• Tidak ada hasil yang ditemukan

163 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "163 Universitas Kristen Petra"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

Jay Adalah Julian

Selasa, 19 Juli 2005M 13 Jumadil Akhir 1426H

Setelah menulis tentang Soe Hok Gie akhir tahun lalu sebagai rasa hormat saya atas buah pikirannya, akhirnya saya menonton juga film Gie yang dibuat oleh Miles Production. To the point saja, apa yang tertulis dalam buku “Catatan Seorang Demonstran” selain buku “Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan”, “Zaman Peralihan” dan ulasan “John Maxwell: Soe Hok Gie - Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani” tidaklah cukup dipadatkan dalam sebuah film berdurasi dua jam. Mari kita bicara hal teknis dulu. Film ini diproduksi ke dalam layar lebar seluloid dengan tata suara yang tak yakin terdengar stereo. Saya tak tahu apakah memang sulit melakukan mixing 4 kanal suara (surround, center dan subwoofer bisa virtual dari filtering kiri/kanan)? Kecuali pada saat syuting dan editing input suara memang hanya sedikit, jadi sayang kualitas teater dengan tata suara DTS tidak terpakai. Okelah, mungkin tata suara surround terlalu canggih, saya lihat sistem stereonya saja, di banyak adegan sering terjadi tumpang tindih, narasi bertabrakan dengan backsound

hingga saya sulit mendengar, terkadang backsound volumenya terlalu kencang dibandingkan narasi atau dialog. Saya tidak tahu ini kesalahan di tata suara teater ataukah memang dari seluloidnya seperti itu.

Ah, ngejelekkin mulu! Film ini dikemas dengan setting yang baik, meskipun saya tidak tahu persis seperti apa kondisi jalan, rumah, pakaian, budaya dan tata bahasa tahun 1950-an hingga akhir 1960-an. Hanya para orang tua kita yang bisa

(7)

sudah sangat membudaya? Apakah benar tahun tersebut sudah ada jam tangan bulat tipis yang dipakai Gie? Orang tua saya dulu tidak tinggal di Jakarta, jadi saya tidak ada tempat bertanya. Eh, anak Betawi yang bonyoknya lama di Jakarta kasih tahu gue ye!

Diawali dengan narasi Gie yang datar seperti seseorang bercerita kepada anak kecil mulai mendeskripsikan siapa itu Soe Hok Gie, pikirannya, keluarganya dan

lingkungannya. Dialog dan adegan perlahan-lahan ditunjukkan untuk menampilkan

character development Gie dari sejak SMP hingga masuk Kolese Kanisius. Satu yang tak saya suka adalah pergantian adegan ke adegan diselingi layar hitam selama beberapa detik, buat saya ini cukup mengganggu. Dalam menonton film di bioskop mata dan telinga saya tak butuh istirahat, atau menghela nafas sejenak.

Memasuki Fakultas Sastra UI karakter Gie semakin ditunjukkan penuh konflik, ketidakpuasannya terhadap pemerintahan, keprihatinannya kepada masyarakat, pandangannya kepada perempuan, bahkan kepada pola dan budaya kemahasiswaan di kampusnya. Gie memang tak mau menjadi top leader di kampusnya namun ia punya dukungan penuh kepada sahabatnya Herman Lantang, yang selain aktif bersama di kemahasiswaan juga bersama-sama membentuk organisasi hobi yang waktu itu bisa dikatakan gila di jaman revolusi, yaitu naik gunung.

Jika anda membaca Catatan Seorang Demonstran tentu anda berharap adegan-adegan demonstrasi yang dimotori oleh Gie dan sahabat-sahabatnya, bahkan cukup detil dituliskan dalam catatan hariannya. Memang tidak banyak ditunjukkan dan saya sempat berpikir bahwa film ini akan menyodorkan bagaimana proses sebuah

demonstrasi mahasiswa disiapkan secara teknis dan nonteknisnya, saya tak berharap ada adegan demonstrasi kolosal yang mahal. Di sisi lain kegiatan hobinya naik gunung kurang ditunjukkan, sebab saya ingin tahu pada tahun itu seperti apa mereka menyiapkan peralatan naik gunung yang tentunya tak mudah didapatkan seperti sekarang, dan hal ini ada penjelasannya di buku CSD.

Di film ini cakrawala lebar hanya bisa anda dapatkan dalam setting di gunung, termasuk di padang Edelweiss (padang Suryakencana kalau tidak salah namanya) Gunung Gede dan puncak triangulasi Gunung Pangrango (saya pernah duduk juga di puncak Pangrango tersebut dan tidur di kelilingi bunga Edelweiss yang berlimpah), sedangkan di kota hanyalah sudut-sudut kamera sempit namun cukup tertata dalam menggambarkan suasana kota lama Jakarta.

Satu yang kurang dari film ini adalah Gie pernah melakukan perjalanan ke luar negeri yaitu ke Amerika dan ke Australia di tahun 1968, setahun sebelum Mapala UI

menyiapkan pendakian ke puncak tertinggi di pulau Jawa yaitu gunung Semeru, namun tidak ada deskripsi atau adegan tentang hal ini, memang cukup

mengecewakan, namun bisa dimengerti jika alasannya adalah sulit dan mahalnya pengambilan gambar. Salah satu catatannya selama ke Australia adalah piringan

(8)

hitam Joan Baez-nya ditahan di bandara. Di waktu sebelumnya Sita menyanyikan lagu Donna Donna Donna dengan apik, bahkan cukup menyayat hati mendengar kembali lagu tersebut di film Gie. Lagu “Donna Donna Donna” dulu saya dengarkan sambil membaca buku CSD, yang cukup mempengaruhi saya menyukai lagu-lagu Joan Baez yang lain, terutama lagu Diamond and Rust (1975).

(9)

Soe Hok Gie

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Langsung ke: panduan arah, cari

Soe Hok Gie di Puncak Pangrango, 1967

Soe Hok Gie (17 Desember 1942–16 Desember 1969) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.

Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin (Hanzi:

蘇福義). Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari Provinsi Hainan, RRT. Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran

(1983).

Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen

Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia.

Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang

(10)

waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).

Tidak banyak yang tau sosok Soe Hok Gie. Begitulah kemudian timbul inisiatif bagi rumah produksi Miles Films untuk mengangkatnya ke layar lebar. Selain mengenang “kepahlawanan” Soe Hok Gie (SHG) yang “tidak terakui”, juga menjadikan ia sesosok ikon gigih yang patut diteladani [para mahasiswa dan siapa saja] —terlepas rumah produksi itu akan mengeruk keuntungan dengan mengomresialkan sosok ini. [ternyata ikon kepahlawanan bukan hanya Che Guevara, yah?]

Benar, sebenarnya saya juga bukan seorang yang tahu akan sosok SHG. Namanya yang asing di telingaku seakan dia adalah tidak begitu penting. Mungkin, inilah realita kita, selalu mengesampingkan “hal-hal asing”. Sehingga tidak sadar, ada yang terlewati ketika membaca sosoknya di sebuah majalah yang pernah saya beli.

Di Barat, telah banyak film yang mengangkat dari kisah nyata. Berderet film inspiratif tokoh-tokoh penting sudah menghiasi layar lebar di sana, bahkan sisi sejarah pun turut diangkat. Seperti kemarin, Kingdom of Heaven beberapa waktu lalu yang jadi perbincangan. Film itu mengangkat sejarah perang salib antara Kristen dan Islam.

Kalau kita membaca ulasan, di sana ada alasan yang sama; ingin menghadirkan cerita ini seakan-akan menjadi dekat, sehingga dapat tertanam di benak. Mungkin di sinilah kemudian Miles Films mengikuti jejaknya.

Memang hal ini bukan barang baru lagi, tetapi di Indonesia sendiri hal ini masih langka. Justru yang ada pada waktu adalah film-film dokumenter yang terus diulang; pembunuhan para jenderal oleh ditampilkan secara bengis —yang konon ada

kepentingan politik.

Saya tidak ingin mempermasalahkan hal itu. Yang membuat saya penasaran adalah sosok SHG itu sendiri. Siapakah SHG itu? Karena saya teringat pernah membaca ulasannya, saya kemudian “membongkar” buku yang tertumpuk itu.

Di sana tertulis sebuah petikan pengantar:

Tanahku yang malang. Harga barang membumbung, semua makin payah. Gerombolan meneror. Tentara meneror. Semua menjadi teror. Siapakah yang bertanggung jawab atas hal ini? Mereka generasi tua: Soekarno, Ali Iskak, Lie Kiat Teng, Ong Eng Die semua pemimpin yang harus ditembak di lapangan banteng. Apa yang menarik dari kata-kata itu? Hampir tidak ada. Tapi sadarkah, bahwa tulisan itu ditulis oleh seorang –yang hampir– remaja, pun di zaman yang tidak lazim

(11)

seusianya? ketika kekuasaan Orde Lama menyengkram, ada nama Soekarno yang dengan lantang ditentang agar di tembak di lapangan banteng! Sungguh beraninya…

Demikianlah SHG, pada usianya yang baru 17 tahun, tepatnya 10 Desember 1959, ia menulis sebuah catatan harian yang luar biasa. Catatan yang kritis, jujur, berani, dan —malah ada yang bilang— “mengerikan”.

SHG adalah keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. SHG merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman.

Sejak masih sekolah, SHG dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Menurut

seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), SHG bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.

Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara SHG memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” — bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?

Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi SHG buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi SHG? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan

mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.

Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam. [saya tidak tahu, apakah waktu itu juga ada jurusan-jurusan seperti sastra? Padahal baru di SMA.]

Selama di SMA inilah minat SHG pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.

(12)

Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, SHG dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. SHG memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah [bener gak ya?], sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.

(13)

Soe Hok Gie: Prototipe Manusia Guru

Seri Guru-guru Pembelajar (5)

Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan

yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.

-- Soe Hok Gie: 22 Januari 1962

Ada dua perkara yang membuat saya nekad menerima permintaan penerbit dan penulis buku ini untuk menyumbangkan sejumlah kata dan kalimat. Pertama, karena yang meminta adalah kawan-kawan yang saya kagumi dedikasinya dalam soal berkarya di seputar dunia perbukuan. Mereka berdua, Ang Tek Khun dan Agus Santosa, adalah kawan lama yang ikut mendukung proses kreatif saya selama bertahun-tahun. Jadi, sungguh kejam kalau saya menolak permintaan mereka begitu saja.

Perkara kedua, karena buku ini berbicara tentang Soe Hok Gie, sebuah nama yang sulit dihapus dari ingatan saya. Lewat Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran yang saya baca pertama kali di akhir tahun 1983, ia begitu saja mempengaruhi proses pembentukan sikap pribadi saya sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada kala itu. Ia, pertama-tama dan terutama, membangkitkan kegelisahan dalam diri saya. Saya dibuatnya gelisah karena secara mendadak menyadari betapa bodohnya saya di bandingkan seorang Soe Hok Gie. Ia dengan fasih berbicara mengenai hal-hal yang masing terasa asing buat saya. Ia dengan mudah mengutip nama-nama pemikir besar yang tak saya kenal sama sekali. Pada hal saya waktu itu sudah mahasiswa. Jadi, bagaimana mungkin seorang mahasiswa dari sebuah kampus yang cukup terkemuka di tahun 1983, ternyata memiliki pengetahuan yang jauh lebih sedikit ketimbang seorang mahasiswa tahun 1960-an? Siapa itu Pasternak, Shokolov, Bernard Shaw, Dostoyevsky, Jan Romein, Marx, Childe, J. Benda, dan sebagainya itu?

Bukan hanya disadarkan dari kebodohan, Catatan Seorang Demonstran juga menggugah minat saya terhadap masa depan negeri ini. Sekonyong-konyong saya merasa ikut bertanggung jawab atas masa depan Indonesia. Saya merasa terpanggil dan harus melakukan sesuatu untuk menunaikan tugas saya sebagai mahasiswa Indonesia, kaum terpelajar yang disubsidi rakyat banyak sehingga cuma membayar uang kuliah Rp 18.000 --- Rp 24.000 per semester. Saya merasa tidak nyaman lagi hanya duduk-duduk manis di ruang-ruang kuliah mendengarkan para dosen yang sok pintar mengoceh sesukanya [hanya segelintir dosen yang benar-benar pintar]. Bahkan saya merasa makin tidak cocok dengan sistem perkuliahan yang [saya rasa] menindas akal sehat dan hanya akan melahirkan generasi beo. Bayangkan saja, bagaimana para mahasiswa sebuah fakultas hukum tidak memiliki kelompok studi hukum, tidak punya forum diskusi reguler, tidak ada latihan berdebat dengan santun, tidak mampu merespons kasus-kasus yang sedang aktual di masyarakat, tidak bisa membuat makalah ilmiah dan sejenisnya?

(14)

KENANGAN KEPADA SEORANG

DEMONSTRAN

SOE HOK GIE

E n a m b e l a s D e s e m b e r 3 0 t a h u n l a l u , S o e H o k G i e , t o k o h m a h a s i s w a d a n p e m u d a , m e n i n g g a l d u n i a d i p u n c a k G . S e m e r u , b e r s a m a I d h a n D h a n v a n t a r i L u b i s . S o s o k d a n s i k a p n y a s e b a g a i p e m i k i r , p e n u l i s , j u g a a k t i v i s y a n g b e r a n i , c o b a d i t a m p i l k a n R u d y B a d i l , y a n g m e w a k i l i r e k a n l a i n n y a , A r i s t i d e s ( T i d e s ) K a t o p p o , W i w i e k A . W i y a n a , A . R a c h m a n ( M a m a n ) , H e r m a n O . L a n t a n g d a n a l m a r h u m F r e d d y L a s u t .

"Siap-siap kalau mau ikut naik lagi ke Gunung Semeru. Kasih kabar secepatnya, sebab harus ada persiapan di musim penghujan Desember, juga pertengahan Desember itu bulan puasa Ramadhan," kata Herman O.

Lantang, mantan pimpinan pendakian Musibah Semeru 1969, yang masih amat bugar di umurnya yang sudah lewat 57 tahun.

Terkejut dan tersentuh juga saya saat mendengar ajakan Herman itu. Dia merencanakan membentuk tim kecil untuk mendaki puncak Semeru lagi Desember ini, sambil memperingati 30 tahun meninggalnya dua sobat lama kami, Soe Hok Gie dan Idhan Lubis. "Kita juga akan berdoa, sekalian

mengenang Freddy Lasut yang meninggal beberapa bulan lalu," lanjutnya. Soe meninggal dunia saat baru berumur 27 tahun kurang sehari. Idhan malah baru 20 tahun. "Tanpa terasa Soe sudah tiga dasawarsa

meninggalkan kita sejak Orde Baru ... perkembangan yang terjadi di Tanah Air dalam dua tahun terakhir ini, khususnya gerakan mahasiswa yang telah menggulingkan pemerintahan Orde Baru, mengingatkan kita kembali pada situasi tahun 1960-an, ketika Soe masih menjadi aktivis mahasiswa kala itu," begitu bunyi naskah buku kecil acara "Mengenang Seorang Demonstran", (berisikan antara lain diskusi panel soal bangsa dan negara Indonesia ini), yang bakal diselenggarakan Iluni FSUI dan Alumni Mapala UI.

Kasih batu dan cemara

Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Soe yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran

(CSD) (LP3ES, 1983), di benak saya mulai tergali suasana sore hari

bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di G. Semeru. Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya G. Semeru) serta semburan uap hitam yang

(15)

mengembus membentuk tiang awan, bersama Maman saya terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan. Kami menutup

hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru. Di depan kelihatan Soe sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan. Sempat pula kami

berpapasan dengan Herman dan Idhan. Kelihatannya kedua teman itu akan menjadi yang paling akhir mendaki ke Mahameru.

Dengan tertawa kecil, Soe menitipkan batu dan daun cemara.

Katanya, "Simpan dan berikan kepada kepada 'kawan-kawan' batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI." Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum bersama Maman saya turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).

Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, kami menunggu

datangnya Herman, Freddy, Soe, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.

Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul

sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. "Soe dan Idhan kecelakaan!" katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, kami berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Soe, dan Idhan berkali-kali.

Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Soe dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Kami berharap semoga Soe dan Idhan cuma pingsan, besok pagi siuman lagi untuk berkumpul dan tertawa-tawa lagi, sambil mengisahkan pengalaman masing-masing.

Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana

penyelamatan. Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta kami menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.

"Cek lagi keadaan Soe dan Idhan yang sebenarnya," begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, kami berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.

Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, kami yakin kalau Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Kami jumpai jasad kedua kawan kami sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir

(16)

dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Kami semua diam dan sedih.

Mengapa naik gunung

Sejak dari Jakarta Soe sudah merencanakan akan memperingati hari ultahnya yang ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember, dalam tenda sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe yang amat menguasai lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta kami

menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody Knows, sampai berulang-ulang. Padahal irama lagu ini monoton sampai sudah membosankan kuping dan tenggorokan.

Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk rebusan mi hangat campur telur dan kornet kalengan. Malam dingin dan hujan itu, kami bertujuh banyak bercerita, termasuk mendengarkan rencana Soe yang mau berultah di puncak gunung. "Pokoknya gue akan berulang tahun di atas," katanya sambil mesam-mesem. "Nyanyi lagi dong. Lagu

Donna Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali."

Pagi hari nahas itu, sebelum berkemas untuk persiapan pendakian ke puncak, kami sarapan berat. Soe yang biasanya cuma bercelana pendek, kini memakai celana panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan dia mengenakan kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung. "Keren enggak?" Tanyanya.

Rombongan pun berjalan mendaki, menuju Puncak Mahameru dari dataran di kaki G. Bajangan. Soe sebagaimana biasanya, selalu memanggul ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak cerita dan komentar. Ia mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih banyak harimau karena dia menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut kalau Cemoro Kandang berlumpur arang gara-gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai pertanda seleksi alam dan proses regenerasi tanaman hutan.

Dosen sejarah ini terus nyerocos kepada mahasiswanya (saya), asal muasal nama recopodo alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru yang berkaitan dengan nasib Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa. Namun sang mahasiswa juga membayangkan dengan geli, betapa kagetnya wakil DPR-RI saat itu ketika menerima bingkisan dari kelompok Soe berisi gincu dan cermin sebagai perlambang fungsi anggota DPR yang banci. Sayang, cuma segitu ingatan saya tentang Soe pada jam-jam terakhirnya.

Yang masih tetap terngiang justru rayuan dan "falsafahnya", kala mengajak seseorang mendaki gunung. "Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru, sekali-kali menjadi orang tertinggi di P. Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di P.

(17)

Jawa ini," kira-kira begitu katanya, sambil menyinggung nama mantan Presiden Soeharto, nun sekitar 30 tahun lalu.

Memang pendakian ke Semeru ini merupakan proyek kebanggaan Mapala FSUI 1969. Soe dengan keandalannya melobi kiri-kanan, mampu mengumpulkan dana untuk subsidi penuh beberapa rekan yang mahasiswa

bokek sejati.

Singkat cerita, musibah sudah terjadi. Soe mungkin tidak membayangkan betapa kematiannya bersama Idhan Lubis bikin repot setengah mati banyak orang. Kami yang ditinggal dalam suasana tak

menentu, selama sembilan hari benar-benar hidup tidak kejuntrungan. Selain puasa sampai tiga hari karena kehabisan makanan, kami makin sedih saat menerima surat dari Tides via kurir, menanyakan keadaan Soe dan Idhan.

Herman, kami sudah sampai di Gubuk Klakah hari Kamis pagi, sesudah jalan sepanjang malam (sekitar 20 jam). Pak Lurah menyanggupi tenaga bantuan 10 orang dan bekal. Mohon kabar bagaimana Soe, Idhan, dan Maman dll. secepatnya mendahului rombongan ... Tides dan Wiwik 18-12-69.

Saya pun terpilih menjadi kurir, mendahului rombongan sambil membawa surat untuk Tides. Isinya apalagi kalau bukan minta bantuan tenaga dan bahan makanan. Herman pun menulis surat: Saya tunggu di Cemorokandang dan bermaksud menunjukkan "site" tempat jenazah Soe dan Idhan ... kirimkan: gula/gula jawa, nasi, lauk, permen, pakaian hangat ... sebanyak mungkin!

Akhirnya, semua bantuan tiba. Seluruh anggota rombongan baru berkumpul lagi pada tanggal 22 Desember di Malang. Kurus dan kelelahan. Maman terpaksa dirawat khusus beberapa hari di RS Claket. Sedangkan Soe dan Idhan, terbaring kesepian di dalam peti jenazah masing-masing.

Untuk terakhir kali, kami tengok Soe dan Idhan. Soe yang mati muda, terbujur kaku dengan kemeja tangan panjang putih lengkap dengan dasi hitam. Jenis barang yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya.

Monyet tua yang dikurung

Kalau diingat-ingat, selama beberapa minggu sebelum keberangkatan dengan kereta api ke Jatim, Soe memang suka berkata aneh-aneh.

Beberapa kali dia mengisahkan kegundahannya tentang seorang kawan yang mati muda gara-gara ledakan petasan. Ternyata dalam buku hariannya di CSD, Hok Gie menulis: "... Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru ...." Soe yang banyak membaca dan sering diejek dengan julukan "Cina Kecil", memanfaatkan kebeningan ingatannya untuk menyitir kata-kata "sakti" filsuf asing. Antara lain, tanggal 22 Januari 1962, ia menulis: "Seorang filsuf Yunani pernah menulis ... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua

(18)

dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."

Soe yang penyayang binatang (dia memelihara beberapa ekor anjing, banyak ikan hias dan seekor monyet tua jompo), sebelum musibah Semeru itu sempat berujar: "Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras ... diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil ... orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur."

Arief Budiman, sang kakak yang menjemput jenazah Soe di Gubuk Klakah, juga merasakan sikap aneh adiknya. Sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, "Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang ... makin lama makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan ... Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian." (CSD) Arief sendiri mengungkapkan, ibu mereka sering gelisah dan berkata: "Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang." Terhadap Ibu, dia cuma tersenyum dan berkata: "Ah, Mama tidak mengerti".

Arief pun menulis kenangannya lagi: ... di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram karena voltase yang selalu naik turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, sering kali masih terdengar suara mesin tik ... dari kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangan ... saya terbangun dari lamunan ... saya berdiri di samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik, "Gie kamu tidak sendirian". Saya tak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yag saya katakan itu.

Mimpi seorang mahasiswa tua

John Maxwell yang menyusun disertasinya, Soe Hok Gie - A

Biography of A Young Indonesia Intellectual (Australian National University, 1997), menjabarkan betapa banyaknya komentar penting terhadap kematian Hok Gie. Harian Indonesia Raya yang masa itu sedang gencar-gencarnya mengupas kasus korupsi Pertamina-nya Ibnu Sutowo, memuat tulisan moratorium tentang Soe secara serial selama tiga hari.

Mingguan Bandung Mahasiswa Indonesia, mempersembahkan editorial khusus: ...Tanpa menuntut agar semua insan menjadi seorang Soe Hok-gie, kita hanya bisa berharap bahwa pemuda ini dapat menjadi model seorang pejuang tanpa pamrih ... kita membutuhkan orang seperti dia,

(19)

sebagai lonceng peringatan yang bisa menegur kita manakala kita melakukan kesalahan.

Di luar negeri, berita kematian Soe sempat diucapkan Duta Besar RI Soedjatmoko, di dalam pertemuan The Asia Society in New York, sebagai berikut: ... Saya ingin menyampaikan penghormatan pada kenangan Soe Hok-gie, salah seorang intelektual yang paling dinamis dan menjanjikan dari generasi muda pasca kemerdekaan .... Komitmennya yang mutlak untuk modernisasi demokrasi, kejujurannya, kepercayaan dirinya yang teguh dalam perjuangan ... bagi saya ia memberikan suatu ilustrasi tentang adanya

kemungkinan suatu tipe baru orang Indonesia, yang benar-benar asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilah yang telah disampaikannya kepada kita, dalam hidupnya yang singkat itu.

Kepada Ben Anderson, pakar politik Indonesia yang juga kawan lengket Soe, dalam salah satu surat terakhirnya, Soe menulis, ... Saya merasa semua yang tertulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan. Dan semuanya ingin saya isi dengan bom!

Dari cuplikan berbagai tulisan Soe, terasa sekali sikap dan

pandangannya yang khas. Misalnya, Soe pernah menulis begini: Saya mimpi tentang sebuah dunia, di mana ulama - buruh - dan pemuda, bangkit dan berkata - stop semua kemunafikan, stop semua pembunuhan atas nama apa pun. Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsa apa pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.

Khusus soal mahasiswa, menjelang lulus sebagai sejarawan, 13 Mei 1969, Soe sempat menulis artikel Mimpi-mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua. Dalam uraian tajam itu, ia menyatakan: ... Beberapa bulan lagi saya akan pergi dari dunia mahasiswa. Saya meninggalkan dengan hati berat dan tidak tenang. Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan ... Masih terlalu banyak

mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa.

Saat dirinya masuk korps dosen FSUI, secara blak-blakan Soe mengungkap ada dosen yang membolos 50% dari jatah jam kuliahnya. Bahkan ada dosen menugaskan mahasiswa menerjemahkan buku. Terjemahan mahasiswa itu dipakainya sebagai bahan pengajaran, karena sang dosen ternyata tidak tahu berbahasa Inggris.

Masih di seputar mahasiswa, dalam nada getir, Soe menulis: ... Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh sementara dosen-dosen korup mereka.

Khusus untuk wakil mahasiswa yang duduk dalam DPR Gotong Royong, Hok Gie sengaja mengirimkan benda peranti dandan. Sebuah sindiran supaya wakil mahasiswa itu nanti bisa tampil manis di mata pemerintah. Padahal wakil mahasiswa itu teman-temannya sendiri yang dijuluki "politisi berkartu mahasiswa". Langkah Soe ini membuat mereka terperangah. Sayangnya, momentum ini kandas. Soe Hok Gie keburu tewas tercekik gas beracun di Puncak Mahameru.

(20)

Berpolitik cuma sementara

John Maxwell dalam epilog naskah buku Mengenang Seorang Demonstran (November 1999), menulis begini, "Saya sadar telah menulis tentang seorang pemuda yang hidupnya berakhir tiba-tiba, dan terlalu dini dengan masa depan yang penuh dengan kemungkinan yang begitu luas."

Kita telah memperhatikan bagaimana Soe Hok Gie terpana politik dan peristiwa nasional, setidak-tidaknya sejak masih remaja belasan tahun ... namun hasratnya terhadap dunia politik, diredam oleh penilaiannya sendiri bahwa dunia politik itu pada dasarnya lumpur kotor. Semua orang seputar Soekarno dinilainya korup dan culas, sementara pimpinan partai dan politisi terkemuka, tidak lebih dari penjilat dan bermental "asal bapak senang", serta "yes men", atau sudah pasrah.

Pandangan ini menjadi latar belakang pembelaan Soe akan kekuatan moral dalam politik di awal tahun 1966. Keikutsertaannya dalam politik hanya untuk sementara. Pada pertengahan tahun yang sama, dia menyampaikan argumentasi bahwa sudah tiba saatnya bagi mahasiswa untuk mundur dari arena politik dan membiarkan politisi profesional bertugas, membangun kembali institusi politik bangsa." Demikian tulis Maxwell.

Soe memang sudah bersikap. Dia memilih mendaki gunung daripada ikut-ikutan berpolitik praktis. Dia memilih bersikap independen dan kritis dengan semangat bebas. Pikiran dan kritiknya tertuang begitu produktif dalam pelbagai artikel di media cetak. Namun secara diam-diam, Soe

ternyata juga menumpahkan unek-uneknya dalam bentuk puisi indah. Salah satunya Mandalawangi-Pangrango yang terkenal di kalangan pendaki

gunung.

Pemuda lajang yang sempat pacaran dengan beberapa gadis manis FSUI, selain kutu buku, macan mimbar diskusi, kambing gunung, tukang

nonton film, juga penggemar berat folksong (meski sama sekali tak becus bernyanyi merdu). Berbadan kurus nyaris kerempeng, di gunung makannya gembul.

Bagi pemuda dan khususnya mahasiswa demonstran, masih ada potongan puisi Hok Gie yang sempat tercecer, baru muncul di harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973. Judulnya "Pesan" dan cukilan pentingnya berbunyi:

(21)

Hari ini aku lihat kembali

Wajah-wajah halus yang keras

Yang berbicara tentang kemerdekaaan Dan demokrasi

Dan bercita-cita Menggulingkan tiran

Aku mengenali mereka yang tanpa tentara

mau berperang melawan diktator dan yang tanpa uang

mau memberantas korupsi

Kawan-kawan

Kuberikan padamu cintaku

Dan maukah kau berjabat tangan Selalu dalam hidup ini?

(22)

Kartini, Ahmad Wahib, dan

Soe Hok Gie

Kartini, Ahmad Wahib, dan

Soe Hok Gie

Oleh Imam Cahyono

Hikmah apa yang bisa kita petik dari Raden Ajeng Kartini, Ahmad Wahid dan Soe Hok Gie? Ketiga nama itu

sepertinya tak pernah habis menjadi bahan pembicaraan. Padahal, ketiganya adalah sosok yang jelas-jelas berbeda, hidup dalam zaman yang berbeda pula. Kartini hidup semasa kolonialisme Belanda sedang berjaya di persada nusantara. Soe Hok Gie hidup dalam zaman peralihan, masa kemunduran Soekarno transisi menuju era Soeharto. Sementara Wahib, hadir di zaman awal pemerintahan Orba, saat umat Islam mengalami posisi marginal dan stagnan. Kartini begitu harum namanya sebagai pejuang perempuan dalam menghadapi dominasi feodalisme patriarkhi, sehingga setiap 21 April diperingati sebagai Hari Kartini, hari emansipasi kaum

perempuan. Soe Hok Gie dikenal sebagai intelektual muda yang giat melawan tirani rezim Soekarno. Wahib terkenal dengan gagasan pembaruan Islamnya. Ia yang juga salah satu motor penggerak Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Hanya itu?

Satu hal yang mestinya dicatat tebal adalah bahwa mereka giat dan terus-menerus berusaha berjuang demi terciptanya perubahan, melalui tulisan. Dengan menulis! Kartini menggerakkan simpul-simpul perubahan, sebuah revolusi melalui lipatan surat-suratnya. Soe Hok Gie dan Wahib membuka mata hati dan pikiran kita dengan catatan

(23)

hariannya, dengan buku harian.

Kita tak akan pernah kenal sosok Kartini kalau saja ia tidak menulis surat-surat, yang kemudian dikumpulkan oleh J.H Abendanon. Kita juga tak akan tahu, tak akan dengar nama Soe Hok Gie dan Wahib, kalau mereka tidak menulis catatan harian, yang kemudian

dipublikasikan. Sehebat itukah menulis? Sedahsyat itukah efek yang dihasilkan dari sebuah tulisan?

Resi-resi Sejarah

Siapa pun tak bisa memungkiri bahwa perkembangan peradaban manusia sebagian besar karena jasa para pengarang atau penulis. Demikian besarnya peran itu, sehingga Ben Okri, seorang novelis Afrika, menyebut pengarang sebagai ”resi-resi sejarah”. Pengarang adalah ”the town-criers”, barometer zaman. Bila kita ingin tahu apa yang sedang berlangsung pada sepenggal zaman, maka cari apa yang terjadi dengan para penulisnya. Tirani kekuasaan dapat merekayasa sejarah, membuat sejarah sesuka hatinya seperti yang dilakukan Orde Baru Soeharto. Masyarakat dapat bungkam dalam ketakutan dan kepasrahan, demi periuk nasi anak-anaknya. Masyarakat dapat pasrah, berserah diri dan terus menunggu datangnya zaman baru sampai penyakit waktu datang menggerogoti dirinya sendiri.

Tetapi, penulis memberontak terhadap penantian. Mereka berkisah dalam tulisan-tulisannya, dalam buku-buku tentang apa saja. Tentang ketidakadilan, kemanusiaan, kejahatan, tragedi, cinta kasih, bumi yang rusak, otoritarianisme agama, dan banyak lagi.

Penulis adalah pekerja keabadian tanpa pamrih. Menulis adalah bekerja untuk abadi. Orang boleh pandai setingggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang tertelan masyarakat dan lenyap dari pusaran arus sejarah. Hanya orang yang menuangkan gagasannya dalam tulisanlah yang akan dikenang dalam waktu yang lama.

Dunia modern terbentuk, terbangun dan menjadi dunia seperti yang kita huni

(24)

sekarang ini juga tak lepas dari keringat pergulatan para penulis dan karya-karyanya. Penulis adalah sosok yang selalu bergerak di tengah wacana dan hiruk pikuk masyarakat, kadang sejalan dengan arus, kadang melawannya untuk mengarahkan arus itu. Kartini, Wahib dan Soe Hok Gie adalah beberapa di antaranya. Masih ada ribuan penulis yang dengan jerih payahnya telah menenun tali persambungan peradaban manusia.

Tak hanya itu, kemajuan suatu bangsa bisa diukur dari sejauh mana

masyarakatnya memiliki tradisi menulis. Hanya bangsa-bangsa yang memiliki tradisi menulislah yang selalu menjadi pelopor kemajuan. Kebiasaan menulis mengantarkan manusia pada kearifan mengungkap gagasannya secara sistematis berikut apa yang dilihat, didengar, diraba dan dipegangnya. Bekerja untuk Keabadian

Kartini, Wahib dan Soe Hok Gie memiliki semangat yang luar biasa dahsyatnya, selalu disiplin dan konsisten untuk tetap menulis. Mereka begitu giat dan tekun sehingga dalam usia yang demikian muda sudah menghasilkan tulisan dengan bobot yang tak bisa dianggap remeh. Dan kita tahu, mereka mati muda.

Barangkali, mereka sama sekali tidak akan pernah menyangka kalau ternyata tulisan, goresan pena yang mereka hasilkan akhirnya menjadi perdebatan sampai sekarang. Mereka juga tak tahu, kalau ternyata nama-nama mereka justru semakin tenar dan dikenal tatkala mereka sudah pergi menghadap panggilan Ilahi untuk selamanya. Kartini, Wahib, Soe Hok Gie adalah sederet nama yang akan tetap dibaca, ditelisik, dikaji dikritisi dan dikenang sepanjang masa. Gagasan-gagasan mereka akan selalu menjadi inspirasi bagi masa mendatang.

Nama-nama mereka akan selalu abadi, dikenang oleh sejarah dan peradaban. Karena tanpa mereka sadari, dengan menulis mereka telah bekerja untuk keabadian, mengabdi pada sejarah dan peradaban

(25)

Kartini, Wahib, Soe Hok Gie adalah cermin-cermin peradaban pada masanya sendiri. Kita hanya bisa berharap, kelak, suatu saat nanti, akan hadir Kartini-Kartini muda, Wahib-Wahib muda, Soe Hok Gie-Soe Hok Gie muda, yang mewarisi nilai-nilai perjuangan, semangat, dan cita-citanya yang luhur. Dan, kita juga berharap, mereka tidak harus mati muda…***

Penulis adalah editor Jurnal ”Interaksi” Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.

(26)

Fenomena Soe Hok Gie

Akhir2 ini nama Soe Hok Gie makin sering kita denger atau baca. Mungkin bagi bbrp kalangan tertentu udah ga asing lagi sama namanya. Tapi ada bbrp org, termasuk gue, blm tau & baru tau setelah film ttg dia dibuat. Gue aja baru tau siapa Soe Hok Gie itu dari sini. Sblmnya gue liat pembahasan film itu di Trans TV yg menghadirkan Riri Riza & Nicholas Saputra, gue jadi pengen tau siapa Soe Hok Gie itu. Dan ketika baca di sini & di situ, gue jadi tertarik utk

liat filmnya. Seperti yg udah gue bayangin, film Gie produksi Miles Film &

disutradarai oleh Riri Riza ini bakalan jadi film yang berat tapi menarik. Penuh dengan kata-kata politis & idealis, sekaligus puitis & romantis, dg berakhir tragis. Dan yg kerennya lagi, setting, property, wardrobe, dan semua aspek yg mendukung film ini agar terlihat seperti tahun 60-an bisa dibilang oke banget. Secara keseluruhan film ini keren. Dg angle yg diambil secara artistik, musik yg mendukung, dan setting yg jadul banget. Blm lagi ada scene di mana patung selamat datang lagi dlm proses pembuatan, juga ada pemandangan Jakarta dari atas yg menampakkan monas dan satu gedung di dekatnya. Cuma satu gedung. Hah! Gimana cara bikinnya tuh?!

Tapi ada juga kekurangannya meskipun terlalu ga parah. Cover buku2 yg dibaca Gie masih terlihat baru dan ketara banget bikinannya. Juga papan2 nama toko di pinggir jalan, semua warnanya sama dan jenis tulisannya setipe (mana ada tulisan tangan bisa sama? Kecuali ada satu org yg khusus membuat tulisan di papan nama seluruh toko di jalan itu). Plat nomor mobil juga keliatan baru. Ada lagi, menurut gue ada bbrp scene yg sebenernya ga perlu dibuat.

(27)

Mungkin mksdnya scene itu ada krn dinilai artistik. Tapi kalo ga membantu menjelaskan isi film itu, jadinya cuma kek sekedar klip2 yg malah bikin bingung penonton. Mendingan buat scene yg lebih to the point, lebih mengenalkan sosok Gie, atau apalah yg bisa bikin

penonton lebih ngerti jalan ceritanya. Karena spt yg tadi gue bilang, ga semua orang tau ato udah pernah

baca kisah hidupnya, kan? Sapa tau ada yg blom tau siapa itu Gie,

tulisan2nya, bukunya… Bagi gue yg udah pernah baca ttg Soe Hok Gie meskipun sekilas, ga

terlalu bingung nonton film itu. Apalagi bagi yg udah tau banyak ttg dia & udah baca bukunya yg berjudul “Catatan Seorang Demonstran”. Tapi bagi temen gue yg blm pernah baca, sempet lost di bbrp scene. Terutama di scene ketika Gie pergi menyendiri ke lembah (yg malah tampak spt gunung) makan coklat di dkt api unggun. Scene berikutnya, Gie dikabarkan meninggal di Semeru. Kelihatannya spt Gie meninggal di gunung yg terakhir ia daki itu (makan coklat). Pdhal itu bukan gunung Semeru, tapi itu lembah. Mungkin seharusnya ada scene di mana Gie & teman2nya berangkat ke Semeru, biar ga mixed

up sama waktu dia menyendiri itu. Endingnya emang berkesan drastis. Kecepetan. Ga terlalu berbekas.

Gue udah mengharapkan ada scene yg nyeritain ttg kematiannya. Tapi ga ada :( Mungkin durasinya udah kelamaan... Yeah basicly, ini film oke banget… two thumbs up! Ternyata film Indonesia ada juga yg bagus. Beda banget sama film2 remaja akhir2 ini yg cuma menampilkan hedonisme kebablasan dan pesan moral yg basi.

Referensi

Dokumen terkait

Survei yang dilakukan terhadap situs-situs pertahanan tradisional baik di Bukit Amaiha di Pulau Saparua, maupun Bukit Wawani dan Bukit Kapahaha di Pulau Ambon menunjukkan bahwa

mengetahui bagaimana system penyelenggaraan makanan yang digunakan, apakah system penyelenggaraan makanan yang dilakukan sesuai dengan tujuannya, apakah makanan yang

Pada tahap pra pelaksanaan, perlu dilakukan kegiatan yang mencakup: 1) pengidentifikasian kebutuhan dilakukan bersama-sama dengan kelompok sasaran, 2) didukung oleh data relevan

Gunakan bahan yang tidak mudah terbakar seperti vermikulit, pasir atau tanah untuk menyerap produk ini dan.. tempatkan dalam kontainer untuk

dengan diperbolehkannya terdakwa mengakui semua hal yang didakwakan kepadanya dan mengaku bersalah melakukan tindak pidana yang diancam tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun,

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hipotesis mayor yang diajukan diterima dimana konformitas teman sebaya (X1) dan konsep diri (X2) mempunyai hubungan yang sangat

pengertian bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat.. dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam

Penelitian skripsi pada tahun 2012 yang telah dilakukan oleh Swandy, Mario Adiputra, dan David dari Universitas Bina Nusantara mengenai perancangan sistem basis