• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distingsi Antara Manusia dan Hewan dalam Pemikiran Roger Scruton ; Suatu Analisis Moral Terhadap Hewan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Distingsi Antara Manusia dan Hewan dalam Pemikiran Roger Scruton ; Suatu Analisis Moral Terhadap Hewan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Distingsi Antara Manusia dan Hewan dalam Pemikiran Roger Scruton ;

Suatu Analisis Moral Terhadap Hewan

Sopa Merim Pemere

Sopa Merim Pemere: Departemen Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Kampus FIB UI, Kampus UI Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia

E-mail : sopurbs@gmail.com

ABSTRAK

Penilaian moral terhadap hewan, mengharuskan penelusuran kembali metafisis moral, yang merupakan reason dari manusia. Moral adalah fitur yang dimiliki manusia sebagai pendoman atas baik-buruk, benar-salah, etis-tidak etisnya tindakan manusia, yang merupakan bagian dari kesadaran manusia terhadap kediriannya serta nilai-nilai kebaikan. Moral merupakan faktor utama yang membentuk distingsi manusia dan hewan, dan menjadikan penilaian akan moral itu sendiri berbeda antara dengan manusia sebagai moral being, dan hewan non-moral

being. Penilaian etis terhadap manusia, mewajibkan pelandasan penilaian tersebut pada hukum moral, yang

terbentuk atas dialog dan persetujuan yang dilakukan moral being. Berbeda dengan penilaian etis terhadap hewan, hukum moral tidak dapat dihadirkan, akibat hewan memiliki keterbatasan yang lebih dalam kemampuan kongnitifnya, hingga tidak dapat menyuarakan kediriannya dalam dialog moral. Sehingga penilaian kita terhadap hewan hanya dapat dihubungkan dengan komponen-komponen perasaan moral yaitu virtue, simpati, dan piety. Dan perasaan moral tersebut akan merujuk kembali pada faktor-faktor kekerabatan spesies dan kesamaan-kesamaan yang dimiliki. Penilaian etis terhadap hewan merupakan hal yang sifatnya partikular, dan tetap mengharuskan adanya pendekatan berdasarkan kepentingan yang juga dimiliki hewan.

Kata Kunci : moral, justifikasi moral, hewan, hukum moral, perasaan moral, moral being, non-moral being,

virtue, simpati, piety

Distinction between Man and Animal Based on The Thoughts of Roger Scruton ; A Moral Analysis on Animal

ABSTRACT

A moral judgment on animal, require us to trace back the metaphysics of moral which act as man's reason. Morale is man's features that act as a guidance on the good-bad, right-wrong, ethical-non-ethical of human's behavior. It is a part of human’s consciousness of its being and its virtue. Morale is the main factor that distinct man and animal, and therefore the moral judgment itself differ between man as a moral being and animal as a non-moral being. An ethical judgment on man requires a foundation on moral law that is formed from a dialog and agreement done between moral beings. In ethical judgment on animal, we can’t bring moral law as its foundation for animal have a limitation on its cognitive abilities; therefore, it can’t express itself as a being in a moral dialog. In making a judgment on animal, we can only connect by components of moral sentiment, which are virtue, sympathy, and piety, and those moral sentiments will refer back on its species relation factor and the similarities they share. An ethical judgment on animal is of particular nature, and still requires an approach based on an interest that is also owned by animals.

Key Words: moral, moral justification, animal, moral law, sense of moral, moral being, non-moral being, virtue, sympathy, piety.

(2)

Pendahuluan

Di era kontemporer bermunculan beberapa pemikir yang muncul dengan beberapa argumen mengenai bagaimani seharusnya manusia memperlakukan hewan seperti Peter Singer (1946-) dengan bukunya yang cukup menggemparkan Animal Liberation (2002). Singer menggaris bawahi kembali permasalah relasi antara manusia dan hewan dengan mendasarkan permasalah perlakuan manusia terhadap hewan pada kasus diskriminasi terhadap yang diangkat oleh Richard Ryder (1940-) dengan membuat term baru yaitu spesiesme. Spesiesme merupakan suatu tindakan diskriminasi berdasarkan spesies tertentu, sama halnya dengan kasus-kasus seperti diskriminasi warna kulit yang disebut dengan rasis, dan diskriminasi gender yang disebut dengan seksis. Dan mereka berpendapat bahwa kita tidak bisa memperlakukan binatang seperti yang dilakukan pendahulu-pendahulu kita, memanfaatkan hewan tanpa berfikir bahwa hewan juga mampu merasa. Gagasan mereka menuntut perlakuan setara antara manusia dan hewan dengan pertimbangan bahwa manusia dan hewan, memiliki satu interest yang sama yaitu sesama mahluk perasa, dapat merasakan sakit dan penderitaan. Dan dengan dunia yang didominasi oleh manusia, secara jelas

hewan menjadi korban dari hasrat-hasratnya.

Pandangan beberapa pembela hak hewan ini seperti Singer, Ryder, dan Tom Regan (1938), nampak begitu sentimental dan terfokus pada satu sisi, yaitu hewan adalah korban dari kekejaman dan keserakahan manusia dan hewan perlu diperhitungkan dengan disetarakan dalam moral atas dasar kemampuan merasa (sentient) yang dimiliki manusia dan seluruh hewan. Animal Rights ditekankan dalam kondisi hewan-hewan yang setara dalam kemampuan merasa, sehingga harus diberikan penilaian etis yang sama dengan manusia. Hal ini menjadi suatu tanda tanya bagi sistem moral, ketika hewan disebut memiliki hak, lalu bagaimana hewan dapat melakukan kewajiban, sedangkan moral hanya dimiliki manusia yang memiliki rasio yang mampu mengaplikasikan moral dalam kehidupan. Moralitas yang mewadahi kehidupan komunal manusia, dimana tiap individu manusia mendapatkan perlindungan akan haknya untuk hidup dan bebas, disamping tiap individu tersebut juga berkewajiban untuk tidak mengganggu hak individu lain. Sedangkan hewan yang jelas memiliki kepentingan berbeda dan tidak mampu untuk dapat menyepakati moral sebagai wadah perlindungan bagi hak-haknya dan juga memahami kewajibannya pula, tidak

(3)

mungkin dapat memiliki hak sepertinya manusia. Justifikasi moral yang digagas oleh beberapa filsuf etika kontemporer seperti Peter Singer dan Tom Regan terdengar begitu berlebihan menanggapi kasus-kasus kekejaman terhadap binatang. Ditambah dengan usaha pergerakan kepedulian terhadap hewan ini dan beberapa pendekatan terhadap publik luas yang terlihat begitu berapi-api. Selain mengundang simpati, tidak sedikit pula memicu skeptisis-skepstisis terhadap kepedulian terhadap hewan, yang melihat ini hanya sebagai suatu bentuk politisasi kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Bahkan ada kampanye yang berakhir dengan tindaka kekerasan. Seperti pada kejadian saat kelompok yang melakukan kampanye penolakan penggunaan bulu hewan, sebagai bahan pakaian manusia, melempari dengan telur dan tomat terhadap selebriti yang menggunakan pakaian yang terbuat dari bulu binatang. Padahal untuk membentuk kesadaran publik perihal kekerasan terhadap hewan, diperlukan pendekatan etis juga. Hal ini mengesankan usaha kepedulian terhadap hewan, menjadi penyudutan terhadap interest manusia. Walaupun memang manusia harus memperhitungkan urgensi beberapa kepentingannya, yang berimplikasi terhadap terganggunya kepentingan hewan, namun hal ini perlu di telusuri lebih lanjut

lagi agar pemutusannya berdampak baik kepada hewan maupun manusia.

Pandangan telah dikemukan oleh para penggagas hak-hak binatang, bukan hal-hal yang tidak bisa diterima secara rasional, namun diperlukan pengkajian ulang, khususnya dalam landasan dan penilaian moral terhadap hewan, agar apa yang menjadi tanggung jawab ini bukan semata-mata hal yang sifatnya euforial dan berpihak, tetapi memiliki pijakan-pijakan rigit dan dapat dipertanggung-jawabkan.

Di penulisan skripsi ini, penulis bermaksud menjelaskan beberapa hal yang perlu dikritisi dari poin-poin gagasan animal rights dan juga pada gagasan klasik. Diperlukan abstraksi metafisis mengenai moral seperti yang terbentuk pada pandangan moral klasik, dalam melihat dan menentukan status moral dari hewan. Dalam penulisan ini penulis berupaya menunjukan kembali bagaimana distingsi yang terbentuk dalam moral dalam menentukan apa yang dapat dikatakan benar dan salah. Sebagai bandingan terhadap pandangan pembela hak-hak hewan, penulis menggunakan kerangka berpikir dari Roger Scruton (1944-), yang melihat apa yang menjadi penyebab hal-hal yang membedakan antara manusia dan hewan, dengan melihat kembali secara metafisis distingsi antara manusia dan hewan.

(4)

Skripsi ini mengunakan metode penelitian yang bersifat deskripsi-analisis melalui pendekatan kualitatif dengan studi pustaka. Menjelaskan gagasan klasik mengenai penilaian moral terhadap hewan, Lalu menjelaskan gagasan animal rights yang menjadi menolak gagasan-gagasan klasik, dan menganalisis antitesis dari gagasan

animal rights berdasarkan pada argumen

metafisis mendasar mengenai justifikasi moral yang di kemukakan oleh Roger Scruton dalam bukunya yang secara khusus membahas permasalahan penilaian moral terhadap hewan yaitu Animal Rights and Wrongs (2000).

Hasil

Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa:

1. Refleksi kritis terhadap gagasan

animal rights, mengenai penilaian

moral yang berdasar pada utilitarian, Merupakan penilaian yang sepihak, tidak mengindahkan subjek manusia dari reason.

2. Reason dari justifikasi moral terhadap hewan. Apa yang melatar-belakangin tanggung jawab manusia terhadap keberadaan hewan.

3. Menjelaskan bahwa kepedulian kita terhadap hewan adalah suatu hal yang bukan sifatnya sentimental semata, melainkan juga karena adanya reason yang mendasar untuk melakukan tanggung jawab etis kita terhadap hewan, dan tetap konsisten menjadi subjek yang memilik jarak dalam hubungan relasi dengan hewan.

Poin utama permasalahan dari perlakuan manusia terhadap hewan ini, adalah bagaimana manusia dengan kepentingannya, lalu hewan dengan kepentingannya yang juga mereka miliki, dan bagaimana benturan-benturan dari kepentingan manusia dan kepentingan hewan. Ini adalah problem yang juga ada di antara manusia dengan manusia lain, yang pada akhir dibentuk suatu acuan berdasarkan negosiasi dan persetujuan yang dinamakan moral. Setelah dari gagasan Scruton, dimana distingsi yang ada pada manusia dan hewan dimunculkan kembali sebagai suatu hal yang justru menjadi reason bagi moral dalam memberikan pertimbangan etis kepada hewan. Pada bab ini, penulis akan memberikan pemetaan dari pemikiran

(5)

Scruton yang menjadi antitesis dari gagasan animal rights. Dan langkah-langkah apa yang dapat dilakukan dalam pengaplikasian moral dalam pertimbangannya terhadap hewan.

Gagasan Scruton mengenai distingsi berdasarkan kapasitas mental yang beimplikasi pada perbedaan cara berada dan interest yang dimiliki manusia dan tiap-tiap spesies hewan. Ketika kita manusia sadar atas dirinya yang merupakan bagian dari alam dan ingin memiliki relasi yang baik dengan alam, terkhusus dengan hewan, kita tidak bisa terlepas atas karakter kita sebagai manusia yang membentuk relasi kita berdasar pada negosiasi dan persetujuaan. Hewan jelas tidak dapat menyuarakan pendapatnya dalam negosiasi dan persetujuan untuk membentuk moral. Yang dapat kita lakukan adalah berusaha menterjemahkan prilaku dan tanda-tanda yang dibentuk oleh binatang dengan se-objektif mungkin. Bagaimanapun kita juga memiliki keterbatasan dalam memahami hewan, dan yang dapat kita lakukan adalah terus menjaga relasi sebaiknya dengan hewan dan terus mempelajari hewan. Apa yang dapat memastikan bahwa pemahaman kita mengenai hewan adalah objektif.

Utilitarianisme: Penilaian Yang Sepihak

Utilitarianisme adalah prinsip moral yang menjadi pedasaran Singer dan Regan dalam argumennya mengenai penilaian moral terhadap hewan. Poin utamanya pain dan pleasure sebagai reason utama kita dalam melakukan tindakan. Faktanya adalah hewan memiliki kapasitas mental yang merunut dengan apa yang dimiliki manusia dan hewan mampu merasakan rasa sakit, sehingga hal itu pertimbangan utama kita dalam tindakan yang menyangkut hewan.

Faktanya lagi, kemampuan hewan dalam merasakan sakit, tergantung kapasitas mental yang dimilikinya. Perbedaan kelas mental yang diidentifikasi Scrutan menjadi empat kelas yaitu; dari terbawah sampai teratas; Kemampuan sensor perasa, kemampuan persepsi, kemampuan apetitif, dan terakhir kemampuan kognitif. Apabila perasaan sakit yang dijadikan landasan penilaian, justru penilaian akan menjadi rancu, sebagaimanapun rasa sakit itu dipengaruhi oleh mental state, menjadikan semakin kompleks komponen mental, akan semakin kompleks juga sakit yang dirasakan.

Perhitungan rasa sakit dalam kalkulus yang menhindarkan pain diatas

pleasure, nampak begitu ekonomikal.

Pengaplikasian yang hanya melalu penilaian utilitarian, tanpa mengindahkan reason dari moral sendiri, menjadi

(6)

menghilangkan nilai-nilai inheren pada manusia sendiri. Bagaimana pun manusia adalah mahluk dengan kapasitas mental termutakhir, mampu mengaplikasikan kebaikan-kebaikan yang dimiliki, hingga pada usaha untuk memperlakukan hewan dengan respect. Hal ini memperlihatkan bahwa kita manusia, punya sifat kebaikan yang intrinsik, mampu menuangkan kebaikan-kebaikan dalam bentuk relasi sosialnya. Ketika penilaian moral diletakan hanya pada prinsip yang sifatnya

profit-oriented, menghindar tantangan-tantangan

dan spekulasi. Bukan berarti utilitarian tidak dapat dijadikan reason untuk pertimbangan moral, tetapi pengutamaannya menjadikan penilaian moral hanya sepihak.

Status Moral Hewan

Atas penilaian-penilaian moral yang didasarkan pada penelusuran metafisis terhadap hewan, dan bagaimana konsep moral yang dibentuk oleh manusia. Dapat diberikan satu postulat atas status moral dari hewan. Postulat ini adalah yang direkomendasikan Scruton berdasar atas pandangan mengenyeluruh mengenai kontingensi moral dan relevansinya terhadap hewan.

Kalau saja hewan bisa menyuarakan kepentingan dirinya, tidak ada masalah dalam penilaian moral ini. Sayangnya, hewan jelas tidak memiliki

fitur-fitur yang dimiliki manusia untuk dapat masuk kedalam dialog, dalam menyuarakan kediriannya. Sekalipun kita menemukan hewan kemampuan-kemapuan kognitif bahkan potensi linguistik seperti yang nampak pada lumba-lumba, lebah, namun hal-hal tersebut sifatnya masih intepretasi manusia, dan tetap saja mereka belum dapat masuk dalam dialog yang menyatakan interestnya secara rasional.

Konsep person hanya dimiliki oleh being yang mampu masuk ke dalam dialog yang terbentuk dalam satu lingkup komunitas. Person mampu menyuarakan

interestnya, dan mendiskusikan bersama

person lain yang turut pula menyuarakan

interestnya, hingga membentuk hak,

kewajiban, dan tanggung jawab. Semenjak hewan tidak mampu masuk ke dalam dialog dan menyuarakan interestnya, maka tidak dapat dikatakan kalau hewan memiliki hak.

Singer dengan penilaian sepihaknya, menyatakan hewan memiliki hak untuk hidupnya, ditimpali oleh Regan, hewan juga diperlakukan sebagai subject of al life. Hal ini begitu sulit untuk diterima, ketika hak hewan yang bahkan tidak dapat dibebankan pada hewan lain , dibeban sepenuhnya pada kita yang mampu ‘menerjemahkan’ pada hewan-hewan tersebut. Bahkan hewan sendiri sangat sulit untuk memaknai haknya untuk hidup.

(7)

Respon hewan terhadap pain, penderitaan, kematian merupakan hal yang berbeda. Secara umum bagi hewan, kesakitan adalah hal yang harus dihindari, pemaknaan mengenai rasa sakit terbatas dibanding permakanaan manusia mengenai sakit yang merupakan pontensi penderitaan dan kematian.

Hewan tidak memiliki hak bukan berarti manusia bisa bertindak semena-mena terhadap hewan. Basis moral yaitu virtue, simpati, dan piety adalah poin penting untuk membela keberadaan hewan. Kita tidak bisa memungkiri beberapa hewan seperti anjing, gajah, lumba-lumba menunjukan pontensi rasionalitas. Hewan-hewan tersebut memberi afeksi tersendiri terhadap kita manusia, namun dengan cara unik sesuai karakter yang mereka miliki. Satu hal yang tidak dapat dilepaskan penilaian kita terhadap hewan tidak bisa di generalkan, sama anatara satu spesies hewan dengan hewan lain. Namun penilaian moral dapat di generalkan apabila didasarkan posisi relasi hewan tersebut terhadap kita manusia.

Hewan Peliharaan

Hewan Peliharaan adalah hewan yang diberikan posisi khusus hidup tinggal, dan beraktivitas bersama-sama dengan manusia. Dengan menjadikan hewan sebagai peliharaan kita berarti kita menaikan jiwa hewan tersebut menjadi sama atau

setidaknya menyerupai manusia. Kita menyesuaikan kehidupan hewan peliharaan kita dengan kehidupan kita, sehingga kebersamaan dengan hewan tersebut dapat tercipta.

Area kategori hewan peliharaan menjadikan pertimbangan moral kita bukan saja dari ide mengenai tanggung jawab tapi juga konsep human virtue. Kita menilai satu tindakan kekejaman bukan hanya berdasarkan efek sakit dan penderitaaan yang ditimbulkanya, tapi juga ke - tidak berpikirannya mengenai kekejaman tersebut.

Dengan memelihara hewan, kita mengisi kognisi dari hewan tersebut juga dengan kesenangan yang kita rasakan. Maka dari itu hewan peliharaan perlu dilatih dengan benar, agar virtue dimilikinya ekuivalen dengan manusia, mereka dapat memahami apa yang tidak disukai oleh manusia.

Kita jelas memiliki kewajiban terhadap hewan peliharaan kita, kita wajib memenuhi kebutuhan makannya, tempat tinggal yang nyaman, kita wajib memberikan afeksi terhadap peliharaan kita ( semisal anjing butuh afeksi melalui elusan tangan pada kepalanya), dan kita wajib melatih hewan tersebut hingga priliaku hewan tersebut dapat diterima oleh masyarakat.

(8)

Hewan yang digunakan dan dimanfaatkan Manusia

Permasalah yang paling genting dalam permasalah perilaku manusia terhdap hewan, bukan pada hewan peliharan, namun pada hewan yang digunakan manusia untuk tujuan tertentu, seperti;

v Hewan untuk membantu aktivitas kerja manusia, terutama kuda, yang digunakan untuk sarana transportasi v Hewan yang digunakan untuk kegiatan olah raga seperti balap kuda, balap anjing, laga banteng dan sebagainya

v Hewan untuk di tempatkan di kebun binatang

v Hewan untuk dijadikan produk logistik seperti susu, telur, kulit, daging, bulu dan sebagainya. v Hewan untuk penelitian dan

eksperimen

Menyertakan hewan untuk kegunaan-kegunaan ini adalah permasalah yang kompleks. Poin penting acuan kita dalam melakukannya adalah karakteristik dari hewan tersebut dan juga interest mereka. Memberikan bantahan yang bahwa hewan tidak boleh dijadikan sumber eksploitasi yang dilakukan manusia secara absolut merupakan hal yang sulit pula. Bagaimanapun hewan tidak mampu berprilaku sebagai yang memiliki hidup

sendiri, mereka tidak dapat membuat pilihan. Tindakan manusia menyertakan mereka dalam aktivitas manusia, bisa jadi justru merupakan jalan yang lebih baik bagi hewan tertentu, dibandingkan harus berada di alam liar dan hidup dalam hukum rimba.

Satu hal poin pertimbangan utama kita adalah bagaimana dan kapan (dalam kondisi apa dapat melakukannya). Cara kita menjadikan hewan untuk manfaat, harus merupakan cara yang paling ramah bagi hewan tersebut. Cara yang paling ramah disini adalah cara yang paling dapat dilakukan sesuai dengan interest dari hewan tersebut dan tentunya secara dalam penilaian yang rasional pula. Dan pertanyaan kapan adalah persoalan apakah sifatnya harus atau genting dilakukan pula, kita harus melihat tindakan ini penting untuk dilakukan dan apakah masih ada cara lain dalam memperoleh tujuannya. Dan diperlukan sudut pandang yang berbeda dalam memberikan penilaian, seperti menentukan apakah etis menjadikan seekor banteng sebagai sarana hiburan adu banteng seperti yang dilakukan di Italy. Jelas banteng tersebut akan mudah merasakan sakit dari benturan-benturan yang terjadi. Tetapi kita harus melihat juga dengan menjadikan seekor banteng menjadi banteng aduan, banteng tersebut mendapatkan pleasure yang lebih

(9)

dibanding harus bertahan hidup di alam liar karena mendapatkan perawatan dan makanan yang cukup dari manusia. Secara singkat dapat bahwa tidaklah salah mengorbankan sedikit rasa sakit untuk mendapatkan kesenangan yang lebih dan terhindar dari kesakitan yang besar.

Catatan penting dalam memperlakukan hewan yang disertakan dalam kehidupan manusia, kita harus benar-benar memperhitungkan simpati, virtue, dan

piety sebagai penghubung moral terhadap

hewan. Dengan benar-benar memperhitungkan ketiga moral sentiment keputusan etis terhadap hewan seharusnya benar-benar terlepas dari kepentingan yang sifatnya egoistik.

Konklusi Penilaian Moral Scruton

Penilaian moral terhadap hewan berdasarkan distingsi manusia dan hewan, adalah argumen yang terbentuk dari abstraksi metafisika yang digagas oleh Scruton. Sebagai kritik terhadap konsep animal rights yang secara khusus digagas oleh Singer. Abstraksi metafisis ini mengembalikan posisi etika dan moral sebagai reason atas kebaikan manusia, seperti yang telah di gagas oleh filsuf etika pada masa modern. Tidak berarti Scruton hanya mengembalikan gagasan klasik, tetapi memberikan suatu diskursus yang jelas mengenai status moral hewan dengan

tetap memperhitungkan keberadaan hewan dengan interest-nya. Inti gagasan Scruton dapat disimpulkan dalam poin-poin sebagai berikut.

v Penilaian terhadap hewan dimulai dengan memisahkan antara moral

being dan non-moral being. Moral

being eksis dalam suatu hubungan timbal balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terbentuk dari dialog. Non-moral being eksis diluar dari hubungan timbal balik tersebut.

v Dengan begitu hewan tidak dapat dikatakan memiliki hak. Tetapi bukan berarti manusia tidak memiliki tanggung jawab terhadap hewan. Tanggung jawab kepada hewan berdasarkan bagaimana hewan tersebut disertakan dalam hidup manusia dan hewan secara langsung tergantung pada manusia untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraannya.

v Walaupun tidak ada postulat tentang bagaimana bentuk tanggung jawab manusia terhadap hewan, perlakuan manusia terhadap hewan ditentukan dengan konsiderasi moral. Konsiderasi ini terbentuk bukan dari hukum moral, melainkan dari tiga cabang lain

(10)

landasan moral yaitu virtue, simpati, dan piety.

v Nilai kebajikan (virtue) menjadikan perlakukan terhadap hewan terhindap dari motif yang jahat. Contoh merasa senang atas penderitaan hewan secara moral merupakan kekejaman.

v Simpati digunakan dalam penilaian ketika virtue tidak dapat memberikan penilaian. Simpati dapat diberikan pada hewan-hewan dengan intesionalitas atau hewan dengan kapasitas kognitif. Mahluk yang pandangan akan dunia, memiliki kesakitan-kesakitan dan kesenangan-kesenangan yang dapat dipahami sama halnya memahami kesakitan dan kesenangan yang kita manusia miliki. Ketika simpati berbicara, bahasanya adalah bahasa utilitarian. Maksudnya simpati merata pada semua mahluk yang terkait.

v Terhadap hewan tanpa intesionalitas, seperti serangga dan jenis cacing, pengalaman kita hanya yang sifatnya bayang-bayang dari simpati, penghubungannya tidak dapat memandangnya sebagai individual, tetapi hanya sebatas keseluruhan spesies.

v Tanggung jawab manusia terhadapa hewan yang kita sebabkan

tergantung dengan kita ialah memenuhi kebutuhan hidupnya, menjamin kematian yang minim akan rasa sakit, dan memberikan pelatihan yang sesuai dengan partisipasinya dalam masyarakat. Berbeda dengan hewan di alam liar, kewajiban manusia sebatas memperikan perlindungan terbaik terhadap habitatnya, juga dengan menjaga keseimbangan alam, dan menghindarkan dari kesakitan dan ancaman yang bersumber dari manusia.

v Penilaian moral yang sulit adalah pada kasus-kasus pendayaan hewan-hewan liar untuk kebutuhan manusia seperti hewan ternak untuk pangan manusia, dan hewan laboratorium khususnya yang dijadikan eksperimen yang menimbulkan kesakitan pada hewan tesebut. Untuk hewan ternak perlakuan yang bermoral dapat diberikan dengan kebebasan-kenyamanan selama hidup dalam peternakan, makanan yang layak, dan pada saatnya harus dibunuh, dilakukan dengan cara yang manusiawi (Scruton, 2000, hal. 74). Dan untuk hewan laboratorium, permasalahannya ada pada motif dan hasil yang dituju dari suatu

(11)

eksperimen, apakah benar-benar penting dan bermanfaat dilakukan. Dari poin diatas jelas bagaimana posisi Scruton dalam penilaiannya terhadap hewan. Kritik utama pada animal

rights yaitu penilaian sepihak dengan

konsiderasi utilitarian tanpa melihat moral sebagai reason manusia yang telah di bahas di masa klasik, secara khusus oleh Kant dalam kategoris imperatifnya menempatkan posisi manusia sebagai

person yang mampu menempatkan diri

dalam dialog sehingga ada batasan-batasan mengenai hak dan tanggung jawab. Scruton menempatkan penilaian moralnya pada kapasitas yang dimiliki manusia ini yang menjadi distingsi manusia dengan hewan manapun. Distingsi ini yang menentukan landasan-landasan moral mana yang dapat digunakan untuk memberikan penilaian terhadap hewan. Selama hewan tidak mampu masuk dalam dialog yang dapat dilakukan oleh person yang mampu mempertahankan dan menyuarakan dirinya dalam dialog, hanya 3 tiga landasan moral sentiment dapat dijadikan perpanjangan moral terhadap hewan.

Penilaian etis kita terhadap hewan secara jelas di dorong oleh sentimentalitas. Emosi sentimental merupakan hal yang membingungkan soal realitasnya. Sentimental menghubungkan perasaan

yang kita miliki dengan individu lainnya. Dan kepedulian kita terhadap hewan jelas hanya hal yang sifatnya sentimental semata akibat hewan tidak mampu memberikan pembahasaan yang konkrit terhadap manusia mengenai diri, sehingga kita menciptakan pemahaman sendiri yang hanya dari perasaan dan emosi yang manusia rasakan. Manusia memahami perasaan dan emosi berdasarkan pengalaman-pengalamannya. Dan selalu akan mencoba mengidentifikasi suatu kejadian berdasarkan pengalaman-pengalamannya.

Dari poin-poin diatas jelas bagaimana posisi Scruton dalam penilaiannya terhadap hewan. Kritik utama pada animal rights yaitu penilaian sepihak dengan konsiderasi utilitarian tanpa melihat moral sebagai reason manusia yang telah di bahas di masa klasik, secara khusus oleh Kant dalam kategoris imperatifnya menempatkan posisi manusia sebagai person yang mampu menempatkan diri dalam dialog sehingga ada batasan-batasan mengenai hak dan tanggung jawab. Scruton menempatkan penilaian moralnya pada kapasitas yang dimiliki manusia ini yang menjadi distingsi manusia dengan hewan manapun. Distingsi ini yang menentukan landasan-landasan moral mana yang dapat digunakan untuk memberikan penilaian terhadap hewan.

(12)

Selama hewan tidak mampu masuk dalam dialog yang dapat dilakukan oleh person yang mampu mempertahankan dan menyuarakan dirinya dalam dialog, hanya 3 tiga landasan moral sentiment dapat dijadikan perpanjangan moral terhadap hewan. Penjelasan mengenai perbedaan posisi gagasan umum klasik terhadap hewan, animal rights, dan gagasan Scruton dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel Perbandingan gagasan klasik, gagasan animal rights, dan gagasan Roger

Scruton

Basis Penilaian Gagasan praktis Klasik -antroposentris -manusia sebagai subjek moral (person) -kebaikan terhadap hewan merupakan kebaikan pada manusia itu sendiri (Kant) -Pemusatan terhadap subjek manusia mengakibatan kurangnya atensi terhadap kebereradaan hewan Kontemporer “Animal Rights” -Hewan merasakan sakit sama seperti manusia - prinsip dasar kesetaraan (Singer) - hewan : Subject of a life (Regan) - hewan memiliki hak -hewan memiliki posisi yang setara dengan manusia - rekomendasi veganisme Sebagai wujud kepedulian terhadap hewan Roger Scruton -hewan mahluk sentient, kekejaman terhadap hewan = imoral -pertimbangan terhadap hewan berdasarkan distingsi hewan dan manusia. Moral being (person) dan non-moral being. -moral sentiment sebagai pehubung penilaian etis manusia terhadap hewan -manusia punya tanggung jawab pada hewan, terkhusus hewan yang di assumed dan menjadi tergantung pada manusia -kesejahteraan hewan = tanggung jawab manusia - Pembahasan mengenai moral pada masa klasik telah memiliki pijakan-pijakan yang jelas, harusnya menjadi pendasaran bagi usaha-usaha pertimbangan etis yang dilakukan.

(13)

Mengingat Singer dan pengusung animal rights lainnya nampak mengenyampingkan gagasan-gagasan moral klasik, menjadikan konsep dari animal rights menjadi pincang. Dan Scruton memberikan gagasannya sebagai yang melihat pula arogansi manusia sangat vokal terlihat pada masa klasik yang menggebu-gebu dengan semangat antroposentrisnya hingga nampak menyepelekan kasus-kasus seperti kekejaman terhadap hewan. Pandangan dan gagasan Scruton ini dapat menjadi suatu sintesis dari gagasan klasik dan antitesis dari gagasan animal rights.

Memahami hewan dan relasi antara manusia dengannya, perlu pendasaran yang tidak melihat yang sifatnya kasat mata dan permukaan saja. Sama halnya ketika kita berelasi dalam kehidupan sosial. Kita akan melihat latar belakang, relasi mutual, karakternya, dan hal-hal lain yang sejauh masih kita pahami. Hal-hal tersebut yang menjadi acuan kita dalam menilai dan memperlakukan orang lain. Sama halnya juga dengan bagaimana kita terhadap hewan. Dan jelas sifatnya akan partikular, antara satu dengan yang lain akan berbeda. Yang menjadi permasalahan adalah relasi seperti apa yang ingin kita bentuk dengan orang lain ataupun dengan hewan, apakah relasinya bisa seperti yang kita inginkan dan sesuai dengan interest kita? Apa bila tidak lalu bagaimana bentuk relasi kita

dengan orang atau hewan tersebut, dan apa yang menjamin interest yang kita miliki begitu pula orang lain atau hewan tersebut? Hal inilah yang menjadi penyebab perbedaan penilaian moral terhadap sesama manusia sebagai moral being dengan hewan sebagai non-moral being. ada batas-batas yang berbeda. Seperti yang telah dijelaskan pada bab ini yaitu pengaplikasian moral terhadap hewan berdasarkan gagasan Scruton. Tanggung jawab manusai terhadap hewan berdasarkan bagaiamana hewan tersebut di

assumed dalam kehidupan manusia. Tidak

ada postulat yang merinci tanggung jawab kepedulian seperti apa yang harus di berikan kepada hewan. Bagaimana tanggung jawab itu dikembalikan padat tiga landasan moral sentiment. Hal ini berarti sebenar apa perlakukan kita terhadap hewan, tergantung bagaimana kita mengamalkan nilai kebaikan yang inheren kita miliki.

Kesimpulan

Pembahasan mengenai argumentasi metafisis moral terhadap keberadaan hewan yang penulis angkat ini dilatarbelakangi dengan kesanksian penulis terhadap argumentasi hak dan kebebasan hewan. Sekilas melihat permukaan dari argumen hak dan kebebasan hewan yang khususnya dikemukan oleh Peter Singer dan Tom Regan, nampak begitu membuka

(14)

tabir kejahatan manusia selama ini terhadap hewan. Memang tidak dapat dipungkiri selama ini sudah begitu banyak tejadi kekejaman-kekejaman terhadap hewan, yang memang perlu menadapatkan perhatian dari etika. Dan apa yang telah diperjuangkan para pembela dan pengadvokasi hewan memang cukup membangunkan dunia atas keteledorannya selama ini. Tetapi pendasaran kita atas pertimbangan dan penilaian terhadap hewan harus dibentuk dengan jelas dan memperhatikan segala aspek yang terkait atas peniilaian tersebut.

Disinilah mengapa argumen yang dikemukakan Singer dan Regan dianggap begitu sepihak, terlalu menunjukan sentimentalis yang jelas bila telusuri kembali berdasarkan abstraksi metafisis moral justru nampak kehilangan rasionalitas manusia di dalamnya. Sebagaimanapun kepedulian kita terhadap hewan, bahasa kepeduliannya kita adalah bahasa kita, bahasa manusia. Manusia juga terbatas dengan kapasitas mental yang dimiliki.Usaha ilmu pengetahuan mengungkap kondisi keberadaan hewan justru akan berbalik, bahwa ilmu pengetahuan yang kita anggap suatu yang empiris, pada dasarnya sifatnya hanya asumsi. Asumsi kita terhadap hewan, yang kebenaran hanya sebatas manusia saja mengenai kondisi hewan.

Dalam penentuan benar atau tidaknya perlakuan kita terhadap hewan, saya sepakat dengan apa yang kemukakan oleh Scruton yang bernuansa kantian ini, bahwa kejahatan dan kekejaman kita terhadap hewan, adalah kesalahan bagi kebaikan yang kita miliki, dan etika sendiri adalah usaha atas kebaikan yang kita miliki. Walau sifatnya yang begitu abstrak, hal ini pula yang mendorong segala usaha advokasi kebebasan hewan. Kita mampu merasakan dan melihat ada yang tidak benar terjadi ketika mengetahui ada peternakan sapi yang dikurung dalam kandang-kandang yang begitu sempit dan tidak dirawat dengan benar, dan pada akhir harus disayat dengan asal tanpa memperdulikan suara-suara teriakan dan gerakan memberontak yang dilakukan dengan begi kejam, tidak memiliki rasa. Hal inilah yang dimaksudkan Kant bahwa ada suatu nilai yang absolut yang sifatnya harus kita lakukan tanpa melihat untung dan kerugian, yang termuat dalam kategori imperatifnya. Kita punya satu nilai kebenaran yang inheren yang perlu dipakai dalam pertimbangan kita dalam memberikan penilaian moral .

Sebelum melakukan penilaian terhadap hewan, kita harus memahami terlebih dahulu komponen penilaian apa yang kita miliki yang dapat menjadikan penilaian itu rasional. Seperti yang telah

(15)

dijelaskan pada bab empat bedasarkan gagasan Scruton, ada 4 komponen yang menjadi basis penilaian rasional yang dapat kita gunakan dalam memberikan penilaian etis kita. Hukum moral adalah yang sifatnya hanya sebatas pad moral being, yang mampu masuk ke dalam dialog, menyuarakan kebebasanya secara rasional. Dan tiga sisanya adalah virtue, simpati dan

piety. 3 Komponen yang bisa memandu

penilaian terhadap hewan. Tiga komponen adalah penilaian yang tidak dapat dibuat pendasarannya dan batas-batas yang mengatur. Dan disini fungsi dari hukum moral sebagai pengendali atas 3 komponen tersebut.

Sebagai catatan khusus atas analisis metafisis atas moral manusia dan kaitannya dengan hewan, dapat disimpulan dalam beberapa poin. Pertama kita harus membedakan moral being dan non-moral

being. Sekali lagi ini bukan dimaksudkan

sebagai diskriminasi namun kemampuan manusia dalam menyuarakan kediriannya adalah nilai intrinsik yang dimiliki oleh manusia, yang sampai sekarang, secara kongkrit belum dapat dilakukan oleh hewan manapun. Maka dari itu hewan tidak dapat memiliki hak. Dan bukan berarti manusia tidak memiliki tanggung jawab terhadap hewan. Tanggung jawab ini ada ketika manusia menyertakan hewan dalam kehidupannya, dengan kata lain

hewan secara langsung atau tidak langsung tergantung pada manusia untuk mempertahankan keberadaan individualnya. Yang kedua, sekalaupun tidak ada bentuk tanggung jawab yang diasumsikan, hubungan kita dengan hewan di atur oleh konsiderasi moral, yang bukan dari hukum moral, tapi dari 3 akar perasaan moral yaitu virtue, simpati, dan

piety. Etika virtue mempermasalahkan

perlakukan terhadap hewan yang sifatnya muncul atas motif yang jahat. Seperti senang melihat hewan menderita adalah kekejian. Lalu simpati digunakan ketika virtue tidak muncul memberikan penilaian. Rasa simpati menghubungkan kita ke seluruh mahluk dengan intensionalitas, yang memiliki pandangan terhadap dunia, kesakitan dan kesenangannya dapat dipahami seperti memahami rasa sakit dan senang kita. Ketika simpati berbicara, bahasanya adalah bahasa utilitarian, yang digunakan untuk melihat tiap mahluk yang tekena dampat atas suatu tindakan. Terhadap hewan tanpa intensionalitas seperti serangga dan cacing-cacingan, pengalaman kita sifatnya hanya bayang-bayang simpati. Kita hanya bisa memperhitungkannya sebagai kesatuan spesies bukan individual. Yang ketiga, tanggung jawab kita terhadap hewan yang kita sebabkan tergantung pada kita berbeda dengan tanggung jawab kita terhadap hewan liar. Terhadap hewan yang

(16)

tergantung kepada kita, kita wajib memenuhi segala kebutuhannya, melatihnya agar bisa berpartisipasi dalam kehidupan manusia, dan kematian yang layak atau mudah bagi hewan tersebut. Bagi hewan-hewan liar kita bertanggung jawab untuk melindungi habitatnya, mengamankannya sebisa kita, menjaga keseimbangan alam, dan hal menjaminnya dari rasa sakit dan ketakutan adalah bukan bagian dari tanggung jawab manusia.

Usaha kita dalam memberikan pertimbangan yang objektif dan rasional, adalah bukan hal mudah dan selesai hanya dengan abstraksi dalam pemikiran, analisis etika, dan penuangan dalam bentuk tulisan saja. Dalam menjalankannya secara praktik mengunakan ide abstraksi moral kita terhadap hewan, pasti akan banyak benturan-benturan, yang membuat analisis ini hanya seperti harapan-harapan palsu saja. Kita pasti masih akan menemukan kekosongan-kekosongan atau residu pada ide ini. Sebagaimanapun filsafat yang dinilai adalah idenya. Sifatnya akan menjadi panduan kita dalam pengaplikasiannya.

Sebagaimana yang di kemukakan oleh Kant, kita memiliki virtue atau nilai kebaikan yang inheren ada pada diri kita manusia. Skeptik kita terhadap gagasan hak dan kebebasan bintang, dan berakhir pada analisis abstraksi moral, adalah

tindakan yang didorong nilai kebaikan ini dalam rasa tujuan perlunya perbaikan-perbaikan demi hasil yan lebih baik. Sekalipun kekurangan akan terus saja ada, baiknya ini akan memicu terus pembaharuan-pembaharuan untuk yang lebih baik lagi.

Daftar Refrensi

Bentham, J. (1970). An Introduction to the

Principles of Morals and

Legislation. London: University of

London, Athlone Press .

Cottingham, J. (1995). "Descartes, René"

in Honderich, Ted. (ed.) The Oxford Companion to Philosophy.

London: Oxford University Press. Darwin, C. (2004). The Descent of Man.

London: Penguin Classics . Francione, G. (1995). Animal Property &

The Law. Philadelphia: Temple

University Press.

Gauthier, D. P. (1986). Morals by

Agreement. New York: Oxford

University Press.

Kant, I. (2005). Groundwork of the

Metaphysic of Morals. (L. Denis,

Ed., & T. K. Abbott, Trans.) Peterborough: Broadway Views. Locke, J. (2001). Some Thoughts

Concerning Education. New York:

BARTLEBY.COM.

Phelps, N. (2007). The Longest Struggle:

Animal Advocacy from Pythagoras to PETA. Lantern Books.

(17)

Regan, T. (1983). The Case of Animal

Rights. California: University of

California Press.

Rousseau, J. J. (2010). Discourse on

Inequality. (G. Cole, Trans.)

Whitefish: Kessinger Publishing . Schopenhauer, A. (2005). The Basis of

Morality. (A. B. Bullock, Trans.)

Mineola N.Y: Dover Publication. Scruton, R. (1986). Sexual Desire. London:

Free Press.

Scruton, R. (1991). A Dove Descending. London: Trafalgar Square Publishing 1992.

Scruton, R. (2000). Animal Rights and

Wrongs. London: Demos.

Singer, P. (1979). Practical Ethics (Third Edition 2011 ed.). New York: Cambridge Press.

Singer, P. (1981). The Expanding Circle:

Ethics, Evolution, and Moral Progress. New Jersey: Princeton

University Press.

Singer, P. (2002). Animal Liberation. New York: Harpercollins.

Sorajbi, R. (1993). Animal Minds and

Human Moral. New York: Cornell

University Press.

Suseno, F. M. (1997). 13 Tokoh etika. Yogyakarta: Kanisius.

Taylor, A. (2009). Animals and Ethics. New York: Broadview Press. Waldau, P. (2011). Animal Rights: What

Everyone Needs to Know. New

(18)

Gambar

Tabel Perbandingan gagasan klasik,  gagasan animal rights, dan gagasan Roger

Referensi

Dokumen terkait

Seluruh Dosen dan Staff program studi Diploma III Teknik Informatika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatra Utara yang telah memberikan

21,33 Penghitungan hasil skor kualitas hidup terkait kesehatan dengan kuesioner SF-36 menggunakan daftar nilai seperti yang tersebut dalam tabel di bawah ini. Untuk skor

Begitu juga dengan sifat-sifat yang telah disepakati atau kesesuaian produk untuk aplikasi tertentu tidak dapat disimpulkan dari data yang ada dalam Lembaran Data Keselamatan

Salah satu komoditas yang mempunyai peluang besar untuk diolah menjadi bahan pakan ternak dengan jumlah yang melimpah di DKI Jakarta yaitu limbah organik pasar.. Berikut

Berdasarkan uraian di atas, maka terlihat bahwa aktivitas promosi tersebut sangat berpengaruh terhadap jumlah pendapatan bagi hasil musyarakah yang akan mempengaruhi laba

Deleuze nurodo, kad eizenšteino teorija apie montažą kaip filmo komponavimo pamatą nulėmė chronologinio ar istorinio laiko reprezentavimą kine, nes šiuo atveju judesys

RESIKO AUDIT.. Unsur Resiko Audit Resiko Bawaa n Resiko Bawaa n Resiko Detek si Resiko Detek si Resiko Pengendali an Resiko Pengendali an.. Jika auditor mempertahankan

Penelitian dengan judul Dampak Politik Penerapan UU No.5 Tahun 1979 terhadap Kekuasaan Pesirah merupakan bagian dari disertasi Peneliti di Program Doktor Ilmu