SUMPAH PALAPA
Dicetak dan diterbitkan oleh: Penerbit :Margajaya
Surakarta
Karya : SD DJATILAKSANA Hiasan gambar : Oengki.S
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Pembuat Ebook : Scan DJVU : Koleksi Ismoyo http://cersilindonesia.wordpress.com/ Convert, edit teks & PDF Ebook : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/ http://kang-zusi.info http://cerita-silat.co.cc/ Tersentuh kalbu digetar samar ketika sunyi berbisik namamu membias relung-relung renung menyayup bahana sumpahmu lamun buwus kalah nusantara isun amukti palapa...
Hasrat membubung, suksma menderu menuju gunduk dataran ria Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik untaian ratna harapan tempat citamu bersemi satu Duhai, ksatrya wira-bhayangkara
Kini kita telah menemuinya ketika sunyi berbisik namamu entah di arah belah penjuru mana tetapi kita tahu
bahwa bisik itu sebuah amanatmu inilah
daerah Nusantara yang bersatu dialas Pulau Yang Delapan.
Jilid 19
I
K
AMA NA TRPTAYE BHAVANTI. Nafsu tiada kepuasannya. Yang kaya masih ingin lebih kaya. Yang berkuasa masih ingin lebih berkuasa. Demikian cara Nafsu merusak jiwa manusia. Demikian pula keadaan manusia yang berhamba pada nafsu.Nafsu merupakan wabah yang ganas dalam diri manusia. Namun anehnya, manusia anut mendambakan wabah itu karena Nafsu selalu mengarah kepada Kesenangan dan kenikmatan, kemewahan dan kebanggaan.
Di antara berjenis wabah penyakit manusia yang paling berbahaya, paling ganas dan paling durhaka, adalah wabah Nafsu, Dan wabah Nafsu pula yang paling sukar dikikis dari jiwa manusia.
Kesenangan dan kenikmatan selalu dipuja dan didamba oleh setiap manusia. Pada hai kesenangan itu adalah tempat kecelakaan.
Maka berbahagialah mereka yang dapat menguasai nafsu. Kesenangan, bersifat kenikmatan. Tetapi kebahagiaan adalah kedamaian.
Peristiwa lurah Pacet, merupakan salah satu dari penyakit yang menghinggapi setiap orang, terutama mereka yang kebetulan menduduki jabatan dalam pemerintahan. Entah dia seorang narapraja yang menduduki jabatan pemerintahan, entah yang menduduki jabatan keprajuritan.
Lurah adalah seorang pemimpin desanya. Sifat seorang pemimpin harus memberi contoh suri tauladan yang baik kepada rakyatnya. Harus memberi pengayoman dan pimpinan. Pimpinan bukan junjungan. Bukan pula suatu jabatan untuk menindas
rakyat. Pimpinan adalah senafas dengan bapak yang wajib memimpin anak anaknya.
Tetapi memang Kekuasaan, dapat mengaburkan pengertian oraag. Kekuasaan, dianggap sebagai alat memerintah, Dan dalam pengertian merrerintah, dikaburkan pula makna yang sebenarnya. Memerintah, bukan untuk menguasai dalam arti kata menindas. Melainkan nemerintah kearah teraturnya ketata-prajaan desa, keamanan dan kesejahteraan lingkungan hidup rakyat di-daerah itu.
Memerintah adalah mengurus kepentingan yang diperintah, dalam hal ini rakyat. Bukan yaog diperintah atau rakyat yang harus menurut untuk kepentingan yang memerirtah.
Dan sekali telah tercengkeram oleh nafsu kekuasaan seperti hal lurah Pacet, maka tak mungkin nafsu itu akan membebaskan nya.
Tetapi lurah Pacet ketemu batunya. Yang dihadapinya itu, bukanlah tokoh sembarang tokoh, melainkan seorang insan yang besar kuasa dan pengaruhnya dalam pemerintahan kerajaan Majapahit.
Memang dalam menjalankan tugas-tugas, baik dalam pemerintahan mau pun dalam pasukan, patih Dipa selalu memegang tata peraturan dengan tertib dan keras.
Ketika dahulu dia melindungi mendiang baginda Jayanagara ke desa Badander, dia memerintahkan agar tempat rombongan baginda menyembunyikan diri dari huru hara pemberontakan ra Kuti, dirahasiakan. Entah bagaimana, dua orang prajurit rombongannya mohon idin hendak kembali ke pura kerajaan karena hendak nsenjenguk keluarganya didalam pura. Sebagai jawaban patih Dipa telah membunuh kedua prajurit itu ( baca : Gajah Kencana ) .
Menghadapi lurah Pacet yang dinilai telah menyalah-gunakan jabatan untuk mengangkat diri sebagai raja kecil di desanya,
patih Dipa tak mau berdamai lagi. Andaikata dalam pertempuran tadi lurah itu yang menang, tentulah lurah itu akan lebih bersimaharajalela lagi. Kemungkinan lurah itu akan membunuhnya.
Seketika dia melantangkan pernyataan bahwa lurah itu dicopot dari kedudukannya. Tetapi karena tiada tahu dengan siapa berhadapan, lurah itu masih bersitegang menolak keputusan patih Dipa.
"Engkau bebas menilai tetapi tak berhak menentukan nasibku" bantah lurah Pacet "memang saat ini aku kalah dan engkau boleh bertindak menurut imbalan dari kemenanganmu. Tetapi lain waktu, entah kapan saja, aku tentu akan menuntut balas kepadamu"
"Lurah Pacet" seru patih Dipa seraya melangkah kehadapan lurah itu "engkau boleh mengajukan syarat apa saja agar engkau bersedia bertanding lagi dengan aku. Silakan!"
Lurah Pacet terkejut. Demikian pula dengan orang-orang padepokan gunung Penanggungan, terutama resi Kawaca. Namun sebelum resi itu sempat membuka mulut, lurah Pacetpun sudah mendahului.
"Ki sanak" serunya "engkau memang seorang ksatrya yang digdaya. Kuakui. Tetapi aku masih belum yakin betapalah kedigdayaanmu sehingga engkau sanggup bertanding dengan tangan kosong menghadapi senjataku"
"O, engkau hendak melawan aku dengan senjata?" "Ya, tetapi ...."
"Dan aku dengan tangan kosong?" tukas patih Dipa. Lurah Pacet tersipu-sipu mengiakan.
"Engkau yakin akan mampu mengalahkan aku?" tegur patih Dipa yang terhanyut hati panas karena melihat sikap lurah itu.
Suatu hal yang sebenarnya selalu dijauhi oleh patih Dipa. la tahu bahwa musuh yang kalah, tak baik kalau diejek atau ditindas. Namun terhadap lurah Pacet, ia tak menemukan suatu alasan lain kecuali harus menampilkan sikap yang angkuh untuk menghancurkan kebanggaan dan kesombongan patih itu.
"Aku tak melihat sesuatu yang dapat mengurangi keyakinanku itu" sahut lurah Pacet.
"Baiklah, mari kita bertanding lagi menurut syarat yang engkau kehendaki" seru patih Dipa.
"Ki patih" tiba-tiba resi Kawaca berseru. Dia bermaksud hendak mencegah agar pertempuran itu jangan dilanjutkan juga. Sengaja ia menyebut jabatan patih itu agar lurah Pacet mendengar dan menyadari.
Tetapi lurah Pacet seolah tak mendengar hal itu. Yang menghuni dalam benaknya, dia harus dapat menebus kekalahannya tadi. Baginya, kekalahan yang dideritanya itu benar-benar mengguncangkan fahamnya. Sepanjang hidup, belum pernah dia menderita kekalahan dari setiap lawan yanj dihadapinya. Baru pertama itu dalam sejarah hidupnya ia merasakan betapa pahit rasanya seorang jago yang menderita kekalahan itu. Lebih pula, kekalahan itu disaksikan oleh musuh yani orang padepokan gunung Penanggungan dan oleh anak-buah pengikutnya sendiri. Betapa sakit rasanya
Serentak ia meminta sebatang pedang dari anak-muridnya dan berseru cepat "Mari kita mulai, ki sanak"
"Tenanglah, ki resi" patih Dipa menyempatkan diri berpaling ke arah resi Kawaca dan mengucap kata-kata menghibur.
Gebrak pertama yang dilancarkan lurah Pacet itu cukup dahsyat. Sebuah gerak melintang untuk menabas kepala, dilanjutkan dengan suatu perolahan gerak untuk menusuk dada. Keduanya dilancarkan dengan gerak yang cepat dan tangkas, disertai tenaga yang kuat.
Getar-getar kejut telah menyerap hati pengikut-pengikut lurah Pacet dan murid-murid padepokan gunung Penanggungan. Hampir tak pernah anak murid lurah Pacet, menyaksikan ilmu permainan pedang seperti yang dimainkan lurah mereka pada saat itu. Jelas, bahwa lurah Pacet sedang mengeluarkan ilmu simpanannya. Juga para cantrik dan siswa padepokan. mereka terkejut karena meayaksikan ilmu pedang yang dipertunjukkan lurah Pacet. Rasa kejut itu beralih menjadi rasa cemas akan keselamatan patih Dipa. Beberapa cantrik bahkan sudah siap memberi bantuan apabila terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada diri patih Dipa.
Dahulu ketika berada di candi Kagenengan, bertemulah Dipa, kala itu masih menjadi seorang pemuda, dengan seorang pandita linuwih yani mahayogi Padu-paduka. Pandita itu memiliki ilmu kesaktian yang mengejutkan. Dan dari pandita itulah Dipa mendapat ajaran sebuah ilmu tata-langkah yang disebut Lembusekilan. Pesan sang pandita, ilmu itu adalah sebuah ilmu untuk membela diri yang ampuh. Walaupun berhadapan dengan lawan yang menggunakan senjata, asal tidak gugup, tentulah akan mampu lolos dari bahaya.
Bertahun-tahun lamanya Dipa membenamkan diri dan mencurahkan perhatian untuk berlatih ilmu itu. Hasilnya, sudah berulang ia cobakan dalam pertempuran menghadapi beberapa lawan, ternyata dia mampu menyelamatkan diri.
Dalam menghadapi lurah Pacet tadi, diapun melangsungkan ilmu itu. Dan kini walaupun lurah Pacet menyerang dengan pedang dahsyat, tetap patih Dipa menghadapinya dengan ilmu yang amat dipercaya akan daya keampuhannya.
Berulang kali terdengar napas terhenti dalam ketegangan yang menyesakkan dada dari mereka-mereka yang menyaksikan betapa ketat ayun pedang lurah Pacet merapat pada tubuh patih Dipa. Namun sesaat kemudian berhamburan napas-napas menghembus longgar manakala ayun pedang hanya menemui
sasaran yang kosong dan patih Dipa masih tegak tak kurang suatu apa di dekat lawan.
Lurah Pacet sendiripun geram dan makin penasaran. Hampir ia tak percaya pada penglihatannya. Jelas tubuh lawan hanya tinggal beberapa kilan dari jangkauan lintas pedangnya. Tetapi mengapa tiap kali pedang nya tetap tak mengenai sasaran. Ia memang tahu bahwa patih Dipa sedang memantrakan aji Lembu-sekilan. Tetapi ia masih belum yakin kalau pedangnya tak mampu menjangkau sasaran yang sedemikian dekat, bahkan hampir merapat itu. Terbenturlah lurah itu antara keyakinan dengan keyakinan, antara penglihatan dengan pembuktian. Ia tak percaya namun kenyataan memang demikian.
Dalam hati yang terombang-ambing perasaan geram, akhirnya luap amarah lurah itu menuntut suatu cara yang terakhir. Cara yang dianggapnya akan dapat menyelesaikan pertempuran yang sangat menghilangkan mukanya itu.
Sebuah tebasan diayunkan ke arah pinggang. Dan tepat seperti yang diperhitungkan, patih Dipa memang hanya berkisar sedikit ke belakang. Pada saat itulah lurah Pacet cepat-cepat mengangkat pedang dan dengan segenap tenaga, ditaburkan pedangnya itu kepada patih Dipa.
Patih Dipa terkejut. Dia tak menyangka lurah Pacet akan bertindak senekad itu. Untuk menghindar mundur atau ke samping, jelas sudah amat sempit sekali kesempatannya. Untunglah selama dalam bertempur itu, ia selalu bersiap-siap menggunakan gada pusaka Gada Intan. Rupanya sikap hati hati itu membuahkan kebaikan. Di saat layang pedang mengancam dirinya, dengan sebuah gerak yng amat tangkas, patih Dipa mencabut gada pusaka dan menangkis, trangngng ....
Di sela-sela pekik teriakan yang menghambur kejut yang tegang, pedang lurah Pacet telah patah menjadi dua dan mencelat ke samping kanan dan kiri.
Dan sebelum orang tahu apa dan bagaimana peristiwa mentakjubkan itu terjadi, timbullah sebuah peristiwa lain yang lebih menggemparkan. Sekalian orang mengira bahwa patih Dipa mampu menangkis taburan pedang lurah Pacet hanya dengan tangan kosong, yalah menyongsong dengan lengannya. Hal itulah yang sangat mencengkam rasa kejut orang orang itu. Hampir mereka tak percaya pada apa yang disaksikannya.
Namun sebelum tahu bagaimana sesungguhnya duduk perkaranya, adakah hal itu memang terjadi atas kesaktian patih Dipa, ataukah ada sesuatu yang menyebabkannya, sekonyong-konyong menyusul sebuah ledakan dari suatu adegan yang menebarkan rasa kejut sekalian orang.
”Plakkkkkk . . . ."
Patih Dipa maju selangkah, ayunkan kaki dan seiring dengan bunyi letupan yang keras, tubuh lurah Pacet itupun mencelat melayang sejauh dua tombak dan terbanting keras-keras ke tanah.
"Ki patih ...."
"Maaf, ki resi" cepat patih Dipa berpaling ke arah suara yang dikenalnya itu "aku telah lupa diri"
Resi Kawica bergegas menghampiri lurah Pacet yang tiada bergerak. Setelah memeriksa, barulah diketahui bahwa lurah itu masih hidup tetapi menderita luka yang cukup parah. Tulang punggungnya retak.
Resi Kawaca segera memerintahkan cantrik untuk mengangkut lurah itu ke dalam padepokan. Dia memberi pertolongan dengan memberi minum ramuan obat. Tak berapa lama, walaupun masih belum dapat bangun tetapi lurah Pacet sudah sadar.
"Apakah aku masih hidup ?" pertama-tama dari mulut lurah itu melurcur pertanyaan. Rupanya dia masih bingung tentang keadaan dirinya.
Resi Kawaca mengangguk "Hyang Isywara masih melindungi engkau, ki lurah. Engkau masih hidup"
"Oh" desuh lurah itu sambil mengernyit dahi. Dia hendak bergerak tetapi rasa sakit pada punggungnya amat menyiksa.
"Jangan bergerak dulu, ki lurah. Eagkau terluka. Beristirahatlah, jangan memaksa diri" kata resi Kawaca.
Lurah itu menghela napas "Dimanakah lawanku tadi?"
"Beliau berada di serambi muka, sedang bercakap cakap dengan para siswa padepokan"
Tampak mata lurah itu memberingas. Tetapi bukan beringas kemarahan melainkan ditegang kecemasan. Rupanya resi Kawaca tahu hal itu.
"Jangaa kuatir, ki lurah" katanya "beliau takkan mengganggumu. Engkau sudah cukup tersiksa dengan luka yang engkau derita"
Diam-diam lurah Pacet menghela napas longgar dalam hati dan hal itu kentara dari sinar matanya yang mulai tenang "Ki resi" katanya lirih "siapakah gerangan orang itu?"
"Adakah engkau belum faham siapa beliau?" Lurah Pacet gelengkan kepala.
"Itulah kesalahan utama yang engkau lakukan" kata resi Kawaca "andaikata waktu aku berseru mencegah beliau dengan menyebut jabatannya tadi, engkau mau membagi perhatian untuk mendengarkannya, tentulah persoalan ini takkan berlarut-larut sampai begini, ki lurah"
Lurah Pacet mengerut dahi berpikir. Ia berusaha untuk mengingat-ingat apa yang dikatakan resi Kawaca. Namun
kepalanya masih terasa memar dan berdenyut denyut sehingga tak mau diajak berpikir.
"Ki lurah" kata ki resi yang tahu akan keadaan lurah itu "engkau terlalu berani benar. Berani itu memang milik seorang lelaki. Tetapi keberanian yang lepas dari kebijaksanaan, akan menjerumus kearah penderitaan"
"Ya" lurah Pacet mengangguk "tetapi siapakah gerangan orang itu?"
"Beliau adalah gusti patih Dipa dari kerajaan Majapahit yang termasyhur itu ... ."
"Hah . . . ?" lurah Pacet tak dapat melanjutkan kata-katanya. Dia pinggan seketika.
Resi Kawaca ke luar menemui patih Dipa dan memberi laporan tentang keadaan lurah Pacet.
"Ki patih" kata resi "lurah itu sudah cukup menerima ganjaran. Dia terluka dan dihempas rasa takut yang tak terbangga karena kuberitahu siapa sebenarnya diri ki patih"
Patih Dipa mengangguk-angguk.
"Ki patih" kata resi pula "adakah ki patih masih hendik melanjutkan memberi hukuman kepadanya?"
"Bagaimana kalau manurut pendapat ki resi?" patih Dipa balas bertanya.
"Hukuman yang paling menyiksa bagi manusia adalah hukuman batin" kata resi "hukuman pidana apapun hanyalah hukuman yang menimbulkan kesakitan pada raga. Masih dapat ditahan, walaupun harus mengalam i penderitaan siksa yang hebat. Tetapi hukuman batin, kiranya jauh lebih menyiksa dan lebih menderita"
"Adakah ki resi bermaksud hendak memintakan pengampunan baginya ?"
"Sifat manusia itu lemah dan banyak kesalahan" kata resi "tetapi Hyang Isywara itu bersifat maha pemurah dan pengampun"
Patih Dipa mengangguk "Benar, ki resi. Ucapan tuan itu memang penuh dengan kemanusiawian dan keluhuran. Secara peribtdi, aku dapat mengampuninya. Tetapi dalam jabatanku sebagai seorang narapraja yang harus menegakkan dan menjaga kelangsungan wibawa undang-undang kerajaan, terpaksa aku harus menyisihkan perasaan peribadi"
Resi Kawaca kerutkan dahi.
"Lurah termasuk warga dari jajaran narapraja kerajaan Majapahit. Lurah Pacet telah melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan rakyat dan menyalahgunakan jabatannya untuk melakukan tindakan-tindakan yang sewenang-wenang. Bukan begitu cara seorang lurah me laksanakan tugasnya. Walaupun hukum karma akan mengikuti jejak hidupnya sebagaimana bayang-bayang tubuhnya, tetapi hukum kerajaan tetap harus dilaksanakan"
"Ki resi" kata patih Dipa pula "karena tuan telah memintakan pengampunan untuknya maka aku-pun akan mengurangi hukumannya. Dia hanya menerima hukuman dipecat dari kedudukannya sebagai lurah. Lain-lain pidana dapat dibebaskan"
Walaupun tidak seluruh permintaanya diluluskan namun resi Kawaca cukup menyadari bahwa patih Dipa telah berkenan mendeagar permintaannya. Memang keputusan patih itu amat bijaksana dan resipun tidak membantah lebih lanjut.
Demikian peristiwa permusuhan antara rombongan rakyat desa Pacet yang dipelopori lurah, dengan padepokan gunung Penanggungan, telah selesai. Keesokan harinya berangkatlah patih Dipa bersama resi Kawaca menuju ke pura Majapahit.
Sebelumnya patih Dipa mengajak resi singgah di desa Pacet. Di s itu dia mengumpulkan seluruh rakyat desa.
Setelah menguraikan tentang peristiwa yang terjadi di padepokan Penanggungan maka patih Dipa membuka kesempatan kepada siapapun yang pernah dirugikan atau mendapat perlakuan yang sewenang-wenang dari luruh Pacet.
Tetapi tak seorangpun yang tampil bicara.
"Baik" kata patih Dipa "kalian tentu takut mergatekan sesuatu yang tak baik dari lurah itu karena kalian takut akan menerima pembalasan. Tetapi ketahuilah, para penduduk desa Pacet sekalian, bahwa sejak saat ini lurah itu telah dipecat dan akan diganti dengan seorang lurah yang baru"
Terdengar napas-napas berhembus ke luar dari mulut para penduduk. Suatu pertanda bahwa pernyataan patih Dipa itu telah mendapat sambutan yang legah. Patih Dipa dapat mengetahui hal itu walaupun mereka tidak berani bicara.
"Akan kuserahkan kepada kalian untuk memilih sendiri siapakah di antara kalian yang layak dan cakap menjadi lurah baru" seru patih Dipa "apakah kalian bersedia ?"
Rakyat menyambut dengan gegap gempita.
"Tetapi ada sebuah syarat yang harus kalian penuhi. Apakah kalian bersedia?" seru patih Dipa.
Walaupun tak tahu apa yang dimaksud patih itu namun mereka mengiakan.
"Kalian semua salah" seru patih Dipa secara tiba-tiba sehingga sekalian penduduk desa terkejut. Mereka saling bertukar pandang satu sama lain.
"Gusti patih" Salah seorang penduduk yang berusia lanjut dan dianggap sebagai sesepuh desa, memberanikan bertanya "hamba sekalian adalah rakyat desa yang bodoh sehingga tak tahu kesalahan apa yang telah hamba sekalian lakukan"
"Mungkin kalian tak menyadari bahwa hal itu merupakan suatu kesalahan" jawab patih Dipa "tetapi sikap dan tindakan kalian selama ini terhadap lurah yang lalu, merupakan suatu kesalahan. Jelasnya begini. Lurah yang dulu, berbuat sewenang wenang, memperlakukan diri sebagai yang berkuasa di desa ini. Mengajak beberapa kaum muda untuk membentuk sebuah gerombolan yang sering mengganggu keamanan lain desa. Inilah kesalahan yang telah kalian lakukan"
"Maaf gusti patih" kata lelaki tua tadi "perbuatan itu semata-mata tindakan dari ki lurah yang lalu sendiri. Kami sebagai rakyat hanya menurut saja"
"Nah, disitulah letak kesalahan kalian" seru patih Dipa "lurah hanyalah pimpinan desa. Jika kalian tak mendukung, tak mungkin lurah itu dapat melakukan tindakan-tindakan yang salah. Dia memang bersalah tetapi kalianpun ikut bertanggung jawab atas kesalahan itu. Mengapa kalian tak berusaha untuk menganjurkan agar lurah mau kembali ke jalan yang benar?"
Terdengar desah dari beberapa orang dan patih Dipa tahu artinya.
"Kalian takut, bukan?" serunya "mengapa harus takut? ApabiU setiap rakyat di desa ini bersatu pikiran untuk menganjurkan dan mencegah lurah itu berbuat salah, apa daya seorang lurah betapapun digdayanya apabila menghadapi persatuan seluruh rakyat desa ini ?"
Penduduk tua tadi menghela napas "Kami kaum tua memang segan untuk menurut perintah lurah tetapi kaum muda itulah yang mendukungnya"
"Paman" seru patih Dipa ”jangatlah kita berusaha untuk melontarkan kesalahan kepada yang muda. Kesalahan anak-anak muda, tidak terlepas dari tanggung jawab kaum tua. Mereka tak mampu mendidik dan membina anak-anaknya ke arah jalan yang benar. Mereka telah kehilangan kewibawaan sebagai orangtua.
Mereka tak menyempatkan diri menaruh perhatian akan pertumbuhan anak-anaknya. Merekapun kurang menanamkan ajaran-ajaran agama dan tata-susila hidup kepada anak-anaknya. Mereka beranggapan, bahwa anak-anak itu cakup diberi makan dan setelan dewasa lalu disuruh bekerja. Salahkah apabila anak anak muda hilang faham, hidup dalam keremangan dan mudah tergelincir dalam pikat kenikmatan hidup dan kesenangan-kesenangan ?"
"Ajakan lurah untuk mendirikan sebuih perguruan dan membentuk sebuah gerombolan, tentu cepat bersambut dalam hati para anak muda itu" kata patih Dipa pula "siapakah anak muda yang tak terbujuk menjadi seorang jagoan? Menjadi seorang jagoan, disegani orang, ditakuti dan ditaati sehingga mudahlah mereka meminta sesuatu yang diinginkan kepada setiap orang. Kaum muda itu memang bersaUh tetapi apabila kita berani bersikap jujur, maka sumber dari kesalahan itu tak lepas kaharnya dengan orangtua. Nah, apabila kukatakan kalian semua telah melakukan kesalahan, adakah kalian masih belum merasa puas ?"
Lelaki tua itu terkesiap lalu menunduk. Tak seorangpun rakyat yang berani memandang ke muka, kepada patih Dipa. Dalam hati mereka, mengakui bahwa apa yang ditunjuk patih Dipa, memang benar semua.
"Saudara-saudara sekalian" seru patih Dipa "setelah kalian mengakui dan menerima apa yang kumaksudkan itu maka hal itu berarti bahwa kalian sudah mulai menapak ke jalan yang benar. Setiap orang merasa salah atas kesalahan yang dilakukannya, dia sudah menginjak di ambang kebenaran. Dan siapa yang udah mengakui, dia suiah mulai melangkah ke gerbang kebenaran. Dan mereka yang sudah mulai melangkah ke arah kebenaran, dia sudah dapat menempuh separoh bagian dari tujuan ke puncak kebenaran"
"Salah adalah sifat manusia. Karena hidup itu penuh kesalahan. Dan daripada timbunan kesalahan itulah akan tumbuh pohon kebenaran. Tanpa kesalahan, tak dapat kita mendambakan dan mencari kebenaran" patih Dipa menyelinapkan, pula suatu pandangan kemanusiawian hidup.
Rakyat desa Pacet tertegun dalam cekik keheningan yang penuh hamburan rasa. Mereka baru menyadari bahwa apa yang telah terjadi di desa Pacet dan apa yang dilakukan lurah Pacet, tak lepas pula dari tanggung jawab mereka. Merekapun baru terbuka mata hatinya akan rahmat dari setiap kesalahan, manakala kita sudah mau menerima, mengakui dan meluruskan.
Rakyat Pacet tak menyangka bahwa seorang pria-gung luhur akan datang di desa mereka dan memberi wejangan yang sangat mengesankan di hati. Bahkan kalau mereka memperbandingkan antara sikap lurah Pacet yang lalu dengan seorang patih kerajaan, mereka menemukan suatu keganjilan yang hampir tak dapat dipercaya.
Dahulu, lurah itu memerintah seperti seorang raja. Apa yang dikatakan lurah, merupakan undang-undang bagi rakyat Pacet. Tiada pernah lurah itu memberi kebebatan rakyatnya untuk berbicara, musyawarah ataupun memberi penerangan. Tetapi anehnya seorang patih yang jauh lebih tinggi kedudukannya, lebih besar kekuasaan dan lebih tenar namanya, berkenan mengajak rakyat untuk membicarakan keadaan desa dan menunjukkan kesalahan. Dan kesalahan itu bukan untuk diberi hukuman tetapi untuk diberi pengertian dan kesadaran, bimbingan dan pengarahan.
Entah bagaimana, serempak mereka duduk bersimpuh menghaturkan sembah kepada patih Dipa.
Patih Dipa terkejut dan menanyakan apa maksud mereka melakukan penghormatan yang sedemikian khidmat kepadanya.
Maka lelaki tua yang menjadi juru bicara dari rakyat Pacet tadipun menghaturkan sembah "Hamba seluruh rakyat desa Pacet, menyerahkan diri kebawah duli gusti. Hukuman apapun yang gusti berkenan untuk menjatuhkan, hamba sekalian akan rela menerimanya"
"Baik, paman" kata patih Dipa "rasa bersalah itu sudah merupakan hukuman bagi yang melakukan kesalahan. Undang-undang pidana kerajaan Majapahit, bertujuan untuk mengatur ketata-prajaan negera, menjamin akan kesejahteraan hidup rakyat. Tujean utama dari undang-undang kerajaan, bukanlah untuk memberi pidana me lainkan untuk memberi penyadaran, pembimbingan dan pengarahan kepada yang bersalah"
"Dalam peristiwa di desa Pacet itu" kata patih Dipa "walaupun secara tak sadar kalian tak lepas dari tanggung jawab atas apa yang dilakukan lurah itu, namun yang penting kalian belum meresapi akan wajib dan tanggung jawab dari kawula terhadap negara. Keamanan, kesehatan dan kemajuan negara maupun masyarakat serta lingkungan hidup desa dan kota, demikian pula segala sesuatu yang menyangkut kepentingan negara dan rakyat, bukanlah semata menjadi tugas dan tanggung jawab para narapraja, prajurit buyut sampai kepada lurah di desa-desa. Tetapi juga menjadi tugas dan tanggung jawab seluruh kawula dari seluruh lapisan masyarakat, tanpa membedakan keturunan dan kedudukan"
"Apabila sudah memiliki rasa sedemikian" lanjut patih Dipa "maka segala sesuatu yang akan mengganggu kebijaksanaan tindakan kerajaan dalam mengatur praja. Kesalahan yang terjadi di desa iai, mengenai diri lurah itu, bersumber pada belum adanya rasa itu pada kalian semua. Oleh karena itu, agar tidak ter-ul arg pi la peristiwa semacam itu di kelak kemudian hari, pentinglah kiranya kalian harus menanamkan rana ikut memiliki wajib dan tanggung jawab atas baik buruknya desa ini"
II
P
atih Dipa telah mengangkat seorang lurah baru untuk desa Pacet. Dalam pengangkatan itu patih Dipa memberi kebebasan kepada rakyat untuk menentukan pilihan lurah yang dikehendaki mereka.Dari desa Pacet, patih Dipa dan resi Kawaca menuju ke pura Majapahit. Dslam perjalanan yang memakan waktu tak lama itu, terjadilah percakapan pengisi waktu yang ternyata makin menimbulkan rasa hormat dan kagum resi Kawaca terhadap peribadi patih itu.
Resi Kawaca mendapatkan bahwa dalam diri patih Dipa itu, bukan melainkan hanya seorang patih kerajaan yang cakap, tegas dan bijaksana, pun sebagai seorang peribadi yang kuat, luas pengetahuan dalam berbagai bidang keagamaan dan kemasyarakatan serta memiliki pertimbangan yang tajam.
Kedatangan patih Dipa bersama resi Kawaca di gedung keputihan telah disambut gopoh oleh nyi Tara yang menjadi dayang kepercayaan kepatihan.
"Gusti" nyi T ara gopoh menyambut "gusti puteri makin payah" Patih Dipa bergegas membawa resi Kawaca masuk ke dalam bilik peraduan.
Saat itu keadaan nyi Dipa memang mencemaskan. Wajah tampak pucat dan mulut tak henti-hentinya mengeluarkan buih. Dan kesadaran pikirannyapun sudah menurun sekali.
Resi Kawaca segera melakukan pemeriksaan. Beberapa saat kemudian ia menghela napas.
"Bersyukurlah kepada Dewata Agung bahwa penyakit nyi patih, masih mempunyai harapan untuk disembuhkan, ki patih” kata resi Kawaca.
Patih Dipa menghela napas longgar.
"Kuserahkan jiwa nyi Dipa ke tangan tuan" kata patih Dipa "semoga tuan berkenan memberi pertolongan"
"Keadaan nyi patih sudah hampir mencapai titik yang gawat" kata resi Kawaca "buih-buih yang menghambur dari mulut nyi patih, masih berwarna putih. Apabila sudah menguning maka lidahnyapun akan keluar dan sekalipun dewa turun ke arcapada untuk memberi obat, tetap tak dapat menolongnya"
"Apakah penyakitnya, ki resi ?"
"Beliau telah keracunan meminum ramuan racun yang halus. Kerja racun itu tidak mengejut melainkan secara pelahan-lahan racun itu akan merusak jantung, empedu dan lain lain bagian penting dalam tubuh. Saat ini racun itu sedang meresap ke urat-urat termasuk urat-urat saraf di kepala sehingga nyi patih kehilangan kesadarannya"
Patih Dipa cemas-cemas gembira. Cemas karena keadaan yang diderita nyi Dipa. Gembira karena mendengar uraian resi Kawaca. Apabila mengetahui tentang sumber penyakitnya tentulah resi itu akan mampu menghilangkan penyakit itu.
"Ki resi, apapun yang terjadi, kuserahkan saja segala sesuatu mengenai diri nyi Dipa kepada tuan" katanya.
"Ki patih" sahut resi Kawaca "aku hanya seorang insan sahaja. Akan kuusahakan penyembuhan-penyembuhan nyi patih dengan sekuat tenagaku. Namun bagaimana hasilnya, kita serahkan saja kepada Hyang Widdhi Agung. Karena kepadaNYA lah kita iman manusia ini harus menyerahkan diri"
Patih Dipa menanggapi pernyataan resi itu dengan suatu pernyataan bahwa ia menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada sang resi.
Resi Kavvaci segera memberikan ramuan yang telah dibawanya. Semalam itu ia berada di bilik peraduan nyi patih dengan duduk bersemedhi, memohon kepada Hyang Batara Agung agar melimpahkan berkah penyembuhan kepada nyi patih. Keesokan harinya ketika patih Dipa menjenguk, didapatinya resi itu sudah siap menyambut. Sebelum patih Dipa menanyakan keadaan nyi Dipa, resi sudah mendahului memberi keterangan "Keadaan yang gawat dari nyi patih sudah lewat. Jiwanya tertolong tetapi ...”
"Tetapi bagaimana ki resi? Adakah yang masih mengancam kesehatannya?"
Resi mengangguk sarat "Ki patih, maaf apabila aku bersikap kurang susila untuk menanyakan sesuatu kepada tuan"
"Silakan, ki resi"
"Dalam pemeriksaan tadi, kudapati bahwa nyi patih sudah mulai mengandung, benarkah itu?"
Patih Dipa terkesiap namun cepat cepat ia mengi-akan. Diam-diam ia teringat akan pengakuan nyi Dipa mengenai hal itu.
"Terima kasih ki patih" kata resi Kmwsca "dalam hubungan itulah maka aku merasa cemas. Walaupun jiwa nyi patih tertolong tetapi beliau akan menderita kelemahan tenaga. Hal ini membahayakan sekali akan putera yang dikandungnya. Kemungkinan ...."
Patih Dipa terbeliak memandang resi.
"Kemungkinan jabang bayi ivu akan mengalami hal-hal yang tak diinginkan. Dapat terjadi keguguran atau lahir sebelum
waktunya. Dapat pula lahir tetapi cacat atau paiing tidak akan menjadi seorang anak yang lemah"
"Resi!" terbawa oleh luap kejut dan bayang-bayang akan nasib anak itu, patih Dipa mencengkeram lengan resi dan diguncang-guncangkan keras-keras.
Patih Dipa masih tetap seorang manusia dengan segala perasaan manusiawinya. Seorang manusia yang mempunyai tanggung jawab terhadap isteri. Seorang manusia yang mengha-ap akan kehadiran putera keturunan. Saat itu bukan lagi Dipa seorang patih yang telah berjanji akan mengabdikan seluruh hidupnya untuk perjuangan menegakkan negara Majapahit. Bukan Irgi seorang pejuang yang berhati batu dan berpendirian laksana kaiang yang tak goyah dihempas badai dalam mempertahankan dan memperjuangkan cita-citanya.
Tetapi dia adalah seorang manusia yang lengkap dengan rasa manusiawi seutuhnya. Seorang suami yang sedang mendaki ke puncak kebahagiaan karena akan menyongsong kelahiran dari bayi keturunannya. Bahwa secara tiba-tiba terjadi suatu bencana, dimana puncak yang sedang didakinya itu serasa meledak dan akan hancur berantakaa, sebagai seorang manusia dengan segala kodrat alami, dapat dimaklumi kalau dia sedemikian terkejut sehingga tanpa disadaii, diterkamnya tangan resi Ka wica dan di guncang-guncangkannya sekeras-kerasnya, seolah hendak menuntut pertanggungan jawab resi itu.
Namun menjadi kodrat alam bahwa segala sesuatu yang lahir itu akan tumbuh, setelah tumbuh dalam pertumbuhan yang memuncak tentu akan mengalami keguguran atau kerusakan. Demikian dengan perasaan, terutama rasa yang dielus oleh kejut dan nafsu amarah. Timbulnya rasa kejut akan meluap menjadi suatu ledakan perasaan yang kerapkali disertai dsngan ulah kekerasan atau hal-hal yang mengakibatkan kerugian pada lain orang. Lebih pula apabila cetusan rasa itu dihembuskan oleh nafsu amarah Akibatnya sukar dibayangkan.
Tetapi setelah rasa itu mencetus pada puncaknya, sebagaimana kodrat alam, tentulah akan berhamburan menurun pula, menuju kepada pengendapan yang semula.
Demikian yaug dialami patih Dipa. Setelah meluapkan cetus kejut yang disertai dengan menerkam lengan resi Kawtca, pada lain saat cetusan itupun segera berhamburan menurun dan mengendap.
"Ah, maafkan, ki resi" patih Dipa tersipu-sipu seraya melepaskan cengkeramannya "aku telah bertindak kurang susila terhadap tuan"
Resi Kawaca tenang-tenang menjawab "Tuan adalah seorang manusia sejati"
Singkat sambutan resi Kawaca namun bagi patih Dipa hal itu cukup gamblang. Resi Kawaca hendak mengatakan bahwa memang demikianlah sifat manusia yang wajar. Bahwa tindakan patih itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Atau lebih bukan sesuatu yang bermaksud menghina atau hendak mempersakiti resi Kawaca. Resi dapat menerima hal itu sebagai sesuatu yang wajar.
"Terima kasih, resi" ucap patih Dipa "tuan telah menerima sesuatu yang berharga kepadaku"
Resi dapat menangkap apa yang dimaksud dalam kata-kata patih Dipa. Diam-diam resi itu sangat menghargai ketajaman naluri penyerapan sang patih.
Dengan ucapan itu patih Dipa hendak mengatakan bahwa ia telah menerima sesuatu yang berharga dari resi Kawaca. Sesuatu yang berharga itu tak lain berupa suatu kesadaran rasa, bahwa dalam diri patih itu masih diliputi oleh rasa dan sifat manusiawi yang wajar. Sesuatu yang wajar, memang baik. T etapi alangkah lebih baik pula apabila kewajaran itu ditingkatkan pada tingkat yang lebih tinggi, lebih meningkat dari kewajaran sifat dan kodrat kemanusiawian dari manusia.
Dalam lapisan tingkat, pada umumnya terdapat tiga lapis yani tinggi, lebih tinggi dan paling tinggi. Demikian berlaku pada sifat wajar manusiawi. Wajar, lebih wajar dan paling wajar. Wajar merupakan gejala umum dari sifat setiap insan. Lebih wajar, mendekati pada peningkatan kearah alam iah sifat dan kodrat. Paling wajar, adalah pencapaian dari Silat dan Hakekat arti manusiawi. Maha wajar, menuju kearah pembebasan rasa ke-Akuan peribadi menuju kearah kemanunggalan dengan alam semesta.
Antara patih Dipa dengan resi Kawaca telah terjalin suatu hubungan percakapan batin yang padat.
"Ki patih” kata resi Kawaca sesaat kemudian "adakah tuan merasa cemas akan peristiwa ini?"
Patih Dipa menggeleng kepala "Tidak, ki resi. Tuan dapat menjelaskan segala sesuatu tentang keadaan nyi Dipa, pertanda bahwa tuan tentu dapat mengatasi keadaan itu. Mengapa aku harus cemas?"
"Ah, janganlah ki patih menyanjung diriku sedemikian tinggi. Akupun hanya seorang insan titah Dewata seperti tuan. Apa yang ku'akukan hanya suatuu-paya dari seorang manusia yang dibenarkan untuk berusaha. Namun kesemuanya, hanyalah terserah kepada Hyang Widdhi Agung"
"Baik, ki resi. Katakanlah apa saja yang menjadi rencana ki resi untuk menolong nyi Dipa?"
"Ki patih" kata resi Kawaca "memang ada setitik harapan memercik dalam hatiku. Tetapi ...." resi itu geleng-geleng kepala.
"Apa yang ki resi maksudkan?"
"Tetapi harapan itu tipis sekali atau bahkan mungkin tiada lagi"
Patih Dipa mengerut dahi "Ki resi, agar perasaanku legah, bagikanlah isi hati yang tuan resahkan itu kepadaku, agar aku dapat ikut serta merasakannya"
Resi Kawaca mengangguk "Begini, ki patih. Di seluruh permukaan bumi kerajaan Majapahit yang luas tiada taranya ini, hanya seorang saja yang mempunyai ramuan penyembuh sakit nyi patih. Tetapi sayang orang itu sudah tiada lagi"
"Siapakah yang ki resi maksudkan?"
"Ra Tanca, tabib termasyhur yang tiada bandingannya itu" "Ra Tanca?" patih Dipa terkejut.
"Benar" kembali resi menghela napas "bukankah dia sudah meninggal dalam peristiwa dahulu"
"Ya"
Resi geleng-geleng kepala "Ah, sayang sekali bahwa seorang tokoh yang memiliki kepandaian ilmu pengobatan yang begitu sakti, harus terlibat dalam peristiwa yang berlumuran noda”
"Ki resi" kata patih Dipa yang melihat sesuatu kekhilafan dalam kata-kata sang resi ”dalam pemberontakan yang dipelopori rakryan Kuti, ra Tai.ca sedang berada di Daha. Walaupun dia termasuk warga dari Dharmaputera, tetapi karena tiada terbukti dia ikut dalim pemberontakan itu maka atas keputusan. rahyang ramuhun Jayaaagara, dia dibebaskan dari hukuman"
"Ah, benar, benar, mengapa aku pelupa sekali?" seru resi Kawaca "ya, benar, ra Tanca maaih hidup. kemudian dia melakukan tindak yang menggemparkan kerajaan Majapahit karena telah mencidera seri baginda Jayanagara"
"Ya" patih Dipa mengiakan.
"Dengan hilangnya ra Tanca, hilang pula suatu sumber ilmu pengobatan yang hebat"
Patih Dipa terkenang akan peristiwa itu. Ia memang menyayangkan akan terjadinya peristiwa itu. Karena peristiwa itu telah memakan dua orang korban yang merupakan tokoh besar kerajaan Majapahit. Seri baginda Jayanagara dan ra Tanca. Seri baginda Jayanagara yaeg masih muda, harus meninggal dalam masa dimana masih banyak tugas-tugas kerajaan Majapahit yang belum sempat terselesaikan. Lepas daripada sifat dan tingkah seri baginda sebagai seorang peribadi manusia, Jayanagara telah melakukan suatu tindakan yang menjadi pokok landasan terbentuknya kerajaan Majapahit yang kokoh dan kuat.
Seri baginda Kertarajasa Wisnuwadhana atau raden Wijaya, merupakan rajakulakara atau pendiri sebuah kerajaan baru yang besar, di tumpukan puing-puing kehancuran dua buah kerajaan besar, kerajaan Singasari dan Daha. Masa pemerintahan baginda Kertarajasa penuh dengan perjuangan dan peperangan. Satelah mendirikan kerajaan Majapahit masih harus menghadapi berbagai pemberontakan. Di antaranya yang terbesar dan menyedihkan adalah pemberontakan Rangga Lawe, adipati Tuban yang tak puas karena baginda telah mengangkat Nambi sebagai patih kerajaan Majapahit. Setelah pemberontakan itu selesai, timbul pula pemberontakan-pemberontakan kecil di berbagai daerah, antara lain Bali.
Hampir dalam masa pemerintahannya, baginda Kertarajasa tak sempat membenahi dan menyehatkan susunan pemerintahan, akibat kesibukan-kesibukan menumpas pemberontakan-pemberontakan itu.
Setelah baginda wafat maka dinobatkanlah putera-nya, raden Kala Gemet menjadi raja dengan gelar abhiseka Jayanagara. Baginda Jayanagara menerima warisan dari keadaan yang belum mantap dalam tubuh pemerintahan. Baginda sibuk membenahi dan menyehatkan tubuh pemerintahan kerajaan. Banyak terjadi perobahan dalam susunan para mentri dan senopati. Terutama setelah terjadi periitiwa Lumajang-Pajarakan, dimana patih
Nambi dan beberapa mentri senopati tua terlibat dalam pemberontakan melawan kerajaan Majapahit.
Pemberontakan itu merupakan tanggapan dari kalangan mentri dan senopati tua yang dahulu menjadi kadehan atau orang kepercayaan baginda Kartarajasa. Mereka tak puas akan kebijaksanaan baginda Jayanagara yang lebih cenderung mempercayai patih Aluyuda atau yang biasa disebut dengan g«ear Mahapati. Pada hal akhirnya terbukalah kedok sang Mahapati Aluyuda, sebagai seorang mentri yang penuh nafsu keinginan untuk merebut kekuasaan dan pengaruh. Dan sebagaimana nasb setiap tokoh yang hendak merongrong dan mengganggu kewibawaan kerajaan Majapahit, akhirnya Mahapati Aluyuda juga harus menerima kematian secara mengenaskan. Matinya cineleng-neleng atau dicincang rakyat.
Juga pemerintahan baginda Jayanagara mengalami kegusesngan keguncangan dengan timbulnya beberapa go'ongan. Asal usul keturunan baginda yang dilahirkan seorang ibu, puteri Malayu, telah menimbulkan pertentangan yang tajam dan memang diperuncing oleh musuh-musuh Majapahit.
Baik baginda Kertarajasa maupun puteranya, baginda Jayanagara, masing masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Baginda Kertarajasa mempunyai kelebihan dalam menghadapi musuh, tetapi lemah dalam membersihkan tubuh pemerintahan karena mengingat jasa dari para kadehannya. Baginda Jayanagara tegas dalam menjalankan pemerintahan yang dicanangkan sebagai tindakan keras tapi tegas atau gitik-pentung. Tak peduli siapa dan betapa besar jasa mentri atau senopati itu di masa yang lalu terhadap kerajaan Majapahit, namun kalau akhirnya kenyataan dia memberontak atau melakukan tindakan yang merongrong kewibawaan pemerintah Majapahit, maka tak segan-segan baginda akan memberantasnya. Salah satu contoh adalah peristiwa patih Nambi.
Tetapi baginda Jayanagara juga mempunyai kelemahan terhadap wanita dan mentri yang bermulut manis tetapi berhati durhaka seperti mahapatih Aluyuda.
Kilas-kilas kenangan itu silih berganti melalu-lalang dalam kenangan patih Dipa saat itu. Dan bertemulah dia akan kebenaran daripada atas pemerintahan yang dilakukan mendiang baginda Jayanagara.
Ra Tanca, memang seorang Dharmaputera. Dan Dharmaputera itu diangkat sendiri oleh baginda Jayanagara sebagai suatu pengakuan akan kepercayaan yang diberikan seri baginda.
Ra Tanca, pun seorang tabib yang pandai pada jaman itu. Mungkin belum terdapat tabib lain yang menyamai ra T anca. Dia diangkat sebagai tabib keraton, khusus tabib seri baginda peribadi. Walaupun dengan dalih merasa terhina atas perbuatan seri baginda yang telah mengganggu isterinya, namun kenyataan bahwa tindakan ra Tanca membunuh baginda itu, telah menimbulkan keguncangan dalam sendi pemerintahan Majapahit dan menimbulkan kemarahan seluruh rakyat Majapahit. Maka berlakukan asas 'gitik-pentung' . Betapapun jasa dan hebatnya kepandaian ra Tanca, namun tabib itu harus dihukum mati.
Setelah menemukan persoalan itu ditempat kedudukannya yang wajar maka berkatalah patih Dipa "Memang layak di sayangkan bahwa seorang ra Tanca tabib yang sakti harus dibunuh. Tetapi lebih harus disayangkan apabila seorang ra Tanca pembunuh hianat tidak harus dibunuh !"
Resi terkejut mendengar ucapan patih Dipa yang bernada agak keras. Namun sesaat ia memaklumi apa yang ditegaskan patih itu memang benar. Resi berkata atas pandangan seorang resi tetapi patih Dipa berbicara sebagai seorang patih yang bertanggung jawab akan keselamatan negara. Walaupun ada titik perbedaan namun akhirnya menuju ke satu kesimpulan, bahwa setiap dosa harus mendapat pidana lahir maupun batin. Dosa,
akan menimbulkan karma yang akan menuntut batin dan perjalanan hidup manusia itu sendiri. Dosa, pun akan dituntut dengan pidana oleh undang2 negara. Deruikian secara batin dan lahir, tuntutan yang akan membayangi setiap perbuatan salah dan dosa.
"Benar, ki patih" sesaat kemudian resi Kawaca menemukan kewajaran dari persoalan diri ra Tanca "ilmu itu merupakan berkah apabila diamalkan untuk kebaikan. Tetapi akan merupakan kutuk apabila untuk maksud yang jahat. Mungkin ki patih mendengar, adakah ra Tanca mempunyai murid atau putera yang mewarisi kepandaiannya ?"
"Ra Tanca tidak berputera" "Sayang" resi menghela napas. "Tetapi keluarganya masih hidup"
Resi Kawaca tersengat kejut "Keluarganya ? Siapa yang ki patih maksudkan sebagai keluarganya ?"
"Nyi Tanca"
"Nyi Tanca ?" resi berteriak kaget.
"Ya" sahut Dipa ”yang bersalah adalah ra Tanca maka ra Tanca yang harus menerima pidana. Nyi Tanca tetap hidup di pura dengan selamat tak kurang suatu apa"
"Ah" kembali resi menghela napas. T etapi kali ini napas yang longgar "jika demikian ada harapan bagi nyi Dipa. Di manakah letak kediaman nyi Tanca"
"Akan kuperintahkan seorang kadehan untuk mengantar ki resi kesana" kata patih Dipa "tetapi adakah kunjungan ki resi kepada nyi T anca itu mempunyai hubungan dengan penyakit nyi Dipa?"
Resi mengiakan. Ia mangatakan bahwa ia berharap nyi T anca masih mempunyai simpanan ramuan dari ra Tanca.
Putuslah percakapan dengan suatu keputusan, bahwa hari itu resi Kawaca akan diantar seorang ponggawa kepatihan, berkunjung ke tempat kediaman nyi T anca.
Demikian setelah beristirahat dan diajak makan bersama oleh patih Dipa maka berangkatlah resi ketempat nyi T anca.
Nyi Tanca menyambut kedatangan resi dengan penuh kejut keheranan. Ia merasa belum kenal dengan resi itu namun sebagai seorang tuan rumah, disambutnya kedatangan resi itu dengan ramah dan dipersilahkannya duduk di pendapa.
Setelah memperkenalkan diri maka berlanjutlah resi menerangkan hubungannya dengan ra Tanca.
"Tigapuluh tahun yang lampau, ketika itu kakang Tanca dan aku masih seorang pemuda, sama-sama pernah berguru pada seorang resi yang sakti, resi Saniyasa"
"O, dengan demikian resi ini saudara seperguruan dengan ki Tanca?" seru nyi Tanca. Ia teringat dulu, entah berapa lama, memang ki Tanca pernah menceritakan bahwa dia pernah mempunyai seorang saudara seperguruan. Tetapi sejak sang guru wafat, keduanya berpisah dan sampai sekarang belum pernah berjumpa lagi.
"Demikianlah nyi rakryan" kata resi "tetapi hal itu berlangsung lebih kurang tigapuluh tahun yang lalu. Menurut keterangan guru, ada perbedaan sifat dan tujuan dari kami berdua. Kakang Tanca amat berbakat dan gemar sekali mempelajari ilmu pengobatan. Dalam hal itu beliau, guru kami, memang mempunyai sebuah kitab pusaka yang memuat berbagai ramuan obat yang berkhasiat tinggi"
"Sedang penilaian guru kepada diriku, aku dikatakan mempunyai jodoh untuk meresapi kitab-kitab veda yang berisi ajaran keagamaan. Memang aku sendiri tak tahu dan tak merasa, bahwa minatku amat besar sekali untuk menggali mutiara-mutiara yang terpendam dalam ajaran kitab-kitab veda itu"
"Sesekali pernah aku dan kakang Tanca sempat bercakap cakap tentang tujuan hidup kita masing-masing. Kakang Tanca mengatakan, bahwa menolong manusia dari penderitaan penyakit, baginya merupakan suatu darma yang luhur. Alam telah mengaruniai kita manusia dengan segala sesuatu yang lengkap. Sandang, pangan dan keperluan hidup termasuk sarana kehidupan, diantaranya ramuan obat untuk menghindari gangguan kesejahteraan hidup manusia" kata kakang Tanca. Beliaupun menambahkan, bahwa dasar daripada kejernihan pikiran, kebersihan jiwa adalah bersumber pada kesehatan jasmani. Didalam jasmani yang sehat akan bertahta pikiran dan jiwa yang sehat. Dan ini merupakan sarana penting untuk melaksanakan darma hidup sebagai insan yang baik"
"Aku setuju dengan pendapat kakang Tanca. Namun aku lebih cenderung untuk mengobati dan menyehatkan jiwa. Kukatakan, jiwa dan batin merupakan sumber uuma dari arti nilai manusia hidup. Jasmani yang sehat, belum tentu jiwanya sehat. Sehat dalam arti kata sehat pada jalan kesucian. Banyak pula kejahatan-kejahatan itu dilakukan oleh manusia-manusia yang memiliki tubuh yang sehat dan kuat. Tetapi dalam jiwa ymg sehat, belum tentu jasmani akan sehat pula. Ini kuakui. Namun karena jiwa sehat, walaupun tubuh tidak sehat, tetap akan dapat menghindari pikiran dan perbuatan yang jahat"
"Diantara kakang Tanca dan aku, terdapat dua perbedaan tentang cara dan tujuan mengabdi kepada keselamatan manusia" kata resi Kawaca lebih lanjut "singkatnya, kakang T anca menitik beratkan pada kesehatan jasmani sebagai sumber dari kehidupan bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan daa kesejahteraan lahir batin. Dan aku menelungkup! pendirian, bahwa batin itu adalah sumber dari segala gerak dan perbuatan. Oleh karena itu kuuta makan untuk menyehatkan batin ke arah keluhuran. Ajaran-ajaran dalam kitab veda yang menjadi sumber dari agama Syiwa, Buddha dan Brahma, harus lebih dikembangkan dalam
jiwa setiap insan, agar tercapailah kehidupan yang sejahtera, lahir batin"
"Walaupun berbeda pandangan tapi kakang Tanca dan aku sependapat, bahwa kita mempunyai tujuan yang sama yani mengabdi kepada kepentingan manusia. Hanya caranya yang berlainan. Oleh karena itu kami pun tidak mengadakan pertentangan, bahkan satu sama lain saling menghormati pendirian masing-masing"
"Ternyata amat singkatlah kami hidup dalam asrama pertapaan resi Saniasa. Hanya tiga tahun lamanya, tiba-tiba guru telah menutup mata karena terserang penyakit mendadak. Sebelumnya, semasa guru masih hidup, beliau telah berpesan, keiak apabila beliau wafat maka kitab-kitab dalam perpustakaan beliau, supaya dibagi. Kakang Tanca memperoleh kitab pusaka tentang ilmu pengobatan. Dan aku mendapat kitab-kitab veda yang berisi ajaran agama"
"Setelah selesai menyempurnakan jenasah guru dalam api pancika, terpaksa kami berdua berpisah untuk me lanjutkan cita-cita hidup kami. Aku tetap bertapa di pur.ckk gunung untuk menekuni isi kitab vida dan mengajarkan ajaran yang terdapat dalam kitab itu. Sedang kakang Tanca sejak turun gunung, tak pernah berjumpa lagi dengan aku. Baru lebih kurang sepuluh tabun yang lalu, kudengar bahwa kakang Tanca telah tnenjadi tabib yang termasyhur di seluruh kerajaan Majapahit. Dan bahkan pula, kakang Tanca telah diangkat sebagai priagung yang bergelar rakryan"
Nyi Tanca mengangguk "Ki Tanca pernah menceritakan diri adi resi kepadaku. Diapun terkenang juga kepada adi resi. Tetapi ki T anca tak tahu dimana adi berada sehingga tak dapat mencari adi"
"Memang demikian, ayunda rakryan. Kesibukan telah menenggelamkan diriku”
"Ah" nyi Tanca menghela napas "adakah adi resi tak dapat menyelinapkan waktu dari kesibukan adi itu ? Atau apakah benar-benar kesibukan itu telah menelan seluruh waktu adi resi ?"
Resi mengiakan.
"Adi resi, maafkan aku" kata nyi Tanca "tetapi apa sajakah kesibukan-kesibukan adi itu ?"
"Aku sibuk mencari sesuatu yang tak kuketahui" "O, tentulah sebuah benda yang tak ternilai?"
"Ya, tetapi bukan berwujut benda padat, melainkan angan-angan"
Nyi Tanca terkesiap "Ah, aneh benar ucap adi resi. Apakah angan-angan itu ?"
"Mungkin hanya terjadi pada diriku atau mungkin memang demikian yang dirasakan oleh setiap orang yang membenamkan diri dalam alam ajaran-ajaran kejiwaan dan agama. Makin memperoleh, makin terasa iurang. Makin terang makin merasa gelap sehingga terus-menerus mencari dan mencari sesuatu yang belum diketahui. Terus terang, ayunda rakryan, apa yang kucari itu bukanlah sesuatu yang baru, bukan pula sesuatu yang ganjil dan aneh. Melainkan sesuatu yang terjadi sejak Dewua Agung menciptakan manusia. Dan merupakan sesuatu yang wajar dan harus terjadi pada diri manusia"
N/i Tanca makin tertarik. Ia mendesak agar resi mengatakan secara terus terang.
"Aku mencari apakah Arti Hidup itu" kata reii Kawaca. "Arti hidup ?" ulang ny i T anca.
"Ya, arti hidup. Karena kita ini hidup maka haruslah kita mengerti apa aiti hidup kita itu. Dan hal itu kucari pada sumbernya yani dari mana kita hidup, apa arti kita hilup dan
kemana tujuan kita hidup ini. Sangkan paraning dumadi atau Asal dan keakhiran hidup"
"Ah" nyi Tanca mendesis "mendengar uraian adi, teringatlah aku pada keadaan diriku selama ini"
"Apakah itu ayunda Tanca ?"
"Tiap pagi aku mendengar burung berkicau, melihat bunga mekar dan menyaksikan tang surya terbit. Namun aku tak mengerti apa maksud dan tujuan kesemuanya. Ketidak-pengertian itu didasarkan oleh anggapan bahwa hal itu kuanggap kodrat yang wajar. Demikian pula dengan makna dan tujuan hidup manusia itu"
"Benar” sahut resi mingiakan "memang sebenarnya banyak hal dalam alam kehidupan kita ini yang belum kita ketahai, namun kita anggap hanya sebagai kodrat yang wajar. Adalah karena aaggspm itulah maka kita mengabaikan untuk t'.iak menumpahkan perhatian kita mencari arti yang sesungguhnya dari kesemuanya itu. Semisal hidup ini, kita hanya tahu dan merasa bahwa kita hidup. Tetapi kita tak mengerti apa arti sesungguhnya dari hidup itu. K ita lalu menganggap bahwa hidup itu suatu gerak dan gsrak itu mengandung darma. Dan kesemuanya itu memang sudah ter-cangkum dalam kodrat hidup. Tetapi beaarkah demikian ? Nah, inilah yang kutekuni dalam pencarian lalang buana di alam cipta pikiranku"
"Adakah adi resi sudah menemukannya ?"
"Sudah tetapi belum keseluruhannya. Dan aku-pun masih belum yakin bahwa penemuanku itu beaar adanya"
"Dapatkah adi mewjdarkan penemuan adi itu?" Resi Kawaca tertegun sejenak. Ia tak menyangka bahwa nyi Tanca memiliki sifat yang agak lain dari suam inya. Apabila merundingkan tentang unsur-unsur arti hidup maka selalu ra Tanca menghindar. Hidup ya hidup, katanya. Perlu apa kita pikirkan arti dan tujuannya ? Apabila mencapai pada pembicaraan mengenai
tujuan hidup maka ra Tanca selalu menekankan bahwa hidup itu adalah suatu darma yang wajib dilaksanakan. Demikian ra Tanca dahulu.
Tetapi berbeda dengan nyi T anca. Rupanya isteri ra T anca itu lebih cenderung untuk menerima uraian-uraian mengenai hidup dan falsafahnya. Resi Kawaca mendapat kesan yang baik terhadap wanita itu.
"Aku mencari dan menemukannya pada sumber hidup itu sendiri. Setiap yang hidup tentu mempunyai sumber asalnya. Maka kukembalikan segala sesuatu yang mengenai asal dan keakhiran hidup, arti dan tujuan hidup itu pula, kepada sumbernya. Dari sumber itulah kita berasal. Dari sumber itu pula kita dilahirkan dan hidup, dari sumber itulah kelak kita akan kembali pada asal. Dan sumber agung itu tak lain dari yang Maha-pencipta, yang kuasa menciptakan kelahiran, kehidupan dau kematian. Tujuan hidup tak lain hanyalah melaksanakan apa yang menjadi titah dari Sarghyang Mahapencipta itu. Oleh karena itu, di dalam mencari apa yang menjadi keinginanku dai»m angan-anganku selama ini, yang pertama-tama aku menyadari. Bahwa pertama, kita harus mengarti kepada yang menciptakan. Setelah mengerti, wajiblah kita melaksanakan apa yang menjadi titah NYA. Dan terakhir, kita serahkan segala sesuatu hidup itu pulang kepadaNYA pula"
"Setelah memiliki pengertian itu, wajib pula kita laksanakan dalam amal yang nyata yaitu manyembah kepada Hyang Mahapencipta"
Nyi Tanca mengangguk-angguk.
"Tercapainya sujud menembah itu, bilamana kita lebih mengenal kepada yang kita sembah. Dan pengenalan itu harus melalui kesadaran, pengendapan dan kesempurnaan batin dalam jiwa kita. Tanpa melalui pertumbuhan dan peningkatan kesadaran dan batin, tindakan manembah itu hanyalah terbatas
Nyi Tanca mengangguk pula "Setelah mendengar uraian adi resi, aku baru tahu dan merasakan betapa berbeda pengetahuan tentang keadaan yang terjadi di sekeliling kehidupan ini. Terima kasih adi resi, andika telah membuka mata hatiku dalam menyongsong cahaya penerangan pada hari hari di ujung senja kehidupan hayatku"
"Ah, apa yang kukatakan ini hanyalah kesimpulan dalam hati peribadiku. Dan aku masih belum yakin bahwa apa yang kutemukan itu tentu sempurna.
Nyi Tanca dapat menyelami makna ucapan resi yang tak lain hanyalah bersifat merendah diri. Demikian setelah terlibat dalam percakapan mengenai bermacam masalah terutama yang mengenai peristiwa dalam pengalaman selama ini maka tibalah saatnya nyi Tanca untuk meminta keterangan tentang maksud kunjungan resi itu kenadanya.
"Benar, ayunda rakryan" kata resi Kawaca "selain untuk memperkenalkan diri dalam rangka melangsungkan kesinambungan hubungan peribadi, akupun membawa tujuan lain yang mempunyai kepentingan untuk memohon bantuan ayunda rakryan di sini"
"O, jika demikian, silakan adi resi segera saja mengatakan" "Terima kasih" kata resi Kawaca ”baru-baru ini rakryan patih Dipa telah menyempatkan waktu untuk berkunjung ke padepokanku di gunung Penanggungan"
"Patih Dipa ?" ulang ny i T anca terkejut.
Resi mengiakan "Ya, rakryan patih Dipa meminta baatuanku untuk mengobati penyakit yang diderita nyi rakryan patih"
Nyi Tarca makin terkejut.
"Itulah sebabnya mengapa aku sampai tertiup datang ke pura kerajaan"
"Apakah penyakit yang diderita nyi patih ?"
"Menurut pemeriksaan yang kulakukan, nyi patih telah menderita keracunan dari makanan atau minuman yang didaharnya. Racun itu termasuk jenis ramuan racun yang ganas, walaupun bekerjanya secara pelahan-lahan"
"O" desuh nyi Tanca untuk menyalurkan getar-getar kejut yang mendebar dadanya "lalu apakah adi berhasil mengobatinya ?"
"Kepandaianku dalam ilmu pengobatan amat terbatas. Apabila kakang Tanca masih hidup, tentulah penyakit itu dapat disembuhkan" kata resi Kawaca "tetapi lain halnya dengan aku. Dalam batas kemampuanku yang masih jauh dari kesempurnaan itu, aku hanya berhasil untuk menekan racun dalam lingkup yang jinak. Tetapi belum berhasil menghalaunya sampai tuntas. Dalam keadaan itu, walaupun kese lamatan jiwa ny i rakryan patih sudah terhindar dari bahaya maut tetapi keadaan tubuhnya akan tetap lemah"
Diam diam nyi Tanca terkejut demi mendengar keterangan resi bahwa ny i patih akan terhindar dari bercana maut.
"Lalu apa hubungan keadaan nyi patih dengan kurjungan adi ke rumahku ini?" tanyanya.
"Bahwa kakang Tanca semasa hidupnya tentu banyak sekali menyimpan persediaan ramuan obat untuk segala jenis penyakit termasuk keracunan. Apabila ayunda berkenan, demi menyelamatkan jiwa calon putera ki patih yang berada dalam kandungan nyi Dipa, kumohon ayunda rakryan berkenan memberikan ramuan obat pemunah racun itu"
Nyi Tinca terkesiap. Sesaat kemudian ia berkata "Dalam hal itu, adi resi, aku sendiripan tidak menguasai jenis-jenis persediran ramuan yang tersimpan dalam ruang peribadi ki Tanca. Karena terus terang, walaupun aku ini isteri dari tabib yang sakti, tetapi sedikitpun aku tak memiliki ilmu pengobatan"
"Tetapi, ayunda rakryan" seru resi "bukankah dalam ruang peribadi kakang T anca itu masih terdapat sisa simpanan berbagai ramuan obat?"
Nyi Tarca mengiakan"Masih cukup banyak. Tetapi sayang aku tak mengerti mana-mana ramuan yang diperlukan itu"
"Ya, memang" kata resi "dalam memilih jenis obat yang tepat untuk mengobati penyakit nyi patih itu diperlukan orang yang tahu tentang ilmu pengobatan. Yang lebih tepat pula, orang yang pernah dekat hubungannya dengan mendiang kakang Tanca. Tetapi diaarn Isi ini, ayunda rakryan sendiri tentu dapat melakukannya"
Sebenarnya dalam hati, resi Kawaca mengharap agar nyi Tanca memberikan kesempatan itu kepadanya. Dalam harap itu, ia sudah memberikan pandangan bahwa yang paling tepat untuk meneliti simpanan persediaan obat dari ra Tanca, adalah orang yang dekat hubungannya dengan tabib itu. Dalam hubungan itu, ia telah mengantarkan keterangan dalam perkenalan diri tadi, bahwa dia adalah saudara seperguruan dari ra T anca. Kiranya nyi Tanca tentu maklum apa yang dikehendakinya.
Namun diluar dugaan, resi Kawaca agak terkejut dan sukar menafsirkan entah apakah memang ada unsur kesengajaan ataukah hanya karena kurang menyadari persoalannya sehingga dalam jawabannya nyi T anca mengatakan lain.
"Dalam hal ini akan kubantu keinginan adi resi. Aku akan berusaha untuk meneliti obat itu. Dan besok pagi, apabila obat itu dapat kutemukan, tentu akan kuberikan kepada adi resi" demikian kata nyi T anca dalam jawabannya.
Karena nyi Tanca mengatakan begitu, tiada alasan lagi bagi resi Kawaca untuk tidak menerima, walaupun bukan demikian yang diharap dari pernyataan nyi Tanca.
"Dalam hal ini kuharap adi resi jangan kecewa" tiba-tiba nyi Tanca menambah keterangan "sesungguhnya terkandung suatu
maksud dalam hatiku, bahwa dalam mencari obat yang adi resi perlukan itu, aku harus memohon perkenan mendiang ki T anca"
Resi Kawaca kerutkan dahi "Memohon perkenan mendiang kakang Taaca?" ulangnya.
"Tentulah adi resi sudah mengetahui bahwa kematian suamiku ra Tanca itu bukanlah kematian yang wajar menurut kodratnya. Melainlan suatu kematian yang dipaksakan oleh tangan penguasa yang telah membunuhnya"
Resi Kawaca mulai merenyah.
"Jiwa dari orang yang dibunuh atau mendapat kecelakaan, belumlah sempurna. Masih melayang-layang di alam trantunan. Dan hal itu kubuktikan sendiri karena aku sering dapat menga iakan hubungan batin dengan mendiang ki T anca. Setiap kali aku bersemedhi menyatukan persembahan keinginan hati untuk bertemu dengan beliau, maka kurasakan arwah beliau selalu muncul dalam alam cipta semedhiku itu dan kamipun dapat melakukan hubungan percakapan"
"Dengan kepercayaan dan pembuktian yang sudah sering kulakukan itu maka dalam persoalan ini, akupun akan bersemedhi lagi untuk menemui arwah ki Tanca. Aku akan meminta perkenannya tentang permintaan adi itu. Namun...”
"Ya, silakan ayunda, rakryan"
"Namun hendaknya adi resi maklum bahwa arwah dari orang-orang yang menderita dibunuh itu, tentu masih diliputi oleh rasa penasaran. Rasa dendam penasaran itu memang merupakan beban yang merintangi mereka dalam mencapai alam kesempurnaan. Tetapi hal itu memang sukar untuk kita memaksakan kehendak kepada mereka. Mereka sendirilah yang akan menyadari hal itu"
"Adi resi" sejenak memulangkan napas, berkata nyi Tanca lebih lanjut "ra Tanca telah mati dibunuh ki patih Dipa. Ki patih
Dipa mendasarkan pada landasan sebagai seorang patih yang bertanggung jawab atas keselamatan seri baginda maka ia bertindak membunuh ki Tanca. Tetapi ki Tanca juga mempunyai a-lasan mengapa dia sampai mencidera baginda. Maka dalam soal landasan, masing-masing mempunyai alasan sendiri"
"Maksud ayunda rakryan" resi Kawaca menanggapi "kemungkinan nanti kakang Tanca dapat menolak permohonanku, bukan?"
"Aku akan berusaha untuk menyadarkan beliau, tetapi keputusan adalah pada ki T anca"
Resi Kawaca mempunyai naluri yang tajam. Bahwa dalam percakapan dengan nyi Tacca itu, ia serasa mempunyai kesan bahwa dalam persoalan permintaannya akan ramuan pemunah racun yang diderita ny i Dipa, nyi Tanca mempunyai percik-percik keberatan. Adakah nyi Tanca masih menaruh dendam atas kematian suaminya di tangan patih Dipa? Adakah nyi Tanca mempunyai persoalan sendiri dalam kaitan dengan penyakit yang diderita nyi Dipa?
Entahlah. Ia hanya menduga-duga tetapi tak dapat menentukan kepastiannya. Praduga itu hanya didasarkan atas pengamatan akan sikap dan nada nyi Tanca dalam memberi tanggapan terhadap permintaannya tadi.
"Jika demikian, baiklah ayunda rakryan. Aku mohon diri dan besok akan mohon menghadap untuk meminta keterangan" karena ada sesuatu yang menjadi pemikiran resi, maka diapun terus pamit.
Resi Kawaca hendak memberi laporan kepada patih Dipa dan meminta keterangan tentang peristiwa pembunuhan ra Tanca secara lebih terperinci. Demikian mengenai sikap nyi Tanca dalam kehidupan sehari-hari selama suaminya meninggal.
Sementara itu nyi Tanca pun masih termenung di tempat duduk "Ah, untunglah aku segera mendapat akal untuk menunda
hal ini sampai besok pagi. Baiklah kubicarakan hal itu dengan Arya Kembar. Mungkin raden itu dapat memberi jalan yang tepat"
Nyi Tanca mengutus seorarg bujang tua untuk mengundang Arya Kembar. Arya Kembar terkejut dan bergegas menuju ke gedung kediaman ra Tanca. Karena menduga tentu terjadi sesuatu perkembangan yang penting dalam rencana mereka maka diapun singgah di tempat kediaman Arya Warak untuk diajak bersama menghadap nyi Tanca.
Kedua Arya itu sebelumnya telah mendapat laporan tentang hasil usaha nyi Tanca untuk mencelakai nyi Dipa. Kini mereka terkejut mengapa nyi Tanca meminta kedatangannya.
"Kakang Kembar, apakah kemungkinan nyi Tanca mendapat berita tentang keadaan nyi Dipa ?" tanya Arya Warak.
"Mungkin" sahut Arya Kembar "karena setelah melaksanakan rencana itu, kita akan menunggu bagaimana hasil perkembangan selanjutnya"
"Adakah mungkin .... mungkin suatu berita buruk tentang nyi Dipa ?"
"Mudah-mudahan begitulah" jawab Arya Kembar.
"Ah, jika begitu kita harus menyambutnya dengan gembira dan merayakan dengan berpesta, kakang"
"Engkau salah adi Watak" tegur Arya Kembar.
"Salah ? Mengapa salah ? Apakah tidak layak kalau kita harus menyambut peristiwa itu, apabila benar-benar terjadi dengan suatu pesta besar ?"
"Memang tidak layak" kata Arya Kembar "bahkan kita harus lebih berhati-hati untuk menyimpan diri, jangan sampai menunjukkan sikap yang dapat menarik kecurigaan mereka. Mengadakan pesta dan mengunjukkan sikap gembira, tentu
cepat akan diketahui dan dicurigai, logat, adi, kedudukan kita di pura kerajaan saat ini bagaikan telur di ujung tanduk. Sedikit kurang berhati-hati tentu akan tergelincir dan berhamburan pecahlah telur itu. Ingatlah akan ajaran Mawas diri"
Arya Warak mengangguk. Diam-diam dia membenarkan peringatan Arya Kembar. Saat itu merekapun sudah tiba di kediaman ra Tanca.
"Tentulah ada suatu berita penting sehingga bibi rakryan berkenan menitahkan hamba menghadap kemari" kata Arya Kembar.
"Benar, raden" kata nyi Tanca. Dia lalu menuturkan tentang kunjungan resi Kawaca dari gunung Penanggungan dan maksud kedatangannya.
"Ah, sial benar resi itu." Arya Kembar men-desuh kaget "mengapa dia harus campur tangan dalam hal ini ?"
"Patih Dipalah yang memintanya datang ke pura" kata nyi Tanca "lalu bagaimana aku harus bertindak"
Arya Kembar tidak cepat menjawab melainkan diam berpikir. Tetapi Arya Warak serentak berkata "Mudah saja bibi rakryan. Cukup bibi mengatakan bahwa dalam simpanan persediaan ramuan obat yang ditinggalkan paman ra Tanca, tidak terdapat jenis obat pelepas racun"
Nyi Tanca gelengkan kepala "Ah, tidak semudah itu, arya. Memang aku dapat mengatakan begitu tetapi tentulah resi Kawaca tak dapat menerima dengan rela"
"Lalu apakah resi itu akan bertindak untuk memaksa ?"
"Arya Warak" kata nyi Tanca dengan nada mantap "tentulah engkau takkan melupakan bagaimana pandita yang sudah mencapai tingkat resi itu. Mereka tentu memiliki kepandaian yang sakti. Demikian halnya dengan resi Kawaca. Bukankah dia saudara seperguruan dengan mendiang ki T anca ?"
Arya Wara k terkesiap.
"Yang kumakiudkan dengan cara paksa itu, bukanlah semata hanya dengan kekerasan secara terang-terangan, misalnya dia terus langsung masuk ke dalam ruang peribadi ki Tanca. Bukan begitu. T etapi sebagai seorang yang berilmu sakti, dapat saja dia menggunakan ilmu kepandaiannya untuk mengambil ramuan obat itu secara halus"
"Ya, benar" kata Arya Warak "bagaimana kalau bibi rakryan berkenan menyerahkan ramuan itu kepada kakang Kembar agar dapat dijaga. Dan mungkin rasi takkan tahu hal itu"
Nyi Tanca gelengkan kepala "Seorang resi yang sakti, akan dapat mengetahui hal itu semua. Sekalipun kita sembunyikan dalam liang semut, dia tetap akan tahu juga. Dan apabila sudah tahu, tentulah dia akan menggunakan cara yang tak wajar untuk mengambilnya"
Kali ini Arya Warak tak dapat membantah lagi. Apa yang diucapkan nyi Tanca itu memang bukan sesuatu yang mustahil bagi seorang resi yang sakti.
Saat itu Arya Kembar masih pejamkan mata. Rupanya dia sedang tenggelam dalam pemikiran yang dalam.
"Arya Kembar" seru nyi Tanca lirih "adakah raden sudah menemukan jalan yang terbaik dalam memecahkan persoalan ini ?"
Tampak Arya Kembar mengangguk pelahan "Sudah, bibi rakryan"
"O" teriak nyi Tanca penuh harap "jika demikian lekaslah raden mengatakan kepadaku"
"Begini bibi" Atya Kembar mulai beringsut untuk mengatur sikap duduknya supaya lurus "besok apabila resi datang, baiklah bibi sambut dengan pernyataan bahwa bibi telah berhasil