• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA. merupakan karang yang dapat membentuk terumbu sedangkan kelompok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA. merupakan karang yang dapat membentuk terumbu sedangkan kelompok"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

4 2.1. Karang Keras Acanthastrea echinata

Karang keras termasuk ke dalam filum Coelentrata (Cnidaria) dari kelas Anthozoa dan sub-kelas Hexacoralia. Ciri khas dari hewan Cnidaria yaitu sengat yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsanya. Sel sengat ini dikenal dengan nama nematocyst (Nybakken, 2000).

Kemampuan berdasarkan pembentukan terumbu, karang dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu hermatifik dan ahermatifik. Kelompok hermatifik merupakan karang yang dapat membentuk terumbu sedangkan kelompok ahermatifik tidak dapat membentuk terumbu (Nybakken, 2000). Karang jenis

Acanthastrea echinata termasuk kedalam kelompok karang hermatifik, karena

mampu menghasilkan terumbu sendiri yang berasal dari hasil samping aktivitas fotosintesis yang dilakukan oleh alga zooxanthellae yang bersimbiosis dengan karang.

Sistem klasifikasi karang keras Acanthastrea echinata (Veron, 1986) adalah sebagai berikut (Chevalier, 1975; Veron and Picon, 1980):

Filum : Cnidaria Kelas : Anthozoa

Sub Kelas : Zooantharia (Hexacorallia) Ordo : Sclerectinia

Sub ordo : Favina Famili : Mussidae Genus : Acanthastrea

(2)

Gambar 1. Koloni Acanthastrea echinata (Veron, 1986)

Karakteristik dari karang Acanthastrea echinata adalah koloni dalam bentuk massive atau mengerak dan biasanya datar. Jenis koralid berupa cerioid atau subplacoid, melingkar dan memiliki dinding yang tipis. Septa mirip dengan

Lobophyllia. Dalam keadaan hidup terlihat seperti adanya jaringan keriput

melingkar di sekitar mulut. Koloni memiliki jaringan berdaging tebal di atas kerangka yang biasanya berbentuk lipatan konsentris (Veron, 1986).

Gambar 2. Koralid Bentuk Cerioid (Veron, 1986)

Warna dari Acanthastrea echinata biasanya seragam atau memiliki bercak cokelat gelap, abu-abu atau hijau, tetapi kadang-kadang berwarna cerah. Habitat karang ini ditemukan di hampir seluruh lingkungan terumbu karang dengan kelimpahan pada umumnya di wilayah tropis dan biasa ditemukan di tempat yang agak dalam (Veron, 1986). Karang jenis ini tersebar di seluruh wilayah di dunia, yaitu di wilayah Australia, Jepang, Indonesia, New Caledonia, Papua New Guinea, Kenya, Malaysia, Iran, Tanzania, serta Saudi Arabia (Anonimb , 2012).

(3)

2.2. Parameter Perairan yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Karang

Distribusi dan pertumbuhan ekosistem terumbu karang tergantung dari beberapa parameter fisika-kimiawi perairan berikut :

2.2.1. Suhu

Terumbu karang pada umumnya tumbuh secara optimal pada kisaran suhu perairan laut rata-rata tahunan antara 25-29 0C, namun suhu di luar itu masih dapat ditolelir oleh spesies tertentu dari jenis karang hermatifik untuk dapat berkembang dengan baik (Thamrin, 2006). Secara langsung kondisi suhu perairan mempengaruhi kecepatan metabolisme suatu organisme perairan (Dahuri, 2003).

Perubahan suhu perairan, baik peningkatan maupun penurunan suhu yang ekstrim terbukti menyebabkan gangguan terhadap terumbu karang. Penelitian Lumban Gaol (2007) mengenai analisis SPL di perairan Indonesia menyatakan bahwa terjadinya bleaching di beberapa perairan di Indonesia disebabkan oleh anomali suhu yang memiliki pengaruh negatif terhadap ekosistem karang.

2.2.2. Salinitas

Karang hermatifik adalah organisme laut sejati dan sebagian besar spesies sangat sensitif terhadap perubahan salinitas yang lebih tinggi atau lebih rendah dari salinitas normal air laut yaitu 30-35 ppt (Nybakken, 2000). Pariwono et

al.(1996) menyatakan bahwa salinitas di laut secara fisiologi mempengaruhi

kehidupan binatang karang karena adanya proses tekanan osmosis pada jaringan tubuhnya. Karena karang peka terhadap perubahan salinitas, maka hewan ini

(4)

dapat hidup normal hanya pada perairan yang tidak banyak mengalami perubahan salinitas atau relatif stabil.

Nilai salinitas yang berkisar 29-31 ‰ berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rani et al. (2003) merupakan kisaran yang baik untuk reproduksi karang di perairan Indonesia. Berdasarkan penelitian Helfinalis (1999), nilai salinitas antara 30,2-34 ‰ merupakan salinitas normal untuk kehidupan karang.

2.2.3. Kekeruhan dan Sedimentasi

Sedimentasi memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak langsung bagi pertumbuhan karang. Pengaruh langsung bagi pertumbuhan karang terjadi apabila sedimentasi yang masuk ke perairan merupakan sedimentasi yang berukuran besar sehingga dapat menutupi polip karang (Supriharyono, 2007). Pengaruh tidak langsung adalah sedimentasi yang masuk ke perairan dapat menyebabkan kekeruhan yang berdampak pada penurunan sinar matahari, sehingga dapat menurunkan laju pertumbuhan karang (Supriharyono, 2007).

Kondisi perairan yang keruh menyebabkan tidak semua jenis karang batu dapat tumbuh dengan baik. Hanya jenis-jenis karang batu yang mampu

beradaptasi dengan lingkungannya yang mampu bertahan hidup. Akan tetapi, pertumbuhan karang tersebut tidak maksimal, ditandai dengan ukurannya yang relatif kecil (Tuti H et al, 2010).

2.2.4. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)

Oksigen merupakan salah satu gas terlarut di perairan. kadar oksigen yang terlarut di perairan tergantung kepada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan.

(5)

Perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan memiliki kadar oksigen tidak kurang dari 5 mg/l. Kadar oksigen terlarut kurang dari 4 mg/l menimbulkan efek kurang menguntungkan bagi organisme akuatik (Effendi, 2003).

2.2.5. Nutrien (Nitrat, Amonia dan Ortofosfat)

Banyaknya kandungan nutrien di perairan juga mempengaruhi komunitas terumbu karang. Alga zooxanthellae membutuhkan nutrien untuk melakukan proses fotosintesis. Nitrogen di laut tersedia dalam berbagai jenis bentuk garam organik seperti nitrit, nitrat, amonia dan berbagai jenis senyawa mitrogen seperti asam amino dan urea, atau sebagai nitrogen molekuler. Alga pada umumnya lebih menggunakan amonia, nitrat dan nitrit (Tomascik et al., 1997).

Nitrat (NO3) merupakan bentuk utama dari nitrogen di perairan dan

merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga serta dapat dimanfaatkan secara langsung (Effendi, 2003). Nitrat tidak bersifat toksik bagi organisme akuatik. Kadar nitrat pada perairan alami tidak lebih dari 0,1 mg/liter. Kadar nitrat yang lebih dari 0,2 mg/l dapat menyebabkan eutrofikasi perairan. Pada skala komunitas, tingginya kandungan nutrien dapat menyebabkan

berkembangnya sponge dan alga yang dapat mencegah melekatnya larva karang (Sabarini, 2001).

Amonia (NH3) merupakan salah satu bentuk nitrogen anorganik pada

suatu perairan dan merupakan salah satu senyawa kimia yang bersifat racun bagi biota perairan jika jumlahnya berlebihan di perairan. Sumber amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air yang berasal dari dekomposisi bahan organik

(6)

(tumbuhan dan akuatik yang telah mati) oleh mikroba dan jamur. Kadar nitrat yang mencapai nilai lebih dari 5 mg/l, dapat diindikasikan bahwa perairan tersebut mengalami pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan tinja hewan (Effendi, 2003).

Unsur fosfat tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen di perairan, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat. Kadar fosfat yang

berlebihan dan nitrogen dapat menstimulir ledakan pertumbuhan alga. Ortofosfat merupakan bentuk fosfat yang dapat digunakan secara langsung oleh tumbuhan akuatik (Effendi, 2003).

Kandungan nutrien yang tinggi dalam perairan dapat mengakibatkan pertumbuhan karang menjadi lebih lambat (Birkeland, 1988). Pada daerah yang kaya akan nutrien, fitoplankton akan bertambah dan menghalangi cahaya yang masuk ke perairan. Persaingan tempat juga akan terjadi dengan bertambahnya keanekaragaman hewan bentik lainnya (Birkeland, 1988).

2.3. Transplantasi Karang

Transplantasi karang merupakan upaya pencangkokan atau pemotongan karang hidup untuk ditanam di tempat lain yang bertujuan untuk pembentukan terumbu karang secara alami. Pada awalnya, teknik transplantasi karang dimaksudkan untuk mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah

mengalami kerusakan terutama meningkatkan keragaman dan persen penutupan, tetapi kemudian teknik ini juga dikembangkan sebagai upaya budidaya karang

(7)

untuk diperdagangkan sebagai karang hias (Herianto, 2007 ; Giyanto, 2007 ; Soedharma dan Arafat, 2007).

2.3.1. Transplantasi Karang di Dunia

Transplantasi karang di dunia telah banyak dilakukan, salah satunya dalam upaya restorasi terumbu karang (Edwards dan Gomez, 2008). Beberapa wilayah di dunia melakukan transplantasi karang dengan alasan sebagai berikut :

1. Polynesia Perancis. Transplantasi karang dilakukan sebagai usaha untuk menyelesaikan masalah erosi pantai di Matira Point.

2. Saint Leu, Pulau La Réunion. Transplantasi karang dilakukan untuk membuat kembali habitat ikan yang rusak diakibatkan oleh angin topan Firinga.

3. Pulau Mayotte (Samudera Hindia). Transplantasi karang bertujuan untuk memperbaiki kerusakan akibat reklamasi pada rataan terumbu sewaktu reklamasi pelabuhan.

4. Pulau Moturiki , Fiji. Transplantasi karang bertujuan untuk memperbaiki sebagian karang yag mati dalam kejadian pemutihan karang pada tahun 2000 dan 2002.

5. Pantai Prony, New Caledonia. Transplantasi karang dilakukan untuk

menyelamatkan koloni-koloni karang yang terancam oleh kegiatan reklamasi dan menggunakan karang tersebut untuk memperbaiki 2.000 m2 kerusakan karang.

6. Marau Sound (Pulau Solomon), Desa Cuvu dan Tuva (Fiji). Transplantasi karang dilakukan sebagai usaha perencanaan Daerah Perlindungan Laut, dengan proyek manajemen berbasis masyarakat.

(8)

2.3.2. Transplantasi Karang di Indonesia

Penelitian pendahuluan yang mengarah pada transplantasi karang

dilakukan oleh Boli (1994) dengan melakukan penanaman beberapa jenis karang bercabang Acropora di Pulau Lancang dan di sebelah utara Pulau Pari

(Soedharma dan Arafat, 2007).

Penelitian mengenai transplantasi karang dari famili Mussidae dilakukan oleh beberapa mahasiswa Perguruan Tinggi di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Subhan (2003) di Pulau Pari mengenai kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan karang jenis Cynarina lacrymaris, Euphyllia sp., dan Plerogyra

sinuosa, menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup dari karang jenis Cynarina lacrymaris sebesar 22,22%. Laju pertambahan tinggi sebesar 0,03 cm

perbulan, sedangkan laju pertambahan panjang sebesar 0,11 cm perbulan.

Respati (2005) melakukan penelitian di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu selama 5 bulan pada kedalaman 8 meter. Jenis karang yang ditransplantasikan yaitu Caulastrea sp. dan Lobophyllia hemprichii. Tingkat kelangsungan hidup untuk semua spesies adalah 100%. Laju pertumbuhan panjang dan lebar karang

Lobophyllia hemprichii adalah pada perlakuan 3 (T3) yaitu 4,14 mm/bulan dan

pada perlakuan 2 (T2) yaitu 3,81 mm/bulan.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Margono (2009) mengenai perkembangan dan pertumbuhan karang jenis Lobophyllia hemprichii yang ditransplantasikan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Tingkat kelangsungan hidup dari karang yang ditransplantasikan sebesar 100%. Pertambahan nilai panjang yang didapatkan dari pengamatan selama 6 bulan adalah 10,7 mm.

(9)

Kamalikasari (2012) melakukan penelitan pula di Pulau Pramuka

mengenai adaptasi fragmen karang keras berpolip besar jenis Blastomussa wellsi yang dilakukan pada kedalaman 20 meter dan 12 meter. Tingkat kelangsungan hidup dari fragmen yang ditansplantasikan sebesar 100%. Rata-rata pertumbuhan fragmen karang terlihat pada nilai luas, sedangkan pada panjang dan lebar karang tidak berbeda jauh. Selisih nilai ukuran awal fragmen karang yaitu 0,53 mm2. Setelah 3 bulan pengamatan, selisih ukuran luas antara kedua kedalaman sebesar 5,21 mm2 , selanjutnya pada waktu 6 bulan pengamatan selisih ukuran luas menjadi 3,89 mm2 .

2.3.3. Jenis-Jenis Karang Transplantasi

Sesuai peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor SK. 09/IV/Set-3/2008 tentang Pedoman Penangkaran/Transplantasi Karang yang Diperdagangkan, jenis-jenis karang yang dapat ditransplantasi sebanyak 65 jenis (Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, 2011). Mempertimbangkan sifat biologi karang dan kondisi lingkungan, serta keberhasilan uji coba dan penelitian, jenis karang yang dapat dimanfaatkan /diperdagangkan sebanyak 24 jenis, sedangkan karang yang telah berhasil ditransplantasi dan belum dapat dimanfaatkan sebanyak 23 jenis (Tabel 2). Tabel 1. Daftar Jenis-Jenis Karang yang Berhasil Ditransplantasikan

No Jenis Karang No Jenis Karang

1 Acanthastrea echinata 1) 3) 40 Heliopora coerulea 1)

2 Acanthastrea lordhowensis 3) 41 Herpolitha limax 1)

3 Acanthastrea maxima 3) 42 Hydnophora exesa 1)

4 Acropora spp. 1) 2) 43 Hydnophora microconos 1) 3)

5 Alveopora spongiosa 1) 44 Hydnophora rigida 1) 2)

6 Blastomussa wellsi 1) 3) 45 Lobophyllia corymbosa 1) 3)

(10)

8 Caulastrea echinulata 1) 47 Merulina ampliata 1) 2)

9 Caulastrea sp. 2) 48 Millepora spp. 1)

10 Caulastrea tumida 1) 49 Montastrea annuligera 1)

11 Cynarina lacrymaris 1) 50 Montastrea spp. 1)

12 Cyphastrea serailia 1) 51 Montastrea valenciennesi 1)

13 Dendrophyllia fistula 1) 3) 52 Montipora sp. 1) 2)

14 Diploastrea heliopora 1) 53 Neomenzophyllia turbida 1)

15 Disticopora spp. 1) 54 Pectinia lactuca 1)

16 Echinophyllia aspera 2) 55 Physogyra lichtensteini 1) 3)

17 Echinopora lamellosa 2) 56 Plerogyra sinuosa 1) 3)

18 Euphyllia ancora 2) 57 Pocillopora damicornis 1) 2)

19 Euphyllia cristata 1) 3) 58 Pocillopora eydouxi 2)

20 Euphyllia divisa 1) 3) 59 Pocillopora verrucosa 1) 2)

21 Euphyllia glabrescens 1) 2) 60 Polyphyllia talpina 1)

22 Euphyllia paraancora 3) 61 Porites cylindrica 2)

23 Euphyllia yaeyamaensis 3) 62 Porites lichen 2)

24 Favia pallida 1) 3) 63 Porites nigricens 2)

25 Favia spp. 1) 64 Porites spp. 1)

26 Favites abdita 1) 3) 65 Scolymia vitiensis 1)

27 Favites chinensis 1) 3) 66 Seriatopora caliendrum 2)

28 Fungia fungites 1) 67 Seriatopora hystrix 1) 2)

29 Fungia moluccensis 1) 68 Stylophora pistilla 1) 2)

30 Fungia paumotensis 1) 69 Symphyllia agarricia 1) 3)

31 Fungia spp. 1) 70 Symphyllia sp. 1)

32 Galaxea astreata 1) 2) 71 Trachyphyllia geoffroyi 1)

33 Galaxea fascicularis 1) 2) 72 Tubastrea aurea 1) 3)

34 Goniastrea pectinata 1) 3) 73 Tubipora musica 1) 3)

35 Goniastrea retiformis 1) 74 Turbinaria mesenterina 1) 2)

36 Goniopora lobata 1) 3) 75 Turbinaria peltata 1) 2)

37 Goniopora minor 1) 3) 76 Turbinaria reniformis 2)

38 Goniopora stokesi 1) 77 Turbinaria stellulata 2)

39 Heliofungia actiniformis 1) 78 Wellsophyllia radiata 1)

Keterangan :

1)

= Jenis-jenis karang yang dapat ditransplantasi (Peraturan Dirjen PHKA No. SK. 09/IV/Set-3/2008)

2)

= Jenis-jenis karang yang dapat dimanfaatkan/diperdagangkan (Rekomendasi Kepala Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) – LIPI Nomor : 0226/IPK-2/KS08).

(11)

3)

= Jenis-jenis karang yang berhasil ditransplantasi oleh unit usaha transplantasi dan belum dapat dimanfaatkan/diperdagangkan.

(Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, 2011)

2.3.4. Manfaat dan Kendala Transplantasi Karang

Transplantasi karang memiliki manfaat yang cukup banyak untuk masyarakat dan lingkungan. Soedharma dan Arafat (2007) menyatakan bahwa manfaat transplantasi karang adalah mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak, rehabilitasi lahan-lahan kosong atau rusak, menciptakan komunitas baru, konservasi plasma nutfah dan untuk keperluan perdagangan.

Pengembangan teknik transplantasi ini masih mengalami berbagai kendala. Secara umum, terdapat dua faktor yang menjadi kendala bagi

keberhasilan pengembangan transplantasi karang, yaitu faktor manusia dan faktor lingkungan. Faktor manusia yang dapat menghambat ialah masih kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian terumbu karang, sedangkan faktor lingkungan yang menjadi kendala yaitu dari segi aspek hama, penyakit dan parasit karang (Soedharma dan Subhan, 2008).

Gambar

Gambar 1. Koloni Acanthastrea echinata (Veron, 1986)

Referensi

Dokumen terkait

Kalau ia melihat dunia, ia tidak melihat dunia, ia tidak akan akan merasa senang di dalamnya sampai ia dapat melahirkan pertemuan kembali dengan Tuhan merasa senang di

Sebagai upaya penyempurnaan pelayanan di bidang pengelolaan Barang Milik Negara (BMN), Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) membangun dan mengembangkan Sistem

Pemberian perasan daun pepaya disetiap konsentrasi tidak berbeda nyata.Rata-rata peningkatan kadar hemoglobin tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol pembanding

Pusat unggulan pencegahan dan pengendalian PTM akan melibatkan berbagai disiplin ilmu dan profesi kesehatan dilingkungan Poltekkes Kemenkes Semarang, sehingga

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perbandingan kekuatan tarik dan mengetahui sifat fisik dari komposit serat glass dan serat pelepah salak dengan matrik

Meskipun emisi senyawa di perkebunan mengalami peningkatan dari tahun 2014 ke tahun 2015 tetapi nilai emisi yang dihasilkan masih jauh lebih kecil dari emisi

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa Prosedur Pelaksanaan Audit Operasional adalah suatu tahapan atau urutan kegiatan yang telah menjadi