• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan rancangan Cross Sectional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 3 METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan rancangan Cross Sectional"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan rancangan Cross Sectional yaitu untuk melakukan pengukuran variabel-variabelnya dilakukan hanya satu kali pada satu saat (Sastroasmoro, 2008). dan pada penelitian ini dilakukan untuk mempelajari hubungan status gizi dan status imunisasi dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita di Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai tahun 2016.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai. Adapun alasan pemilihan lokasi ini berdasarkan pertimbangan banyaknya balita yang dirawat karena menderita ISPA dan belum pernah dilakukan penelitian tentang hubungan status gizi dan status imunisasi dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Pusksmas tersebut.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai dengan melakukan penelusuran kepustakaan, surve awal, Konsultasi judul, penyusunan proposal, seminar kolokium, pengumpulan data,

(2)

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi Penelitian

Populasi adalah seluruh balita (1-5 tahun) yang tercatat di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai, yaitu sebanyak 2459 responden (data Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai).

3.3.2. Sampel Penelitian

Sampel adalah objek bagian yang diambil dari keseluruhan subjek yang diteliti dianggap mewakili populasi penelitian ini (Sastroasmoro, 2008). Pengambilan sampel dalam penelitian berdasarkan atas tujuan tertentu dengan kreteria inklusi : 1. Balita usia 1-5 tahun

2. Memiliki catatan KMS / KIA

Besar sampel yang diperlukan diperoleh dengan menggunakan rumus

(Lemeshow, 1997) sebagai berikut :

n= 2 2 1 0 0 2 1 / 1 1 o a a P P P Pa Z P P Z Keterangan

n : Besar sampel minimal

Z1-α/2 : Nilai distribusi baku normal (tabel Z) pada α=5% sebesar 1,96 Z1-ß : Nilai distribusi baku normal (tabel Z) pada ß =20% sebesar 0,842 Po : Proporsi balita yang menderita ISPA 19,64 % dibulatkan 20 % = 0,2 Pa : Perkiraan proporsi balita penderita ISPA yang diharapkan sebesar 0,3

(3)

Pa-Po : Perkiraan selisih proporsi yang diteliti dengan proporsi di populasi sebesar 10%

Dengan menggunakan rumus di atas, maka besar sampel dalam penelitian ini dapat dihitung sebagai berikut:

n= 2 2 368 , 0 468 , 0 468 , 0 1 468 , 0 842 , 0 368 , 0 1 368 , 0 96 . 1 n= 2 2 2 . 0 3 . 0 ) 385 . 0 784 . 0 ( n = 136,6561 n = 137 responden

Berdasarkan perhitungan besar sampel di atas, didapatkan besar sampel yang diteliti sebesar 137 responden. Cara pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana sesuai kreteria berdasarkan proporsi masing-masing sampel disetiap posyandu. Penentuan jumlah sampel dengan menggunakan rumus dibawah ini :

ni = Ni x (n/N) Keterangan :

N = Jumlah populasi target

n = Jumlah sampel yang dibutuhkan Ni = Jumlah populasi setiap posyandu

(4)

Tabel 3.1. Jumlah Sampel yang Dibutuhkan dari Setiap Posyandu No Posyandu Jumlah Populasi balita 1-5 tahun Rumus sampel Jumlah Sampel yang dibutuhkan setiap posyandu 1. Boegenvil 178 178 x (137 / 2459) 10 2. Anggrek 154 154 x (137 / 2459) 9 3. Asrama Kompi 125 125 x (137 / 2459) 7 4. Cempaka 172 172 x (137 / 2459) 10 5. Melati 272 272 x (137 / 2459) 15 6. Kenanga 158 158 x (137 / 2459) 9 7. Asrama Rudal 146 146 x (137 / 2459) 8 8. Teratai 266 266 x (137 / 2459) 14 9. Murai 178 178 x (137 / 2459) 10 10. Melati 147 147 x (137 / 2459) 8 11. Nirwana 274 274 x (137 / 2459) 15 12. Dahlia 280 282 x (137 / 2459) 16 13. Sedap Malam 109 109 x (137 / 2459) 6 Total 2459 2459 x (137/2459) 137

Sehingga sampel yang diambil untuk mewakili dari setiap responden dari masing-masing posyandu ditentukan secara acidental sampling yaitu balita yang kebetulan ada pada saat penelitian dilaksanakan sampai dengan mencukupi sampel yang dibutuhkan.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan 2 cara pengumpulan data yaitu : 3.4.1. Data Primer

Data primer dilakukan untuk mendapatkan hasil pengukuran berat badan / umur (BB/U). Untuk mengetahui berat badan dilakukan penimbangan dengan menggunakan Dacin dengan ketelitian 0,1 kg dengan ketentuan ambang batas

(5)

(Z-skor), sedangkan untuk mengetahui umur dilakukan dengan wawancara atau dengan melihat catatan akte kelahiran anak.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder yang dikumpulkan meliputi catatan balita yang terdaftar di Wilaya Kerja Puskesmas Bukit Kapur dan data status imunisasi melalui KMS atau buku KIA.

3.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.5.1 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) sedangkan variabel independen dalam penelitian ini adalah status gizi dan status imunisasi balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai. 3.5.2 Definisi Operasional

1. Infeksi Saluran pernapasan akut (ISPA) adalah penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian dari saluran nafas yang didiagnosa oleh dr.spesialis atau dr.umum / Ka.Puskesmas di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai. 2. Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang (buruk, baik, cukup, kurang) yang

dinilai berdasarkan BB/U dengan menggunakan penilaian tabel Z-Score.

3. Status imunisasi adalah keadaan seseorang / individu dalam mendapatkan vaksin untuk kekebalan tubuhnya secara lengkap atau tidak.

(6)

3.6 Metode Pengukuran

3.6.1 Pengukuran Variabel Dependen

Aspek pengukuran variabel dependen adalah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan variabel independen status gizi dan status imunisasi sehingga jawaban responden dikategorikan atas :

Tabel 3.2 Aspek Pengukuran Variabel Penelitian

Variabel Alat Ukur Kategori Skala Ukur

Status gizi (BB/U) Pengukuran (Dacin 0,1 Kg) a. Gizi buruk ( <-3 SD) b. Gizi kurang (-3 SD sampai dengan <-2 SD) c. Gizi baik -2 SD sampai

dengan 2 SD ) d. Gizi lebih (> 2 SD)

Ordinal

Status imunisasi

KMS / KIA a. Lengkap ( jika catatan KMS balita sudah lengkap mendapatkan imunisasi dasar meliputi HB-0 1x, BCG 1x, DPT-HB 3x, polio 4x, dan campak 1x dalam kurun waktu sembilan bulan.

b. Tidak lengkap ( jika catatan KMS balita tidak lengkap mendapatkan salah satu jenis dan

frekuensi dalam

pemberian imunisasi dasar

Ordinal ISPA pada balita Diagnosa Dr.umum/ ka.Puskesmas a. ISPA b. Tidak ISPA Ordinal

(7)

3.7 Metode Pengolahan dan Analisi Data 3.7.1 Metode Pengolahan Data

Setelah pengukuran berat badan dan lembar observasi umur dan status imunisasi diisi maka dapat dilakukan pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Editing, yaitu meneliti kembali apakah lembar observasi sudah dilakukan semua

atau belum. Editing dilakukan di tempat pengumpulan data sehingga jika ada kekurangan data dapat segera dikonfirmasi kepada responden.

2. Coding, yaitu mengklasifikasikan jawaban-jawaban yang ada menurut

macamnya. Klasifikasi dilakukan dengan jalan menandai masing-masing jawaban dengan kode berupa angka kemudian dimasukkan dalam lembaran tabel kerja guna mempermudah pembacaan.

3. Tabulating, yaitu langkah memasukkan data-data hasil penelitian ke dalam

tabel-tabel sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.

4. Entery data yaitu proses memasukkan data dalam kategori tertentu untuk

dilakukan analisis data dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS.

5. Cleaning, yaitu memeriksa kembali data yang sudah dientry apakah ada

(8)

3.7.2 Analisis Data 1. Analisis Univariat

Analisa data yang dilakukan secara univariat adalah melihat gambaran mengenai variabel independen yaitu umur, dan berat badan (BB) dan kelengkapan imunisasi balita, sedangkan variabel dependennya adalah kejadian ISPA pada balita 2. Analisis Bivariat

Analisis ini menggunakan uji statistik dengan uji Chi-Square pada taraf kepercayaan 95% (p<0.05). Jika hasil analisis statistik diperoleh p<0.05 berarti Ho ditolak atau dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status gizi dan status imunisasi terhadap kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur kota Dumai tahun 2016.

3. Analisis Multivariat

Analisis ini merupakan analisis lanjutan yang memungkinkan dilakukan untuk mengetahui variabel independen yang paling dominan berhubungan dengan variabel dependen dengan menggunakan uji regresi logistik berganda pada tingkat kepercayaan 95%.

(9)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Puskesmas Bukit Kapur terletak pada pinggiran jalan lintas timur Dumai-Pekanbaru, yang berdiri sejak tahun lebih kurang 1984. Sekarang ini puskesmas dibagi menjadi 2 yaitu puskesmas rawat jalan dan puskesmas rawat inap. Puskesmas Kecamatan Bukit Kapur merupakan salah satu percontohan karena dari sekian banyak Puskesmas yang ada dikota sejak itu hanya Puskesmas Bukit Kapur yang memiliki instalasi gawat darurat (IGD) dan unit perawatan yang memiliki 44 staff yang mana termasuk di dalamnya ada 10 Bidan Desa. Wilayahnya luas dengan jarak tempuh yang paling sulit adalah menuju gurun panjang.

Iklim di Kecamatan Bukit Kapur pada umumnya sama dengan iklim di kota Dumai yang trofis basah dengan curah hujan rata-rata antara 200-300 mm, sedangkan untuk jenis tanah di Kecamatan Bukit Kapur pada umumnya adalah tanah pasir dan tanah sedang ataupun tanah gambut. Kondisi air dan tanah di Kecamatan Bukit Kapur berasal dari sumur gali dan sumur pompa pada umumnya dengan kedalaman 1-2 m dan keadaan air pada umumnya jernih dan bersih.

Selain itu Puskesmas Bukit Kapur terletak dikawasan pintu masuk dan jalur lintas timur antara lain Dumai-Pekanbaru dengan luas wilayah 200,00 Km². Secara umum hubungan ke kota kecamatan dapat dilalui kendaraan roda empat.

(10)

Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur terdiri dari 2 kelurahan, yaitu : 1. Kelurahan Bagan Besar

2. Kelurahan Bukit Nenas

Adapun batas wilayah kerja puskesmas Bukit Kapur adalah sebagai berikut : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Dumai Timur

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Mandau ( Kabupaten Bengkalis ) 3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Dumai Timur

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Mumugo, Kecamatan Dumai Barat

4.2 Analisa Univariat

4.2.1 Karakteristik Responden

Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 137 responden. Pada penelitian ini, karakteristik responden yang dilihat meliputi umur dan jenis kelamin. Karakteristik responden dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 4.1 yang menunjukkan bahwa berdasarkan umur, proporsi umur mayoritas pada umur 12 bulan sebesar 36,5%.

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Umur Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Umur n % 0-12 bulan 50 36,5 13-24 bulan 36 26,3 25-36 bulan 26 19,0 37-60 bulan 25 18,2 Total 137 100,0

(11)

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dalam penelitian ini dapat dilihat dalam Tabel 4.2 yaitu mayoritas jenis perempuan sebesar 56,9% dan laki-laki sebesar 43,1%.

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Jenis Kelamin n %

Laki-laki 59 43,1

Perempuan 78 56,9

Total 137 100,0

4.2.2 Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai diperoleh bahwa mayoritas status gizi baik (gizi baik dan lebih) sebanyak 124 responden (90,5%), gizi kurang (gizi kurang dan buruk) sebanyak 13 responden (9,5%)

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Status Gizi n Persentase (%)

Baik 124 90,5

Kurang 13 9,5

Jumlah 137 100,0

4.2.3 Kelengkapan Imunisasi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 137 responden tentang kelengkapan imunisasi balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai,

(12)

menunjukkan bahwa mayoritas imunisasi lengkap sebanyak 125 responden (91,2%) dan imunusasi yang tidak lengkap sebanyak 12 responden (8,8%).

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Kelengkapan Imunisasi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Imunisasi n Persentase (%)

Lengkap 125 91.2

Tidak lengkap 12 8.8

Jumlah 137 100,0

4.2.4 Kejadian ISPA Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 137 balita dengan tentang kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai, menunjukkan bahwa mayoritas balita tidak ISPA sebanyak 105 responden (76,6%) dan balita yang mengalami ISPA sebanyak 32 responden (23,4%).

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Kejadian ISPA n Persentase (%)

Tidak ISPA 105 76,6

ISPA 32 23,4

Jumlah 137 100,0

4.2.5 Kejadian ISPA Berdasarkan Umur pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 50 responden yang umurnya 0-12 bulan sebanyak 8 responden (16,0%) yang mengalami ISPA. 36 responden yang umurnya 12-24 bulan sebanyak 7 responden (19,4%) yang

(13)

mengalami ISPA. 26 responden yang umurnya 25-36 bulan sebanyak 8 responden (30,8%) yang mengalami ISPA. 11 balita yang umurnya 37- 48 bulan sebanyak 4 responden (36,4%), sedangkan 14 responden yang umurnya 49-60 bulan sebanyak 5 responden (35,7%) yang mengalami ISPA.

Tabel 4.6 Distribusi Kejadian ISPA Berdasarkan Umur di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Umur

ISPA

Jumlah Tidak ISPA ISPA

n % n % n % 0-12 bulan 42 84,0 8 16,0 50 100,0 13-24 bulan 29 80,6 7 19,4 36 100,0 25-36 bulan 18 69,2 8 30,8 26 100,0 37-48 bulan 7 63,6 4 36,4 11 100,0 49-60 buan 9 64,3 5 35,7 14 100,0

4.2.6 Kejadian ISPA Berdasarkan Jenis Kelamin pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 78 responden yang berjenis kelamin perempuan yaitu 59 responden (75,6%) yang tidak mengalami kejadian ISPA sedangkan yang mengalami ISPA sebanyak 19 responden (24,4%). 59 responden yang berjenis kelamin laki-laki menunjukkan bahwa sebanyak 46 responden (78,0%) tidak mengalami ISPA, sedangkan yang mengalami ISPA sebanyak 13 balita (22,0%).

(14)

Tabel 4.7 Distribusi Kejadian ISPA Berdasarkan Jenis Kelamin pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Jenis Kelamin

ISPA

Jumlah

Tidak ISPA ISPA

n % n % n %

Perempuan 59 75,6 19 24,4 78 100,0

Laki-laki 46 78,0 13 22,0 59 100,0

4.3 Analisis Bivariat

4.3.1 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 126 responden yang status gizinya baik (gizi baik dan lebih) yaitu 100 responden (80,6%) yang tidak mengalami kejadian ISPA dan yang mengalami ISPA sebanyak 24 responden (19,4%). Sedangkan 11 responden yang gizinya tidak baik (gizi kurang dan buruk ) menunjukkan bahwa sebanyak 5 responden (38,5%) tidak mengalami ISPA, sedangkan yang mengalami ISPA sebanyak 8 responden (61,5%). Hasil uji Chi-squre menunjukkan p=0,001<0,05 yang artinya terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita dengan PR=2,097.

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Status Gizi

ISPA

Jumlah

p.

Tidak ISPA ISPA PR

n % n % N %

Baik 100 80,6 24 19,4 124 100,0

0,001 2,097 Kurang baik 5 38,5 8 61,5 13 100,0

(15)

4.3.2 Hubungan Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 125 responden yang imunisasinya lengkap terdapat 100 responden (80,0%) yang tidak mengalami kejadian ISPA sedangkan yang mengalami ISPA sebanyak 25 responden (20,0%). Sedangkan 12 responden yang status imunisasinya tidak lengkap menunjukkan bahwa sebanyak 5 responden (41,7%) tidak mengalami ISPA, dan 7 responden (58,3%) mengalami ISPA. Hasil uji Chi-squre menunjukkan p=0,003<0,05 yang artinya terdapat hubungan antara kelengkapan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita dengan PR=1,920.

Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Imunisasi

ISPA

Jumlah

p.

Tidak ISPA ISPA PR

n % n % n %

Lengkap 100 80,0 25 20,0 125 100,0

0,003 1,920 Tidak lengkap 5 41,7 7 58,3 12 100,0

4.4 Analisis Multivariat

Untuk menganalisis hubungan status gizi dan imunisasi terhadap kejadian ISPA pada balita menggunakan uji regresi logistik ganda (multiple logistic regression), karena variabel terikatnya 2 kategori yaitu tidak ISPA dan ISPA. Regresi logistik ganda untuk menganalisis hubungan beberapa variabel bebas terhadap variabel terikat kategorik yang bersifat dikotomi atau binary. Variabel yang dimasukkan dalam

(16)

model prediksi regresi logistik ganda adalah variabel yang mempunyai nilai p<0,25 pada analisis bivariatnya.

Tabel 4.10 Hasil Analisis yang Memenuhi Asumsi Multivariat (Kandidat)

Variabel P

Status Gizi 0,001*

Imunisasi 0,003*

Keterangan : * variabel yang memenuhi syarat

Variabel yang memiliki nilai probabilitas (p) lebih kecil dari 0,25 adalah variabel status gizi dan status imunisasi. Selanjutnya seluruh variabel tersebut dengan metode Backward LR dimasukkan secara bersama-sama kemudian variabel yang nilai p>0,05 akan dikeluarkan secara otomatis dari komputer sehingga dapat variabel yang berpengaruh. Variabel yang terpilih dalam model akhir regresi logistik ganda dapat dilihat pada Tabel 4.11 berikut :

Tabel 4.11 Hasil Akhir Uji Regresi Logistik Berganda

Variabel B Sig. Exp (B)

Status Gizi 1,651 0,010 5,212

Imunisasi 1,413 0,034 4,108

Konstanta -1,552

Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa status gizi dan status imunisasi berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai dengan nilai p<0.05. Status gizi memiliki nilai Exp (B) = 5,212 artinya balita yang status gizinya tidak baik memiliki peluang mengalami ISPA sebesar 5,212 kali lebih besar dibanding dengan balita yang status gizinya baik.

(17)

Ada hubungan imunisasi dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai dengan nilai p=0,034 dan nilai Exp (B) = 4,108 artinya balita yang imunisasinya tidak lengkap memiliki peluang mengalami ISPA sebesar 4,108 kali lebih besar dibanding dengan balita yang imunisasinya lengkap.

Nilai Percentage Correct diperoleh sebesar 80,3 yang artinya variabel status gizi dan imunisasi menjelaskan berhubungan terhadap kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016 sebesar 80,3%, sedangkan sisanya sebesar 19,7% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak termasuk dalam variabel penelitian ini.

Model persamaan regresi logistik berganda yang dapat memprediksi kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016 adalah sebagai berikut :

) ( 413 , 1 ) ( 651 , 1 552 , 1 ( 1 2 1 1 ) ( X X e y p Keterangan :

P : Probabilitas Kejadian ISPA pada Balita e : Bilangan Alamiah 2,71828

X1 : Status Gizi, koefisien regresi 1,651 X2 : Imunisasi, koefisien regresi 1,413 a : Konstanta -1,552

(18)

7 , 5 6220 , 5 3.71828 1 p 2,71828 1 1 1 1 1,512 1,512 ) 413 , 1 651 , 1 552 , 1 ( p p p e p

Balita yang status gizinya kurang baik dan status imunisasinya tidak lengkap berpeluang mengalami ISPA sebesar 82 %.

(19)

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Status gizi dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua kategori yaitu Gizi baik dan Kurang baik. Hasil penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai menunjukkan bahwa mayoritas balita berada pada status gizi baik (90,5%). Hasil analisis bivariat didapatkan bahwa 124 balita yang status gizinya baik (gizi baik dan lebih) yaitu 100 balita (80,6%) yang tidak mengalami kejadian ISPA sedangkan yang mengalami ISPA sebanyak 24 balita (19,4%). 13 balita yang gizinya tidak baik (gizi kurang dan buruk) menunjukkan bahwa sebanyak 5 balita (38,5%) tidak mengalami ISPA, sedangkan yang mengalami ISPA sebanyak 8 (61,5%). Hasil uji Chi-squre menunjukkan p=0.001<0.05 dan nilai Exp (B) = 5,212 artinya balita yang status gizinya tidak baik memiliki peluang mengalami ISPA sebesar 5,212 kali lebih besar dibanding dengan balita yang status gizinya baik.

Dengan masih ditemukan gizi lebih, kurang dan gizi buruk walaupun hanya sebagian kecil, Balita tersebut harus mendapatkan perhatian khusus dari petugas kesehatan oleh karena itu sangat diwajibkan untuk mengikuti Posyandu sehingga berat badan balita dapat terkontrol dengan baik.

(20)

mengakibatkan kekurangan gizi, sehingga terjadi hubungan timbal balik antara status gizi dan penyakit infeksi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama.

Hasil penelitian sesuai dengan yang dilakukan oleh Mariza (2015) menyatakan bahwa ada hubungan status gizi dengan terjadinya ISPA pada bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Rajabasa Indah tahun 2013. Nilai OR 0,232 yang berarti responden dengan kategori status gizi kurang berpeluang memiliki bayi terkena ISPA sebesar 0,232 kali dibandingkan responden dengan kategori status gizi baik. Hal ini dimungkinkan karena bayi yang status gizinya baik dapat mempertahankan tubuhnya dari berbagai penyakit dan dapat membunuh bakteri dan virus penyebab ISPA. Kemungkinan yang kedua bayi yang status gizinya kurang kekebalan tubuhnya menurun dan dapat terserang bakteri dan virus penyebab ISPA.

Penelitian ini juga sejalan dengan yang dilakukan oleh Nuryanto tahun 2012, tentang hubungan status gizi terhadap terjadinya penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita. Hasil penelitian menyebutkan mempunyai hubungan bermakna dengan penyakit ISPA pada balita. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Sukmawati, Sri Dara Ayu tahun 2010, tentang hubungan status gizi, berat badan lahir, imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Tunikamaseang Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros. tahun 2008 tentang hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di URG anak RSU Dr. Sutomo Surabaya penelitian ini menunjukan bahwa ada hubungan antara status gizi dengan

(21)

artinya semakin baik status gizi balita maka semakin besar peluang tidak menderita ISPA.

Sedangkan hasil penelitian Kasmita, Yulastri dan Waryono (2009) di Sumatera Barat mengemukakan bahwa semakin baik status gizi anak balita, maka semakin rendah morbiditas anak terhadap penyakit infeksi, demikian juga sebaliknya jika semakin rendah status gizi anak maka semakin tinggi morbiditas anak terhadap penyakit infeksi

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal, dari organ - organ serta menghasilkan energy (Supriasa, 2007). Salah satu faktor yang berhubungan dengan status gizi anak adalah makanan dan penyakit infeksi yang mungkin diderita oleh anak. Anak yang mendapat makanan baik tetapi sering diserang penyakit infeksi dapat berhubungan dengan status gizinya. Begitu juga sebaliknya anak yang makanannya tidak cukup baik, daya tahan tubuhnya pasti lemah dan akhirnya mempengaruhi status gizinya (Soekirman, 2000 dalam Sihotang 2012).

Salah satu yang mempengaruhi ISPA tidak hanya status gizi. Faktor yang mempengaruhi ISPA salah satunya status gizi, masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahan pertumbuhan dan perkembangan kesehatan fisik, dan serta kondisi

(22)

Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari variabel pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi badan/panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan, dan panjang tungkai, Jika keseimbangan tadi terganggu, misalnya pengeluaran energi dan protein lebih banyak dibandingkan pemasukan maka akan terjadi kekurangan energi protein, dan jika berlangsung lama akan timbul masalah yang berat atau gizi buruk (Kemenkes RI, 2012). Jika suplai makanan yang dikonsumsi oleh anak balita baik maka status gizi anak balita juga ikut membaik. Namun mengkonsumsi makanan yang baik tidak cukup untuk membuat status gizi anak balita menjadi baik, tetapi anak balita harus selalu sehat dan terhindar dari penyakit infeksi (ISPA). Oleh sebab itu, penyakit infeksi dapat mempengaruhi status gizi seorang anak balita dan status gizi juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit infeksi.

Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa balita yang berstatus gizi baik juga mengalami ISPA hal ini dapat dimungkinkan oleh faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya ISPA pada balita seperti umur, pemberian ASI, keteraturan pemberian vitamin A, polusi udara, sosial ekonomi, imunisasi kepadatan dalam rumah dan BBLR. Selain itu didapatkan juga responden yang berstatus gizi kurang tetapi tidak terkena ISPA. Hal tersebut bisa terjadi kemungkinan karena faktor lingkungan tempat tinggalnya yang tidak ada yang menderita ISPA meskipun status gizinya kurang, atau bisa dikarenakan mereka sudah mendapatkan imunisasi yang

(23)

lengkap sehingga mereka mempunyai kekebalan tubuh terhadap serangan infeksi sehingga tidak mudah terkena ISPA.

Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti bahwasannya umur juga berhubungan dengan terjadinya ISPA yang mana pada hasil penelitian mayoritas penderita ISPA pada umur > 2 tahun. Peningkatan kasus yang terjadi dikarenakan terpaparnya balita dengan perokok aktif dilingkungan tempat tinggalnya dan keadaan lingkungan yang tercemar karena asap kebakaran hutan dan asap pabrik. Selain itu penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Sukmawati (2010) di wilayah kerja puskesmas Tunikamaseang Kabupaten Maros dimana terdapat 40,0% yang gizi kurang dan menderita ISPA sedangkan gizi baik 32,0% gizi baik dan tidak menderita ISPA. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,03 berarti Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita puskesmas Tunikamaseang kabupaten Maros (Sukmawati, 2010).

Sejalan juga dengan hasil penelitian Bandari TR, Chetri M (2013) bahwasannya status gizi balita di Kalpivatu Distrik Nepal di kategorikan berdasarkan BB/U didapatkan Balita berada pada -1 SD (30,8%), -2 SD dan -3 SD mencapai (25%). Pada balita mengalami malnutrisi harus segera mendapatkan penanganan lebih lanjut. Tingginya kejadian status gizi yang kurang baik pada balita dikarenakan kemiskinan sehingga balita ini mudah terserang penyakit terutama ISPA.

(24)

Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang menyatakan adanya hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA. Keadaan gizi kurang maupun buruk muncul sebagai faktor penyebab yang penting untuk terjadinya ISPA sehingga anak-anak yang gizi kurang atau buruk sering terjadi ISPA. Balita yang gizi kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang (Maryunani, 2010). Akibat lain adalah terjadinya penurunan produktifitas, menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit yang akan meningkatkan resiko kesakitan salah satunya adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) (Marimbi, 2010). Ditambahkan oleh Koch (2002) menyatakan bahwa prevalensi ISPA akan meningkat pada anak dengan status gizi buruk.

Sehingga peneliti berasumsi bahwasanya hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang ada. Keadaan status gizi yang kurang dan buruk selain dapat meningkatkan kejadian infeksi juga dapat memicu penurunan produktivitas dari perkembangan balita yang akan menghasilkan generasi penerus yang tidak produktif baik dalam pertumbuhan maupun dalam proses berpikir. Sehingga akan menghambat pencapaian derajat kesehatan dan pembentukan tenaga kerja yang dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas.

5.2 Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas balita di wilayah kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai status imunisasi sudah lengkap tetapi juga ada

(25)

tidak lengkap yaitu waktu akan diimunisasi balita dalam keadaan demam dan tidak mendapatkan dukungan dari suaminya. Hasil penelitian yang didapatkan bahwasannya balita yang terserang ISPA biasanya imunisasi yang diberikan secara tidak lengkap terutama pemberian imunisasi yang berhubungan dengan penyakit ISPA diantaranya pemberian imunisasi DPT dan Campak.

Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai dengan nilai p=0,034 dan nilai Exp (B) = 4,108 artinya balita yang imunisasinya tidak lengkap memiliki peluang mengalami ISPA sebesar 4,108 kali lebih besar dibanding dengan balita yang imunisasinya lengkap

Imunisasi adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kekebalan tubuh bayi dan anak sehingga dapat mencegah penyakit menular. Balita yang mendapatkan imunisasi lengkap seharusnya mempunyai kekebalan terhadap penyakit menular, termasuk ISPA. Dalam Depkes RI (2002) dalam Nurhidayah, Fatimah, & Rakhmawati (2008) dikatakan upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh keluarga agar balita tidak terkena penyakit infeksi saluran pernapasan akut diantaranya adalah dengan menjaga kondisi lingkungan yang bersih dan sehat, imunisasi lengkap dan pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan dan dilanjutkan sampai usia anak 2 tahun.

Seperti hasil penelitian Bipin Prajapati (2012) tentang study of risk factor of

(26)

mendapatkan makanan tambahan < 6 bulan (29,3%) dibandingkan dengan anak > 6 bulan (16.3%). Perbedaan ini sangat signifikan (x 2 = 12.19, p < 0.001). dan berdasarkan durasi menyusui, dari Total ibu, sekitar 71% yang memberikan asi < 6 bulan setelah melahirkan. Sehingga mempengaruhi pertumbuhan anak. Selain itu hasil status korelasi antara status imunisasi anak untuk kejadian ISPA yaitu anak yang mendapatkan imunisasi lengkap (9.1%) dibandingkan dengan anak yang tidak mendapatkan imunisasi tidak lengkap (33.7%). Ini perbedaan adalah signifikan secara statistik (x 2 = 33.87, p < 0.001). yang mengatakan adanya hubungan imunisasi dengan ISPA.

Penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Agus Salim (2012) yang mengatakan bahwa ada hubungan antara status imunisasi dengan penyakit ISPA. Pemberian imunisasi yang lengkap menjadikan resiko penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) semakin kecil. Bayi dan anak dibawah 5 tahun adalah kelompok yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih sangat rentan terhadap berbagai penyakit termasuk penyakit ISPA (Mahrama, Arsin, & Wahiduddin, 2012). Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Marhamah yang berjudul faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di desa Bontongan Kabupaten Enrekang tahun 2012. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dari 90 balita yang mendapat imunisasi tidak lengkap sebanyak 37 orang. Hasil dari uji Chi Square di peroleh nilai p = 0,045. Hasil penelitian Simare-Mare j menunjukkan nilai p= 0,038 maka ada hubungan yang signifikan antara status

(27)

menunjukkan bahwa balita yang status imunisasinya tidak lengkap mempunyai peluang 0, 253 kali untuk terjadi ISPA dan penyakit lain dibandingkan balita yang status imunisasinya lengkap.

Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertussis (DPT).

Sedangkan pemberian imunisasi lengkap yang sebaiknya sebelum anak mencapai usia 1 tahun, karena anak akan terlindung dari beberapa penyebab yang paling utama dari infeksi pernafasan termasuk batuk rejan, difteri, tuberkulosa dan campak. Penderita difteri, pertusis apabila tidak mendapat pertolongan yang memadai akan berakibat fatal. Dengan pemberian imunisasi berarti mencegah kematian pneumonia yang diakibatkan oleh komplikasi penyakit campak dan Pertusis (Kemenkes RI, 2007). ISPA yang terjadi pada balita tidak langsung dipengaruhi oleh imunisasi dasar lengkap walaupun tujuan pemberian imunisasi adalah untuk memberikan dan meningkatkan daya tahan tubuh. Kebanyakan kasus ISPA yang

(28)

lengkap (Layuk, 2012). Jadi, imunisasi dasar lengkap yang diberikan bukan untuk memberikan kekebalan tubuh terhadap ISPA secara langsung, melainkan hanya untuk mencegah faktor yang dapat memacu terjadinya ISPA.

Menurut Asumsi peneliti, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori yang ada karena masih ditemukannya responden yang status imunisasinya lengkap tetapi menderita ISPA. Hal ini dikarenakan responden terpapar dengan lingkungan yang tidak kondusif misalnya : terpapar polusi udara dari perokok aktif dan asap kebakaran hutan hutan yang belakangan sering melanda Kota Dumai.

Selain itu responden yang status imunisasinya lengkap tetapi menderita ISPA juga bisa disebabkan oleh kurangnya efektifitas dari fungsi vaksin yang diberikan kepada responden tersebut, seperti halnya kasus yang sedang marak belakangan ini yaitu produksi vaksin palsu sehingga harus dilakukan pemberian vaksinasi ulang untuk pencegahan hal yang mungkin terjadi.

(29)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Status gizi yang kurang dan buruk berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai karena dapat meningkatkan proses terjadinya infeksi pada sistem kerja tubuh.

2. Status imunisasi yang tidak lengkap berhubungan dengan kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai karena dapat mempengaruhi sistem imun / kekebalan tubuh pada balita.

3. Adanya hubungan status gizi dan status imunisasi pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai

4. Variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian ISPA adalah status gizi balita.

6.2 Saran

1. Diharapkan Dinas Kesehatan Kota Dumai dapat meningkatkan program pencegahan penyakit menular sehingga dapat menurunkan angka kesakitan khususnya pada kasus ISPA.

2. Diharapkan hasil penelitian yang didapat menjadi masukan setiap pelayanan kesehatan sehingga mampu memberikan konseling, informasi dan edukasi (KIE)

(30)

sehingga dapat menurunkan angka kesakitan balita yang disebabkan oleh ISPA maupun penyakit lain.

3. Diharapkan kepada petugas kesehatan Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai agar dapat meningkatkan penyuluhan-penyuluhan tentang kesehatan terutama yang menyangkut dengan penyakit ISPA

4. Diharapkan orang tua memberikan asupan gizi seimbang pada anaknya dan selalu memperhatikan status gizi balita dengan melalukan penimbangan yang dilakukan setiap bulan nya di posyandu.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, responden yang sebagian besar merupakan remaja pada fase remaja awal masih memiliki kemampuan yang terbatas dalam mencerna dan mengolah informasi dari

Berdasarkan beberapa tinjauan pustaka dari penelitian terdahulu yang telah dijabarkan, maka penulis akan membangun sistem pakar yang dapat mendiagnosa kelainan sistem ortopedi

85 Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi menuju Millenium Baru, (Jakarta: Logos, 1997), xxi.. yang masuk pesantren ketika masa kuliah saja menunjukan

Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitianBasri (2014) yang hanya menguji religiusitas dan gender sebagai variabel yang ikut mempengaruhi hubungan etika

Oleh karena itu, feromon seks berpeluang untuk dikembangkan pada areal yang lebih luas, terutama pada sentra produksi bawang merah dan endemis serangan hama ulat bawang.. Kata

Hal ini akan memberikan peluang kepada siswa untuk berlatih memahami tentang materi secara menyenangkan, efektif, dan efesien untuk mencapai tujuan

Sinar Sosro Palembang dokumen standar yang dibutuhkan yaitu, bagian pertama berisi dokumen kebijakan keamanan, ruang lingkup, penilaian resiko, statement of

Guru akan membimbing seluruh peserta didik selama proses pembelajaran dan mengarahkan supaya pembahasan materi sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.. Guru dan peserta didik