• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kondisi Perairan Samudera Hindia Bagian Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kondisi Perairan Samudera Hindia Bagian Timur"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

5

Perairan Samudera Hindia bagian Timur yang didalamnya termasuk perairan Barat Sumatera dan perairan Selatan Jawa merupakan perairan oseanis tropis yangmemiliki sifat unik dan kompleks karena perairan ini dipengaruhi oleh angin musim dan sistem angin pasat yang bergerak diatasnya (Martono dkk 2007). Pada Musim Barat yang bertepatan dengan musim hujan, berlangsung antara Desember – Februari. Sedangkan Musim Timur yang bertepatan dengan musim kemarau, berlangsung antara Juni – Agustus. Diantara kedua musim tersebut terdapat Musim Peralihan, masing-masing Musim Peralihan Pertama dari Musim Barat ke Musim Timur yang berlangsung pada bulan Maret – Mei, Musim Peralihan Kedua dari Musim Timur ke Musim Barat yang berlangsung pada bulan September – November (Wyrtki 1961 dan Nontji 2001).

Akibat dari pengaruh angin yang berhembus secara terus menerus dengan kecepatan yang cukup besar dan waktu yang lama, Wyrkti (1961) menyatakan bahwa pada bulan Mei sampai dengan Agustus perairan selatan Jawa dan Bali mengalami proses kenaikan massa air (upwelling). Penaikan massa air adalah proses naiknya massa air dari lapisan yang lebih dalam ke lapisan yang lebih atas atau lapisan permukaan, sehingga air laut di lapisan permukaan mempunyai suhu rendah, salinitas dan kandungan zat hara yang lebih tinggi dibandingkan dengan massa air disekitarnya (Sverdup et al. 1942 dalam Farita 2006).

Pariwono et al. (1998) mengemukakan bahwa pada bulan September dan Oktober SPL perairan Samudera Hindia bagian timur relatif rendah, yaitu rata-rata 26,57ºC, sedangkan pada Musim Barat SPL rata-rata naik menjadi 27,78ºC. Pada saat musim barat, sebaran SPL di Samudera Hindia tropis relatif hangat dengan kisaran nilai rata-rata sekitar 28,62oC dan di bagian selatan sebaran SPL lebih dingin. Pada

(2)

saat musim peralihan pertama, sebaran SPL makin hangat dengan kisaran nilai rata-rata sekitar 29,63oC dan di bagian selatan sebaran SPL lebih dingin makin melebar ke utara. Sedangkan pada musim timur, SPL mengalami perubahan di mana secara umum lebih dingin daripada musim barat dan musim peralihan pertama. Dan pada musim peralihan kedua, sebaran suhu permukaan laut relatif hangat. Di bagian timur Samudera Hindia tropis relatif lebih hangat daripada bagian barat sedangkan, di bagian selatan sebaran suhu permukaan laut lebih dingin (Martono dkk 2008).

Di perairan selatan Jawa yang merupakan bagian dari Samudera Hindia Timur kedalaman lapisan tercampur berkisar antara 40-75 meter, dan SPL umumnya lebih dari 27ºC (Purba 1995 dalam Farita, 2006). Secara umum letak lapisan termoklin di perairan Indonesia berada pada kedalaman 100 - 300 meter, dengan kisaran suhu antara 9ºC – 26ºC. Khususnya di perairan selatan Jawa, batas atas lapisan termoklin terletak pada kedalaman 45-75 meter dan batas bawah terletak pada kedalaman 150-200 meter (Purba 1995, dalam Farita 150-2006). Terkait dengan salinitas, menurut Pariwono dkk (1998), salinitas perairan Teluk Palabuhanratu yang merupakan bagian selatan Jawa berkisar 33,0 – 35,0 ‰. Keadaan kisaran perubahan salinitas tersebut relatif normal karena sejumlah besar organisme yang hidup di laut dapat bertahan pada batas toleransi kisaran salinitas berkisar antara 30 – 40 ‰ (Odum, 1971).

2.2 Indian Ocean Dipole Mode (IOD)

Interaksi yang cukup kuat antara atmosfer dan lautan di wilayah Samudera Hindia menghasilkan fenomena IOD yang didefinisikan sebagai suatu pola variabilitas di Samudera Hindia dimana SPL yang lebih rendah daripada biasanya ditemukan di lepas pantai barat Sumatera dan SPL yang lebih hangat terdapat di sebagian besar barat Samudera Hindia, yang diikuti oleh anomali angin dan presipitasi (Saji et al. 1999). Pada keadaan normalnya, di sebelah barat lautan tropis Hindia suhu permukaan laut mengalami pendinginan dan hangat di sebelah bagian timurnya dan ditandai dengan distribusi SPL yang cukup merata di sekitar ekuator.

(3)

Untuk mengetahui kekuatan fenomena IOD dapat diidentifikasi dengan menggunakan Dipole Mode Index atau disingkat DMI (Saji et al. 1999). Index ini berupa anomali SPL yang didefinisikan sebagai perbedaan anomali SPL Samudera Hindia bagian barat (50oBT – 70oBT, 10oLS – 10oLU) dan Samudera Hindia bagian timur (90oBT – 110oBT, 10oLS – ekuator) (Gambar 1). Nilai indeks anomali tersebut memberikan nilai korelasi sebesar 0,7 (Saji et al. 1999). Secara matematis, DMI dapat dituliskan sebagai :

 

  

 (4)

dengan SPL barat merupakan anomali SPL Samudera Hindia barat, ASPL timur merupakan anomali SPL Samudera Hindia timur dan sb merupakan simpangan baku dari kedua anomali di kedua lokasi tersebut (Santinira 2004 dalam Purwaningtyas 2009). Jika nilai DMI positif, maka disebut nilai IOD positif dan jika nilai DMI negatif, maka disebut IOD negatif.

Gambar 1. Samudera Hindia (A) Bagian Barat dan (B) Bagian Timur A

(4)

Berdasarkan nilai DMI tersebut maka dapat dikatakan Dipole Mode (DM) terbagi menjadi dua fase yaitu DM positif dan DM negatif. DM positif terjadi pada saat tekanan udara permukaan di atas wilayah barat Sumatera relatif bertekanan lebih tinggi dibandingkan wilayah timur Afrika yang bertekanan relatif rendah, sehingga udara mengalir dari bagian barat Sumatera ke bagian timur Afrika yang mengakibatkan pembentukkan awan-awan konvektif di wilayah Afrika dan menghasilkan curah hujan di atas normal, sedangkan di wilayah Sumatera terjadi kekeringan (Gambar 2A). DM negatif merupakan fenomena yang berlawanan dengan kondisi DM positif dimana pada DM negatif di wilayah Indonesia bagian Barat mengalami peningkatan curah hujan dari normalnya (Saji et al. 1999 ; Ashok et al. 2001 dalam Salim 2011) (Gambar 2B).

(A) (B)

Gambar 2. Fenomena (A) DM positif, (B) DM negatif (Sumber : http://www.jamstec.go.jp/ )

Saji et al. (1999) menjelaskan bahwa fenomena IOD terjadi sekitar bulan Mei dan puncaknya terjadi pada bulan Oktober atau November. Siklus IOD diawali dengan munculnya anomali SPL negatif di sekitar selat Lombok hingga selatan Jawa pada bulan Mei-Juni, bersamaan dengan itu terjadi anomali angin tenggara yang lemah di sekitar Jawa dan Sumatera. Selanjutnya pada bulan Juli-Agustus, anomali negatif SPL tersebut terus menguat dan semakin meluas sampai ke ekuator hingga pantai barat Sumatera, sementara itu anomali positif SPL mulai muncul di Samudera

(5)

Hindia bagian barat. Perbedaan tekanan di antara keduanya semakin memperkuat angin tenggara di sepanjang ekuator dan pantai barat Sumatera. Siklus ini mencapai puncaknya pada bulan Oktober dan selanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan November-Desember (Gambar 3).

Gambar 3. Siklus IOD. Perubahan SPL dan anomali angin permukaan dari bulan (a) Mei-Juni, (b) Juli-Agustus, (c) September-Oktober, (d) November-Desember. Anomali SPL dan angin dengan tingkat kepercayaan 90% ditunjukan oleh gradiasi warna dan panah tebal. (Sumber : Saji et al. 1999)

2.3 Suhu

Suhu laut merupakan salah satu parameter oseanografi yang sangat penting untuk mempelajari gejala-gejala fisika di lautan serta kaitannya dengan kehidupan organisme di laut (Nontji 2001). Menurut Gunarso (1988) perubahan suhu dapat menyebabkan terjadinya sirkulasi dan stratifikasi secara langsung maupun tidak langsung yang berpengaruh terhadap distrubusi organisme perairan.

Suhu laut di permukaan sangat bergantung pada jumlah panas yang diterima dari matahari. Daerah-daerah yang paling banyak menerima panas matahari adalah

(6)

daerah pada lintang 0o, sehingga suhu air laut tertinggi akan ditemukan pada daerah ekuator (Bada 2011). Indonesia sendiri memiliki SPL berkisar antara 28°C – 31°C dan pada daerah yang sering mengalami proses upwelling seperti perairan selatan Jawa suhu permukaan bisa turun sampai sekitar 25oC (Nontji 2001). Purba et al. (1997) mengemukakan bahwa sebaran suhu permukaan laut pada musim barat di perairan selatan Jawa – Bali berkisar antara 28oC – 29oC, sedangkan pada musim timur suhu permukaan laut selatan Jawa berkisar antara 26oC - 28oC.

Suhu perairan bervariasi baik secara horisontal maupun secara vertikal berdasarkan pada kedalamannya. Sebaran atau variasi suhu secara vertikal di perairan Indonesia pada umumnya dapat dibedakan menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan homogen (mixed layer) di bagian atas, lapisan termoklin di tengah, dan lapisan dingin di bagian bawah (Nontji 2001). Stratifikasi suhu di perairan Indonesia menurut Ilahude (1999) dalam Bada (2011), yaitu :

a. Lapisan homogen

Pada daerah tropis, pengadukan ini dapat mencapai kedalaman 50 – 100 m dengan suhu berkisar 26ºC – 30°C dan gradien tidak lebih dari 0,03ºC/m. Lapisan ini sangat dipengaruhi oleh musim dan letak geografis. Pada musim timur/tenggara, lapisan ini dapat mencapai 30 – 40 m dan bertambah dalam pada musim barat, yaitu mencapai 70 – 90 m sehingga mempengaruhi siklus vertikal dari perairan.

b. Lapisan termoklin

Lapisan termoklin dapat dibagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan termoklin atas (main thermocline) dan termoklin bawah (secondary thermocline). Suhu pada lapisan termoklin atas lebih cepat menurun dibandingkan dengan lapisan termoklin bawah, yaitu 27°C pada 100 m menjadi 8°C pada kedalaman 300 m atau rata – rata penurunan suhu dapat mencapai 9,5°C/100 m, sedangkan pada termoklin bawah suhu masih terus turun dari 8oC pada 300 m menjadi 4 °C pada kedalaman 600 m atau rata – rata penurunan mencapai 1,3°C/100 m.

(7)

c. Lapisan dalam

Pada lapisan ini suhu turun menjadi sangat lambat dengan gradien suhu hanya mencapai 0,05oC/100 m, lapisan ini dapat mencapai kedalaman 2500 m. Pada daerah tropis kisaran suhu di lapisan ini antara 2ºC – 4°C.

Suhu permukaan laut juga dipengaruhi oleh kondisi meteorologi seperti penguapan, curah hujan, suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin oleh karenanya suhu permukaan biasanya mengikut pola musiman. Seperti contoh pada saat Musim Peralihan, angin biasanya lemah dan permukaan laut akan tenang sehingga proses pemanasan dipermukaan terjadi sangat kuat. Akibatnya pada Musim Peralihan suhu lapisan permukaan mencapai maksimum (Nontji 2001).

2.4 Mixed Layer Depth (MLD)

Secara vertikal kolom perairan laut terbagi menjadi tiga lapisan (layer) yang dilihat berdasarkan suhu dan salinitasnya. Ketiga lapisan tersebut adalah lapisan homogen (homogeny layer), lapisan termoklin (thermocline layer) dan lapisan dalam (deep layer). Lapisan homegen merupakan lapisan permukaan dengan ketebalan berkisar antara 25 sampai 200 meter. Lapisan termoklin merupakan lapisan yang berada di bawah lapisan homogen dan memiliki gradient perubahan suhu dan salinitas yang drastis dengan kedalaman mencapai 300 meter. Lapisan terbawah di kolom perairan adalah deep layer yang berada di bawah lapisan termoklin.

Lapisan homogen terkadang disebut juga dengan mixed layer depth (MLD) karena pada lapisan ini terdapat pencampuran antara interaksi laut dengan atmosfer. Menurut Harsono (2012), lapisan tercampur (mixed layer) yang terdapat pada permukaan ditandai dengan lapisan yang hampir homogen dengan variasi suhu, salinitas dan densitas yang tidak mencolok (perubahannya sangat kecil). Wyrtki (1961) juga menjelaskan bahwa akibat adanya pergerakan massa air dan pergantian angin musim, maka lapisan homogen ini dapat bervariasi kedalamannya antara 0 – 100 meter pada Musim Barat dan 0 - 50 meter pada Musim Timur. Dalam istilah

(8)

sonar, MLD didefinisikan sebagai lapisan dari paras sampai kejelukan tempat kecepatan suara mencapai nilai maksimum (Gambar. 2) (Laevastu dan Hela 1970 dalam Syafrizal 1991).

Gambar 4. Sebaran suhu vertikal (sumber : http://www.coexploration.org) Harsono (2012) juga menjelaskan bahwa wilayah kedalaman yang hampir seragam secara vertikal ini disebabkan oleh proses turbulensi yang dibangkitkan energi yang berasal dari luar, berada di atas lapisan permukaan laut melalui perpindahan energi kinetik dan ataupun energi potensial. Semakin besar energi pembangkitnya maka proses mixing-nya juga semakin merambah ke lapisan yang lebih dalam atau dengan kata lain ketebalan mixed layer ini menjadi lebih besar. Menurut Soegiarto dan Birowo (1975) dalam Panjaitan (2009) ketebalan MLD di perairan Indonesia sendiri berkisar antara 50 – 100 meter dengan suhu berkisar antara 26oC – 30oC. Purba et al. (1997) juga menjelaskan bahwa ketebalan MLD di perairan selatan Jawa berkisar antara 40 – 75 meter dengan suhu permukaan laut umumnya lebih dari 27oC.

(9)

Gambar 5.

( Sumber :

Monterey dan deWitt (2000) menjelaskan terdapat tiga menghasilkan peta MLD:

1. Kriteria ketetapan perbedaan suhu

Dimana ∆T = T(z=0

suhu yang didasarkan pada suhu potensial akan memerlukan penggunaan profil salinitas beserta profil suhu in

cakupan MLD.

2. Kriteria ketetapan perbedaan densitas

Dimana ∆σ = merupakan perhitungan

persamaan internasional keadaan air laut ( Monterey dan deWitt 2000

3. Kriteria variabel perbedaan densitas

Dimana ∆T = 0,5

suhu, salinitas dan tekanan permukaan laut,

berdasarkan persamaan internasional keadaan air laut. Kriteria (3) menentukan . Profil Suhu dan Kecepatan Suara Terhadap Kedalaman

( Sumber : http://misclab.umeoce.maine.edu)

Monterey dan deWitt (2000) menjelaskan terdapat tiga menghasilkan peta MLD:

Kriteria ketetapan perbedaan suhu

∆T = 0,5oC = 273,65 oK

T = T(z=0)-T(z=MLD), dan T merupakan suhu in

suhu yang didasarkan pada suhu potensial akan memerlukan penggunaan profil beserta profil suhu in-situ, sehingga secara signifikan dapat mengurangi

Kriteria ketetapan perbedaan densitas ∆σ = 0,125 (sigma units)

= σ(z=0) – σ(z=MLD), σ = (ρ(g/cm3)-1)*103

merupakan perhitungan densitas potensial dari suhu dan salinitas berdasarkan pada persamaan internasional keadaan air laut (Fofonoff and Millard, 1983 Monterey dan deWitt 2000).

Kriteria variabel perbedaan densitas

∆σ = (∆σ/∆T)|S,P(S0,T0,P0)*∆T (sigma unit)

= 0,5oC dan istilah (∆σ/∆T)|S,P merupakan perhitungan untuk suhu, salinitas dan tekanan permukaan laut, (S0,T0,P0) pada setiap lokasi geografis berdasarkan persamaan internasional keadaan air laut. Kriteria (3) menentukan

Profil Suhu dan Kecepatan Suara Terhadap Kedalaman

Monterey dan deWitt (2000) menjelaskan terdapat tiga kriteria untuk

(1)

, dan T merupakan suhu in-situ. Kriteria suhu yang didasarkan pada suhu potensial akan memerlukan penggunaan profil , sehingga secara signifikan dapat mengurangi

(2)

= ρ(kg/m3)-1000, ρ densitas potensial dari suhu dan salinitas berdasarkan pada Fofonoff and Millard, 1983dalam

(3)

merupakan perhitungan untuk ) pada setiap lokasi geografis berdasarkan persamaan internasional keadaan air laut. Kriteria (3) menentukan

(10)

variabel perbedaan densitas ∆σ yang sesuai dengan ketetapan perbedaan suhu ∆T = 0,5oC memperhitungkan variabilitas geografis dari suhu permukaan laut dan salinitas. Hal ini berbeda dengan pernyataan Kara et al. (2003) yang menyatakan bahwakarakteristik MLD global dihasilkan berdasarkan definisi optimal yang menggunakan densitas yang memiliki kriteria ketetapan perbedaan suhu pada ∆T = 0,8oC dan variabel salinitas.

Perubahan klimatik dari MLD dapat ditentukan berdasarkan standar deviasi dimana pengukuran observasi untuk profil suhu dan salinitas menunjukan bahwa MLD berdasarkan kriteria suhu memiliki data yang lebih baik dibandingkan dengan MLD berdasarkan kriteria densitas yang membutuhkan data suhu dan salinitas (Monterey dan deWitt 2000). Pilihan untuk kriteria suhu dan kriteria densitas bergantung pada aplikasinya dimana kriteria suhu lebih sesuai untuk mempelajari kapasitas panas dari MLD, sedangkan kriteria densitas lebih sesuai untuk mempelajari campuran vertikal dari unsur hara. Monterey dan deWitt (2000) juga menjelaskan bahwa MLD berdasarkan kriteria suhu dengan MLD berdasarkan kriteria densitas terlihat sama pada daerah lintang tengah dan berbeda pada daerah kutub serta dinamis di daerah aktif seperti Kuroshio dan perpanjangan Gulf Stream.

2.5 Parameter Pendukung Variabilitas MLD

Selain suhu, parameter lain yang mendukung variabilitas MLD adalah densitas, salinitas, oksigen terlarut dan angin. Densitas merupakan keterkaitan antara suhu, salinitas dan tekanan. Densitas bertambah dengan bertambahnya salinitas dan tekanan serta berkurangnya temperatur. Densitas air laut lebih besar daripada air murni karena adanya kandungan garam-garam (Neumann dan Pierson 1966 dalam Rahmawati 2004). Salinitas merupakan jumlah bobot semua garam (dalam garam) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dalam satuan ppt (o/oo) (Nontji 2001). Distribusi salinitas secara horizontal dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu curah hujan, pengaliran air tawar ke laut secara langsung atau lewat sungai maupun pencairan es di laut (run off), penguapan, arus laut, mixing, gelombang dan turbulensi

(11)

(Wyrtki,1961). Sedangkan secara vertikal kaitannya dengan perbedaan radiasi sinar matahari yang diterima langsung di suatu daerah permukaan.

Oksigen terlarut atau DO (Disolve Oksigen) adalah salah satu unsur kimia yang sangat penting sebagai penunjang utama kehidupan berbagai organisme. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik (Salmin 2005). Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin 2000 dalam Salmin 2005). Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung dari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut (Salmin 2005). Adanya penambahan oksigen melalui proses fotosintesis dan pertukaran gas antara air dan udara menyebabkan kadar oksigen terlarut relatif lebih tinggi di lapisan permukaan (Simanjuntak 2007). Dengan bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik (Salmin 2005).

Angin merupakan salah satu aspek meteorologi yang sangat penting bagi permasalahan kelautan. Pola angin yang sangat berperan di Indonesia adalah Angin Musim (Monsoon), karena posisi Indonesia berada di antara Benua Asia dan Australia menyebabkan kawasan ini paling ideal untuk berkembangnya angin Musim (Nontji 2001). Angin berperan dalam variasi MLD karena angin merupakan salah satu energi yang menyebabkan terjadinya proses turbulensi pada lapisan permukaan. Semakin besar energi pembangkitnya maka proses mixing-nya juga semakin merambah ke lapisan yang lebih dalam atau dengan kata lain ketebalan mixed layer ini menjadi lebih besar (Harsono 2012).

2.6 Ikan Tuna

Ikan Tuna merupakan ikan laut yang terdiri dari beberapa spesies dari famili Scombridae, terutama genus Thunnus. Ikan Tuna juga merupakan perenang cepat dan

(12)

hidup bergerombol (schooling) sewaktu mencari makan (Nugraha dan Nugroho 2013). Kecepatan renang ikan ini mencapai 50 km/jam sehingga menyebabkan penyebarannya meliputi wilayah geografi yang hampir luas, termasuk diantaranya beberapa spesies yang dapat menyebar dan bermigrasi lintas Samudera (Adhitya 2012). Berikut klasifikasi Tuna menurut Saanin (1971) :

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata

Sub phylum : Vertebrata Thunnus Class : Teleostei

Sub Class : Actinopterygii Ordo : Perciformes Sub ordo : Scombroidae Family : Scombridae Genus : Thunnus

Species : Thunnus alalunga (Albacore) Thunnus albacores (Yellowfin Tuna)

Thunnus macoyii (Southtern Bluefin Tuna) Thunnus obesus (Big eye Tuna)

(13)

Ikan Tuna memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena memiliki daging yang berwarna merah muda hingga merah tua, hal ini berbeda dengan ikan lain yang kebanyakan dagingnya berwarna putih. Daging berwarna merah ini disebabkan karena otot Tuna mengandung myglobin lebih banyak daripada ikan lain.

Beberapa spesies Ikan Tuna yang lebih besar, seperti Tuna Sirip Biru (Thunnus thynnus), dapat menaikkan suhu darahnya di atas suhu air dengan aktivitas ototnya. Hal ini menyebabkan mereka dapat hidup di air yang lebih dingin dan dapat bertahan dalam kondisi yang beragam. Kebanyakan Ikan Tuna yang bertubuh besar merupakan Ikan Tuna yang memiliki nilai komersial tinggi. Indonesia merupakan salah satu daerah yang memiliki banyak stok Ikan Tuna di perairannya.

Kawai (1967) dalam Abdulkadir (2010) telah mempelajari korelasi antara struktur panas lautan dan distribusi Ikan Tuna pada daerah tropis di Pasifik dan Lautan Atlantik yang secara umum terdapat pada kedua lautan. Berikut habitat untuk beberapa spesies Ikan Tuna :

a. Yellowfin tuna memiliki dua kondisi yang umum sebagai daerah distribusinya berupa suhu permukaan yang tinggi, umumnya lebih tinggi dari 27oC dan daerah termoklin yang dangkal atau lautan yang dipengaruhi oleh pulau-pulau atau karang.

b. Albakor.Daerah penangkapan albakor bersesuaian dengan kondisi daerah perairan yang homogen di daerah sub-tropis.

c. Big eye tuna. Daerah penangkapannya ditemukan sepanjang front thermal pada bagian permukaan kedalaman.

d. Bluefin tuna distribusinya terbatas pada arus Kuroshio dan bercabang ke bagian Barat Pasifik Utara.

Jenis Ikan Tuna menyebar luas di seluruh perairan tropis dan subtropis. Penyebaran jenis Ikan Tuna tidak dipengaruhi oleh perbedaan garis bujur tetapi dipengaruhi oleh garis lintang (Adhitya 2012). Barata et al. (2011) menyatakan bahwa secara horisontal, daerah penyebaran Ikan Tuna di Indonesia meliputi perairan barat dan selatan Sumatra, perairan selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Laut

(14)

Flores, Laut Banda, Laut Sulawesi dan perairan utara Papua. Secara vertikal, penyebaran Ikan Tuna sangat dipengaruhi oleh suhu dan kedalaman renang (Barata et al. 2011).

Gambar 7. Distribusi Tuna berdasarkan suhu dan kedalaman (sumber : Nugraha dan Nugroho 2013)

Distribusi Ikan Tuna di laut sangat ditentukan oleh berbagai faktor, baik faktor internal dari ikan itu sendiri maupun faktor eksternal dari lingkungan. Faktor internal meliputi jenis (genetis), umur dan ukuran, serta tingkah laku (behaviour). Perbedaan genetis ini menyebabkan perbedaan dalam morfologi, respon fisiologis, dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Faktor eksternal merupakan faktor lingkungan, di antaranya adalah parameter oseanografis seperti suhu, salinitas, densitas dan kedalaman lapisan termoklin, arus dan sirkulasi massa air, oksigen dan kelimpahan makanan. Kedalaman renang Ikan Tuna bervariasi tergantung dari jenisnya. Umumnya Tuna dapat tertangkap di kedalaman 0 - 400 meter. Salinitas perairan yang disukai Tuna berkisar antara 32 – 35 ‰ atau di perairan oseanik dengan suhu perairan berkisar 17oC -31oC (Adhitya 2012).

(15)

Madidihang (Thunnus Albacares) tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Panjang Madidihang bisa sampai 2 meter (Uktolseja et al. 1991 dalam Adhitya 2012). Jenis Ikan Tuna ini menyebar di perairan dengan suhu berkisar antara 17oC -31oC dengan suhu optimum berkisar antara 19oC -23oC (Nontji 1987 dalam Adhitya 2012), sedangkan suhu yang baik untuk kegiatan penangkapan berkisar antara 20oC -28oC (Laevastu dan Hela, 1970 dalam Adhitya 2012).

Tuna mata besar (Thunnus obesus) menyebar dari Samudera Pasifik melalui perairan di antara pulau-pulau di Indonesia sampai di Samudera Hindia. Ikan ini terutama ditemukan di perairan sebelah selatan jawa, sebelah barat daya Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara, Laut Banda dan laut Maluku. Menurut Laevastu dan Hela 1970 dalam Adhitya 2012, Tuna mata besar merupakan jenis yang memiliki toleransi suhu yang paling besar, yaitu berkisar antara 11oC -28oC dengan kisaran suhu penangkapan antara 18oC -23oC.

Sebaran Tuna Albakora (Thunnus Alalunga) sangat dipengaruhi oleh suhu. Jenis ini menyenangi suhu yang lebih rendah. Albakora juga memiliki ukuran yang relatif kecil dibanding dengan dua jenis Ikan Tuna di atas. Tuna sirip biru (Thunnus maccoyi) didapatkan menyebar hanya di belahan bumi selatan. Oleh karena itu jenis ini sering disebut sebagai Southern Bluefin Tuna. Ikan ini tidak terlalu banyak tertangkap oleh nelayan Indonesia.

Gambar

Gambar 1. Samudera Hindia (A) Bagian Barat dan (B) Bagian Timur A
Gambar 2. Fenomena (A) DM positif, (B) DM negatif   (Sumber : http://www.jamstec.go.jp/ )
Gambar 3. Siklus IOD. Perubahan SPL dan anomali angin permukaan dari bulan (a)  Mei-Juni,  (b)  Juli-Agustus,  (c)  September-Oktober,  (d)   November-Desember
Gambar 4. Sebaran suhu vertikal (sumber : http://www.coexploration.org)  Harsono  (2012)  juga  menjelaskan  bahwa  wilayah  kedalaman  yang  hampir  seragam  secara  vertikal  ini  disebabkan  oleh  proses  turbulensi  yang  dibangkitkan  energi  yang  be
+3

Referensi

Dokumen terkait

sebagai sumber rujukan dan pedoman utama sehingga manusia terhindar dari sifat dan perilaku yang tidak sesuai ajaran dan norma dalam Islam akibat perilaku

Perairan Sabang - Banda Aceh, Perairan P.Simeulue – Meulaboh, Perairan Kep.Nias dan Kep.Mentawai, Perairan Bengkulu dan P.Enggano, Perairan Barat Lampung, Samudera Hindia

Perairan Sabang – Banda Aceh, Perairan P.Simeulue - Meulaboh, Perairan Kep.Nias dan Kep.Mentawai, Perairan Bengkulu dan P.Enggano, Perairan Barat Lampung, Samudera Hindia

Perairan Sabang – Banda Aceh, Perairan P.Simeulue – Meulaboh, Perairan Kep.Nias dan Kep.Mentawai, Perairan Bengkulu dan P.Enggano, Perairan Barat Lampung, Samudera Hindia

Perairan Sabang - Banda Aceh, Perairan P.Simeulue - Meulaboh, Perairan Kep.Nias dan Kep.Mentawai, Perairan Bengkulu dan P.Enggano, Perairan Barat Lampung, Samudera Hindia

Perairan Sabang – Banda Aceh, Selat Malaka, Perairan P.Simeulue – Meulaboh, Perairan Kep.Nias dan Kep.Mentawai, Perairan Bengkulu dan P.Enggano, Perairan Barat Lampung, Samudera

Perairan Sabang – Banda Aceh, Perairan P.Simeulue – Meulaboh, Perairan Kep.Nias dan Kep.Mentawai, Perairan Bengkulu, Samudera Hindia Barat Aceh hingga Barat Menatawai, Perairan

Perairan Sabang - Banda Aceh, Perairan P.Simeulue - Meulaboh, Perairan Kep.Nias dan Kep.Mentawai, Perairan Bengkulu dan P.Enggano, Perairan Barat Lampung, Samudera Hindia