• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK P DENGAN BERBAGAI DOSIS TERHADAP PERTUMBUHAN AWAL BIBIT SAGU DI PERSEMAIAN DENGAN SISTEM POLIBAG ALMAGIT HUSNI HOFSAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PEMBERIAN PUPUK P DENGAN BERBAGAI DOSIS TERHADAP PERTUMBUHAN AWAL BIBIT SAGU DI PERSEMAIAN DENGAN SISTEM POLIBAG ALMAGIT HUSNI HOFSAH"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

DOSIS TERHADAP PERTUMBUHAN AWAL BIBIT SAGU DI

PERSEMAIAN DENGAN SISTEM POLIBAG

ALMAGIT HUSNI HOFSAH

A24080178

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(2)

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK P DENGAN BERBAGAI DOSIS TERHADAP PERTUMBUHAN AWAL BIBIT SAGU

DI PERSEMAIAN DENGAN SISTEM POLIBAG

The effect of some doses P fertilizer on early growth of sago sucker in nursery by polybag system

Almagit Husni Hofsah1dan H.M.H. Bintoro Djoefrie2

1Mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB 2Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB

Abstract

Experiment was conducted at PT. National Sago Prima, Selat Panjang, Riau. It was conducted during five months from February to June 2012. The purpose of this experiment was to study the effect of P fertilizer and look for a doses of P fertilizer that give the best results of early growth of sago sucker in nursery by polybag system. The experiment used Complete Randomized Block Design with a single factor consisted of 6 treatment and 4 replications. Treatment given the level of P fertilizer with 0, 3, 6, 9, 12, and 15 g TSP/polybag (equivalent to 0, 1.82, 3.64, 5.46, 7.28, 9.10 g P2O5/polibag). N and K Fertilizer use as basal fertilizer dose of 6 g each Urea/polybag and 2.5 g KCl/polybag. The experiment results show that P fertilization with different doses are not significantly affect for all vegetative variables (early growth) observed sago seeds which includes survival persentage, percentage of leaf expansion, leaf length pruning, length and width of the leaf pruning, leaf length 1, length and width of the leaf 1, leaf length of petiol 1, the number of child leaf 1, leaf leaves live span 1, the total number of leaves, dry weight of roots, petiol and rachis. Luxury consumption occurs due to the addition of P fertilizer caused the P nutrient medium prior to fertilization considered very high. Early growth of sago sucker are still influenced by the nutrition in the basal of sucker and environment.

(3)

ALMAGIT HUSNI HOFSAH. Pengaruh Pemberian Pupuk P dengan Ber- bagai Dosis terhadap Pertumbuhan Awal Bibit Sagu di Persemaian dengan Sistem Polibag. (Dibimbing oleh M.H. BINTORO DJOEFRIE)

Melihat pentingnya tanaman sagu dewasa ini dan masa yang akan datang, seiring dengan meningkatnya kebutuhan penduduk dunia akan pangan dan energi, maka perlu dipikirkan usaha peningkatan kualitas dan kuantitas produksi sagu se- cara tepat agar sasaran yang diinginkan dapat tercapai. Salah satu diantaranya ada- lah bahan perbanyakan tanaman berupa bibit, untuk itu perlu tindakan kultur tek- nis atau perawatan bibit yang baik antara lain dengan jalan pemupukan pada wak- tu di pembibitan. Pembibitan memungkinkan pemilihan bibit yang sehat untuk di- tanam di lapangan, sehingga akan sangat meningkatkan kelangsungan hidup bibit transplantasi dan meningkatkan keseragaman pertumbuhan sagu.

Percobaan bertujuan untuk mempelajari pengaruh dan mencari dosis pu- puk P yang memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan awal bibit sagu di persemaian dengan sistem polibag. Percobaan dilaksanakan di PT. National Sago Prima, Selat Panjang, Riau. Selama 5 bulan yaitu dari bulan Februari hingga Juni 2012.

Percobaan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) faktor tunggal. Perlakuan yang diberikan yaitu pemupukan P dengan 6 taraf 0, 3, 6, 9, 12, dan 15 g TSP/polibag (setara dengan 0, 1.82, 3.64, 5.46, 7.28, 9.10 g P2O5/polibag). Taraf perlakuan diulang sebanyak 4 kali, sehingga di dapatkan 24

satuan atau unit percobaan. Pupuk N dan K digunakan sebagai pupuk dasar de- ngan dosis masing masing 6 g Urea/polibag dan 2,5 g KCl/polibag.

Pengamatan dilakukan dari 2 hingga 10 MSA (Minggu Setelah Aplikasi) dengan mengamati 24 tanaman contoh per unit percobaan. Peubah yang diamati yaitu keragaan pertumbuhan tanaman sagu meliputi persentase hidup bibit, per-sentase pemekaran daun, panjang daun pangkas, panjang dan lebar anak daun pangkas, panjang daun 1, panjang dan lebar anak daun 1, panjang petiol daun 1, jumlah anak daun 1, leaf live span daun 1, jumlah daun total, bobot kering tanam- an (akar, petiol dan rachis) pada 10 MSA, serta dilakukan pengamatan data pen-dukung seperti suhu, kelembaban, pH dan analisis tanah.

(4)

Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa pemberian dolomit dan pupuk P dengan dosis 3 g sampai dengan 15 g TSP/ polibag meningkatkan pH media tanah gambut hingga mencapai 5,5 dan kandungan P tersedia sangat tinggi hingga men- capai 449.91 ppm. Pemberian pupuk P dengan kisaran dosis tersebut memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan awal bibit sagu di per- semaian. Hal tersebut diduga disebabkan kandungan P tersedia tanah sudah tergo- long sangat tinggi yaitu sebesar 44.24 ppm. Tanpa penambahan pupuk P, kan- dungan hara media sudah mencukupi untuk pertumbuhan bibit sagu. Pemberian pupuk P tidak lagi meningkatkan pertumbuhan, tapi justru menekan pertumbuhan akibat terjadinya luxury consumption.

Faktor lain yang ikut mempengaruhi tidak berpengaruhnya pemupukan P dari sisi jenis tanaman yaitu sagu merupakan tanaman tahunan sehingga pengaruh pemupukan tidak dapat langsung terlihat dalam waktu singkat. Pertumbuhan awal bibit sagu juga masih dipengaruhi oleh cadangan makanan pada banir dan penga- ruh lingkungan yang kurang mendukung bagi pertumbuhan bibit sagu.

(5)

DOSIS TERHADAP PERTUMBUHAN AWAL BIBIT SAGU DI

PERSEMAIAN DENGAN SISTEM POLIBAG

Skripsi sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

ALMAGIT HUSNI HOFSAH

A24080178

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(6)

Judul

: PENGARUH PEMBERIAN PUPUK P DENGAN

BERBAGAI DOSIS TERHADAP PERTUMBUHAN

AWAL BIBIT SAGU DI PERSEMAIAN DENGAN

SISTEM POLIBAG.

Nama

: ALMAGIT HUSNI HOFSAH

NIM

: A24080178

Menyetujui, pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. M. H. Bintoro Djoefrie, M. Agr NIP. 19480801 197403 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr NIP. 19611101 198703 1 003

(7)

Penulis dilahirkan di Kabupaten Pemalang, Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 23 Maret 1989. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pa- sangan Bapak Kastono dan Ibu Patriyah.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 02 Banjaranyar pa- da tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 01 Randudongkal selama tiga tahun dan menamatkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 01 Randudongkal pada tahun 2008. Kemudian pada tahun yang sama penulis diteri- ma sebagai mahasiswa jurusan Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian di Institut Pertanian Bogor pada tahun akademik 2008/2009 melalu jalur SNMPTN.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai organisasi yang dimulai sejak tingkat TPB dengan aktif pada LSO Esip (Enterpreneursip) KOPMA IPB dan anggota Organik Farming asrama TPB IPB, serta menjadi ben- dahara Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Pemalang selama 2 tahun bertu rut-turut. Di jurusan penulis juga bergabung dengan Forum Komunikasi Rohis Departemen sebagai bendahara divisi syiar. Penulis juga berkesempatan aktif se-bagai staf dan kadiv Administrasi Keuangan AGROHOTPLATE dan aktif di di-visi Eksternal HIMAGRON (Himpunan Mahasiswa Agronomi dan Hortikultura). Selain itu penulis aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan yang diadakan oleh jurusan, BEM A, BEMKM, dan pengabdian masyarakat yang diadakan direktorat IPB serta mengikuti berbagai seminar.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi yang ber- judul “Pengaruh Pemberian Pupuk P dengan Berbagai Dosis terhadap Per-

tumbuhan Awal Bibit Sagu di Persemaian dengan Sistem Polibag” Sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Agro- nomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Istitut Pertanian Bogor.

Penulis bermaksud menyampaikan terima kasih kepada:

1. Mama, Abah, Mbak Dewi, Mas Budi, dan seluruh keluarga yang telah mem- beri semangat dan doa yang tiada henti-hentinya kepada penulis.

2. Prof. Dr. Ir. H. M. H. Bintoro Djoefrie. M. Agr. Selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan saran, bimbingan, dan arahan selama proses pembuatan skripsi.

3. Dr. Ir. Supijatno, MSi dan Dr. Ir. Eko Sulistyono, MSi selaku dosen penguji. 4. PT. Sampoerna Agro dan PT. National Sago Prima atas izin penelitian dan ban-

tuan fasilitas selama penulis melakukan penelitian, tidak lupa penulis ucapkan terima kasih terutama kepada Mas Fajar, Mas Fahmi, Mas Gia, Mas Andri dan Kak Warno yang telah banyak membantu selama pelaksanaan penelitian di la- pang.

5. Keluarga besar Departemen Agronomi dan Hortikultura terutama dosen yang telah memberikan pelajaran berharga selama penulis melaksanakan studi di IPB.

6. Teman-teman Tim sagu seperjuangan: Ikachun, Hestong, Fendri, Cumi dan Iqbal terima kasih atas bantuan, semangat, kebersamaan dan kekompakannya. 7. Sahabat-sahabatku: Cumil, Anichan, Mio, Dingdong, Wulan, Pipit, Rateh,

Ulan, Gusmen, Teh Sandra, teman-teman Indigenous 45 dan AGH seluruhnya, teman-teman kost Azzahra, serta seluruh bimbingan Prof. Bintoro.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pe- ngetahuan khususnya di bidang pertanian.

Bogor, Agustus 2012

(9)

Halaman DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 3 Hipotesis ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Botani Tanaman Sagu ... 4

Syarat Tumbuh ... 5

Pembibitan ... 5

Pupuk Fosfor ... 7

BAHAN DAN METODE ... 11

Tempat dan Waktu ... 11

Bahan dan Alat ... 11

Metode Penelitian ... 12

Pelaksanaan Penelitian ... 12

Pengamatan ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

Hasil ... 15

Pembahasan ... 30

KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

Kesimpulan ... 37

Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Persentase Hidup Bibit ... 17 2. Rata-rata Persentase Hidup Bibit Sagu (Hasil Transformasi) ... 18 3. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Persentase Pemekaran Daun Bibit Sagu ... 19 4. Rata-rata Persentase Pemekaran Daun (Hasil Transformasi) ... 19 5. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Pertumbuhan Panjang Daun Pangkas ... 20 6. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Panjang Anak Daun Pangkas Bibit Sagu ... 21 7. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Lebar Anak Daun Pangkas Bibit Sagu ... 22 8. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Panjang Daun 1 Bibit Sagu 23 9. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Panjang Anak Daun 1 Bibit Sagu ... 24 10. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Lebar Anak Daun 1 Bibit

Sagu ... 25 11. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Jumlah Anak Daun 1 Bibit Sagu ... 26 12. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Panjang Petiol Daun 1 Bibit Sagu ... 27 13. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Jumlah Daun Bibit Sagu ... 28 14. Pengaruh Pemberian Pupuk terhadap Biomassa Bibit Sagu ... 29

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Bibit yang Terserang Jamur dan Membusuk ... 16

2. Pemangkasan Bagian Bibit yang Kering atau Busuk ... 16

3. Pengolesan Fungisida (Dhitane-45) dengan Konsentrasi 5 g/l dan 10 g/l ... 16

4. Akibat Pemangkasan Rata pada Awal Penanaman ... 17

5. Persentase Hidup Bibit Sagu ... 18

6. Persentase Pemekaran Daun ... 19

7. Pertumbuhan Panjang Daun Pangkas ... 20

8. Pertumbuhan Panjang Anak Daun Pangkas ... 21

9. Pertumbuhan Lebar Anak Daun Pangkas ... 22

10. Pertumbuhan Panjang Daun 1 ... 23

11. Pertumbuhan Panjang Anak Daun 1 ... 24

12. Pertumbuhan Lebar Anak Daun 1 ... 25

13. Jumlah Anak Daun 1 ... 26

14. Panjang Petiol Daun 1 ... 27

15. Jumlah Daun ... 28

16. Perbandingan Bobot Kering Tajuk dan Bobot Kering Akar ... 29

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Layout Percobaan ... 43

2. Pertumbuhan Bibit Sagu pada 10 MSA ... 44

3. Rata-rata Suhu dan Kelembaban dalam Paranet Bulan April-Juni 2012 ... 45

4. Analisis Tanah Sebelum Pemupukan ... 45

5. Analisis Tanah Setelah Pemupukan ... 46

6. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah ... 46

7. Rekapitulasi Sidik Ragam (Transformasi) ... 47 xi

(13)

Latar Belakang

Prospek pengelolaan sagu (Metroxylon spp.) Indonesia untuk ketahanan pangan dan energi nasional sangat menjanjikan dimasa depan. Potensi luas hutan sagu di Indonesia adalah kurang lebih 1,000,000 ha dan budidaya sagu kurang lebih 128,000 ha atau 51.3% luas areal sagu di dunia (Flach, 1983). Tabungan karbohidrat di hutan sagu Indonesia mencapai 5 juta ton pati kering per tahun. Se-tara dengan 3 juta kiloliter bioetanol (Sumaryono, 2007).

Sagu telah menjadi sumber karbohidrat penting bagi sebagian penduduk Indonesia terutama di Wilayah Indonesia Bagian Timur. Sagu juga merupakan bahan baku bioenergi, terutama bioetanol, yang sangat potensial. Tidak ada satu sumber bioetanol yang lebih potensial dibandingkan sagu dengan potensi hasil bahan baku mencapai 20-40 ton/ha/tahun. Nilai kalori dan gizi sagupun tidak kalah dengan sumber pangan lainnya seperti beras, Jagung, ubi, dan kentang (Bintoro et al., 2010).

Selain untuk makanan pokok, dimasa depan pati sagu akan banyak di- gunakan untuk keperluan industri, antara lain sebagai bahan pembuatan roti, mie, kue, sirup berfruktosa tinggi, bahan perekat, dan plastik mudah terurai secara alami (biodegradable). Pati sagu juga digunakan dalam industri obat-obatan, kos- metik, kertas, etanol, dan tekstil, serta limbah pengolahan sagu dapat digunakan sebagai pakan ternak (Bintoro et al., 2010).

Sagu merupakan tanaman penghasil karbohidrat tertinggi per satuan luas. Dalam satu batang sagu terdapat pati 200-400 kg. Di Maluku produksi pati kering dapat mencapai 345 kg/pohon. Di Jayapura beberapa peneliti Jepang menemukan pohon sagu yang mengandung pati 800-900 kg/batang sagu. Apabila sagu diusa-hakan sebagaimana layaknya tanaman perkebunan lainnya yang ditanam secara teratur dengan jarak 10 m x 10 m maka dalam satu hektar terdapat 100 pohon sagu. Jika dalam satu pohon terdapat 300 kg pati kering maka dalam satu hektar dapat dipanen 30 ton pati kering (Bintoro, 2008).

Melihat pentingnya tanaman sagu dewasa ini dan masa yang akan datang, seiring dengan meningkatnya kebutuhan penduduk dunia akan pangan dan energi,

(14)

2 maka perlu dipikirkan usaha peningkatan kualitas dan kuantitas produksi sagu secara tepat agar sasaran yang diinginkan dapat tercapai. Mengingat tanaman sagu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai umur panen, maka aspek budidaya dipembibitan sangat penting terkait dengan pengadaan bahan tanam yang berkualitas. Oleh kareana itu perlu tindakan kultur teknis atau perawatan bibit yang baik antara lain dengan jalan pemupukan pada waktu di persemaian. Pembibitan memungkinkan pemilihan bibit yang sehat untuk ditanam di lapangan, sehingga akan sangat meningkatkan kelangsungan hidup bibit transplantasi dan meningkatkan keseragaman pertumbuhan sagu.

Pemupukan merupakan tindakan budidaya yang penting sebagai upaya pe- nyediaan unsur hara tanaman untuk meningkatkan produktivitas tanaman sagu (Bintoro et al., 2010). Persediaan hara yang tersimpan di dalam benih segera habis pada awal pertumbuhan kecambah bibit, sehingga kebutuhan unsur hara selanjut- nya harus dipenuhi dengan pemupukan (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008). Menurut Bintoro (2008), sagu dapat tumbuh di tanah gambut namun pada lahan tersebut tampak gejala kahat hara yang berakibat jumlah daun lebih sedikit dan u- mur untuk mencapai masa tebang lebih lama. Pemberian pupuk pada bibit sangat jelas memberikan pengaruh terhadap partumbuhan namun jika pemberian ber- lebihan akan berpengaruh menekan pertumbuhan (Lubis, 2008).

Keasaman tanah dapat menjadi kendala utama serapan hara tanaman da- lam rangka tercapainya produksi yang optimal. Keasaman tanah (pH) yang terlalu rendah menyebabkan tidak tersedianya unsur hara tanaman di dalam tanah, seperti hara P (Ispandi dan Munip, 2005). Unsur P di tanah gambut dalam bentuk P orga- nik yang sulit diserap tanaman. Tanaman akan menyerap P anorganik (Bintoro et

al., 2010).

Fosfor merupakan unsur makro yang sangat penting untuk pertumbuhan dan produksi tanaman. Fosfor cenderung terkonsentrasi dalam benih dan titik tumbuh perkembangan akar serabut. Unsur P berperan dalam proses pembelahan sel untuk membentuk organ tanaman (Lubis et al., 1986). Selanjutnya Sarief (1985) menambahkan unsur P berperan dalam membentuk sistem perakaran yang baik.

(15)

Kekurangan unsur fosfor akan menyebabkan warna bibit muda menjadi keungu-unguan yang kemudian menjadi menguning. Pertumbuhan menjadi ter- hambat dan akibat selanjutnya proses kematangan menjadi terhambat (Sarief, 1985). Selanjutnya Sadjad (1993) menambahkan, kekurangan unsur fosfor bagi tumbuhan dapat berakibat fatal yaitu tanaman umumnya pendek, berbunga lebih lambat, saat panen lambat, dan benih yang dihasilkan mempunyai status vigor yang rendah. Tanaman seperti barley dan gandum menghisap unsur fosfat pada waktu muda, sebab kalau tidak demikian, akibatnya tidak dapat diperbaiki dengan pemupukan fosfat secukupnya (Sarief, 1985).

Pemberian pupuk P pada awal pertumbuhan bibit tersebut diharapkan akan dapat meningkatkan kualitas bibit sehingga nantinya dapat mempercepat umur te- bang dan didapatkan keseragaman produktivitas yang tinggi, yang pada akhirnya akan berakibat pada peningkatan produktivitas sagu. Pengkajian pengaruh pem- berian pupuk P di persemaian menjadi penting untuk dilakukan terhadap partum- buhan awal bibit sagu.

Tujuan

Kegiatan percobaan bertujuan untuk mempelajari pengaruh dan mencari dosis pupuk P yang memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuahn awal bibit sagu dipersemaian dengan sistem polibag.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam percobaan yaitu terdapat perbedaan pe- ngaruh dosis pupuk P terhadap pertumbuhan bibit sagu.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Sagu

Sagu (Meroxylon spp.) termasuk tumbuhan monokotil dari keluarga

palmae. Lima marga palma yang kandungan patinya banyak dimanfaatkan, yaitu Metroxylon spp, Arenga sp, Corepha sp, Eugeissona sp, dan Kariota sp (Ruddle et al., 1978 dalam Bintoro et al., 2010). Genus yang banyak dikenal adalah Me-

troxylon dan Arenga, karena kandungan patinya cukup tinggi (Menristek, 2000). Tanaman sagu terdiri atas sagu berduri dan sagu tidak berduri. Sagu ber- duri terdiri atas sagu Tuni (M. Rumphii Mart), Sagu ihur (M. Sylvestre Mart), Sagu Makanaru ( M. Longispinum Mart) dan sagu Duri Rotan (M. Microcanthum Mart) serta satu jenis sagu tidak berduri yaitu sagu Molat (M. Sagu Rottb). Namun demikian karena adanya persilangan, maka ditemukan jenis-jenis sagu peralihan diantara kelima jenis sagu tersebut (Bintoro, 2008).

Bagian yang terpenting dari tanaman sagu adalah batang. Batang merupa- kan tempat untuk menyimpan cadangan makanan berupa karbohidrat, batang sagu berbentuk silinder dengan kulit luar yang keras dan bagian dalam berupa empulur yang mengandung serat-serat dan pati. Sagu memiliki daun sirip menyerupai daun kelapa yang tumbuh pada tangkai daun. Bunga sagu majemuk dan keluar dari u-jung batang sagu, berwarna merah kecoklat-coklatan seperti karat (Bintoro et al., 2010).

Sagu merupakan tanaman tahunan, dengan sekali tanam sagu akan tetap berproduksi secara berkelanjutan selama puluhan tahun (Bintoro, 2008). Struktur batang sagu dari arah luar terdiri atas lapisan sisa pelepah daun, lapisan kulit luar, yang tipis yang berwarna kemerah-merahan, lapisan kulit dalam yang keras dan padat berwarna kehitam-hitaman, lapisan serat, serta lapisan empulur yang me- ngandung pati (Rumalatu, 1981).

Menurut Haryanto dan Pangloli (1992) kandungan pati dalam empulur batang sagu berbeda-beda tergantung umur, jenis, dan lingkungan tumbuh. Pe- nurunan pati dalam batang sagu biasanya ditandai dengan mulai terbentuknya primordial bunga.

(17)

Syarat Tumbuh

Tanaman sagu dapat tumbuh dengan baik didaerah sekitar katulistiwa ya- itu pada batas 100 LU dan 100 LS, curah hujan yang tinggi 200-400 mm per tahun (Ngudiwaluyo dan Amos, 1996). Lingkungan yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah yang berlumpur, akar napas tidak terendam, kaya mineral, kaya ba- han organik, air tanah berwarna cokelat, dan bereaksi agak masam. Habitat ter- sebut cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme yang sangat berguna bagi per- tumbuhan tanaman sagu (Bintoro et al., 2010).

Sagu dapat tumbuh pada berbagai hidrologi dari yang terendam sepanjang masa sampai ke lahan yang tidak terendam air (Bintoro, 2008). Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), sagu tumbuh didaerah rawa berair tawar, rawa yang ber- gambut, sepanjang aliran sungai, sekitar sumber-sumber air dan hutan-hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi. Selanjutnya Djoefrie (1999) menambah- kan di Papua dan Maluku, sagu tumbuh liar di rawa-rawa, dataran rendah dengan daerah yang luas.

Suhu terendah bagi pertumbuhan sagu yaitu 150C. Pertumbuhan terbaik terjadi pada suhu udara 250C dengan kelembaban nisbi 90% dan intensitas penyi- naran matahari sekurang-kurangnya 900 J/cm-2/hari-1 (Bintoro et al., 2010). Selan- jutnya Menristek (2000) menyatakan bahwa sagu dapat tumbuh di dataran rendah sampai dengan ketinggian 700 m dpl. Ketinggian tempat yang optimal 400 m dpl. Salah satu keungulan dari tanaman sagu yaitu dapat dibudidayakan pada lahan gambut. Indonesia memiliki potensi lahan gambut yang luas atau sekitar 21 juta hektar serta menempati urutan ke-4 di dunia setelah Rusia, Kanada, dan Amerika Serikat (Bintoro et al., 2010). Sagu dapat tumbuh pada suatu kawasan yang tanaman lain tidak dapat tumbuh. Pati yang masih terdapat dibatang sagu tidak akan rusak bila tanaman sagu terendam > 1 m selama beberapa hari sedang- kan tanaman pangan lainnya seperti padi, jagung, umbi-umbian dan palawija ha- silnya akan membusuk bila terendam > 1 m ( Bintoro, 2008).

Pembibitan

Pembibitan merupakan cara atau usaha yang dilakukan untuk mengecam- bahkan benih agar menjadi bibit yang bermutu dan berkualitas serta siap untuk di-

(18)

6 tanam (Lubis, 2008). Pembibitan bertujuan untuk menghasilkan bibit berkualitas tinggi yang harus tersedia pada saat penyiapan lahan tanaman telah selesai (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).

Syarat untuk pembibitan sagu cara generatif yaitu biji yang digunakan su- dah tua, tidak cacat fisik, besarnya rata-rata dan bertunas. Syarat untuk pembibitan sagu cara vegetatif yaitu berasal dari tunas atau anakan yang umurnya kurang dari 1 tahun, dengan diameter 10-13 cm dan bobot 2-3 kg. Tinggi anakan ±1 meter dan punya pucuk daun 3-4 lembar (Menristek, 2000).

Teknik pembibitan secara vegetatif dianggap lebih baik dengan menggu- nakan anakan yang berasal dari tunas pangkal batang, karena anakan tersebut mu- dah diperoleh, daya tumbuh tinggi, pertumbuhannya cepat dan waktu panen tidak terlalu lama (antara 7-10 tahun). Bibit sagu (Metroxylon sagu Rottb.) yang digu-nakan dalam pembibitan secara vegetatif diambil dari adigu-nakan sagu yang berasal dari pohon induk sagu yang produksi patinya tinggi (Eva et al., 2002). Anakan sagu yang baik untuk dijadikan bibit yaitu anakan yang diambil dari pohon induk yang siap panen. Sebab selain anakan tersebut sudah cukup kuat untuk dipisahkan dari pohon induk, juga tidak merusak pohon induk yang masih dapat berproduksi (Eva et al., 2002). Menurut Maliangkay et al. (2003), cara generatif hasilnya ma- sih rendah yaitu daya kecambah sekitar 7%, sedangkan cara vegetatif daya kecam- bah telah mencapai sekitar 70% untuk Metroxylon dan 92% untuk sagu Baruk (Arenga nicocorpha).

Anakan sagu dapat direndam secara langsung dalam kolam yang mengalir airnya (sistem rakit) atau ditanam dalam polibag. Tingkat keberhasilan cara di-rendam atau dirakit jauh lebih berhasil (lebih dari 90%), dibandingkan cara pem- bibitan polibag (kurang dari 50%). Anakan sagu siap ditanam setelah akar baru- nya muncul (Papilaya, 2009)

Pembibitan terapung atau sistem rakit hanya dikerjakan ditempat-tempat yang mendukung dan memungkinkan seperti ketersediaan air. Oleh karena alasan tersebut pembibitan anakan sagu dalam kantong-kantong plastik (polibag) perlu dikembangkan (Haryanto dan Pangloli, 1992).

(19)

Pupuk Fosfor

Pupuk adalah senyawa yang mengandung unsur hara yang akan diberikan pada tanaman kemudian digunakan oleh tanaman untuk melakukan proses meta- bolisme sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang (Nurwardani, 2008). Pemupukan merupakan salah satu upaya pemeliharaan tanaman dengan tujuan memperbaiki kesuburan tanah melalui cara penambahan unsur hara, baik makro maupun mikro yang berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Wachjar dan Kadarisman, 2007). Pupuk dapat menjadi tambahan nutrisi untuk meningkatkan daya hidup bagi tanaman sagu terutama saat di pembibitan atau dipersemaian (Bintoro et al., 2010).

Tanah dengan tingkat kemasaman yang tinggi memiliki sedikit ketersedian unsur P, disebabkan kelarutan Al, Fe dan Mn yang tinggi. Keasaman tanah berim- plikasi terhadap keracunan akar dan pada akhirnya tanaman sagu akan mengalami defisiensi hara. Salah satu usaha untuk mengatasi ketersediaan hara bagi tanaman adalah dengan memberikan tambahan unsur hara yang diperlukan sesuai dengan yang dibutuhkan.

Fosfor sebagai ortho-fosfat memegang peranan yang sangat penting dalam kebanyakan reaksi enzim yang tergantung kepada fosforilase. Hal tersebut karena fosfor merupakan bagian dari inti sel yang sangat penting dalam pembelahan sel dan untuk perkembangan jaringan meristem, dengan demikian fosfor dapat me- rangsang pertumbuhan akar tanaman muda, mempercepat pembungaan dan pema- sakan buah serta biji, selain itu juga sebagai penyusun lemak dan protein (Sarief, 1985).

Fosfor merupakan bagian integral tanaman yang berperan terutama dalam penyimpanan (storage) dan pemindahan (transfer) energi. Fosfor terlibat dalam penangkapan energi sinar matahari yang menghantam sebuah molekul klorofil. Begitu energi tersebut sudah tersimpan dalam ADP (adenosine diphosphate) atau ATP (adenosis triphosphate), unsur tersebut dapat dipakai untuk menjalankan re- aksi-reaksi yang memerlukan energi, seperti pembentukan sukrosa, pati dan pro- tein (Salisbury and Ross, 1992).

(20)

8 Unsur P merupakan hara yang penting terutama pada pertumbuhan awal tanaman untuk perkembangan bagian reproduksinya. Hara P yang cukup berhu- bungan dengan meningkatnya pertumbuhan akar tanaman (Havin et al., 1999). Pada dosis rendah atau tanpa diberi fosfat alam, ketersedian fosfat di dalam tanah tidak mencukupi untuk tanaman sehingga penambahan fosfat alam berperan da-lam meningkatkan kelarutan fosfat. Pemberian fosfat ada-lam dengan dosis 30, 60, dan 90 kg P/ha berturut-turut meningkatkan P tersedia tanah 247%, 356%, 592% dibandingkan tanpa fosfat alam (Noor, 2003).

Pada tanah-tanah masam terutama Oksisol dan Ultisol, P difiksasi oleh Fe dan Al bebas atau oksihidroksida. Pada tanah alkalin (Vertisol) P difiksasi oleh ion Ca atau Mg menjadi senyawa yang kurang larut sehingga menjadi tidak terse- dia bagi tanaman (Nursyamsi dan Suprihati, 2005). Untuk mencapai pertumbuhan tanaman maksimal dibutuhkan P dalam larutan tanah berkisar 0.2 sampai 0.3 mg/L. Kandungan P tanaman terbaik berkisar antara 0.3 sampai 0.5 persen dari total bobot bahan kering. Pemberian P meningkatkan pH tanah secara nyata di- bandingkan tanpa perlakuan P. Pupuk P dapat meningkatkan ketersedian unsur hara terutama K (Silahooy, 2008).

Fosfor berperan dalam pembentukan asam nukleat, transfer energi, dan sti- mulasi aktivitas ensim-ensim. Oleh sebab itu suplai P yang cukup dapat mening- katkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Fosfor bersifat mobil dalam tanaman, sehingga kekurangan fosfor pada daun-daun muda akan diimbangi oleh transfer fosfor dari daun tua (Mitrosuhardjo, 2002).

Fosfat dalam tanah sukar larut sehingga sebagian besar tidak tersedia bagi tanaman. Tersedianya fosfat dalam tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Pada pH rendah, ion fosfat membentuk senyawa yang tidak larut dengan besi dan alu- munium, sedangkan pada pH tinggi terikat sebagai senyawa kalsium, pH optimum untuk fosfat disekitar 6.5. Pupuk fosfat yang diberikan ke dalam tanah tidak selu- ruhnya tersedia bagi tanaman. karena terjadi pengikatan fosfat oleh partikel tanah. Agar tanaman memperoleh fosfat dari larutan tanah sesuai dengan kebutuhannya, maka disarankan pemberian pupuk fosfat melebihi daya fiksasi tanah (Sarief, 1985).

(21)

Tanaman yang kahat hara P, selain akan mengganggu proses metabolisme dalam tanaman juga sangat menghambat serapan hara-hara yang lain. Pemupukan 100 kg SP36/ha meningkatkan serapan hara P dan hasil umbi secara nyata diban- ding dengan yang tanpa pupuk P. Tinggi rendahnya serapan hara P oleh tanaman akan berpengaruh terhadap serapan hara-hara yang lain termasuk serapan hara K (Ispandi, 2003).

Penyediaan fosfor yang tidak memadai akan menyebabkan laju respirasi menurun, yang berdampak pada fotosintesis (Indranada, 1989). Terganggunya proses fotosintesis menyebabkan tidak terbentuknya fotosintat sebagai energi un- tuk pertumbuhan, sehingga pertumbuhan tanaman terhambat bahkan kerdil. Hara P dalam tanaman sangat diperlukan untuk pembentukan ATP, dan energi dari ATP sangat diperlukan dalam serapan hara-hara yang lain seperti K dan Cu ka- rena serapan hara-hara tersebut berlangsung melalui proses difusi yang memer- lukan banyak energi ATP (Salisbury and Ross, 1992).

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan fosfor dalam tanah yaitu 1) pH tanah, 2) Fe, Al, Mn yang larut, 3) adanya mineral yang mengandung Fe, Al, dan Mn, 4) tersedianya Ca, 5) jumlah dan tingkat dekomposisi bahan organik, 6) kegiatan mikroorganisme tanah (Barchia, 2009)

Beberapa penelitian mengenai pemupukan P dari penelitian yang sudah ada kebanyakan tidak berpengaruh nyata. Terdapat dugaan yang dikemukakan o- leh Wachjar et al. (2001) bahwa pupuk P pada berbagai dosis tidak berbeda nyata dikarenakan adanya keterbatasan gerakan ion fosfat dalam tanah dan gerakan P di titik penempatan pupuk umumya terbatas terkait sedikitnya gerakan ion fosfat da- lam tanah. Selain itu yang menjadi kendala dalam pemupukan P adalah rendahnya daya larut P dalam tanah.

Pengelolan pupuk P perlu didasari pada dua konsep penting dari pemupuk- an P. Pertama, apabila tanah kekurangan (defisiensi) P, jumlah fosfor yang diper- lukan untuk mengatasi nutrisi P beberpa kali jauh lebih besar dari pada fosfor yang diserap oleh tanaman. Kedua pemberian pupuk P memberikan efek samping- an (residual) yang ekonomis selama tiga tahun atau lebih setelah pemupukan berat tersebut. Diagnosis atau pendugaan kebutuhan fosfor dapat dilakukan secara tepat dengan analisis jaringan tanaman atau tanah (Indranada, 1989).

(22)

10 Saat defisiensi P diketahui berarti keterlambatan dalam mengatasi masalah pemupukan fosfor. Pemupukan dapat diberikan, tetapi produksi pasti akan menu- run pada musim tumbuh yang bersangkutan. Karena sifatnya yang immobil maka metode pemberian pupuk P harus mengikutkan proses pembenaman agar segera tersedia atau sedekat mungkin untuk diserap oleh tanaman (Indranada, 1989).

(23)

Tempat dan Waktu Penelitian

Percobaan dilaksanakan di PT. National Sago Prima, Selat Panjang, Riau. Selama 5 bulan yaitu mulai bulan Februari hingga Juni 2012. Analisis tanah di- lakukan di laboratorium tanah SEAMEO BIOTROP.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah bibit tanaman sagu,

media tanah gambut, polibag (ukuran 35 cm x 30 cm), Triple Super Phosphate (TSP) sebagai perlakuan pemupukan P, pupuk Urea dan KCl sebagai pupuk dasar masing masing sebanyak 6 g/polibag dan 2,5 g/polibag, Dolomit, Dithane M-45, dan Furadan 3G. Alat yang digunakan dalam percobaan antara lain paranet 75%, pH meter, Hygrometer, papan nama, alat ukur, alat-alat budidaya pertanian, tim- bangan analitik dan oven.

Metode Penelitian

Percobaan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) faktor tunggal. Perlakuan yang diberikan yaitu pemupukan P dengan 6 taraf (0, 3, 6, 9, 12, dan 15 g TSP/polibag atau setara dengan 0, 1.82, 3.64, 5.46, 7.28, 9.10 g P2O5/polibag). Taraf perlakuan diulang sebanyak 4 kali, sehingga di dapatkan 24

satuan atau unit percobaan. Setiap unitnya terdiri atas 50 tanaman, sehingga selu- ruhnya terdapat 1,200 tanaman. Jumlah tanaman yang diamati sebanyak 576 ta- naman. Adapun model statistika ( aditif linear) yang digunakan yaitu:

Keterangan:

= Nilai pengamatan pada perlakuan pemupukan P ke-i dan kelompok ke-j = Rataan umum

= Pengaruh perlakuan pemupukan P ke-i = Pengaruh kelompok ke-j

(24)

12 = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan pemupukan P ke-i dan

kelompok ke-j

i = perlakuan pemupukan P ke- 1, 2, 3, 4, 5 dan 6. j = kelompok ke- 1. 2. 3 dan 4

Percobaan diasumsikan memiliki pengaruh yang bersifat aditif, galat per- cobaan saling bebas, menyebar normal, dan ragam percobaan bersifat homogen (Mattjik dan Sumertajaya, 2002). Pengaruh pemupukan P dapat diketahui dengan cara menganalisis data hasil pengamatan semua peubah yang diamati mengguna- kan uji F pada taraf kesalahan 5%. Jika hasil uji F menunjukan beda yang nyata, maka dilakukan uji lanjut DMRT dan kontras polinomial pada taraf 5% untuk me- lihat kecenderungan respon pertumbuhan bibit sagu terhadap pemupukan P.

Pelaksanaan Percobaan

Percobaan memerlukan beberapa tahapan. Tahap pertama diawali dari survey pendahuluan untuk mengumpulkan data-data pendukung dan mengetahui kondisi awal lahan percobaan seperti pemilihan lokasi percobaan, pengambilan contoh tanah untuk analisis tanah. Penyiapan media dan bahan tanam, penanaman, pemupukan, pemeliharaan tanaman, pengamatan, dan analisis data.

Penyiapan media dilakukan dengan mengambil tanah secara komposit pa- da kedalaman 0 – 30 cm kemudian dikeringudarakan. Media tersebut selanjutnya dicampur hingga homogen lalu ditimbang dengan bobot 3 kg tanah untuk setiap polibag serta ditambahkan dolomit dengan dosis 40 g/polibag.

Bibit (abut) diperoleh dengan cara membeli dari masyarakat sekitar PT. National Sago Prima. Selanjutnya bibit diseleksi yaitu bibit masih segar, dengan pelepah yang masih hijau, bibit sudah cukup tua yang dicirikan dengan bonggol (banir) yang sudah keras, pelepah dan pucuk masih hidup, mempunyai perakaran cukup, panjang pelepah minimal 30 cm, dan tidak terserang hama penyakit serta banir berbentuk huruf L. Bobot bibit yang digunakan dalam percobaan ini 500-1,000 g. Bahan tanam kemudian di tempatkan di penampungan dan diberi naung-an serta disiram untuk menjaga kelembabnaung-annya. Sebelum ditnaung-anam daun tua di- pangkas terlebih dahulu dengan tinggi pangkasan 30 cm dari banir agar evaporasi

(25)

dapat ditekan dan mempercepat pemunculan calon tunas pertama yang selanjutnya akan menjadi daun. Bibit sagu kemudian rendam dalam larutan fungisida Dithane M-45 dengan dosis 2 g/l air. Bibit direndam selama 10 menit, setelah itu dikering- anginkan selama 10-15 menit agar fungisida tersebut dapat meresap. Selanjutnya bibit dapat ditanam dalam polibag dengan media tanah gambut yaitu satu bibit per polibag dan diberi Furadan 3G + 5 butir per polibag pada lubang tanam untuk mencegah serangan hama.

Pemberian Pupuk atau aplikasi pupuk P dilakukan sehari setelah penanam- an, dengan cara alur yaitu melingkar disekitar banir. Pemberian pupuk P dilaku- kan bersamaan dengan pupuk dasar, pupuk dasar yang digunakan yaitu Urea de- ngan dosis 6 g/polibag dan KCl dengan dosis 2.5 g/polibag. Persemaian diberi na- ungan berupa paranet 75% untuk menjaga suhu dan kelembaban bibit.

Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman tanaman sebanyak 2 kali se- hari, penanggulangan gulma secara mekanik yaitu dengan mencabut gulma di da- lam dan sekitar polibag serta penanggulangan hama dan penyakit. Pengendalian hama mengunakan insektisida Lentrex EC 400 dengan konsentrasi 2cc/l air. Pe- ngendalian cendawan dengan herbisida Dhitane M-45 dengan dosis 5 g/l air dan 10 g/l air dengan cara dioles dengan kuas.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan dari 2 hingga 10 MSA (Minggu Setelah Aplikasi) dengan mengamati 24 tanaman contoh per unit percobaan. Peubah yang diamati yaitu keragaan pertumbuhan tanaman sagu meliputi presentase hidup bibit, per-sentase pemekaran daun, panjang daun pangkas, panjang dan lebar anak daun pangkas, panjang daun 1, panjang dan lebar anak daun 1, panjang petiol daun 1, jumlah anak daun 1, leaf life span daun 1, jumlah daun total yang dilakukan setiap seminggu sekali, Pengamtan bobot kering tanaman (akar, petiol dan rachis) pada 10 MSA, Serta dilakukan pengamatan data pendukung seperti suhu, kelembaban, dan pH.

Presentase hidup bibit diukur dari jumlah bibit yang hidup dibandingkan jumlah bibit yang ditanam. Panjang daun atau pelepah diukur dari pangkal banir sampai ujung daun. Panjang petiol dihitung dari titik tumbuh pelepah daun sampai

(26)

14 batas anak daun yang pertama. Jumlah daun dihitung berdasarkan jumlah kese- luruhan daun yang ada pada bibit. Presentase pemekaran daun dihitung dari jum- lah daun yang mekar sempurna. Jumlah anak daun dihitung dari total anak daun yang telah mekar sempurna. Umur daun dari mulai mekar sampai mati (Leaf life

span) diamati untuk mengetahui pengaruh defisiensi terhadap umur daun yaitu de-

ngan memantau pertumbuhan dan perubahan yang terdapat pada daun 1. Penga- matan bobot kering tanaman dilakukan pada akhir percobaan dengan cara menge- ringkan akar, petiol, dan rachis di dalam oven bersuhu +800C hingga bobotnya konstan.

Pengamatan suhu dan kelembaban dilakukan dengan termometer bola ke- ring bola basah, yaitu dengan alat Hygrometer untuk melihat kisaran suhu dan ke- lembaban harian dalam paranet. Keasaman tanah (pH) media diukur dengan alat pHmeter sedangkan pengamatan sifat kimia tanah awal (C-organik, N-total, C/N, pH, P-tersedia, P-total, K-tersedia, K-total, K-dd, Ca-dd, Mg-dd, Na-dd, Fe-dd, Al-dd, KTK, KB, Al3+ H+) diperoleh dari hasil analisis tanah yang diambil secara komposit sebelum penelitian dilaksanakan sebanyak 1 sampel dan setelah per- cobaan sebanyak 6 sampel (sesuai dengan jumlah taraf perlakuan pupuk yang di-cobakan). Contoh tanah dianalisis di laboratorium tanah SEAMEO BIOTROP.

(27)

Hasil

Kondisi Umum

Percobaan dilaksanakan di PT. National Sago Prima, Selat Panjang, Riau. Pembibitan yang lebih banyak dilakukan PT. National Sago Prima adalah sistem rakit. Pembibitan sistem rakit menunjukkan persentase hidup yang tinggi diperse- maian namun, persentase hidupnya rendah saat dipindah tanam ke lapang. Sistem polibag seringkali memiliki persentase hidup yang tinggi di lapang namun, cara tersebut memiliki tingkat hidup yang rendah (kurang dari 50%) dipersemaian. O-leh karena hal tersebut dikembangkan cara untuk memperbesar persentase hidup bibit di polibag dengan jalan pemupukan. Pupuk P digunakan terutama untuk me- macu pertumbuhan akar dan untuk memperkaya kandungan hara tanah gambut. Bibit yang baru ditanam dalam polibag belum mempunyai akar yang cukup, se- dangkan akar sangat penting untuk menyerap unsur hara dan mineral dari dalam tanah yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan bibit sagu.

Kendala yang dihadapi diawal percobaan terutama pengadaan bibit, dika- renakan sulitnya mendapatkan pemborong untuk pengambilan bibit di lapang. Persiapan alat dan bahan juga terkendala pengadaannya terkait dengan trans-portasi ke lokasi penelitian sehingga waktu penelitian yang efektif hanya 3 bulan. Serangan cendawan mulai terjadi pada umur bibit 3 MSA. Serangan terse- but menyebabkan bibit membusuk kemudian mati (Gambar 1). Cendawan tersebut belum diketahui jenisnya, sehingga belum dapat ditentukan pestisida yang tepat untuk mengendalikannya. Cendawan tersebut selanjutnya diidentifikasi di labo-ratorium milik PT. Sampoerna Agro, Palembang. Hasil identifikasi baru diketahui diakhir pengamatan yaitu Oidium sp. Cendawan tersebut hidup di permukaan da-un dan batang yang masih hijau dan membentuk haustorium yang digda-unakan da- un-tuk menyerap nutrisi dari epidermis inangnya.

Penanggulangan cendawan dilakukan dengan pemangkasan (Gambar 2) dan pengolesan fungisida (Gambar 3) untuk membuang bagian yang sudah ter- kena cendawan dan untuk mencegah penyebarannya, baik pada bagian tanaman

(28)

16 yang telah diserang maupun terhadap tanaman lainya yang masih sehat. Pengoles- an fungisida (Dithane-45) telah dilakukan 2 kali untuk keseluruhan bibit, pengo-lesan ke-2 dilakukan dengan konsentrasi yang lebih pekat mengingat serangan cendawan yang semakin hebat pada musim hujan. Tindakan pengendalian yang dilakukan dengan pemangkasan pada bukan tanaman contoh dan pengolesan fu- ngisida (Dithane-45) lebih bersifat preventif sehingga tanaman yang sudah terlan- jur terkena serangan sampai pada titik tumbuhnya tidak dapat diselamatkan.

Pengolesan fungisida dan pemangkasan pada bagian yang terinfeksi dan mengandung spora cendawan cukup menghentikan serangan cendawan. Gulma yang tumbuh dikendalikan dengan cara manual dengan mencabut dan membuang dari lingkungan tumbuh bibit agar tidak terjadi persaingan yang dapat merugikan atau menghambat pertumbuhan bibit dalam hal persaingan unsur hara, cahaya dan air.

Pemangkasan rata pada bibit saat penanam menyebabkan banyak calon da- un yang terpangkas rachisnya. Bibit hanya menumbuhkan petiol yang tidak dapat mengeluarkan anak daun (Gambar 4a), sehingga menyebabkan rendahnya nilai % pemekaran, rendahnya rataan panjang dan lebar anak daun pangkas, sementara e-nergi atau karbohidrat yang ada pada bibit digunakan untuk mendukung pertum-buhan daun pangkas tersebut dan baru akan dialokasikan ke pembentukan daun baru jika daun pangkas tersebut sudah cukup tua (Gambar 4b).

Gambar 1. Bibit yang terserang cendawan dan

membusuk

Gambar 2. Pemangkasan bagian bibit yang kering

atau busuk.

Gambar 3. Pengolesan fungisida (Dhitane-45) dengan konsentrasi 5 g/l

(29)

Gambar 4. Akibat Pemangkasan rata pada awal penanam (a). Petiol Panjang namun daun pangkas tidak menumbuhkan anak daun. (b) Daun Pangkas tidak berdaun dan sudah tua, baru kemudian terbentuk daun baru.

Persentase Hidup Bibit

Persentase hidup bibit didapatkan dari jumlah bibit yang hidup dibanding- kan jumlah bibit yang ditanam dari 2 hingga 10 MSA (Minggu Setelah Aplikasi). Perlakuan pemberian pupuk P tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap persentase hidup bibit (Tabel 1). Perlakuan pupuk P sebesar 6 g (P2) memiliki rata-rata persentase hidup bibit sebesar (74.50%) pada pengamatan 10 MSA. Perlakuan pupuk P sebesar 9 g (P3) menunjukkan persentase hidup bibit yang rendah yaitu kurang dari 65% (Gambar 5).

Tabel 1. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Persentase Hidup Bibit

Dosis (g TSP/polibag) MSA Ke- 2 3 4 5 6 7 8 9 10 ...%... 0 99.00 97.00 92.00 88.00 85.50 81.00 77.50 73.50 65.50 3 100.00 95.00 93.00 87.50 85.50 82.00 78.00 72.50 69.50 6 100.00 97.00 94.00 90.50 88.50 86.00 84.00 80.50 74.50 9 100.00 95.00 90.50 86.00 81.00 75.00 69.50 66.00 62.00 12 100.00 95.50 91.00 88.50 84.50 82.50 77.25 72.50 70.50 15 100.00 97.00 96.00 92.00 88.50 85.50 79.50 73.50 67.00 Uji F tn tn tn tn tn tn tn tn tn

Keterangan: tn: tidak berbeda nyata pada taraf 5 %.

Sebaran data yang tidak normal pada peubah persentase hidup bibit di- transformasi menggunakan tranformasi Arcsin √x. Hasil transformasi ditunjukkan pada Tabel 2.

(30)

18 Tabel 2. Rata-rata Persentase Hidup Bibit Sagu (Hasil Transformasi)

Dosis (g TSP/polibag) MSA Ke- 2 3 4 5 6 7 8 9 10 ...%... 0 87.12 81.54 74.32 70.50 67.91 64.42 61.91 59.45 54.13 3 90.00 77.98 75.19 70.12 68.57 66.78 62.88 59.24 57.23 6 90.00 80.17 75.92 72.17 70.39 68.09 66.50 63.86 59.72 9 90.00 77.43 72.35 68.08 64.44 60.22 56.56 54.41 52.07 12 90.00 79.46 72.67 70.50 67.35 65.56 61.03 58.57 57.22 15 90.00 80.17 78.65 73.74 70.22 67.79 63.17 59.12 55.03 Uji F tn tn tn tn tn tn tn tn tn

Keterangan: tn: tidak berbeda nyata pada taraf 5 %.

Gambar 5. Persentase Hidup Bibit sagu

Persentase Pemekaran Daun

Daun pangkas mulai mekar sempurna pada 3 MSA dan daun 1 mulai me-kar sempurna pada pengamatan 6 MSA. Perlakuan pemberian pupuk P memberi-kan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada persentase pemekaran daun total, de-ngan nilai kisaran pemekaran sebesar 16-28 % pada 10 MSA (Tabel 3). Pening-katan pemekaran berjalan cepat pada 9 MSA disebakan telah banyak daun 1 yang mekar, polanya dapat dilihat pada Gambar 6.

(31)

Tabel 3. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Persentase Pemekaran Daun Bibit Sagu

Keterangan: tn: tidak berbeda nyata pada taraf 5 %.

Sebaran data yang tidak normal pada peubah persentase pemekaran daun ditransformasi menggunakan tranformasi Arcsin √x. Hasil transformasi ditunjuk- kan pada Tabel 4.

Tabel 4. Persentase Pemekaran Daun Bibit Sagu (Hasil Transformasi)

Keterangan: tn: tidak berbeda nyata pada taraf 5 %.

Gambar 6. Persentase Pemekaran Daun Dosis (g TSP/polibag) MSA Ke- 3 4 5 6 7 8 9 10 ...%... 0 1.53 4.37 6.21 7.53 9.65 12.11 14.88 19.63 3 0.00 2.61 3.21 3.96 5.99 9.99 15.26 28.49 6 0.50 4.25 7.56 9.09 11.07 12.35 18.79 26.35 9 0.50 1.13 2.26 4.21 5.74 7.63 12.13 16.24 12 0.00 1.10 1.65 3.55 5.44 8.99 10.76 18.31 15 0.52 0.52 2.73 6.80 8.11 9.65 13.92 16.86 Uji F tn tn tn tn tn tn tn tn Dosis (g TSP/polibag) MSA Ke- 3 4 5 6 7 8 9 10 ...%... 0 4.98 10.17 12.48 15.36 17.43 19.28 22.09 25.73 3 0.00 7.97 8.72 9.59 13.28 17.96 22.56 31.81 6 2.03 9.98 13.21 14.31 16.56 17.44 21.91 29.12 9 2.03 4.32 7.40 11.28 12.81 14.36 18.57 21.63 12 0.00 4.26 5.16 9.42 13.46 17,35 18.97 24.98 15 2.07 2.08 6.42 13.93 15.47 16,92 20.96 23.39 Uji F tn tn tn tn tn tn tn tn

(32)

20

Panjang Daun Pangkas

Perlakuan pemberian pupuk P tidak berpengaruh nyata pada pertumbuhan panjang daun pangkas. Semua perlakuan menunjukkan rataan panjang daun pang-kas yang hampir sama dengan range 14-17 cm pada pengamatan 10 MSA. Pem-berian pupuk P sebesar 6 g per polibag mempunyai pertumbuhan panjang daun pangkas hampir mencapai 17 cm pada pengamatan 10 MSA. Perlakuan tanpa pemberian pupuk P menunjukkan hasil rata-rata pertumbuhan panjang daun pang-kas yang kecil yaitu kurang dari 15 cm pada pengamatan 10 MSA. Secara umum pertumbuhan panjang daun pangkas berjalan cepat pada awal pengamatan namun, mulai melambat atau tidak mengalami pertambahan pada minggu-minggu akhir pengamatan. Pengaruh pemberian pupuk P terhadap pertumbuhan daun pangkas dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 7.

Tabel 5. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Pertumbuhan Panjang Daun Pangkas

Keterangan: tn: tidak berbeda nyata pada taraf 5 %.

Gambar 7. Pertumbuhan Panjang Daun Pangkas

Dosis (g TSP/polibag) MSA Ke- 2 3 4 5 6 7 8 9 10 ...cm... 0 5.685 6.899 8.399 9.710 10.867 11.840 12.823 13.893 14.713 3 6.330 7.623 9.029 10.087 11.583 12.126 13.344 14.277 15.411 6 6.961 8.479 9.877 11.955 13.719 14.712 15.750 16.652 17.265 9 6.021 7.302 8.802 10.245 12.301 13.404 13.586 15.411 16.284 12 5.982 7.363 9.181 11.169 12.557 13.596 14.632 15.399 15.889 15 5.327 6.865 8.578 10.145 11.894 12.975 13.709 14.567 15.518 Uji F tn tn tn tn tn tn tn tn tn

(33)

Panjang Anak Daun pangkas

Panjang anak daun pangkas pada akhir pengamatan berkisar antara 1.908-3.484 cm. Nilai yang kecil tersebut dikarenakan banyak daun yang terpangkas pada bagian petiol pada saat pemangkasan rata di awal penanaman. Hal tersebut menyebabkan daun pangkas tidak menumbuhkan anak daun. Berdasarkan Tabel 4, perlakuan pemberian pupuk P sebesar 6 g menunjukkan pertumbuhan panjang anak daun hampir mencapai 3.5 cm. Perlakuan P0 pada akhir percobaan menun- jukkan panjang anak daun pangkas kurang dari 2 cm. Secara statistik pemberian pupuk P tidak berpengaruh nyata terhadap panjang anak daun pangkas. Pola per-tumbuhan panjang daun pangkas disajikan pada Gambar 8.

Tabel 6. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Panjang Anak Daun Pangkas Bibit Sagu

Dosis (g TSP/polibag) MSA Ke- 3 4 5 6 7 8 9 10 ...cm... 0 0.078 0.527 0.647 0.806 1.522 1.592 1.879 1.908 3 0.000 0.386 0.534 0.556 1.177 1.612 2.294 2.423 6 0.047 0.670 1.682 1.785 2.018 2.349 3.256 3.484 9 0.120 0.333 0.403 0.837 0.881 0.973 1.635 2.329 12 0.000 0.080 0.200 0.704 1.357 1.615 2.256 2.555 15 0.050 0.117 0.583 1.226 1.719 1.906 2.183 2.515 Uji F tn tn tn tn tn tn tn tn

Keterangan: tn: tidak berbeda nyata pada taraf 5 %.

(34)

22

Lebar Anak Daun Pangkas

Sama halnya dengan panjang anak daun, pemberian pupuk P juga membe- rikan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap lebar anak daun pangkas (Tabel 7). Rata-rata lebar anak daun pangkas menunjukkan nilai kisaran yang kecil yaitu 0.273-0.449 cm, selain dikarenakan pemangkasan rata diawal penanaman juga di- karenakan pertambahan lebar daun sagu sangat lambat. Perlakuan P2 menunjuk- kan lebar daun pangkas dengan nilai hampir mencapai 0.5 cm pada 10 MSA. Pola pertumbuhan lebar anak daun pangkas disajikan pada Gambar 9.

Tabel 7. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Lebar Anak Daun Pang- kas Bibit Sagu

Dosis (g TSP/polibag) MSA Ke- 3 4 5 6 7 8 9 10 ...cm... 0 0.034 0.139 0.160 0.196 0.296 0.2923 0.358 0.360 3 0.000 0.089 0.094 0.098 0.156 0.2173 0.277 0.315 6 0.013 0.118 0.241 0.288 0.328 0.3543 0.428 0.449 9 0.016 0.050 0.072 0.124 0.138 0.1508 0.210 0.273 12 0.000 0.024 0.042 0.098 0.167 0.1864 0.277 0.314 15 0.014 0.024 0.079 0.184 0.253 0.2645 0.323 0.372 Uji F tn tn tn tn tn tn tn tn

Keterangan: tn: tidak berbeda nyata pada taraf 5 %.

Gambar 9. Pertumbuhan Lebar Anak Daun Pangkas

Panjang Daun 1

Perlakuan pemberian pupuk P sebanyak 3 g (P1) memberikan hasil pan- jang daun 1 yaitu dengan nilai 17.5 cm dan memiliki selisih yang cukup besar de-

(35)

ngan P0 yang memiliki panjang daun kurang dari 9.5 cm (Tabel 8). Hasil tersebut masih belum memberikan pengaruh yang berbeda nyata secara statistik. Pening- katan pertumbuahn panjang daun satu berjalan cepat setelah 6 MSA dikarenakan hasil fotosintat lebih diarahkan untuk menunjang pertumbuhan daun satu tersebut setelah daun pangkas cukup tua (Gambar 10).

Tabel 8. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Panjang Daun 1 Bibit Sagu Dosis (g TSP/polibag) MSA Ke- 4 5 6 7 8 9 10 ...cm... 0 2.044 2.533 3.022 4.590 5.983 7.502 9.459 3 4.376 5.365 7.735 9.605 12.425 15.039 17.512 6 3.395 4.615 6.625 8.211 10.543 14.431 16.325 9 4.728 5.641 7.675 9.604 12.120 13.872 16.275 12 2.762 3.534 4.578 5.939 8.205 9.641 11.482 15 2.565 4.042 5.189 6.506 7.758 9.506 11.105 Uji F tn tn tn tn tn tn tn

Keterangan: tn: tidak berbeda nyata pada taraf 5 %.

Gambar 10. Pertumbuhan Panjang Daun 1

Panjang Anak Daun 1

Pemberian pupuk P memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terha- dap panjang anak daun 1. Berdasarkan Tabel 9, terlihat bahwa pemberian pupuk P sebesar 6 g menunjukkan panjang anak daun dengan nilai hampir mencapai 4 cm. Perlakuan pemberian pupuk P sebesar 15 g menghasilkan panjang anak daun

(36)

rata-24 rata 1 cm pada 10 MSA. Panjang anak dau satu mulai mengalami pertambahan yang cepat pada 9 MSA (Gambar 11).

Tabel 9. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Panjang Anak Daun 1 Bibit Sagu Dosis (g TSP/polibag) MSA Ke- 6 7 8 9 10 ...cm... 0 0.299 0.500 0.890 1.202 1.584 3 0.266 0.266 0.834 1.856 3.727 6 0.369 0.498 0.669 1.432 3.891 9 0.386 0.703 1.150 1.444 2.413 12 0.000 0.272 0.645 0.657 1.639 15 0.000 0.000 0.000 0.915 0.970 Uji F tn tn tn tn tn

Keterangan: tn: tidak berbeda nyata pada taraf 5 %.

Gambar 11. Pertumbuhan Panjang Anak Daun 1

Lebar anak Daun 1

Pemberian pupuk P tidak berpengaruh nyata terhadap lebar anak daun 1 hingga akhir pengamatan (Tabel 10). Perlakuan pemberian pupuk P sebesar 6 g menghasilkan lebar anak daun 1 hampir mencapai 0.5 cm pada pengamatan 10 MSA. Perlakuan pemberian pupuk P dengan dosis yang lebih tinggi menghasilkan rata-rata lebar anak daun 1 yang kecil, hal tersebut dikarenakan banyak daun 1 yang belum mekar pada perlakuan P3 hingga P5 (Gambar 12).

(37)

Tabel 10. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Lebar anak Daun 1 Bibit Sagu Dosis (g TSP/polibag) MSA Ke- 6 7 8 9 10 ...cm... 0 0.025 0.041 0.090 0.129 0.164 3 0.013 0.013 0.064 0.153 0.294 6 0.025 0.036 0.051 0.159 0.422 9 0.027 0.072 0.118 0.159 0.251 12 0.000 0.023 0.050 0.050 0.138 15 0.000 0.000 0.000 0.076 0.080 Uji F tn tn tn tn tn

Keterangan: tn: tidak berbeda nyata pada taraf 5 %.

Gambar 12. Pertumbuhan Lebar Anak Daun 1

Jumlah Anak Daun 1

Anak daun dihitung saat daun telah mekar sempurna, yaitu daun telah pe- cah atau masing-masing anak daun telah terpisah atau tidak menempel pada anak daun lainnya. Tabel 11, menunjukkan perlakuan pemberian pupuk P tidak mem- berikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah anak daun 1. Rata-rata jumlah anak daun menunjukkan nilai kisaran yang kecil yaitu 0.75-3.40 cm. Per- tambahan jumlah anak daun mulai berjalan cepat pada 9 MSA, polanya disajikan pada gambar Gambar 13.

(38)

26 Tabel 11. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Jumlah Anak Daun 1

Bibit Sagu Dosis (g TSP/polibag) MSA Ke- 6 7 8 9 10 0 0.120 0.381 0.762 1.163 1.684 3 0.208 0.208 0.690 1.322 2.787 6 0.250 0.406 0.694 1.430 3.402 9 0.271 0.625 0.945 1.337 2.325 12 0.000 0.141 0.318 0.318 1.268 15 0.000 0.000 0.000 0.681 0.747 Uji F tn tn tn tn tn

Keterangan: tn: tidak berbeda nyata pada taraf 5 %.

Gambar 13. Jumlah Anak Daun 1

Panjang Petiol Daun 1

Perlakuan pemberian pupuk P memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap panjang petiol daun 1. Perlakuan pemberian pupuk P pada perco-baan menghasilkan kisaran rata-rata panjang petiol daun 1 yaitu 1-4 cm. Pengaruh pemberian pupuk P terhadap panjang petiol daun 1 selengkapnya disajikan pada Tabel 12. Pertumbuhan panjang petiol daun 1 mulai berjalan cepat pada 9 MSA, hal tersebut dikarenakan bayak daun 1 yang telah mekar sehingga ikut berperan memberikan hasil fotosintat untuk mendukung pemanjangan petiol daun tersebut (Gambar 14).

(39)

Tabel 12. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Panjang Petiol Daun 1 Bibit Sagu Dosis (g TSP/polibag) MSA Ke- 6 7 8 9 10 ...cm... 0 0.261 0.494 1.033 1.518 2.398 3 0.156 0.210 0.677 1.605 3.295 6 0.261 0.457 0.690 1.802 4.190 9 0.210 0.570 1.067 1.866 3.160 12 0.000 0.163 0.428 0.538 1.255 15 0.000 0.000 0.000 0.842 1.029 Uji F tn tn tn tn tn

Keterangan: tn: tidak berbeda nyata pada taraf 5 %.

Gambar 14. Panjang Petiol Daun 1

Jumlah Daun

Daun yang dihitung dalam pengamatan meliputi daun pangkas dan daun baru (daun 1). Daun pangkas yaitu daun yang terbentuk dari calon daun yang ter- pangkas akibat pemangkasan rata pada bibit saat akan ditanam yang telah mekar sempurna. Daun 1 yaitu daun baru yang muncul pertama kali, sempurna tanpa ada bekas pangkasan. Berdasarkan Tabel 13, perlakuan pemberian pupuk P tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada jumlah daun total. Pemberian pu- puk P memberikan kisaran jumlah daun bibit sagu antara 0.225- 0.439 helai. Me- nurut teori seharusnya bibit sagu menghasilkan satu daun baru setiap bulan, na-

(40)

28 mun dalam percobaan tersebut pertambahan jumlah daun berjalan lambat untuk pembentukan daun baru dibutuhkan waktu 1,5 bulan (Gambar 15).

Tabel 13. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Jumlah Daun Bibit Sagu

Dosis (g TSP/polibag) MSA Ke- 3 4 5 6 7 8 9 10 ...helai... 0 0.031 0.076 0.087 0.122 0.196 0.217 0.268 0.318 3 0.000 0.052 0.053 0.065 0.099 0.151 0.226 0.331 6 0.010 0.083 0.156 0.172 0.193 0.218 0.289 0.439 9 0.010 0.021 0.042 0.078 0.104 0.140 0.183 0.268 12 0.000 0.021 0.031 0.063 0.107 0.134 0.168 0.225 15 0.010 0.022 0.065 0.130 0.154 0.161 0.226 0.255 Uji F tn tn tn tn tn tn tn tn

Keterangan: tn: tidak berbeda nyata pada taraf 5 %.

Gambar 15. Jumlah Daun

Leaf Life Span

Daun mulai mekar 6 MSA yaitu pada perlakuan P0U1, P1U1, P2U1, dan P3U1, hal tersebut manandakan pemberian pupuk P tidak pengaruh nyata pada

leaf life span. Ulangan atau blok memberikan pengaruh yang nyata pada awal pe-

mekaran daun. Daun yang mekar masih segar dan hidup hingga akhir pengamat-an, sehingga tidak didapatkan leaf life span daun bibit sagu. Hal tersebut dikarenkan umur daun sagu yang relatif panjang yaitu selama 18 bulan baru kemudian a-kan mengering dan mati.

(41)

Bobot Segar dan Bobot Kering (Biomassa bibit sagu)

Perlakuan pemberian pupuk P memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap bobot segar dan bobot kering petiol, rachis dan akar bibit sagu (Tabel 14). Meskipun bobot segar batang (petiol) P0 cukup besar namun setelah dikeringkan menghasilkan bobot yang kecil. begitu juga dengan bobot akar yang menyusut dengan dengan selisih cukup besar setelah dikeringkan. Rasio tajuk/a- kar yang besar menandakan menandakan hasil fotosintat lebih diarahkan untuk pembentukan tajuk (Gambar 16).

Tabel 14. Pengaruh Pemberian Pupuk terhadap Biomassa Bibit Sagu

Dosis (g TSP/polibag)

Bobot Segar (g) Bobot Kering (g) Rasio Tajuk/Akar Petiol Rachis Akar Petiol Rachis Akar

0 31.948 5.238 2.218 5.098 1.600 0.313 63.700 3 47.640 11.144 3.424 6.548 3.014 0.628 17.209 6 42.333 10.851 4.110 6.182 3.167 0.641 33.668 9 45.931 9.513 5.104 6.374 2.922 0.955 11.822 12 51.379 14.578 3.078 7.778 3.761 0.553 29.516 15 25.603 8.233 4.028 5.701 2.154 0.533 19.958 Uji F tn tn tn tn tn tn tn

Keterangan: tn: tidak berbeda nyata pada taraf 5 %.

6.698 9.561 9.349 9.296 11.539 7.855 0.313 0.628 0.641 0.955 0.553 0.533 0.000 2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 12.000 14.000 0 g TSP/polibag 3 g TSP/ polibag 6 g TSP/polibag 9 g TSP/polibag 12 g TSP/polibag 15 g TSP/polibag Perlakuan Tajuk Akar

(42)

30

Pembahasan

Perlakuan pemupukan P yang dilakukan pada persemaian dengan sistem polibag tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif bibit sagu. Peubah ve- getatif tersebut antara lain persentase hidup bibit, persentase pemekaran daun, panjang daun pangkas, panjang dan lebar anak daun pangkas, panjang daun 1, panjang dan lebar anak daun 1, jumlah anak daun 1, panjang petiol daun 1, jumlah daun total, bobot segar dan bobot kering (Biomassa) petiol, rachis dan akar.

Kendati pemberian pupuk P tidak memberikan pengaruh yang nyata ter- hadap persentase hidup bibit namun dengan persentase hidup bibit 62-75% sudah cukup baik untuk cara pembibitan dengan sistem polibag. Menurut Papilaya (2009), tingkat keberhasilan cara pembibitan polibag (kurang dari 50%). Sejalan dengan hasil penelitian pembibitan cara polibag yang dilakukan oleh Safaah (2011) yang menyebutkan persentase hidup tertinggi dari kombinasi perlakuan bobot bibit dan pengunaan POC paling besar menunjukkan nilai 50%. Persentase hidup menurun setiap minggunya, hal tersebut diduga karena kondisi lingkungan kurang mendukung untuk pertumbuhan bibit seperti tidak adanya sungkup dan kurangnya naungan sehingga bibit masih terpengaruh dengan kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan dan adanya serangan cendawan yang menyebabkan pembusukan pada titik tumbuh dan jika titik tumbuh ini sudah diserang maka bibit tidak dapat diselamatkan lagi.

Persentase hidup bibit juga dipengaruhi oleh keadaan bibit itu sendiri. Bi- bit yang mempunyai rizome atau banir lebih besar memiliki cadangan makanan untuk memenuhi nutisi bibit selama di pembibitan. Menurut Syafaah (2011), bibit dengan bobot 200-500 g mempunyai persentase hidup bibit paling tinggi diduga karena bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan baru. Bibit dengan bobot terse but mempunyai karbohidrat dan air yang cukup.

Umur bibit atau tingkat ketuaan bibit juga berpengaruh pada tingkat per- tumbuhan dan persentase hidup bibit. Bibit tua adalah bibit yang berasal dari in- duk yang pernah dipanen, banir berwarna merah muda dan keras yang memiliki keungulan lebih tahan stress, sedangkan bibit muda mudah stress dan rentan mati. Padahal selama pengambilan dan trasnportasi banyak terkena panas, bantingan

(43)

dan pemotongan saat pembersihan eksplan serta masih harus kena fungisida saat perendaman sebelum ditanam.

Lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap persentase hidup bibit sa- gu. Bibit sagu memerlukan suhu optimal dan kelembaban yang tinggi untuk tum- buh dengan baik. Menurut Sitaniapessy (1996) suhu udara maksimum berkisar an- tara 28.20-31.30C, minimum 20.20-22.80C dan rataan 24.20-27.10C, dengan kelem- baban relatif kurang lebih 90%. Irawan (2010) menyatakan bahwa suhu 230-310C merupakan lingkungan yang optimal untuk fase pembibitan sagu. Lingkungan ter- sebut mampu memberikan tajuk yang lebih sehat yaitu daun yang lebih besar, jumlah anak daun yang lebih banyak, dan serapan unsur hara yang lebih baik. Berdasarkan hasil pengamatan suhu harian dalam paranet dengan naungan 75% didapatkan suhu dalam paranet pada pagi hari berkisar antara 250-280C, sedang- kan pada siang hari berkisar antara 320-350C. Kisaran suhu yang terlalu tinggi ter- sebut menyebabkan transpirasi bibit yang tinggi pula sehingga menyebabkan ba- nyak bibit mengalami kekeringan.

Tanaman sagu termasuk tanaman tipe C3, yang sulit tumbuh diatas suhu optimum. Menurut Gardner et al. (1991) fiksasi CO2 merupakan reaksi yang di- kendalikan oleh enzim, dan meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu hingga mencapai suhu tertentu. Laju respirasi akan terus meningkat dengan meningkat- nya suhu. Transpirasi meliputi 99% dari seluruh air yang digunakan oleh tumbuh- an; kira-kira hanya 1% digunakan untuk membasahi tumbuhan.

Kelembaban dalam paranet pada pagi hari rata-rata 84.87% dan siang hari 64.30% yang jauh dari kondisi idealnya. Pertumbuhan bibit membutuhkan kelem- baban tinggi (90%) terutama untuk memacu pertumbuhan bibit yang mengalami penundaan pertumbuhan atau stagnasi akibat stress dengan kelembaban yang sa- ngat rendah.

Kadar air persemaian polibag cukup rendah karena keterbatasan media da- lam kantong plastik yang mampu mempertahankan air, sedangkan bibit sagu me- merlukan kadar air yang tinggi untuk pertumbuhannya. Tanaman yang ditanam didalam pot memiliki respon yang berbeda terhadap kekurangan air dari pada ta- naman pada kondisi lapang. Tanaman yang ditanam dengan volume tanah yang

(44)

32 sedikit (seperti pada polibag) mengalami kekurangan air lebih cepat dari pada yang ditanam pada kondisi lapang.

Air gambut yang digunakan untuk penyiraman mempengaruhi persentase hidup bibit. Penyiraman yang mengenai petiol diduga dapat menyebabkan kebu- sukan sehingga penyiraman harus dilakukan dengan hati-hati. Cendawan yang diduga terbawa dari lapang juga ditemukan meskipun telah dilakukan perendaman bibit dengan fungisida sebelum ditanam. Cendawan tersebut membuat tanaman membusuk terutama menyerang pada petiol atau titik tumbuh yang selanjutnya menyebar ke seluruh bagian bibit dan menyebabkan kematian.

Persentase pemekaran daun dihitung dari jumlah daun yang telah mekar sempurna dibandingkan jumlah bibit yang hidup. Pemekaran daun dipengaruhi oleh keadaan eksplan saat ditanam. Pemangkasan rata pada eksplan saat penanam dengan ketinggian + 30 cm, mengakibatkan banyak bibit rachisnya ikut terpang- kas sehingga hanya menumbuhkan petiol pada daun pangkasnya. Petiol tersebut tidak dapat mekar karena memang tidak memiliki calon anak daun (calon rachis). Nutrisi atau hara lebih banyak ditraslokasikan ke daun yang masih dalam masa pertumbuhan, sehingga nutrisi untuk pembentuk daun baru berkurang. Hal terse-but menyebabkan nilai persentase pemekaran daun relatif kecil.

Menurut Pinem (2008), pertumbuhan daun yang sedikit dan sempit dikare- nakan ketersediaan air yang terbatas. Hal ini berkaitan dengan pendapat bahwa keterbatasan air akan menghambat pertumbuhan. Bintoro (2008) menambahkan bahwa penanaman bibit sagu dikantong plastik (polibag) memiliki beberapa kele- mahan yaitu pemeliharaan lebih intensif sehingga penyiraman harus sering dilaku- kan. Pemberian hara harus cukup, rawan terhadap serangan hama, sehingga per- tumbuhan tidak maksimal.

Berdasarkan penelitian terdahulu menyebutkan jumlah anak daun yang terbentuk bervariasi, tergantung pada keadaan bibit itu sendiri (Syafaah, 2011). Jumlah daun dan ukuran daun dipengaruhi oleh genotipe dan lingkungan. Pan- jang, lebar dan luas daun umumnya meningkat berangsur-angsur menurut pola tertentu sampai kesuatu titik (Gardner et al., 1991)

Bibit masih mengandalkan atau memanfaatkan karbohidrat atau cadangan makanan pada banir untuk pertumbuhanya terutama pembentukan tajuk. Bobot

(45)

se-gar akar yang tinggi disebabkan oleh akar muda yang cukup banyak. Hal tersebut terlihat dari selisih bobot akar segar dan bobot akar kering. Akar muda banyak mengandung air tetapi tidak terlalu banyak lignin sehingga bila dikeringkan, bo-bot keringnya akan rendah. Pengaruh P pada pertumbuhan akar saat pembibitan cukup besar, P akan merangsang pertumbuhan akar muda (Setyamidjaja, 1986)

Tingginya bobot tajuk dipengaruhi oleh tinggi dan diameter petiol dan ra-chis yang terbentuk. Menurut Gardner et al. (1991) bobot kering merupakan inte-gral dari asimilasi CO2 bersih selama musim pertumbuhan total. Penimbunan bo-bot kering umumnya digunakan sebagai petunjuk yang memberikan ciri pertum-buhan, karena biasanya mempunyai kepentingan ekonomi yang paling besar.

Perlakuan tanpa pemupukan P (P0) menunjukkan pembentukkan akar yang sedikit. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pupuk P me- macu pertumbuhan akar. Pertumbuhan akar akan memacu pertumbuhan tajuk ka- rena adanya sifat homeostasis untuk menjaga keseimbangan akar dan tajuk. Be- sarnya rasio tajuk/akar tergantung spesies, umur, kondisi lingkungan dan saat mu- sim tumbuh. Rasio tajuk/akar meningkat, sebab distribusi asimilat lebih banyak ke arah pertumbuhan tajuk (Klepper, 1991). Setelah tanaman membentuk daun, pem- bagian asimilat lebih banyak ditranslokasikan ke tajuk (petiol dan rachis). Tajuk yang sedang berkembang merupakan sink yang lebih kuat, sedangkan akar me- rupakan sink yang lebih lemah.

Hubungan pertumbuhan tajuk dan akar merupakan mekanisme homeo- statik dan upaya memelihara keseimbangan pertumbuhan tajuk dan akar sangat tergantung dengan metabolit (Kaufman et al., 1995). Sink yang kuat pada saat pertumbuhan vegetatif adalah pucuk daun yang sedang membesar. Namun setelah daun menjadi source terjadi perubahan pembagian asimilat ke organ lain seperti a-kar dan batang (Salisbury dan Ross, 1992).

Umumnya ketersediaan hara, lebih menentukan status hara tanaman. Kea- saman tanah (pH) merupakan faktor utama yang mempengaruhi daya larut dan mempengaruhi ketersediaan hara tanaman terutama unsur P. Pembeian dolomit dengan dosis 40 g/polibag dan pupuk P hingga dosis 15 g TSP/polibag terbukti meningkatkan pH media dari 3.9 hingga 5.5. Kisaran pH tersebut masih tergolong asam namun optimum untuk ketersediaan P. Menurut Hakim et al. (1986),

(46)

kela-34 rutan maksimum dari P pada pH 5.5. Mempertahankan kisaran pH 5.5 hingga 6 sangat berarti bagi penyediaan P bagi tanaman. Pertumbuhan tanaman dan keter- sediaan hara umunya sudah cukup baik pada kisaran 5.5 hingga 6, asalkan unsur yang meracun sudah ditiadakan pada pH tersebut.

Perlakuan pemberian pupuk P tidak berpengaruh pada semua peubah yang diamati yaitu panjang daun pangkas, panjang dan lebar anak daun pangkas, pan-jang daun 1, panpan-jang dan lebar anak daun 1, jumlah anak daun 1, panpan-jang petiol daun 1, jumlah daun total dan bobot segar dan bobot kering petiol, rachis dan akar. Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian Alexius (1999) yang menyata- kan bahwa dosis pupuk P berpengaruh sangat nyata terhadap bobot segar tajuk, dan bobot kering tajuk, dan tidak nyata terhadap bobot segar akar dan bobot ke- ring akar. Namun sesuai dengan hasil penelitian Tirtana (2005) yang menyatakan pemberian dosis pupuk P memberikan pengaruh yang tidak nyata pada seluruh pe- ubah vegetatif bibit kelapa sawit (pertambahan tinggi tanaman, pertambahan jum- lah daun, total luas daun, bobot segar dan bobot kering tanaman).

Bintoro et al., (2010) menyatakan pemberian pupuk NPK berpengaruh ne- gatif terhadap jumlah bibit sagu yang hidup, pertumbuhan tinggi bibit, jumlah dan lebar daun. Semakin tinggi dosis yang diberikan menyebabkan pertumbuhan sagu terhambat dan semakin banyak bibit yang mati. Hal tersebut diduga pada pem- bibitan sagu untuk pertumbuhannya masih berasal dari karbohidrat dari banir, se- hingga pemberian hara melalui pemupukan tidak memberikan peningkatan pada pertumbuhan.

Penyebab tidak berbeda nyatanya pemberian pupuk P terhadap semua pe- ubah yang diamati karena tingginya kandungan P tersedia dalam media. Hasil analisis tanah awal (Lampiran 4) menunjukkan kadar P tersedia tanah sebesar 44.24 ppm tergolong sangat tinggi, sehingga tanpa penambahan pupuk P kan-dungan hara media sudah mencukupi untuk pertumbuhan bibit sagu. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Soepartini et al. (1994) bahwa makin rendah kandungan P dalam tanah, maka makin banyak diperlukan pupuk P, sedangkan semakin tinggi P dalam tanah, maka tanah tersebut semakin tidak me- merlukan pupuk P. Berdasarkan hasil analisis tanah setelah pemupukan (Lampiran 5), pemberian pupuk P dengan dosis 3, 6, 9, 12 dan 15 g TSP/polibag berturut-tu-

Gambar

Gambar 4. Akibat Pemangkasan rata pada awal penanam (a). Petiol Panjang namun daun  pangkas tidak menumbuhkan anak daun
Gambar 5. Persentase Hidup Bibit sagu
Tabel  3. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Persentase Pemekaran  Daun Bibit Sagu
Tabel  8. Pengaruh Pemberian Pupuk P terhadap Panjang Daun 1 Bibit  Sagu  Dosis (g  TSP/polibag) MSA Ke-  4  5  6  7  8  9  10  .................cm...................
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Kaymaz (2010), hasil penelitian mendukung teori bahwa praktek rotasi pekerjaan (job rotation) berpengaruh positif pada motivasi (motivation), Kaymaz

Simpulan: Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan derajat depresi ibu siswa disabilitas tunggal dan ibu siswa disabilitas ganda di SLB D/D1

Seperti halnya dengan penelitian Lestari (2016) yang menjelaskan bahwa jika Pendapatan perkapita meningkat maka perubahan dalam pola konsumsi pun akan meningkat

Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan UmumNomor 9 Tahun 2015 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil

Apabila Tim Pemeriksa memahami dengan baik proses tender/lelang, maka fakta-fakta lain yaitu tentang Ashpalt Mixing Plant (AMP), tentang Sertifikat Tenaga Ahli,

beberapa faktor, dan faktor tersebut yang membedakan tingkat pemahaman mahasiswi yang satu dengan yang lainnya. Adapun yang membedakan tinggi rendahnya pengetahuan mereka

Lebih khusus lagi, mereka memiliki kebiasaan bermedia—baik dalam menggunakan media maupun mengonsumsi media—dengan pola yang sangat berbeda dengan kelompok

Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Caturini yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jumlah perkawinan dengan kejadian lesi