• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang disajikan dalam bab ini adalah hasil pengamatan selintas dan pengamatan utama.

4.1. Pengamatan Selintas

Pengamatan selintas merupakan pengamatan yang hasilnya tidak diuji secara statistik. Pengamatan selintas ini digunakan untuk mendukung hasil pengamatan utama.

4.1.1. Jenis Tanah atau Karakter Tanah

Pada penelitian ini produksi benih padi hibrida Mapan P 05 ditanam pada lahan yang memiliki ketinggian tempat ± 450 m dpl dan menurut Balai Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura Wilayah Semarang (2012), lahan ini mempunyai tekstur tanah lempung berat dan jenis tanah Grumosol dengan pH tanah antara 6,9-7,2. Lahan yang digunakan merupakan lahan yang sebelumnya dipergunakan untuk penanaman tanaman padi hibrida Mapan P 02. Pada saat penanaman padi hibrida Mapan P 02, lahan disekitarnya adalah tanaman padi varietas Ciherang, Cisedane, dan IR 64.

4.1.2. Hama dan Penyakit

Hama yang dijumpai dalam penelitian ini adalah penggerek batang dan tikus. Sedangkan untuk penyakit tidak ditemukan. Serangan hama tergolong masih rendah intensitas serangannya karena relatif tidak berpengaruh pada hasil tanaman padi hibrida Mapan P 05. Dengan kata lain, serangan hama dianggap dapat diabaikan dalam penelitian ini.

4.1.3. Suhu, Kecepatan Angin, Kelembapan, Jumlah Hari Hujan dan Presentase Roguing

Pada pengamatan selintas ini juga disampaikan data tentang suhu maksimum, suhu minimum, dan jumlah hari hujan. Data tersebut dapat dilihat pada tabel 4.1.

(2)

20

Tabel 4.1. Tabel suhu maks dan suhu min, kecepatan angin, kelembapan, jumlah hari hujan dan presentase roguing selama penelitian

Bulan

Rata-rata Rata-rata Kecepatan

Kelembapan (%)

Jumlah hari hujan

Total Suhu Maks (˚C) Suhu Min (˚C) Angin

(km per jam) Gerimis Gerimis deras

Agustus '15 30,6 24,47 8 65 0 0 0 September'15 28,03 24,72 10 70 0 0 0 Oktober '15 29,72 24,56 10 75 1 0 1 November'15 31,05 25,46 8 75 0 0 0 Desember '15 28,48 25,76 10 80 3 5 8 January '16 31,13 25,03 10 70 1 0 1

Keterangan: 1. Data diperoleh melalui pengukuran secara langsung di lahan penelitian.

2. Gerimis bila intensitas curah hujan < 2.5 mm per menit, hujan sedang bila intensitas curah hujan antara 2.5 mm-7.6 mm, hujan deras bila intensitas curah hujan > 7.6 mm dan hujan badai bila intensitas curah hujan > 50 mm (Anonim, 2016).

Perlakuan Presentase Roguing dari 260 Tanaman GMJ dan 52 Tanaman R

GMJ R P0 (kontrol) 0,38 0,00 P1 (50 ppm+100 ppm) 0,77 0,00 P2 (100 ppm+50 ppm) 0,38 0,00 P3 (100 ppm+100 ppm) 0,00 0,00 P4 (50 ppm+150 ppm) 0,38 0,00 P5 (150 ppm+50 ppm) 0,38 0,00 P6 (150 ppm+100 ppm) 0,00 0,00 P7 (100 ppm+150 ppm) 0,77 0,00

Keterangan: Presentase rouging.

Menurut Satoto (2006 lihat Andreani dkk, 2012) secara umum karakter lingkungan yang mendukung persilangan alami antara GMJ dan R adalah suhu antara 24ºC-30ºC, perbedaan suhu siang-malam antara 8-10ºC, kelembapan relatif sekitar 70-80%, cukup sinar, kecepatan angin 10-15 km per jam atau 3-5 m per detik dan kondisi yang sesuai seperti tanah subur serta irigasi dan sistem drainasi baik. Pada tabel 4.1. dapat dilihat bahwa suhu maksimum dan suhu minimum lingkungan selama penanaman antara 24,47oC-31,13oC dan kecepatan angin antara 8-10 km per jam. Ini berarti suhu lingkungan dan kecepatan angin sangat mendukung pertumbuhan tanaman padi hibrida Mapan P 05.

Curah hujan dan kelembaban mempengaruhi penyerbukan. Curah hujan dan kelembaban yang tinggi dari bulan Desember 2015 sampai bulan Januari 2016 menyebabkan tanaman Padi Hibrida Mapan P 05 yang sedang tumbuh memiliki persediaan air yang cukup sehingga tanpa adanya pengairan tanaman padi hibrida

(3)

21

Mapan P 05 juga masih dapat tumbuh dengan baik. Akan tetapi curah hujan yang tinggi ini menjadi masalah pada saat tanaman padi hibrida Mapan P 05 memasuki fase pembungaan terutama pada saat penyerbukan karena air hujan akan menyebabkan serbuk sari basah sehingga proses penyerbukan akan terhambat dan menurunkan hasil benih padi. Ketika melakukan penyerbukan tidak terjadi hujan sehingga penyerbukan tidak terhambat.

Dari data presentase roguing, rata-rata tanaman GMJ setiap perlakuan yang tidak dipanen tidak terlalu berpengaruh terhadap hasil benih karena presentase

roguing tergolong masih rendah. Roguing perlu dilakukan untuk menjaga

kemurnian benih.

4.2. Pengamatan Utama

Pengamatan utama dipilah menjadi dua, yaitu komponen pertumbuhan dan komponen hasil. Komponen pertumbuhan terdiri dari hasil umur berbunga, jumlah anakan, tinggi tanaman dan umur panen sedangkan komponen hasil terdiri dari jumlah malai per m2, panjang malai, jumlah gabah per malai, jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah total per malai, persen gabah isi per malai, hasil gabah per petak, jumlah rumpun tanaman yang dipanen, jumlah rumpun tanaman yang tidak dipanen atau tidak menghasilkan gabah dan bobot 500 butir gabah isi dan bobot 1 liter gabah.

4.2.1. Komponen Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah suatu proses pertambahan jumlah dan volume sel yang tidak dapat balik. Pertumbuhan tanaman padi terjadi mulai dari tanaman berkecambah hingga tanaman membentuk bunga. Untuk mendapatkan hasil benih yang tinggi, selain persentase eksersi malai yang bagus, penampilan tinggi tanaman tetua baik GMJ maupun R harus proposional (Wahyuni dkk, 2015). Agar GMJ dapat menangkap tepungsari yang banyak dari tetua R, maka tanaman R idealnya harus lebih tinggi dibanding dengan GMJ.

Tabel 4.2. menunjukkan bahwa tanaman GMJ dan R memiliki tinggi tanaman yang tidak berbeda nyata pada GMJ maupun R. Hal ini karena GMJ maupun R belum mendapatkan perlakuan zat pengatur tumbuh giberelin.

(4)

22

Tabel 4.2. Tinggi sanaman GMJ dan R sehari sebelum penyemprotan giberelin pertama Perlakuan Purata GMJ R1 R2 R3 P0 (kontrol) 63,10 a 76,00 a 73,00 a 70,25 a P1 (50 ppm+100 ppm) 65,80 a 78,75 a 70,75 a 69,25 a P2 (100 ppm+50 ppm) 64,95 a 74,00 a 72,00 a 69,25 a P3 (100 ppm+100 ppm) 63,40 a 73,25 a 67,50 a 65,00 a P4 (50 ppm+150 ppm) 66,00 a 77,75 a 73,00 a 70,25 a P5 (150 ppm+50 ppm) 66,95 a 76,25 a 71,50 a 68,75 a P6 (150 ppm+100 ppm) 64,55 a 73,50 a 69,75 a 66,25 a P7 (100 ppm+150 ppm) 66,00 a 74,50 a 70,00 a 65,50 a

Keterangan: 1. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan sedangkan angka diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan.

2. Data dalam wujud angka sebelum ditransformasi diikuti oleh huruf sebagai hasil analisis setelah ditransformasi .

3. GMJ berumur 66 hari setelah tanam (hst), R1 berumur 80 hst, R2 berumur 77 hst, R3 berumur 74 hst.

Tabel 4.3. menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan zat pengatur tumbuh giberelin menghasilkan tinggi tanaman yang tidak berbeda nyata pada GMJ. Hal ini karena tanaman GMJ belum disemprot zat pengatur tumbuh giberelin.

Tabel 4.3. Tinggi tanaman GMJ dan R saat 3 hari setelah penyemprotan giberelin pertama Perlakuan Purata GMJ R1 R2 R3 P0 (kontrol) 73,08 a 87,75 a 84,25 a 77,00 a P1 (50 ppm+100 ppm) 76,28 a 104,75 b 96,50 a 86,00 a P2 (100 ppm+50 ppm) 76,88 a 107,25 b 98,00 a 87,00 a P3 (100 ppm+100 ppm) 76,23 a 100.25 a 94,50 a 85,25 a P4 (50 ppm+150 ppm) 76.38 a 106,75 b 100,25 b 92,25 a P5 (150 ppm+50 ppm) 77,05 a 99.75 a 96,50 a 92,50 a P6 (150 ppm+100 ppm) 75,95 a 109,75 b 96,00 a 86,00 a P7 (100 ppm+150 ppm) 78,25 a 109,50 b 98,25 a 89,25 a

Keterangan: 1. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan sedangkan angka diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan.

2. Data dalam wujud angka sebelum ditransformasi diikuti oleh huruf sebagai hasil analisis setelah ditransformasi .

3. GMJ belum mendapat perlakuan zat pengatur tumbuh giberelin. Umur R1 sudah 3 hari sejak penyemprotan pertama (84 hst).

4. GMJ berumur 70 hari setelah tanam (hst), R1 berumur 84 hst, R2 berumur 81 hst, R3 berumur 78 hst.

(5)

23

Pengamatan tinggi tanaman R1 pada P1 dan P4 dengan konsentrasi 50 ppm nyata lebih tinggi dari kontrol. Hal ini diduga pada konsentrasi 50 ppm zat pengatur tumbuh giberelin sudah mampu memperpanjang batang. Hasil ini sejalan dengan penelitian Rachmawati dan Retnaningrum (2013) bahwa adanya giberelin akan memacu elongasi atau pemanjangan batang untuk membantu mencukupi kebutuhan oksigen dan karbondioksida, guna mendukung respirasi aerob dan fotosintesis.

Penambahan konsentrasi penyemprotan zat pengatur tumbuh giberelin menjadi 100 ppm dan 150 ppm seperti pada R1 P2 dan P7, maupun pada R1 P6 ternyata tidak mampu meningkatkan tinggi tanaman R1 dibanding P1 dan P4. Hal ini diduga karena rentang konsentrasi yang diberikan ke tanaman kurang lebar sehingga hasilnya relatif sama.

Tinggi tanaman R1 pada P3 dan P5 tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini diduga bahwa tanaman R1 pada P3 dan P5 tidak mampu segera melakukan

recovery setelah pindah tanam, dengan kata lain tanaman R1 pada P3 dan P5

relatif muda ketika penyemprotan sehingga tanaman terlambat tumbuh atau tinggi tanamannya rendah atau sama dengan kontrol.Sedangkan pada P1, P2, P4, P6 dan P7 berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini diduga tanaman mampu melakukan

recovery setelah pindah tanam atau cepat beradaptasi dengan lingkungan tumbuh

sehingga tinggi tanamannya berbeda dengan kontrol.

Tinggi tanaman R2 pada P4 lebih tinggi dari kontrol, hal ini diduga zat pengatur tumbuh giberelin dapat melunakkan dinding sel terutama enzim proteolitik yang akan melepaskan amino triptofan sebagai pembentuk auksin sehingga kadar auksin dalam tanaman tersebut meningkat. Secara tidak langsung, giberelin dapat dikatakan mengaktifkan auksin yang ada ditubuh tanaman (Abidin, 1982).

Tinggi tanaman R2 pada P1, P2, P3, P5, P6 dan P7 tidak berbeda nyata dengan kontrol, hal ini diduga disebabkan terjadi penguapan zat pengatur tumbuh giberelin yang disemprotkan pada tanaman sehingga giberelin tidak terserap dengan baik oleh tanaman.

Tinggi tanaman R3 dari setiap perlakuan yang diuji tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini diduga karena pemberian zat pengatur tumbuh giberelin

(6)

24

ke tanaman R3 yang relatif muda dibandingkan R1, sehingga penyemprotan zat pengatur tumbuh giberelin pada tanaman R3 tidak memberikan efek yang berarti bagi tanaman.

Perlu diketahui, bahwa R1 adalah tetua jantan yang sekaligus berfungsi sebagai pemulih kesuburan, yang disemai pada 24 hari sebelum semai GMJ, selanjutnya R2 yang disemai pada 21 hari sebelum semai GMJ; R3 yang disemai pada 18 hari sebelum semai GMJ.

Tabel 4.4. Tinggi tanaman GMJ dan R saat 3 hari setelah penyemprotan giberelin kedua Perlakuan Purata GMJ R1 R2 R3 P0 (kontrol) 84,53 a 111,25 a 104,75 a 97,00 a P1 (50 ppm+100 ppm) 100,30 b 150,50 b 144,50 b 135,50 b P2 (100 ppm+50 ppm) 100,73 b 147,00 b 144,25 b 141,50 b P3 (100 ppm+100 ppm) 99,80 b 148,25 b 145,75 b 144,25 b P4 (50 ppm+150 ppm) 99,50 b 153,00 b 143,00 b 139,75 b P5 (150 ppm+50 ppm) 98,93 b 152,25 b 148,00 b 144,25 b P6 (150 ppm+100 ppm) 100,18 b 150,00 b 147,25 b 144,00 b P7 (100 ppm+150 ppm) 101,40 b 143,75 b 142,00 b 139,75 b Keterangan: 1. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan sedangkan angka diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan.

2. Data dalam wujud angka sebelum ditransformasi diikuti oleh huruf sebagai hasil analisis setelah ditransformasi .

3. GMJ berumur 73 hari setelah tanam (hst), R1 berumur 87 hst, R2 berumur 84 hst, R3 berumur 81 hst.

Tabel 4.4. menunjukkan bahwa P0 baik tanaman GMJ dan R menghasilkan tinggi tanaman yang nyata lebih rendah daripada perlakuan penyemprotan zat pengatur tumbuh giberelin. Dengan kata lain, penyemprotan zat pengatur tumbuh giberelin menentukan peningkatan tinggi tanaman GMJ dan R. Peningkatan tinggi tanaman GMJ dan R dengan menggunakan zat pengatur tumbuh giberelin diawali dengan meningkatnya produksi enzim amylase, dimana enzim ini berfungsi untuk mengubah pati menjadi gula sehingga berdampak pada meningkatnya hidrolisis pati, maka akan berakibat konsentrasi gula menjadi meningkat dan mengakibatkan tekanan osmotik didalam sel menjadi naik, sehingga ada kecenderungan sel tersebut berkembang (Abidin, 1982 lihat Narendra, 2012).

Tinggi tanaman R1 pada P1 hingga P7 dengan konsentrasi 150 ppm sampai 250 ppm tidak berbeda nyata antar konsentrasi zat pengatur tumbuh giberelin

(7)

25

sama halnya dengan R2 dan R3. Hal ini kemungkinan pada kondisi tersebut tanaman merespons dengan meningkatkan pemanjangan batang. Akan tetapi, untuk membantu mencukupi kebutuhan oksigen dan karbondioksida yang dipakai untuk respirasi aerob dan fotosintesisnya tidak maksimal atau terhambat, sehingga pertumbuhan tinggi tanaman tidak mengalami peningkatan (Rachmawati dan Retnaningrum, 2013).

Tabel 4.5. Jumlah anakan GMJ dan R sehari sebelum penyemprotan giberelin pertama Perlakuan Purata GMJ R1 R2 R3 P0 (kontrol) 19,33 a 54,75 a 52,25 a 38,00 a P1 (50 ppm+100 ppm) 18,98 a 50,00 a 44,50 a 28,75 a P2 (100 ppm+50 ppm) 18,30 a 45,75 a 43,25 a 38,25 a P3 (100 ppm+100 ppm) 17,40 a 48,25 a 40,00 a 31,25 a P4 (50 ppm+150 ppm) 19,30 a 46,00 a 43,50 a 30,00 a P5 (150 ppm+50 ppm) 19,35 a 41,75 a 38,00 a 34,75 a P6 (150 ppm+100 ppm) 19,35 a 45,75 a 40,50 a 36,25 a P7 (100 ppm+150 ppm) 23,68 a 46,00 a 42,25 a 41,00 a

Keterangan: 1. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan sedangkan angka diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan.

2. Data dalam wujud angka sebelum ditransformasi diikuti oleh huruf sebagai hasil analisis setelah ditransformasi .

3. GMJ berumur 66 hari setelah tanam (hst), R1 berumur 80 hst, R2 berumur 77 hst, R3 berumur 74 hst.

Tabel 4.5. menunjukkan bahwa jumlah anakan GMJ dan R menghasilkan jumlah anakan yang tidak berbeda nyata pada GMJ maupun R. Hal ini karena GMJ maupun R belum mendapatkan perlakuan zat pengatur tumbuh giberelin.

Tabel 4.6. menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan zat pengatur tumbuh menghasilkan jumlah anakan yang tidak berbeda nyata pada GMJ. Hal ini karena tanaman GMJ belum disemprot zat pengatur tumbuh giberelin.

Hal yang sama terjadi pada jumlah anakan R1, R2, dan R3 ternyata juga tidak berbeda nyata antar perlakuan. Hal ini diduga karena saat aplikasi zat pengatur tumbuh giberelin tanaman sudah memasuki fase reproduktif atau akhir vegetatif sehingga tidak lagi membentuk anakan padi pada stadia tersebut. Pendapat Verhara (1976 lihat Gardner 1991), menyatakan kebutuhan giberelin bagi tanaman padi pada awal fase vegetatif adalah kritis, dimana fase vegetatif merupakan fase pembentukan anakan aktif dan anakan maksimum.

(8)

26

Tabel 4.6. Jumlah anakan GMJ dan R saat 3 hari setelah penyemprotan giberelin pertama Perlakuan Purata GMJ R1 R2 R3 P0 (kontrol) 19,98 a 56,50 a 50,75 a 33,75 a P1 (50 ppm+100 ppm) 18,98 a 41,00 a 34,50 a 26,50 a P2 (100 ppm+50 ppm) 18,30 a 37,75 a 32,50 a 27,25 a P3 (100 ppm+100 ppm) 17,40 a 32,75 a 24,25 a 20,50 a P4 (50 ppm+150 ppm) 19,00 a 45,25 a 34,25 a 27,50 a P5 (150 ppm+50 ppm) 19,35 a 38,00 a 29,00 a 24,25 a P6 (150 ppm+100 ppm) 19,35 a 41,25 a 31,00 a 23,50 a P7 (100 ppm+150 ppm) 18,35 a 37,75 a 31,75 a 26,00 a

Ket: 1. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan sedangkan angka diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan.

2. Data dalam wujud angka sebelum ditransformasi diikuti oleh huruf sebagai hasil analisis setelah ditransformasi .

3. GMJ belum mendapat perlakuan zat pengatur tumbuh giberelin.

4. GMJ berumur 70 hari setelah tanam (hst), R1 berumur 84 hst, R2 berumur 81 hst, R3 berumur 78 hst.

Dari tabel 4.7. menunjukkan bahwa jumlah anakan P0 tanaman GMJ tidak berbeda nyata antar perlakuan penyemprotan zat pengatur tumbuh giberelin. Hal ini karena proses fotosintesisnya diduga lebih banyak dimanfaatkan untuk respirasi sehingga jumlah anakan yang terbentuk sama dengan kontrol.

Tabel 4.7. Jumlah anakan GMJ dan R saat 3 hari setelah penyemprotan giberelin kedua Perlakuan Purata GMJ R1 R2 R3 P0 (kontrol) 30,23 a 55,25 b 48,25 b 34,50 b P1 (50 ppm+100 ppm) 29,20 a 38,25 a 31,25 a 27,00 a P2 (100 ppm+50 ppm) 26,30 a 36,50 a 28,75 a 26,75 a P3 (100 ppm+100 ppm) 26,50 a 32,75 a 27,75 a 24,00 a P4 (50 ppm+150 ppm) 29,88 a 40,75 a 29,00 a 24,00 a P5 (150 ppm+50 ppm) 28,43 a 35,25 a 29,75 a 21,25 a P6 (150 ppm+100 ppm) 28,88 a 39,50 a 32,75 a 24,25 a P7 (100 ppm+150 ppm) 28,23 a 34,00 a 31,75 a 23,75 a

Keterangan: 1. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan sedangkan angka diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan.

2. Data dalam wujud angka sebelum ditransformasi diikuti huruf sebagai hasil analisis setelah ditransformasi .

3. GMJ berumur 73 hari setelah tanam (hst), R1 berumur 87 hst, R2 berumur 84 hst, R3 berumur 81 hst.

(9)

27

Dilain pihak, jumlah anakan R1, R2, R3 pada P0 nyata lebih banyak daripada perlakuan lainnya. Hal ini diduga tanaman tinggi memerlukan energi untuk trasportasi asimilat. Dengan demikian, jika tanaman tinggi otomatis anakan padi tidak terkena cahaya secara maksimal sehingga jumlah anakan setelah aplikasi zat pengatur tumbuh giberelin kedua terhambat karena proses fotosintesis tidak sepenuhnya mengenai tanaman. Pendapat Gardner dkk, (1991 lihat Indah dan Endang, 2012) menyatakan semakin banyak daun yang terlindungi atau ternaungi maka daun-daun tersebut tidak efektif melakukan fotosintesis bahkan tidak melakukan sama sekali sehingga sebagian fotosintat yang dihasilkan oleh tanaman ditranslokasikan ke daun tersebut sehingga menurunkan laju asimilasi.

4.2.2 Komponen Hasil

Pengamatan komponen hasil dilakukan setelah panen, kecuali jumlah malai per m2. Menurut Suyamto, (2006) ciri-ciri tanaman padi hibrida Mapan P 05 yang siap untuk dipanen adalah jika 90% dari bulir malai tanaman galur GMJ tampak bersih, tegak, dan berwarna jerami. Panen jika kadar air benih kurang dari 20%.

Hasil pengamatan pada Tabel 4.8. dan Tabel 4.9. menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak memiliki perbedaan yang nyata pada setiap komponen hasil tanaman GMJ seperti jumlah gabah total per malai, jumlah rumpun tanaman yang dipanen dan jumlah rumpun tanaman yang tidak dipanen, pada tanaman R seperti panjang malai, jumlah gabah isi per malai dan jumlah gabah total per malai, jumlah rumpun tanaman yang dipanen dan jumlah rumpun tanaman yang tidak dipanen.

Panjang malai akan berpengaruh pada banyaknya jumlah gabah per malainya. Tabel 4.8. menunjukan setiap perlakuan yang diuji menghasilkan panjang malai GMJ yang berbeda nyata. Sebagai contoh perlakuan yang mempunyai panjang malai yang tertinggi pada P7 dengan rata-rata sebesar 26.17 cm. Pemberian zat pengatur tumbuh giberelin pada P7 menghasilkan malai yang lebih panjang dibandingkan dengan perlakuan lainnya, akan tetapi panjang malai tersebut tidak terlalu bermanfaat. Sedangkan untuk panjang malai R yang disemprot zat pengatur tumbuh giberelin pada P0 hingga P7 dengan konsentrasi 150 ppm hingga 250 ppm tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan. Hal ini diduga tinggi tanaman R sudah cukup untuk menerima cahaya yang digunakan

(10)

28

Tabel 4.8. Komponen hasil pada pertanaman produksi benih Hibrida Mapan P 05

Perlakuan Panjang malai (cm) Jml malai/ m2 Jumlah gabah isi/malai Jumlah gabah hampa/malai Jumlah gabah total/malai GMJ R GMJ GMJ R GMJ R GMJ R P0 (kontrol) 25,15 a 26,85 a 13,26 a 64,00 a 103,00 a 134,8 b 58,05 b 198,85 a 161,05 a P1 (50 ppm +100 ppm) 24,65 a 28,65 a 15,11 a 89,70 b 110,85 a 86,08 a 34,85 a 173,43 a 145,70 a P2 (100 ppm +50 ppm) 24,65 a 27,45 a 14,97 a 82,20 a 98,30 a 91,73 a 34,80 a 174,18 a 133,10 a P3 (100 ppm +100 ppm) 24,76 a 27,90 a 14,21 a 85,88 a 103,10 a 93,58 a 33,30 a 179,46 a 136,40 a P4 (50 ppm +150 ppm) 25,13 a 27,80 a 15,65 b 90,23 b 94,40 a 92,15 a 41,75 a 182,38 a 136,15 a P5 (150 ppm +50 ppm) 24,49 a 27,28 a 15,87 b 87,70 a 102,80 a 85,78 a 37,90 a 171,58 a 140,70 a P6 (150 ppm +100 ppm) 25,14 a 28,18 a 15,26 b 87,65 a 103,80 a 90,00 a 31,55 a 177,66 a 135,35 a P7 (100 ppm +150 ppm) 26,17 b 28,00 a 14,79 a 87,65 a 108,00 a 81,05 a 35,20 a 168,96 a 143,20 a Keterangan: 1. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar

perlakuan sedangkan angka diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan.

2. Data dalam wujud angka sebelum ditransformasi diikuti huruf sebagai hasil analisis setelah ditransformasi (jumlah gabah isi per malai dan jumlah gabah hampa per malai dan jumlah gabah total per malai).

untuk berfotosintesis sehingga panjang malai yang dihasilkan relatif sama dengan kontrol.

Jumlah malai per m2 bertujuan untuk mengetahui banyaknya malai padi yang dapat terbentuk pada kondisi lingkungan yang optimal, semakin banyak malai yang terbentuk setiap meternya diharapkan akan meningkatkan produksi benih dari tanaman tersebut. Sebagai contoh jumlah malai per m2 GMJ paling banyak ada pada P4, P5, dan P6 dengan konsentrasi 50 ppm hingga 150 ppm menghasilkan malai yang nyata lebih banyak dari P0. Hal ini diduga pada saat penyerbukan, serbuk sari yang dikeluarkan tanaman R banyak yang jatuh pada P4, P5, dan P6 sehingga gabah isi yang dihasilkan relatif banyak.

Variabel jumlah malai per m2 GMJ pada penelitian ini berbeda nyata antar perlakuan zat pengatur tumbuh giberelin. Akan tetapi, pada penelitian ini hasil yang diperoleh P1, P2, P3 dan P7 tidak berbeda dengan kontrol. Hal ini diduga pengguguran polen oleh R yang terjadi tidak pada waktu yang bersamaan dengan membukanya lemma palea GMJ, akan tetapi pada polen P7 masih berkesempatan

(11)

29

untuk jatuh pada permukaan stigma yang berada di luar spikelet, sehingga memperbesar keberhasilan polinasi.

Pada variabel jumlah gabah isi per malai digunakan untuk mengetahui jumlah gabah yang dihasilkan oleh setiap tanaman padi. Dari Tabel 4.8. variabel jumlah gabah isi per malai GMJ pada penelitian ini menunjukkan ada perbedaan nyata. Jumlah gabah isi per malai pada P0, P2, P3, P5, P6, dan P7 nyata lebih rendah dibandingkan dengan P1 dan P4. Hal ini diduga disebabkan oleh posisi malai yang masih terbungkus oleh pelepah daun bendera sehingga proses penyerbukan oleh polen ke putik tidak maksimal. P1 dan P4 diduga posisi malai GMJ yang sudah membuka dan keluar dari pelepah daun bendera sehingga ada kemungkinan proses penyerbukannya maksimal. Sedangkan untuk tanaman R tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan. Hal ini diduga tinggi tanaman R pada P0 hingga P7 cukup untuk menerima cahaya yang digunakan untuk berfotosintesis sehingga jumlah gabah isi per malai sama dengan kontrol.

Variabel gabah hampa per malai tanaman GMJ menunjukkan pada P0 menghasilkan gabah hampa per malai yang nyata lebih banyak daripada perlakuan lainnya. Hal ini diduga tinggi tanaman GMJ setelah aplikasi zat pengatur tumbuh giberelin kedua yang nyata lebih tinggi dari pada P0, sehingga memudahkan atau memperbesar peluang terjadinya penyerbukan, akibatnya gabah hampa per malai pada pemberian konsentrasi 50 ppm hingga 150 ppm menjadi lebih rendah. Sama halnya dengan tanaman R pada P0 dengan masing-masing perlakuan zat pengatur tumbuh giberelin menghasilkan gabah hampa per malai yang nyata lebih banyak daripada perlakuan lainnya. Hal ini diduga pemberian zat pengatur tumbuh giberelin dapat meningkatkan kandungan karbohidrat total dan pati pada tanaman padi R sehingga tanaman mampu meningkatkan masa reseptif terhadap polen R (Gavino dkk. 2008 lihat Rumanti. I. A., 2012) sehingga gabah hampa per malai R pada pemberian konsentrasi 150 ppm hingga 250 ppm menjadi lebih rendah.

Pada variabel jumlah gabah total per malai GMJ dengan konsentrasi 50 ppm hingga 150 ppm menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi zat pengatur tumbuh giberelin menghasilkan jumlah gabah total per malai yang tidak berbeda nyata. Hal ini diduga faktor genetik lebih berpengaruh dibandingkan dengan faktor pemberian zat pengatur tumbuh giberelin. Sama halnya dengan GMJ, bahwa

(12)

30

pemberian konsentrasi zat pengatur tumbuh giberelin dengan konsentrasi 150 ppm hingga 250 ppm pada R menghasilkan jumlah gabah total per malai yang tidak berbeda nyata. Faktor genetik diduga lebih berpengaruh terhadap jumlah gabah total per malai daripada pemberian zat pengatur tumbuh giberelin.

Tabel 4.9. menunjukkan bahwa konsentrasi penyemprotan zat pengatur tumbuh giberelin berpengaruh nyata dalam peningkatkan bobot 500 butir gabah

Tabel 4.9. Komponen hasil pada pertanaman produksi benih Hibrida Mapan P 05

Perlakuan Bobot 1 liter gabah (g) Bobot 500 butir gabah (g) Jumlah rumpun tanaman yang dipanen Jumlah rumpun tanaman yang tidak dipanen GMJ R GMJ R GMJ R GMJ R P0 (kontrol) 500,95 a 401,65 a 11,85 a 14,49 a 258,25 a 52,00 a 1,25 a 0,00 a P1 (50 ppm +100 ppm) 515,93 b 417,78 b 13,86 b 15,83 b 258,25 a 52,00 a 1,25 a 0,00 a P2 (100 ppm +50 ppm) 517,91 b 415,74 b 13,59 b 16,22 b 259,00 a 52,00 a 0,75 a 0,00 a P3 (100 ppm +100 ppm) 518,56 b 416,31 b 13,19 b 15,84 b 259,50 a 52,00 a 0,50 a 0,00 a P4 (50 ppm +150 ppm) 517,42 b 415,98 b 13,56 b 16,48 b 259,50 a 52,00 a 0,25 a 0,00 a P5 (150 ppm +50 ppm) 513,36 b 416,57 b 13,25 b 16,60 b 258,50 a 52.00 a 1,25 a 0,00 a P6 (150 ppm +100 ppm) 514,73 b 416,57 b 13,63 b 16,51 b 259,75 a 52,00 a 0,25 a 0,00 a P7 (100 ppm +150 ppm) 533,23 c 425,11 c 14,75 c 17,05 c 259,50 a 52,00 a 0,00 a 0,00 a Keterangan: 1. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar

perlakuan sedangkan angka diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan.

isi dan bobot 1 liter gabah isi GMJ dan R. Hal ini diduga perlakuan penyemprotan zat pengatur tumbuh giberelin mampu meningkatkan kandungan klorofil. Toharudin dan Sutomo (2013 lihat Utama, 2015) menerangkan bahwa bila terjadi peningkatan kandungan giberelin pada daun dapat menyebabkan jumlah klorofil di dalam tanaman menjadi bertambah sehingga menyebabkan proses fotosintesis pada tanaman juga meningkat. Hasil fotosintesis (fotosintat) tersebut akan meningkatkan pengisian bobot 500 butir gabah isi dan bobot 1 liter gabah isi juga meningkat. P7 mempunyai bobot 500 butir gabah isi dan bobot 1 liter gabah isi yang tertinggi baik pada GMJ maupun R karena diduga kadar giberelin dalam daun juga tertinggi.

Variabel jumlah rumpun tanaman GMJ yang dipanen dan jumlah rumpun tanaman yang tidak dipanen tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan zat

(13)

31

pengatur tumbuh giberelin. Data ini sebenarnya digunakan untuk menilai tingkat kemurnian benih induk yang digunakan. Berdasarkan data tersebut dapat dipastikan bahwa tingkat kemurnian tanaman induk adalah tinggi, karena jumlah tanaman yang tidak dipanen menunjukkan tanaman yang diroguing sebagai akibat tipe morfologinya menyimpang dari populasi tanaman induk.

Tabel 4.10. menunjukkan tanaman GMJ dipanen saat berumur 139 HST dan R dipanen saat berumur 142 HST. P7 menghasilkan benih F1 Hibrida Mapan P05 sebesar 3.09 kg per petak dengan luasan 11 m2 yang nyata paling tinggi dibanding dengan perlakuan lainnya. Jika dikonversikan ke luasan lahan ton per ha produksi benih F1 Hibrida Mapan P 05 adalah 2,8 ton per ha. Tingginya perolehan hasil benih F1 Hibrida Mapan P 05 diduga dipengaruhi oleh panjang malai, bobot 500 butir gabah isi, dan bobot 1 liter gabah isi pada P7 yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Tabel 4.10. Hasil benih

Perlakuan

Hasil Benih per petak (kg) Hasil Benih Ton/ha F1 Hibrida Mapan P 05 R F1 Hibrida Mapan P 05 R P0 (kontrol) 1,15 a 2,71 a 1,04 a 2,46 a P1 (50 ppm+100 ppm) 2,59 b 2,95 b 2,35 b 2,68 b P2 (100 ppm+50 ppm) 2,52 b 2,90 b 2,29 b 2,64 b P3 (100 ppm+100 ppm) 2,71 b 3,07 b 2,47 b 2,79 b P4 (50 ppm+150 ppm) 2,37 b 3,42 c 2,16 b 3,11 c P5 (150 ppm+50 ppm) 2,12 b 3,14 b 1,93 b 2,85 b P6 (150 ppm+100 ppm) 2,64 b 3,14 b 2,40 b 2,85 b P7 (100 ppm+150 ppm) 3,09 c 3,30 c 2,80 c 3,00 c

Keterangan: 1. Hasil benih padi Hibrida Mapan P 05 per petak (kg).

Hasil benih padi hibrida Mapan P 05 per petak maupun benih R per petak pada P7 nyata paling tinggi dibanding perlakuan lainnya. Hal ini diduga karena bobot 500 gabah isi dan bobot 1 liter gabah isi pada GMJ maupun R juga tertinggi dibanding perlakuan lainnya.

Hasil benih per petak neto GMJ maupun R, pada P0 nyata paling rendah dari pada perlakuan lainnya. Hal ini diduga karena daun-daun pada P0 banyak yang ternaungi oleh anakan yang banyak (tabel 4.7), sehingga untuk menangkap cahaya matahari yang masuk ke tanaman untuk proses fotosintesis tidak maksimal

(14)

32

dampaknya fotosintat hanya diorientasikan untuk pertumbuhan daun, bukan untuk diakumulasikan ke biji atau gabah.

Hasil benih F1 Hibrida Mapan P 05 nyata lebih berat daripada hasik benih F1 Hibrida Mapan P 05 yang mendapat P4. Hal ini diduga spikelet GMJ yang mendapat P7 membuka lebih lama daripada GMJ P4 sehingga GMJ P7 mendapat peluang diserbuki oleh tanaman Restorer. Hal ini sependapat dengan Young, (1983 lihat Yuni dkk. 2012) beberapa GMJ yang memperlihatkan sterilitas serbuk sari ditemukan membuka lebih lama daripada galur Pelestari atau Restorer yang mempunyai fertilitas serbuk sari.

Tabel 4.11. Nilai korelasi hasil benih F1 Hibrida Mapan P 05 masing-masing parameter pengamatan

No Parameter Nilai Korelasi

Pengamatan terhadap Bobot per Petak 1 Bobot hasil benih per petak Neto 1

2 Umur berbunga 20% 0,3636

3 Umur berbunga 40% 0,1751

4 Tinggi tanaman GMJ sehari sebelum aplikasi ZPT I 0,3727 5 Tinggi tanaman GMJ 3 hari sesudah aplikasi ZPT I 0,8884 6 Tinggi tanaman GMJ 3 hari sesudah aplikasi ZPT II 0,9252 7 Jumlah anakan GMJ sehari sebelum aplikasi ZPT I 0,2953 8 Jumlah anakan GMJ 3 hari sesudah aplikasi ZPT I (0,7079) 9 Jumlah anakan GMJ 3 hari sesudah aplikasi ZPT II (0,5265)

10 Jumlah malai per meter persegi GMJ 0,4769

11 Panjang malai GMJ 0,2815

12 Gabah total per malai GMJ (0,8362)

13 Gabah isi per malai GMJ 0,8265

14 Gabah hampa per malai GMJ (0,8900)

15 Bobot 500 butir gabah isi 0,9196

16 Bobot 1 liter gabah isi 0,9048

Jumlah -

Keterangan: 1. Angka dalam kurung menunjukkan arah korelasi yang negatif.

Tabel 4.11. menunjukkan nilai korelasi antara hasil benih F1 Hibrida Mapan P 05 dengan variabel lainnya. Variabel yang menunjukkan nilai korelasi tinggi ditunjukkan oleh variabel tinggi tanaman GMJ 3 hari sesudah aplikasi zat pengatur tumbuh giberelin kedua, bobot 500 butir gabah isi dan bobot 1 liter gabah isi. Ini berarti ketiga parameter tersebut berkorelasi erat dengan hasil benih per petak neto.

(15)

33

Parameter tinggi tanaman GMJ 3 hari sesudah aplikasi zat pengatur tumbuh giberelin kedua walaupun mempunyai korelasi yang tinggi terhadap hasil benih per petak neto ternyata tidak sinkron uji BNJ-nya dengan uji BNJ hasil benih per petak neto. Dilain pihak, panjang malai walaupun uji BNJ-nya sinkron dengan uji BNJ hasil benih per petak neto, namun korelasinya dengan hasil benih per petak neto sangat rendah. Ini berarti parameter tinggi tanaman GMJ 3 hari sesudah aplikasi zat pengatur tumbuh giberelin kedua dan panjang malai tidak dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa hasil benih per petak neto pada P7 adalah yang tertinggi secara nyata dibanding perlakuan lain.

Parameter yang dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa P7 adalah perlakuan yang terbaik untuk menghasilkan hasil benih per petak tertinggi secara nyata hanyalah parameter bobot 500 butir benih gabah isi dan bobot 1 liter benih gabah isi. Ini karena kedua parameter tersebut menghasilkan uji BNJ yang sinkron dan nilai korelasi yang tinggi dengan hasil benih per petak neto.

Gambar

Tabel  4.1.  Tabel  suhu  maks  dan  suhu  min,  kecepatan  angin,  kelembapan,  jumlah hari hujan dan presentase roguing selama penelitian
Tabel  4.2.  menunjukkan  bahwa  tanaman  GMJ  dan  R  memiliki  tinggi  tanaman  yang  tidak  berbeda  nyata  pada  GMJ  maupun  R
Tabel  4.2.  Tinggi  sanaman  GMJ  dan  R  sehari  sebelum  penyemprotan  giberelin pertama  Perlakuan  Purata              GMJ             R1              R2             R3  P0 (kontrol)  63,10  a  76,00  a  73,00  a  70,25  a  P1 (50 ppm+100 ppm)  65,80
Tabel 4.4. Tinggi  tanaman  GMJ  dan  R  saat  3  hari  setelah  penyemprotan  giberelin kedua  Perlakuan  Purata              GMJ                R1                R2               R3  P0 (kontrol)  84,53  a  111,25  a  104,75  a  97,00  a  P1 (50 ppm+100
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Pemahaman konsep peserta didik pada kelas X SMA Negeri 1 Leihitu yang diajar dengan menerapkan model inkuiri terbimbing

Seni budaya merupakan salah satu pelajaran yang ada ditiap sekolah dari jenjang Sekolah Dasar(SD), Sekolah Menengah Pertama(SMP), Sekolah Menengah Atas(SMA), maupun

Pengadaan bahan pakan di PT Indo Prima Beef, baik pakan hijauan atau konsentrat terbilang mudah karena letak peternakan yang berada di Lampung Tengah yang merupakan daerah

Melihat hambatan yang sudah dijelaskan di atas maka salah satu upaya yang bisa dilakukan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Daerah Kabupaten Nganjuk

Sesuai dengan intruksi presiden nomor 17 tahun 2011 dimana presiden menginstruksikan aksi percepatan pemberantasan korupsi dan juga sesuai dengan undang undang nomor 54 tahun

Akta bawah tangan daya pembuktian formalnya tidak bersifat mutlak, karena daya formilnya itu sendiri tidak dibuat dihadapan pejabat umum. Dengan demikian keterangan yang

3UL QV LS SUL QVLS \DQJ GLJXQD ND Q GDOD P SHQJHPEDQJDQ SHQGLGLNDQ NDUDNWHU 3XVDW .XUL NXOXP %HUNHODQMXWDQ PHQJDQGXQJ PDNQD EDKZD SURVHV SHQJHPEDQJDQ QLODL QLODL NDUDNWHU

Pengaruh dari modifikasi ini adalah dapat dilihat pada Gambar 2, dimana basal spacing menunjukkan perubahan yang sangat berarti dengan penambahan CTAB, yaitu dari 1.35 nm