• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak menyatakan bahwa darurat. kekerasan seksual pada anak (KSA) menjadi ancaman di Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak menyatakan bahwa darurat. kekerasan seksual pada anak (KSA) menjadi ancaman di Indonesia."

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

2

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak menyatakan bahwa darurat kekerasan seksual pada anak (KSA) menjadi ancaman di Indonesia. Menurut Laporan akhir tahun 2013 Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), sebanyak 3.023 kasus pelanggaran hak anak terjadi di Indonesia dan 58% atau 1.620 anak jadi korban kejahatan seksual. Dibandingkan dengan tahun 2012, jumlah korban kekerasan seksual pada anak tahun 2013 naik hingga mencapai 60% (Komnas PA, 2013). Dilihat dari klasifikasi usia, dari 3.023 kasus tersebut, sebanyak 1.291 kasus (45%) terjadi pada anak berusia 13 hingga 17 tahun, korban berusia 6 hingga 12 tahun sebanyak 757 kasus (26%), dan usia 0 hingga 5 tahun sebanyak 849 kasus atau 29%.

Khusus untuk DIY, kasus KSA ditangani oleh Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Berdasarkan data P2TP2A dari tahun 2009 sampai dengan 2010 terjadi sebanyak 81 kasus yang terdiri atas KSA, kekerasan fisik dan kekerasan fisik / penelantaran dan 40% di wilayah Sleman, 26% di kotamadya, 18% di Bantul, 10% di Gunung Kidul dan 5% di Kulon Progo (Laporan data Kasus P2TP2A, 2010). Data dari BPPM/ FKP2PA Provinsi DIY menjelaskan bahwa pada tahun 2009, jenis kekerasan yang paling banyak dilakukan pada anak adalah kekerasan seksual, yakni sebanyak 152 kasus (72,7%). Jenis kekerasan pada anak yang paling banyak dilakukan di tahun 2010 tetap berupa kekerasan seksual, yakni sebanyak 113 kasus (61,4%).

Sumber data lain diperoleh dari LPA (Lembaga Perlindungan Anak) provinsi DIY mengenai angka kejadian kasus kekerasan seksual yang ditangani oleh LPA provinsi DIY. Data menunjukkan bahwa dari tahun 2001 hingga 2012

(2)

3

selalu ada kasus KSA yang ditangani LPA provinsi DIY. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap tahunnya selalu terjadi kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Kasus Kekerasan Seksual

Tahun Laki-Laki Perempuan Total

2012 5 17 22 2011 10 27 37 2010 10 24 34 2009 14 18 32 2008 8 23 31 2007 6 9 15 2006 1 5 6 2005 6 11 17 2004 6 21 27 2003 13 25 38 2002 8 14 22 2001 - 1 1

Tabel 1. Data Statistik Kasus Kekerasa Seksual yang ditangani oleh LP Provinsi DIY di Daerah IstimewaYogyakarta.

Kekerasan terhadap anak-anak (KSA) menurut The National Center Of Child Abuse and Neglect adalah kontak seksual antara anak dan orang yang lebih dewasa yang menggunakan anak sebagai pemuas nafsu seksualnya. KSA ini melibatkan anak-anak sampai dengan usia 18 tahun. KSA termasuk juga didalamnya ekhibisionisme, mengintip, membelai, merayu, seks oral dan hubungan seksual (Ayres, 2007). Kekerasan seksual pada anak adalah bentuk pelecehan dimana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk mendapatkan rangsangan seksual. Pelaku pelecehan seksual pada anak-anak pada sebagian besar kasus yang terjadi adalah orang yang dekat dengan korban, sehingga resiko anak menjadi korban menjadi besar.

Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak RI no.23 tahun 2002 pasal 1 ayat 1, yang dimaksud dengan “anak” adalah seseorang yang belum berusia 18

(3)

4

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan. UU PA no. 23 tahun 2002 menyebutkan bahwa, setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (UU RI No.23 tahun 2002).

Okoroafor (2012) mengemukakan bahwa kekerasan seksual pada anak adalah penyalahgunaan kekuasaan ketika orang yang lebih tua, kuat dan berpengetahuan mengambil keuntungan dari anak untuk memuaskan kepuasan emosi dan seksual. Kekerasan pada anak adalah perbuatan fisik dan sebuah pengalaman psikologis. Perbuatan fisik, dimaksudkan bahwa kekerasan terhadap anak melibatkan sentuhan dan non sentuhan. Sebagai pengalaman psikologis dimaksudkan bahwa kekerasan pada anak merepresentasikan penyalahgunaan kekuasaan dan otoritas. Pelaku kejahatan memuaskan kepuasan emosional dan seksualnya, dan anak-anak terluka serta mengalami kebingungan.

Kekerasan seksual pada anak-anak dapat mengakibatkan trauma fisik, mental, sosial, maupun perilaku. Selanjutnya, KSA mempunyai dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Briere & Runtz (dalam Meyerson, 2002) menemukan bahwa orang dewasa yang mengalami kekerasan seksual waktu anak-anak menderita permasalahan emosional dan perilaku di kemudian hari. Wohab dan Akhter (2010) menyebutkan bahwa anak yang memiliki pengalaman kekerasan dalam waktu yang lama akan menyebabkan rendahnya self-esteem, perasaan tidak berharga, pandangan yang tidak baik terhadap seks. Anak juga menjadi pendiam dan curiga terhadap orang dewasa, dan akan tertekan dalam

(4)

5

kehidupannya. Mereka tidak dapat menaruh perhatian sepenuhnya terhadap pekerjaan dan tugas-tugas yang lain.

Margaritoiu (2010) menyampaikan hal yang sama bahwa kekerasan seksual pada anak akan memberikan dampak yang bervariasi pada kepribadian korban seperti reaksi emosi, persepsi diri, reaksi fisik dan somatis, seksualitas, dan hubungan sosial. Efek dari kekerasan seksual (seperti kecemasan, depresi, perilaku agresif, perilaku menarik diri dari pergaulan) tergantung pada intensitas dan frekuensi dari kekerasan seksual yang terjadi pada korban. Kilpatrick (dalam Okofoar, 2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa KSA dapat mencederai kondisi emosional psikologis dan kesehatan fisik. Kesulitan emosi dan perilaku ini dapat menimbulkan gangguan yang signifikan pada perkembangan anak normal dan seringkali berdampak selamanya, yang mengarah kepada disfungsi dan stress ketika memasuki masa dewasa. Konsekuensi CSA tidak terbatas pada korban tetapi juga berpengaruh kepada masyarakat secara keseluruhan.

Melihat banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan dari perilaku kekerasan seksual pada anak-anak, maka sudah sepantasnya dilakukan upaya pencegahan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak-anak. Pencegahan primer diperlukan untuk menekan terjadinya kasus KSA. Anderson dkk (dalam Wurtele dan Kenny, 2010), tujuan dari dilakukannya prevensi primer adalah untuk mecegah terjadinya kekerasan dan dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan pada anak, orangtua, dan komunitas. Wurtele (dalam Scholes, 2002) menyampaikan bahwa inilah saat bagi orang dewasa untuk berkontribusi dalam melindungi anak-anak dan menciptakan lingkungan yang

(5)

6

aman dengan mengimplementasikan intervensi pencegahan yang meliputi guru, orang tua, dan praktisi sebagai pendekatan interdisipliner yang memiliki potensi besar dalam menjaga anak-anak agar aman dari KSA. Pada penelitian ini, tujuan prevensi primer adalah untuk meningkatkan kekuatan individu (increasing individual strengths) dan mengurangi kelemahan individu (decreasing individual limitation). Prevensi primer berbasis sekolah dilakukan melalui psikoedukasi pelatihan yang diberikan kepada sebagai agen pengubah pencegahan kekerasan seksual pada anak. Dekade terakhir ini terlihat fokus sekolah sangat meningkat pada perlindungan dan pencegahan kekerasan pada anak, khususnya pada kekerasan seksual terhadap anak (Goldman dan Ronkin, dalam Goldman, 2011)

Sekolah merupakan tempat yang efektif untuk menyebarluaskan informasi, membentuk sikap dan mengembangkan keterampilan (Pohan, dkk, 2011). Goldman (2014) mengemukakan bahwa guru, sebagai pendidik dan pengasuh profesional anak, idealnya ditempatkan untuk berkontribusi terhadap perlindungan anak. Guru diharapkan dapat memfasilitasi pencegahan KSA di kelas. Wurtele (dalam Scholes, 2012) juga menyampaikan bahwa guru memiliki peran yang signifikan dalam pencegahan KSA dan memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan pemahaman yang berkontribusi pada keamanan anak-anak dalam penjagaan mereka. Prevensi KSA semakin banyak dan berkembang, termasuk edukasi yang berbasis pada orangtua dan anak yang diajarkan guru melalui sistem pendidikan di sekolah (Kenny, Capri, Reena, Kolar, Ryan & Runyon, 2008). Arnold (dalam Scholes 2012) peran signifikan guru semakin dikenal, dengan memahami bahwa partisipasi pendidik merupakan sesuatu yang

(6)

7

penting dalam kesuksesan pencegahan berbasis sekolah. Mathews (2011) menyampaikan bahwa perlu untuk mengetahui keadaan saat pelatihan guru, pengetahuan dan keyakinan tentang pelecehan seksual anak, sehingga pihak sekolah dapat menentukan pelatihan yang perlu dikembangkan atau ditingkatkan untuk meningkatkan pengembangan profesional guru dan lebih melengkapi untuk memenuhi peran mereka dalam konteks pencegahan KSA ini.

Beberapa penelitian yang menggunakan guru sebagai agen antara lain Wijayanti (2013) melakukan penelitian guru sebagai mediator dalam sosialisasi kesehatan reproduksi pada siswa SLTP. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada peningkatan pengetahuan dan keterampilan berceramah pada guru yang diberi pelatihan. Penelitian yang dilakukan oleh Paramastri, Prawitasari, Prabandari, dan Ekowarni, (2011) mengenai guru SD sebagai agen pengubah untuk prevensi terhadap kekerasan seksual pada anak, menyebutkan meningkatnya pengetahuan tentang pencegahan KSA pada guru. Penelitian yang dilakukan oleh Islawati (2014) mengenai program “Jari Peri” (Guru ajari perlindungan diri) kepada guru SD Swasta menunjukkan bahwa efikasi guru dalam mengajar prevensi KSA kepada siswa pada kelompok eksperimen lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Penelitian yang dilakukan oleh Mahanani (2014) menunjukkan bahwa program “Jari Peri” (Guru ajari perlindungan diri) efektif dalam meningkatkan efikasi mengajar pencegahan KSA pada guru sekolah dasar negeri. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Wahida (2014) menunjukkan bahwa program “Jari Peri” dapat meningkatkan keterampilan mengajar pencegahan KSA pada guru SLB, namun tidak dapat meningkatkan efikasi mengajar pencegahan KSA pada guru

(7)

8

SLB. Penelitian berikutnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Supardi (2014) pada tenaga pendidik-non formal menunjukkan bahwa keterampilan mengajar pencegahan KSA pada kelompok eksperimen yang diberikan pelatihan program “Jari Peri” lebih tinggi daripada kelompok kontrol.

Penelitian yang dilakukan oleh Okoroafor (2012) pada guru taman kanak-kanak di Nigeria bertujuan untuk menggali pengetahuan guru mengenai prevensi KSA pada anak-anak. Hasil penelitiannya menunjukkan guru kurang memahami konsep KSA sehingga perlu di dorong untuk fokus pada pencegahan dini KSA dengan membangun pengetahuan masayarakat tentang KSA. Penelitian yang dilakukan oleh Hurtado, Katz, Ciro, dan Guttfreund (2013) pada 100 guru di Salvador, menyimpulkan bahwa seluruh guru yang menjadi subjek penelitian setuju bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk mengajar siswa tentang pelecehan seksual sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan. Disimpulkan juga bahwa guru Salvador yang memiliki pengetahuan tentang deteksi dan pelaporan KSA akan mendukung sebuah program yang dapat melatih mereka untuk berbicara kepada siswa mereka tentang topik KSA.

Selama ini usaha prevensi KSA berbasis sekolah belum banyak dilakukan, terutama di tingkat pendidikan taman kanak-kanak. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh beberapa psikolog puskesmas di wilayah Yogyakarta, yang pertama yaitu Psikolog di kecamatan Gamping bahwa penyuluhan terkait dengan pencegahan KSA ini sudah ada di dalam program kerja, namun frekuensinya masih tergolong sedikit yaitu satu kali dalam setahun dan tidak merata ke seluruh sekolah ataupun kelompok kader di wilayah kecamatan tersebut. Informasi lain

(8)

9

yang diperoleh dari psikolog di puskesmas kecamatan Gondomanan menyampaikan bahwa program penyuluhan pencegahan KSA ini dilakukan secara insidental, dalam satu tahun diadakan penyuluhan satu kali di lingkungan desa, dan belum pernah dilakukan penyuluhan ke sekolah-sekolah. Sedangkan berdasarkan infomasi yang diperoleh dari psikolog di puskesmas kecamatan Mantrijeron, menyampaikan bahwa penyuluhan terkait pencegahan KSA ini belum ada di dalam program kerja. Berdasarkan hasil wawancara dengan 3 subjek guru TK di Kecamatan Gamping Sleman pada tanggal 30 Januari 2014 diperoleh beberapa temuan penting, yang pertama lingkungan sosial disekitar TK yang terdapat banyak rumah kos cukup mengkhawatirkan para guru, karena beberapa mahasiswa penghuni kos seringkali menunjukkan perilaku yang kurang pantas dilihat oleh anak usia TK yaitu menunjukkan kemesraan dengan pasangannya di depan umum. Anak-anak ini juga kerap kali bermain bersama mahasiswa yang kos di sekitar rumahnya yang lebih tua usianya dibanding dengan anak-anak sehingga ada kekhawatiran dari pihak guru terkait dengan pola interaksi saat anak-anak bermain dengan orang yang lebih tua usianya dengan anak-anak-anak-anak tersebut karena pola pergaulan yang ditunjukkan oleh beberapa mahasiswa di lingkungan tersebut. Yang kedua, beberapa murid TK menunjukkan perilaku dan permainan yang dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif kepada anak usia TK yaitu bermain pasangan-pasangan atau dalam bahasa jawa biasa disebut dengan manten-mantenan. Selain temuan-temuan tersebut, diperoleh informasi juga bahwa guru-guru TK selama ini belum memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai kekerasan seksual pada anak dan juga belum mengetahui upaya

(9)

10

pencegahan yang dapat dilakukan oleh guru di sekolah. Guru-guru TK menyampaikan bahwa mereka mengetahui terjadinya kasus-kasus KSA di media massa seperti telivisi dan koran. Mereka merasa prihatin dengan beberapa berita yang mereka lihat dan dengar di media massa mengenai kasus-kasus KSA tersebut, namun mereka masih merasa kesulitan dan kebingungan ketika ingin menyampaikan materi mengenai pencegahan KSA kepada anak muridnya. Guru merasa kurang yakin akan kemampuannya untuk menyampaikan dan mengajarkan prevensi KSA kepada para muridnya di TK. Selama ini guru hanya menyampaikan materi sesuai dengan rancangan kegiatan harian (RKH) yang sudah dibuat. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh guru-guru di kecamatan Godean, bahwa masih ada sebagian besar guru yang ragu ketika menyampaikan materi yang berkaitan dengan pencegahan KSA ini karena mereka tidak yakin mampu menyampaikan materi tersebut kepada para murid. Oleh karena itu diperlukan pelatihan kepada guru TK sebagai sarana untuk memberikan informasi dan keterampilan bagi guru TK dalam upaya meningkatkan efikasi diri guru dalam mengajar KSA sebagai bentuk pencegahan KSA berbasis sekolah.

Konsep Bandura tentang efikasi diri adalah kepercayaan bahwa seseorang dapat menguasai sebuah situasi dan memberikan hasil yang baik pada situasi tersebut. Efikasi diri guru akan memiliki pengaruh yang besar pada kualitas mengajar siswanya (Santrock, 2008). Pemilihan pada taman kanak-kanak (TK) bertujuan sebagai pencegahan dini terhadap kekerasan seksual. Wash (dalam Scholes, 2012) mengemukakan bahwa guru yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap positif terhadap perlindungan anak dapat berkontribusi

(10)

11

dalam keamanan murid-muridnya. Kenny,dkk (2008) menyampaikan hal yang sama bahwa program prevensi seharusnya juga melibatkan orang tua dan guru dengan memberikan pengetahuan kepada mereka. Guru yang dibekali dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif dapat merespon dan membantu anak-anak yang dianiaya, termasuk mereka yang menjadi korban dari berbagai macam kejahatan, dengan meningkatkan potensi belajar mereka dan memastikan keselamatan masa depan mereka (Walsh, 2011).

Guru memegang peran yang penting dalam proses belajar mengajar di sekolah, terutama sebagai contoh atau model yang selanjutnya akan ditiru oleh peserta didik. Proses belajar dengan contoh melalui pengamatan dan pengalaman secara langsung ini sesuai dengan pandangan teori kognitif sosial. Bandura (1986) teori kognitif sosial Bandura memandang bahwa manusia dapat belajar dari pengalaman langsung, tetapi lebih banyak yang mereka pelajari dari aktivitas mengamati perilaku orang lain. Informasi yang diperoleh dari aktivitas mengamati akan lebih banyak tertahan dalam proses kognitif dan perkembangan sosial, sehingga manusia memiliki pengetahuan dan keterampilan.

Penelitian ini bertujuan mempersiapkan guru sebagai agen pencegahan KSA dalam menyampaikan materi pencegahan KSA keada murid TK. Proses pembelajaran menggunakan prinsip sosial kognitif oleh Albert Bandura. Teori kognitif sosial menyatakan bahwa sosial, kognitif dan perilaku memegang peranan yang penting dalam belajar. Bandura (1986) teori kognitif sosial Bandura memandang bahwa manusia dapat belajar dari pengalaman langsung, tetapi lebih banyak yang mereka pelajari dari aktivitas mengamati perilaku orang lain.

(11)

12

Informasi yang diperoleh dari aktivitas mengamati akan lebih banyak tertahan dalam proses kognitif dan perkembangan sosial, sehingga manusia memiliki pengetahuan dan keterampilan.

Bandura mengembangkan model determinisme resiprokal yang mengandung tiga faktor dasar yaitu perilaku, personal dan lingkungan. faktor-faktor ini saling berinteraksi sehingga dapat mempengaruhi proses belajar. Guru memiliki faktor personal berupa kemampuan menangkap informasi yang siberikan serta melakukan elaborasi terhadap pemahaman yang sudah dibentuk selama ini. Lingkungan sekitar guru mendukung proses pembelajaran dengan memberikan pelatihan bagi guru untuk melatih para guru menjadi agen pencegahan KSA. Kedua hal tersebut akan mendorong guru untuk berperilaku yang diharapkan yaitu aktif dalam berperan sebagai agen pencegahan KSA di sekolah. Teori belajar sosial menyatakan bahwa seseorang dapat belajar dengan mengamati perilaku dan sikap orang lain ( Bandura, 2005).

Proses pembelajaran dalam pelatihan ini mengacu pada keempat proses observational learning (pembelajaran melalui pengamatan) Bandura. Trainer sebagai ‘model’ akan menyampaikan pengetahuan mengenai KSA dan pencegahannya dan mengajarkan keterampilan menyampaikan pengetahuan KSA ke murid-murid di TK dalam bentuk simulasi yang kemudian akan diamati oleh peserta. Proses pertama yaitu attention merupakan proses memperhatikan perilaku model secara tepat. Seseorang menentukan hal yang diamati dari sekian banyak stimulus yang ada pada model dan menentukan informasi yang diambil dari model tersebut. Pada tahap ini, peserta pelatihan yaitu guru TK diharapkan untuk

(12)

13

memperhatikan materi yang disampaikan oleh trainer sebagai ‘model’. Peserta akan memperhatikan jika ia tertarik kepada model sebagai hal yang diamati dan juga pada materi yang disampaikan. Proses kedua yaitu retention,merupakan tahap individu mengingat informasi dan hal yang diperoleh dari pengamatan pada model . informasi diingat dan dikodekan dalam bentuk simbol-simbol verbal yang nudah digunakan. Pada proses ketiga yaitu production, peserta akan mewujudkan informasi yang sudah didapat dan dikodekan dalam bentuk tindakan yang efektif. Proses terakhir yaitu motivasional. Individu mendapatkan motivasi ketika menjalani proses obervational learning ini. Guru diberikan motivasi Penguatan tersebut dapat berupa pujian, motivasi, dan juga umpan balik dari trainer saat pelatihan berlangsung.

Gambar 1. Alur Penelitian Program´”Jari Peri” Perilaku meyampaikan Materi Pencegahan KSA Yang akan dipelajari

Guru menerjemahkan gambaran simbolik yang dipelajatri dari model dalam bentuk perilaku

menyampaikan materi penyampaian KSA dan diberi umpan balik. Guru mengingat perilaku

trainer/model dan disimbolisasi

dalam bentuk simbol verbal.

Trainer/ model memperagakan

keterampilan menyampaikan materi KSA

Guru diberikan pengetahuan tentang KSA dan pengetahuan keterampilan dalam menyampaikan materi KSA

Attention

Retention

Production

Motivasional

Guru mendapatkan penguatan positif dan memperoleh umpan balik. Guru memiliki pola perilaku seperti model dalam menyampaikan materi pencegahan KSA

(13)

14

Guru memperoleh pengetahuan dan keterampilan dengan mengamati dan mencontoh aktivitas-aktivitas selama proses pelatihan. Guru juga diberikan kesempatan untuk mempraktekkan langsung materi yang telah disampaikan ke siswa agar mampu mengevaluasi pembelajaran yang telah dilakukan. Dengan adanya pengetahuan dan keterampilan dalam menyampaikan materi KSA kepada murid TK,maka guru akan memiliki keyakinan yang lebih kuat bahwa mereka mampu menyampaikan materi pencegahan KSA tersebut kepada para muridnya di TK dengan baik.

Bandura (dalam Zimmerman, 2000) mendefinisikan efikasi diri sebagai penilaian pribadi mengenai kemampuan seseorang untuk mengatur dan melaksanakan aksi untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan dan ia berusaha untuk menilai tingkat dan kekuatan di seluruh kegiatannya.

Menurut Zulkosky (2009), efikasi diri didefinisikan sebagai penilaian seseorang mengenai kemampuannya melakukan kegiatan tertentu untuk mencapai hasil tertentu. Terdapat empat sumber utama efikasi diri yakni pencapaian prestasi, vicarious experience dengan mengamati perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, persuasi verbal yang digunakan untuk memberikan keyakinan bahwa seseorang memiliki kemampuan yang memungkinkan ia mencapai apa yang ingin digapai, dan kondisi fisiologis yang mempengaruhi seseorang menilai sebagian dari kemampuannya, kekuatan dan kerentanan mengalami gangguan.

Guru yang memiliki efikasi diri yang tinggi lebih mampu menggunakan strategi intruksional secara efektif, lebih mampu memastikan partisipasi siswa dan lebih sukses dalam keterampilan manajemen kelas (Capraca, Barbaranelli, Steca

(14)

15

dan Malone, dalam Ozder, 2011). Guru dengan efikasi diri tinggi dapat menunjukkan resiliensi yang lebih baik dalam mengajar dan memiliki usaha yang lebih keras membantu semua siswa untuk meraih potensi mereka (Pendergast, 2011).

Pada penelitian ini, sumber-sumber efikasi guru disediakan dalam program “Jari Peri” yang diberikan kepada guru. Beberapa sumber efikasi yang terdapat dalam pelatihan ini meliputi enactive attainment, vicarious experience dan persuasi verbal yang diperoleh selama proses pelatihan. Pada pelatihan ini, terutama pada sesi 3 memaksimalkan media pendukung dan sesi 4 mengenai bahasa dan manajemen kelas sekaligus praktek roleplay mengajar pencegahan KSA, guru dapat mengamati trainer sebagai model dalam mengajarkan prevensi KSA kepada murid TK. Guru sebagai peserta pelatihan juga mendapatkan persuasi verbal dari trainer yang memberikan motivasi kepada guru agar guru memiliki keyakinan yang kuat bahwa mereka dapat secara baik dan benar menjadi agen prevensi KSA. Persuasi verbal diberikan oleh trainer kepada peserta pada sesi 2 mengenai peran guru sebagai agen prevensi KSA, sesi 3 memaksimalkan media pendukung dan sesi 4 mengenai bahasa dan manajemen kelas.

Melalui program yang diberikan dalam penelitian ini, guru akan diberikan pengetahuan dan keterampilan prevensi KSA dalam bentuk psikoedukasi pelatihan. Materi yang disampaikan berupa aspek-aspek prevensi KSA yakni pengetahuan tentang KSA, cara perlindungan diri terhadap KSA dan peran guru sebagai agen prevensi KSA sehingga kekerasan seksual pada ABK dapat dicegah secara dini (Walsh & Brandon, 2011). Pertama guru diberikan pengetahuan

(15)

16

mengenai definisi, faktor penyebab, dampak-dampak dan pelaku KSA, kemudian guru diberikan kesadaran dan motivasi bahwa guru memilki peran sebagai agen pencengahan KSA di sekolah, yang terakhir guru diajarkan bagaimana cara proteksi dan cara mengajarkan proteksi diri kepada siswa terhadap KSA. Guru juga diberikan pengetahuan tentang perkembangan kognitif, perkembangan bahasa agar dalam mengajarkan prevensi KSA dapat menyesuaikan dengan perkembangan anak didiknya. Adapun yang diajarkan dalam proteksi diri adalah nama semua organ tubuh dengan benar termasuk nama organ, fungsi dan signifikansi ”bagian pribadi” (puting susu, alat kelamin, dubur) dimulai dari sekolah. Anak diajari untuk mengatakan ”tidak” pada semua tindakan orang lain yang membuat anak merasa tidak nyaman, khususnya tindakan yang mengarah pada ”area pribadi”. Anak diberi kesempatan untuk melaporkan/ menceritakan kepada orang dewasa yang dipercaya apapun yang dialami oleh anak.

Pencegahan primer yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan psikoedukasi pelatihan. Menurut Supratiknya (2011) psikoedukasi merupakan pengembangan dan pemberian informasi dalam bentuk pendidikan masyarakat mengenai informasi yang berkaitan dengan psikologi populer/sederhana atau informasi lain yang mempengaruhi kesejahteraan psikososial masyarakat. Pemberian informasi ini dapat mempergunakan berbagai macam media dan pendekatan.

Psikoedukasi dalam penelitian ini adalah program “Jari Peri” yaitu program guru ajari perlindungan diri kepada siswa, Modul program Jari Peri disusun oleh Islawati, Mahanani, Wahida dan Simsion (2014). “Jari Peri” disimbolkan sebagai

(16)

17

seorang guru yang menjadi agen untuk melakukan pencegahan KSA di lingkup sekolah dan menolong siswa dari bahaya KSA di sekolah. Program “Jari Peri” menggunakan media bantuan video dan gambar dalam menjelaskan materi KSA dan pencegahanya yang disajikan dalam bentuk pelatihan. Melalui psikoedukasi pelatihan diharapkan guru dapat mengimplementasikan pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan dari pelatihan yang selanjutnya akan diajarkan kepada para murid di TK.

Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang menggunakan program pelatihan “Jari Peri” adalah pada subjek penelitian, lokasi penelitian, variabel penelitian dan pengambilan data yang digunakan. Pada penelitian ini menggunakan subjek guru TK yang berasal dari 2 kecamatan yaitu Kecamatan Gamping dan Kecamatan Godean Kabupaten Sleman. Variabel penelitian yang digunakan yaitu program “Jari Peri” sebagai variabel bebas; pengetahuan tentang KSA dan efikasi mengajar pencegahan KSA sebagai variabel tergantung. Cek manipulasi menggunakan 2 instrumen yaitu wawancara kepada guru tentang pencegahan KSA dan observasi keterampilan mengajar pencegahan KSA. Perbedaan yang terakhir adalah pada penelitian ini dilakukan pengukuran atau pengambilan data follow up.

Alur penelitian dapat dilihat pada bagan berikut :

Gambar 2. Bagan Alur Penelitian Rendahnya

pengetahuan tentang KSA dan efikasi

guru TK untuk mengajar prevensi

KSA

Guru TK diberi Psikoedukasi pelatihan “Jari Peri” untuk menjadi

Agen pencegahan KSA

Pengetahuan tentang KSA dan Efikasi guru

TK untuk mengajar prevensi KSA

(17)

18

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah pengetahuan tentang KSA dan efikasi mengajar prevensi KSA pada guru TK kelompok eksperimen lebih tinggi daripada kelompok kontrol.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah progam “Jari Peri” (guru ajari perlindungan diri) dapat meningkatkan pengetahuan tentang KSA dan efikasi mengajar pencegahan KSA pada guru TK.

Manfaat penelitian secara praktis, penelitian ini dapat membantu para guru untuk melakukan prevensi kekerasan seksual pada anak-anak secara dini.

METODE PENELITIAN Subjek penelitian

Subjek penelitian adalah guru TK di wilayah Kecamatan Gamping dan Godean, Kabupaten Sleman yang belum pernah mengikuti program pelatihan pencegahan KSA dan memiliki efikasi mengajar pencegahan KSA dalam kategori skor rendah dan sedang. Subjek dalam penelitian ini adalah 24 guru TK. Kelompok eksperimen berjumlah 12 orang, sedangkan kelompok kontrol berjumlah 12 orang.

Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel tergantung pada penelitian ini yaitu: a. Pengetahuan tentang KSA

Pengetahuan tentang KSA yaitu pengetahuan yang dimiliki oleh guru tentang KSA dan cara pencegahan KSA oleh guru sebagai agen pencegahan KSA.

(18)

19

b. Efikasi mengajar pencegahan KSA.

Efikasi mengajar pencegahan KSA yaitu keyakinan diri guru terhadap kemampuan dan keterampilan mengajar pencegahan KSA kepada murid agar murid mampu menguasai topik pencegahan KSA.

Variabel bebas pada penelitian ini adalah program “Jari Peri” yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta efikasi guru dalam mengajar pencegahan KSA kepada murid.

Instrumen penelitian

Ada tiga instrumen yang digunakan, pertama tes pengetahuan tentang KSA. Tes pengetahuan tentang KSA diukur dengan kuesioner yang disusun oleh peneliti sebelumnya yaitu Paramastri (2011), yang dibuat berdasarkan aspek-aspek prevensi terhadap KSA: 1) pengetahuan tentang kekerasan seksual pada anak; 2) pengenalan, nama dan fungsi organ genital; 3) mengatakan “tidak” pada tindakan orang lain yang membuat tidak nyaman; 4) melaporkan kepada orang dewasa ketika terjadi KSA; dan (5) pemahaman mengenai perkembangan remaja. Hasil uji coba tes pemahaman dianalisis secara diskripsi, menunjukkan bahwa dari beberapa aitem yang diberikan dapat dipahami oleh subjek uji coba. Pemahaman mengenai perkembangan remaja disesuaikan dengan penelitian ini yaitu perkembangan usia anak.

Kedua, Skala efikasi mengajar guru. Skala efikasi bertujuan untuk mengukur efikasi guru dalam mengajarkan prevensi KSA pada murid TK. Skala efikasi mengajar disesuaikan dari skala yang disusun oleh Hadjam dan Widhiarso

(19)

20

(2011) dengan r = 0,79 pada faktor perencanaan mengajar, r = 0,84 pada faktor pelaksanaan mengajar dan r = 0,83 pada evaluasi belajar. Skala efikasi mengajar yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu mengukur efikasi guru mengajar prevensi kekerasan seksual pada anak-anak (KSA) kepada murid. Skala efikasi mengajar guru di susun berdasarkan aspek-aspek efikasi mengajar guru: a) perencanaan mengajar; b) pelaksanaan mengajar; dan c) evaluasi mengajar. Ketiga tugas mengajar tersebut dijadikan sebagai aspek dalam proses penyusunan skala efikasi mengajar (Hadjam & Widhiarso, 2011).

Ketiga, observasi keterampilan menyampaikan program pencegahan KSA. Observasi keterampilan menyampaikan program pencegahan KSA diukur sebagai cek manipulasi. Cek manipulasi dilakukan pada penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui apakah intervensi berdampak pada variabel selain variabel tergantung. Lembar observasi keterampilan menyampaikan program pencegahan KSA diukur dengan lembar observasi yang disusun oleh peneliti sebelumnya yaitu Wijayanti (2011), yang dibuat berdasarkan aspek-aspek keterampilan berceramah komunikasi verbal dan non-verbal versi Brown dan Manogue (2001). Keterampilan berceramah komunikasi verbal yaitu penjelasan dan penggunaan media visual. Penjelasan meliputi mengenalkan topik, memberi penegasan, mengklarifikasi, memberi contoh, persuasif dan mensintesis. Penggunaan media visual misalnya seperti menulis di papan tulis, menggunakan slide, atau menggunakan gambar, dan lain-lain. Sedangkan keterampilan berceramah dalam komunikasi non-verbal meliputi kontak mata, gerakan tubuh, ekspretestsi wajah, intonasi, memperhatikan wajah audiens, responsif dan terbuka pada audiens.

(20)

21

Metode observasi yang dilakukan untuk mengukur keterampilan ini menggunakan event sampling. Penilaian observasi menggunakan rating scale dari 1 sampai 5. Observasi dilakukan selama 45 menit saat pretest, posttest, dan follow up. Guru diminta untuk menyampaikan materi pencegahan KSA kepada murid. Perilaku yang diamati adalah keterampilan berceramah yang dilakukan oleh guru, yaitu keterampilan berceramah dalam komunikasi verbal dan non verbal.

Intervensi

Intervensi yang diberikan berupa psikoedukasi pelatihan melalui program “Jari Peri”. Modul program “Jari Peri” divalidasi dengan pendekatan validitas isi, yaitu validitas yang diestimasi melalui pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional dan penilaian dari individu yang dianggap ahli di bidangnya (professional judgement) (Supratiknya, 2008). Ahli yang diminta penilaiannya adalah dosen Fakultas Psikologi UGM yang memahami konsep penyusunan alat ukur dan modul pelatihan psikologi pendidikan. Modul kemudian diujicoba dengan tujuan untuk mengetahui apakah modul sudah dapat dijalankan sesuai dengan rancangan dan apakah materi yang terdapat dalam modul dapat dipahami oleh peserta.

Modul telah diujicoba pada tanggal 5 Oktober 2013 di SD N L 1 Yogyakarta. Peserta ujicoba adalah perwakilan beberapa sekolah, yaitu SD Negeri, SD Swasta, Sekolah Minggu, dan Sekolah Luar Biasa berjumlah lima orang. Ujicoba dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah rancangan modul dapat dijalankan dengan baik terkait dengan isi materi, lembar kerja, alur materi, alokasi waktu, dan penggunaan bahasa serta untuk mengetahui apakah

(21)

22

peserta dapat menangkap esensi materi yang disampaikan. Ujicoba modul dilaksanakan oleh fasilitator yang telah berpengalaman dalam menyampaikan program prevensi KSA. Evaluasi yang diberikan berbentuk rating dengan skala 1 sampai dengan 5, menilai isi materi (rata-rata hasil=4), lembar kerja (rata-rata hasil=4), alur materi (rata-rata hasil=3,8), alokasi waktu (rata-rata hasil=3,6), dan penggunaan bahasa (rata-rata hasil=4). Berdasarkan hasil evaluasi, peserta dinilai dapat memahami esensi materi yang diberikan dalam program, tampak dari hasil pencatatan observasi keaktifan peserta dalam diskusi dan pengisian lembar kerja. Jumlah sesi dalam program setelah ujicoba disesuaikan, dari 5 sesi menjadi 4 sesi, yaitu Sesi Kekerasan Seksual terhadap Anak (materi pengetahuan mengenai KSA); Sesi Peran Guru sebagai Agen Prevensi KSA (materi pengetahuan mengenai peran dan fungsi guru dalam mencegah KSA); Kurikulum Prevensi KSA (materi pengetahuan tentang materi ajar prevensi KSA kepada siswa dan keterampilan yang harus dikuasai guru); dan Sesi Guru Mengajar Prevensi KSA (materi keterampilan mengajarkan prevensi KSA kepada siswa).

Prosedur Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen kuasi. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah the untreated control group design with multiple depedent pretest and posttest (Shadish, Cook & Campbel, 2002), yang merupakan bagian dari rancangan eksperimen dua kelompok (between subject design), yang dirancang dengan membagi tanpa penugasan secara random ke dalam kelompok eksperimen dan kontrol. Kelompok eksperimen adalah kelompok

(22)

23

yang menerima manipulasi eksperimen, sedangkan kelompok kontrol adalah kelompok yang berada dalam kondisi kontrol yang digunakan untuk menentukan nilai dari variabel tergantung tanpa manipulasi eksperimental dari variabel bebas (Myers & Hansen, 2002). Dalam penelitian ini kelompok kontrol sebagai kelompok waiting list, dimana kelompok kontol akan diberi perlakukan setelah perlakuan pada kelompok eksperimen dan semua pengukuran selesai.

Rancangan penelitian the untreated control group design with multiple dependent pretest and posttest (Shadish, Cook & Campbell, 2002) digambarkan sebagai berikut: KE NR O1A O1B X O2A O2B --- KK NR O1A O1B O2A O2B Keterangan : NR : Non random KE : Kelompok eksperimen

KK : Kelompok kontrol sebagai waiting list

O1A : Pengetahuan tentang pencegahan KSA sebelum perlakuan (pretest) O1B : Efikasi mengajar pencegahan KSA sebelum perlakuan (pretest) O2A : Pengetahuan tentang pencegahan i KSA setelah perlakuan (posttest) O2B : Efikasi mengajar pencegahan KSA setelah perlakuan (posttest) X : Perlakuan, yaitu psikoedukasi program “jari peri”

Pelaksanaan intervensi dilakukan dengan memberikan pretest kepada kelompok eksperimen dan kontrol. Setelah pretest kelompok eksperimen diberikan intervensi pada tanggal 7 Maret 2015. Kemudian diberikan postest baik kepada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Satu minggu kemudian diberikan follow up test kepada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

(23)

24

HASIL

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data statistik diskriptif responden sebanyak 24 guru yang terbagi dalam dua kelompok 12 guru sebagai kelompok eksperimen dan 12 guru sebagai kelompok kontrol. Kelompok eksperimen terdiri dari 12 guru perempuan, dengan tingkat pendidikan sarjana 10 guru dan tingkat pendidikan SMA 2 guru, rentang usia 25 sampai dengan 45 tahun, dengan pengalaman mengajar lebih dari 5 tahun.

Untuk mengetahui apakah ada perbedaan pengetahuan tentang pencegahan KSA antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada saat pretest, postest, follow-up digunakan analisis parametrik. Hasil analisis data menggunakan anava campuran diperoleh nilai F = 54,03 (p<0,01). Hal tersebut berarti terdapat perbedaan perubahan skor pengetahuan tentang pencegahan KSA yang signifikan dari pretest ke postest antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Perubahan skor rerata dari pretest ke postest pengetahuan tentang pencegahan KSA pada kelompok eksperimen adalah 8,75 (p < 0,01) dengan skor rerata pretest 26,00 dan postest 34,75. Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan skor pengetahuan tentang pencegahan KSA pada kelompok eksperimen setelah diberikan pelatihan Jari Peri.

Gambar 3 menunjukkan grafik rerata skor pengetahuan tentang pencegahan KSA pada kelompok eksperimen dan kontrol. Perubahan skor rerata dari pretest ke posttest pengetahuan tentang pencegahan KSA pada kelompok kontrol adalah 0,17 (p > 0,01) dengan skor pretest 25,75 dan postest 25,58. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya peningkatan yang signifikan skor pengetahuan tentang

(24)

25 36 35 34 33 32 31 30 29 28 27 26 25 34,75 25,75 25,58 26 Eksperimen Kontrol 24 23 22 21 35 26 Rerata Pretest Rerata Posttest Rerata Follow-up

KSA pada kelompok kontrol setelah dilakukan postest. Perubahan skor rerata dari posttest ke follow up pengetahuan terhadap pengetahuan tentang pencegahan KSA pada kelompok eksperimen dan kontrol adalah sebesar 0,25 (p > 0,01) untuk kelompok eksperimen dan sebesar 0,42 (p > 0,01) untuk kelompok kontrol.

Gambar 3. Skor Rerata Pengetahuan Pencegahan KSA Pada Kelompok Eksperimen Dan Kontrol.

Untuk mengetahui apakah ada perbedaan efikasi mengajar pencegahan KSA antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada saat pretest, postest, dan follow-up digunakan analisis parametrik. Hasil analisis data menggunakan anava campuran diperoleh nilai F = 57,88 (p < 0,01). Hal tersebut berarti terdapat perbedaan perubahan skor efikasi mengajar pencegahan KSA dari pretest ke postest antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang signifikan. Perubahan skor rerata dari pretest ke postest efikasi mengajar pencegahan KSA pada kelompok eksperimen adalah 9,42 (p < 0,01) dengan skor rerata pretest 26,58 dan postest 36,00. Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan skor

(25)

26 36 35 34 33 32 31 30 29 28 27 26 25 36 25 25,17 26,58 Eksperimen Kontrol 24 23 22 21 36,75 24,75 Rerata Pretest Rerata Posttest Rerata Follow-up

efikasi mengajar pencegahan KSA yang signifikan pada kelompok eksperimen setelah diberikan program Jari Peri.

Gambar 4 menunjukkan grafik rerata skor efikasi mengajar pencegahan KSA pada kelompok eksperimen dan kontrol. Perubahan skor rerata dari pretest ke postest efikasi mengajar pencegahan KSA pada kelompok kontrol adalah 0,17 (p > 0,01) dengan skor pretest 25,00 dan postest 25,17. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya peningkatan yang signifikan skor efikasi mengajar pencegahan KSA pada kelompok kontrol setelah dilakukan postest. Perubahan skor rerata dari postest ke follow-up efikasi mengajar pencegahan KSA pada kelompok eksperimen dan kontrol adalah sebesar 0,75 (p > 0,01) untuk kelompok eksperimen dan sebesar 0,42 (p > 0,01) untuk kelompok kontrol.

Gambar 4. Skor Rerata Efikasi Mengajar Pencegahan KSA Pada Kelompok Eksperimen Dan Kontrol.

20 37

(26)

27

Untuk mengetahui apakah ada perbedaan keterampilan menyampaikan materi pencegahan KSA antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada saat pretest-postest- follow up digunakan analisis parametrik. Hasil analisis data menggunakan anava campuran diperoleh nilai F = 70,69 (p < 0,01). Hal tersebut berarti terdapat perbedaan perubahan skor keterampilan menyampaikan materi pencegahan KSA dari pretest ke postest antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang signifikan.

Gambar 5 menunjukkan grafik rerata skor keterampilan menyampaikan materi pencegahan KSA pada kelompok eksperimen dan kontrol. Perubahan skor rerata dari pretest ke postest keterampilan menyampaikan materi pencegahan KSA pada kelompok eksperimen adalah 8,5 (p < 0,01) dengan skor rerata pretest 36,67 dan postest 45,17. Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan skor keterampilan menyampaikan materi pencegahan KSA pada kelompok eksperimen setelah diberikan pelatihan Jari Peri. Sedangkan perubahan skor rerata dari pretest ke postest keterampilan mengajar KSA pada kelompok kontrol adalah 1,34 (p > 0,01) dengan skor pretest 35,33 dan posttest 35,67. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya peningkatan yang signifikan skor keterampilan menyampaikan materi pencegahan KSA pada kelompok kontrol setelah dilakukan postest. Perubahan skor rerata dari postest ke follow up pengetahuan terhadap keterampilan menyampaikan materi pencegahan KSA pada kelompok eksperimen dan kontrol adalah sebesar 0,83 (p > 0,01) untuk kelompok eksperimen dan sebesar 0,17 (p > 0,01) untuk kelompok kontrol.

(27)

28 43 42 41 40 39 38 37 36 35 34 33 32 45,17 35,33 35,67 36,67 Eksperimen Kontrol 31 30 35,50 Rerata Pretest Rerata Posttest Rerata Follow-up 46

Gambar 5. Skor Rerata Keterampilan Menyampaikan Materi Pencegahan KSA Pada Kelompok Eksperimen Dan Kontrol.

Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ini diterima yaitu terdapat peningkatan pengetahuan tentang KSA dan efikasi mengajar pencegahan KSA pada kelompok eksperimen setelah diberikan pelatihan Jari Peri dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal tersebut berarti Pelatihan Jari Peri dapat meningkatkan pengetahuan tentang KSA dan efikasi mengajar pencegahan KSA pada guru TK.

Peningkatan kategori skor efikasi mengajar pencegahan KSA pada kelompok eksperimen dapat dilihat pada tabel 2. Data pada tabel menunjukkan sepuluh dari duabelas subjek memperoleh peningkatan skor efikasi yang cukup signifikan dari pretest ke postest, sedangkan dua peserta memiliki skor yang relatif sama antara pretest dan posttest.

44 45 46 47 48

(28)

29

Tabel 2. Perubahan Skor Pretest Dan Skor Postest Efikasi Mengajar Pencegahan KSA Pada Kelompok Eksperimen

No Subjek Skor pretest Skor posttest

1. 1 24 35 2. 2 22 35 3. 3 23 35 4. 4 23 36 5. 5 24 35 6. 6 32 32 7. 7 27 37 8. 8 37 39 9. 9 27 36 10. 10 27 37 11. 11 27 37 12. 12 26 38 DISKUSI

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan efikasi guru dalam menyampaikan pencegahan KSA kepada para murid. Hipotesis penelitian ini adalah program “Jari Peri” dapat meningkatkan pengetahuan dan efikasi guru dalam mengajar pencegahan KSA pada kelompok eksperimen lebih tinggi dari pada kelompok kontrol. Subjek penelitian adalah guru TK di wilayah Kecamatan Gamping dan Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman yang belum pernah mengikuti program pelatihan pencegahan KSA dan memiliki efikasi mengajar pencegahan KSA dalam kategori skor rendah dan sedang. Kelompok eksperimen

(29)

30

terdiri dari 12 guru perempuan, dengan tingkat pendidikan sarjana 10 guru dan tingkat pendidikan SMA 2 guru, dengan pengalaman mengajar lebih dari 5 tahun.

Berdasarkan hasil analisis data penelitian, terlihat bahwa pengetahuan tentang pencegahan KSA dan efikasi guru dalam mengajarkan pencegahan KSA mengalami peningkatan setelah diberikan pelatihan program “Jari Peri”. Perubahan skor rerata pengetahuan tentang pencegahan KSA pretest ke posttest pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol adalah berbeda secara signifikan. Peningkatan yang signifikan terjadi pada skor rerata pengetahuan tentang pencegahan KSA pada kelompok eksperimen, yang mana skor rerata pengetahuan tentang pencegahan KSA pada kelompok eksperimen lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Hasil analisis data tersebut menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ini diterima, yaitu program pelatihan “Jari Peri” dapat meningkatkan pengetahuan tentang pencegahan KSA pada guru TK. pengetahuan tentang pencegahan KSA pada kelompok eksperimen lebih tinggi daripada kelompok kontrol.

Perubahan skor rerata efikasi mengajar pencegahan KSA pretest ke posttest pada kelompok eksperiman dan kelompok kontrol adalah berbeda secara signifikan. Peningkatan yang signifikan terjadi pada skor rerata efikasi mengajar pencegahan KSA pada kelompok eksperimen, yang mana skor rerata efikasi mengajar pencegahan KSA pada kelompok eksperimen lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Hasil analisis data tersebut menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ini diterima, yaitu program “Jari Peri” dapat meningkatkan efikasi guru dalak mengajar pencegahan KSA kepada murid TK. Efikasi guru mengajar

(30)

31

pencegahan KSA pada kelompok eksperimen lebih tinggi daripada kelompok kontrol.

Peningkatan skor efikasi mengajar pencegahan KSA pada kelompok eksperimen dipengaruhi oleh proses pembelajaran subjek melalui kegiatan pelatihan “Jari Peri”. Subjek belajar mengenai pengetahuan dan keterampilan menyampaikan materi tentang pencegahan KSA melalui proses observational learning. Bandura (1986) menyampaikan bahwa efikasi merupakan keyakinan seseorang mengenai kemampuan dalam mengorganisasikan dan menampilkan tindakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan kecakapan tertentu. Dalam kaitannya dengan pencegahan KSA, maka kecakapan yang harus dimiliki oleh guru adalah keterampilan dalam menyampaikan materi pencegahan KSA kepada para murid. Keterampilan tersebut didapat dari pelatihan Program jari Peri yang diberikan kepada guru sebagai subjek penelitian. Dengan adanya keterampilan menyampaikan materi pencegahan KSA yang dikuasasi oleh guru maka akan membangun keyakinan guru mengenai kemampuannya dalam menyampaikan materi pencegahan KSA kepada para murid.

Penelitian ini menggunakan konsep proses belajar dengan observational learning untuk meningkatkan efikasi guru dalam mengajar pencegahan KSA kepada murid. Efikasi guru dalam mengajar pencegahan KSA ditingkatkan melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam menyampaikan materi tentang pencegahan KSA meliputi keterampilan verbal dan non-verbal.

Peserta pelatihan melalui empat proses belajar dengan observational learning untuk meningkatkan keterampilan, yaitu proses atensi, retensi, produksi,

(31)

32

dan motivasional. Proses obervational learning peserta pelatihan diawali dengan proses atensi. Adeoye, dkk (2014) menyatakan bahwa pemodelan tidak akan terjadi kecuali subjek hadir untuk memperhatikan model. Peserta memperhatikan contoh cara menyampaikan materi pencegahan KSA dengan menggunakan keterampilan verbal dan non-verbal yang dipraktekkan oleh trainer sebagai model. Observasi merupakan langkah pertama dalam proses pembelajaran. Subjek mengidentifikasi keterampilan yang diperhatikan dari model. Didorong oleh umpan balik, subjek dapat menginternalisasi keterampilan dan akhirnya menggunakan strategi secara independen dan di berbagai konteks (Groenendijks, Janssen, Rijlaarsdam, Bergh, 2011).

Peserta tertarik untuk melakukan proses atensi karena model memiliki pengalaman dalam memberikan materi mengenai pencegahan KSA yang dikemas secara menarik dan menggunakan beberapa media pembelajaran. Selama pelatihan trainer menyampaikan materi dengan media pendukung video kasus dan gambar. Model juga menjadi menarik bagi peserta karena materi yang diberikan oleh model sangat bermanfaat bagi peserta. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Groenendijks, Janssen, Rijlaarsdam, Bergh (2011) bahwa beberapa elemen dapat mempengaruhi efektivitas pembelajaran observasional, seperti tingkat kompetensi model.

Peserta kemudian melakukan proses retensi. Mekanisme yang kedua dalam observasional learning ini mengharuskan subjek untuk mempertahankan dan mengingat aspek penting dari perilaku model (Adeoye,dkk, 2014). Dalam pelatihan ini peserta mengingat informasi-informasi yang diperoleh dan

(32)

33

ditunjukkan oleh model baik informasi yang berupa pengetahuan maupun informasi yang berupa keterampilan verbal dan non-verbal model saat memperagakan cara menyampaikan materi pencegahan KSA.

Proses observational learning selanjutnya adalah proses produksi. Proses ini melilbatkan pengubahan informasi-informasi yang telah diungkap dan disimpan sebelumnya menjadi tindakan atau perilaku yang sesuai. Tindakan atau perilaku ini sekaligus merupakan latihan bagi para peserta dalam menyampaikan materi pencegahan KSA secara nyata di lapangan sesuai dengan yang dipelajari peserta dari model. Bandura & Walters (dalam Adeoye,dkk, 2014) mengungkapkan adanya dua sistem representasi yaitu representasi gambar dan representasi simbol verbal sebagai sarana perilaku model yang dipertahankan dan diingat oleh subjek. Dalam representasi gambar, subjek membentuk gambaran permanen dari perilaku yang dilihat pada model sehingga subjek dapat mengingat kembali perilaku model meskipun model tidak hadir lagi dihadapan subjek. Sedangkan dalam representasi simbol verbal melibatkan coding verbal atas sesuatu yang diamati dan didengar oleh subjek sebelumnya. Selama observasi, subjek mungkin secara verbal menjelaskan kepada dirinya sendiri mengenai apa yang sedang dilakukan oleh model. Coding verbal ini dapat dilakukan secara internal dan tidak terang-terangan ditunjukkan oleh subjek. Kedua representasi tersebut yaitu gambar dan simbol verbal, secara bersama membentuk makna berarti dalam menyimpan ingatan tentang peristiwa atau perilaku yang diamati.

Peserta mempraktikkan cara menyampaikan materi pencegahan KSA di kelas. Melalui rangkaian proses produksi ini, peserta mengalami secara langsung

(33)

34

proses menyampaikan materi pencegahan KSA mulai dari perencanaan materi, persiapan bahan atau media pendukung, hingga praktek penyampaian materi di kelas. Kesempatan yang diberikan kepada peserta untuk mempraktikkan penyampaian materi pencegahan KSA sesuai dengan informasi yang telah di dapat dalam pelatihan oleh model, menjadikan proses produksi berjalan secara optimal.

Proses terakhir dalam observational learning yaitu proses motivasional. Bandura (1986) proses motivasional merupakan proses untuk memberikan penguatan melalui pengamatan bagi peserta untuk menampilkan perilaku yang sama atau lebih baik di masa yang akan datang. Adeoye, dkk (2014) menyatakan bahwa individu perlu insentif yang cukup atau motivasi untuk melakukan atensi, mempertahankan perilaku model, dan untuk melakukan kembali keterampilan atau perilaku yang ditunjukkan oleh model. Proses motivasional dalam sesi pelatihan pencegahan KSA dilakukan dengan memberikan penguatan secara langsung kepada peserta dengan memberikan masukan atau umpan balik atas keterampilan menyampaikan materi pencegahan KSA yang di praktikkan oleh peserta selama proses produksi ini. Pemberian umpan balik ini menjadi hal yang penting sesuai dengan yang diungkapkan oleh Adeoye, dkk (2014) bahwa meskipun individu telah menyimpan gambaran dan simbol verbal tentang suatu keterampilan atau perilaku yang diihat dari model, individu tersebut masih mungkin tidak dapat melakukan perilaku tersebut dengan benar. Adanya umpan balik tentang perilaku atau keterampilan yang ditunjukkan oleh individu akan bermanfaat dalam upaya memperbaiki perialku atau keterampilan tersebut.

(34)

35

Pembelajaran dalam proses obervational learning akan efektif ketika individu yang belajar termotivasi untuk melakukan tindakan, perilaku, atau keterampilan yang ditunjukkan oleh model. Berdasarkan analisis data yang ditunjukkan pada tabel 2, terlihat adanya peningkatan skor efikasi dari pretest ke posttest pada kelompok eksperimen. Sepuluh dari dua belas peserta menunjukkan peningkatan skor efikasi mengajar pencegahan KSA yang signifikan, sedangkan dua peserta menunjukkan skor efikasi yang relatif sama antara pretest dan postest namun dengan angka yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan peserta lainnya. Motivasi yang baik pada peserta merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi adanya peningkatan skor efikasi mengajar pencegahan KSA pada kelompok eksperimen. Para guru mengikuti setiap sesi pelatihan dengan semangat dan antusias meskipun kegiatan pelatihan dimulai siang hari setelah guru selesai melakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Pada sesi pertama dan sesi kedua pemberian materi pengetahuan mengenai KSA dan peran guru dalam melakukan pencegahan KSA, peserta terlibat secara aktif, misalnya ketika terdapat materi yang kurang dimengerti maka peserta akan langsung bertanya kepada trainer. Begitu pula saat sesi ketiga dan keempat yaitu sesi praktek penggunaan media dan alat peraga serta praktek langsung mengajar KSA, peserta menunjukkan antusiasme dalam mengikuti sesi tersebut. Ketika trainer memberikan tugas kepada peserta untuk membuat rencana pembelajaran pencegahan KSA yang berisi tema, perkiraan waktu penyampaian, pemilihan alat peraga dan metode mengajar yang digunakan, para peserta mengerjakan tugas tersebut dengan baik. Peserta mengajukan pertanyaan kepada trainer dan juga meminta pendapat

(35)

36

kepada peserta lainnya ketika mengalami kesulitan dalam membuat rencana pembelajaran. Begitu pula saat roleplay praktek mengajar KSA, peserta juga terlibat secara aktif dengan memberikan umpan balik dan penguatan positif berupa pujian dan tepuk tangan antara satu dengan yang lain saat melakukan roleplay.

Proses peserta dalam belajar keterampilan menyampaikan materi pencegahan KSA pada pelatihan ini disertai juga dengan adanya pembentukan keyakinan peserta mengenai kemampuan peserta untuk dapat menguasasi keterampilan yang diajarkan dalam pelatihan. Bandura (dalam Zimmerman, 2000) mendefinisikan efikasi diri sebagai penilaian pribadi mengenai kemampuan seseorang untuk mengatur dan melaksanakan aksi untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan dan ia berusaha untuk menilai tingkat dan kekuatan di seluruh kegiatannya. Khodadadi, Ebrahimi, Moghaddasian, Babapour (2013) menyatakan bahwa salah satu aspek dasar efikasi diri individu adalah keyakinan bahwa individu dapat mempengaruhi kehidupanya dengan mengendalikan tindakannya. Efikasi diri guru didefinisikan sebagai persepsi guru yang menunjukkan kemampuan guru untuk mempengaruhi kinerja siswa (Tschannen-Moran & Hoy Hoy, dalam Tanriseven 2012).

Menurut Bandura (1986) ada tiga sumber efikasi diri yaitu enactive attainment, vicarious experience dan verbal persuation. Pelatihan ini memberikan ketiga sumber efikasi yang dibutuhkan dalam upaya pembentukan keyakinan peserta untuk dapat menguasasi keterampilan yang dibutuhkan dalam mengajar materi pencegahan KSA. Sumber-sumber efikasi ini diperoleh oleh peserta selama

(36)

37

proses pelatihan yaitu selama proses observational learning berlangsung. Sumber pertama yaitu enactive attainment merupakan pengalaman keberhasilan pribadi yang didapat peserta saat melakukan praktik menyampaikan materi pencegahan KSA pada proses produksi. Bandura (dalam Tanriseven, 2012) menyatakan bahwa pengalaman yang diperoleh langsung oleh individu-individu adalah sumber daya yang paling penting yang memberi bentuk persepsi terhadap efikasi diri individu. Dalam proses produksi peserta mempraktikkan keterampilan menyampaikan pencegahan KSA sehingga peserta memiliki pengalaman pribadi dalam mengajarkan materi pencegahan KSA ini. Pengalaman peserta diperkuat oleh adanya tanggapan, saran dan umpan balik baik dari model/trainer dan juga dari sesama peserta.

Pada proses ini berlaku juga prinsip law of exercise yang menekankan bahwa semakin sering tingkah laku diulang atau dilatih, maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Twanley & Null (2009) menyatakan bahwa asosiasi diperkuat dengan praktek dan melemah tanpa praktek. Prinsip ini menunjukkan bahwa makin sering diulang, maka materi yang dipelajari akan semakin dikuasai. Saat pelatihan berlangsung, peserta melakukan proses retensi terhadap pengetahuan mengenai KSA dan cara pencegahannya. Kemudian peserta melakukan praktek berulang, misalnya saat proses roleplay, guru mendapatkan kesempatan untuk melatih kemampuannya dalam menyusun dan mengajar pencegahan KSA berdasarkan pengetahuan yang sudah diberikan di sesi sebelumnya. Hal tersebut mempengaruhi semakin kuatnya asosiasi yang dimiliki oleh peserta terkait dengan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari. Kemudian saat sesi dikelas yaitu

(37)

38

pada saat peserta mempraktekkan secara langsung kepada murid mengenai materi KSA dan pencegahannya, maka guru mendapatkan kesempatan kembali dalam mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang sudah dikuasai sebelumnya sehingga semakin memperkuat penguasaan guru mengenai pengetahuan dan penguasaan keterampilan tersebut. Penguasaan terhadap pengetahuan mengenai KSA dan keterampilan menyampaikan pencegahan KSA yang dipraktekkan secara langsung oleh peserta berpengaruh terhadap efikasi efikasi guru untuk menyampaikan materi tersebut kepada murid. Peserta memperoleh pengetahuan mengenai KSA dan perannya sebagai agen pencegahan KSA pada sesi 1 dan sesi 2 pelatihan yang kemudian disimpan saat proses retensi. Pemahaman guru terhadap pengetahuan mengenai KSA dan cara pencegahannya menumbuhkan keyakinan guru akan kemampuannya dalam menyampaikan materi tersebut kepada siswa. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bandura (1986) bahwa penguasaan individu terhadap suatu keterampilan tertentu, akan mempengaruh keyakinan individu dalam melakukan tindakan atau perilaku yang berakitan dengan keterampilan tersebut.

Sumber efikasi yang kedua yaitu vicarious experience. Sumber ini didapatkan oleh peserta pada proses observational learning. Pada saat pelatihan peserta mendapatkan kesempatan untuk mengamati keterampilan menyampaikan materi pencegahan KSA yang ditunjukkan oleh trainer dan mengamati pengalaman keberhasilan trainer dalam memperagakan keterampilan tersebut. Pengamatan terhadap trainer ini mempengaruhi efikasi atau keyakinan diri peserta

(38)

39

bahwa mereka dapat mempraktikkan hal yang sama dalam menyampaikan materi pencegahan KSA seperti yang diperagakan oleh trainer.

Sumber efikasi yang ketiga yaitu verbal persuasion. Bandura (1986) menyampaikan bahwa verbal persuasion secara luas digunakan untuk membuat orang menjadi percaya terhadap kemampuan yang mereka miliki yang akan memungkinkan mereka untuk mencapai apa yang mereka cari. Dalam pelatihan ini, verbal persuasion di sampaikan kepada peserta agar peserta percaya terhadap kemampuan yang mereka miliki yang akan memungkinkan mereka untuk mampu mempraktikkan keterampilan manyampaikan materi pencegahan KSA kepada murid.

Penerimaan hipotesis penelitian ini didukung dengan peningkatan pengetahuan guru mengenai pencegahan KSA dan peningkatan efikasi guru dalam mengajar pencegahan KSA. Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada perbedaan perubahan skor pengetahuan pencegahan KSA dan skor efikasi mengajar pencegahan KSA pretest ke postest pada kelompok eksperimen, dimana ada peningkatan rerata pengetahuan pencegahan KSA dan efikasi mengajar pencegahan KSA yang signifikan pada kelompok eksperimen namun tidak pada kelompok kontrol. Hasil analisis data tersebut membuktikan bahwa pemberian pelatihan melalui program “Jari Peri” dapat meningkatkan pengetahuan subjek mengenai pencegahan KSA dan efikasi subjek dalam mengajar pencegahan KSA. Tes pengetahuan KSA terdiri dari pengetahuan mengenai KSA, peran guru dalam pencegahan KSA, dan pengetahuan mengenai keterampilan dalam mengajar pencegahan KSA.

(39)

40

Peningkatan pengetahuan tentang pencegahan KSA dan efikasi guru dalam mengajar materi pencegahan KSA juga terlihat dari perbandingan hasil observasi pretest dan posttest pada kelompok eksperimen. Saat obervasi pretest berlangsung dikelas, sebagian besar peserta guru belum membuat persiapan materi saat menyampaikan materi pencegahan KSA di kelas, sehingga guru terlihat tidak sistematis dalam menyampaikan materi tersebut. Sebagian besar Guru juga tidak menggunakan media dalam menyampaikan materi KSA, sehingga penjelasan diberikan secara verbal saja kepada para murid.

Setelah pelatihan diberikan, guru lebih mampu dalam membuat perencanaan materi. Guru juga menggunakan media pendukung dalam menyampaikan materi pencegahan KSA kepada murid di kelas. Selain menggunakan media pendukung dalam menyampaikan materi pencegahan KSA, penjelasan materi yang disampaikan oleh guru saat posttest dan follow-up lebih sistematis dibandingkan pada saat pretest. Hal ini menyebabkan skor keterampilan menyampaikan pencegahan KSA dari prettest ke posttest pada kelompok eksperimen meningkat.

Pada tabel 2, menunjukkan bahwa sepuluh dari dua belas peserta memperoleh peningkatan skor efikasi mengajar pencegahan KSA yang cukup signifikan dari pretest ke posttest. Sebelum pelatihan kesepuluh peserta tersebut belum memiliki pengetahuan yang komprehensif mengenai KSA, belum mampu menyusun rencana pembelajaran KSA, belum menguasai alternatif metode dan media yang dapat digunakan, serta belum mampu melakukan evaluasi metodenya. Setelah pelatihan pada sesi 1 dan sesi 2 peserta memperoleh pengetahuan

(40)

41

mengenai KSA dan beragam media serta mtode yang dapat dirancang dalam penyampaian KSA kepada murid, kesepuluh peserta tersebut kemudian menunjukkan kemampuan yang signifikan saat praktek dan roleplay, diantara dapat menyusun rencana pembelajar yang sistematis, menggunakan media yang beragam, mampu memilih metode yang sesuai dengan tema dan medianya, serta mampu melakukan evaluasi terhadap materi yang disampaikan. Hal tersebut sedikit berbeda dengan dua peserta yang menunjukkan perubahan skor yang relatif sama antara pretest dan postest, namun skor yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan kesepuluh peserta lainnya. Berdasarkan hasil obervasi saat pretest kedua peserta ini sudah lebih mampu menguasi beberapa aspek misalnya mampu menguasasi materi KSA dan menyusun rencana pembelajaran pencegahan KSA ke anak, namun hasil obervasi dan skala efikasi menunjukkan bahwa kedua peserta ini masih memiliki kelemahan dalam hal kurang sistematis dan belum menggunakan media dalam pembelajarannya. Setelah diberikan pelatihan , kedua peserta ini lebih mampu menyusun rencana pembelajar secara sistematis dan mampu memilih media yang sesuai dengan tema yang dipilih.

Dengan mengikuti pelatihan “Jari Peri” peserta mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat mengenai cara pencegahan KSA di lingkungan sekolah. Guru memperoleh wawasan mengenai materi pencegahan yang dapat disampaikan ke murid, beragam media yang dapat digunakan, dan metode dalam menyampaikan materi tersebut kepada murid. Guru menyadari mengenai pentingnya melakukan pencegahan KSA sejak dini dan salah satunya dapat diupayakan di lingkungan sekolah. Guru juga menyadari bahwa guru memiliki peran yang strategis sebagai

(41)

42

agen pencegahan KSA di lingkungan sekolah. Dengan bekal pengetahuan mengenai beragam tema atau materi dan beragam media yang dapat digunakan dalam pengajaran pencegahan KSA, guru optimis dapat menyampaikan materi pencegahan KSA kepada murid di sekolah masing-masing. Pengajaran pencegahan KSA dapat dilakukan di waktu yang khusus maupun di sela-sela materi kegiatan siswa yang lain, namun sebagian banyak guru peserta pelatihan menyampaikan bahwa mereka lebih setuju materi pencegahan KSA ini disampaikan di sela-sela kegiatan anak di sekolah dengan memperhatikan kesesuaian materi kegiatan yang sedang berlangsung di kelas.

Ada dua hal yang juga menjadi pengamatan peneliti selama proses penelitian berlangsung. Pertama, selama proses penelitian berlangsung, tiga guru dari kelompok eksperimen tidak dapat mengikuti keseluruhan sesi dalam intervensi pelatihan “Jari Peri” dan tiga guru dari kelompok kontrol tidak dapat mengikuti pretest dan postest secara lengkap sehingga menyebabkan terjadi berkurangnya jumlah anggota kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Kedua, pada saat pelatihan peserta pelatihan tidak melakukan praktek secara mandiri melainkan berkelompok dua orang. Masing-masing kelompok yang terdiri dari dua peserta tersebut bekerjasama membuat perencanaan materi pencegahan KSA, lalu mempraktikkan penyampaian materinya secara bergantian dan saling melengkapi. Hal tersebut dilakukan karena keterbatasan waktu saat pelatihan dilaksanakan. Hal ini berbeda dengan konsep pelatihan pada awalnya yaitu peserta melakukan praktik secara mandiri mulai dari membuat perencanaan hingga mempraktekkan cara menyampaikan materi yang sudah dibuat. Untuk

(42)

43

mengatasi hal tersebut, maka perencanaan dibuat secara tim berdua, namun saat praktek peserta diberi kesempatan untuk melakukan praktek secara mandiri sehingga peserta memperoleh kesempatan untuk melakukan proses produksi sesuai dengan tahapan belajar observasional learning, meskipun dengan tema yang sama dalam satu kelompok.

Gambar

Tabel 1. Data Statistik Kasus Kekerasa Seksual yang ditangani oleh LP  Provinsi DIY di Daerah IstimewaYogyakarta
Gambar 1. Alur Penelitian Program´”Jari Peri”
Gambar 3. Skor Rerata Pengetahuan Pencegahan KSA Pada Kelompok  Eksperimen Dan Kontrol
Gambar  4  menunjukkan  grafik  rerata  skor  efikasi  mengajar  pencegahan  KSA pada kelompok eksperimen dan kontrol
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pengajaran bahasa terdiri atas keterampilan menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Keterampilan membaca sebagai salah satu dari empat keterampilan berbahasa, salah

Hasil penelitian siklus II, pada tahap ini akan dikaji apa yang telah dilaksanakan dengan baik maupun yang kurang maksimal dalam proses belajar mengajar dengan penerapan

(BORNEO , VOLUME IX, Nomor 1, Juni 2015 ) 199 pada kertas, setiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya, Guru memberikan pertanyaan kepada siswa dengan

Kandungan nitrogen pada pupuk daun yang digunakan sebesar 11%, cukup untuk menyeimbangkan unsur hara pada tanaman dan pada konsentrasi yang tepat dapat memacu

Teman-teman dari Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya , dari seluruh angkatan yang telah membantu peneliti menyebarkan kuesioner penelitian dan

a. Untuk mengetahui apakah model pembelajaran Kooperatif tipe Picture and Picture dapat meningkatkan aktivitas belajar biologi materi pokok sel peserta didik kelas XI MAN

(2) Subbidang Potensi Sumber Daya Kawasan Perbatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan, dan

Untuk mengetahui audience salience dari agenda media pada tayangan Cabe-cabean di acara sudut pandang Metro TV Teori yang digunakan dalam penelitian memakai teori