindungi Anak, Sabtu, 24 Juli 2010 _____________, Kekerasan Pada Anak Naik, Senin,
26 Juli 2010
_____________, Riri Tega Bunuh Bayinya Sendiri, Minggu, 17 Oktober 2010
Hurairah, A. 2006. Kekerasan terhadap Anak, Nuansa, Bandung
Prihatmoko, D. 2003. A Child Called It, Sun Jakarta. O Sears, D. dkk. 2004. Psikologi Sosial, Erlangga,
Jakarta.
Sarwono, SW. 2002. Teori - teori Psikologi Sosial, Grafindo Persada. Jakarta.
Coloroso, B. 2007. Stop Bullying, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta.