• Tidak ada hasil yang ditemukan

RINGKASAN DISERTASI. Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.2005.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RINGKASAN DISERTASI. Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.2005."

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

VII

RINGKASAN DISERTASI 1. Pendahuluan

Pelaksanaan Asas oportunitas dalam hukum pidana di Indonesia, telah mengalami perkembangan dan pergeseran pertimbangan untuk menghentikan penuntutan, tidak hanya kepentingan umum semata, melainkan kepentingan politik sehingga bersifat subyektif. Secara konseptual kepentingan umum yang dikehendaki untuk mendapat suatu perlindungan untuk dikesampingkan demi untuk menjaga kepentingan bangsa dan masyarakat secara umum, hal ini dapat diakomodir, tetapi akan berbeda arah kepentingan perlindungan dikesampingkan (tidak jelas) akan berakibat rusaknya tatanan penegakkan dan penerapan hukum yang berlaku, sehingga hukum tidak berfungsi sebagai pengawas dan pelindung masyarakat tetapi berfungsi sebagai pengayom orang-orang tertentu, Penggunaan atau pelaksanaan asas oportunitas dengan deponering yang tidak selektif akan mengakibatkan tidak adanya perlindungan hukum dan persamaan di muka hukum, sehingga kepentingan politik atau kepentingan lain akan menggeser keadilan masyarakat karena diterapkan secara bias. Pola pergeseran kebijakan politik dan dengan perkembangan masyarakat sekarang ini, maka penerapan asas oportunitas harus diformalisasikan kembali sesuai dengan kondisi masyarakat sehingga konsep kepentingan umum yang tepat, sehingga sinyalemen tentang perubahan paradigma dalam penerapan asas oportunitas akan mempengaruhi pelaksanaan sistem hukum pidana.

Hal ini diuraikan dengan jelas Manuel Lopez-Rey mengemukakan bahwa : “sistem pidana saat ini tidak cocok dengan perkembangan masyarakat

sekarang dan masa yang akan datang, pada umumnya telah usang dan jelas tidak adil, dan bahwa secara keseluruhan hal itu merupakan faktor yang menunjang peningkatan kejahatan” 1

Asas oportunitas dalam hukum pidana memberi tempat kepada seseorang yang istimewa dengan alasan untuk kepentingan umum, merupakan suatu pengecualian dari prinsip negara hukum, dalam arti prinsip persamaan (equality), prinsip kepastian hukum, keadilan dan perlindungan hak asasi manusia.

Penyimpangan prinsip-prinsip di atas telah diterapkan dalam kasus yang terjadi Institusi Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia dimana kasus Bibit Samad Riyanto dan Chandra A. Hamzah yang bermula dari laporan Antasari Azhar mantan Ketua KPK atas dugaan suap terhadap Pimpinan KPK terkait kasus yang melibatkan PT. Masaro dimana Anggodo Widjojo dan Ary Mulyadi membuat pengakuan dirinya menyerahkan uang suap sebesar Rp.5,1 miliar ke Pimpinan KPK Bibit dan Candra dimana Candra melakukian pencekalan dan pencabutan cekal terhadap Anggoro dan Bibit mencekal dan mencabut cekal terhadap Joko Tjandra yang kemudian menjadi tersangka di Polda Metro Jaya, padahal kasus tersebut tidak harus dihentikan penyidikan dan penuntutan karena ada bukti permulaan telah memenuhi syarat, baik formil maupun materiil untuk diteruskan penyidikan dan penuntutan. Kasus penghentian Penuntutan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel 1Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, PT.

(2)

VIII

Baswedan saat itu menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu dalam perkara dugaan penganiayaan dan penembakan pada kaki terduga pencuri sarang burung walet Irwan Siregar di Toko A-Liang yang terjadi tahun 2004, yang kemudian melakukan operasi kaki pada tahun 2012, yang dinyatakan P.21 pada tahun 2015 kemudian dinyatakan dihentikan oleh Kejaksaan Negeri Bengkulu sebagaimana dalam Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) Nomor B-03/N.7.10/E0.1/02/2016 pada Senin 22 Pebruari 2016. Penghentian penuntutan oleh Jaksa Agung pada perkara PT. Rajawali III Nyono Soetjipto kapasitas sebagai Kepala BPPN yang telah menjual aset negara sebesar Rp.84 miliar sementara nilai pabrik itu ditaksir ratusan miliar. Pada tahun 2016 Perkara Pimpinan KPK Abraham Samad perkara pada tahun 2007 tentang pemalsuan dokumen berupa Kartu Keluarga dan paspor milik Feriyani Lim yang masuk daloam Kartu Keluarga Abraham Samad yang beralamat di Kecamatan Panakkukang Makasar, di Polda Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar) yang telah ditetapkan tersangka pada 9 Februari 2015, dan Bambang Widjojanto dalam perkara dugaan mempengaruhi saksi dalam persidangan sengketa pilkada di Kabupaten Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010.

Penghentian penyidikan dan penuntutan bagian dari proses pidana oleh Polisi dan Jaksa, dalam hukum pidana terdapat indikasi perkara yang dihentikan berupa tidak cukup alat bukti, ada pula dioportunitas wewenang Jaksa Agung yakni “menghentikan perkara” berbeda dengan “tidak menuntut perkara”. Doktrin tidak menuntut perkara terletak pada (1) tidak menuntut perkara; (2) alasan kepentingan umum; (3) Kewenangan Jaksa/Jaksa Agung bukan oleh Polisi. Penyimpangan terhadap prinsip negara hukum akan berimbas pada perlindungan Hak Asasi Manusia, sebagai bagian yang sangat mendasar bagi manusia, yang mengharuskan perlindungannya bersifat menyeluruh tanpa diskriminasi dalam arti tidak ada perbedaan suku, agama, ras, sosial dan golongan.

Kewenangan untuk tidak menuntut perkara kriminal telah dikenal pada masa sebelum Indonesia merdeka berdasarkan pada prinsip “nolle prosequi” sebagai hak prerogatif Jaksa Agung sebelum perkara diteruskan ke pengadilan, sebagaimana dikatakan oleh C. Hamton,2sehingga dengan demikian dalam proses perkara pidana

terdapat beberapa kemungkinan untuk tidak meneruskan perkara pidana ke pengadilan.

2. Konsep Kepentingan Umum a. Menurut Hukum Positif

Di Indonesia, setelah hukum acara pidana masuk dalam HIR prinsip-prinsip hukum Belanda secara umum diterapkan yang didasarkan atas asas concordansi, sehingga tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai oportunitas, yang ada hanya menyangkut abolisi dan amnesti yang merupakan wewenang Gubernur Jenderal, dalam rancangan undang-undang Hukum Acara Pidana di jelaskan bahwa yang dimaksud dengan asas oportunitas ialah merupakan asas yang hanya menjadi kewenangan Jaksa Agung saja dalam mengesampingkan perkara, setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Kewenangan ini menunjukkan bahwa peluang untuk melakukan intervensi terhadap perkara

(3)

IX

pidana yang tersangkut dengan asas oportunitas sangat besar, karena undang-undang itu sendiri telah membuka peluang tersebut.

Dasar pemberlakuan asas oportunitas pada saat itu berdasarkan pasal 179 RO (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie) dengan alasan bahwa Hooggerchtshof dahulu diberikan kewenangan untuk memberi perintah kepada Pokrol Jenderal dalam melakukan penuntutan dan /atau tidak melakukan penuntutan jika ada alasan-alasan tentang itu dengan kata-kata terdapat dalam ayat (1) Pasal 179 RO kecuali jika penuntutan oleh Gubernur Jenederal dengan perintah tertulis telah atau akan dicegah.

Pendapat Vonk3 dengan mengatakan bahwa pasal 179 RO tidak

menganut asas oportunitas. Pandangan Vonk selaras dengan yang dikemukakan oleh Andi Hamzah, dikatakan bahwa karena Pasal 179 RO bertentangan dengan Pasal 8 Undang-Undang Pokok Kejaksaan (UU No. 15 Tahun 1961 telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 1991 Pasal 32 huruf c), sehingga ketentuan Pasal 179 RO tersebut tidak berlaku lagi.

Pendapat E Bonn-Sosrodanukusumo4dengan mengatakan bahwa Pasal

179 RO itu tidak berlaku lagi karena alasan Undang-Undang Mahkamah Agung 1950 tidak menyebutnya, jadi pembuat Undang-Undang tidak memberi wewenang pengawasan kepada Mahkamah Agung seperti Hooggerechtshof itu.

Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 telah diubah dengan Undang-Undang nomor 5 Tahun 1991 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, terakhir Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, begitu pula Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara, tidak satu pun pasal mengatur secara tegas tentang asas oportunitas, apalagi memberikan pengertian yang secara limitative, hanya didalam KUHAP meskipun secara tersirat mengakui asas oportunitas dalam penjelasan Pasal 77 “yang dimaksud penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”.

Meskipun tidak secara limitative Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia tidak mengatur asas oportunitas, namun secara implisit asas ini dianut dalam Undang-Undang tersebut, seperti terlihat dalam ketentuan Pasal 16 huruf h dan pasal 18 ayat (1) bahwa kepolisian Negara berwenang untuk melakukan penghentian penyidikan, dan untuk kepentingan umum pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenang dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Pengakuan asas oportunitas dalam Undang-Undang ini terlihat pula pada penjelasan Pasal 16 huruf h, dikatakan bahwa tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan asas preventif dan asas kewajiban kepolisian, untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan diskresi, sebagai kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri. 3Andi, Hamzah, 2016 : Terrminologi Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika Cet 2. hal. 25 4Andi, Hamzah, 2008 : Hukum Acara Pidana (Edisi Revisi), Jakarta : Sinar Grafika, hal.18.

(4)

X

Penjelasan Pasal 18 ayat (1) menegaskan pula, bahwa yang dimaksud dengan bertindak menurut penilaiannya sendiri sebagai suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakan yang tujuannya untuk kepentingan umum.

Penjelasan diatas memberi gambaran penilaian yang sangat subyektif sekali terhadap ukuran (standar) kepentingan umum yang akan dilindungi, apalagi dalam praktek kepolisian negara, dengan alasan kepentingan umum, dapat mengesampingkan perkara yang serba ringan. Pemberian kewenangan diskresi bagi kepolisian merupakan suatu tugas kepolisian preventif dan represif baik yang bersifat yudisial maupun non yudisial.

Menurut Bambang Poernomo5, wewenang diskresi harus diartikan

“sebagai kebijakan (god judgement) dalam penegakan hukum dan politik criminal yaitu menurut hukum akan lebih bijaksana apabila peristiwa yang menyebabkan suatu perbuatan orang disangka/ diduga melanggar hukum itu mendapatkan pertimbangan untuk tidak menjadi perkara pidana”.

Hal ini memberi kejelasan bahwa pengertian “diskresi” tidak dapat disamakan dengan pengertian “penyampingan perkara”, meskipun tindakan Kepolisian yang bersifat diskresi terhadap pelanggaran hukum dengan mengambil keputusan sendiri itu ada kesamaan dengan tindakan polisi mengesampingkan perkara untuk tidak meneruskan perkara atau tidak menuntut perkara kepada instansi pengadilan. Diskresi yang berasal dari bahasa Inggris “discretion” yang menurut kamus umum yang disusun oleh Jhon M. Echols, diartikan sebagai kebijaksanaan, atau keleluasaan. Sedangkan menurut Alvina Treut Burrow mengatakan bahwa Discretion : ability to choose wisely or to judge for oneself, yang artinya kemampuan untuk memilih secara bijaksana atau mempertimbangkan bagi diri sendiri. J.C.T. Simorangkir (M. Faal, 1991 : 15) member arti diskresi sebagai kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapat sendiri. Kewenangan kepolisian dalam menentukan kebebasan untuk bertindak terhadap suatu peristiwa pidana tidak harus dimaknai sebagai suatu kebebasan tanpa batas. Sebagaimana yang dikatakan oleh Thomas J. Aaron bahwa :

“discretion is power authority conferred by law to action the basic of judgement or conscience, and its use is more an idea of moral than law” yaitu sebagai suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atau pertimbangan dan keyakinannya dan lebih menekankan pertimbangan moral dari pada pertimbangan hukum”.6

Begitu pula dalam Undang-Undang kejaksaan, meskipun tidak memberi penjelasan secara limitative mengenai kepentingan umum mana yang menjadi cakupan asas oportunitas, tetapi mengakui keberadaan asas oportunis. Hal tersebut tercantum pada pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 bahwa “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum”. Kewenangan Jaksa Agung untuk menyampingkan

5Bambang, Poernomo, 1988 : Kapita Selekta Hukum Pidana, Yogyakarta, Liberty, hal.43.

6Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992 : Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung : Alumni, hal.16

(5)

XI

perkara demi kepentingan umum juga tertuang dalam rencana Rancangan KUHP pasal 142 huruf j.

Penjelasan Undang-Undang tersebut diatas memperlihatkan betapa kaburnya pengertian dan tujuan kepentingan umum yang akan dilindungi oleh asas oportunitas, sehingga hal ini pula yang menimbulkan kekaburan dalam penerapan asas oportunitas. Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa penghentian perkara pidana oleh penuntut umum atas dasar kepentingan umum harus dilakukan secara selektif agar tidak menimbulkan korban dalam penerapan asas oportunitas. Dewasa ini yang sering menimbulkan ketidak jelasan dalam pendeponeran perkara pidana adalah menyangkut standar kepentingan umum yang bagaimana seharusnya menjadi domain dari asas oportunitas yang harus dilindungi. Pedoman pelaksanaan KUHAP telah memberikan kriteria dan ukuran sebagai dasar, yakni : ….”dengan demikian kriteria kepentingan umum kepentingan Negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan masyarakat”. Menurut Andi Hazmah7 kriteria ini mempunyai kemiripan dengan pandangan

Supomo yang menyataan “baik di negara Belanda maupun di Hindia Belanda” berlaku yang disebut asas “oportunitas” dalam tuntutan pidana itu artinya badan penuntut umum berwenang tidak melakukan suatu penuntutan, jikalau adanya tuntutan itu dianggap tidak “opportune”, tidak guna kepentingan masyarakat.

Di beberapa Negara, seperti Malaysia yang tertuang dalam Land Acquisition Amendement Bill 1997 dan di Philipina yang tercantum dalam Republik Act Nomor 8974, konsep kepentingan umum berhubungan dengan konsep pembangunan yang bersifat pembangunan untuk prasarana pelayanan kepentingan sosial yang lebih konkrit. Dalam penerapannya, konsep kepentingan umum yang berlaku di Indonesia lebih bersifat aturan kebijakan, sehingga menjadikan sulit untuk memberi kepastian hukum yang berkeadilan. Karena aturan kebijakan yang dipergunakan dalam penerapan konsep kepentingan umum, maka makna dari kepentingan umum yang sesungguhnya menjadi tidak jelas dan tegas (vage norme), bahkan bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Menurut Koentjoro Poerbopranoto8 merupakan tindakan aktif dan positif dari

pada tindak pemerintahan ialah penyelenggaraan kepentingan umum, tugas itu merupakan tugas semua dari aparat pemerintah termasuk pegawai sebagai alat pemerintahan. Pengertian kepentingan umum menurut Koentjoro Poerbopranoto9

adalah suatu kepentingan yang meliputi kepentingan nasional dalam arti kepentingan bangsa, masyarakat dan Negara, dan bahwa kepentingan umum mengatasi kepentingan individu, kepentingan golongan dan kepentingan daerah.

Kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa dan Negara selaras dengan tujuan pemerintah Republik Indonesia sebagaimana yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Konsep kepentingan umum dalam suatu Negara hukum mempunyai dua peran penting terhadap hukum, yaitu peranan aktif dan peranan pasif. Peranan aktif dari

7Andi, Hazmah, 2008 : Terminologi Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, hal.10.

8Lubis, Solly, 2008 : Hukum Tata Negara, Bandung : Mandar Maju, hal.136. 9Ibid, hal. 137

(6)

XII

kepentingan umum secara eksistensi sebagai dasar menentukan isi agar tujuan hukum dapat dicapai, sehingga dengan demikian peranan aktif kepentingan umum menyangkut cita-cita hukum (rechtidee) bagi bangsa Indonesia yang diwujudkan oleh pokok-pokok pikiran dari pancaran Pancasila yang menjiwai Undang-Undang Dasar 1945.

Konteks kepentingan umum dalam peranan pasif yang bersifat pengaturan hukum, dapat dilihat dari sudut menurut peraturan perundang-undangan dan menurut hukum adat. Perbedaan dari kedua sudut tersebut tidak hanya terletak pada perbedaan sifat tertulis dan tidak tertulis semata-mata, tetapi juga terletak pada perbedaan pengertian mengenai hukum itu sendiri, dari konsepsi hukum menurut hukum barat dan menurut hukum adat. Kedua perbedaan hukum ini tidak selalu sejalan, karena tidak selalu sama pengertiannya antara hukum tertulis sebagai padanan hukum barat dengan hukum yang tidak tertulis sebagai padanan hukum adat. Dalam hubungan dengan kepentingan umum yang dilindungi hukum adat mengandung arti yang lebih luas dari pada hukum barat, demikian pula pengertian delik (perbuatan pidana).

Solly Lubis 10 dengan mendasarkan pandangannya pada konteks

ketatanegaraan, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945 yang member arti kepentingan umum bahwa untuk mencapai tujuan nasional, kepentingan umum didahulukan dari kepentingan perorangan dan golongan dengan memperhatikan pula kepentingan bangsa lain dalam rangka ikut melaksanakan ketertiban dunia. Di Indonesia penerapan aturan hukum yang mengatur tentang kepentingan umum tidak hanya dalam lapangan hukum pidana saja, seperti pada asas oportunitas, tetapi juga dalam lapangan hukum privat; yaitu hukum agraria. Dalam lapangan hukum pidana berbagai peraturan perundang-undangan telah mengatur mengenai kepentingan umum, namun tidak memberi suatu batasan yang jelas, di dalam batang tubuh, hanya dalam penjelasan. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 18 ayat (1) yang menjelaskan : “untuk kepentingan umum pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Begitu pula dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 35 huruf e, jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang “mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Penjelasan Undang-Undang tersebut memberi arti kepentingan umum sebagai kepentingan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas yang menunjukkan bahwa kedua Undang-Undang tersebut tidak memberi standar ukuran yang limitative terhadap kepentingan umum mana dan yang bagaimana (kepentingan Negara dan kepentingan masyarakat luas) menjadi ruang lingkup dari Undang-Undang tersebut, sehingga dalam penerapan asas oportunitas kadang-kadang terjadi bias, menjadi perlindungan kepentingan yang bersifat personality yang didasarkan atas pertimbangan politik, ekonomi dan hubungan antar lembaga.

Bahwa antara kepentingan individual dengan kepentingan umum (masyarakat) mempunyai kedudukan yang seimbang dalam mendapatkan kemanfaatan dan kesejahteraan bagi kedua kepentingan tersebut; yaitu untuk 10M. Solly Lubis, Op. Cit. 137

(7)

XIII

keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan sosial yang luas. Konsep ini secara mutatis muntadis mempunyai arah dan tujuan dengan yang tercantum di dalam hukum pidana untuk melindungi kepentingan Negara, bangsa dan masyarakat secara luas. Kepentingan umum sering disamakan dengan public interest, sebagaimana yang dikonstatir oleh Friedmand dalam legal theory 11

dengan mengatakan bahwa untuk mendapatkan perlindungan dari Negara “Sosial interest and private interest, public interest are first, the interest of the stateas a juristic Person in the Maintenance of its Personality and Substance and secundery, the interest of the state as a Guardian of sosial interest”. Pandangan Friedmand ini memberi arti yang berbeda antara kepentingan umum dengan public interest, yang mana public interest membedakan antara kepentingan yang bersifat pribadi dan kepentingan yang bersifat publik dengan menyebutkan :

1) Kepentingan-kepentingan Negara sebagai badan hukum dalam mempertahankan kepribadian dan hakikatnya;

2) Kepentingan-kepentingan Negara sebagai kepentingan-kepentingan masyarakat.

Atas dasar bahwa kepentingan umum merupakan kepentingan Negara dan masyarakat luas, sehingga timbul pandangan yang berbeda-beda tentang ruang lingkup kewenangan dari Jaksa Agung sebagai lembaga satu-satunya yang berwenang untuk melakukan deponer perkara pidana Indonesia.

John Salindeho 12 memberi pengertian kepentingan umum sebagai

berikut :

“sebagai kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis, dan hankamnas atas dasar asas-asas pembangunan nasional dengan mengindahkan ketahanan nasional serta wawasan nusantara”.

Konsep kepentingan umum sebagaimana yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan hakekatnya tidak hanya memenuhi peruntukan dari kepentingan umum tetapi lebih jauh lagi harus ada kemanfaatan dari kepentingan umum. Peraturan perundang-undangan menjadi bahan hukum untuk menemukan makna kepentingan umum, dasar pemikiran yang dibangun dari rangkaian konsep-konsep hukum. Sejalan dengan asumsi ini, Philipus M. Hadjon dan Tatiek S. Djatmiati13 menjelaskan bahwa rumusan norma dari peraturan

perundang-undangan merupakan suatu proposisi, dengan demikian sesuai hal ini Peter Mahmud Marzuki14mengatakan bahwa mempelajari norma sama halnya

mempelajari preskripsi-preskipsi, dan hal ini tidak dapat disangkal dan memang demikianlah esensi hukum.

Berdasarkan pandangan tersebut, maka penggalian makna kepentingan umum dari hukum positif diperlukan sebagai salah satu pendekatan untuk menemukan syarat dan kriteria kepentingan umum. Menurut Maria S.W. 11Abdussalam, 2008 : Tanggapan Atas Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara

Pidana, Departemen Hukum dan HAM RI Tahun 2007, Jakarta : Restu Agung, hal.30.

12Adrian, Sutedi, 2007 : Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah

Untuk Pembangunan, Jakarta : Sinar Grafika, 59.

13Gunanegara, 2008 : Rakyat dan Negara Dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan,

Pelajaran Filsafat, Teori Ilmu dan Jurisprudensi, Jakarta : .PT. Tatanusa, hal.53

(8)

XIV

Soemardjono15 mengatakan bahwa konsep kepentingan umum selain harus memenuhi “peruntukannya” juga harus dapat dirasakan “kemanfaatannya” (socially profitable atau for public use, atau actual use by the public). Pemaknaan kepentingan umum harus tercermin bahwa antara kepentingan umum dan kepentingan individu terdapat keseimbangan secara serasi dan seimbang, disini berlaku teori keseimbangan, sebagaimana yang dikatakan oleh Reinach dan Notonegoro16bahwa antara kepentingan umum hendaknya seimbang dengan kepentingan pribadi. Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa istilah kepentingan umum agar jelas dan memenuhi rasa keadilan masyarakat tidak cukup dipahami secara legalistic-formalistik, namun harus diintegrasikan menurut metode penemuan hukumnya.

Terlepas dari ketentuan pemberlakuan bagi kepentingan bangsa dan masyarakat dari ketentuan pemberlakuan asas legallitas, dalam penerapan hukum pidana di Indonesia, asas oportunitas masih diberi peluang sebagai pengecualian KUHAP, sebagaimana yang ditegaskan didalam pasal 77 KUHAP. Penerapan asas oportunitas masih sering terjadi kekaburan antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara; seperti yang dikemukakan oleh Yahya Harahap17 sebagai berikut :

a. Pada penyampingan atau deponering perkara, perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa di muka sidang pengadilan. Berdasarkan fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman, akan tetapi perkara yang cukup bukti ini, “sengaja dikesampingkan” dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh pihak penuntut umum atas alasan “demi untuk kepentingan umum”. Disinilah sifat diskriminatifnya asas tersebut yang tidak saja mengabaikan asas kepastian hukum dalam suatu Negara hukum, tetapi juga telah mengorbankan asas persamaan dimuka hukum dan perlindungan hak-hak asasi manusia; b. Pada penghentian penuntutan, alasannya bukan didasarkan pada kepentingan

umum, akan tetapi semata-mata didasarkan pada alasan kepentingan hukum itu sendiri, berupa :

1) Perkara yang bersangkutan tidak mempunyai pembuktian yang cukup; 2) Apa yang dituduhkan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana

(kejahatan atau pelanggaran);

3) Perkara ditutup atas dasar demi hukum atau set aside yang mencakup : tersangka/ terdakwa meninggal dunia pasal 77 KUHP; alasan nebis in idem pada pasal 76 KUHP; kadaluwarsa (lewat waktu) diatur dalam pasal 78 – 80 KUHP.

b. Hukum Islam

Konsep kepentingan umum menurut konsep hukum Islam di dasarkan pada sumber utama hukum Islam ; yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, disamping 15Adrian, Sutedi, 2007 : Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah

Untuk Pembangunan, Jakarta : Sinar Grafika, .hal.69.

16Ibid, hal.70

17M.Yahya Harahap, 2001 : Pembangunan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan

(9)

XV

sumber-sumber hukum Islam lainnya, terdapat dalam Hadist Nabi Muhammad SAW, sebagai sumber hukum Islam ke dua setelah Al-Qur’an disebutkan “la darara wa la dirara” (diriwayatkan oleh Abu Sa’id), artinya “tidak boleh membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain”.. Pengertian dari Hadist ini “tidak boleh menyebabkan bahaya menurut kaidah syari’at, kecuali adanya alasan yang khusus”.

Hadits ini menjelaskan bahwa apabila terjadi pertentangan antara mudarat dan mafsadat yang harus didahulukan adalah penggunaan kepentingan umum dari pada nas dan ijma. Konsep kepentingan umum menurut Syara’ dalam arti bermanfaat, dinamis dan fleksibel disesuaikan dengan perkembangan zaman. Hukum Islam dalam memperlakukan kepentingan umum tidak hanya berpatokan suatu aturan yang sudah diatur lebih dahulu, tetapi juga yang belum ada aturannya, sebagaimana yang terdapat dalam teori at-Tufi yang menyatakan bahwa konsep kepentingan umum tidak hanya berlaku terhadap masalah-masalah hukum yang tidak ada nasnya (aturannya), bahkan juga masalah-masalah hukum yang sudah ada nasnya (aturannya). Tidak seperti dalam hukum positif (hukum pidana) Indonesia dengan prinsip asas legalitas yang hanya mengatur suatu perbuatan apabila telah lebih dahulu diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, maka perbuatan tersebut telah dianggap memenuhi unsur untuk dilakukan proses hukum.

Kriteria kepentingan umum menurut hukum Islam18 dikategorikan ke

dalam :

Memelihara kepentingan umum dengan kebajikan umum. Kepentingan umum disini dilakukan berdasarkan dua prinsip; yaitu menolak kemudaratan yag menimpa manusia umumnya dan yang menimpa umat Islam khususnya dan mendatangkan kemanfaatan yang menghasilkan kebajikan umum bagi seluruh manusia pada umumnya dan bagi umat Islam khususnya. Karena itu diantara dua prinsip tersebut diatas diletakkan suatu kaidah bahwa menolak mudarat harus didahulukan dari pada mendatangkan manfaat;

Mewujudkan kepentingan umum dengan bersandar pada dua pilar akhlak, yaitu keadilan dan kebebasan. Kriteria kebenaran disandarkan pada hadist Nabi Muhammad SAW yang artinya : “Kebenaran itu ialah perkara yang tetap dan ada dalam syara’, jika mengenai hukum syara’, dan ada dalam kenyataan dan dalam dirinya sendiri, jika mengenai perkara yang wujud’, “Dan keadilan itu adalah sesuatu yang memelihara kebenaran dengan tidak condong kepada sesuatu tepi dari dua tepi atau beberapa tepi yang bertentangan padanya atau yang berhubungan dengannya”.

Menurut Al Buti dalam Tafsir Al Manar yang ditulis oleh Rasyid Rida li Kairo, 1308 H, hal 181, 19 menyatakan bahwa dalam menentukan kriteria

kepentingan umum menurut hukum Islam dapat dilihat pada :

18Yusdani, 2000, Peranan Kepentingan Umum Dalam Reaktualisasi Hukum (Kajian Konsep

Hukum Islam Najamuddin At-Tufi), Yogyakarta : UII Pres, hal.26-28.

(10)

XVI

1. Memprioritaskan tujuan-tujuan syara’ (syari’ah) yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta;

2. Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, artinya dalam memberi pertimbangan kepentingan umum harus tidak bertentangna dengan nas-nas Al-Qur’an; 3. Tidak bertentangan dengan Al Sunnah;

4. Tidak bertentangan dengan prinsip Qiyas;

5. Memperhatikan kepentingan umum yang lebih penting (besar).

Berdasarkan kriteria tersebut diatas, maka untuk menentukan kepentingan umum menurut hukum Islam dapat dilihat pada dua segi; Pertama, memelihara kepentingan umum dengan kebajikan umum (menolak kemudharatan dan mendatangkan kemanfaatan). Kedua, mewujudkan kepentingan umum dengan bersandar dua sendi akhlak, sebagai kebenaran dan keadilan.

Syari’at Islam dalam menentukan pengertian kepentingan umum didasari beberapa landasan antara lain :

1. Lafaz maslahat (kepentingan umum), berdasarkan, wazan maf’alatun dari kata salafa. Artinya, bentuk sesuatu dibuat sedemikian rupa sesuai dengan kegunaannya;

2. Pengertian batasan berdasarkan urf, yaitu sebagai saran ayagn menyebabkan adanya kepentingan umum dan manfaat;

3. Bahasan mengenai perhatian syari’at terhadap kepentingan umum.

Bahasan dari syariah tersebut nomor ketiga dibagi ke dalam dua sudut pandang, yakni ijmaliyah (global) dan tafsiliyah (rinci). Dalil ijmaliyah didasarkan atas Firman Allah dalam Surat Yunus ayat 57-58.

Pada Surat yunus ayat 57 menegaskan : “Yaa ayyuhan naasu qad jaa-akum mau ‘izhatum mir rabbikum wa syifaa-ul lima fish shuduuri wa hudaw wa rahmatul lil mu’miniin”. Artinya : Hai sekalian manusia, sungguh telah datang kepada kamu pengajaran dari Tuhanmu (Al-Qur’an), penyembuh penyakit-penyakit dalam dada, petunjuk dan rakmat bagi orang-orang yang beriman. Kemudian dalam surat ayat 58 dikatakan : “Qul bi fadhlillahi wa bi rahmatihii fa bi dzaalika fal yafrahuu huwa khairum mi maa yajma’uun”. Artinya : “Katakanlah, Dengan karunia Allah dan dengan rahmat-Nya maka dengan itu hendaklah kamu bergembira; karunia ini lebih baik dari apa yang mereka lakukan”. Ayat 58 dari Surat Yunus memberi kabar gembira kepada orang-orang yang karena perbuatannya dapat memberi manfaat pada orang lain.

Firman Allah SWT diatas terkandung beberapa makna bahwa apa yang dikumpulkan oleh umat manusia sebagai kepentingan umum itu tidak seberapa jika dibanding dengan Al-Qur’an. Hal ini sekaligus menunjukkan adanya ketetapan bahwa kandungan al-Qur’an mengandung kepentingan umum yang agung. Kemudian dalam dalil tafsiliyah diketengahkan sebagai berikut :

1. Bahasan berkisar pada masalah menentukan kepentingan umum dapat dilihat pada apakah perbuatan Allah itu illat atau tidak. Ada pandangan bahwa perbuatan Allah itu bukan illat, karena Allah itu maha suci dari illat. Dasar pembenaran ini pada firman Allah dalam Surat Al-Israa’ yang menyatakan : “Wa ja ‘alnal laila wan nahaara aayatain, fa mahaunaa aayatal laili wa ja’ alnaa aayatan nahaari mubsiratal li tabtaghuu fadlam mir rabbikum wa li ta’ lammu ‘adadas siniina wal hisaaba wa kulla syaiin fashalnaahu tafshiila”.

(11)

XVII

Artinya dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, maka Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang-benderang supaya kamu dapat mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jalas;

2. Kepentingan umum bagi umat manusia adalah anugrah dari Allah SWT kepada umat manusia, sesuai dengan pandangan kaum Ahlu Sunnah. Sedang pandangan kaum Mu’tazilah wajib ataas Allah SWT. “Wajib” menunjukkan pengertian adanya kekuasaan tertinggi. Ini bermakna bahwa Allah telah membebani umat manusia agar melakukan ibadat, maka Allah telah membebani umat manusia agar melakukan ibadat, maka dengan sendirinya Allah berkewajiban menjaga kepentingan umum atas dasar timbal balik atau sebagai pengganti dari beban yang Allah berikan kepada umat manusia. Pandangan ini menurut jumhur adalah batil, karena alasannya terlalu tergantung pada logika manusia. Dengan demikian memelihara kepentingan umum merupakan kewajiban Allah, bukan merupakan kewajiban atas Allah. Dalam surat An Nisaa ayat 17 dikatakan : “Innamat taubatu allaahi lil ladzina ya’ maluunas suu-a bi jahaalatin isumma yatuubuuna min qariibin fa ulaa-ika yatuubullahu ‘alaihim wa kaanaallaahu ‘aliiman hakiimaa”. Artinya : Sesungguhnya taubat di sisi Allah, hanyalah taubat bagi orang-orang yang berbuat kejahatan Karena kebodohannya, kemudian mereka taubat dengan segera. Maka mereka itulah yang diterima taubatnya oleh Allah; dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana.

3. Allah telah memelihara kepentingan umum bagi makhluk-Nya. Konsepsi ini mengandung prinsip selama kepentingan umum tersebut bermanfaat untuk mengatur kehidupan manusia;

4. Konsep kepentingan umum yang tertuang di dalam Al-Qur’an, Sunnah Rasul dan Ijma’ Qur’an dalam surat Al-Maidah ayat 74 : “Wa lakum fil qishaashi hayaatury yaa ulil abaabi la’ allakum tattaquun”. Artinya : “Dan bagi kamu dalam qishash ada kehidupan (keselamatan jiwa) hai orang-orang yang berpikir supaya kamu bertaqwa”. Wa saariqu was saariqatu faq tha’uu aidiyahumaa jazaa-am bi maa kasabaa nakaalam minallahi wallahu ‘aziizun hakim”. Artinya : Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan keduanya sebagai balasan perbuatan keduanya, dan (sebagai) siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Bijaksana”.

Pada surat yang lain ditegaskan, surat An Nuur ayat 2 ditegaskan “Azzaaniyatu waz zaani faj liduu kulla waahidin minhumaa mi’ ata jaldatiw walaa ta’ khudzkum bihimaa ra’ fatun fiidiinillahi in kuntum tu’ minuuna billahi wal yaumil aakhiri wal yasyhad ‘adzzabahumaa thaa ifatum minal mu’ miniin. Artinya, perempuan-perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah masing-masing seratus kali. Dan janganlah rasa belas kasihan terhadap keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah dan hari kemudian. Dan hendaklah segolongan orang mukmin menyaksikan siksaan terhadap keduanya. Ayat ini terkait dengan teori pembalasan, bahwa setiap perbuatan melanggar aturan hukum harus diberi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

(12)

XVIII

Dalam hukum Islam dikenal asas privilege untuk menentukan kepentingan umum yang mana yang harus didahulukan. Lain halnya di dalam hukum positif (hukum pidana) indonesia asas privilege untuk menentukan kepentingan umum yang harus didahulukan tidak diatur. Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur kepentingan umum kaitannya dengan asas oportunitas, hanya menentukan ruang lingkup (cakupan) kepentingan umum yang harus dilindungi.

Kriteria dalam menentukan tingkatan kepentingan umum yang mempunyai hak privilege menurut teori At-Tufi20sebagai berikut :

1. Menilai kepentingan umum dari segi zatnya, yang menurut pandangan ini berpedoman pada lima syara’, yaitu memelihara agama, jiwa (hidup), akal, keturunan dan harta benda. Kepentingan umum dalam rangka memelihaa agama mendapat privilege dibandingkan kepentingan umum yang lainnya;

2. Memandang kepentingan umum dari segi cakupannya, kalau peringkat kepentingan umum tersebut terdapat pada satu aspek saja, misalnya keturunan, ketentuan peringkatnya beralih pada seberapa jauh cakupan suatu peringkat ada pada suatu aspek;

3. Memandang kepentingan umum dari segi akibatnya, pertimbangan ini berkaitan dengan suatu pertanyaan apakah suatu perbuatan semula dipandang kepentingan umum itu berakibat pada kepentingan umum pihak lain. Kalau perbuatan (langkah-langkah hukum) yang semula dipandang kepentingan umum untuk diperbuat, tetapi akibatnya (diduga keras) menimbulkan mafsadat (kerusakan) atau memberi peluang munculnya kemaksiatan, perbuatan yang diduga kepentingan umum menjadi bukan kepentingan umum, karena bertentangan dengan asas maslahat.

Menurut (Muhammad Mustafa Syalabi21 mengemukakan teori At-Tufi tersebut merupakan teori kepentingan umum keeempat, yaitu memperhatikan kepentingan umum secara mutlak, baik yang tidak ada nas maupun yang ada nasnya dalam lapangan mu’amalah. Sebelum teori At-Tufi, dalam hukum Islam telah mengenal teori-teori yang menentukan tentang kepentingan umum, antara lain :

1. Teori Syara’, kepentingan umum yang dapat dijadikan landasan hukum hanya kepentingan umum yang jelas ditunjuk syara’, sedang kepentingan umum yang tidak jelas ditunjuk syara’ tidak dapat dijadikan pedoman;

2. Teori Asyi-Syafi’i dan mayoritas ulama Hanafiyah, berpendirian bahwa kepentingan umum yang dapat dijadikan landasan penetapan hukum adalah kepentingan umum hakiki sekalipun tidak ditunjuk nas secara jelas, tetapi dengan syarat kepentingan umum itu dapat dianalogikan dengan kepentingan umum yang diakui oleh syara’ ;

3. Teori Imam Malik, bahwa kepentingan umum yang tidak ada nasnya asalkan tidak bertentangan nas dan ijma’ dapat dijadikan landasan dalam penetapan hukum, dan teori lebih dikenal dengan nama maslahat mursalah.

Pandangan hukum Islam dalam menelaah kepentingan umum, tidak hanya berpatokan pada asas kemanfaatan secara kolektif, tetapi juga ditelaah dari sudut pandang kemanfaatan secara individual, sehingga secara timbal balik terjadi

20Yusdani, Ibid, 181. 21Ibid, 181

(13)

XIX

keseimbangan (balance) antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu di dalam sistem peradilan pidana.

Penerapan asas oportunitas dalam suatu perakara pidana sangat berpengaruh terhadap sistem peradilan pidana, Karena sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. Proses penegakan hukum pidana, sangat berhubungan erat dengan perundang-undangan pidana, baik hukum pidana materiil mapun hukum pidana formal (hukum acara pidana), sehingga dengan demikian, dampak yang ditimbulkan tidak saja pada aspek sosial, tetapi juga mempunyai dampak yang dapat menimbulkan kejahatan dalam masyarakat. Seperti yang dikatakan Barda Nawawi Arief22bahwa sistem peradilan pidana tidak

saja dapat menjadi suatu masalah sosial, tetapi juga dapat menjadi faktor kriminogen. Pandangan ini bisa akan terjadi dalam penerapan asas oportunitas yang tidak selektif, dalam arti tidak memperhatikan asas-asas negara hukum didalam menentukan kepentingan umum yang harus dilindungi, terutama asas persamaan dimuka hukum, kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia.

3. Penerapan Asas Oportunitas dalam Hukum Pidana di Dunia

Di beberapa Negara, baik yang menganut sistem Anglo Saxon maupun yang menganut sistem Eropa Kontinental ada yang menganut asas oportunitas dan ada pula yang tidak. Di South Australia meskipun termasuk dalam rumpun Anglo Saxon, menurut Chris Summer23, Attorney General (Jaksa Agung), lebih condong ke asas

legalitas, artinya jaksa tidak menyampingkan perkara di negara Korea Selatan. Di negara Prancis dan Belgia bahkan tidak mengenal asas oportunitas dan asas legalitas secara resmi, tetapi setelah revolusi Prancis, penuntut umum dapat menyampingkan perkara pidana yang disebut dengan “classer sans suite”.

Negara yang menganut secara resmi asas oportunitas adalah Belanda, kemudian membawa ke Indonesia. Di Belanda asas oportunitas diartikan bahwa “penuntut umum boleh memutuskan untuk menuntut atau tidak menuntut dengan syarat atau tanpa syarat”. Disini tergambar bahwa kedudukan penuntut umum sangat kuat, karena kebebasannya secara individual untuk menuntut atau tidak menuntut.

Menurut laporan ministry van justice Belanda 199024. Menyebutkan bahwa

lebih dari lima puluh persen perkara pidana tidak diteruskan oleh jaksa ke pengadilan. Penyampingan perkara pidana di Belanda secara garis besar meliputi :

a. Perkara dikesampingkan karena alasan kebijakan (polis), yang meliputi perkara ringan, umur terdakwa sudah tua, dan kerusakan telah diperbaiki (trivial offens, all age and damage steeled);

b. Karena alasan teknis (tidak cukup bukti, lewat waktu dan lain-lain); c. Karena perkara digabung dengan perkara lain.

Di Indonesia yang termasuk dalam lingkup penyampingan perkara demi untuk kepentingan umum hanya yang tersebut pada point pertama, sedangkan pada point ke tiga, penulis sependapat dengan Andi Hamzah, tidak termasuk penyampingan perkara pidana, dalam arti perkara pidana tersebut tidak diteruskan ke pengadilan, karena 22 Barda Nawawi Arief, 2005 : Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian

Perbandingan, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, hal.54.

23Andi Hamzah, 2008 : Terminologi Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, hal.38. 24Andi Hamzah, Ibid, hal. 38.

(14)

XX

perkara sudah merupakan gabungan dengan perkara yang sudah ada dikenal di Indonesia dengan “concursus”.

Beberapa negara di Asia Pasifik mengenai penerapan asas oportunitas juga diterapkan di negara Thailand, Kamboja dan Jepang yang mempunyai kemiripan dengan Belanda yaitu negara-negara yang bertradisi civil law system, bahwa nama wewenang jaksa penuntut umum sangat luas. Dalam praktek di Thailand, Kamboja dan Jepang memberlakukan penundaan penuntutan (realize the charge) jika dipandang bahwa suatu penuntan tidak perlu dilakukan karena sifat delik, umur, dan lingkungan tersangka, berat dan keadaan delik serta keadaan sesudah delik dilakukan. Keadaan ini selaras dengan teori tujuan pemidanaan yang tidak saja mempertimbangkan sifat delik, tetapi lebih dari itu, pada akibat dari penuntutan apabila diteruskan ke pengadilan.

Di Negara Norwegia yang secara resmi menganut asas oportunitas berdasar Undang-Undang Tahun 1887, dimana penghentian penuntutan hampir sama dengan pidana bersyarat, Karena penghentian penuntutan digantungkan pada syarat tertentu sehingga penuntan tidak perlu dilakukan karena, bahwa terdakwa tidak boleh melakukan delik dalam kurun waktu tertentu, artinya tidak boleh melakukan tindak pidana lagi ketika mendapatkan penghentian penuntutan. Penerapan asas oportunitas secara luas didasarkan atas pertimbangan “jaksa cukup mengemukakan bahwa ada keadaan khusus (special circumstances) untuk menyampingkan perkara, baik yang obyektif (deliknya) maupun yang subyektif (pembuatnya)”.

Di negara Turki “asas oportunit lokasi as” atau “asas kebijaksanaan menuntut” atau “asas discretionary prosecution” memberi kesempatan kepada Jaksa untuk tidak menuntut perkara pidana, bilamana penuntutan tidak selayaknya dilakukan atau bilamana penuntutan itu akan merugikan kepentingan umum atau pemerintah, dampak kerugian kepentingan individu turut diperhitungkan.25

Asas oportunitas juga dipraktikan secara luas atau terbatas antara lain oleh Kejaksaan Filipina, Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam dan Myanmar, negara-negara bertradisi comman law system dan atau anglo-amerivan law system.

Kejaksaan Inggris (Crown Prosecution Service) yang dibentuk tahun 1986, boleh menghentikan penuntutan karena alasan kebijakan, kalau tindak pidananya biasa-biasa saja, pelakunya sudah tua atau masih remaja. Tentu saja Jaksa Inggris harus menghentikan penuntutan karena alasan teknis, bukti dan saksi tidak memadai serta peristiwa sudah kadaluwarsa. Jaksa Agung Inggris boleh menghentikan perkara yang sudah masuk pengadilan, melalui upaya hukum “nolle prosequi” (tidak akan menuntut) dengan cara Jaksa Agung memberitahu pengadilan, bahwa dirinya tidak akan menuntut perkara tersebut.26

4. Penerapan, Kelemahan dan Rekontruksi Asas Oportunitas dalam Praktek

Pidana di Indonesia

a. Penerapan

Penerapan atau Penggunaan asas oportunitas dalam menghentikan penuntutan pada kasus-kasus tertentu yang terjadi di Indonesia menurut konsep dasarnya bertujuan untuk melindungi kepentingan bangsa, Negara, dan masyarakat

25Hakeri, 2008, Euporean Journal on Criminal Policy and Research Xix, 2-3, hal161. 26DM Jansen, world’s Asia Journal, 1990, 51, Cambridge.org.

(15)

XXI

secara menyeluruh telah berkembang dan / atau berubah menjadi penghentian berbagai kepentingan, baik secara politik maupun secara ekonomi. Hal ini ditunjukkan dengan penghentian beberapa kasus, seperti kasus BLBI, kasus korupsi pengadaan kendaraan bermotor anggota DPRD Kab. Sukoharjo tahun 1999, dan beberapa Pimpinan KPK. Kekaburan tujuan penghentian penuntutan atas dasar asas oportunis dikarenakan kedudukan jaksa sebagai aparatur Negara dalam bidang struktural dan jaksa sebagai penegak hukum dalam bidang fungsional. Kedudukan yang dualistis ini tentu akan mempunyai pengaruh dalam melakukan penuntutan dan dalam melakukan penghentian penuntutan, dan diantara kedua kedudukan tersebut, Karena kedua kedudukan saling mendominasi. Dalam prakteknya dominasi yang menonjol ialah kedudukan jaksa sebagai aparatur Negara, hal ini terbukti dalam kasus Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bukti permulaan sudah dianggap cukup, hubungan causal antara pelaku dan perbuatan telah terbukti, namun atas dasar tekanan yang bersifat vertikal, maka kasus tersebut dihentikan penuntutannya dengan alasan tidak cukup bukti dengan SP3. Fakta ini memperlihatkan bahwa hukum bertujuan hanya untuk menekan orang-orang bawah, sebagaimana ungkapan yang menyatakan “downward law is more great than upward law”. (hukum mengarah kepada orang-orang bawah atau miskin lebih besar dari pada mengarah kepada orang-orang kelas atas atau kaya), sehingga perlakuan hukum terhadap orang-orang kaya bersifat soft law, dibandingkan dengan orang-orang miskin hukum lebih tegas (hard law).

Jika direduksi realitas ini ke dalam tujuan utama hukum untuk mewujudkan ketertiban, maka hal ini akan merupakan suatu benang merah dari ketertiban tersebut. Keadaan ini pula akan semakin menjauhkan asasi paradigma hukum positif yang menyatakan tujuan hukum adalah kepastian. Pola penghentian penuntutan atas dasar oportunitas yang diperlihatkan oleh jaksa tersebut diatas menunjukkan ketidakpastian, padahal pola penuntun untuk melakukan perilaku yang pasti telah jelas; yaitu perundang-undangn sebagai hukum positif. Deskripsi ini menunjukkan bahwa jaksa di Indonesia, dalam menjalankan tugas dan wewenang untuk melakukan penuntutan tidak terlepas dari bias kepentingan, Karena disebabkan oleh dualismenya kedudukan kejaksaanya tidak terpisah secara jelas. Keadaan yang demikian ini harus direformasi, bila lembaga dan/atau institusi kejaksaan ingin diletakkan pada suatu lembaga yang bersifat netral dan independen dalam melakukan penegakan hukum. Independensi tidak harus diartikan tidak ada campur tangan atau pengaruh, tetapi harus dilihat pada posisi dan kedudukan suatu lembaga di dalam menjalankan fungsi. Tidak lepasnya pengaruh dari eksekutif terlihat dari berbagai kasus, terutama kasus-kasus korupsi, sangat dirasakan oleh masyarakat terhadap ketimpangan perlakuan, dalam semua tahapan proses hukum, tidak terkecuali di dalam penuntutan suatu perkara pidana yang melibatkan aparatur Negara. Begitu juga dalam penerapan asas oportunitas yang diberlakukan pada kasus-kasus tindak pidana khusus yang berhubungan dengan eliet-elite birokrasi, politisi maupun konglomerat. Kenyataan ini cukup beralasan, bila dihubungkan dengan kasus korupsi sepeda motor DPRD Kab. Sukoharjo dan kasus Sjamsul Nursalim, keterlibatan elite-elite penguasa sangat dominan, bahkan ada suatu upaya pembenaran dari pemerintah (penguasa) untuk melakukan suatu legitimasi dengan mengeluarkan Inpress terhadap kasus Sjamsul Nursalim. Perkembangan selanjutnya perkara tidak diteruskan ke depan pengadilan oleh jaksa

(16)

XXII

penuntut umum, bahkan perkara tersebut dihentikan penuntutannya dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP dengan tiga opsi : yaitu : perbuatan yang dituduhkan bukan merupakan perbuatan pidana, kurang cukup bukti, dan demi kepentingan hukum. Alasan yang ketiga inilah yang dijadikan pertimbangan Jaksa Agung untuk mengeluarkan “Surat Keputusan Penghentian Penuntutan” (SKPP).

Essensi dari penghentian suatu perkara pidana atas dasar kepentingan hukum sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 78 KUHP menganut tiga unsur, yaitu pertama, perkara pidana tersebut merupakan perkara nebis in idem, kedua, terdakwa meninggal dunia, dan ketiga perkara yang dimaksud telah melampaui waktu (kadaluwarsa). Pertimbangan hukum yang menjadi landasan penghentian perkara Bibit Chandra sejak awal telah kelihatan bahwa pertimbangan politik lebih dominan dibandingkan pertimbangan hukum. Hukum hanya dijadikan sebagai alat untuk memberi legitimasi dari kepentingna politik. Kasus ini sejak semula telah terjadi cacat hukum karena ketentuan Undang-Undang dianulir dengan Perpu, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 diubah dengan PERPU nomor 4 tahun 2009. Hal ini sangat janggal dalam tatanan suatu Negara yang berdasarkan atas hukum, Karena suatu peraturan yang lebih rendah menggugurkan peraturan yang lebih tinggi, padahal menurut teori Hans Kelsen, bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan peraturan yang lebih tinggi, apalagi mengubahnya. Keadaan ini memberi peluang dan pilihan kepada eksekutif dalam hal ini Presiden untuk melakukan tindakan, baik yang bersifat politis maupun yang bersifat yuridis.

Dalam pidatonya Presiden RI pada tanggal 23 November 2009 secara tersirat memerintahkan untuk menyelesaikan kasus Pimpinan KPK diluar pengadilan melalui SP3, SKPP serta melalui deponering. Jaksa Agung secara hierarki struktur kelembagaan berada di bawah presiden, sebagaimana yang ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa bertindak dan atas nama Negara dan bertanggungjawab menurut saluran hierarki. Ketentuan ini memberi ruang bagi Jaksa Agung untuk bertindak atas arahan, perintah ataupun semacamnya dari presiden secara hierarki, padahal sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo, ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pada ayat (1) Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang. (2) Kekuasaan Negara sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka, bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.

Ketentuan ini memberi makna bahwa dalam melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan harus bersifat independent, apalagi bila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) bahwa Jaksa Agung bertanggungjawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Terkait dengan kasus posisi Bibit-Chandra, tindakan Jaksa Agung untuk menghentikan penuntutan atas dasar demi hukum sesuai ketentuan Pasal 50 KUHP telah menyimpang prinsip dari Negara Indonesia yang berdasarkan atas hukum Indonesia Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 pada konsiderannya

(17)

XXIII

dikatakan bahwa Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting Negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum (equality before the law). Oleh Karena itu setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan realitas sosial dalam pemberian sanksi pidana di Indonesia, masih terlihat adanya diskriminatif negative antara pemberian sanksi bagi orang yang melakukan kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan Negara, dalam arti sebagai pejabat Negara, lebih banyak perlindungan dan dispensasi yang diberikan, dibandingkan dengan orang yang tidak terlibat dalam kegiatan Negara, dalam arti masyarakat biasa.

Pencapaian tujuan dari pemidanaan diatas pada prinsip harus dilakukan melalui suatu kebijakan pidana. Kebijakan pidana merupakan applied theory dalam rangka melihat penerapan asas oportunitas di dalam hukum pidana yang berkeadilan. Kebijakan hukum dalam arti politik hukum harus ditempatkan sebagai suatu alat atau instrumen yang bekerja dalam suatu sistem sosial dan sistem hukum tertentu untuk mencapai suatu tujuan, bagi kepentingan masyarakat atau Negara. Hukum tidak hanya membangun kepentingan aparat (birokrasi) sebatas hanya untuk kepentingan kekuasaan semata, karena dalam praktek selama ini; birokrasi termasuk jaksa tidak dijadikan lambing kepatuhan terhadap hukum, melainkan masih menonjolkan lambang kekuasaan. Padahal pemberdayaan birokrasi (beaureaucratic engineering) harus dilaksanakan paralel dengan pemberdayaan masyarakat (sosial engeneering).

Hal ini membawa konsekwensi terhadap penegakan hukum dewasa ini yang cenderung mementingkan law and order dari pada criminal justice science yang mementingkan harmonisasi dengan kepentingan masyarakat. Akibat banyak tuntutan yang gagal atau sengaja digagalkan oleh penuntut umum demi untuk melindungi kepentingan tertentu. Realitas memunculkan pandangan yang skeptic terhadap birokrasi bahwa birokrasi sama dan sebangun dengan korupsi, sehingga mutatis muntandis penghentian perkara pidana dengan alasan kepentingan personal dijastifikasi menjadi alasan kepentingan umum. Berdasarkan berbagai analisa yang dikemukakan di atas, maka ternyata bahwa penerapan asas oportunitas bukan merupakan monopoli dari lembaga yudikatif semata, melainkan juga lembaga eksekutif, bahkan dalam perkara pidana tertentu lembaga eksekutif dapat melakukan penghentian suatu perkara melalui keputusan “Grasi” yang dilakukan oleh Presiden dalam kapasitas sebagai “Kepala Negara”. Karena itu, berdasarkan analisis fakta telah memperlihatkan bahwa prinsip persamaan di muka hukum, prinsip kepastian hukum, dan prinsip keadilan sebagai suatu prinsip Negara hukum pada hakekatnya tidak diterapkan di Indonesia, terutama yang menyangkut penghentian penuntutan dengan dasar asas oportunitas, dengan kata lain penerapan asas oportunitas di dalam hukum pidana masih terjadi diskriminasi.

Ketidaknetralan hukum, tentu akan mempengaruhi penegakan hukum, termasuk penerapan asas oportunitas yang menyesuaikan dengan kepentingan kepentingan pengaruh yang melingkupi hukum, pengaruh penguasa, pengaruh politik, pengaruh ekonomi, dan pengaruh cultural. Pengaruh ini memberi warna hukum di dalam tataran applied. Karena itulah di dalam sistem penegakan hukum

(18)

XXIV

di Indonesia, termasuk penerapan asas oportunitas penulis sebut sebagai teori hukum “Bunglon”, bahwa hukum akan selalu dipengaruhi oleh kepentingan mulai dari proses sampai pada penerapan hukum, sehingga hukum akan menyesuaikan diri dari pengaruh dan keinginan yang berkepentingan.

b. Rekontruksi Asas Oportunitas

Penuntutan merupakan kewenangan tunggal dari institusi kejaksaan yang bersifat proregatif sesuai amanat dari Undang-Undang. Konsepsi ini sesuai dengan asas Negara Indonesia, bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Prinsip ini pada hakekatnya terkandung asas legalitas formal yang menghendaki setiap tindakan selalu mendasarkan pada aturan hukum yang telah ada. Adapun rekontruksi hukumnya yang diperlukan untuk lebih dapat memahami asas oportunitas dalam hukum pidana di Indonesia yang berbasis nilai keadilan, perlu adanya sebuah formulasi aturan, yang kemudian direkontruksikan pada perlindungan terhadap tersangka untuk tidak dilanjutkan kepada tahapan selanjutnya yaitu penuntutan.

Hal tersebut bisa berjalan apabila tujuan penghentian penuntutan atas dasar asas oportunis kedudukan jaksa sebagai aparatur negara dalam bidang struktural dan jaksa sebagai penegak hukum dalam bidang fungsional. Kedudukan yang dualistis ini tentu akan mempunyai pengaruh dalam melakukan penuntutan dan dalam melakukan penghentian penuntutan, dan diantara kedua kedudukan tersebut, Karena kedua kedudukan saling mendominasi. Dalam prakteknya dominasi yang menonjol ialah kedudukan jaksa sebagai aparatur Negara, maka agar hukum dapat mempunyai nilai-nilai keadilan dalam masyarakat perlu adanya rekontruksi hukum bernilai keadilan, sehingga hukum tidak mengarah kepada orang-orang bawah atau miskin lebih besar dari pada mengarah kepada orang-orang kelas atas atau kaya, adapun rekontruksi atau dengan kata lain “tajam kebawah tumpul keatas”, sebagai berikut :

Rekontruksi

No. Perihal Uraian

1

Dasar Rekontruksi Berdasarkan wisdom negara Republik Indonesia Pancasila berupa Sila ke-2 Kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila ke-5 Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia.

Kepentingan umum sebagai

kepentingan bangsa dan Negara selaras dengan tujuan pemerintah Republik Indonesia sebagaimana yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan

kesejahteraan umum dan

mencerdaskan kemerdekaan,

(19)

XXV

Dengan dasar Pancasila dan UUD 1945 tersebut maka Konsep kepentingan umum dalam suatu Negara hukum mempunyai dua peran penting terhadap hukum, yaitu peranan aktif dan peranan pasif. Peranan aktif dari kepentingan umum secara eksistensi sebagai dasar menentukan isi agar tujuan hukum dapat dicapai, sehingga dengan demikian peranan aktif kepentingan umum menyangkut cita-cita hukum (rechtidee) bagi bangsa Indonesia yang diwujudkan oleh pokok-pokok pikiran dari pancaran Pancasila yang menjiwai Undang-Undang Dasar 1945.

2

Paradigma Rekontruksi Merekontruksi tentang hukum pidana khususnya keberlakuan asas oportunitas dalam hukum positif dengan berbasis keadilan untuk semua lapisan masyarakat

3

Tujuan Rekontruksi Tercapainya tujuan hukum yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan dalam penerapan asas oportunitas bagi masyarakat

4

Nilai (Value) Rekontruksi Hal tersebut dilakukan dengan cara memberikan kepastian hukum tanpa pandang bulu kepada masyarakat tidak melihat status jabatan atau hal yang lain

5

Subjek Rekontruksi - Pemerintah Pusat dan DPR RI - Kejaksaan RI

- Kepolisan RI

- Kementerian Hukum dan HAM

6

Norma dalam

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Pasal 16 huruf h dan pasal 18 ayat (1) bahwa kepolisian Negara berwenang untuk melakukan penghentian penyidikan, dan untuk kepentingan umum pejabat kepolisian Negara

Republik Indonesia dalam

melaksanakan tugas dan wewenang dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

Pasal 16 huruf h, dikatakan bahwa tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan asas preventif

(20)

XXVI

dan asas kewajiban kepolisian, untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

7

Norma dalam UU Kejaksaan Pasal 35 huruf c UU Nomor 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan, yang menegaskan, jaksa agung mempunyai

tugas dan wewenang

mengesampingkan perkara demi kepentingan umum

8

Norma Hukum KUHP Pasal 77 “yang dimaksud penghentian

penuntutan tidak termasuk

penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”.

Pasal 77 KUHP; alasan nebis in idem pada pasal 76 KUHP; kadaluwarsa (lewat waktu) diatur dalam pasal 78 – 80 KUHP.

Rekontruksi KUHAP

Bunyi Pasal Sebelum

di Rekontruksi Bunyi Pasal Setelahdi Rekontruksi

Pasal 77 “yang dimaksud

penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”.

“yang dimaksud penghentian

penuntutan tidak termasuk

penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Penuntut Umum dengan mendapat masukan dari berbagai pihak dalam”.

Rekontruksi RUU KUHAP Bunyi Pasal Sebelum

di Rekontruksi Bunyi Pasal Setelahdi Rekontruksi

Pasal 145 huruf j. Pengenaan asas

oportunitas oleh Jaksa Agung Pengenaan asas oportunitas oleh JaksaPenuntut Umum mendapat masukan dari Jaksa Agung.

Rekontruksi UU

Bunyi Pasal Sebelum

di Rekontruksi Bunyi Pasal Setelahdi Rekontruksi

Pasal 35 huruf c UU Nomor 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan, yang menegaskan, jaksa agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi

Batasan-batasan penghentian penuntutan demi kepentingan umum : a. Perkara kecil atau ringan;

b. Umur 70 tahun ke atas dan ancaman pidana tidak lebih 4 tahun dan

(21)

XXVII

kepentingan umum kerugian sudah diganti;

c. Ancaman pidana hanya denda; d. Tindak pidana yang diancam tidak

lebih dari 1 tahun penjara dan kerugian telah diganti;

Rekontruksi yang ditawarkan di atas, dapat dilaksanakan apabila aturan yang lebih jelas dan mengikat, dalam hal kepentingan umum merupakan kepentingan negara dan masyarakat luas, sehingga timbul pandangan yang berbeda-beda tentang ruang lingkup kewenangan dari Jaksa Agung sebagai lembaga satu-satunya yang berwenang untuk melakukan deponer perkara pidana Indonesia, maka perlu ada batas-batas agar hukum tidak menjadi bias untuk kepentingan tertentu, konsep kepentingan umum sebagaimana yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan hakekatnya tidak hanya memenuhi peruntukan dari kepentingan umum tetapi lebih jauh lagi harus ada kemanfaatan dari kepentingan umum. Penulis dalam hal ini mengajukan konsep bahwa substansi atas oportunitas dapat dilaksanakan oleh semua Jaksa di seluruh wilayah Indonesia dengan penyelesaian di luar perkara untuk kepentingan umum yang meliputi :

1. Perkara kecil atau ringan;

2. Umur 70 tahun ke atas dan ancaman pidana tidak lebih 4 tahun dan kerugian sudah diganti;

3. Ancaman pidana hanya denda;

4. Tindak pidana yang diancam tidak lebih dari 1 tahun penjara dan kerugian telah diganti;

Konsep ini jika dikaitkan asas hukum acara pidana, yakni asas cepat, dan biaya murah maka telah sesuai, mengingat tugas dan tanggungjawab Jaksa Agung yang semakin banyak dan kompleks, maka pelimpahan kewenangan dibenarkan dalam suatu negara hukum, dan menurut penulis hal ini wajar jika kewenangan tersebut diberikan semua jaksa yang bertugas di daerah dalam wilayah Republik Indonesia dengan pertimbangan bahwa posisi perkara yang terjadi di daerah serta kultur masyarakat yang lebih mengetahui ialah jaksa yang bertugas di daerah yang bersangkutan. Hanya dalam menetapkan suatu perkara yang akan dideponer (penerapan asas oportunitas) terlebih dahulu berkonsultasi dengan Jaksa Agung untuk meminta petunjuk dan pertimbangan.

5. Penutup

Pengaturan terhadap penghentian penuntutan, in casu asas oportunitas tidak hanya menjadi kewenangan Jaksa Agung saja tetapi juga menjadi kewenangan yang bersifat integral, yaitu kewenangan yang diberikan kepada setiap lebaga kejaksaan yang ada di daerah, karena secara regulasi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 perlu diadakan perubahan, paling tidak dilakukan adendum yang mengatur pemberian kewenangan bagi setiak Kejaksaan Tinggi untuk melakukan deponering terhadap suatu perkara pidana yang dianggap sungguh mempunyai manfaat bagi kepentingan umum secara profesional, dalam arti bahwa kepentingan daerah merupakan bagian integral dari kepentingan negara. Hal ini sesuai dengan hakekat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memberi kewenangan untuk memnentukan nasib sendiri (asas desentralisasi). Penerapan asas oportunitas

(22)

XXVIII

tidak hanya terbatas pada tindak pidana khusus, tetapi juga mencakup semua tindak pidana yang dilakukan oleh setiap warga negara, sehingga tidak terjadi kesan bahwa hukum hanya melindungi kepentingan warga negara tertentu atau dengan kata lain “hukum tajam ke bawah dan tumpul keatas”.

(23)

XXIX

DISSERTATION SUMMARY 1. Introduction

The implementation of opportunity in the criminal law in Indonesia, has experienced development and shifting of the consideration to stop the prosecution, not only regarding public interest, but also political interest so that it becomes subjective. Conceptually, public interest intended to obtain protection and being ruled out for the sake of protecting the general national and community interest can be accommodated, but it will have different protection interest direction which is ruled out (unclear) so that it will cause the disruption of the applied law enforcement and application. It causes the law does not function as the supervisor and protector of the community but as the patron of certain people. The utilization or the implementation of opportunity principles using unselective deponering will cause the absence of law protection and equality in front of the law. Therefore the political interest or others’ will shift the community justice since it is applied biased. Due to the pattern of political policy shifting and the recent community development, the application of opportunity application must be deformalized according to the community condition, so that the concept of public interest becomes precise, so that the signal concerning the changes of paradigm in the application of opportunity principles will affect the implementation of criminal law system.

This is clearly explained by Manuel Lopez-Rey who stated that:

“the recent criminal law system is not in accordance with the recent an future community development. It has been generally worn and clearly unfair, and that overall, those are the factors which support the increase of crime” 27

The principle of opportunity in the criminal law provides place for special people with the reason of public interest, is an exclusion of rule of law, in the meaning of principle of equality, principle of legal certainty, justice and protection of human right.

The deviations of principles above have been applied in the cases that occur in the institution of Corruption Eradication Commission of the Republic of Indonesia in which the case of Bibit Samad Riyanto ad Chandra A. Hamzah which started from the report of Antasari Azhar, the former chief of KPK over alleged bribery towards the chief of KPK involving PT. Masaro where Anggodo Widjojo and Ary Mulyadi admitted that they gave bribes of IDR5.1 billion to the chief of KPK Bibit and Candra. In the case, Chandra blocked and revoked the blocking against Anggoro, while Bibit blocked and revoked the blocking against Joko Tjandra who were then become the suspects in Jakarta Metropolitan Police. In fact, the case does not need to be stopped since the investigation and prosecution have found proof that meets the requirement, both in the form of formal and material to continue the investigation and prosecution. The termination case of the prosecution of Corruption Eradication Commission investigator, Novel Baswedan who was the Chief of Criminal Detective Unit of Bengkulu Police Station in the case of alleged persecution and shooting the leg of 27Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, PT.

(24)

XXX

suspected swift’s nest thief in A-Liang Shop in 2004 who did a surgery in 2012 and stated as P.21 in 2015 and stated also as stopped by Bengkulu district prosecutor office as stated in Decree of Terminating Prosecution (SKPP) Number B-03/N.7.10/E0.1/02/2016 on Monday 22 February 2016. The termination of prosecution by the Attorney General in PT. Rajawali III case, Nyono Soetjipto as the head of BPPN who has sold state assets by IDR 84 million while the factory price was estimated to be hundreds billion. In 2016, the case of KPK chief, Abraham Samad in 2007 concerning document falsification in the form of family card and passport owned by Feriyani Lim who was included in Abraham Saham family card addressed in Panakkukang Sub-District, Makassar, in South and West Sulawesi Police Station determined him as the suspect in 9 of February 2015. In addition, Bambang Widjojanto in his case of allegedly affecting the witness of dispute trial of regional head selection in West Kotawaringin District in Constitutional Court in 2010.

The termination of investigation and prosecution is part of criminal proceedings by the police and prosecutor. In criminal law, there is an indication that case can be terminated if the proof is not sufficient and because of the authority of the General Attorney in which “terminating case” is different from “does not prosecute a case”. Doctrine of prosecuting a case places in (1) does not prosecute a case; (2) public interest reason; (3) the authority of the attorney/general attorney not police. The deviation of rule of law can affect the protection of Human Right, which is basis form every human, who demand his protection comprehensively and without discrimination which means that there is no difference in tribe, religion, race, social and group.

The authority to not prosecute criminal case has been recognized even before the Indonesia Independence based on the principle of “nolle prosequi” as prerogative right of the General Attorney before the case is continued to the court, as stated by C. Hamton,28therefore there are several possibilities to not continue a case to the court. 2. Concept of Public Interest

a. According to Positive Law

In Indonesia, after the procedural law was put in the HIR of the principles of Dutch law are generally applied based on the principle of concordance, so that there are no provisions regulating the opportunity, which is the existing one is only regarding abolition and amnesty which is the authority of the Governor General, in the draft of law of The Criminal Procedure explaining that what is meant by the principle of opportunity is a principle which is only the authority of the Attorney General in ruling out cases, after paying attention to the suggestions and opinions of the state power agencies which are related to the problem. This authority shows that the opportunity to intervene the relevant criminal cases involving the principle of opportunity is very large, because the law itself has opened up this opportunity.

The basis for the implementation of the principle of opportunity at that time was based on article 179 RO (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie) on the basis that Hooggerchtshof was formerly authorized to give orders to Pokrol General in prosecuting and/or not to prosecute if there were relevant reasons whose words stated in paragraph (1) of Article 179 RO

Referensi

Dokumen terkait

Jenis tanaman sampel di ketiga tempat tersebut, yaitu angsana (Pterocarpus indicus), bungur (Lagerstromia spiosa Pers) dan daun kupu- kupu (Bauhinia Purpurea). Sampel daun

Hal terpening dalam membangun kemitraan antara sekolah, orang tua/ wali, dan masyarakat agar dapat berjalan dengan baik dan benar adalah pemahaman semua warga sekolah tentang

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137,

Perilaku konsumen muncul karena adanya preferensi dari konsumen. Perilaku yang dilakukan oleh seorang konsumen Muslim dimana dalam membelanjakan penghasilannya tidak

Limbah cair adalah gabungan atau campuran dari air dan bahan-bahan pencemar yang terbawa oleh air, baik dalam keadaan terlarut maupun tersuspensi yang terbuang

Hasil evaluasi yang diperoleh pada siklus II ini mencapai tingkat 100 % jadi sudah dapat dikatakan tuntas, untuk itu tidak perlu lagi diadakan pembelajaran pada siklus

Berilah tanda silang (x) Pada kolom kosong, sesuai mata kuliah yang dikontrak batas maksimal 9 sks.. Melampirkan slip pembayaran asli semseter pendek dari Bank

Usulan Penelitian (UP) merupakan proses awal dalam menulis skripsi, yang wajib dilakukan oleh mahasiswa dengan tujuan untuk mendapatkan topik penelitian awal