PROSPEK PENGGUNAAN Sarcocystis singaporensis
UNTUK PENGENDALIAN BIOLOGIS POPULASI
TIKUS SAW AH (Rattus argentiventer)
MUCHRODJI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Prospek Penggunaan Sarcocystis singaporensis untuk Pengendalian Biologis Populasi Tikus Sawah (Rattus argentiventer) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2006
Muchrodji NRP. E05104022
ABSTRAK
MUCHRODJI.
Prospek Penggunaan Sarcocystis singaporensis untuk Pengendalian Biologis Populasi Tikus Sawah (Rattus argentiventer). Dibimbing oleh Y ANTO SANTOSA dan ABDUL HARIS MUSTARI.Tikus sawah merupakan hama penting tanaman padi di Indonesia, karena banyak tanaman padi yang gagal panen karena diserang oleh tikus. Berbagai jenis rodentisida banyak diproduksi khususnya jenis rodentisida kimia, temyata membawa akibat yang kurang baik bagi lingkungan. Jenis rodentisida biologis (bio rodentisida) masih sangat sedikit dikembangkan bahkan masih sangat jarang, padahal jenis bio rodentisida termasuk ramah lingkungan.
Salah satu jenis bio rodentisida yang dikembangkan oleh PPPG Pertanian Cianjur adalah Sarcocystis singaporensis. Sarcocystis singaporensis merupakan jenis mikroorganisme parasit yang spesifik hidup dalam tubuh tikus. Mikroba tersebut dapat berkembang biak dalam tubuh ular python (python reticulatus). Organisme tersebut bereproduksi seksual dalam usus halus ular python dan menyebar lewat feses (dalam bentuk sporocyst) melalui air ke berbagai spesies tikus. Dalam tubuh tikus, parasit tersebut melipatgandakanjumlahnya di dalam sel pembuluh darah hingga membentuk cyst (kista) dalam otot, yang berakibat tikus mati. Parasit ini tidak membahayakan baik bagi ular maupun manusia. .
Dosis Sarcocystis singaporensis dalam membunuh tikus betina maupun jantan tidak dipengaruhi kelas umur tikus. Lama kematian pada tikus betina akibat pemberian Sarcocystis singaporensis tidak berbeda nyata baik pada anak maupun dewasa. Lama kematian tikus jantan kelas umur anak lebih cepat daripada tikus
MUCHRODJI. Prospect of Sarcocystis singaporensis for the Population Control Biologically of Field Rats (Rattus Argentiventer). Under the direction of Y ANTO SANTOSA and ABDUL HARIS MUST ARI.
Rice field rats are important pests of paddy crop in Indonesia, because many unsuccessful paddy crop attacked by rats. Many rodenticide types are produced, specially chemical rodenticide type, actually bring effect of unfavourable to environment. Biological rodenticide types (bio rodenticide) are still developed slimmest even still very rare, though bio rodenticide types are environmental
friendliness. .
Bio rodenticide type that developed by PPPG Pertanian is using Sarcocystis singaporensis. It is specific parasite microorganism type lives in rats body. S. singaporensis reproduces sexually in the intestine of reticulated python (Pyhton reticulatus) and transmitted via faeces (in form of sporocyst) to various rats species (Jaekel, 2001). In rats body, the parasite mUltiplies inside the cell of blood vessel until it forms cyst in muscle, causing rats become death. This parasite not endanger both for human being and also snake.
Dosage of S. singaporensis in killing male and also female rice field rats do not related by age class rats. So effect on giving Sarcocystis singaporensis on day of death at female rice field rats do not related by age class rats, but day of death the young male rats quicker than adult rats.
Key words: Sarcocystis singaporensis, rodenticide, biological rodenticide, Rattus argentiventer.
©
Hak cipta milik Muchrodji, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari In.vtitut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak, !otocopy, mikrojilm, dan sebagainya
TIKUS SAW AH
(Rattus argentiventer)
MUCHRODJI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi
pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2006
Judul Tesis
Nama Mahasiswa NRP
Program Studi Sub Program Studi
Prospek Penggunaan Sarcocystis singaporensis untuk Pengendalian Biologis Populasi Tikus Sawah (Rattus argentiventer)
Muchrodji E 051040255
llmu Pengetahuan Kehutanan Konservasi Biodiversitas
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. Dr. Ir. Abdul Haris ustari, MScF.
Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua
Pr0rm
Studi~
Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc.F
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengendalian populasi tikus, dengan judul Prospek Peogguoaao Sarcocystis singaporensis uotuk PeogeodaJiao Biologis Populasi Tikus Sawah (Rattus argentiventer). Penelitian dilakukan di Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) Pertanian mulai bulan Agustus sampai bulan Oktober 2005.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Bapak Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. dan Bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, MScF selaku komisi pembimbing. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Giri Suryatmana, selaku kepala PPPG Pertanian, Ibu Dr. Ir. Paristiyanti N, MP, Bapak Ir. Adang S, M.Si, Bapak Ir. Cahyana Y A., serta berbagai pihak yang telah banyak memberikan bantuan saran selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri dan anak-anakku tercinta, serta ibu alas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Maret 2006 Muchrodji
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Temanggung Jawa Tengah pada tanggal 5 April 1970 dari ayah Amat Sapari dan ibu Suliyah. Penulis merupakan putra ke-tujuh dari tujuh bersaudara.
Tahun 1989 penulis lulus dari STM Pembangunan Temanggung jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Tahun 1992 melanjutkan pendidikan pada jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka dan'lulus pada tahun 1999. Tahun 2001 penulis mengikuti pendidikan AKTA mengajar IV yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Surakarta.
Penulis bekerja pada PPPG Pertanian Cianjur sejak tahun 1990 sampai sekarang. Beberapa unit kelja yang pemah menjadi tempat tugas penulis antara lain adalah Instalasi Teknologi Hasil Pertanian (Unit Pengawasan Mutu Hasil Pertanian dan Unit Budidaya Jamur), Unit Resorce Center (Lab. Komputer), dan Divisi Pengembangan Sumberdaya Manusia (Sub Divisi Standardisasi dan Serti fikasi).
Halarnan
OAFT AR lSI ... x
OAFTAR TABEL ... xii
OAFTAR GAM BAR ... xiii
PENOAHULUAN Latar Belakang ... I Perurnusan Masalah ... 3 Kerangka Pernikiran ... 4 Hipotesis ... 5 Tujuan Penelitian ... ; ... 5 Manfaat Penelitian ... 5 TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Tikus Sawah ... 7
Pengendalian Populasi Tikus secara Urnurn ... 9
Tekno logi Pengendalian Tikus Sawah dengan Sarcocystis singaporensis .. I I METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Ternpat Penelitian ... : ... 13
Bahan dan Alat-alat ... ~ ... 13
Jenis dan rnetode pengurnpulan data ... 19
Rancangan Percobaan ... 19
Metode Analisis Oata ... 21
. HASIL OAN PEMBAHASAN Pengaruh Pernberian Oosis Sarcocystis Singaporensis terhadap Tingkat Kernatian Tikus Betina ... 25
Tingkat Kernatian Tikus Betina pada Berbagai Oosis ... 26
Kernatian Tikus Betina Kelas Urnur Anak dan Oewasa ... 27
Pengaruh Pernberian Oosis Sarcocystis Singaporensis ... . Terhadap Lama Kernatian Tikus Betina ... . Pengaruh Pernberian Oosis Sarcocystis Singaporensis tcrhadap ... 30
Tingkat Kernatian Tikus Jantan ... 30
Tingkat Kernatian Tikus Jantan pada Berbagai Oosis ... 31
Tingkat Kernatian Tikus Jantan pada Kelas Urnur Anak dan Oewasa ... 32
Pengaruh Pernberian Oosis Sarcocystis Singaporensis ... 33
Terhadap Lama Kernatian Tikus Jantan ... 33
Gejala Urnurn yang Terjadi Akibat Pernberian Sarcocystis singaporensis. 36 Analisis Biaya Produksi Bio Rodentisida ... 38
Biaya Produksi Pelet ... 38
XI
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ... 42
Saran ... 42
DAFT AR PUST AKA ... 43
Halaman
Tabel I Pembagian kelompok tikus uji ... 15
Tabel 2 BentukILay out data ... 20
Tabel 3 Tabel Analisis Sidik Ragam ... 22
Tabel4 Jumlah dan persentase kematian tikus betina ... 26
Tabel5 Hasil uji LSD perlakuan dosis terhadap kematian tikus betina ... 27
Tabel 6 Rata-rata lama kematian tikus betina ... 28
Tabel 7 Jumlah dan persentase kematian tikus jantan ... 31
Tabel 8 Hasil uji LSD terhadap tingkat kematian tikus jantan ... 32
Tabel 9 Rata-rata lama kematian tikus jantan ... 33
DAFT AR GAMBAR
Halaman
Gambar I. Kerangka pemikiran penelitian ... 5
Gambar 2. Tikus sawah ... 7
Gambar 3. Siklus hidup tikus ... 8
Gambar 4 Siklus hidup Sarcocystis singaporensis ... 12
Gambar 5 Tikus dalam wadah penampungan ... 13
Gambar 6 Ciri-ciri tikus jantan dan betina pada kelas umur anak dan dewasa ... 14
Gambar 7 Penimbangan tikus ... 15
Gambar 8 Ular python dalam kandang ... 16
Gambar 9 Proses isolasi sporocyst dari feses ular python ... 17
Gambar I 0 Sporocyst.. ... 17
Gambar 11 Neubauer Haemocytometer ... 18
Gambar 12 Proses pembuatan pele!... ... 19
Gambar 13 Persentase kematian tikus ... , ... 25
Gambar 14 Rata-rata lama kematian tikus pada perlakuan berbagai dosis ... 29
Gambar 15 Persentase kematian tikus jantan ... 30
Gambar 16 Lama kematian tikusjantan kelas umur anak dan dewasa ... 34
Gambar 17 Gejala-gejala tikus saki!... ... 37
Halaman
Tabel I Pembagian kelompok tikus uji ... 15
Tabel 2 BentuklLay out data ... 20
Tabel 3 Tabel Analisis Sidik Ragam ... 22
Tabel 4 Jumlah dan persentase kematian tikus betina ... 26
Tabel5 Hasil uji LSD perlakuan dosis terhadap kematian tikus betina ... 27
Tabel 6 Rata-rata lama kematian tikus betina ... 28
Tabel 7 Jumlah dan persentase kematian tikus jantan ... 31
Tabel 8 Hasil uji LSD terhadap tingkat kematian tikus jantan ... 32
Tabel 9 Rata-rata lama kematian tikus jantan ... 33
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rodensia merupakan salah satu hewan yang tergolong sangat banyak
spesiesnya. Terdapat lebih dari 2700 spesies rodensia di dunia Menurut Aplin et
al. (2003), 42% dari semua spesies mamalia di bumi adalah rodensia. Salah satu
jenis rodensia yang ban yak terse bar di Asia adalah tikus. Beberapa jenis tikus dimanfaatkan manusia sebagai sumber protein hewani (dikonsumsi) pada beberapa negara, namun sebagian besar merupakan hama yang bersifat merusak
tanaman maupun gudang, salah satu diantaranya adalah tikus sawah (Rattus
argentiventer). Tikus tersebut menyerang tanaman pertanian di Indonesia maupun beberapa negara Asia lainnya.
Menurut Prakash (1988), jenis tikus yang merupakan hama utama adalah
Rattus argentiventer, tersebar luas di Indonesia tetapi terbatas di daerah padang rumput dan sawah. Tikus sawah merupakan hama penting pada tanaman padi yang mulai menyerang sejak benih padi masih di gudang, bibit di persemaian, tapaman vegetatif dan juga generatifnya. Laju perkembangan populasi tikus termasuk tinggi karena siklus hidup tikus mencapai umur dewasa sangat cepa!, masa kebuntingannya sang at pendek dan berulang-ulang dengan jumlah anak yang banyak pada setiap kebuntingan (10-13 ekor). Tikus bisa makan jenis makanan lainnya jika tidak ada padi, tikus bisa makan jagung, singkong, ubi, kelapa, dan tebu. Kerusakan serius tanaman padi terjadi pada tahun 1915, 1931 dan 1933 di Cirebon Jawa Barat dimana beberapa ribu hektar tanaman padi rusak. Ledakan populasi tikus pada lahan padi terjadi lagi pada tahun 1961 dan 1963 di Jawa dan Madura dengan perkiraan kerusakan masing-masing mencapai 35% dari 1.000.000 ha dan 28% pada lahan 822.000 ha (Prakash 1988). Serangan hama tikus di Kabupaten Tegal, pada bulan April 2004 telah merusak 214 ha lahan tanaman padi, dimana 42 ha diantaranya mengalami puso (Anonim 2002). Kerusakan padi akibat serangan tikus juga terjadi di Padang dengan luas wilayah 77 ha (Anonim 2003).
Pengendalian populasi tikus dilakukan secara fisik, kimialsenyawa beracun, biologi, maupun mikrobiologi. Pengendalian secara fisik dilakukan rlengan cara
gropyokan, pengemposan, perangkap dan lain-lain. Pengendalian dengan eara ini memerlukan tenaga dan biaya yang cukup besar, tidak dilakukan secara teratur dan tidak berkelanjutan sehingga tingkat keberhasilannya rendah. Pengendalian secara kimia dilakukan dengan pemberian umpan beracun dari bahan-bahan kimia sintetis maupun baban-baban alami beraeun seperti akar tegari (Dianella sp), asam bongkrek dan lain-lain. Pengendalian tikus dengan racun bahan kimia dapat mengganggu keseimbangan lingkungan (Anonim 2003). Pengendalian biologi dapat dilakukan dengan menggunakan predator tikus seperti ular dan burung hantu yang telah dilakukan di kabupaten Tegal dan beberapa daerah lainnya. Pengendalian secara biologi sangat dipengaruhi oleh kemampuan/kapasitas dan selera predator. Pengendalian tikus secara mikrobiologi dilakukan dengan menggunakan bakteri, virus, dan protozoa yang salah satunya adalah dengan menggunakan Sarcocystis singaporensis.
Sarcocystis singaporensis merupakan mikroba parasit yang spesifik hidup pada hewan perantara tertentu yaitu pada tikus (Rattus norvegicus). Mikroba tersebut dapat berkembang biak juga pada ular python (Python reticulatus) (Dubey et al. 1989). Organisme tersebut bereproduksi seksual dalam usus halus ular python dan menyebar lewat feses dalam bentuk sporocyst (sporokista) melalui air ke berbagai spesies tikus. Dalam tubuh tikus, parasit tersebut melipatgandakan jumlahnya di dalam sel pembuluh darah hingga membentuk cyst (kista) dalam oto!, yang berakibat tikus menjadi mati ([PPPG Pertanian] 2004). Sarcocystis singaporensis dapat digunakan sebagai agen bio kontrol dan dapat mengurangi populasi hama tikus sebesar 70-90% dalam jangka waktu 2 minggu. Paras it ini tidak membahayakan baik bagi ular maupun manusia (Jaekel 1999).
Penelitian S. singaporensis sebagai agen bio kontrol masih sedikit dilakukan khususnya di Indonesia. Penelitian ini merupakan lanjutan dari berbagai penelitian yang telah dilakukan terhadap efektivitas S. singaporensis sebagai agen bio kontrol. Disamping itu dalam penelitian ini juga dilakukan analisis biaya produksi bio rodentisida dengan dosis yang tepat bagi pengendalian populasi tikus sawah. Dengan demikian hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan populasi tikus secara efektif dan efisien.
3
Perumusan Masalab
Tikus sawah merupakan hama tanaman padi yang sangat penting di Indonesia, karena mengakibatkan kerusakan yang cukup besar. Tikus dapat merusak pesemaian yang baru disebar atau yang sudah berumur 1-2 minggu. Disamping itu tikus juga merusak tanaman padi yang baru bunting dan tanaman padi yang sudah berumur kira-kira I bulan. Satu ekor tikus dapat merusak 100 batang padi dalam I malam (Rismunandar 1981).
Pengendalian tikus sudah banyak dilakukan baik secara preventif maupun kuratif. Pengendalian secara preventif biasanya dilakukan dengan cara pengaturan pola tanam, namun hasilnya masih kurang memuaskan karena tidak semua petani serentak melakukan hal yang sarna. Pengendalian secara kuratif dilakukan dengan berbagai cara baik secara mekanis misalnya "gropyokan", secara kimia misalnya dengan menggunakan rodentisida kimia maupun non kimia, maupun dengan pengendali biologi/mikrobiologi. Pengendalian secara kuratif inipun dirasakan masih diperlukan teknologi yang efektif, efisien. serta relatif aman terhadap lingkungan.
Salah satu teknologi pengendalian tikus yang saat ini mulai dikembangkan di PPPG Pertanian adalah dengan menggunakan S. singaporensis. Pengendalian tikus dengan teknologi ini termasuk ramah lingkungan serta metode pelaksanaannya relatif mudah. Disamping itu S. singaporensis mempunyai peluang yang sangat tinggi untuk dibudidayakan di Indonesia dengan menggunakan ular python sebagai hewan inang yang banyak tersebar di Indonesia, sehingga ketersediaannya terjamin.
Namun demikian pengetahuan tentang penggunaan S. singaporensis sebagai agen bio kontrol populasi tikus relatif masih sedikit. Terlebih lagi pengaruh dosis pemberian S. singaporensis terhadap kematian pada berbagai kelas umur dan jenis kelamin tikus sawah, masih belum banyak diketahui. Padahal diduga permasalahan tersebut merupakan hal yang perlu dikaji untuk dapat mengendalikan populasi tikus dengan hasil yang baik. Disamping efektivitas ditinjau dari aspek persentase kematian maupun lama kematian. perlu juga diketahui biaya produksinya. Hal tersebut perlu agar bio rodentisida tersebut
dapat diketahui efisiensi penggunaannya, sehingga bio rodentisida ini dapat diaplikasikan bagi para petani khususnya.
Kerangka Pemikiran
Efektivitas pengendaIian populasi tikus dengan menggunakan S. singaporensis diduga sangat dipengaruhi oleh kelas umur dan jenis kelamin tikus. Oleh karena itu, untuk mengetahui tingkat efektivitas dosis S. singaporensis tersebut maka tikus dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan kelas umur. Jenis kelamin tikus terdiri dari jantan dan betina, sedangkan kelas umur pada penelitian ini dibagi menjadi 2 yaitu anak dan dewasa. 8ayi tikus tidak dikaji dalam penelitian karena hidupnya sangat tergantung pada induknya. Penentuan kelas umur didasarkan dengan pendekatan karakteristik reproduksi baik pada jantan maupun betina.
Pengendalian populasi tikus pada dasarnya dilakukan dengan mempengaruhilmengganggu struktur/piramida populasi tikus. Gangguan dapat dilakuka!1 dengan beberapa cara antara lain:
• Mengurangi sebanyak mungkin bayi yang lahir, yaitu dengan mengurangi betina reproduktif.
• Mengganggu proses reproduksi yaitu dengan mengganggu perbandingan antar jenis kelamin (sex rasio) dengan mempengaruhi/mengurangi jumlah tikus
betina atau jantan.
• Mengurangi jumlah populasi secara langsung dengan mengurangi jumlah populasi pada berbagai kelas umur maupun jenis kelamin.
Penelitian ini diharapkan dapat lTlengetahui dosis tepatlefektif yang dapat digunakan untuk pengendalian populasi tikus pada kelas umur tertentu. Dengan mengetahui dosis yang tepat maka pengendalian populasi tikus dapat dilakukan dengan lebih baik. Kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
5
r.f
Anakf-+
Pemberian S.r.f
Jantanf
singaporensis dengan dosisl.t
Dewasa~
I
Tikus • 0•
100.000I--.
Dosis efektif S. singaporensis untukSawall
·r
Anakf-+
• 200.000 membunuh tikus• 300.000
I.[
Betinat
~
Dewasaf-+
Populasi tikus Gangguan sawah
I+-
strukturterkendali populasi tikus
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Tingkat efektivitas S. singaporensis diduga berbanding lurus dengan dosis 2. Semakin tinggi kelas umur, diduga semakin tinggi dosis S. singaporensis yang
dibutuhkan untuk membunuh tikus.
~ 3. Setiap je·nis kelamin diduga membutuhkan dosis S. singaporensis yang berbeda.
4. Biaya produksi pelet bio rodentisida diduga tidak lebih dari Rp 300,- per butir.
Tujuan Peuelitiau Penelitian ini bertujuan untuk:
I. Menentukan dosis S. singaporensis yang tepat untuk mengendalikan populasi tikus sawah bagi kelas umur terlentu.
2. Menghitung biaya produksi pelet bio rodentisida pada. tingkat dosis pengendalian yang paling efektif dan efisien.
Maufaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menyusun:
2. Panduan penggunaan dosis S. singaporensis dalam pengendalian populasi tikus sawah.
TINJAUAN PUSTAKA
Bioekologi Tikus Sawah
Tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan hama utama tanaman di daerah Asia Tenggara. Secara alami tikus menyukai tempat yang berair dengan rumput yang tebal seperti tanaman padi (Aplin 2003). Tikus sawah dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Ounia : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Subklas : Theria
Ordo : Rodentia
Sub ordo : Myomorpha
Famili : Muridae
Sub famili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : argentiventer
Gambar 2. Tikus sawah
Potensi reproduksi tikus sawah secara umum sangat tinggi. Tikus berkembang biak ketika tanaman padi mulai berbunga, dan anak-anaknya mulai ditemukan selama tahap awal pengisian butir padi. Oi daerah dengan dengan
panenan ganda, potensi reproduktif betina diperkirakan 5 kali lebih cepat dibandingkan dengan di arealdaerah panenan tunggal (Twigg 1988). Hal terse but sesuai dengan pendapat Rismunandar (1981) yang mengemukakan bahwa daya reproduksi tikus sangat bergantung pada sistem pertanian di suatu daerah. Pada daerah dengan penanaman padi hanya 1 kali setahun, untuk selanjutnya sawahnya dibiarkan tandus (kosong), memberikan peluang kepada tikus untuk 2 kali bunting dan paling banyak 3 kali. Robinson dan Kloss (1916) dalam Aplin et al. (2003)
m~nyatakan bahwa aktivitas musim berkembang biak tergantung pada sistem perputaran penanaman padi, dengan musim berkembang biak sekali pada area panen sekali setahun dan dua kali musim berkembang biak pada area dengan dua kali panen setahun. Menurut [Depkes
1
(2005) siklus hidup tikus secara umum dapat dilihat pada gambar 1Lahir
Gambar 3. Siklus hidup tikus
Menurut Aplin et al. (2003), tikus sawah betina mulai ovulasi pada berat badan 31-40 g, atau sekitar umur 28 hari. Namun demikian, sebagian besar betina jarang mengalami kehamilan pertamanya sampai berat tubuhnya mencapai 60-120 g. Jantan terlihat matang lebih lambat (kira-kira umur 59 hari) dengan berat badan lebih dari 90 g. Seekor tikus dalam 1 kali melabirkan dapat menghasilkan 10-13 ekor nyinying.
Tikus termasuk binatang noktumal, keluar sarang dan aktif pada malam hari untuk mencari makan. Tikus mempunyai kemampuan alat indera untuk mencium,
9
menyentuh, mendengar, melihat, dan mengeeap. Disamping mempunyal kemampuan indera, tikus juga mempunyai kemampuan fisik antara lain menggali, memanjat, meloneat, melompat, menggerogoti, berenang dan menyelam (Priyambodo 1995; [Depkes] 2005).
Pengendalian Populasi Tikus secara Umum
Pengendalian hama secara umum dapat dilaksanakan dengan beberapa cara antara lain secara mekanis, mengatur pola tanam, membasmi tanaman inang yang ditempati hama secara alami, secara biologis, dengan bahan kimia, dan karantina (Rismunandar 1981).
Pengendalian hama secara mekanis
Pengendalian secara mekanis dilakukan dengan beberapa cara misalnya dengan mencari tikus sawah dan membunuhnya, memasang perangkap, atau dengan mengeringkanlmenggenangi petakan-petakan sawah. Pengendalian secara mekanis yang dilakukan secara perorangan dalam areal yang luas, tidak akan berhasil dengan memuaskan. Pengendalian dengan cara ini dapat efektif dilakukan secara bersama-samaJgotong royong, berencana dan terarah sepanjang ada tanaman.
Pengendalian secara kulur teknis dengan mengatur pola tanam (rotasi) Pengendalian dengan mengatur pola tanam (rotasi) dilakukan dengan mengatur jadwal penanaman untuk menghindari serangan hama atau sering disebut sebagai pengendalian secara alamiah. Pengendalian ini dapat juga dilakukan dengan melakukan pengendalian tanaman inang yang ditempati hama dilakukan untuk berkembang biak. Pengendalian dengan cara ini akan beIjalan efektif j ika diusahakan bersama-sama dalam suatu daerah. Pengendalian dengan eara ini tidak banyak mengeluarkan biaya, yang penting patuh kepada peraturan yang telah digariskan dan dilaksanakan bersama-sama di seluruh daerah.
Pengendalian secara biologis
Pembasmian secara biologis dilakukan oleh manusia dengan bantuan musuh-musuh (parasit atau predator) hama yang bersangkutan. Predator tersebut
dikembangbiakkan dalam laboratorium untuk kemudian disebarkan di daerah tempat hama berjangkit. Hasil pengendalian dengan eara ini sangat bergantung pada iklim dan bantuan para petani, dalam bentuk tidak akan menyemprot tanamannya dengan insektisida yang dapat mematikan parasit yang sedang disebarkan.
Pengendalian seeara kimia
Pembasmian dengan bahan kimia dilakukan dengan menggunakan umpan beracun baik racun alami (akar tuba, tembakau, larutan biji bengkuang dan lain-lain) maupun dengan bahan kimia sintetis. Pengendalian tikus dengan menggunakan umpan beracun atau perangkap berumpan racun dianjurkan digunakan di daerahltempat yang tidak dapat dieapai oleh hewan domestik dan anak-anak. Pestisida untuk pengendalian tikus (Rodentisida) yang terdaftar dan diizinkan penggunaannya di Indonesia dapat dilihat pada lampiran I.
Pengendalian secara karantina
Pengendalian dengan eara karantina dilakukan dengan menjaga pelabuhan udara dan laut agar tidak ada hama atau penyakit baru masuk ke dalam negeri. Pemasukan hama dan penyakit tersebut biasanya "membonceng" pada buah-buahan, biji-bijian, beras, tepung dan berbagai barang yang diimpor. Bila terdapat bahan pangan yang mengandung sesuatu hamaJpenyakit maka seluruhnya dapat dihaneurkan atau segera diisolasi dan difumigasi dengan methylbromida atau lainnya (disucihamakan). Jalur komunikasi antar negara melalui laut dan udara yang sangat intensif serta arus manusia yang keluar masuk dari negara-negara tetangga memudahkan dinas karantina kebobolan hama baru.
Menurut Rismunandar (1981), Pengendalian hama tikus pada prinsipnya dilakukan dengan dua cara yaitu preventif dan kurati£ Kedua cara tersebut mempunyai paling sedikit 4 target yaitu:
a. Menghindarkan adanya kerusakan tanaman padi musim hujan sebelum bunting.
b. Menekan sebanyak mungkin populasi tikus hingga musim panen. c. Menghindarkan perusakan pada tanaman padi sebelum fase generatif.
11
d. Mengendalikan tikus ketika padi sedang menguning atau palawija sedang masak.
Teknologi PengendaIian Tikus Sawah dengan Sarcocystis singaporensis Menurut Dubey et al. (1989) Sarcocystis berasal dari bahasa Yunani Sarcos= daging dan kystiF gelembung. Jenis Sarcocystis terdiri dari berbagai spesies, namun yang digunakan dalam pengendalian populasi tikus pada saat ini adalah Sarcocystis singaporensis. S. ;,ngaporensis merupakan protozoa parasit yang diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum : Apicomplexa Kelas : Sporozoasida Ordo : Eucoccidiorida Sub ordo : Eimeriorina Famili : Sarcocystidae Sub famili : Sarcocystinae Genus : Sarcocystis
Secara alami inang dari S. singaporensis adalah ular python (Python reticulatus). Berdasarkan penelitian, S. singaporensis padajenis ular Python sebae (Africa). Python timorensis (Timor). dan Aspidites melanocephalus (Australia) mendukung perkembangbiakan parasit tersebut, walaupun pertumbuhannya sangat terbatas. Dalam satu siklus infeksi. ular python biasanya dapat menghasilkan sporocyst yang mampu membunuh 20.000 sampai 200.000 tikus (Jaekel 2005). Siklus hidup S. singaporensis dapat dilihat pada Gambar 4.
" ' - I .. ~.,.
lion.., .. I • ... \< <'til
Gambar 4 Siklus hidup Sarcocystis singaporensis
Sarcocystis singaporensis merupakan "host-specific protozoan" yang ditemukan oleh V. Zaman di Singapura. Mikroba terse but bereproduksi secara seksual di dalam usus halus ular python dan disebarkan melalui feses (dalam bentuk sporocyst) pada berbagai spesies tikus, khususnya Rattus spp. dan Bandicota spp, yang merupakan mediaJinang perantara (Jaekel 2001).
Parasit tersebut berkembang biak dalam sel pembuluh darah sarnpai membentuk "muscle cyst' dalam tubuh tikus yang mengakibatkan kematian tikus. Untuk memproduksi sporocyst, maka tikus yang terinfeksi oleh S. singaporensis dan telah membentuk "muscle cyst" tersebut diberikan sebagai pakan bagi ular python. Efek dosis infeksi buatan yang tinggi dengan menggunakan parasit tersebut dapat digunakan sebagai agen bio kontrol, yang dapat mengurangi populasi tikus 70-90% dengan waktu kurang lebih 2 minggu (Jaekel 2004).
Pengendalian tikus dengan menggunakan S. singaporensis merupakan salah satu cara pengendalian yang efektif dan aman pada lahan pertanaman padi, kelapa sawit dan gedung perumahan (Girsang 2004).
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober 2005 di Departemen Lingkungan Hidup dan Biofarming, Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) Pertanian Cianjur.
Bahan dan Alat-alat Tikussawah
Sumber tikus
Tikus sawah yang dijadikan hewan percobaan dikumpulkan dari sawah yang ada di Kecamatan Karangtengah Kabupaten Cianjur. Pencarian tikus dilakukan pada siang hari dengan melibatkan beberapa orang. Tikus ditemukan dalam lubang persembunyian yang berada pada pematang sawah dan pada tumpukan jerami sisa panen. Tikus ditangkap dengan menggunakan tangan dan dimasukkan ke dalam kotaklwadah penampungan sementara. Tikus hasil tangkapan tersebut dikumpulkan dalam wadah dan dipisahkan antara jantan dan betina. Pencarian tikus dilakukan selama bulan Juni s.d Agustus 2005
Gambar 7 Penimbangan tikus
Penentuan tikus uji dilakukan secara acak dengan cara undian sesuai kebutuhan dan dimasukkan ke dalam kandang pengujian sesuai dengan kelompoknya, masing-masing terdiri dari 3 ekor dengan ulangan sebanyak 3 kali. Pembagian kelompok tikus dapat dilihat pada Tabel I.
Tabell Pembagian kelompok tikus uji
Jenis Kelas Dosis Sarcocystis singaporensis
kelamin Umur 0 100.000 200.000 300.000
Anak 3 ekor 3 ekor 3 ekor 3 ekor
Jantan
Dewasaltua 3 ekor 3 ekor 3 ekor 3 ekor
Anak 3 ekor 3 ekor 3 ekor 3 ekor
Betina
Dewasaltua 3 ekor 3 ekor 3 ekor 3 ekor
Kandang tikus uji yang digunakan adalah kotaklbaki yang terbuat dari plastik dan ditutup dengan menggunakan kawat kassa untuk mencegah tikus keluar dari kandang. Pakan yang diberikan adalah gabah dan minumnya air yang diberikan secara tidak terbatas. Alas kandang berupa sekam padi yang dihamparkan hingga semua permukaan baki tertutupi. Alas kandang diganti setiap 1 minggu sekali atau bila kondisinya sudah terlalu kotor atau basah.
Sporocyst
Sporocyst diperoleh dari hasil pengolahan feses ular python tanggal 24 Maret 2005. Feses tersebut berasal dari ular yang dipelihara oleh Departemen
15
Gambar 7 Penimbangan tikus
Penentuan tikus uji dilakukan secara acak dengan cara undian sesuai kebutuhan dan dimasukkan ke dalam kandang pengujian sesuai dengan kelompoknya, masing-masing terdiri dari 3 ekor dengan ulangan sebanyak 3 kali. Pembagian kelompok tikus dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel I Pembagian kelompok tikus uji
Jenis Kelas Dosis Sarcocystis singaporensis
kelamin Umur
a
100.000 200.000 300.000Anak 3 ekor 3 ekor 3 ekor 3 ekor
Jantan
Dewasaltua 3 ekor 3 ekor 3 ekor 3 ekor
Anak 3 ekor 3 ekor 3 ekor 3 ekor
Betina
Dewasaltua 3 ekor 3 ekor 3 ekor 3 ekor
Kandang tikus uj i yang digunakan adalah kotaklbaki yang terbuat daTi plastik dan ditutup dengan menggunakan kawat kassa untuk mencegah tikus keluar dari kandang. Pakan yang diberikan adalah gabah dan minumnya air yang diberikan secara tidak terbatas. Alas kandang berupa sekam padi yang dihamparkan hingga semua permukaan baki tertutupi. Alas kandang diganti setiap
I minggu sekali atau bila kondisinya sudah terlalu kotor atau basah.
Sporocyst
Sporocyst diperoleh dari hasil pengolahan feses ular python tanggal 24 Maret 2005. Feses tersebut berasal dari ular yang dipelihara oleh Departemen
Lingkungan Hidup dan Bio Fanning PPPG Pertanian Cianjur dalam kandang C2. Ular python tersebut dipelihara dalam kandang yang terbuat dari beton dan diberi pagar kawat kassa. Setiap kandang memiliki fasilitas yang sarna dan diberi perlakuan yang sarna, yaitu disediakan air minum, tempat berendam dan diberi pakan berupa tikus dengan jenis yang sarna.
Gambar 8 Ular python dalam kandang
Proses isolasi sporocyst dilakukan dengan cara penyaringan dan sentrifugasi. Penyaringan dilakukan dengan menggunakan saringan tehlsantan untuk memisahkan kotoran yang berukuran besar. Larutan tersebut didiamkan beberapa saat hingga terpisah antara endapan dan supematan. Supematan selanjutnya dimasukkan ke dalam 4 buah tabung reaksi bertutup dan disentifugasi dengan menggunakan sentrifuge. Dalam proses sentrifugasi, sporocyst akan mengendap dengan beberapa unsur lain yang terdapat dalam feses. Selanjutnya supematan dibuangldibuang dari endapannya. Proses tersebut dilakukan beberapa kali sampai diperoleh supematan yang jemih. Endapan hasil sentrifugasi dengan sedikit cairan supematan dalam 4 buah tabung reaksi bertutup tersebut dicampur hingga merata. Perlakuan tersebut dimaksudkan agar suspensi menjadi homogen sehinggajumlah sporocyst dalam suspensi tersebut relatifsama.
17
Gambar 9 Proses isolasi sporocyst dari feses ular python
Suspensi sporocyst hasil isolasi tersebut masih terdapat beberapa unsur lain (kotoran) yang terikut bersama sporocyst, sehingga saat penghitungan jumlah sporocyst harns dilakukan dengan teliti agar tidak terjadi kesalahan. Sporocyst dalam larutan feses tersebut dapat dikenali dengan menggunakan mikroskop perbesaran 40x. Bentuk sporocyst dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar ) 0 Sporocyst
Pengujian jumlah sporocyst dalam suspensi dilakukan dengan menggunakan Neubauer Haemocytometer (Gambar II). Penghitungan dilakukan pada bagian kotak besar (kotak yang terdiri dari 9 buah) yang dilakukan pada
beberapa kotak. Hasil rata-rata penghitungan tersebut kemudian dibagi dengan volume kotak untuk tiap cm3 (I x 10""). Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan alat tersebut temyata suspensi tersebut mengandung 3.350 sporocyst per 0,1 III (1 III
=
33.500, 10 III=
335.000). Oleh karena itu untuk mendapatkan suspensi dengan konsentrasi 100.000 sporocyst per 10 III dilakukan pengenceran.Gambar II Neubauer Haemocytometer
Pengenceran dilakukan dengan menggunakan rumus V I x N I = V2 x N2,
hingga diperoleh jumlah sporocyst 100.000 per 10 Ill. Hasil pengenceran terse but kemudian diuji kembali untuk memastikan jumlah sporocyst yang akan diberikan dalam perlakuan penelitian. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh hasil 95.000/10 Ill. Untuk menjaga kualitas suspensi sporocyst, larutan tersebut disimpan dalam pendingin pada suhu 4-1
O°c.
PeJet
Pelet dibuat berdasarkan komposisi pelet produk Biofarming PPPG Pertanian. Bahan pembuatan pelet tersebut antara lain terdiri dari tepung beras, tepung terigu, gula, tepung ikan dan minyak goreng. Bahan-bahan sesuai komposisi dicampur hingga homogen, kemudian dilakukan pencetakan dalam bentuk pelet. Hasil cetakan berbentuk silinder dengan bagian tengah berlubang untuk suspensi sporocyst, dan dikeringkan dengan menggunakan oven pengering. Pelet yang sudah kering tersebut diinjeksi dengan sporocyst sesuai dosis yang telah ditentukan (100.000, 200.000, dan 300.000 sporocyst) dengan menggunakan mikro pipet.
19
Gambar 12 Proses pembuatan pelet
Jenis dan metode pengumpuJan data
Data yang dikumpulkan dari penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data-data tersebut diperoleh secara langsung dari percobaan yang dilakukan, maupun dengan cara melakukan studi literatur serta diskusi dengan pihak-pihak yang berkompeten. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini antara lain terdiri dari:
• Tingkat kematian: dilakukan dengan cara menghitung frekuensi jumlah tikus yang mati selama I bulan
• Lama kematian: dilakukan dengan cara menghitung jumlah hari sampai tikus mati dari hari ke-J sampai hari ke-30.
• Gejala yang terjadi pada tikus: dilakukan dengan cara mengamati berbagai gejala yang tetjadi pada tikus sejak diberi periakuan.
Rancangan Percobaan
Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui pengaruh/respons pemberian dosis S. singaporensis terhadap persen kematian, dan lama kematian tikus sawah. Percobaan ini dilakukan terhadap tikus sawah dengan jenis kelamin jantan dan betina pada kelas umur anak dan dewasa dengan masing-masing 3 kali ulangan.
Penelitian ini dipisahkan antara jantan dan betina dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK), karena diduga kelas umur (anak dan dewasa) pada setiap jenis kelamin menimbulkan sumber keragaman. Yang menjadi perlakuan adalah pemberian S. singaporensis dan yang menjadi kelompok adalah kelas umur. Unit percobaan adalah 3 ekor tikus sawah yang ditempatkan pada kandang yang sama sehingga secara keseluruhan akan diperlukan 48 ekor tikus sawah. Percobaan ini dilakukan 3 kali ulangan sehingga total kebutuhan tikus sawah adalah 144 ekor. Bentuk/lay out data dalam percobaan ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel2 BentukILay out data Jenis kelamin tikus: Betina
Oosis Sarcocystis singaporensis
KelompokIKelas (x 1000) lumlah Rerata
Umur/ulangan 0 100 200 300 TKj YKj
00 01 D2 D3
Anak BI 1 YOII Y III Y2I1 Y311 TKII YK II
2 Y012 YI12 Y212 Y312 TKI2 YKI2
3 Yo 13 Y113 Y213 Y313 TK13 YKI3
Oewasal B2 I Y021 Y I21 Y221 Y321 TK21 YK21
~ua 2 Y022 Y 122 Ym Y322 TK22 YK22
3 Y023 Y123 Y223 Ym TK23 YK23
lumlah (TPi) TPI TP2 TP3 TP4 Yij Yij
Jenis kelamin tikus: Jantan
Oosis Sarcocystis singaporensis
KelompokIKelas (x 1000) Jumlah Rerata
Umur/ulangan 0 100 200 300 TKj YKj
00 01 D2 D3
Anak JI I YOII Y I11 Y2I1 Y3I1 TKII YKI1
2 Y012 Y I12 Y212 Y312 TK12 YKI2
3 YO 13 Y113 Y213 Y313 TK13 YK13
Oewasal 12 1 Y021 Y I21 Y221 Y321 TK21 YK21
tua 2 Y022 Y122 Ym Ym TK22 YK22
3 Y023 YI23 Ym Ym TK23 YK23
J umlah (TPi) TPI TP2 TP3 TP4 Yij Yij
Keterangan: T = total K =kelompok P = perlakuan Y = respons
21
Metode Analisis Data
Analisis data dalam rancangan percobaan penelitian ini digunakan metode analisis sidik ragam dan uji LSD (Least Significant Different).
Analisis Sidik Ragam Model Linier
Model Iinier yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok dengan model matematika sebagai berikut:
Y
ij=
!!+
'tj+
i3j+
Ejjdimana:
Yijk = tingkat respons (masing-masing terhadap: tingkat kematian, dan lama kematian) dari pengaruh pemberian dosis S. singaporensis ke-i serta kelompok kelas umur ke-j
!! rata-rata respons
'tj pengaruh pemberian dosis S. singaporensis ke-i i3j pengaruh kelompok/kelas umur ke-j
Ejj = galat dari pemberian dosis S. singaporensis ke-i serta kelompok kelas umur ke-j
Hipotesis yang Diuji
Pengujian untuk pengaruh per1akuan:
Ho
=
'I
= ,,=
'3
=
'4
=
0 ~ tolak Hojika Fhit""l~ F Tabel (a, dbp, db,)HI = minimal ada satu i dim ana 'ti
*
0i=\,2,3,4
Pengujian untuk pengaruh kelompok:
Ho
=
~I=
~2=
0 ~ tolak Hojika Fhitkdompok> F Tabel (a, dh>, db,)HI = minimal ada satuj dimana ~j
*
0 j = 1,2Analisis sidik ragam dilakukan terhadap masing-masing jenis kelamin dengan menggunakan Tabel Analisis Sidik Ragam (Ansira) sebagai berikut.
Tabel 3 Tabel Analisis Sidik Ragam Sumber Perlakuan Kelompok Galat Total Db dbp = t-I dbk = b-I dbg dbt = tb-J JK JKP JKK JKG JKT Y .. '
(L:rif)'
Faktor koreksi (FK) = rJ rJPerhitungan derajat bebas (db) db"" = t·1
db,,,
=
b-I db ... ~ = t(r-I)db,oml = t. r·1
Perhitungan Jumlah Kuadrat (JK) JK,oul
=
LLY;/ - FKJK"," = (Iy;'/r) - FK JK.,I
=
(LY,'lt) - FKJ~
=
JK,oul - JK,.,wru.. - JK""ompokPerhitungan Kuadrat Tengah (KT) KT"" = JKp/dbp KT "I = JK./db, KT ... ~= JKg/db. Fh;hmg =KTp1KT. FTabel = F o:(dbp; dbg) Kesimpulan: KT KTP KTK KTG Fhit KTP/KTG KTKlKTG
o Untuk perlakuan pemberian dosis S. singaporensis: Bila Fh;_ > Fa (p, dbg) maka tolak Ho, artinya perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap fespons
o Untuk kelompok kelas umur tikus: Bila Fh; .. ns > Fa (k. dbs) maka tolak Ho, artinya
23
Apabila Ho ditolak, maim dilakukan uji lanjut dengan uji LSD (Least Siginificant Different)
Uji LSD
[KT;
LSD = t =taf2(dbg
)fb-b-LSD=t=
tan
(dbg}..J2KT glb Uj i hipotesis (Yi = Xi)• Ho: '! = '2 = 0
~
I Xi -
Xl
I
•
Ho:'!
= '3 = 0 ~IXi -ii31
•
Ho:'!
='4
= 0 ~IXi -Xii
•
Ho: '2=
'3 = 0 ~IXi-ii31
•
Ho: '2=
'4
=
0 ~IXi -Xii
Kesimpulan:• Apabila pengujian hipotesis tersebut lebih besar dari LSD, maka
Ho
ditolak, artinya teljadi perbedaan yang nyata antara periakuan• Apabila pengujian hipotesis tersebut kurang dari LSD, maka Ho diterima, artinya artinya pada perlakuan terse but tidak ada perbedaan yang iiyata
Analisis Biaya Produksi Bio Rodentisida
Analisis biaya produksi bio rodentisida dilakukan berdasarkan biaya produksi peletJumpan yang dibuat dengan pemberian dosis S. singaporensis yang paling efektif. Komponen biaya produksi terdiri dari:
I. Penyediaan ular 2. Pengolahan sporocyst
3.
Pembuatan pellet4. Pembuatan Bio Rodentisida 5. Pengemasan
6. Biaya Pemasaran 30%
7.
Keuntungan 30%Berdasarkan anal isis biaya produksi pelet tersebut maka akan diketahui jumlah yang dihasilkan dan biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi pelet maupun sporocyst pada satuan tertentu. Dengan demikian biaya produksi bio rodentisida dalam bentuk pelet pada dosis yang paling efektif dapat ditentukan baik per butir maupun per satuan berat tertentu.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pernberian Dosis Sarcocystis Singaporensis terhadap Tingkat Kernatian Tikus Betina
Hasil penelitian pada tikus betina secara urnum menunjukkan bahwa perlakuan pemberian berbagai dosis sporocyst mulai dari 100.000, 200.000 dan 300.000 memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kematian. Hasil tersebut ditunjukkan dalam hasil analisis sidik ragam yang tersaji pada Lampiran 8. Namun demikian berdasarkan hasil analisis terse but temyata kelompok kelas umur tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kematian tikus.
Pemberian perlakuan berbagai dosis Sarcocystis singaporensis terhadap tikus betina rata-rata menunjukkan kecenderungan semakin tinggi dosis semakin tinggi tingkat kematian tikus. Namun demikian sampai pada batas tertentu tingkat kematian mengalami penurunan seperti terlihat pada Gambar 13. Penurunan tersebut diduga tidak akan linier sejalan dengan peningkatan dosis bila dilihat dari pola penurunan tingkat kematian yang relatif kecil (0, II). Tingkat kematian tertinggi secara umum terjadi pada dosis 200.000 sporocyst.
120,00 : 100,00 c: 80,00 to
ii
E 60,00'"
I
~ 40,00 ~ 0 20,00 0,00I
0 100.000 200.000 300.000 Oasis! -+-Anak _______ Dewasa ~ Rata-rata !
I !
Tingkat Kernatian Tikns Betina pada Berbagai Dosis
Hasil pereobaan perlakuan berbagai dosis sporocyst mengakibatkan kematian tikus, kecuali perlakuan dosis 0 sporocyst (kontrol) tidak ada tikus yang mati. Hal ini membuktikan bahwa pelet yang diberikan tidak berpengaruh terhadap kematian tikus. Namun demikian seeara umum perlakuan pemberian berbagai dosis sporocyst mulai dari 100.000, 200.000 dan 300.000 memberikan pengaruh sangat nyata seperti ditunjukkan pada hasil anal isis sidik ragam yang tersaji pada Lampiran 8 dan hasil uji LSD yang tersaji pada Tabel 5.
Pemberian pelet dengan dosis 100.000 sporocyst mengakibatkan total kernatian tikus sebanyak 61, II %, dengan kernatian tikus betina kelas umur anak sebesar 66,67%, sedangkan tikus betina kelas urnur dewasa sebesar 55,56%. Perlakuan dosis 200.000 sporocyst memberikan pengaruh yang sarna seperti perlakuan dosis 100.000 sporocyst namun mengakibatkan jumlah kematian tikus lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan dosis 100.000. Total kematian tikus akibat perlakuan ini adalah sebesar 88,89% dari total tikus uji yang digunakan. Kematian tertinggi teJjadi pada kelompok tikus betina kelas umur anak yaitu sebesar 100%, sedangkan tikus betina kelas umur dewasa yaitu sebesar 77,78%. Total kematian tikus akibat pcrlakuan dosis,JOO.OOO sporOcyst adalah sebesar 77.78% dari total tikus uji yang digunakan. Kernatian pada tikus betina kelas umur anak sebesar 88,89% lebih tinggi dari pada tikus betina kelas umur dewasa sebesar 66,67%. Persentase kematian pada dosis 200.000 dan 300.000 sesuai dengan hasil penelitian Jaekel (2005) yang menyatakan dosis antara 200.000 -400.000 sporocyst manlpu mengurangi populasi tikus sawah sebesar 70-90%. Jumlah dan persentase kematian tikus betina disajikan pada Tabel4.
Tabe I 4 J urn lah dan persentase kematian tikus betina
Kelas Dosis Sporocyst Jumlah
Umur 0 100.000 200.000 300.000
L
%L
%L
%L
%L
%Anak 0 0,00 6 66,67 9 100,00 8 88,89 23 63,89 Dewasa 0 0,00 5 55,56 7 77,78 6 66,67 18 50,00 Jumlah 0 0,00 II 61,11 16 88,89 14 77,78 41 56,94
Tingkat kematian cenderung sesuai dengan peningkatan dosis sporocyst (0, 100.000, 200.000 dan 300.000). Hasil tersebut sesuai dengan hipotesis bahwa
27
semakin tinggi dosis semakin tinggi tingkat kematian tikus. Meskipun pada dosis 300.000 sporocyst terjadi penurunan tingkat kematian, namun diperkirakan tidak akan terjadi secara linier dengan peningkatan dosis sporocyst yang diberikan. Kondisi tersebut dapat dilakukan pendekatan dengan hasil penelitian terhadap tikus jantan kelas umur anak juga mengalami penurunan pada dosis 300.000 sporocyst, namun pada tikus jantan dewasa mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut diduga pada dosis mulai 200.000 sporocyst akan teIjadi tingkat kematian tikus yang relatif stabil.
Uj i LSD pengaruh dosis terhadap tingkat kematian tikus menunjukkan bahwa perlakuan 100.000, 200.000 dan 300.000 sporocyst berbeda sangat nyata dengan perlakuan 0 sporocyst (kontrol), demikian juga antara perlakuan 100.000, dan 200.000. Sedangkan perlakuan 100.000 maupun 200.000 dengan 300.000 sporocyst secara statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan seperti tersaji pada Tabel 5. Berdasarkan dlita tersebut, dapat diketahui bahwa dosis yang efektif daIi efisien dalam membunuh tikus, yaitu 200.000 sporocyst. Hal terse but disebabkan pada dosis tersebut mampu memberikan efek maksimal terhadap kematian tikus betina seperti pada pemberian dosis yang lebih tinggi, namun dengan jumlah yang lebih rendah diharapkan dapat lebih efisien dalam penggunaannya.
Tabel 5 Hasil uji LSD perlakuan dosis terhadap kematian tikus betina Dosis Sporocyst 0 100.000 200.000 300.000
0 0 0,61** 0,89** 0,78**
100.000 0 0,28** 0,17*
200.000 0 0,11*
300.0()0 0
Keterangan:' Berbeda nyata pada taraf 5% •• berbeda sangat nyata pada taraf 1 % Kematian Tikns Betina Kelas Umur Anak dan Dewasa
Secara umum tikus betina kelas umur anak mengalami kecenderungan kematian lebih tinggi dibandingkan dengan tikus kelas umur dewasa selama perlakuan. Tikus betina kelas umur anak mati sebesar 63,89% sedangkan tikus betina kelas umur dewasa mati sebesar 50,00%. Namun demikian berdasarkan hasil analisis sidik ragam seperti pada Lampiran 5, diperoleh hasil F hitung lebih kecil dari F tabel. Dengan demikian, meskipun berdasarkan data terlihat adanya
Kecenderungan tingkat kematian tikus betina kelas umUT anak lebih tinggi dibandingkan dengan tikus betina kelas umur dewasa secara umum disebabkan daya Uihan tubuh tikus betina kelas umur anak lebih rendah. Hal tersebut diduga disebabkan oleh perkembangan tubuhnya belum sempuma. Hasil penelitian ini sangat menguntungkan dalarn kegiatan pengendalian populasi tikus, karena bio rodentisida ini efektif untuk semua kelas umur tikus betina. Dengan demikian target dari pemberian umpan dengan menggunakan bahan aktif S. singaporensis ini dapat ditujukan baik untuk tikus betina kelas umur anak maupun dewasa dengan efektivitas yang sarna.
Pengaruh Pemberian Dosis Sarcocystis Singaporensis
Terhadap Lama Kematian Tikus Betina
Lama Kematian Tikus Betina pada berbagai dosis
Berdasarkan hasil percobaan diketahui rata-rata lama kematian tikus pada perlakuan berbagai dosis dan kelas umur adalah 15,81 hari. Lama kematian tikus tercepat terjadi pada hari ke-13 (terjadi pada perlakuan dosis 200.000 dan 300.000 sporocyst) dan
teri~ma
adalah pada hari ke-23 (terjadi pada dosis 100.000 dan 200.000 sporocyst).Tabel6 Rata-rata larna kematian tikus betina
Kelas Vmur Dosis Rata-rata
100.000 200.000 300.000
Anak 17,33 15,67 14,78 15,93
Dewasa 16,17 16,33 14,61 15,70
Rata-rata 16,75 16,00 14,69 15,81
Rata-rata lama kematian tikus pada perlakuan dengan dosis 100.000 sporocyst merupakan peringkat terlama yaitu 16,75 hari, diikuti dengan perlakuan dengan dosis 200.000 sporocyst (16,00 hari) dan dosis 300.000 (14,69 hari) seperti terlihat pada Gambar 14.
18,00 i -17,50
t--17,00 +----16,50 t---;:-·-:;--===~~SS~_=___= ._ 16,00t-~ t-~::t-~t-~ ft-~_t-~
-
_~_ ~~
______
-~-.-,_~
... -._-::.::: __
:::_~§._;.,_
.... _____ . ___ .
1400+--·-13:50 -I',-=-~--:-~~
13,00 100.000 200.000 300.000 Dosis ,-- --- --- - - - --- II--+-Anak _____ Dewasa -...- Rata-rata ,I
L __________________________________ l
---
-Gambar 14 Rata-rata lama kematian tikus pada perlakuan berbagai dosis 29
I
II
Berdasarkan hasil pengamatan terlihat kecenderungan bahwa semakin tinggi dosis semakin cepat terjadi kematian tikus. Namun demikian berdasarkan hasil analisis sidik ragam seperti tersaji pada Lampiran 10, diketahui bahwa perlakuan dosis (100.000, 200.000, 300.000 sporocyst) tidak berpengaruh terhadap lama kematian tikus betina. Hal terse but disebabkan aktivitas S. Singaporensis mempunyai fase tertentu dalam perkembangbiakannya. Kondisi tersebut diduga sesuai dengan aktivitas S. cruzi seperti dijelaskan oleh Dubey (1989) yang dalam perkembangbiakannya me1alui berbagai tahapan tertentu. Kondisi tersebut mengakibatkan S. cruzi maupun S. singaporensis membutuhkan waktu tertentu untuk dapat mengakibatkan kematian tikus.
Lama Kematian Tikus Betina pada Kelas Umur Anak dan Dewasa
Rata-rata lama kematian tikus betina kelas umur anak adalah 15,93 hari, sedangkan tikus betina ke1as umur dewasa adalah 15,70 hari. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian Jaekel (2001) yang menyatakan bahwa parasit tersebut dapat digunakan sebagai agen bio kontrol yang mampu mengurangi 70-90% dalam waktu sekitar 2 minggu. Berdasarkan data tersebut, terlihat kecenderungan bahwa kelas umur tikus betina tidak mempengaruhi lama kematian. Hasil analisis sidik ragam seperti pada Lampiran 10 menunjukkan bahwa kelas umur tidak berpengaruh terhadap lama kematian tikus sawah.
Pengaruh Pemberian Dosis Sarcocystis Singaporensis terhadap
Tingkat Kematian Tikus Jantan
Hasil penelitian pada tikus jantan secara umum menunjukkan bahwa perlakuan pemberian berbagai dosis sporocyst mulai dari 100.000, 200.000 dan 300.000 memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kematian. Hasil tersebut ditunjukkan dalam hasil analisis sidik ragam yang tersaji pada Lampiran 15. Namun demikian berdasarkan hasil analisis tersebut temyata kelompok kelas umur tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kematian tikus. Hasil penelitian tersebut cenderung sarna dengan yang terjadi pada tikus betina pada penelitian ini.
Pemberian perlakuan berbagai dosis Sarcocystis singaporensis terhadap tikus jantan rata-rata menunjukkan kecenderungan semakin tinggi dosis semakin tinggi tingkat kematian tikus. Seperti pada tikus betina perlakuan dosis 0 sporocyst tidak memberikan pengaruh terhadap kematian tikus jantan, tidak ada tikus jantan yang mati. Dosis 100.000 sporocyst mengakibatkan kematian sebesar 61,11%, dosis 200.000 sporocyst mengakibatkan kematian sebesar 77,78%, sedangkan dosis 300.000 sporocyst mengakibatkan kematian sebesar 94,44% seperti terlihat pada Gambar 15.
co
'"
~ E Q)""
<1' 120,00 ' - . 100,00 80.00 60.00 40,00 20,00 0.00o
- _ . . _ _ .. _ ... _ .. ·_·-1r O T
100.000 200.000 300000 Oasis-I
I , I I31
Berdasarkan gambar tersebut rata-rata terjadi peningkatan persentase kematian dari dosis 100.000, 200.000 dan 300.000 sporocyst. Penurunan kematian tikus jantan akibat perlakuan dosis ini teljadi pada tikus kelas umur anak pada pemberian dosis 300.000 sporocyst. Peningkatan kematian tikus jantan dewasa pada dosis 300.000 sporocyst dan penurunan tingkat kematian tikus jantan ke las umur anak pada dosis yang sarna menunjukkan bahwa mulai dosis 200.000 sporocyst tingkat kematian tikus diduga relatif stabil.
Tingkat Kematian Tikus Jantan pada Berbagai Dosis
Perlakuan dosis 0 sporocyst atau pelet tanpa sporocyst tidak memberikan pengaruh terhadap kematian tikus sarna dengan yang teljadi pada tikus betina. Hal tersebut berbeda dengan perlakuan 100.000, 200.000, dan 300.000 semua memberikan pengaruh terhadap kematian tikus seperti terlihat pada Tabel 7. Kondisi tersebut sarna dengan yang teljadi pada tikus betina pada penelitian ini.
Pemberian pelet dengan dosis 100.000 sporocyst secara umum mengakibatkan total kematian tikus sebesar 61,11%. Kematian tikusjantan kelas umur anak mencapai 77,78%, sedangkan kelas umur anak 44,44%. Total kematian tikus akibat perlakuan dosis 200.000 sporocyst meningkat bila dibandingkan dengan perlakuan dosis 100.000 sporocyst menjadi sebesar 77,78% dari total tikus uji yang digunakan. Kematian tertinggi terjadi pada kelompok tikus jantan kelas umur anak yaitu 100%, sedangkan tikus jantan kelas umur dewasa 55,56%. Semua tikus uji kelas dewasa 100% mati akibat pelakuan dosis 300.000 sporocyst, sedangkan pada kelas umur anak mati hingga 88,89%. lumlah dan persentase kematian tikus jantan pada penelitian ini tersaji pada Tabel 7.
Tabel 7 lumlah dan persentase kematian tikus jantan
Kelas Dosis Sporocyst lumlah
Umur 0 100.000 200.000 300.000
L
%L
%L
%L
%L
%Anak 0 0,00 7 77,78 9 100,00 8 88,89 24 66,67
Dewasa 0 0,00 4 44,44 5 55,56 9 100,00 18 50,00
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui adanya kecenderungan semakin tinggi dosis semakin tinggi tingkat kematian tikus sesuai dengan hipotesis penelitian ini. Hasil uji LSD pemberian dosis terhadap kematian tikus jantan menunjukkan bahwa semua perlakuan 0 sporocyst berbeda dengan perlakuan 200.000 dan 300.000 sporocyst, namun antara perlakuan 200.000, dan 300.000 secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan seperti terlihat pada Tabel8.
Tabel 8 Hasil uji LSD terhadap tingkat kematian tikus jantan Dosis
o
100.000 200.000 300.000 0 0 100.000 0,61 0 200.000 0,78" 0,17 0Keteraogao:' Berbeda oyata pada taraf5%" berbeda sangat oyata pada taraf 1%
300.000 0,94"
0,33 0,17 0
Berdasarkan uji LSD tersebut dapat diketahui bahwa dosis yang efektif dan efisien dalam membunuh tikus jantan adalah pada dosis 200.000 sporocyst. HasH tersebut sarna dengan dosis efektif dan efisien dalam membunuh tikus betina hasH penelitian ini.
Tingkat Kernatian Tikus Jantan pada Kelas Vrnur Anak dan Dewasa
Secara umum tikus jantan kelas umur anak mengalami kecenderungan kematian lebih tinggi dibandingkan dengan tikus kelas umur dewasa selama perlakuan. Tikus jantan kelas umur anak mati sebesar 66,67% sedangkan tikus j'mtan kelas umur dewasa mati sebesar 50,00%. HasH tersebut sesuai dengan hipotesis penelitian ini meskipun hasH anali:;is sidik ragam terhadap kelas umur tikus jantan seperti tersaji pada Lampiran IS, menunjukkan bahwa F hitung lebih kecil dari F tabel yang berarti bahwa kelas umur tikus jantan tidak berpengaruh terhadap kematian. Dengan demikian, meskipun berdasarkan data terlihat adanya perbedaan pengaruh kelas umur terhadap kematian tikus, namun perbedaan tersebut tidak signifikan. HasH ini sesuai dengan hasH penelitian pada tikus betina, bahwa kelas umur tikus betina tidak berpengaruh terhadap kematian. Hal ini sangat menguntungkan karena target dari pemberian umpan dengan menggunakan
33
bahan aktif S. singaporensis ini dapat digunakan baik untuk tikus sawah jantan maupun betina pada kelas umur anak maupun dewasa dengan efek yang sama.
Pengaruh Pern berian Dosis Sarcocystis Singaporensis Terhadap Lama Kernatian Tikus Jantan
Berdasarkan hasil percobaan diketahui secara umum dosis sporocyst mempengaruhi lama kernatian tikus jantan. Rata-rata lama kematian tikus pada perlakuan berbagai dosis dan kelas umur adalah 16,30 hari seperti tersaji pada Tabel 9. Lama kematian tikus tercepat teljadi pada hari ke-13 (terjadi pada perlakuan 300.000 sporocyst) dan terlama adalah pada hari ke-23 (terjadi pada 200.000 sporocyst).
Tabel 9 Rata-rata lama kematian tikus jantan
Kelas Umur Dosis Rata-rata
100.000 200.000 300.000
Anak 15,67 15,44 15,00 15,37
Dewasa 18,33 17,00 16,33 17,22
Rata-rata 17,00 16,22 15,67 16,30
Rata-rata lama kematian tikus pada perlakuan dengan ~osis 100.000
"
sporocyst merupakan peringkat terlama yaitu 17,00 har~ diikuti dengan perlakuan dengan dosis 200.000 sporocyst (16,22 hari) dan dosis 300.000 (15,67 hari) seperti terlihat pada Tabel 9. Rata-rata lama kematian tikus jantan kelas umur anak adalah 15,37 hari, sedangkan tikusjantan kelas umur dewasa adalah 17,22 hari, teljadi perbedaan 1,85 hari antara kelas umur tersebut. Berdasarkan data tersebut, terlihat kecenderungan bahwa kelas umur tikus jantan mempengaruhi lama kematian seperti terlihat pada Gambar 16.
Hasil analisis sidik ragam terhadap lama kematian tikusjantan seperti tersaji pada Lampiran 11 menunjukkan hasil bahwa perlakuan berbagai dosis (100.000, 200.000, 300.000 sporocyst) tidak berpengaruh terhadap lama waktu kematian tikus. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian pada tikus betina, bahwa dosis tidak berpengaruh terhadap lama kematian tikus betina
2000 ,
-i~:gg
+-
=-=iE-~~~~~;;~-~-~~~~=11~ ~=-=
14:001----·c 12,00 i ---. -- -. --- --m 10,00+----
---
-::c
~:gg
r ---
--~--
---
~--~:gg
F -
.~:-
, --- _ _
__
~
I 100.000 I 200000 I 300.000 I I Doo~- - - ,
I-+-Anak __ Dewasa --.-Rata-rata I- - -- - -
-Gam bar 16 Lama kematian tikus jantan kelas umur anak dan dewasa
Hasil analisis sidik ragam terhadap kelompok menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap lama kematian tikus sawah. Hal ini berarti bahwa kelas umur tikus (anak dan dewasa) mempengaruhi lama kematian tikus. Hasil ini berbeda dengan tikus betina pada penelitian ini. Perbedaan ini diduga antara tikus jantan dan betina memiliki struktur organ yang berbeda yang berpengaruh terhadap lama kematian tikus pada masing-masing jenis kelamin. Perbedaan lama kematian yang terjadi tikus jantan diduga karena struktur organ tikus jantan kelas umur anak relatif belum sempuma dibandingkan dengan tikus jantan dewasa. Hal itu sesuai dengan pendapat Aplin (2003) yang menyatakan bahwa tingkat kedewasaan tikus jantan cenderung lebih lama bila dibandingkan dengan tikus betina. Perbedaan lama kematian tersebut sesuai dengan hasil uji LSD pengaruh kelas umur terhadap lama kematian tikus seperti pada Tabel 10 yang menunjukkan bahwa lama kematian tikus jantan kelas umur anak berbeda nyata dengan tikus jantan kelas umur dewasa. Selisih waktu kematian antara keduanya relatif keeil (1,85 hari), meskipun bila dibandingkan dengan tikus betina pada penelitian ini lama kematian tikus jantan relatif.lama.
Tabel 10 Hasil uji LSD pengaruh kelas umur terhadap kematian tikus jantan Kelas Umur Anak Dewasa Anak
o
Dewasa 5,56'o
35
Penelitian ini secara umum kurang dapat membandingkan dengan hasil penelitian lainnya khususnya terhadap masing-masingjenis kelamin maupun kelas umur tikus, karena hingga penyusunan tesis ini belum ada referensi yang mendukung. Oleh karena itu pembanding dalam penelitian ini dilakukan terhadap semua jenis kelamin maupun kelas umur tikus sesuai dengan data referensi yang ada.
Pengaruh dosis baik pada tikus jantan maupun tikus betina kelas umur anak maupun dewasa berdasarkan hasil penelitian menunjukkan kecenderungan semakin tinggi dosis semakin tinggi persentase kematian tikus. Namun demikian persentase kematian tersebut diduga tidak linier sebanding dengan peningkatan dosis S. Singaporensis yang diberikan. Persentase kematian tikus sawah jantan maupun betina akibat penggunaan dosis 200.000 sporocyst yang diberikan mencapai 77,78-88,89%. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Jaekel (2005) yang menyatakan bahwa penggunaan S. Singaporensis dapat menurunkan populasi antara 70-90%. Bila dibandingkan dengan pengendalian cara lain penggunaan bio rodentisida ini lebih efektif seperti ditunjukkan dari hasil uji lapangan di Lop Buri Thailand, yang menyatakan bahwa kerusakan hanya mencapai 0,5%. Pengendalian secara konvensional dengan menggunakan racun akut seperti seng phospida dan pagar berlistrik mengakibatkan kerusakan antara 1,6-1,1%, sedangkan bila tanpa penanganan berakibat kerusakan hingga 5,8% (Jaekel 2005). Namun demikian berdasarkan hasil penelitian Suhana (2003), Cara pengendalian tikus di sawah irigasi dengan pemasangan perangkap bubu (Trap Barier System) terbukti lebih efektif pada pengendalian tikus sawah di Sukamandi dibandingkan dengan cara pengendalian tikus lainnya, yaitu gropyokan, pengoboran, dan pemasangan umpan. Berdasarkan penelitian terse but diduga bio rodentisida juga kurang efektif pada pengendalian tikus di sawah irigasi, karena pada dasarnya penerapan bio rodentisida sama dengan penerapan pemasangan umpan.
Efektivitas bio rodentisida ditinjau dari waktu yang dibutuhkan untuk membunuh tikus relatif lebih lama jika dibandingkan dengan pengendaJian cara lain seperti cara mekanis maupun penggunaan zat racun. Penggunaan bio rodentisida ini membutuhkan waktu 15,81 s.d. 16,30 hari sedangkan penggunaan
rodentisida kimia seperti Klerat RM hanya membutuhkan waktu 4-6 hari, terlebih lagi dengan cara gropyokan atau pengemposan yang hanya membutuhkan waktu 1 hari. Namun demikian kondisi tersebut diduga dapat lebih menguntungkan dalam kegiatan pengendalian populasi tikus karena dapat mengatasi adanya sifat tikus yang sangat curiga terhadap benda asing yang baru ditemuinya (neo-phobia) (Priyambodo 1995). Dengan demikian konsumsi bio rodentisida diharapkan lebih tinggi dibandingkan dengan rodentisida kimia, sehingga persentase kematian tikus lebih tinggi.
Gejala Urn urn yang Terjadi Akibat Pernberian
Sarcocystis singaporensis
Sarcocystis singaporensis dalam bentuk sporocyst dalam pelet yang diberikan pada tikus berdasarkan hasil percobaan terbukti sangat mempengaruhi tingkat kematian. Secara umum efek pemberian umpan yang mengandung sporocyst terjadi 10 hari setelah perlakuan. Tanda-tanda secara fisik yang terlihat akibat perlakuan teisebut baik tikus betina maupun jantan kelas umur anak dan dewasa adalah rambut terlihat kasar/berdiri dan bagian muka terlihat membengkak. Disamping itu juga terlihat pelupuk mata mulai mengecil dan
sebagian mengeluarkan "air mata. AJctivitas tikus secara umum terlihat sangat berbeda sekali antara tikus yang sakit (perlakuan 100.000, 200.000, dan 300.000 sporocyst) dengan tikus yang sehat (perlakuan 0 sporocyst).
Gerakan tikus baik jantan maupun betina yang sakit menjadi lamban, meskipun tikus tersebut diberi rangsangan dengan menggunakan lidi. Setelah 2 sampai 3 hari mengalami gejala tersebut tikus mulai lumpuh pada kedua kaki be lakangnya, sehingga untuk berpindah tempat tikus mengandalkan kaki depannya bahkan untuk tikus dengan sakit yang parah tidak mampu berpindah tempat ke manapun. Hal tersebut disebabkan oleh adanya daya menginfeksi dari S. singaporensis yang mampu menyerang daya tahan tubuh tikus hingga tikus terse but menjadi sakit. Daya menginfeksi atau menulari suatu penyakit, menurut Syamsudin (1991), tergantung dari jumlah (dosis), virulensi agen penyakit (jasad renik) dan daya tahan tubuh hewan yang diserang. Mekanisme/tahapan S. singaporensis dalam menginfeksi tikus adalah melipatgandakan dirinya di dalam pembuluh darah, dan membentuk kista di dalam otot, tikus cenderung sedikit