147
BAB V
PENUTUP
Penelitian ini bermula dari hadirnya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang menuntut segenap badan publik di Indonesia untuk membuka lebar-lebar pintu akses atas informasi yang dimilikinya. Penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan terhadap sejumlah badan publik yang telah mengimplementasikan undang-undang tersebut menunjukkan bahwa praktisi humas pemerintah memiliki andil dalam pelaksanaannya di lapangan. Indikasi keterlibatan humas itulah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti peran humas badan publik dalam pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Badan publik yang menjadi obyek studi kasus pada penelitian ini adalah kantor pusat Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK RI). Alasan pemilihan BPK RI sebagai obyek studi kasus adalah karena BPK RI telah mengimplementasikan UU No. 14 Tahun 2008 dan sejumlah praktisi humasnya terlibat sebagai petugas informasi. Sedangkan alasan mengapa peneliti memilih kantor pusat BPK RI adalah karena bagian humasnya telah berdiri sendiri, tidak seperti humas di BPK RI perwakilan yang tergabung dalam Bagian Hukum dan Humas.
Untuk menemukan keterlibatan humas dalam praktik implementasi UU No. 14 Tahun 2008 di BPK RI, peneliti berangkat dari mencari tahu tentang praktik implementasi undang-undang itu sendiri di BPK RI dengan berpedoman pada tujuh kewajiban implementasi UU No. 14 Tahun 2008 menurut Erdianto, Aryani, dan Karanicolas (2012). Tujuh kewajiban tersebut adalah (1) membuat dokumen panduan kunci, (2) menunjuk petugas informasi, (3) melakukan pengelolaan catatan atau informasi, (4) keterbukaan yang proaktif, (5) menerima dan menjawab permintaan, (6) menangani keberatan dari pemohon informasi, dan (7) membuat laporan pelayanan informasi. Dari situ kemudian peneliti menemukan aktivitas keterlibatan humas dalam implementasi UU No. 14 Tahun 2008 dan menganalisanya menggunakan konsep peran humas menurut Dozier (Putra, 2008).
148 BAB Penutup ini terdiri dari dua sub-bab. Pertama adalah sub bab kesimpulan. Disini peneliti memaparkan kesimpulan berdasarkan hasil temuan yang peneliti peroleh selama penelitian tentang peran humas BPK RI dalam implementasi UU No. 14 Tahun 2008. Kedua adalah sub bab saran. Pada bagian ini peneliti akan memaparkan sejumlah saran yang relevan terkait pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 di BPK RI beserta peran humas di dalamnya.
A. Kesimpulan
Pada implementasi UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, humas BPK RI--dalam hal ini Kepala Biro Humas, Kabag PLI, dan Subbagian Layanan Informasi--ternyata tidak hanya terlibat sebagai petugas informasi (PPID dan staf pendukungnya) yang menjalankan tugas-tugas teknis, tetapi juga terlibat dalam penyusunan kebijakan terkait pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 di BPK RI. Keterlibatan humas BPK RI dalam proses penyusunan kebijakan tersebut diantaranya adalah sebagai inisiator pembuatan kebijakan, pelaku riset untuk merumuskan kebijakan, dan perumus kebijakan. Praktik penyusunan dokumen panduan kunci atau kebijakan internal ini merupakan implementasi UU No. 14 Tahun 2008 yang berada pada tataran kebijakan (policy
level). Keterlibatan humas BPK RI pada tataran ini memperlihatkan bahwa
mereka sedang melaksanakan peran manajerial (public relations manager), khususnya expert prescriber. Dozier (dalam Putra, 2008) menyebutkan bahwa dalam peran manajerial humas terlibat dalam pembuatan kebijakan komunikasi, sedangkan sebagai expert prescriber humas berperan dalam membantu manajemen untuk mencari solusi bagi masalah kehumasan organisasi.
Sebagai petugas informasi, personil dari Biro Humas BPK RI adalah pihak yang paling banyak mengisi posisi dalam struktur petugas tersebut. Posisi yang diduduki meliputi (1) Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) diisi oleh Kepala Biro Humas dan Luar Negeri, (2) posisi Sekretaris PPID diisi oleh Kepala Bagian Publikasi, Layanan Informasi, dan Perpustakaan (PLI), (3) Ketua Pusat Informasi dan Komunikasi juga diisi oleh Kepala Bagian PLI, adapun (4) posisi Sekretariat PIK, (5) Supervisor Bidang Pelayanan Informasi Publik PIK, (6)
149 Petugas Back Office PIK, (7) Petugas Front Office PIK, (8) Petugas Via Media PIK, dan (9) Petugas Database Informasi PIK diisi oleh Subbagian Layanan Informasi. Tugas yang diemban oleh petugas-petugas informasi ini pada dasarnya adalah aktivitas pada tataran teknis (technical level). Secara umum tugas-tugas tersebut meliputi tanggung jawab atas pengelolaan informasi publik, tanggung jawab atas pelayanan permintaan informasi publik, tanggung jawab atas pengumuman informasi publik (keterbukaan proaktif), tanggung jawab atas penanganan keberatan oleh pemohon informasi, dan tanggung jawab atas pembuatan laporan pelayanan informasi.
Pada aktivitas pengelolaan informasi publik, humas BPK RI terlibat sebagai pihak yang mengelola informasi-informasi publik tersebut. Mulai dari proses pengumpulan informasi dari tiap-tiap satuan kerja, melakukan klasifikasi dan verifikasi atas informasi yang terkumpul, meng-input informasi yang telah diperiksa dan diklasifikasi tersebut ke dalam database informasi, serta melakukan pemutakhiran informasi publik secara berkala. BPK RI mengklasifikasi informasi publik yang berada di bawah kewenangannya ke dalam empat kategori, yaitu informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala, informasi yang wajib tersedia setiap saat, informasi yang wajib diumumkan secara serta merta, dan informasi yang dikecualikan. Namun faktanya BPK RI tidak memiliki informasi yang tergolong dalam kategori informasi serta merta. Oleh karena itu sebenarnya BPK RI hanya memiliki tiga jenis informasi publik.
Humas BPK RI juga menjadi pelaksana tunggal dalam implementasi keterbukaan yang proaktif. Maksud dari keterbukaan yang proaktif disini adalah badan publik membuka informasi publik yang berada di bawah kewenangannya dengan memanfaatkan media pengumuman yang efektif. Dalam hal ini BPK RI menggunakan website resmi sebagai media pengumuman tersebut. Sebagai pelaksana tunggal humas BPK RI terlibat sebagai pihak pengelola website. Pengelolaan website itu sendiri mencakup beberapa aktivitas, seperti (1) mengolah informasi untuk menjadi berita, siaran pers, dsb, (2) mengumpulkan informasi publik lain yang tidak berada dalam kewenangan Biro Humas dan Luar
150 Negeri, (3) mendesain tampilan website, dan (4) mengunggah informasi-informasi tersebut ke dalam website.
Aktivitas menerima dan menjawab permintaan merupakan implementasi dari pelayanan permintaan informasi publik. Disini Humas BPK RI terlibat penuh dalam proses tersebut. Aktivitas pelayanannya meliputi (1) verifikasi atas permintaan informasi yang masuk, (2) meminta informasi ke satuan kerja apabila informasi diminta oleh pemohon tidak terdapat dalam database, (3) memberikan informasi publik yang diminta kepada pemohon informasi, dan (4) mencatat permintaan informasi yang masuk ke dalam file registrasi. Aktivitas pelayanan informasi di lapangan sepenuhnya dilakukan oleh petugas PIK yaitu Subbagian Layanan Informasi. Sedangkan Kepala Biro Humas dan Luar Negeri serta Kepala Bagian PLI bertugas untuk melakukan control dan koordinasi.
Dalam hal penanganan keberatan dari pemohon informasi seperti yang dimaksud dalam UU No. 14 Tahun 2008, BPK RI belum memiliki mekanisme penanganannya. Maka dari itu, apabila ada keberatan yang diajukan oleh pemohon, maka petugas PIK akan mencoba menyelesaikannya ditempat dengan memberikan penjelasan terkait penolakan pemberian informasi atau bernegosiasi dengan pemohon informasi apabila penolakan informasi disebabkan persyaratan yang tidak lengkap.
BPK RI memiliki lima bentuk laporan pelayanan informasi, yaitu laporan harian, laporan mingguan, laporan bulanan, laporan kompilasi bulanan, dan laporan tahunan. Laporan-laporan tersebut dibuat oleh Subbagian Layanan Informasi yang juga merupakan tim pengelola PIK. Proses pembuatannya meliputi pengumpulan dan pengolahan data, penyusunan laporan, pengoreksian laporan, dan penyerahan laporan kepada Komisi Informasi Pusat di akhir tahun pelaksanaan.
Dari tujuh poin implementasi yang ada, humas BPK RI menjalankan peran manajerial pada poin implementasi pembuatan dokumen panduan kunci, yaitu peran manajerial sebagai expert prescriber. Walau begitu, masih ada kekurangan dalam pelaksanaan peran tersebut. Disini, humas BPK RI tidak memiliki kuasa penuh atas pembuatannya, mengingat persetujuan atas dokumen atau kebijakan
151 masih berada di tangan atasan. Sedangkan enam poin implementasi lainnya merupakan pelaksanaan lapangan dari kebijakan yang telah disahkan. Maka, aktivitas humas BPK RI pada implementasi ini tergolong ke dalam peran teknis.
Terkait penilaian tentang implementasi UU No. 14 Tahun 2008, secara umum BPK RI telah menjalankan hampir seluruh kewajiban tersebut. Akan tetapi ada beberapa hal yang menjadi kekurangan dalam pelaksanaannya. Pertama adalah pada pelaksanaan penanganan keberatan oleh pemohon informasi. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa BPK RI belum memiliki mekanisme untuk menangani hal tersebut.
Kedua adalah tidak adanya daftar yang merinci informasi-informasi publik yang berada di bawah kewenangan BPK RI. Padahal daftar informasi tersebut termasuk dalam salah satu tanggung jawab badan publik dalam hal pengelolaan informasi.
Ketiga adalah belum terlaksananya proses pengujian konsekuensi apabila ada permintaan informasi yang bertendensi merupakan informasi publik yang dikecualikan dan penyertaan alasan tertulis apabila permintaan informasi pemohon ditolak karena informasi yang diminta adalah informasi yang dikecualikan. Prosedur ini sebenarnya telah tercantum dalam POS Pelayanan Permintaan Informasi Publik, namun Kepala Biro Humas dan Luar Negeri sendiri mengakui bahwa mekanisme itu belum berjalan dengan semestinya (wawancara 14 November 2013).
Keempat adalah laporan pelayanan informasi publik tahunan yang diserahkan ke Komisi Informasi Pusat seharusnya juga menjadi informasi publik yang dapat diakses oleh masyarakat melalui website. Akan tetapi, hal tersebut belum diimplementasikan oleh BPK RI dan ketentuannya tidak tercantum dalam peraturan internal BPK RI. Bahkan, Kabag PLI menyatakan bahwa yang bersangkutan belum mengetahui jika hal tersebut menjadi salah satu kewajiban yang tercantum dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Kekurangan-kekurangan BPK RI dalam mengimplementasikan UU No. 14 Tahun 2008 di atas berimbas pada humas BPK RI yang menjadi tidak maksimal
152 dalam menjalankan peran teknisnya. Baik itu peran teknis yang mengacu pada ketentuan dalam peraturan-peraturan internal BPK RI maupun yang mengacu pada prosedur umum dalam UU No. 14 Tahun 2008 dan peraturan turunannya.
Praktik implementasi undang-undang ini juga tidak luput dari kendala yang kerap mengganggu kinerja humas. Baik dalam hal pengelolaan informasi publik, pelayanan permintaan informasi publik, maupun pengumuman informasi melalui website. Kendala mayoritas yang hampir selalu menjadi permasalahan utama adalah ketersediaan informasi publik yang belum maksimal karena informasi publik di BPK RI tersebar di banyak satuan kerja. Selain itu, seringkali satuan kerja lain memerlukan waktu yang cukup lama untuk merespon permintaan informasi yang diajukan oleh humas BPK RI. Lambatnya respon tersebut kerap disebabkan karena faktor padatnya kegiatan pemeriksaan dan alur birokrasi yang panjang.
Berdasarkan hasil pengamatan atas aktivitas keterlibatan humas dalam implementasi UU No. 14 Tahun 2008 di BPK RI, peneliti melihat bahwa sebenarnya Humas BPK RI sudah mampu untuk menjalankan aktivitas implementasi dalam undang-undang tersebut tanpa harus membentuk susunan PPID dan Petugas PIK. Karena, sejak sebelum adanya UU No. 14 Tahun 2008 pun Humas BPK RI telah banyak terlibat dalam aktivitas penyampaian produk informasi berupa LHP kepada masyarakat. Akan tetapi, karena prosedur dalam UU No. 14 Tahun 2008 menyebutkan bahwa setiap badan publik diwajibkan untuk membentuk struktur PPID, maka mau tidak mau BPK RI harus membentuk struktur petugas informasi tersebut sebagai salah satu instrument dari kewajiban implementasi.
B. Saran
Kesimpulan yang peneliti ungkapkan di atas memperlihatkan bahwa implementasi UU No. 14 Tahun 2008 di BPK RI dan peran humas di dalamnya masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu peneliti memaparkan sejumlah saran yang berkaitan dengan implementasi dan diharapkan dapat membantu BPK RI untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. Selain itu peneliti juga
153 akan memaparkan saran dari perspektif akademis sebagai upaya peneliti untuk mendorong adanya penelitian lanjutan yang berhubungan dengan humas pemerintah maupun UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Guna memperbaiki implementasi UU No. 14 Tahun 2008 serta peran teknis humas BPK RI di dalamnya, ada baiknya bila BPK RI segera membuat peraturan baru atau merevisi peraturan yang ada dan menambahkan peraturan tentang mekanisme penanganan keberatan dari pemohon informasi. Walaupun BPK RI berkomitmen untuk menjalankan proses pelayanan informasi yang cepat, tepat, dan sederhana demi menghindari adanya complain atau pengajuan keberatan, namun ada baiknya bila BPK RI tetap melakukan antisipasi. Dengan menjalankan mekanisme seperti yang tertera pada undang-undang, diharapkan BPK RI dapat terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Hal lain yang perlu ditambahkan dalam peraturan adalah ketentuan yang mengatur tentang pengumuman laporan pelayanan informasi publik ke dalam website BPK RI dan memasukkan jenis informasi itu ke dalam kategori informasi yang wajib tersedia dan diumumkan secara berkala. Masyarakat berhak untuk memiliki akses atas laporan tersebut karena laporan tersebut merupakan salah bukti pertanggungjawaban BPK RI atas praktik keterbukaan informasi yang dilaksanakannya.
Terkait dengan ketentuan yang sudah tercantum dalam peraturan namun belum terealisasi dengan baik, humas BPK RI sebagai pihak yang merumuskan peraturan dan bertanggung jawab atas pelaksanaannya perlu melakukan telaah kembali. Apakah hal tersebut memang perlu dijalankan atau tidak?, Apabila perlu, apa sebenarnya yang menjadi penyebab hal tersebut tidak terlaksana?, dsb. Akan tetapi, khusus untuk daftar rincian informasi publik yang berada di bawah wewenang BPK RI, peneliti menyarankan hal tersebut untuk tetap dilaksanakan. Karena, mengacu pada Pasal 13 Ayat (1) Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2010, daftar informasi publik merupakan salah satu informasi yang termasuk dalam kategori informasi yang wajib tersedia setiap saat. Bahkan di beberapa badan publik, daftar informasi ini dapat diakses oleh masyarakat melalui website
154 seperti yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dengan begitu masyarakat menjadi tahu informasi-informasi publik apa saja yang berada di bawah wewenang BPK RI dan dapat diakses. Pada akhirnya hal ini juga akan mempermudah pekerjaan petugas PIK agar makin efektif dan efisien.
Khusus untuk menghadapi kendala atas informasi dalam database yang tidak lengkap dan kesulitan bagi humas untuk meminta informasi publik yang berada di tiap unit kerja, peneliti menyarankan humas BPK RI untuk mensosialisasikan kembali atau bahkan mengedukasikan peraturan-peraturan internal tentang pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 ke dalam internal BPK RI. Apabila satuan-satuan kerja lain memahami urgensi dari pelaksanaan tersebut, bukan tidak mungkin perbaikan atas kendala di atas akan terjadi secara signifikan.
Dalam pelaksanaan kewajiban implementasi UU No. 14 Tahun 2008 oleh Humas BPK RI, peneliti melihat bahwa kerap terjadi tumpang tindih antara tugas utama di bidang kehumasan dengan tugas pelaksanaan implementasi undang-undang. Terkait hal ini peneliti menyarankan dua hal yang dapat dipertimbangkan sebagai solusi. Pertama, Biro Humas dan Luar Negeri BPK RI dapat menambah jumlah personil pada Subbagian Layanan Informasi sebagai unit kerja yang bertanggung jawab atas pelaksanaan lapangan UU No. 14 Tahun 2008. Kedua, Biro Humas dan Luar Negeri dapat memberi insentif tambahan bagi personilnya yang berperan ganda baik sebagai staff Biro Humas maupun sebagai petugas informasi.
Peneliti menyadari bahwa penelitian tentang peran humas pemerintah dalam implementasi UU No. 14 Tahun 2008 ini masih belum sempurna dan dapat dikembangkan melalui penelitian-penelitian lain di masa yang akan datang. Pada dasarnya penelitian ini adalah penelitian yang fleksibel, dalam arti dapat diaplikasikan pada badan publik mana saja. Oleh karenanya, peneliti mengharapkan ada pihak lain yang dapat melakukan penelitian serupa namun dengan objek penelitian yang berbeda. Tujuannya adalah untuk melihat sejauh mana implementasi UU No. 14 Tahun 2008 itu dijalankan dan mengetahui sejauh mana aktivitas keterlibatan humas dalam implementasi undang-undang tersebut di
155 badan publik lainnya. Dengan hadirnya penelitian serupa dengan objek yang berbeda, diharapkan dapat dilakukan komparasi untuk menilai peran humas dan implementasi undang-undang di sejumlah badan publik di Indonesia.
Selain itu, pada penelitian ini peneliti membatasi permasalahan hanya pada perkara tentang implementasi UU No. 14 Tahun 2008. Ke depannya peneliti mengharapkan ada penelitian lain yang memiliki cakupan permasalahan yang lebih luas terkait humas pemerintah. Atau mungkin permasalahan yang spesifik namun menarik untuk diteliti. Misalnya, praktik komunikasi krisis oleh humas pemerintah, analisis peran manajerial humas pemerintah dengan menggunakan konsep excellence public relations, dsb.