• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION RESOLUSI DALAM PROSES PENYELESAIAN SENGKETA DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EKSISTENSI ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION RESOLUSI DALAM PROSES PENYELESAIAN SENGKETA DI INDONESIA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

EKSISTENSI

A

LTE RNATIVE DI

SPATE

RE SOL A TI

ON

RESOLUSI

DALAM PROSES

PENYELESAIAN

SENGKETA

DI INDONESIA

Oleh

Leli Joko Suryono. S.H.

Dosen

Fakultas

Hukum

UMY

ABSTRACT

Some inconveniences are usually faced by people at the time they wenl to the Court to sellle a dispute. The complex process of dispute sefile-ment especially in trade, environmenl and labor has conlributed to the emergence ofstrong motivationfrom the quarrelling parts lo choose an arbiter other than the official institution. The choice

lalls

to the system ol Alternative Dispule Resolution, whose erislence and implications in seltling disputes become the object of this research.

In this library research, it can be infened that the existence ofAlterna-Iive Dispute Resolution (ADR) is not unusual

for

Indonesians. As

il

is known, Ihe essence of the ADR is compromise through negolialion a processlamiliar in the life oflndonesian society. However, allhough it is culturally alive the ADR can not negale the function of olficial cowt of justice. Just like lhe Court, the ADR is not a superior mechanism that is

capable lo resolve all conJlicts in the sociely.

A.

Latar Belakang

Masalah

Seiring dengan semakin kompleks-nya permasalahan yang

terjadi

dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. maka persoalan-persoalan sengketa atau konfl

ik-konflik

yang berkaitan dengan hubungan hukum antara satu anggota masyarakat dengan anggota masyarakat

yang

lain tidak

semuanya

dapat diselesaikan

di

tingkat pengadilan yang secara resmi

diberi

kewenangan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan atau konfl ik-konfl ik tersebut.

Hal

ini

dikarenakan

untuk persoalan-persoalan atau konfl ik-konfl ik yang berkaitan dengan hubungan hukum yang bersifat perseorangan atau privat

seringkali apabila

persoalan tersebut

dibawa

ke

pengadilan

akan selalu

IDEA EOISI06 TAHUN 1420 H / 1999 M

memerlukan waktu yang

lama

dan biayanya sangat mahal serta hasilnya tidak bisa diharapkan atau dipastikan meskipun salah satu pihak yang bersengketa telah membawa bukti-bukti yang kuat, bahkan nantinya

apabila persoalan

itu

telah

diputus

oleh hakim pengadilan

dan putusannya telah mempunyai kekuatan yang tetap atau pasti, maka putusan tersebut belum tentu dapat dilaksanakan secara segera mengingat putusan itu ada kemungkinan untuk dilakukan pen irjauan kembali dan adanya perlawanau dari pihak yang tereksekusi.

Tidak hanya

itu.

bagi para pihak yang bersengketa atau berperkara apabila perkaranya dibawa ke pengadilan, maka kedua belah pihak akan selalu dihadapkan pada persoalan "menang" atau "kalah"
(2)

yang berarti kedua belah pihak akan selalu bersikap saling bermusuhan. Bahkan seringkali terjadi, di lapangan perniagaan atau

bisnis

kedua belah

pihak

tidak melakukan hubungan bisnis lagi. Padahal dalam dunia perniagaan atau bisnis selalu mengharapkan dan menghendaki agar setiap timbul persoalan yang terjadi diantara rekanan bisnis, maka persoalan tersebut dapat diselesaikan secara efektif dan efisien dalam arti bahwa penyelesaian persoalan atau konflik tersebut dilakukal secara

tidak bersifat

formalistik, tidak bertele-tele,

tidak membuang-buang

waktu serta biaya yang tidak terlalu mahal atau murah.

Selain

itu di

dalam

dunia perniagaan atau bisnis

juga

menuntut penyelesaian persoalan dapat dilakukan dengan mengarahkan pada "langkah ke depan" bukan memperdebatkan pada "masa lalu". Penyelesaian konflik harus dapat membina hubungan yang lebih baik antara para pihak yang berperkara, agar dapat terjalin hubungan perniagaan atau bisnis yang saling menguntungkan.

Penyelesaian persoalan dalam lapangan perniagaan atau bisnis bukan bertujuan menempatkan para pihak pada dua ujung yang saling berlawanan yaitu pada posisi sebagai pihak yang "menang" atau "kalah", tetapi yang diinginkan dan d iharapkan adalah pemecahan masalah yang dapat memberikan kepuasan kepada

para

pihak yang

berperkara atau

berkonflik, atau dalam bahasa jawanya

dikatakan sebagai

"menang

tanpo ngasorake" yang artinya bila para pihak yang berperkara tersebut terdapat pihak

yang

merasa dimenangkan

maka kemenangannya

itu didapatkan tanpa

harus mengalahkan

atau

merendahkan pihak lainnya. Penyelesaian suatu per-soalan diupayakan dicapai dan dilakukan secara bersama-sama atas dasar saling

2

pengertian dan saling sepakat.

Sistem penyelesaian sengketa yang demikian ini sulit untuk dicapai bila hanya mengandalkan pada penegakan hukum semata. Dengan kata lain perlu adanya hubungan atau relevansi penyelesaian persoalan atau konflik yang lebih luas dan yang dapat rnenjanjikan harapan atas penyelesaian yang

tidak mematikan

kegiatan perniagaan atau bisnis yang terjadi diantara para pihak yang berselisih

atau

berperkara (M. Yahya Harahap,

SH. 1997 : hal. 167).

Selanjutnya

juga

d isad ar i,

meskipun sebenarnya

pada

saat

pembuatan

transaksi

b isn

is telah

diupayakan secara terencana dengan baik berdasarkan sistem analisa dan kehati-hatian yang seksam4 bukan merupakan

jaminan yang mutlak untuk

tidak

terjadinya

konflik

dan sengketa

di

kemudian hari. Bagaimanapun

jelinya

menyusun suatu rumusan perjanj ian, konflik dan sengketa tidak mungkin dapat

dihindarkan

sepenuhnya

(M.

Yahya Harahap, SH. 1997 : hal. 167).

Sebenarnya sistem penyelesaian

sengketa

yang

dilakukan

secara sederhana, cepat dan biaya yang ringan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Secara formal hal tersebut sudah merupakan asas dalam peradilan di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dalam ketentuan yang terdapat pada Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. l4 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, adapun bunyi dari Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang

No.

l4 tahun

1970 adalah sebagai berikut: "Peradilan dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan".

Sedangkan penjelasan dari Pasal 4 ayat (2)

tersebut

mengatakan: "Per-adilan harus memenuhi harapan dari pada pencari keadilan yang selalu menghendaki
(3)

peradilan yang cepat, tepat, adil dan biaya ringan, tidak diperlukan pemeriksaan dan acara yang

berbelit-belit

yang dapat menyebabkan proses sampai

bertahun-tahun, bahkan kadang-kadang harus

dilanjutkan oleh para ahli waris pencari keadilan. Biaya ringan artinya biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terpikul

oleh rakyat. Ini semua dengan tanpa

mengorbankan ketelitian untuk mencari keadilan dan kebenaran".

Jadi, berdasarkan ketenoan di atas dapatlah dikatakan bahwa secara teoritis-yuridis tuntutan penyelesaian konflik atau sengketa dalam bidang pemiagaan atau bisnis yang menghendaki penyelesaian sengketa secara sederhana, cepat dan biaya ringan sudah tertampung dalam peraturan perundang-undangan di Indone-sia. Namun dalam kenyataannya asas ini mengandung persoalan yang bersifat

dilematis,

yaitu

asas tersebut selalu berhadapan dengan sistem upaya hukum dalam berbagai bentuknya seperti adanya lembaga banding, kasasi, penunjauan kembali dan perlawanan terhadap pihak ketiga (derden vervetl. Akibatnya asas yang terdapat dalam ketentuan Pasal 4 ayat

(2) Undang-Undang

No.

l4 tahun

1970

menjadi

buyar dan berantakan karena penyelesaian sengketa menjadi sangat formalistik, panjang dan sangat berbelit-belit serta memerlukan waktu bertahun-tahun dan biaya yang sangat mahal.

Di

samping itu

di

lndonesia juga dikenal adanya suatu lembaga dading yang diatur dalam Pasal 130 HlR, dalam ketentuan tersebut memberikan kewaj iban

kepada

hakim

dalam melakukan

pemeriksaan terhadap perkara-perkara

perdata

untuk selalu

berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih atau berperkara, dan apabila tercapai perdamaian maka perdamaian itu

IDEA EDISI06 TAHUN 1420 H / 1999 M

akan dituangkan

dalam

suatu

akta perdamaian yang mempunyai kekuatan mengikat sebagaimana putusan peng-adilan dan tidak dapat dimintakan band-ing (aha van dadband-ing) .

Namun lembaga dading

ini tidak

dapat

memenu h

i

kebutuhan

pada masyarakat perniagaan atau bisnis, karena

di dalam prakteknya hakim pengadilan

hanya bersikap pasif, artinyahakim hanya

menganjurkan

pata pihak

yang bersengketa

untuk

berdamai dengan memberikan batas waktu tertentu dan biasanya

untuk hal

tersebut

sidang ditunda. Sedangkan bagaimana upaya-upaya yang harus dilakukan oleh para pihak yang berselisih untuk melakukan perdamaian bukan merupakan urusan dari

hakim

pengadilan.

Hal inilah

yang

menyebabkan

para pihak

yang bersengketa kadang-kadang

sulit untuk

mencapai kesepakatan penyelesaian bahkan kadang-kadang

jika

dicampuri oleh seorang kuasa hukum, persoalan atau konfl ik tersebut bertambah menjadi rumit,

karena secara

financial akan

lebih menguntungkan

si

kuasa hukum untuk melanj utkan berperkara

di

pengadilan

bila

dibandingkan apabila

dengan selesainya

perkara

tersebut pada tingkat persidangan pertama atau tercapainya banding.
(4)

Para pakar dan

praktisi

hukurn tersebut mengemukakan cara

penye-lesaian konflik atau sengketa yang dapat dilakukan diluar pengadilan (penyelesaian sengketa

di

luar cara-cara litigasi) yang sudah banyak dilakukan oleh para praktisi

hukum dari

berbagai

negara. Cara penyelesaian tersebut

di

Amerika dan

Australia dikerral sebagai Alternatif Dis-pute Resolution

(ADR),

di

Singapura dikenal dengan Court Dispute Resolution

(CDR) dan di negara Cina dikenal dengan dua nama yaitu People's Mediation dan Adminis trat ive Me di at i on.

Cara

A

ernative Dispute

Resolu-tion

inilah yang saat

ini

paling banyak digunakan dalam penyelesaian sengketa khususnya bila sengketa perniagaan atau

bisnis

tersebut

bersifat

regional dan internasional, bahkan di berbagai negara

yang

sudah

maju

seperti

di

negara

Amerika,

Jepang dan

S ingapu ra menempatkan l/ternative Dispute

Reso-lution

ini sebagai

the

firs

resot (upaya, pertama) sedangkan penyelesaian dengan cara litigasi atau pengadilan hanya sebagai the last resort (upaya terakhir) saja.

Penempatan Alternative Dispute Resolulion sebagai yang pertama dalam

proses penyelesaian konflik

atau

sengketa pemiagaan atau bisnis di

Indo-nesia "seharusnya" bukan merupakan hal yang baru lagi, mengingat pada dasarnya atau prinsipnya Alternative Dispute

Reso-lution tetsebut

merupakan

sistem

penyelesaian konflik atau sengketa yang

dilakukan di luar

cara-cara Iitigasi

(pengadilan) dan selalu rnengutamakan

prinsip

musyawarah

untuk

mufakat. Sehingga upaya penyelesaian secara

litigasi

di

pengadilan

hanya

akan digunakan apabila cara penyelesaian konflik atau sengketa secara musyawarah

untuk mufakat tidak tercapai atau gagal.

Namun ironisnya di dalam praktek

4

sehari-hari seringkali dapat dijumpai,

misalnya yang terdapat

di

dalarr

perjanjian yang dibuat

dengan akta notaris, biasanya terdapat klausul yang

mengatakan

para pihak

sepakat

menyelesaikan persoalan atau konflik atau

sengketa yang mungkin akan

timbul

melalui pengadilan. Mengapa notaris tidak menyarankan atair menganjurkan

kepada

para pihak dan

kemudian

mencantumkan dalam akta perjanj iannya

cara musyawarah atau arbritase untuk

menyelesaikan konfl ik atau sengketa yang

kemudian hari

akan

muncul,

dan

penyelesaian konflik dengan cara litigasi

atau pengadilan hanyalah merupakan cara

penyelesaian konfl

ik

yang dilakukan

sebagai upaya paling akhir saja.

Melalui cara musyawarah seperti

yang terdapat dalam sistem Alternalive Dispute Resolulion pada dasarnya dalam suatu sengketa tidak ada pihak yang akan

ditempatkan sebagai pihak yang "kalah" atau sebagai pihak

yang

dinyatakan

sebagai pihak yang "menang", dan apabila

ada pihak yang merasa dimenangkan

maka kemenangannya tersebut diperoleh

tanpa harus mengalahkan

dan merendahkan

pihak

lainnya,

karena

penyelesaiannya tersebut dicapai bersama

atas dasar

saling sepakat,

saling

pengertian dan saling menguntungkan.

B.

Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah

di

atas dapatlah dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

l.

Bagaimanakaheksistensil/terza-tive

Dispute

Resolution

dalam

menyelesaikan konfl ik-konfl ik atau

sengketa yang

terjadi

di

dalam

masyarakat ?

2.

Apakah den gan

penggtnaznAlter-native l)ispute Resolution dapat menghilangkan eksistensi dari

lembaga peradilan resmi ?

(5)

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Pengertian Umum Alternative

Dispute Resolution

Menurut paudangan dari para pakar hukum pada umumnya penyelesaian konflik yang terjadi di dalam masyarakat

deganm p]"'lni cora-c'ra I Itelnative Dis-pute Resolulion dikenal dalam berbagai bentuk penyelesaian konflik selain dengan cara

litigasi

atau pengadilan. Bentuk-bentuk Alternative Dispute Resolution

tersebut yang dikenal selama

ini

adalah antara

lain

sebagai berikut: negoisasi, mediasi, pencarian

fakta,

konsiliasi,

penyelidikan, dan arbitrease.

Nego

isasi adalah suatu

cara

penyelesaian konfl ik rnelalui perundingan

langsung antara para pihak tanpa harus

rnelalui pihak ketiga untuk mencari dan rnenemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat mereka sepakati bersama (Takdir Rahmadi, 1996 : hal 264).

Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh para pihak yang berselisih atau bersengketa melalui perundingan dengan bantuan pihak lain

atau pihak ketiga yang netral (pihak ketiga

ini

disebut sebagai

"Mediator"),

guna rnencari dan menemukan bentuk-bentuk

penyelesaian

yang

dapat d isepakati bersama oleh para pihak. Peran mediator

adalah rnenrbantu

para pihak

untuk mencapai kesepakatan, antara lain dengan cara penyampaian saran-saran substantif

tentang

pokok-pokok

sengketa dan menjalankan fungsi-fungsi prosedural.

Med iator tidak rnernpunyai kewenangan memutus atau mernaksakan suatu bentuk penyelesaian sengketa. Keputusan tentang

berbagai masalalr selama perund ingan sepenuhnya diserahkan pada para pihak

yang berselisih atau bersengketa dan

dilakukan berdasarkan asas kesepakatan antara para pihak fTakrlir Rahmadi, 1996

IDEA EDISI 06 TAHUN 1420 H / 1999 M

:

hal

264).

Pencarian

fakta

adalah

upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan

oleh para pihak yang bersengketa dengan

cara menunjuk

pihak ketiga

untuk

mengevaluasi, menganalisa

dan memperjelas berbagai masalah ya ng

menimbulkan

berbagai

perbedaan interprestasi antara kedua belah pihak

yang berselisih.

Hasil

dari

evaluasi, analisa dan penjelasan dari

tim

pencari

fakta (pihak ketiga) disertai

dengan

rekomendasi peme cahrn masalah (Takdir

Rahmadi, 1996 : hal 264).

Konsiliasi

adalah suatu bentu k

penyelesaian sengketa yarrg dapat diarnbil

oleh para pihak yang bersengketa di rnana para pihak yang bersengketa membentuk suatu team penyelesaian sengketa yang tidak memihak atau netral yang disebut

sebagai "komisi" baik yang bersifat tetap ataupun ad hoc. Adapun tugas dari komisi

ini

adalah

memberikan

pandangan-pandangan atau pendapat atau

saran-sa-ran

mengenaicara-carapenyelesaian

sengketa dan berusaha untuk menentukan

batas-batas penyelesaian yang dapat

dilakukan

oleh

para

pihak

yang

bersengketa (J G. Mcnills, 1986 : hal 54).

Arb

itrase adalah

u paya

penyelesaian sengketa yang d ilakukan oleh para pihak dengan menyerahkan penyelesaian sengketa pada pihak lain yang

tidak

memihak atau netral yang

mempunyai kewenangan untuk memutus dan memaksakan putusan tersebut kepada

salah satu pihak sebagai suatu bentuk

penyelesaian

dari

sengketa tersebu t

(TaMir

Rahmadi. 1996 : haL 265).

Berbeda dengan bentuk- bentu k

Alternative Dispute Resolution yang lain seperti negosiasi dan mediasi, maka

penyelesaian sengketa melalui arbritasi

lebih bercorak adversarial atau pertikaian

yang menyerupai

proses

ajudikatif

(6)

( pengad ilan). Karena bersifat adversarial

tersebut maka pengcunaan arbritasi dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di masyarakat kadang-kadang kalah populer

jika dibandingkan

dengan cara negosiasi atau rnediasi yang sangat menekankan

aspek konsensus atau kolaboratif (Takdir Rahmadi, 1996: hal. 265).

B.

Bentuk-bentukAlternative Dispute Resolution

L

Negosiasi

Negos ias

i

pada

hakekatnya merupakan suatu proses konsensus yang digunakan oleh para pihak yang sedang

bersengketa

guna

mendapatkan

kesepakatan

diantara

mereka. Kesepakatan

ini

diperoleh tanpa harus

melibatkan

pihak

ketiga

untuk menjembatani penyelesaian sengketa yang terjadi diantara para pihak tersebut.

Karena

sistem

pe nye lesaian sengketa melalui negosiasi

ini

bersifat

langsung,

maka dalam

praktek kenyataannya negoisasi sering digunakan oleh para pihak yang sedang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa tersebut,

hal ini dikarenakan biasanya penyelesaian sengketa melalui negoisasi lebih bersifat efektifdan kedua belah pihak lebih cepat

bisamenyelesaikan

perselisihanyang terjadi, dengan syarat apabila kedua belah pihak ada saling percaya dan masih saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya.

Sebab sebagaimana dikatakan oleh

J.C.

Merrills di

dalarn bukunya yang berj ud u

I

Penyclesaian

Scngketa In t ernas i onal menyatakan, sebenarnya negoisasi tidak mungkin dilakukan

jika

para pihak yang bersengketa menolak untuk berhubungan satu sama lainnya 0.G.

Manills.

1986 : hal. 11./. Sengketa yang besar dalam arti yarrg inelibatkan

6

banyak nilai uang dan rasa lrarga diri yang

d ipertaruhkan kadang-kadang dapat

menyebabkan

para pihak

yang

bersengketa akan rnemutuskan hubungan

atau tidak saling menyapa bahkan saling dendam.

Negosiasi tidak akan efektif j ika posisi para pihak yang bersengketa saling rnenjauh dan

tidak

ada kepentingan bersama

untu

menjembatani j u rang tersebut. Banyak cara untuk mengadakan

persetujuan untuk mernuaskan bagi kedua belah pihak yang

saling

bersengketa. Namun harus diakui bahwa dalam banyak

hal

tidak

ada suatu

perjanjian

yang bagaimanapun baiknya dapat memenuh i pemuasan para pihak tersebut. Dalam suatu sengketa

jika

salah satu pihak menuntut atas haknya, sernentara pihak

lain, yang mengakui kelemahan atas kasus

hukumnya, berusaha

untuk

mencari penyelesaian berdasarkan

equily,

ada

sedikit

kesempatan

untuk

d iada kan

persetujuan

tentang

masalah

yang mendasar,

dan

bahkan

persetuj ua n prosedural, untuk menyerahkan sengketa

tersebut pada lernbaga arbritase, misalnya mungkin sulit untu mengadakan negoisasi

tanpa untuk merugikan satu pihak atau satu pihak lainnya. (J.G. Merrills, 1986: hal. 16).

Menurut Stephen P. Robbins dalarn

bukunya yang berj

ldul

Organization Be-ftavior,mengatakandalam melakukau negoisasi ada dua strategi pendekatau

(bargaining strategis) yang

d apat digunakan yaitu :

a.

Distribuivc bargaining, yaitu

teknik

negoisasi yang mencoba untuk mencari atau menetaPkan suatu kepastiau. Dalam negoisasi irr

i

situasi

yang

diharapkan biasanya menetapkan para pihak pada posisi menang dan kalah /a win - lose siluasion).
(7)

b.

Intregative bqrgaining, yaitu teknik negosiasi yang rnencoba mencari

alternative-alternative

cara

penyelesaian sengketa yang dapat

rnenciptakan suatu situasi yang saling mel|guutungkan

b

win-win

solution)

(Stephen

P.

Robbins,

1993 : hal.45lt).

Terhadap dua pendekatan yang

dapat digunakan dalarn

melakukan

negoissasi ini tentunya yarrg diharapkan

di dalam

penyelesaian sengketa dengan

sitem Alternative D ispute Resolution

adalah cara yang kedua yaitu secara lnle-grulivc bur4uining. sebab cara ini yang merrempatkan pada posisi yang saling atau sarna-sama meflguntungkan (a win-win solution).

Untuk mencapai c aft-catu win-win

solution

ini

memang tidaklah mudah untuk dilakukan, mengingat tidak semua

pihak yanB saling

be rsengketa rnempunyai ketrampilan untuk menjadi

negosiator yang baik, bahkan kadang-kadang ada sedikit kesalahan dalam rnelakukan komunikasi atau sikap atau persepsi antara satu pihak dengan pihak lain dapat nrenyebabkan suatu persoalan

atau

konflik

menjadi lebih luas bahkan

menjad

i

semakin

rumit

untuk

diselesaikan.

Menurut Stepen P. Robbins dalam

melakukan

negoisasi terdapat lhe role of personality lraits in negosialion ata:u

sifat-sifat

kepribadian yang

harus diperhatikan olelr seorang negosiator, namun sifat-sifat kepribadian

ini

tidak

berarti dapat langsung berpengaruh dalam setiap proses perundingan atau pada hasil

perundingan. hal

ini

hanya memberikan

kesan bahwa

negoisator

lrarus

mernusatkan

diri

pada pokok persoalan dan laktor'-laktor situasional dalam

tiap-tiap tahap

perundingan

dan

tidak

rnernusatkan

diri

pada pihak lawan atau

IDEA EDISI 06 TAHUN 1420 H / 1999 M

pribadinya (Stephen P. Robbins. 1993: hal. 461).

Oleh karena hal tersebut, maka sangat dianjurkan apabila para pihak yang

bersengketa dirasa tidak sebagai orang

yang dapat rnenjadi negoisator yang baik dapat meminta jasa pihak ketiga yang

telah

berpengalaman untuk melakukan negoisasi (th ird-party ne gotiut ions ).

Di dalam t hird-party ne glot iat ions

ini

diharapkan

pihak ketiga

dapat

membantu

menemukan pemecalran masalahnya. Ada empat peranan dasar yang dapat dilakukan pihak ketiga untuk

melakukan negoisasi, yaitu :

a.

Ma<liator, yaitu pihak ketiga yang

bersifat

netral,

menjad

i

peng-hubung dalam suatu perundingan,

dengan menggunakan reason ing,

persuation dan suggestion.

b.

Arbitrator, yaitu pihak ketiga

dalam suatu perundingan mem-punyai kekuasaan untuk mendikte suatu kesepakatan atau mempunyai

kekuasaan

untuk

mengambil

keputusan

dan

memaksakan keputusan tersebut kepada par a pihak yang bersengketa.

c.

Concilialor,

yaitu

pihak

ketiga berkedudukan sebagai pendarnai

yang dipercaya

untuk

menye-lenggarakan hubungan komunikasi informal antara negoisator dengan pihak opponent"

d,.

Consultant as

negotiator,

yaitu

pihak ketiga yang

dengan

keahliannya

mengelo

la

suatu

konflik,

berusaha menciptakarr

pemecahan suatu masalah tnela lui konrun

ikasi

dan

analisanya

(Stepchn P. Robbins,

l99J :

hul. 16t -164).

Stephen P. Robbins mernberikan

rekomendasi untuk seorang negoisator

dapat

nremaham

i

suatu

proses
(8)

negoisasi dan memperbaiki kemampuan bernegoisasinya, yaitu antara lain sebagai berikut:

a.

Demand cmd Concessions; Pihak negoisator dapat

memulai

pe-rundingan dengan suatu tawaran

yang

pos

itif

seperti

misalnya

dengan memberikan

sed

ikit

kelonggaran kepada pihak lawan, dengan lrarapan pihak lawan akan membalasnya dengan memberikan kelonggaran j uga.

b.

Preceden,r;

Dalaln

melakukan negoisasi, biasanya tiap kelompok akan berpedoman pada penga-laman masa lalu. Presedents di masa yang lalu dapat membantu mernperbaiki negoisasi pada saat

in i.

c.

Experience;

Negoisator yang

berpengalaman cenderung lebih baik dalam memahami suatu proses negoisasi (Stephen

P. Robbins.

1993 ; hul. 160-161).

2.

Mediasi

Mediasi adalah proses negoisasi pemecahan nrasalah

di mana

pihak luar yang tidak mernihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak bersengketa untuk

membantu

mereka memperoleh

kesepakatan

perj anj

ian

dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau

arbriter,

med

iator tidak

mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak, namurr dalam hal ini

para pihak yang

bersengketa tnenguasakan kepada rned

iator untuk

ntembantrr

mereka

m en ye le sa ikan persoalan-persoalan d iantara mereka.

"The assunrion ... is lhct a third parfy will ba uble to ulter the power and social dy-namics of the conflicl relationship by in-.fluencing the bcliefs and behtwiors of in-Jividual parties, hy providing knowlege

8

or inJormation,

or

by using a more

effectivenegotiation process and there by helping the purticipants to settle consted r'sszes ". Asumsinya adalah bahwa pihak ketiga akan mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan

konflik

dengan cara mernpengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi/ individual para pihak, dengan memberikan pengetahuan atau informasi, atau dengan menggurrakan proses negoisasi yang lebih efektif, dan dengan demikian nrembantu para peserta untuk menyelesaikan persoalan-persoalan

yang

dipersengketakan)

(Gur1' Goodpaster, 1995 : hal. I l-12).

Mediasi, yang di Arnerika Serikat merupakan suatu

alat

pe nye le saian sengketa yang berkaitan erat dengan konfl ik manajemen perburuhan, sekarang

ini lebih biasa

dipandang sebagai suatu alternatif yang penting bagi ajudikasi penyelesaian sengketa. Pada tahun-tahun terakhir

ini

pengadilan, masyarakat dan industri telah berpaling kepada mediasi sebagai metode yang lebih disukai dalarn penyelesaian bentuk-bentuk sengketa

tertentu.

Pengadilan

rnem berikan kewenangan kepada med iasi dalam perkara-perkara,

seperti perceraian.

hubungan keluarga,

pemilik

tanah

penyewa,

dan

konsurnen.

Banyak komunitas telah mendirikan jasa mediasi untuk menangani sengketa tingkat bawah atau perkara-perkara kecil yang mungkin

dapat

membuat

sitiuk

pengadilan. Perusalraan asuransi dan perusalraan dagang besar

juga

telah menjadikan

mediasi sebagai suatu sarana dalarr menangani tuntutan-tuntutan konsurnen (Gary Goodpastcr, 19\t5 . hal. l2)

Biaya, penundaan-penundaan, dan

tidak efisiennya litigasi juga

telah

rnendorong

para pihak

untLrk rnenggrtnakan nred iasi. Secara berangsur-angsur dalam perkara hukum biasa para
(9)

pihak

mencoba beberapa

bentu k penyelesa

ian mediasi

sebelum

pe-meriksaan pengadilan.

Akhirnya

para

pihak dalam

sengketa

yang

bersifat

"polisentrik"

yaitu

sengketa

yang melibatkan banyak pihak dan persoalan,

atau melibatkan

berbagai

masa lal) ketertiban urnunr yang kompleks. seperti

sengketa lingkungan,

juga

telah rnengambil

jalan

rnediasi

dari

pada

penyelesaian

melalui

litigasi

bagi sengketa

mereka.

Bahkan beberapa lembaga utama penegak hukum, yang secara tradisional rnem isahkan prosedur-prosedur yang bertentangan, telah mulai

menggunakan

beberapa

bentu k penyelesaian sengketa secara mediasi atau

per antar a (lAc i I i I a I ed d i s p ut e re s o lut i on ),

sebagai

contolr, dalam

kesepakatan pembuatan

ketentuan

perundang-undangan (Gury Goodpuster, 1995 : l2).

Ajudikasi,

ba

ik

melalui

pe-meriksaan pengadilan maupun arbritase

adalah

bersifat formal,

memaksa, memandang kebelakang (backward

look-ing),

berlawanan

dan

atas

dasar kebenaran,

yaitu

apabila

para pihak rnengajukan sengketa, maka ketentuan-ketentuan hukurn yang tegas mengatur prosedur ajudikasi, dan kesimpu lan pihak

ketiga berkenaan dengan

kej ad ian-ke.iadian masa

lalu,

dan hak

serta kewaj iban hukum masing-masing pihak akan menentukan hasilnya. Sebaliknya, rnediasi adalah bersifat informal, sukarela. rnemandang kedepan, kerja sama. dan atas dasar kepentirrgan. Seorang mediator rnembantu keinginan para pihak dengan

nrembuat

suatu

perjanj

ian

yang

memandang

kedepan,

memuaskan kebutuhan-kebutuhan. dan memenuhi standar keadilan mereka. Seperti halnya para lrakim dan arbiter, mediator haruslah bersikap tidak rnernihak/adil dan netral, namun mereka tidak campur tangan dalarn

IDEA EDISI 06 TAHUT{ 1420 H / 1999 M

memutuskan

dan

menentukan hasil substantif tertentu, para pihak sendirilah yang memutuskan apakah mereka sepakat atau tidak (Gary Goodpaster, 1995; 13).

Kadangkala

para pihak yang

bekerja sama harus saling berhadapan dalarn sengketa atau konflik. tetapi segan atau tidak mampu urrtuk merundiugkan suatu penyelesaian

yang

d ise pakati bersama.

Hal

ini

dapat

terjadi

dalam

berbagai

situasi.

Para

pihak

dapat memiliki pandangan yang berbeda yang

disebabkan

oleh

berbagai

sa lah

pengertian. Mungkin

terjadi

pola

hubungan

yang

tidak

berfu n gs i,

barangkali

akibat

kecurigaan, u rrtu k mengkaitkan permusuhan, kesalahan

persepsi,

stereotif

dan

kurangnya komunikasi. Dendam masa

lalu

dapat mempengaruhi keputusan saat sekarang. Para pihak secara sadar atau tidak sadar

memiliki

kebutuhan-kebutuhan

psiko-logis

untuk

menuntut

balas

atau menyatakan kemarahan, yang rnungkin

timbul dari

hubungan atau peristiwa-peristiwa yang terjadi diantara rnereka di masa lalu. dah oleh karena

itu

rnereka

rnenghalangi,

merintangi

atau men gh u k u

m

p

ihak

la

in

(G <try Goodpasrer, 1995 : hal. I3).

Para pihak dapat merasakan adanya p€rtikaian atau konflik kepentingan atau kebutuhan. Mereka dapat memiliki

nilai-nilai

yang

tidak cocok. dan

rnasing-masing mencoba

untuk

memaksakan struktur nilainya terhadap penyelesaian yang mem ungkinkan. Mereka dapat salah menilai situasi di mana mereka. terlibat, mem iliki pengharapan yang tidak realistis, atau tidak

mengerti

ciri

sebenarrrya kondisi saling ketergantungan diantara mereka. Mereka dapat

terjerat

dalam perebutan kekuasaan atau

konflik

yang

besar

darr

mereka

yakin

akatr memenangkan

uji

kekuatan tersebut
(10)

(Gary Goodpasrer. 1995

:

I3).

Sengketa yang bersangkutan dapat

rnemiliki

barryak aspek dan mungkin banyak

terlibat

banyak pihak. Karena banyaknya persoalan dan banyaknya para

pihak yang terlibat, akibatnya para pihak sendiri tidak dapat mengorganisasikan

dan

mengatur

arus informasi

serta interaksi para pihak. Para pihak dapat

rnemiliki jurnlah

anggota yang tidak

fleksibel,

sukar untuk rnendidik atau mengaturnya, karena

memiliki

banyak

pengharapan yang tinggi dan pengharapan

tersebut tidak dirundingkan. Akhirnya, dalam sengketa yang paling kompleks,

sebagian atau seluruh masalah ini muncul dan keruwetan yang ditirnbulkan sangat

besar sehingga para pihak tidak dapat m engkon sen tras

ikan

pada

kesulitarr-kesulitan mereka. Bahkan sesungguhnya

merekatidakrnampu

mengidentifikasi riDtangan-rintaDgan da

laln

perjanj ian,

kecuali pilrak

lain

(Gury Goodpttster,

1995: I4).

Beberapa konflik yang tampaknya sukar ditangani

ini

sesungguhnya dapat

dirundingkan,

tetapi

para pihak tidak

mampu berunding dengan sukses tanpa bantuan pihak luar. Mereka perlu pihak

luar yang dapat dipercaya,

tanPa

kepentingan, dalam hal-hal tertentu, yang

dapat

mengerti

menangani

seluruh

sengketa dengan

tidak

mern ihak,

mengaualisa sumber-surnber konfl ik dan

rirrtangan-rintangau dalam negosiasi, dan

campuI taugau sebagainrana diperlukan

guna

merrrbantu

para pihak

untuk

memecalrkart rn asala lr- m asa lah

penye-lesaian sergketa rnereka. Sebetulnya.

nrereka rnemerlLrkan

ahli

diagnosis.

penasehat, guru, moderator, dan perantara

(fasilitator) yang d ipercaya. Ringkasnya rnereka membutuhkan seorang mediator (Gary Goodpaster. I995

;

l4).

Dalam mediasi. rned iator

mem-10

perlakukan

sengketa sebagai s uatu peluang untuk me'nbantu para pihak

menyelesaikan

persoalannya. Dia

membantu

para pihak

memaham i pandangan rnasing-masing dan membantu

nencti

(locate) persoalan-persoalan yang dianggap penting bagi mereka.

Me-diator

mernperm

udah

pertu k aran

informasi, mendorong diskusi mengenai perbed aa n - perbed

aan

kepentingan. persepsi, penafsiran terhadap situasi dan

persoalan-persoalan dan membiarkan,

tetapi me|gatur pengungkapan ernos i.

Med

iator

membantu

para

pihak memprioritaskan persoalan-persoalan dan

menitik beratkan pembalrasan mengenai tujuan dan kepentingan umum. Mediator akan sering bertemu dengan para pihak

secara pribadi. Dalam pertemuan ini yang d isebut caucasus, tnediator biasanya dapat memperoleh informasi dari pihak yang tidak bersedia saling mernbagi informasi. Sebagai wadah informasi antara pihak, mediator akan mempunyai lebih banyak

informasi

mengenai sengketa

dan

persoalan-persoalan dibandingkan para

pihak, dan akan mampu menentukan

apakah terdapat

dasar-dasar

bag i

terwujudnya suatu perjanj ian/kesepakatan

(Gary Goodpaster. 1995: l6).

Med

iator

juga

mem berikan

informasi

baru

bagi

para

pihak

atau sebaliknya membantu para pihak dalam

menemukan cara-cara yang dapat diterima

oleh

kedua

belah

Pihak

utrtuk rnenyelesaikan perkara. Mereka dapat menawarkan penilaian yang netral dari posisi masing-nasing pihak. Mereka juga dapat mengajarkan para pihak bagaimana

terlibat dalarn negosiasi

pemecahan

masalah secara efektif, men ilai

alternatif-alternatif dan menemukan pemecalran

yang

kreatif

terhadap

konflik

mereka (Gary Goodpaster, 1995

:

l7).

Tujuan dari sebuah rnediasi adalah

(11)

tidak

rnenghakirni

salah

satu

pihak

sebagai pihak yang salah atau sebagai

pihak yang benar, tujuannya

tidak

lain hanya rrernberikan kepada para pihak untuk:

a.

Menenrukan.jalan

keluar

dan

pembaharuan perasaan,

b.

Melenyapkankesalalrpahaman,

c.

Menentukan kepentingan yang pokok,

d.

Menemukan bidang-bidang yang

mungkin dapat dicapai persetu-juannya,

e.

Menyatukan

bidang-bidang

tersebut menjad

i

solusi

yang disusun sendiri oleh para pihak (Roediiono. 1996: l0).

Mediasi tidak selalu tepat untuk

diterapkan terhadap semua sengketa atau

tidak selalu

diperlukan

u ntuk

rnenyelesaikan semua persoalan dalam sengketa tertentu. Mediasi dapat berfungsi dengan baik bilamana memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a.

Para pihak mempunyai kekuatan tawar-menawar yang sebanding.

b.

Para

pihak

menaruh perhatian

terhadap hubungan di masa depan.

c.

Terdapat banyak persoalan yang

memungkinkan

terjadinya

per-trkann

(trade ofis).

d.

Terdapat urgensi atau batas waktu untuk menyelesaikan.

e.

Para

pihak

tidak

memiliki

permusuhan

yang

berlangsung

lama dan mendalam.

Apabila para pihak mempunyar

pendukung atau pengikut, mereka

tidak memiliki pengharapan yang banyak, tetapi dapat dikendal ikan.

Menetapkan preseden

atau

mempertalrankarr suatu hak tidak

lebih

penting

dibandingkan menyelesaikan persoalan yang

mendesak.

h.

Jika para pihak beradadalarn proses I itigasi, kepentingan-kepentin gan

pelaku lainnya, seperti

para

pengacara dan penjarnin tidak akan diperlakukan

lebih baik

d

iban-d

ingkan mediasi

(Gary

Go<td-pasrer, 1995: l7).

Meskipun hal tersebut bukau lah merupakarr daftar yang secara kornulatif

mengenai seluruh

kond

isi

yang

memungkinkan dan mendukung mediasi,

hal

ini

memberikan kesan,

bahkan

memberikan beberapa determinas apakah para pihak akan lebih baik menyerahkan proses perkaranya kepada mediasi atau ke

litigasi.

Misalnya,

jika

para

pihak

memilikitawar menawar yang amat tidak

sebanding, sedangkan persoalan diantara mer€ka dapat diselesaikan secara litigasi,

pihak yang lemah seharusnya memilih proses

litigasi

dibandingkan mediasi.

Dengan cara mengeluarkan kewena_ngan

mengambil keputusan dari para pihak, litigasi c.enderung untuk menyamaratakan

posisi dari para pihak. Pihak yang lebih

kuat tidak lagi bebas untuk mendiktekan

lagi

hasil-hasilnya, sebaliknya dalam

proses

litigasi, pihak yang lemah

mempunyai

hak yang

sama

(Gury

Coodpaster, 1995: l7).

J

ika

paia pihak

mengharapkan

hubungan

yang berkesinam

bungan,

sekalipun terdapat sengketa d iantara

mereka" dalam beberapa hal mereka akan

lebih baik mencari penyelesaian secara

perundingan, baik dengan perundingan diantara mereka sendiri maupun dengan menggunakan mediator. Hal ini di lakukan karena I itigasi menimbulkan permusuhan

di antara para pihak

yang

berperkara.

Sebaliknya,jika para pihak terlibat dalam satu kali transaksi (one time transaction)

dan tidak

mengharapkan

adanya hubungan

di masa mendatang.

litigasi

tidak merusak hubungan dan tergantung

11

(12)

dari bentuk-bentuk sengketanya, maka

pemilihan mediasi lebih biiaksana (Gary

Goodpaster, 1995

:

l8).

3.

Pencarian Facta

Dalam perkara yang benar-benar

rumit,

para

pihak

sebenarnya

tidak

bersengketa mengenai hukum, ataupun

mengenai penerapan hukum terhadap

fakta-faktanya,

namun

mereka

bersengketa merrgenai fakta-fakta. Hal ini

kadangkala merupakan perkara dengan

persoalan-persoalan teknis atau ilmiah

yang kompleks. Dalam perkara semacam

ini, untuk menghindari pertikaian

saksi-saksi ahli yang dilradirkan masing-masing

pihak yang

bersengketa, pengad ilan sebagai penggantinya dapat menunjuk

saksi ahli yang netral yang menyelidiki

persoalan-persoalan yang ditetapkan dan

melaporkan penemuan-penemuannya.

Dengan

penemuan-penemuan ini

memberikan para pihak penilaian pihak

ketiga yang obyektif rnengenai fakta-fakta

dari perkara, dan para pihak kemudian

dapat melanjutkan untuk merundingkan

penyelesaiannya. Apabila para pihak tidak

mencapai penyelesaian, hakim dapat

menggunakan penemuan tersebut untuk

rnembantu menyelesaikan sengketa (Gary

Goodpaster, 1995 : I 0-l 1).

Atau

dengan kata

lain

sebelum memulai proses litigasi, para pihak yang bersengketa dapat menyepakati meminta

bantuan kepada

seorang

ahli

yang

bersikap netral untuk mernbuat penemuan

fakta-fakta yang rnengikat ataupun tidak,

atau bahkan membuat pengarahan tnateri tersebut secara mengikat. Bilamana suatu sengketa sudah benar-benar dalam litigasi, ahli yang netral yang ditunjuk oleh para

pihak atau pengad ilan dapat sangat efektif

mengarahkan para pihak untuk melakukan

reefaluasi estimasi apa kiranya yang

mereka peroleh dan dalarn meniembatani/

12

memperpendek pe rbedaa n - perbed aan diantara mereka (Roediiono, 1996

:

l2).

4.

Konsiliasi

Ko ns ilia s

i

sebagaimana yang

disebutkan di atas oleh J.G. Merrills dalarn

bukunya

penyelesaian

sen gketa

internasional

diartikan

sebagai suatu

bentuk penyelesaian sengketa yang dapat

diambil oleh para pihak yang bersengketa

membentuk suatu team penye lesaian

sengketa yang tidak memihak atau netral

yang disebut sebagai "Komisi" baik yang

bersifat tetap ataupun ad hoc. Adapun

tugas dari komisi ini adalah memberikan

pandangan-pandangan atau

pendapat/sa-ran-saran mengenai

cara-cara

penyelesaian sengketa dan berusaha untuk menentukan batas-batas penyelesaian

yang

dapat

dilakukan oleh para pihak yang bersengketa (J.G. Mewills, 1986 :

hal.54).

Komisi

yang

dibentuk

dalarn

konsiliasi

pada dasarnya tnempunyai fungsi untuk menyelidiki sengketa dan menyarankan batas penyelesaian sengketa

yang mungkin dilakukan.

Di

dalam praktek negara-negara

yang telah maju seperti Amerika, Jepang

atau

Korea

Selatan

ternyata,

model

penyelesaian s6ngketa berdasarkan

Konsiliasi

ini

berbeda-beda praktek

pelaksanaannya antara

di

Arnerika,

Jepang ataupun Korea Selatan tersebut. Di

Amerika sistem konsiliasi merupakan

tahap awal dari proses rnediasi, dengan

acuan penerapan,

apabila

terhadap

seseorang diajukan proses mediasi dan

kedudukannya sebagai responden rnaka

pada tahap yang demikian berarti telah diperoleh penyelesaian tanpa melanjutkan

pembicaraan, karena pihak responden

dengan kemauan baik berseJia menerima

apa yang dikemukakan prhak

claintutt

(Roejiono, 1996; 8).

(13)

Lain halnya dengan konsiliasi yang dikembangkan

di

Jepang atau Korea Selatan. Konsiliasi d iletakkan dalam suatu

koneksitas dengan mediasi dan arbitrasi

(mediasi-konsiliasi-arbritasi).

Proses

penyelesainnya

dilakukan

secara

bertahap:

a.

Upaya

penyelesaian se n gketa

melalui proses mediasi, apabila dapat

disepakati

penyelesaian, solusi yang disetujui para pihak

d ij ad

ikan

kompromis

dapat

dieffektifkan

menjadi

award

(putusan arbritase) yang final dan

binding,

apabila para

pihak memintanya.

b.

Bila

upaya mediasi gagal, proses

ditingkatkan

rnenjadi konsiliasi, rnediator semula atas kesepakatan

bersama

bertindak

sebaga i

konsiliator,yang

rnengusahakan

solusi yang dapat diterirna oleh kedua belah pihak. Bila para pihak sepakat atas solusi yang dibuat konsiliator, maka kedudukannya berubah menjad i arbriter, sehingga

keputusan

yang

d ihas

ilkan

meningkat menjadi award.

c.

Bila

konsiliasi gagal

menye-lesaikan persengketaan, proses

dilanjutkan

dengan arbritase.

proses konsiliadi dilrentikan dan bersamaan

dengan

itu

proses

arbritase berjalan,

kon s

iliator

Iangsung

bertindak

sebaga i

arbritator (Roedjiono, 1996 : 9).

5.

Arbrilrase

Arbitrase merupakan pemeriksaan/ penyelesaian sengketa secara privat. Para pihak, baik yang rnengantisipasi sengketa

yang mungkin

terjadi

maupun yang

sedang mengalami sengketa yang tidak mampu diselesaikan

melalui

musya-warah,

sepqkat

untuk

m enyerah ka n

IDEA €DISI 06 TAHUN 1420 H / 1999 M

sengketanya kepada pengambi I keputusan

privat

dengan cara-cara yang mereka tentukan bersama, dengan cara ini. para pihak menghindari penyelesaian sengketa rnelalui badan peradilan umrsm (Gury Goodpaker, dkk, 1995; 19).

Arbritase pada umumnya nrerrarik bagi para pengusaha, pedagang, dan

in-vestor

sebab

arbitrase

memberikan

kebebasan dan otonomi yang sangat luas kepada mereka. Selain itu, secara relatif memberikan rasa arnan terhadap keadaan

tidak

menentu

dan

ketidakpastian sehubungan dengan sistem hukum yang berbeda,

juga

terhadap kemungkinan keputusan hakim yang berat sebelah yang melindungi kepentingan (pihak) lokal dari

mereka

yang

terlibat

dalarn

suatu sengketa.

Apabila

para

pihak

yang rnenyerahkan perkaranya kepada arbitrase

berasal dari

yuridiksi

hukum

yang

berbeda, misalnya dari negara berbeda, atau negara bagian berbeda dalam sistem federal, maka pihak yang satu mungkin tidak dapat rnemahami atau mempercayai sistem hukum maupun hakim dari pihak yang

lain.

Dari

pada saling memper-tentangkan sistem dan yuridiksi hukum mana yang akarr memutuskan, para pihak memilih untuk lebilr baik rnenyelesaikan sengketa mereka dengan menggutrakan sistem hukum dan cara penyelesaian sengketa yang mereka anggap

adil

dan netral (Gary Goodpaster, dkk, 1995: 20). Sebagai suatu proses pengambilan keputusan, arbritase seringkali lebih cepat, tidak terlalu formal, dan lebih murah dari pada proses

litigasi

di

pengadilan. Dikatakan lebih cepat karena para pihak

tidak

harus menurggu dalam antreatr proses litigasi pengadilan dan

perkara-perkara

mereka

tidak

mengctral pemeriksaan pendahuluan yang ekstensif. sebagairnana dilakukan terhadap perkara-perkara rrielalui pengadilan. Semeutara
(14)

penyelesaian sengketa berlangsung, para

pihak

dapat

terus

nrelakukan bisnis nrereka

tanpa

perlu merasakan

ke-kecewaan dan ketidakpuasan yang dapat

terjadi dalarn suatu proses pengadilan.

Faktor-faktor

serupa

ini

membantu mengurangi biaya-biaya pemeriksaan.

Dengan

dern ik

ian,

arbitrase

juga

seringkali lebih murah dari pada litigasi, sebab tidak ada kemungkinan banding terhadap putusan arbitrase, setidak-tidaknya dalam beberapa

perundang-undangan

arbitrase modern

(Gary

Goodpaster. dkk, 1995: 20).

Karena

berlangsung

dalam lingkungan yang bersifat privat dan bukan bersifat umum, arbitrase

juga

bersifat privat dan tertutup dibandingkan dengan

litigasi dihadapan badan peralihan umum. Sifat rahasia arbitrase dapat melindungi

para

pihak dari hal-hal

yang tidak

diinginkan atau yang merugikan akibat penyingkapan informasi bisnis kepada umum. Selain

itu,

hal

ini

juga

dapat melindungi mereka dari publisitas yang merugikan dan akibat-akibatnya, seperti kehilangan reputasi bisnis pemicu bagi

tuntutan-tuntutan lainnya.

masalah-masalah kredit, dan lain-lain, yang dalam

proses

ajudikasi publik

dapat mengakibatkanpemeriksaan sengketa secara terbuka (Gary Goodpaster, dkk, re95: 20)

Dalarn penjelasan

di

atas telah disebutkan tentang beberapa keuntungan mengenai penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Narnun demikian

di

samping keuntungan-keuntungan tersebut, secara

terperinci

masih terdapat

be berapa keuntungan yang dapat d ikernukakan

sebagai berikut :

a.

Keuntungan dari suatu peradilan arbitrase sebagaimana tersebut di

atas adalah menang waktu karena dikontrol oleh para pihak sehingga

l4

b.

kelambatan dalam proses peradilan

pada umumnya dapat dihindari.

Di

samping keuntungan tersebut, kerahasiaan proses penyelesaian sengketa suatu lral yang sangat dibutuhkan dalam

dunia

usaha

dapat dikatakan lebih terjamin.

Macam-macam

bukti

da larn

penyelesaian perselisihan yang

tidak

terletak dalam

bidang

yuridispun dapat

d igu nakan, sehingga

tidak

perlu

terlambat karena ketentuan undang-undang

mengenai pembuktian

yang bersangkutan.

Suatu putusan

arbitrase

pada umumnya terjam

in, tidak

rne-mihak.

mantap dan

jitu

karena diputuskan oleh orang yang ahli

yang

pada umumnya menjaga

nama dan martabatnya oleh karena

kebiasaan berprofesi dalarn bidang tersebut.

Keuntungan

yang lain

adalah

peradilan arbitrase

potensial menciptakan profesi yang lairr,

yaitu

sebagai arbriter yang me-rupakan faktor pendorong untuk para ahli lebih menekuni bidangnya untuk mencapai tingkat paling atas

secara nasional (Agnes

M.

Toar, 1995:45).

Jika

ditinjau

dari

prosed u r

terjadinya

arbitrase maka sekurang-kurangnya dapat dibedakan tiga tahap

besar yaitu :

Negoisasi yang dimaksud adalah

negoisasi

yang

rnenghasi lkan penyusunan perjanjian arbitrase

dagang.

Pengangkatan para arbriter dan penyelenggaraan (sidang-sidang arbitrase sendiri).

Putusan arbitrase dan pelaksanaan putusan arbitrase (Agnes M. Toar,

(15)

1995. 15).

Di

sarn ping tahap-tahap tersebut yang perlu diperhatikan ialah bagian-bagian terpenting dalam suatu perjanjian arbitrase. Suatu perjanjian arbitrase yang

baik terdiri atas bagian-bagian yang hakiki sebagai berikLrt :

a.

Persetuiuanmenyerahkansengketa yang tirnbul dari suatu perjanjian

dagang pada suatu

arb itrase.

Persetujuan mengenai lral ini harus

dinyatakan secara eksplisit sebagai

salah

satu

syarat

perjanjian arbitrase itu dengan tanpa disertai

alasan-alasan

memilih

cara penyelesaian secara arbitrase.

b.

Penentuan aturan-aturan yang akan

d ipa l<a

i

dalam

sidang-sidang mencakup pula jurnlah sidang dan

trlacam-trlacam pembuktian.

c.

Penentuan tempat sidang arbitrase d itentukan para pihak berdasarkan faktor-faktor yang dipandaug

pal-ing

nrenguntungkan

dari

seg i

ekonorni. Kalau rnemilih salah satu

badan arbilrase yang telap seperti Peradilan Arbitrase lnternasional (lCC) di Paris, Peradilan Arbitrase lnternasional di London, Lembaga

Arbitrase

Stockholrn. Asosias i

Arbitrase

A

merika, dan

Pusat Penyelesaian sengketa Investas i

Internasional

(ICSID),

maka ternpat tidak menjadi masalah.

d.

Penentuan (umlah) para arbiter(di

L.rdonesia syarat.i um lalr ganj i l).

e

Perliliharr

hukum yang berlaku

(bagi arbitrase Internasional) dan

bahasa

yang

digunakan dalam sidang nraupun putusan para

arbi-ter.

f.

Peneltuan waktu putusan arbitrase

harus sudah ada. sehingga bagi para

pilrak semuanya jelas dan dapat

merr gadakan perencanaan

selanjut-IDEA EDISI 06 TAHUN 1420 H / 1999 M

nya berdasarkan

jadwal

tersebut (Agnes M. Toar, 1995 : hal.49).

METODOLOGI PENELITIAN

l.

Bahan/MateriPenelitian

a.

Dalu Printer

Dalarn penelitian

ini

data prinrer

yang

digunakan adalah

dengan mempelajari, menelaah dan menganalisa p€raturan-peraturan

yang

be rka ita n

dengan persoalan mengenai penyelesaian sengketa yang berdasarkan Alternative Dispure Resolution d iantaranya adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Rv. Undang-UndangNo. 22 tahun

1957, Undang-Undang No. l2tahun 1964.

Undang-Undang

No. 4 tahun

1982.

Keppres No. 55 tahun 1993 dan

peraturan-peraturan yang berkaitan dengan arbitrase.

b.

Datq Sekunder

Data sekunder yang d igu nakan dalam penelitian

ini

adalah data-data kepustakaan/l iteratur yang menjelaskaD

secara

teoritis

terhadap

p raktek

penggunaatl AI tetn ative Dispu te Rc so

lu-tion

sebzgai salah satu alternatif untuk menyelesaikan sengketa.

2.

Cara Pengumpulan Data Karena penelitian

ini

merupakan

penelitian

kepustakaan

nraka pengumpulan data dalarn penelitian ini adalah dilakukan dengan cara nrenrbaca, menelaah, mempelajari dan menganalisis peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, rrakalah-rnakalah yang ada

kaitannya dengan nrasalah penyelesaian

serrgketa dengan cara A I lern a tiv e D i,; pute

Resolution.

Kem ud

ian

dengan

bahan kepustakaan

ini

dikategorikan rneniadi tiga kelompok besar, yaitu :

a.

Bahan Hukum Prinier
(16)

a.l.

Rv

a.2. Undang-Undang No. 22 tahun 1957

tentang

Penyelesaian

Per-selisihan Perburuhan.

a.3. Undang-Undang No. l2 tahun

1964 tentang Pemutusan Hubungan

Kerja

di

Perusahaan-perusahaan Swasta.

a.4. Undang-Undang No. 4 tahun I 982 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

a.5. Keputusan Presiden

No.

55

tahun 1993 tentang

Pengadaan

Tanah

Bagi Pelaksanaan

Pem-bangunan

Untuk

Kepentingan Umum.

a.6.

Keb ijakan-keb

ijakan

yang dikeluarkan oleh pemerintah yang

berkaitan dengan Alternative

Dis-pute Resolution.

a.7. Bentuk-bentuk A lternative Dispute Resolution yang digunakan

o

leh

masyarakat dalam

penye-lesaian sengketa.

b.

Bahan Hukum Sekunder

b.l . Buku-buku mengenai Alterna-tive Dispute Resolution.

b.2.

Buku-buku

mengenai Arbitrase

b.3. Jurnal Hukum

c.

Bahan Hukum Tersier

c.l.KamusHukum

c.2. Kamus Besar Bahasa

lndone-sia

3,

Alat

Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang

di-gunakan dalam penelitian

ini

rnencakup

studi dokumen yang dilakukan dengan cara berusaha menemukan data-data yang

berasal

dari tulisan

para

ahli

yang berkaitan dengat't

Allernative

Dispute Resolulion.

Hasil dari studi

dokutnen ini

f6

kemudian dianalisis secara kualitatif dan

kornparatif.

4.

Teknik Analisis Data

Analisis

kualitatif

dilakukan

dengan cara mengelornpokkan menye-leksi data yang diperoleh dari penelitian

kepustakaan,

menurut

mutu

dan kebenarannya

dan

kernudian

diper-gunakan

untuk

memecahkan

dan

menjawab permasalahan. Sedangkan analisis komparatif dilakukan dengan

membandingkan

antara

peratu ran

-peraturan yang ada kaitannya dengan pelaksanaan Allernalive Dispute Resolu-/ion dalam proses penyelesaian sengketa.

PEMBAHASAI{

A.

Gambaran Umum Tentang Eksistensi Alternative Dispute Resolution di Indonesia

Bagi

masyarakat

Indonesia

eksistensi Alternal ive Dispute Resol ul ion

bukan rnerupakan fenomena yang tidak

asing lagi, hal inidikarenakan sudah sejak

zaman

dahulu

masyarakat I ndones ia

sudah mengenal adanya pendekatan

musyawarah

untuk mufakat

(yan g merupakan inti atau esensi dari

Alterna-tive Dispute Resolztrbnl di dalam proses pengambilan keputusan dan penyelesaian sengketa yang brsumber dari masyarakat dan hukum adat. Dengan demikian secara

kultural

masyarakat lndonesia sudalr menyediakan landasan kuat dan kondusif

bagi eksistensi dan pengembangan A I ter

-native Dispule Resolution.

Pendekatan musyawarah kedalarn

hukum nasional antara lain dapat dilihat dalam prosedur pengadaan tanah bagi

pelaksanaan

pembangunan

untuk kepentingan

umum

(Keppres

No.

55

tahun 1993). penyelesaian perselisiharr perburuhan berdasarkan Undang-Undang

(17)

No.22 tahun 1957, penetapan ganti rugi

dan

pemulihan lingkungan

akibat

pencemaran atau kerusakal lingkungan berdasarkan Pasal 20 ayat

(2)

dan (3)

Undang-Undang No. 4 tahun I982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan

Lingkungan, perdamaian yang terjadi di

dalam masyarakat pedesaan, dan prosedur

penyelesaian sengketa yang d ilakukan

oleh

masyarakat perdagangan yarrg

banyak rnem

ilih

penyelesaian secara

nrusyawarah untuk rnulakat

di

dalam

persengketaan bisn is mereka.

B.

Eksistensi Alternative Dispute Resolution Di Dalam

Pengadaan Tanah

Untuk

Pembangunan

Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum

diatur di dalarn Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 tentang Pengadaan tanah

bagi

pelaksanaan pembangunan bagi

kepentingan

u rn

urn. Keppres

in i

menyediakan

bentuk

negos ias i

(perundingan langsung) antara instansi pemerintalr

yang

memerlukan tanah

dengan pemegang hak atas tanah dengan para wakil-wakil dari para pemegang hak atas tanah. Menurut ketentuan Pasal

l0

ayat

(l),

(2) dan (3) proses musyawarah

itu

d ipim p

in

oleh

ketua

panitia

pengadaan tanah.

Fungsi ketua panitia pengadaan

tanah selaku pemimpin dalam proses

musyawarah mendekati fungsi seorang nred

iator

sepanjang

ketua

panitia

pengadaan tanah berperan membantu instarrsi pernerintah yang rnemerlukan

tanah dan para pemegang hak atas tanah

untuk mencapai kesepakatan, bertindak netral selama proses rnusyawaralr dan

tidak

memaksakan sebuah

be ntu k

penyelesaian kepada para pihak. Jika

ketua panitia pengadaan tanah dalam

IDEA EOISI 06 TAHUN 1420 H / I999 M

proses musyawarah memainkan peran sebatas memberikan bantuan, netral dan tidak memaksakan suatu penyelesaian,

maka secara konseptual ketua panitia

pengadaan tanah tersebut telah memenuhi

kategori

sebagai seorang med iator, rneskipun

di

dalam Kepr.rtusan Presiden No. 55 tahun 1993 tidak menyebutkan

adanya istilah rnediator.

Disisi lain Keputusan Presiden No.

55 tahun

1993

juga

memuat bentuk penyelesaian sengketa

mirip

dengan arbrisi. Hal ini bisa dilihat di dalam Pasal

19 Keppres

No. 55 tahun

1993 yang

bunyinya sebagai

berikut

: "Apabila

musyawarah telah diupayakan berulang

kali

dan kesepakatan mengenai bentuk

dan besarnyaganti kerugian tidak tercapai

jrga,

pan it

ia

pengadaan

tanah

mengeluarkan

keputusan

mengenai

bentuk dan besarnya

ganti

kerugian,

dengan sejauh mungkin memperhatikan pendapat,

keinginan,

saran dan

pe--timbangan

yang

berlangsung dalam

musyawarah".

Dari bunyi Pasal

l9

Keppres No.

55 tahun

1993

tersebut terlihat bahwa Pasal tersebut memberikan kewenangan

kepada panitia pengadaan tanalt untuk

mengeluarkan keputusan tentang besarnya

ganti kerugian

jita

setelah "musyawarah

telah

diupayakan

berulangkali" para

pihak

gagal

atau

tidak

rnarnpu

menghasikan kesepakatan. Dalarn konteks Pasal l9 tersebut, panitia pengadaan tanah

menjalankan fungsi sebagai arbritator. Oleh sebab itu, dengan pemberian dua

fungsi sekaligus kepada ketua pengadaan

tanah

yaitu funqsi

rnemirnpin proses musyawarah

dan furrgsi

pernbuatan

keputusan

jika

rnLrsyavvarah gagal dapat

mernberikan pengaruh psikologis l ang

negatif

kepada para

pihak,

terutama

pemegang hak atas tanah, selama proses musyawarah berlangsung.

(18)

Bentuk yang ideal adalah fungsi rl ed

iator

selama proses musyawaralt

berlangsung d ijalankan oleh nrereka yang tidak memiliki kewenangan memutus

jika

proses musyawarah gagal. Selain itu para

pihak diberi kes€mpatan atau hak untuk

menunjuk mediator. Mediator

dapat

berasal

dari

kalangan anggota DPR, DPRD, akademisi, pengara

atau

pejabat pemerintah yang

tidak

duduk sebagai anggota panitia pengadaan tanah dengan dern ik ian, selama proses musyawarah berlangsung para pilrak dapat dengan bebas dan lepas dari beban psikologis

untuk

mengemukakan

pikiran

dan argumen-argumennya.

C.

Eksistensi Alternative Dispute Resolution Dalam Proses Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

Dasar hukum dalam penyelesaian perselisihan perburuhan adalah sebagai berikut:

l.

Perselisihan perburuhan perse-orangan

diatur

dalarn Undang-Undang No. l2 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan

Kerja

di

perusahaan

swasta

beserta peraturan pe laksanaannya yaitu Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per 04/MEN/ 1986 tentang tata cara Pemutusan Hubungan Kerja

dan

Penetapan uang Pesangon, uangjasa dan ganti kerugian).

2.

Perselisihanperburuhankolektif yaitu persel isihan antara pengusaha

dengan serikat pekerja yang diatur

dalam

U ndang-U ndang

No.

22

tahun 195 7

tentang

Perselisihan

perburuhan

yang

berhubu ngan

dengan hubungan kerja dan syarat-syarat kerja.

Urrdang-undanr.:, No. 22 tahun 1957

tentaDg

"Penyelesaian

perselisihan

18

Perburuharr" berpegang pada

asas rnusyawarah untuk mencapai mufakat

dengan berpijak pada tahap penama yaitu.

bila terjadi

perselisihan perburu lr an

penyelesaiannya diserahkan kepada para

pihakyang berselisih dan bilatidak terjadi perdamaian baru diusahakan penye-lesaiannya lewat badan penye lesa iarr

perselisihan perburuhan. Badan ini dalarn gerak langkah mencari penye lesa iarr

perselisihan dasarnya adalah rnusya-warah untuk mencapai rnufakat, serta berpegang pada

pokok

acara bahwa keputusan yang

diambil tidak

dapat dijatuhkan tanpa memberikan kesempatan kepada para

pihak

yang

berselisilr. Ketentuan tersebut dapat disimpulkart dalam beberapa pasal yang terdapat diantara Undang-Undang No. 22 tahun 1957 yang antara

lain

adalah sebagai berikut:

Pasal 2 ayat (

l)

dan (2) :

(l)

Bilamana

terjadi

perselisihan

perburuhan, rnaka serikat buruh dan pengusaha mencari penye-lesaian perselisihan

itu

secara damai dengan jalan

perundingan-(2)

Persetujuan yang tercapai dalam

hal perundingan itu dapat disusun menjad

i

perjanjian

perburu han menurut ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Perjanjian Perburuan.

J

ika

dalam perundingan

yang

dilakukan para pihak yang berselisih

sendiri

tidak

dapat

memperoleh

penyelesaian, serta mereka tidak berltasrat atau bermaksud

untuk

menyerahkan

perselisihan

mereka

agar dapat

di-selesaikan dengan jalan arbitrase oleh juru

atau dewan pemisah, rnaka hal dernikian

oleh

salah satu

pihak

yang

merasa dirugikan dapat diberitahukan dengan

melalui

surat

kepada

pegrwai

yarrg

berwenang di Kantor Departemen Tenaga

(19)

Ker.ja

setempat

agar

mem peroleh perhatian dan memohon

turut campur

tangannya pemerintalr dalarn menengahi dan menyelesaikan peristiwanya dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. (Pasal

3 ayat

(l)

UU

No. 22 tahun 1957).

Pemberitahuan tersebut dapat dianikan sebagai pernr intaan kepada pegawai yang berwenang pada

kantor departeme

n

tenaga ker-ia setempat untuk memberikan perantaraaD guna rnencari penyelesaian dalam masalah perselisihan perburuhan tersebut, adalah merupakan kewajiban pernerintah untuk segera menengahi dan rnenyelesaikannya secara seadi l-adilnya. (Pasal 3 ayat (2) UU No. 22 tahun 1957). Segera setelah menerima surat pern be r ita h

uan tersebut.

pegawai Depnaker

yang

bersangkutan meng-adakan penyelid ikan dan pertimbangan-pertimbangan tentang duduknya perkara

dan

sebab

musababnya,

selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari setelah menerima

surat

pemberitahuan tad i, pegawai depnaker yang berwenang tadi harus sudah mengadakan perantaraan rnenurut cara dan ketentuan yang berlaku bagi terlaksananya perantaraan sebagai yang lazim dilaksanakan oleh Panitia PenyelesaianPerselisihan Perburuhan (P4D).

Lazimnya agar hal

di

atas dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya P4D, melakukan pernanggilan masing-masing yang terlibat (pengusaha atau wakilnya yang ditun-iuk, serikat buruh/wakilnya

yang ditun.luk) untuk

didengar

ke-terangaunva nrasing-rnasing

dan rnenja.iagi apakah kedua belah pihak dapat menyelesaikan perselisihan

itu

secara perund ingan (nr usyawarah) bersama.

Setelah

diketahui secara pasti

balrwa masing-masing pihak atau salah

satu

pihak

diantaranya

rneminta perselisihan itu agar dapat diselesaikan

IDEA EDISI 06 TAHUN 1420 H / 1999 M

melalui sidang P4D karena masalahnya tidak dapat diselesaikan, barulah pihak

P4D melakukan tugas-tugas

yang diembannya.

Tentang pelaksanaan perantaraan

penyelesaian

perselisihan,

dengan berdasarkan pada pasal 7 Undang-Undlng

No.

22 tahun 1957, P4D segera lrarus

nremberikan perantaraan

untuk menyelesaikan

perselisihan

setelah

menerima

penyerahan

pe rkara perselisihan tersebut. Untuk maksud itu P4D segera rnengadakan perund ingan dengan pihak-pihak yang berselisih dan

mengusahakan

serta

mem irnpin perundingan-perundingan antara pihak-pihak yang berselisih ke arah mencapai

penyelesaian secara

damai

penulr keadilan.

Menurut Pasal 7

ayat

(3)

persetujuan yang tercapai

karen a perundingan tersebut, bagi kedua belah pihak sangat mengikat dan mempunyai kekuatan

hukum

sebagai perjanj ian perburuhan, karenanya harus d itaati

benar-benar oleh mereka yang melakukan perselisihan tersebut.

P4D

da

lam

usahanya menye-lesaikan perselisihan perburuan tersebttt. tentunya harus berusaha semaksimal

rnu-ngkin, menggurrakan

segala sesuatu dengan mengingat hukum. perjanj ian

kerja yang telah ada.

kebiasaan. keadilan dan kepentingan negara. P4D berhak rnemberikan keputusan yang berupa yang bersifat mengikat, bila rnana

suatu

perselisihan sukar

dapat diselesaikan dengan suatu putusan yang bersifat anjuran tersebut (Pasal 8 UU No. 22 tahrn 1957).

Undang-Undang No. 22 tahun 1957 hanya rnenitik beratkan pada penyelesaian perselisihan antara serikat peker.ia atau gabungan

dari

serikat peker.ja dengan pengusaha atau kumpulan pengusaha. Hal
(20)

ini

berarti bahwa adanya perselisihan

hubungan kerja dengan pekerjayang tidak

rnenjadi serikat pekerja,

tidak

akan

rnendapat

perlindungandariUndang-Undang ini (lihat Pasal I UU No. 22 tahun 1957).

Untuk perselisihan yang bersifat

perseorangan maka ketentuan yaDg mengaturnya adalah Undang-Undang No.

l2

tahun

1964

tentang

Pemutusan Hubungan Kerja

di

Perusahaan Swasta, yang di dalam pasal 2 nya menyebutkan bahwa bila setelah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat

dihindarkan,pengusaha

harus

me-rundingkan maksudnya

untuk

memutuskan hubungan kerjanya dengan organisasi pekerja yang bersangkutan atau dengan pekerja

itu

sendiri

dalam hal pekerja

itu

tidak menjadi anggota dari salah satu organ isasi pekerja.

Dari

uraian

di

atas maka dapat

dikatakan bahwa bentuk l/re rnalive Dis-pute Resolution yang digunakan dalarn

penyelesaian perselisihan perburuan, baik

yang terdapat dalam Undang-Undang No.

22 tahun 1957 maupun yang terdapat

dalam Undang-Undang No. l2tahun 1964

adalah negoisasi. mediasi yang dilakukan

oleh pegawai perantara dan P4D.

D,

Eksistensi Alternative Dispute

Resolution Di Dalam Penyelesaian Sengketa

Lingkungan

Dalam hukum

penye lesa ian sengketa lingkungan yang berdasarkan

prinsip Alternative Dispute Resolution

dapat diketemukan di dalam Pasal 20 ayat

(2)

Undang-Undang

No.

4 tahun 1982

tentang

Keten tuan - ketentuan Pokok

Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH)

beserta penjelasannya. Pasal 20 ayat (2)

UIJLH

ini

hanya menyediakan bentuk

negoisasi dalam kerangka Tim Tri Pihak,

20

yang terdiri dari penderita atau kuasanya,

si pencemar atau kuasnya dan wakil-wakil

pemerintah.

Adapun bunyi dari pasal 20 ayat (2)

UULH

tersebut adalah sebagai berikut

:"Tata cara pengaduan oleh penderita tata cara penelitian oleh suatu

tim

tentang bentuk,jenis dan besanrya kerugian serta

tata cara penuntutan ganti kerugian diatur

dengan peraturan perundang-undangan".

Rumusan Pasal 20 ayat (2) UULH ini tidak secara tegas menetapkan tentang

jalur penyelesaian sengketa melalui Tirn

Tri

Pihak,

sebagai

alternatif

dari berperkara

di

pengadilan atas dasar perbuatan melanggar hukum (Pasal 1365

KUH

Perdata). Peraturan pelaksanaan mengenai prosedur penyelesaian sengketa

oleh tim Tri Pihak ini

sampai

sekarang

juga belum ada.

Maksud ketentuan tersebut baru

dapat dimengerti dari penjelasan Pasal 20

ayat (2) UULH, yang mencerminkan asas

musyawarah dan bunyinya adalah sebagai

berikut: "Bentuk danjenis kerugian akibat perusakan dan atau pencemaran akan

menentukan besarnya kerugian. Penel itian

tentang

bentuk,

jenis

dan

besarnya

kerugian dilakukan oleh

tim

yang

dibentuk oleh pemerintah. Penelitian

meliputi bidang ekologi, medis, sosial

budaya, dan lain-lain yang diperlukan.

Tim

yang

terdiri dari

pihak

penderita atau kuasanya, pihak pencernar atau kuasanya, dan unsur pemerintal'r

dibentuk

untuk

tiap-tiap

kasus. Jika

diperlukan dapat diangkat tenaga ahli untuk menjadi anggota

tim.

Bilamana tidak dapat tercapai kata sepakat dalam

batas

waktu tertentu,

maka

penye-lesaiannya d ilakukan melalui pengadilan

negeri".

Dari penjelasan Pasal 20 ayat (2) UULH ternyata bahwa tim yang bertugas

meneliti

bentuk,

jerris

dan besarnya
(21)

kerugian bersifat

ri pihak dan dibentuk

oleh pemerintah untuk tiap-tiap kasus. Menurut penjelasan Pasal 20 ayat (3), tim yang dimaksud dalam penjelasan Pasal

92)

d^pat pula diserahi

tugas untuk menetapkan besarnya biaya pemulihan lingkungan hidup.

Hal

ini berarti

pula,

betapa pentingnya penyusunan suatu raDcangan peraturan pemerintah tentang

tata cara gugatan dan penentuan ganti rugi,

tata

cara

penelitian

serta

tata cara

penetapan

dan

pembayaran

biaya

pemulihan lingkungan hidup, sebagai

pelaksanaan Pasal 20 ayat

(2)

UULH.

Mengingat bahwa tirn termaksud dibentuk untuk setiap kasus, kernungkinan terdapat

banyak

tim apabila terdapat sejumlah

kasus pencemaran lingkungan.

Penelitian yang dilakukan oleh tim

yang sifatnya

tri

pihak

memerlukan

bantuan

dari

para

ahli. Tenaga

ahli

terutama diperlukan dalam kaitannya

dengan beban pernbuktian

sebagai

kewajiban penggugat yang umumnya

awam dengan ilmu. Bukti yang diajukan oleh tergugat yang biasanya didampingi konsultan (pengacara) berdasarkan ilmu dan teknologi canggih yang tidak mudah

dipahami

penggugat sebagai korban

pencemaran. Kesu lita

n

pembuktian

tersebut diharapkan dapat diimbangi oleh

tenaga hal anggota

tim

tri

pihak yang

dengan kemampuan

ilmunya

dapat

rnenguji

argumentasi tergugat.

Walaupun penyelesaian sengketa lingkungan berdasarkan UULH dilakukan oleh suatu tirn

tri pihak. namun

tim

itu tidak selalu berfungsi sebagai pengambil

keputusan yang final. Peranan pengadilan rnasih diakui : "Bilamana tidak tercapai kata sepakat dalam batas waktu tertentu, rnaka penyelesaiannya di lakukan melalui pengadilan negeri" (penjelasan Pasal 20

ayat (2) UULH).

Meskipun ketentuan pelaksanaan

IDEA EDISI 06 TAHUN 1420 H / 1999 M

Pasal 20 ayat (2)

UULH belurr

dapat diundangkan, beberapa kasus sengketa

pencemara:r lingkungan telah diupayakan

melalui model

Tim

Tri

Pihak, seperti

kasus

45

keluarga

Desa

Tridadi

Kabupaten Sleman melawan PT Sibale;, kasus

9 keluarga Desa

Panggurrgharjo Kabupaten Bantul melawan PT Sarnitex,

kasus 187 keluarga

Dukuh

Tapak, Tugurejo Kodya Semarang melawan 8

industri.

<

Referensi

Dokumen terkait

Tahap-tahap penelitian meliputi: (1) isolasi fungi endofit dari kulit buah kakao, (2) seleksi fungi endofit penghasil polifenol oksidase, (3) optimasi produksi

LAPORAN PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BUKIT KACAPI RESORT Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu!.

At dahil sa kanila, magpahanggang ngayon, nakikilala natin para sa atin ang sinabi ni San Agustin, “Si Hesus ay naglaho sa ating mga mata, upang matagpuan natin siya sa

Jika terdapat duplikasi dimana penyedia telah terdaftar di dua LPSE atau lebih maka Roaming pada User ID tunggal tidak dapat dilakukan sebelum penyedia melakukan aktivasi

E:alua%i pa%(a mengalami n&amp;eri terma%uk  ri4a&amp;at in$i:i$u $an keluarga mengalami n&amp;eri kronik atau &amp;ang menimbulkan keti$akmampuan pa%ka n&amp;eri &amp;ang

Dalam penelitian ini, yang di maksud kinerja profesional guru yang bersertifikasi pendidik adalah kemampuan profesional guru yang bersertifikasi pendidik pada MI

Syukur alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang atas limpahan nikmatNYA, nikmat sehat dan sempat sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini,