• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUBAK SEBAGAI PARIWISATA BUDAYA DENGAN KONSEP TRI HITA KARANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SUBAK SEBAGAI PARIWISATA BUDAYA DENGAN KONSEP TRI HITA KARANA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

Bali develops Subak as a Cultural Tour, because culture is the most potential for people’s lives in bali. The basic capital of cultural tourism is the culture of normative and operational functions. As a cultural normative role is expected to be able and potential in providing identity, basic handling, controlling pattern, so that the balance and culture ketahana also expected to be the main attraction for the increase of tourism. It gives a clue how important the role of culture in tourism development. So it does not mean culture for tourism but otherwise tourism for culture. Subak for the Balinese is not just an irrigation system, but also a life philosophy for the Balinese themselves. In view of the Balinese, Subak is a direct reflection of the Hindu philosophy of Tri Hita Karana (the three causes of goodness), which encourages harmonious relationships between individuals and souls (parahyangan), human (pawongan), and nature (palemahan). As a system of living together, Subak can survive for a century more because people are loyal to the ancestral tradition. Water distribution is done fairly, all issues are discussed together, even up to the time of planting and the type of rice. Sanctions against all forms of offenses will be determined by the residents themselves through a ceremony performed at the temple. Harmonization of life is the key to preserving Subak culture.

Keywords: Subak, Cultural Tourism, Tri Hita Karana

SUBAK SEBAGAI PARIWISATA BUDAYA

DENGAN KONSEP TRI HITA KARANA

IG. Agung Jaya Suryawan

Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja

I. PENDAHULUAN

Subak merupakan suatu warisan budaya Bali yang berupa suatu sistem irigasi yang mengatur pembagian pengelolaan airnya yang berdasarkan pada pola-pikir harmoni dan kebersamaan yang berlandaskan pada aturan-aturan formal dan nilai-nilai agama. Subak dipimpin oleh seorang Kelian Subak atau Pekaseh yang mengoordinasi pengelolaan air berdasarkan tata tertib (Bahasa Bali: awig-awig) yang disusun secara egaliter. Saat irigasi berjalan baik, mereka menikmati kecukupan air bersama-sama. Sebaliknya, pada saat air irigasi sangat kecil, mereka akan mendapat air yang terbatas secara bersama-sama. Jadwal tanam dilaksanakan secara ketat. Waktu tanam ditetapkan dalam sebuah kurun tertentu.

Umumnya, ditetapkan dalam rentang waktu dua minggu. Petani yang melanggar akan dikenakan sanksi. Untuk memperoleh penggunaan air yang optimal dan merata, air yang berlebihan dapat dibuang melalui saluran drainasi yang tersedia pada setiap komplek sawah milik petani. Sementara itu, untuk mengatasi masalah kekurangan air yang tidak terduga, mereka melakukannya dengan cara-cara seperti: Saling pinjam meminjam air irigasi antar anggota subak dalam satu subak, atau antar subak yang sistemnya terkait.

Subak menerapkan sistem pelampias, yakni kebijakan untuk memberikan tambahan air untuk lahan sawah yang berada lebih di hilir. Jumlah tambahan air ditentukan dengan

(2)

kesepakatan bersama. Melakukan sistem pengurangan porsi air yang harus diberikan pada suatu komplek sawah milik petani tertentu, bila sawah tersebut telah mendapatkan tirisan air dari suatu kawasan tertentu di sekitarnya. Jika debit air irigasi sedang kecil, petani anggota subak tidak dibolehkan ke sawah pada malam hari, pengaturan air diserahkan kepada pengurus Subak. Kelemahan paling menonjol dari sistem irigasi tradisional adalah ketidakmampuannya untuk membendung pengaruh luar yang menggerogoti artefaknya, yang terwujud dalam bentuk alih fungsi lahan, sehingga eksistensi sistem irigasi tradisional termasuk didalamnya sistem subak di Bali menjadi terseok-seok.

Beberapa tahun yang lalu, revolusi hijau telah menyebabkan perubahan pada sistem irigasi tradisional, dengan adanya varietas padi yang baru dan metode yang baru, para petani harus menanam padi sesering mungkin, dengan mengabaikan kebutuhan petani lainnya. Metode yang baru pada revolusi hijau ini pada awalnya menghasilkan hasil panen yang melimpah, tetapi kemudian diikuti dengan kendala-kendala seperti kekurangan air, hama dan polusi akibat pestisida baik di tanah maupun di air. Sistem Subak memiliki karakteristik unik apabila dibandingkan dengan sistem tradisional lainnya, yaitu selalu memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik atau Pura Bedugul yang khusus dibangun oleh para petani untuk memuja Tuhan.

Fenomena alih fungsi lahan sawah irigasi di Bali tidak hanya dipicu oleh dinamika perkembangan wilayah urban, tetapi karena makin pesatnya perkembangan sektor pariwisata. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali menunjukkan terjadinya alih fungsi lahan sawah sepanjang tahun 2000-2012. Pada tahun 2000 luas sawah di Provinsi Bali adalah 85.776 hektar menjadi 81.625 hektar pada tahun 2012, yang berarti sekitar 4.151 hektar lahan sawah beralihfungsi menjadi non sawah. Hilangnya lahan sawah di Bali

dapat mengancam keberlangsungan subak. Subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosioagraris-religius, yang merupakan perkumpulan para petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah. Pengertian subak seperti itu pada dasarnya dinyatakan dalam Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi Bali No. 02/PD/DPRD/ 1972. Arif (1999) memperluas pengertian karakteristik sosio-agraris-religius dalam sistem irigasi subak, dengan menyatakan lebih tepat subak itu disebut berkarakteristik sosio-teknis-religius, karena pengertian teknis cakupannya menjadi lebih luas, termasuk diantaranya teknis pertanian dan teknis irigasi. Sistem irigasi subak berlandaskan Tri Hita Karana dan merupakan sistem yang bersifat sosio-teknis, yang teknologinya telah menyatu dengan sosio-kultural masyarakat setempat. Karakter teknologi seperti itu dinyatakan oleh Poespowardojo (l993) dalam Windia (2008) sebagai teknologi yang telah berkembang menjadi budaya masyarakat. Filosofi Tri Hita Karana ini mengajarkan bahwa kebahagiaan manusia akan dapat dicapai bila manusia mampu menjaga keharmonisan hubungan antara tiga faktor dari Tri Hita Karana (Pitana dalam Maryati, 1999). Eksistensi subak dilandasi oleh konsepsi Tri Hita Karana yaitu Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan. Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara: Manusia dengan Tuhannya, manusia dengan alam lingkungannya, manusia dengan sesamanya. II. PEMBAHASAN

2.1 Pariwisata Budaya

Menurut para ahli Antropologi, suatu kebudayaan sedikit-dikitnya mempunyai tiga wujud, yaitu: pertama adalah dalam wujud gagasan, pikiran, konsep dan sebagainya yang

(3)

berbentuk abstrak; kedua dalam bentuk aktifitas yaitu berupa tingkah laku berpola, perilaku, upacara-upacara serta ritus-ritus yang wujudnya lebih konkrit dan yang ketiga, yakni dalam bentuk benda yang bisa merupakan hasil tingkah laku dan karya para pemangku kebudayaan tyang bersangkutan dan oleh para ahli disebut dengan kebudayaan fisik. Lebih jauh dilihat maka kebudayaan itu setidak-tidaknya mempunyai tujuh unsur yang universal, ketujuh unsur yang universal tersebut terdapat pada semua kebudayaan yang ada di sentra dunia ini, baik yang kecil, terisolasi dan sederhana, maupun yang besar, komplek dan maju. Ketujuh unsur yang dimaksud adalah; bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi dan kesenian. Ketujuh unsur tersebut juga terdapat pada kebudayaan Indonesia dan kebudayaan daerah yang ada.

Mathieson dan Wall (1982) dalam Kurniansah (2014) mendefinisikan pariwisata sebagai serangkaian aktivitas berupa perpindahan orang untuk sementara waktu ke suatu tujuan di luar tempat tinggal maupun tempat kerjanya yang biasa, aktivitas yang dilakukannya selama tinggal di tempat tujuan tersebut dan kemudahan-kemudahan yang disediakan untuk memenuhi kebutuhannya baik selama dalam perjalanan maupun dilokasi tujuannya. Didalam UU No. 10 Tahun 2009, dalam Sunaryo (2013), keseluruhan lingkup kegiatan pariwisata diberikan batasan pengertian sebagai; berbagai macam kegiatan wisata dan didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah. Menurut Astuti (2012), budaya secara umum disebut sebagai hasil karya, rasa dan cipta manusia yang didasarkan pada karsa. Selama ini pemahaman mengenai budaya pun juga di pahami secara umum sebagai sesuatu yang baik dan dilakukan secara berulang-ulang hingga menjadi kebiasaan. Namun konsepsi lebih kompleks dikemukakan oleh Kleden

mengenai budaya, Budaya sebagai sistem ide misalnya, terlihat perbedaan antara penekanan kepada ide-ide kognitif, yang menyebabkan budaya dipandang sebagai sistem makna (system of meaning), atau penekanan kepada ide-ide normativ, yang menyebabkan budaya dipandang sebagai system nilai (value system) Pariwisata budaya terus berkembang dan tak hanya dilihat sebagai pemaknaan pada perbedaan/keberagaman. Proses pariwisata budaya yang besar dan mengakibatkan efek domino pada berbagai bidang, tentu saja memberikan dispossible income (aktivitas ekonomi), khususnya bagi host community (tuan rumah). Kehadiran orang-orang asing telah memberikan dampak terhadap pemenuhan yang harus dibayarkan (akomodasi, amenitas, transportasi, fasilitas, dan jasa lainnya), termaksud kesediaan membayar atraksi yang diinginkan. Jika sebelumnya berbagai upacara/ritual dan produk-produk kriya hanya digunakan untuk kalangan sendiri dengan makna dan fungsi khusus, maka kehadiran wisatawan telah menambahkan nilai lain terhadap produk dan atraksi budaya.

Sebagai produk/atraksi budaya yang menawarkan mimpi maupun kesenangan wisatawan (pengalaman dan keunikan), sulit untuk kemudian menentukan standar dari suatu produk pariwisata budaya karena setiap wisatawan memiliki ekspektasi yang berbeda. Biasanya, produk pariwisata budaya memiliki sifat intangible yang lebih dominan daripada tangible (terkait nilai yang abstrak) dan tentu saja heterogen (beragam). Melalui pengelolaan sumber daya, pihak pengelola berusaha dengan keras untuk mengkomersialkan budaya sebagai daya tarik wisata. Bisa dikatakan kemudian bahwa produk pariwisata budaya dapat berubah menjadi manifestasi mimpi wisatawan sebagai akibat dari kapitalis industri pariwisata.

Beragam perubahan kemudian terus diupayakan dalam bisnis pariwisata budaya guna melakukan penyesuaian atau rekayasa terhadap sumber daya (atraksi) guna

(4)

pemenuhan ekspektasi wisatawan. Tentu saja, pengembangan inovasi inilah yang kemudian memberikan kontribusi positif pada pembangunan infrastruktur, akomodasi, pelayanan, transportasi dan aksesibilitas terhadap lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya manusia.

Fake cultural attraction/production, modifikasi budaya, dan tourisfication (turisfikasi) terhadap budaya membawa budaya kadang ter-diposisikan menjadi “objek tontonan” di mana wisatawan yang menonton kerap dipandang subjek yang paling berpengaruh dan menentukan, Nurdiansyah (2014).

Ketika budaya sebagai suatu sumber daya diposisikan lebih rendah dari kepentingan wisatawan, warisan budaya (fisik maupun non-fisik) dan masyarakat lokal menjadi sumber daya yang dieksploitasi (relasi eksploitatif), sehingga terjadilah kesenjangan yang kemudian menimbulkan konflik dan mengancam budaya itu sendiri. Pergeseran cara pandang, upacara/ atraksi budaya dapat dilihat secara sempit sebagai “kedatangan wisatawan” dan “uang” (tourist magnet). Ungkapan “one dollar for a photo” seringkali diungkapkan masyarakat adat yang telah akrab difoto oleh wisatawan di banyak tempat.

Bali sebagai bagian dari Indonesia, pulau yang kecil tapi amat terkenal di dunia, berkat kebudayaanya melalui komunikasi pariwisata, tak dapat menjauhkan diri dari arus globalisasi ini. Bahkan kelihatannya Bali makin intensif berhubungan dengan perkembangan dunia kepariwisataan yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi komunikasi itu sendiri. Masalahnya sekarang apa yang harus dilaksanakan untuk menghadapi tantangan di bidang kebudayaan dan pariwisata Bali sehubungan dengan terjadinya globalisasi tersebut. Permasalahan kebudayaan dan pariwisata menjadi sangat menarik, terutama dalam era globalisasi yang telah memasuki seluruh penjuru dunia dalam bidang politik,

ekonomi, sosial budaya dan komunikasi. Bukan negara-negara yang berkembang dengan budaya etnisnya yang menonjol, tetapi juga negara-negara maju pun menghadapi tantangan-tantangan baru, meskipun integrasi nasional mereka sudah mantap.

Bali mengembangkan Pariwisata Budaya, karena kebudayaan merupakan paling potensial bagi kehidupan masyarakatnya, berakar sangat mendalam dalam sejarahnya dan mempunyai peradaban tua dan ini dapat dikembalikan sejarahnya pada permulaan tahun masehi dan tersebar secara meluas, Modal dasar adalah kebudayaan berfungsi secara normatif dan operasional. Sebagai normatif peranan kebudayaan diharapkan mampu dan potensial dalam memberikan identitas, pegangan dasar, pola pengendalian, sehingga keseimbangan dan ketahana budaya juga diharapkan mampu menjadi daya tarik utama bagi peningkatan pariwisata. Ini memberi petunjuk betapa pentingnya peranan kebudayaan bagi pengembangan pariwisata. Jadi bukan berarti kebudayaan untuk pariwisata tetapi sebaliknya pariwisata untuk kebudayaan. Dan kebudayaan disini bukan hanya berfungsi untjk dinikmati, tetapi juga sebagai media untuk membawa saluing pengertian dan hormat menghormati.

Daya tarik Bali adalah dengan kebudayaannya yang unik dan merakyat. Kehidupan kebudayaannya adalah menyatunya agama, kebudayaan, adat yang harmonis, cipta, rasa dan karsa sebagai unsur budi daya manusia menonjol mengambil bentuk keagamaan, estetika dan etika (seni budaya, solidaritas, gotong royong rasa kebersamaan). Pelaksanaan upacara-upacara keagamaan mewariskan potensi ketrampilan dalam seni budaya dan disiplin rohani tekun bekerja dan taat pada norma-norma kehidupan masyarakat.

Dinamika budaya mampu mengembangkan dirinya sehingga modernitas dan tradisi menyatu dalam tiap tahap memberi stabilitas yang mantap dan juga meningkatkan kepercayaan pada diri sendiri serta

(5)

membuatnya gairah. Dengan demikian kebudayaan akan terus berkembang sbagai akibat kemajuan-kemajuan masyarakat itu sendiri, menuju masyarakat yang modern, tanpa kehilangan dirinya (berkelanjutan dalam perobahan). Pengembangan kebudayaan memang dibutuhkan oleh masyarakat sedangakan pariwisata memberi dukungan terhadap pengembangan kebudayaan dan mendorong munculnya kreativitas pada masyarakat Bali. Munculnya kreativitas telah mendorong pengembangan kebudayaan. Pengembangan kebudayaan melalui penggalian-penggalian kebudayaan itu sendiri menimbulkan pemahaman dan kesadaran akan kebudayaan menumbuhkan keyakinan akan kemampuan diri sendiri dan sadar berbudaya. Dalam beberapa hal telah mencapai tujuannya. Pertama semua masyarakat telah mengenal kekayaan seni budayanya sendiri yang tiap-tiap tahun dipamerkan melalui prosesi, pergelaran dan pameran-pameran. Pariwisata dapat menyaksikan pertunjukan-pertunjukan seni yang bermutu pada waktu pesta seni berlangsung. Yang jarang mereka akan dapat melihatnya dalam kesempatan biasa dan demikian juga merupakan media komunikasi melalui seni yang sangat berharga. Dan masyarakat sendiri mendapat kesempatan menyaksikan seninya sebagaimana yang dikehendaki, isinya, ceritanya dan sebagainya, bahkan dalam bentuk yang cukup memberi rasa kebanggaan pada mereka. Masyarakat dapat melihat keberadaan seninya sendiri dalam dunia yang makin terbuka dan makin lebar.

Dalam hubungannya dengan Pariwisata dapat dikatakan bahwa antara pariwisata dan kebudayaan telah berkembang satu pola interaksi yang bersifat dinamik dan dinamika itu ternyata tidak hanya bergerak secara horisontal tetapi juga vertikal, dalam arti kebudayaan mampu meningkatkan Pariwisata dan Pariwisata mampu meningkatkan Kebudayaan serta dalam dinamika vertikal dalam kebudayaan secara jelas kentara potensi

kebudayaan Bali dalam wujud yang luwes, adaptatif dan kreatif tanpa kehilangan identitasnya sendiri.

2.2 Pariwisata budaya berlandaskan Tri Hita Karana

Masyarakat Bali adalah masyarakat yang konsisten melaksanakan ajaran Hindu yang kuat secara turun temurun. Pewarisan antargenerasi di dalam banjar adat dilakukan dengan sungguh-sunguh sehingga setiap individu telah mengerti jati diri atau identitas yang disampaikan leluhurnya. Ekspresi setiap individu ini membuat pencitraan positif bagi masyarakat dan pemerintahnya secara ber-kesinambungan dari generasi ke generasi dan selalu dipahami. Mereka tidak pernah merasa bosan atau melelahkan mengajak generasinya untuk ikut menyiarkan dan melakukan ritual demi ritual. Hal ini dibuktikan dengan pencitraan lintas generasi tidak pernah berubah dan selalu ada komunikasi positif. Kecintaan masyarakat Bali pada kegiatan, agama, dan ritual keseharian membuat identitas Bali lebih kokoh dari daerah lain. Artinya, kegiatan keseharian mereka menjadi sebuah potret atau etalase hidup yang indah, unik, dan menarik bagi pengunjung yang melihat dan mengetahuinya.

Pemahaman awal mengenai masyarakat Bali adalah sebenarnya citra Bali terletak pada kekuatan adat istiadat tradisi budaya dan agamanya. Tanpa penghayatan tersebut, pari-wisata Bali tidak akan pernah ada. Berapa banyak daerah di Indonesia yang lebih elok alamnya dari Bali tetapi kurang penjiwaan atau warna dari masyarakatnya sendiri sehingga tenggelam bagai mutiara dalam lumpur.

Konsep Tri Hita Karana secara nyata telah diterapkan oleh masyarakat Bali khususnya dalam dalam setiap konteks kehidupan budaya masyarakat keseharian, diantaranya adalah adanya silakrama( pertemuan keseharian), upacara pemujaan kepada Tuhan dan juga alam semesta dalam kesehariannya, dimana terbukti

(6)

dengan ketekunan masyarakat di Bali, kita masih bisa bertahan sampai saat sekarang ini. Instansi atau pengelola pariwisata akan melakukan segala macam cara untuk mampu bertahan, mengembangkan usahanya ditengah ketatnya persaingan saat ini tanpa memperdulikan dampak yang akan dihasilkan dalam proses ini nantinya. Walaupun terkadang usahanya tergolong tidak sesuai dengan aturan yang ada.

Timbulnya kesembrawutan, pencemaran alam lingkungan yang disebabkan oleh usahanya, ternodainya kesucian tempat suci dan lainnya merupakan sebuah hasil yang yang membawa dampak ke depan yang tidak menguntungkan bagi semua pihak,dan malah akan membawa kerugian untuk masa depannya. Disinilah Konsep ini memiliki peranan yang sangat vital untuk memberi kesadaran pada semua pengelola, atau orang yang terjun dibidang ini untuk memikirkan bagaimana menjaga keseimbangan antara usaha dengan alam lingkungan sekitarnya sehingga akan tercipta sebuah keharmonisan secara usaha dan budaya yang akan membawa semua bidang berjalan secara stabil.

Memang akan cukup terasa sulit untuk dimengertikan, tetapi konsep Tri Hita Karana akan memberi bimbingan sangat luas kepada insan pariwisata yang secara duniawi dan spiritual akan memberi dampak positif untuk menjaga keharmonisan pariwisata Bali kedepannya. Dengan demikian budaya Bali yang berkonsep Tri Hita Karana akan tetap bisa menjadi contoh yang positf yang memberikan banyak manfaat tidak hanya untuk bidang pariwisata tetapi juga untuk alam dan manusia dengan selalu di landasi rasa syukur ke pada sang pencipta,Tuhan Yang Maha Esa.

Tri Hita Karana yang berarti hubungan yang harmonis atau penyebab terwujudnya kesejahteraan hidup yang diwujudkan dalam bentuk :

1. Parahyangan: Hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.

2. Pawongan: Hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia

3. Palemahan: Hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya 2.3 Masyarakat Bali sebagai Pelaku Pariwisata Budaya

Masyarakat Bali mempunyai sosiologi budaya yang menjadi tumpuan kekuatan pariwisatanya. Hampir semua sisi kehidupan masyarakat Bali dapat menjadi bahan inspirasi untuk dijadikan daya tarik bagi wisatawan, bahkan tidak sedikit wisatawawan dalam maupun luar negeri akhirnya menetap dan menjadikan Bali sebagai inspirasi. Hampir semua orang senang berkunjung ke Pulau Dewata ini. Kayu kering dapat dibuat berbagai ukiranmenarik dan bernilai seni tinggi setelah diolah tangan kreatif pemuda-pemudi Bali. Hal ini memberi masukan kepada daerah-daerah lain dan memperlihatkan bagaimana Bali dapat mempertahankan budayanya dalam beradaptasi dengan jumlah kunjungan wisatawan asing yang tinggi. Selain itu, hal ini juga menjadi bahan evaluasi apakah yang dilakukan Bali sudah tepat atau perlu perbaikan dalam mengelola pen-citraan pariwisatanya sendiri. Manfaat lainnya adalah memberikan masukan atau pertimbangan untuk penguatan budaya lokal yang mempunyai ciri ke Indonesian dan identitas budaya yang kuat seperti Bali.

Berbudaya bukan hanya upacara yang ditampilkan dalam tarian. Budaya bukan hanya berbicara tetapi digunakan setiap hari. Budaya adalah keseharian kita. Konsistensi masyarakat Bali dalam menjalani budaya tersebut dengan sendirinya mengembangkan pariwisata secara positif dan kondusif. Jika dilihat dari aspek pengembangan destinasi, sebelum dijual, produk hanya berupa sebuah ide atau harapan yang ada dalam pikiran wisatawan. Sebagian besar produk dikonsumsi di destinasi wisata

(7)

(Pitana dan Diarta, 2009). Midleton (dalam Richardson dan Flucker, 2004:50) menyebutkan, “a bundle of tangible and intangibe components base on activity at a destination. The package is perceived by the tourist as an experience, available at the price”. Komponen tersebut dijabarkan dalam bagian, yakni 1) atraksi destinasi, 2) fasilitas destinasi, 3) aksesibilitas destinasi, 4) citra atau kepercayaan yang kuat, dan 5) harga. Dengan demikian, ketika wisatawan memilih suatu destinasi, ia sudah mempunyai sebuah citra positif. Jika tidak, wisatawan tidak akan pernah berkunjung.

Jika dihubungkan dengan hukum Al-Riess, citra destinasi Bali yang positif akan diikuti komponen lainnya. Hal ini terbukti dengan destinasi Bali mempunyai atraksi berbasis budaya yang kuat; fasilitas akomodasi dan restorannya juga terus berkembang; akses mulai bervariasi ke beberapa atraksi (misalnya jalan tol laut dan di pelabuhan Tanjung Benua); dan harga paket wisata cukup layak untuk wisatawan

2.4 Subak merupakan Pariwisata Budaya Berlandaskan Tri Hita Karana

2.4.1 Subak Wujud Terciptanya Konsep Tri Hita Karana Dalam Budaya Asli Bali

Subak adalah kata yang berasal dari bahasa Bali. Kata tersebut pertama kali muncul dalam prasasti Pandak Bandung yang berangka tahun 1072 M. Kata subak tersebut mengacu kepada sebuah lembaga sosial dan keagamaan yang unik, mempunyai pengaturan tersendiri, asosiasi-asosiasi demokratis dari petani dalam mengatur penggunaan air irigasi untuk pertumbuhan padi.

Subak bagi masayarakat Bali bukan hanya sekedar sistem irigasi, melainkan juga merupakan filosofi kehidupan bagi rakyat Bali itu sendiri. Dalam pandangan masyarakat Bali, Subak adalah cerminan langsung dari filosofi

dalam agama Hindu Tri Hita Karana (tiga penyebab kebaikan), yang mempromosikan

hubungan yang harmonis antara individu dengan alam semangat (parahyangan), dunia manusia (pawongan), dan alam (palemahan). Sebagai suatu sistem pengaturan hidup bersama, Subak mampu bertahan selama satu abad lebih karena masyarakatnya setia kepada tradisi leluhur. Pembagian air dilakukan secara adil, segala masalah dibicarakan bersama, bahkan sampai penetapan waktu tanam dan jenis padinya. Sanksi terhadap segala bentuk pelanggaran akan ditentukan sendiri oleh warga melalui upacara yang dilakukan di pura. Harmonisasi kehidupan inilah yang menjadi kunci lestarinya budaya Subak.

Organisasi pendidikan, Ilmu pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) akhirnya mengakui Subak di Bali sebagai Warisan Budaya dunia. Pengakuan tersebut terwujud setelah perjuangan pemerintah Indonesia selama 12 tahun. Pengusulan untuk kategori ini bukan lah perkara yang mudah karena diperlukan penelitian mendalam melalui pendekatan multi disiplin ilmu seperti arkeologi, antropologi, arsitektur lansekap, geografi, ilmu lingkungan, dan beberapa ilmu terkait lainnya. Pada tanggal 29 Juni 2012 dalam sidang ke-36 Komite Warisan Dunia UNESCO di kota Saint Peterburg, Federasi Rusia, pengusulan Subak sebagai Warisan Budaya Dunia telah disetujui dan ditetapkan. Penetapan sebagai Warisan Budaya Dunia ini disambut baik oleh masyarakat dan pemerintah Bali. Sesuai dengan pengajuannya, Subak di Bali yang memiliki luas sekitar 20.000 ha terdiri atas subak yang berada di lima kabupaten, yaitu kabupaten Bangli, Gianyar, Badung, Buleleng, dan Tabanan.

Subak sebagai sebuah kesatuan lanskap, nilai budaya, organisasi masyarakat, dan sistem kepercayaan unik. Tak ada tempat lain di Asia Tenggara. Subak dimiliki dan dirawat masyakarat Bali sejak abad ke-11 hingga kini. Subak dinominasian dengan tajuk “Budaya Subak Bali” inspired by the Balinese

(8)

philosophy of Tri Hita Karana. Subak tak hanya tecermin dari subur, indah, dan hijaunya lanskap persawahan, tetapi terkait erat dengan budaya dan sistem kepercayaan masyarakat. Hal itu terlihat dari organisasi komunitas dalam mengurus pengairan dan pura persembahyangan di lanskap subak.

Subak mencerminkan keharmonisan alam dengan manusia, manusia dengan manusia, dan manusia dengan penciptanya melalui filosofi Tri Hita Karana. Sistem Subak merupakan kelembagaan pengelola irigasi yang sangat terkenal didunia internasional, bukan hanya dikalangan Pakar Irigasi, tetapi dikalangan Pakar Sosial Budaya. Cakupan wawasan subak ternyata jauh lebih luas, termasuk nilai dasar yang terkandung dalam filosofi Subak yang disebut Tri Hita Karana. Tri Hita Karana yang berarti hubungan yang harmonis atau penyebab terwujudnya kesejahteraan hidup yang diwujudkan dalam bentuk :

1. Parahyangan: Hubungan yang harmonis antara anggota atau karma subak dengan Tuhan Yang Maha Esa.

2. Pawongan: Hubungan yang harmonis antara anggota Subaknya dimana yang disebut dengan Krama Subak.

3. Palemahan:

Hubungan yang harmonis antara anggota Subak dengan lingkungan atau wilayah irigasi Subaknya

Empat Situs Bali,Warisan Budaya Dunia Dalam Pelestarian Subak Berlandaskan Konsep Tri Hita Karana

Empat kawasan di Bali yang diusulkan menjadi kawasan Warisan Budaya Dunia (WBD), Juni mendatang dinilai United Nations Educational Scientific Cultural Organization (UNESCO).

Keempat kawasan tersebut adalah Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur, daerah aliran Sungai Pakerisan, Pura Taman Ayun dan lingkungan sekitarnya serta kawasan Batukaru (Catur Angga Batukaru), konsep Pahrayangan

diwakili oleh Pura Taman Ayun, Badung, Pawongan pada sistem oragnisasi subak di DAS Tukad Pakerisan Gianyar, dan Palemahan di Jatiluwih, Penebel,Tabanan. Keseluruhannya merupakan satu kesatuan utuh dari keberadaan subak yang diakui dunia.

Hal ini tentunya akan mamberi dampak pada peningkatan jumlah kunjungan wisatawan untuk mengetahui subak secara lebih dekat dan dunia ikut menjaga kelestarian subak di Bali dengan berbagai program dan kegiatan pelestarian.

2.4.3 Catur Angga Batukaru

Kawasan Batukaru (Catur Angga Batukaru) terdiri dari lima belas subak yakni Subak Bedugul, Jatiluwih, Kedampal, Keloncing, Penatahan, Pesagi, Piak, Puakan, Rejasa, Sangketan, Soka, Tegalinggah, Tengkudak dan Subak Wangaya Betan. Salah satu kawasan batukaru yang paling diminati para wisatawan adalah kawasan jatiluwih. Desa Jatiluwih yang merupakan salah satu daerah persawahan di Bali yang dibuat berteras atau berundak-undak, menawarkan pemandangan alam yang menakjubkan. Sistem sawah berteras ini membuat Jatiluwih dinobatkan UNESCO sebagai World Heritage atau warisan budaya dunia. Untuk mengiri sawah seluas 636 hektare di Jatiluwih juga dipergunakan sistem pengairan subak yakni sistem pengairan tradisional di Bali yang berbasiskan masyarakat.

Soal air untuk pengairan, tidak menjadi kendala bagi petani Jatiluwih, karena desa tersebut berdekatan dengan tiga gunung setinggi diatas 2000 meter dari permukaan laut yakni Batukaru, Sangyang dan Poohoen yang menjadi sumber mata air. Dalam menjalankan aktivitas pertaniannya masyarakat Jatiluwih juga masih tetap mempertahankan Tri Hita Karana, yang telah diterapkan turun-temurun. Masyarakat di desa ini juga masih menggunakan alat-alat tradisional dalam mengerjakan sawahnya.

(9)

Dalam penerapannya Tri hata Karana selalu diupayakan adanya keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam, yakni sawah beserta ekosistemnya, manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan sebagai pencipta. Budaya menanam padi mulai dari proses pertanian dan mapag toya, ngendag, mengolah tanah, tanam padi, mebiyukungkung sampai dengan panen padi. Menariknya masih dipertahankannya padi lokal serta budidaya masih menggunakan pupuk organik bahkan dalam pemberantasan hama juga menghindari pemakaian obat-obatan kimia atau pestisida. Pada saat -saat tertentu ketika hama tikus menyerang maka petani tidak langsung memberantas binatang pemakan tanaman padi tersebut dengan obat-obatan atau membunuhnya, namun hanya mengambil beberapa ekor untuk dilakukan upacara ngaben, dan diyakini hama tikus yang menyerang persawahan mereka akan hilang . Selain menikmati keindahan kesejukan panorama alam pegunungan, Jatiluwih juga meyimpan atraksi upacara keagamaan yang unik setiap 210 hari sekali yaitu pada hari Wali, Petoyan, Patirtan, Rabu kliwon Ugu. Pada upacara puncaknya dipentaskan juga tarian Wali Pendet yang sakral. Ini sebagai sujud syukur atas anugrah yang dilimpahkan-Nya, dan mendoakan agar alam tetap seimbang,seperti penerapan konsep Tri Hita Karana yang di terapkan oleh masyarakatnya.

III. PENUTUP

Implementasi yang bisa ditarik dari konsep Tri Hita Karana bagi para pengelola dan insan pariwisata saat ini adalah lebih memperhatikan usaha pelestarian bagi alam sekitarnya tanpa melupakan Tuhan sebagai tonggak terpenting dalam usahanya.Hal ini secara nyata dapat dilakukan dengan adanya sistem ramah lingkungan, dengan adanya pemeliharaan lingkungan sekala berkala, sehingga keasrian alam sekitar akan tetap terjaga, serta adanya timbal balik dan tukar

pendapat antara pengelola dengan masyarakat sekitar dalam konteks lingkungan dan keamanan sehingga tercipta keharmonisan antara pengusaha dengan penduduk sekitar, dan juga dibangunnya dan dirawatnya sarana tempat suci yang akan membawa dampak secara rohani bagi anggota perusahaan dan juga masyarakat sekitar. Sehingga disini akan timbul suasana positif, antara pengelola. alam, masyarakat, dan juga tingkat spiritual yang terkadang dilupakan.

Dengan memahami konsep ini secara lebih mendalam, khususnya buat insan pariwisata, Bali akan bisa bertahan dengan kokoh untuk menghadapi persaingan. Tetapi , ketika konsep ini kemudian diabaikan, dan uang menjadi tujuan utama, kekacauan akan menjadi hasil akhir yang menyedihkan untuk kita semua.

Instansi pemerintah sebagai pemegang kebijakan untuk tidak terpengaruh akan bujukan tertentu yang akan merugikan bidang pariwisata, dimana mereka harus lebih mendalami konsep ini untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan pariwisata Bali. Ketegasan dan aturan yang dibuat khususnya terkait dengan pariwisata Bali harus dikaji melalui kajian tentang dampak hubungan antara alam, manusia dan tuhan maha pencipta.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Yuli Ferera. 2012. Konsepsi Komersialisasi Seni Budaya Hingga Nasib Eksistensi Gedung Wayang Orang Sriwedari. (Diakses 23 Oktober 2014). URL:

Amalia, Syifa, 2012. Definisi Budaya. (Diakses 19 October 2014). URL: http:// syifaamalia22.wordpress.com/2012/04/15/ definisi-budaya/

Kurniansah, Rizal. 2014. Beberapa Hal Tentang Pariwisata dan Definisinya. (Diakses 23 oktober 2014). URL:

Referensi

Dokumen terkait

Siswa diminta untuk melakukan latihan kekuatan dan daya tahan otot (push up, sit up, back up dan naik turun bangku) untuk meningkatkan kebugaran jasmani yang dilakukan

Penelitian ini merupakan penelitian kajian budaya, terkait dengan penggunaan teknologi komputer desain 3D dengan realitas virtual dalam pembuatan desain Gedung

Hubungan gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan seperti yang dinyatakan Mamik (2010; 84) menyatakan bahwa keberhasilan perusahaan dalam mencapai tujuannya sangat ditentukan

cyber public relations Humas Polda Jawa Timur dalam meningkatkan citra yaitu: menjalin kerjasama dari berbagai stakeholder, Menggunakan media mainstream, Kreatif dalam

Setelah data yang primer dan data sekunder yang diperlukan terkumpul, maka selanjutnya akan dilakukan analisis sesuai dengan teori dan persamaan yang terdapat

Maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun sistem pembelajaran bangun ruang dengan metode marker augmented reality berbasis android yang digunakan

adalah atau. Hal itu sejalan dengan respon yang diberikan saat wawancara sebagaimana tersaji pada kutipan wawancara berikut.. Akan tetapi, proses yang dijelaskan untuk

Faktor pembentuk preferensi konsumen dalam memilih Armor Kopi dalam penelitian ini ada sepuluh faktor yang terdiri dari Harga, Kualitas layanan, Kualitas produk (rasa dan varian),