• Tidak ada hasil yang ditemukan

1BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Sebanyak 85% perdagangan kelapa sawit dikuasai oleh Indonesia dan Malaysia. Kelapa sawit dikembangkan oleh perkebunan besar negara, perkebunan besar swasta dan perkebunan rakyat. Pengembangan agribisnis kelapa sawit Indonesia harus dilakukan secara terpadu dan selaras dengan semua subsistem yang ada di wilayahnya (Badrun, 2010). Agribisnis kelapa sawit akan berkembang dengan baik apabila semua subsistem berjalan tanpa ada gangguan.

Perkebunan kelapa sawit hingga saat ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan didominasi oleh dua pulau besar yaitu Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2012, luas areal perkebunan kelapa nasional seluas 5,913,585 ha dan menyumbang produksi sebesar 73,6% dari total produksi nasional sebesar 17,317,295 ton. Sementara Kalimantan menjadi pengguna lahan terbesar kedua yaitu 31% (2,814,782 Ha) dengan hasil 23,5% (5,520,207 ton). Pemerintah sedang gencar melakukan pembukaan areal-areal perkebunan baru, termasuk di daerah yang selama ini belum ekstensif dalam menanam kelapa sawit seperti di Sulawesi dan Papua.

Keragaman produktivitas kelapa sawit antara lain disebabkan oleh beragamnya karakteristik lahan, oleh karena itu untuk mencapai produksi yang optimum diperlukan informasi tentang karakteristik lahan. Informasi ini sangat penting untuk manajemen areal perkebunan secara spesifik. Karakteristik fisik lahan merupakan faktor penting dalam budidaya tanaman kelapa sawit. Lahan yang curam misalnya, memiliki potensi terjadinya kerusakan tanah akibat erosi yang menyebabkan turunnya kandungan bahan organik tanah, kandungan unsur hara dan ketersediaan air tanah bagi tanaman. Lebih lanjut, Yahya et al (2010)

(2)

menyatakan tanah-tanah yang mengalami erosi berat umumnya memiliki tingkat kepadatan yang tinggi sebagai akibat terkikisnya lapisan atas tanah yang lebih gembur.

Kesesuaian lahan perkebunan kelapa sawit mempengaruhi hasil kelapa sawit itu sendiri, karena produksi tanaman merupakan fungsi dari faktor-faktor internal (sifat genetis tanaman) dan eksternal seperti manajemen pengelolaan tanaman, sifat tanah dan iklim. Oleh karena itu, variasi kesuburan tanah antar lokasi penanaman kelapa sawit berpengaruh nyata terhadap hasil tanaman. Semakin sesuai lahan yang digunakan terhadap syarat tumbuh kelapa sawit, maka pengelolaan yang dilakukan semakin mudah dan menghasilkan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan lahan yang tingkat kesesuaiannya lebih rendah (Pahan, 2006).

Evaluasi kesesuaian lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan tertentu. Hasil dari evaluasi kesesuaian lahan bermanfaat untuk perencanaan penggunaan lahan yang rasional. Dengan demikian jika lahan sesuai untuk tanaman kelapa sawit, maka lahan dapat digunakan secara optimal dan lestari. Oleh itu, kajian kesesuaian lahan untuk kelapa sawit merupakan salah satu mata rantai yang perlu dilakukan agar rencana usaha kelapa sawit dapat tersusun dengan baik. Untuk memperoleh informasi maksimal mengenai kondisi lahan lokasi yang ditanami kelapa sawit, perlu dilakukan kajian karakteristik lahan dan produktivitasnya.

Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa proses evaluasi lahan untuk rencana usaha kelapa sawit demikian penting, sedangkan sistem untuk memilih lahan kelapa sawit belum ada. Sekarang ini penentuan lahan kelapa sawit masih dilakukan secara tradisional atau dengan hanya melihat berdasarkan kriteria-kriteria pengalaman yang telah lalu bukan berdasarkan kriteria-kriteria-kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh instansi atau badan yang berkompeten. Hal ini bisa menjadi kesalahan dalam menentukan lahan yang dipilih yang berakibat pada kerugian, baik dari segi waktu maupun finansial.

(3)

Berdasarkan permasalahan diatas, maka perlu diadakan suatu penelitian untuk menentukan lahan yang sesuai bagi perkebunan kelapa sawit berdasarkan standar kriteria yang telah ditetapkan oleh BBSDLP (Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian) dengan metode profile matching, Analytical Hierarchy Process dan TOPSIS (Technique for Other Preference by Similarity to Ideal Solution). Metode profile matching digunakan untuk menghitung nilai selisih GAP antara kriteria dengan data kondisi lahan serta menghitung nilai tingkat kecocokan dari masing-masing alternatif yang telah ditentukan sehingga menghasilkan bobot yang obyektif. Profile Matching dipilih karena metode tersebut merupakan suatu mekanisme pengambilan keputusan dengan mengasumsikan bahwa terdapat tingkat variabel prediktor ideal yang harus dipenuhi suatu lingkungan, bukannya tingkat minimal yang harus dipenuhi atau dilewati (Kusrini, 2007 dalam Iqbal dan Hartati, 2011), pada penelitian ini metode Profile Matching ini memungkinkan target ideal -syarat ideal tumbuh kelapa sawit- dari kriteria-kriteria pemilihan kelapa sawit bisa dihitung bobotnya untuk masing-masing alternatif. Metode

Analytical Hierarchy Process sangat cocok digunakan untuk menghitung bobot

prioritas dari tiap kriteria karena bersifat obyektif, yang nantinya menjadi acuan perangkingan yang dilakukan dengan metode TOPSIS. Pendekatan TOPSIS dipilih karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya (Shih, dkk., 2007 dalam Yayin, 2011): (1) Menunjukkan suatu logika berpikir yang merepresentasikan pilihan-pilihan manusia. (2) Menunjukkan suatu nilai skala alternatif terbaik dan terburuk secara simultan. (3) Menunjukkan perhitungan yang sederhana.

Semua metode yang telah disebutkan diatas dikombinasikan untuk membantu memecahkan persoalan yang telah dipaparkan tersebut. Penggabungan metode AHP dan TOPSIS bertujuan untuk meningkatkan performansi dari metode TOPSIS. Menurut Utomo (2007), salah satu kelemahan metode TOPSIS adalah memerlukan bobot awal untuk pengolahan data selanjutnya. Pada metode TOPSIS klasik, nilai bobot pada setiap kriteria dan subkriteria ditentukan secara subyektif sesuai dengan keinginan dari pembuat keputusan. Sementara pada metode AHP,

(4)

akan menghasilkan bobot yang pada awalnya ditentukan secara subyektif dan kemudian dihitung secara obyektif. Oleh karena itu, metode TOPSIS yang pada penelitian ini yang berfungsi untuk merangking alternatif perlu dilakukan penggabungan dengan metode lain untuk mendapatkan bobot awal yang obyektif. Aplikasi ini nantinya bertujuan untuk menampilkan hasil keputusan atau lokasi rekomendasi lahan yang sesuai atau cocok untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan diselesaikan adalah dikarenakan proses evaluasi kesesuaian lahan untuk kelapa sawit demikian penting, sedangkan sistem untuk memilih lahan kelapa sawit belum ada. Sekarang ini penentuan lahan kelapa sawit masih dilakukan secara tradisional atau dengan hanya melihat berdasarkan kriteria-kriteria pengalaman yang telah lalu bukan berdasarkan kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh instansi atau badan yang berkompeten. Hal ini bisa menjadi kesalahan dalam menentukan lahan yang dipilih yang berakibat pada kerugian, baik dari segi waktu maupun finansial. Oleh karena itu akan dibuat sistem pendukung keputusan untuk menentukan lahan kelapa sawit berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh BBSDLP.

1.3 Batasan Masalah

Dalam pelaksanaan penelitian ini, berbagai permasalahan yang muncul dalam konteks objek yang lebih luas akan dibatasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan sehingga pembahasan penelitian nantinya lebih bisa mencapai tujuan dan sasaran yang diharapkan. Dalam hal ini ada beberapa masalah yang dibatasi antara lain :

1. kriteria yang digunakan hanya pada dimensi kesesuaian lahan berupa temperature rerata (0C), curah hujan (mm/tahun), lama bulan kering, drainase, tekstur media perakaran, kedalaman tanah (cm), KTK liat (cmol), kejenuhan basa (KB), pH tanah, C-Organik, tingkat bahaya erosi, bahaya banjir, dan batuan di permukaan (%).

(5)

2. Penelitian ini menggunakan data pengujian alternatif sebanyak 4 lahan di Kecamatan Payung Kabupaten Karo Sumatera Utara.

3. Metode AHP digunakan hanya sampai pada perhitungan bobot kriteria, sedangkan perangkingan menggunakan TOPSIS.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan metode profile matching, AHP

(Analytical Hierarchy Process) dan TOPSIS pada sistem pendukung keputusan

untuk menentukan lahan yang sesuai untuk perkebunan kelapa sawit yang bersifat dinamis berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu pengambil keputusan untuk memilih lahan yang sesuai untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh BBSDLP (Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian), sehingga lahan yang yang dipilih nantinya bisa memberikan hasil yang maksimal.

1.6 Keaslian Penelitian

Meskipun sudah banyak yang melakukan penelitian dengan topik sistem pendukung keputusan, namun berdasarkan tinjauan pustaka, tentang sistem pendukung keputusan untuk menentukan kesesuaian lahan untuk perkebunan kelapa sawit dengan gabungan metode profile matching, Analytical Hierarchy

Referensi

Dokumen terkait

Minyak pelumas pada suatu sistem permesinan berfungsi untuk memperkecil- gesekan-gesekan pada permukaan komponen komponen yang bergerak dan bersinggungan. selain itu minyak

Hal ini disebabkan pada tegangan diatas 6 Volt (seperti 7.5 Volt dan 9 Volt) akan menghasilkan kecepatan fluida lebih tinggi yang akan mempengaruhi perpindahan panas, di

Pengertian ini sejalan dengan pendapat Doney dan Cannon (1997, p. 36) yang menyatakan bahwa rasa percaya timbul sebagai hasil dari kehandalan dan integritas mitra yang

Pada penelitian ini dilakukan pemisahan senyawa antioksidan secara kolom kromatografi dan fraksi-fraksi yang terkumpul dari diuji daya antioksidannya secara kualitatif dan

Rizky Utari dari STMIK AMIKOM Yogyakarta, pada penelitian skripsinya pada tahun 2014 yang berjudul “Perancangan Video Infografis PT.Bumi Artha Nugraha sebagai

Untuk menentukan adanya perbedaan antar perlakuan digunakan uji F, selanjutnya beda nyata antar sampel ditentukan dengan Duncan’s Multiples Range Test (DMRT).

Berdasarkan hal-hal yang telah penulis uraikan dalam pembahasan mengenai kesesuaian penetapan tersangka korupsi oleh KPK tanpa bukti permulaan yang cukup dengan asas due of

Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai kasus tersebut dengan menggunakan piranti lunak BREEZE Incident Analyst Software untuk mengetahui seberapa jauh