DJOHAN SJAHROEZAH,
MERAJUT JEJARING PERJUANGAN
Irwansyah Nuzar, Rezza Aji Pratama, Adie Marzuki
DJOHAN SJAHROEZAH,
MERAJUT JEJARING PERJUANGAN
Irwansyah Nuzar, Rezza Aji Pratama, Adie Marzuki
© Pusat Inovasi & Kemandirian Indonesia Raya, Jakarta Cetakan Pertama 2012
Hak cipta dilindungi oleh undang-‐undang All rights reserved
Pengantar :
Agustanzil (Ibong) Sjahroezah, Rushdy Hoesein
Editor Konten :
Rushdy Husein, Imam Yudotomo Desain sampul PIKIR Institute Penerbit : PIKIR INSTITUTE
Pusat Inovasi & Kemandirian Indonesia Raya Jl. Batu 1 No. A6 Pejaten Timur
Pasar Minggu – Jakarta Selatan www.pikir.org
Edisi Pertama buku ini diterbitkan dalam rangka Peringatan Hari Lahir Djohan Sjahroezah ke -‐ 100
Daftar Isi
Dari Penerbit vi
Kata Pengantar
Oleh Agustanzil Sjahroezah vii Oleh Rushdy Hoesein X Pendahuluan Lahirnya Nasionalisme 1 Organisasi Klandestin 5 Terbentuknya Ideologi 11 BAB I
Angin Perubahan dari Timur 14 Politik Etis 15 Sarekat Islam dan ISDV 17 Transformasi SI Merah 22
BAB II
Membangun Gerakan Bawah Tanah 27 Mengorganisir Kaum Buruh 33 Jejaring Revolusioner 35 Marxis yang Bukan Komunis 39
BAB III
Metamorfosis Wadah Perjuangan 42 Kursus ala Marx House 44 Membangun Partai Rakyat Sosialis 47 Bergabung Untuk Bercerai 49 Peletak Dasar Ideologi PSI 52
BAB IV
Proklamasi dan Inisiatif Kaum Muda 57 Upaya Propaganda Jepang 61 Hari-‐hari Genting Proklamasi 64 Peran Djohan di Surabaya 66
BAB V
Jatuh Bangun Republik 72 Dari Linggarjati Hingga Renville 77
Pemberontakan Madiun 81
BAB VI
Poros Revolusi Yogyakarta 85 Pathuk, Kelompok Revolusioner 87
Godfather Pathuk 94
BAB VII
Konsistensi Kerakyatan 96 Sosialisme Kerakyatan dan Komunisme 99 Partai Kader dan Partai Massa 102 Kader Tak Pernah Padam 106
BAB VIII
Merintis Demokrasi 108 Pemilu Bersih 1955 109 PSI dalam Pemilu 1955 112 Fase Demokrasi Terpimpin 117
BAB IX
Sumatera Memanas 123 Rapat Rahasia Sungai Dareh 125 PSI dan PRRI 127 PSI Dibubarkan 130
BAB X
Mentor Hingga Ujung Usia 136 Dinamika Internal PSI 139 Kematian Djohan Sjahroezah 143
Daftar Pustaka
Profil Penulis
Tulisan-‐Tulisan Djohan Sjahroezah Sosialisme Kerakyatan dan Komunisme Sosialis— Komunis – Sosialis Demokrat Negara dan Partai Politik
Foto Dokumentasi
Dari Penerbit
Pusat Inovasi dan Kemandirian Indonesia Raya (PIKIR) dalam kapasitasnya sebagai lembaga kemasyarakatan yang independen, mencanangkan program-‐program yang substansinya adalah membangun masyarakat yang Kolektif, Mandiri dan Humanis. Pembangunan ini difokuskan pada komunitas-‐komunitas dari berbagai bidang dan berbagai daerah, yang meliputi program pengayaan wawasan, peningkatan kualitas paham kerakyatan, acuan kemandirian dalam bersikap, serta ekonomi dengan sustainabilitas tinggi, dan oleh karenanya humanis.
Namun yang utama dalam implementasi program-‐program tersebut adalah kesiapan mental serta pola pikir yang berlandaskan nafas kebangsaan serta menjunjung nilai-‐nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Untuk itu, instrumen yang dipersiapkan untuk keperluan pembangunan suprastruktur program mencakup: pendidikan kebangsaan, pemahaman ideologi dan pemahaman yang mendalam akan akar kearifan berdasar pengetahuan kesejarahan sebagai bangsa.
Dalam konteks pemikiran tersebut, Divisi Inovasi PIKIR yang disebut PIKIR Institute, menginisiasi penerbitan sebuah buku yang dimaksudkan untuk membangun kesadaran sejarah dan kebangsaan, yang diperlukan dalam mengimplementasikan konsep-‐konsep kerakyatan yang oleh Penerbit dianggap sebagai suatu keniscayaan.
Jakarta, November 2012 Tedy Tricahyono, Ketua Umum PIKIR
Kata Pengantar
Oleh : Agustanzil Sjahroezah
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, saya mengantarkan penerbitan buku perdana tentang Djohan Sjahroezah: "Merajut Jejaring Perjuangan". Penerbitan buku ini dalam rangka memperingati 100 Tahun Djohan Sjahroezah (26 November 1912—2 Agustus 1968), bukan untuk mengkultuskan dirinya, tapi merupakan upaya untuk menarik pelajaran dari perjuangannya bagi bangsa ini untuk berjuang dengan ikhlas, totalitas dan rela berkorban demi harkat dan martabat Bangsa.
Djohan Sjahroezah sudah memasuki gerakan politik sejak duduk dibangku AMS pada 1930, dengan mengikuti kursus-‐ kursus politik yang diadakan Golongan Merdeka—orang-‐ orang yang tidak menyetujui pembubaran PNI—kemudian masuk menjadi anggota PNI -‐ Pendidikan (Pendidikan Nasional Indonesia).
Sebagai mahasiswa RHS (Rechts Hoge School) , beliau masuk sebagai anggota PPPI (Perhimpunan Pelajar-‐Pelajar Indonesia) dan aktif menulis dalam majalah resmi PPPI Indonesia Raya. Karena tulisannya dalam Indonesia Raya beliau terkena ‘pers delict’ yang kemudian dikenai hukuman penjara satu hingga satu setengah tahun di Penjara Sukamiskin Bandung. Dengan dipenjarakannya, justru menjadi blessing in disguise, sehingga beliau tidak termasuk yang 'dibuang' ke Digul.
Saat dipenjara, Bung Djohan sempat diuji oleh Professor Scheffer dari RHS dan lulus. Beliau tidak sempat menyelesaikan studinya di RHS karena tidak mau
menandatangani perjanjian untuk tidak aktif berpolitik sebagai syarat untuk melanjutkan studinya di RHS.
Setelah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, feodalisme masih merajalela di negeri ini, bahkan kini kapitalisme dan neo-‐liberalisme sedang menguasai perikehidupan kita. Maka sangatlah tepat usaha penerbitan buku tentang Bung Djohan ini. Dalam perjuangannya beliau selalu membangun solidaritas kemanusian di antara sesama pejuang. Beliau dikenal sebagai mata rantai dari setiap gerakan dalam revolusi Indonesia. Perjuangan yang dilakukannya dengan membangun kesadaran rakyat untuk melepaskan diri dari keterjajahannya dilakukan dengan hidup bersama kelompok-‐kelompok pejuang itu.
Sudah saatnya—kalau tidak boleh dikatakan terlambat—bagi kita untuk menarik pelajaran berharga dari corak pergerakan perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia yang dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan di masa itu, yang menjalani perannya dengan penuh keikhlasan dan rela berkorban. Pada buku ini ditunjukkan totalitas perjuangannya Bung Djohan, yang dengan tekun dan rapi merajut jaringan perjuangan ke arah Indonesia merdeka.
Bung Djohan adalah sosok pemimpin yang demokratis, humanis dan tekun dalam membina kader perjuangan, untuk menggalang persamaan cita-‐cita dan dukungan masyarakat untuk membangun suatu gerakan revolusioner mencapai kemerdekaan Indonesia.
Dalam kehidupannya, ia tetap rendah hati sehingga sulit bagi kita untuk mendapatkan cerita tentang perannya dalam perjuangan kemerdekaan, kecuali melalui kawan-‐kawan
seperjuangannya. Pada 1980-‐an Bapak Darsyaf Rahman telah memulai menulis biografi Djohan Sjahroezah, dengan melakukan wawancara dengan berbagai tokoh seperti Adam Malik, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Cak Ruslan Abdulgani, Mr. Wilopo, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Soebadio Sastrosatomo, dan lain lain. Tapi sebelum buku tersebut selesai Bapak Darsyaf Rahman sudah dipanggil sang Khalik. Hingga kini naskah tersebut tidak diketahui keberadaannya, sedang semua narasumber tersebut sudah berpulang ke rahmatullah. Oleh karenanya penerbitan buku ini sangat dihargai. Dengan melakukan berbagai kajian dengan menggunakan buku-‐buku sejarah dan buku-‐buku yang ada, memuat tentang Djohan Sjahroezah sebagai referensi selain melakukan wawancara dengan orang-‐orang, yang masih sempat bertemu dan berhubungan dengan Bung Djohan buku dapat diterbitkan.
Penghargaan yang tinggi patut diberikan kepada ketiga penulis: Irwansyah Nuzar, Rezza Aji Pratama dan Adie Marzuki yang mengambil inisiatif untuk menulis dan menerbitkan buku pertama tentang Djohan Sjahroezah.
Semoga buku yang diterbitkan dalam rangka peringatan 100 tahun Djohan Sjahroezah ini akan menginspirasi munculnya sosok pemimpin dan pejuang yang berani, ikhlas dan rela berkorban demi kemajuan bangsanya. Amin.
Jakarta, 26 November 2012
Kata Pengantar
Oleh : Dr. dr. Rushdy Hoesein, M.Hum
Buku Djohan Sjahroezah, dengan judul “Merajut Jejaring Perjuangan” ini merupakan buku yang cukup lengkap menuturkan tentang riwayat hidup Bung Djohan Sjahroezah. Siapakah Bung Djohan Sjahroezah? Mungkin banyak yang belum mengenalnya. Beliau adalah salah seorang dari Pejuang Nasional Indonesia yang amat aktif dalam perintisan kemerdekaan Indonesia dan perjuangan Revolusi Kemerdekaan. Selain itu beliau juga tidak pernah absen dalam pembangunan Bangsa setelah 1950-‐an.
Sejak muda beliau aktif dalam organisasi kepemudaan yang terkait bidang sosial politik. Selain sebagai anggota PPPI (Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia) kemudian melanjutkan diri sebagai aktifis Pendidikan Nasional Indonesia (dikenal juga sebagai PNI baru), Bung Djohan adalah anggota Partai Sosialis bahkan menjadi Sekretaris Jenderal PSI (Partai Sosialis Indonesia) sampai PSI bubar. Dalam perjuangan Revolusi Kemerdekaan Indonesia 1945-‐ 1949 Bung Djohan adalah anggota Lasjkar Minyak yang aktif dalam pengorganisasian para pejuang Jawa Timur dan juga dalam gejolak medan pertempuran. Sampai saat ini banyak masih yang bersaksi kalau beliau merupakan salah satu konseptor dan mobilisator dari pertempuran antara pasukan Indonesia dan Inggris selama Oktober—November 1945 di Surabaya yang akhirnya salah satu harinya dikenang sebagai Hari Pahlawan 10 November 1945.
Dalam teori ilmu sejarah, maka masalah kesejarahan lebih dilihat sebagai struktur bukan semata-‐mata hanya pada peristiwa. Banyak sudah kita mengenal epos revolusi yang
menggambarkan sebuah peristiwa, maka dengan pemahaman struktur sejarah, satu peristiwa revolusi dengan lainnya lebih mudah dimengerti dan dikaitkan. Bung Djohan adalah orang penting dari perubahan yang terjadi saat itu yang disebut dengan istilah ‘agent of change’. Nampaknya Bung kita ini sangat mengeri tentang Marxisme dibanding dari teman-‐teman dari Partai Sosialis lainnya. Keilmuan ini dimanfaatkannya dan diaplikasikannya dalam perjuangan melawan penjajahan di Indonesia. Pengamalan ilmu politik disampaikannya pada banyak orang yang kemudian tumbuh dan berkembang serta aktif di perjuangan politik lain. Salah satunya, antara lain, munculnya kader-‐kader baru yang mengaku adalah anak didik Bung Djohan seperti adanya. Ini diakui dan disampaikan oleh berbagai penulis sejarah seperti William H. Fredeerick 1, Harry A. Poeze2 maupun Rudolf Mrazek3. Demikian pula penulis Indonesia seperti Rosihan Anwar dan Djoeir Moehamad, secara jujur memaparkan dengan sangat objektif peran dan kegiatan Bung Djohan dalam pergerakan dan pembangunan Bangsa.
Sungguh buku ini yang ditulis oleh Irwansyah Nuzar, Rezza Aji Pratama, Adie Marzuki dan diterbitkan oleh Pusat Inovasi & Kemandirian Indonesia Raya (PIKIR) serta diluncurkan pada peringatan 100 tahun kelahiran Djohan Sjahroezah pada 26 November 1912, pantas dibaca, dipahami dan dimanfaatkan oleh generasi muda sekarang maupun di masa depan.
Jakarta, 26 November 2012
1 H.Frederick, William. Pandangan dan Gejolak. hal 207.
2 A. Poeze, Harry. Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, hal 352.
PENDAHULUAN Lahirnya Nasionalisme
Sampai dengan saat ini, arus besar perspektif sejarah mengenai terbentuknya nasionalisme di Indonesia, umumnya didasari atau mengacu kepada pemahaman sejarah pertumbuhan nasionalisme negara-‐bangsa di Barat. Keunikan proses historis yang berlangsung di Indonesia belum mendapat porsi fokus yang cukup, dan nasionalisme yang terlihat pada era seputar Proklamasi Kemerdekaan pada 1945 dianggap sebagai suatu kewajaran proses dalam sejarah. Faktanya, proklamator kemerdekaan kita, Bung Karno dan Bung Hatta merasakan keraguan besar ketika diminta mendeklarasikan terbentuknya Republik Indonesia. Mereka meragukan dukungan tujuh puluh juta lebih rakyat Nusantara pada saat itu, terhadap ide kemerdekaan sebagai Republik Indonesia, dan meragukan legitimasi proklamasi yang akan dilakukan.
Pemerintahan Belanda yang merubah struktur dasar organisasi sosial orang Jawa dan beberapa daerah di luar Jawa, membuat organisasi ekonomi dalam masyarakat Nusantara yang memiliki sosiodiversifikasi beragam ini lebih komunalistis. Komunitas-‐komunitas di masyarakat berkembang dengan kesadaran ekonomi dan kedaulatan yang begitu rendah. Perpecahan kerajaan-‐kerajaan besar di Jawa maupun di daerah lain yang diinisiasi pemerintah Belanda, semakin mempertegas dinding-‐dinding etnisitas dan tribalisme di dalam masyarakat Indonesia. Pemilahan-‐ pemilahan masyarakat ke dalam komunitas-‐komunitas kecil yang dilakukan pemerintahan Belanda, membuat rakyat Nusantara tumbuh sebagai kelompok-‐kelompok kecil yang miskin wawasan, miskin ilmu dan terperangkap dalam pola pikir pasif serta apatis. Konsep negara-‐bangsa dengan teritori
mencakup seluruh kepulauan Nusantara, hanya dipahami secara samar oleh mayoritas penduduk saat itu.
Kondisi bangsa pada saat itu, dimana dari total 73,3 juta populasi rakyat hanya tujuh persen yang mampu baca tulis, ide bernegarapun masih sulit diterima oleh rakyat umum. Mayoritas masyarakat belum benar-‐benar paham akan makna negara dari Sabang sampai Merauke yang berdaulat dan merdeka. Bukan hanya kendala wawasan, bahkan golongan terpelajar pun seperti menjauhi ide kemerdekaan dan pembentukan negara bangsa yang baru. Terlihat pada kasus organisasi Insulinde yang didirikan oleh Ernest Douwes Dekker, Dr. Cipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hadjar Dewantara. Insulinde adalah perkembangan dari Indische Partij yang visinya adalah menyadarkan masyarakat dengan menghidupkan kembali harga diri, rasa mampu, dan rasa kebangsaan atau nasionalisme. Walaupun belum menembus seluruh lapisan masyarakat yang ada, ide tersebut mengalami proses bola salju sejalan dengan waktu.
Pada 1919, Insulinde yang memiliki 40 ribu orang anggota, mencoba menunjukkan identitas kebangsaan dengan merubah bentuk organisasi menjadi Nationaal-‐Indische Partij atau NIP, tetapi aksi tersebut malah membuat organisasi ditinggal sebagian besar anggotanya. NIP berpendapat bahwa orang Hindia itu tidak hanya bumiputera saja, tetapi Indo-‐ Belanda, Indo-‐Cina, Indo-‐Arab dan orang-‐orang yang dilahirkan di Hindia atau yang menganggap Hindia sebagai tanah airnya. NIP merupakan partai pelopor yang berpikir dalam kerangka nasionalisme yang berbeda dari organisasi sejenis yang sejaman. Walaupun membawa kerangka berpikir yang ditabukan pada masanya, dan walaupun merupakan jawaban bagi rasa ketidakpuasan bangsa yang tertindas, ide
tersebut tidak mudah dicerna oleh setiap kelompok masyarakat sebagai suatu keniscayaan.
Penyerahan Belanda yang tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, kabupaten Subang pada 8 Maret 1942, dari Jenderal Terpoonten di pihak Belanda kepada Jenderal Imamura dari pihak Jepang, meresmikan babak baru kolonialisme di Nusantara. Pemerintahan Jepang di Nusantara walaupun singkat, tetapi mampu membuat kondisi mental masyarakat bahkan lebih buruk lagi. Janji-‐janji Asia Timur Raya sempat membuai pola pikir pasif di masyarakat dan bahkan di segelintir elit yang sebelumnya menyuarakan perubahan dan perlawanan. Bahkan pemerintahan Jepang yang eksploitatif dan tidak berperikemanusiaan membuat kebanyakan rakyat menjadi sibuk bertahan hidup, dan hampir tidak mampu untuk memikirkan selain hidupnya sendiri serta keluarganya. Jepang yang semakin lama semakin berat mengimbangi serangan Sekutu, memang menjanjikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, yang walaupun hal tersebut lebih terdorong oleh motif penggalangan dukungan, agar rakyat bersedia membantunya melawan Sekutu, namun hal tersebut sempat meredam gerak perlawanan di masyarakat yang sedikit itu.
Periode ini hampir dapat dikatakan menghilangkan lapisan kelas menengah pribumi, yang sebelumnya cukup baik memimpin pergerakan sosial di masyarakat. Pemerintah Jepang membangun struktur masyarakat yang terdiri atas golongan timur asing, seperti China, India dan Arab. Golongan yang dipersamakan, terdiri dari orang Belanda dan keturunannya, orang Eropa lainnya, orang yang bukan bangsa Eropa tetapi telah masuk menjadi golongan Eropa. Dan terakhir adalah golongan Bumiputera, yaitu orang pribumi yang paling keras menerima dampak kolonialisme dalam
wujud terburuknya. Dalam konteks ini, argumen Bung Karno ketika menunda proklamasi dengan alasan kemerdekaan pasti diberikan oleh Jepang, dapat dianggap sebagai suatu sikap yang timbul akibat keraguan pada kesiapan serta antisipasi rakyat dalam menyikapi kemerdekaan. Karena pernyataan Bung Karno kepada Sjahrir di awal pendudukan Jepang, bahwa “Jepang adalah fasis murni yang harus dilawan dengan metode yang paling halus,” menunjukkan bahwa Bung Karno tidak berniat menerima janji kemerdekaan dari Jepang.
Oleh karena hal-‐hal tersebut, Bung Karno sangat terkejut ketika proklamasi dapat disambut baik oleh mayoritas masyarakat, dan lebih terkejut lagi ketika organisasi-‐ organisasi di dalam masyarakat ternyata mampu menindaklanjuti proklamasi dengan aksi-‐aksi yang sistemik dan nasionalis secara menggebu. Kesiapan dalam mengantisipasi proklamasi kemerdekaan itu memang terlihat kematangannya. Dalam tempo yang singkat pemerintahan tersusun, dan masyarakat segera larut dalam euforia kemerdekaan, serta dengan mudah beradaptasi dengan negara-‐bangsa yang baru terbentuk. Mayoritas rakyat secara serentak menyikapi kemerdekaan dengan positif dan bersedia melakukan segala yang perlu, demi mempertahankannya. Perlu dicermati bahwa peralihan dari masyarakat yang pasif menjadi progresif ini bukan terjadi sekonyong-‐konyong. Adalah gerakan organisasi-‐organisasi bawah tanah yang tumbuh menjelang dan selama pemerintah Jepang, yang mengkondisikan sikap tersebut. Gerakan bawah tanah yang selama pendudukan Jepang secara aktif mengelaborasi perubahan sikap dan pemikiran dalam masyarakat, berhasil mengkondisikan kesiapan mental masyarakat yang telah terjajah selama beberapa generasi.
Organisasi Klandestin
Gerakan organisasi bawah tanah mulai marak menggantikan perlawanan terbuka pada awal abad ke-‐20. Seiring dengan munculnya kaum intelektual pasca diterapkannya Politik Etis, gerakan bawah tanah bawah muncul secara sporadis dan konsisten. Walaupun gerakan bawah tanah tersebut lebih banyak berwujud kerangka berpikir yang revolusioner ketimbang gerilya bersenjata, namun militansi yang terbentuk atas dasar idealisme tersebut mampu menginspirasi kelahiran banyak pejuang-‐pejuang intelektual dari kalangan masyarakat menengah di Nusantara. Selama pemerintahan Jepang, ada empat gerakan bawah tanah yang berpengaruh besar terhadap berkembangnya rasa ketidakpuasan terhadap pemerintahan, juga penyebaran ide-‐ ide mengenai nasionalisme dan kedaulatan di dalam masyarakat.
Ironinya, salah satu gerakan yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin dengan memanfaatkan jaringan Partai Komunis Indonesia bawah tanahnya, diinisiasi oleh pemerintah Belanda melalui Dr. Charles van der Plas. Organisasi ini meredup ketika Amir Sjarifuddin dan beberapa pimpinan lainnya tertangkap. Gerakan bawah tanah lainnya adalah Persatoean Mahasiswa, yang dengan aksi menentang serta mengkritik pemerintah Jepang secara terbuka mampu membakar semangat anti Jepang. Kekuatan gerakan bawah tanah berikutnya walaupun tidak terlalu luas jejaringnya, namun pengaruhnya cukup kuat karena beranggotakan orang-‐orang yang militan seperti Sukarni, Pandu Kartawiguna, Chaerul Saleh, Maroeto Nitimihardjo, dan didukung intelektual veteran pada saat itu, Tan Malaka.
Kelompok-‐kelompok ini semuanya terkait secara khusus kepada gerakan bawah tanah yang lebih besar pimpinan
Sutan Sjahrir. Organisasi ini mampu mengembangkan cabang-‐ cabangnya secara luas di kota-‐kota besar di Jawa, Bali, dan Sumatera. Gerakan bawah tanah ini mengorganisir jejaring pemuda terpelajar, golongan buruh, sampai kaum tani yang berorientasi progresif revolusioner. Terdapat juga gerakan-‐ gerakan yang terlihat sporadis dari sekelompok pemuda terpelajar seperti yang dipimpin oleh Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara, yang turut menyebarkan ide-‐ide kedaulatan dan mengumpulkan informasi intelejen untuk dipergunakan oleh organisasi yang lebih besar. Para revolusioner ini umumnya berangkat dari kesadaran akan dominasi asing atas bangsanya, yang mendorong tumbuhnya keinginan yang semakin menguat akan kemerdekaan.
Gerakan-‐gerakan bawah tanah ini walaupun secara jumlah sangat kecil prosentasenya dibanding total jumlah masyarakat Nusantara, namun mereka mampu menggalang dukungan dan menggugah kesadaran dalam masyarakat. Kegiatan bawah tanah ini mampu merasuk kedalam pemikiran masyarakat secara luas, menanamkan ide kedaulatan, membangkitkan dan menebar rasa ketidakpuasan terhadap pemerintahan kolonial, serta mendidik rakyat dalam mempersiapkan diri menghadapi kemerdekaan sebagai sebuah negara-‐bangsa. Inisiator gerakan ini umumnya kelas menengah yang sempat mendapatkan pendidikan formal di sekolah-‐sekolah Belanda. Gerakan mereka tidak menjurus perlawanan bersenjata, tetapi lebih bertujuan menggalang solidaritas dan memperteguh cita-‐cita perjuangan.
Walaupun gerakan-‐gerakan tersebut terlihat berdiri sendiri-‐ sendiri, namun hasil besar yang mereka peroleh adalah akibat adanya sinergi yang didasari oleh keterikatan emosi dan visi yang kuat, antara satu kelompok dengan yang lain. Sinergi
yang diatur secara sistematis dan terkordinasi. Organisasi-‐ organisasi tersebut menginfiltrasi ke dalam PETA–organisasi Pembela Tanah Air–yang terdiri dari tentara Indonesia yang dipimpin oleh orang Indonesia dan mendapat pendidikan militer dari orang Jepang, dan organisasi-‐organisasi pemuda binaan Jepang dengan tujuan untuk memegang kendali di setiap unit-‐unit kunci melalui anggota-‐anggota yang dapat dipercaya, dan menggiring anggota-‐anggota lainnya justru ke arah anti Jepang.
Mereka melakukan indoktrinasi ke dalam setiap unsur yang mungkin dimasuki. Tokoh-‐tokoh militan dari organisasi bawah tanah tersebut masuk ke dalam organisasi-‐organisasi semi militer seperti barisan pembantu polisi Keibodan, barisan pemuda Seinendan, organisasi perhimpunan wanita Fujinkai, organisasi siswa sekolah dasar dan menengah Seinentai dan Gakutotai, sampai ke Syuisintai, barisan pelopor yang dibimbing langsung oleh tokoh-‐tokoh nasionalis Indonesia seperti Bung Karno, Otto Iskandardinata, R.P. Suroso, dan lainnya. Hambatan besar bagi gerakan ini justru datang dari pribumi yang terbuai dengan kenaikan pangkat dan kenaikan status sosial ekonomi yang diberikan Jepang bagi mereka yang mengisi kekosongan administratif dan teknis level menengah.
Infiltrasi juga masuk ke dalam organisasi-‐organisasi politik seperti gerakan propaganda Jepang dalam Perang Asia Timur Raya pimpinan Mr. Samsudin dan Shimizu, organisasi PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) dengan tokoh pemimpinnya “empat serangkai” yang terdiri atas Bung Karno, Bung Hatta, KH. Mas Mansyur dan Ki Hajar Dewantara. Mereka berhasil membelokkan orientasi organisasi tersebut secara signifikan dan justru memanfaatkan infrastruktur organisasi tersebut untuk membangun kekuatan daya tawar sebagai entitas
negara, ketika pasukan Sekutu yang diprediksi akan mampu mengalahkan Jepang datang ke tanah air. Mayoritas pimpinan organisasi pada saat itu tidak menghendaki kemerdekaan sebagai hadiah dari Jepang, selain dari aspek harga diri, juga meragukan legitimasi kemerdekaan tersebut. Karena Jepang semakin nampak sebagai pihak yang akan kalah perang.
Pada saat itu, umumnya pimpinan gerakan bawah tanah sepakat mengenai prediksi Sjahrir tentang kekalahan Jepang dan datangnya invasi tentara Sekutu. Mereka sepakat untuk mengambil momentum datangnya tentara Sekutu pada saat vacuum of power dalam mengambil alih pemerintahan dari tangan Jepang dan memproklamasikan suatu negara baru. Dengan maksud tersebut, kelompok Sjahrir secara rutin dan kontinyu memonitor setiap peristiwa terkait peperangan Jepang melawan Sekutu melalui siaran radio luar negeri. Walaupun pada saat itu mendengarkan radio dilarang keras oleh pemerintah Jepang, Sjahrir secara konsisten menganalisa berita-‐berita dari radio Sekutu untuk mendapatkan peluang bergerak.
Setiap informasi penting yang didapat biasanya diserahkan kepada Bung Hatta untuk disebarkan ke setiap lini gerakan. Pada masa ini, sifat gerakan adalah kombinasi dari kerangka pemikiran elit pimpinan dalam organisasi-‐organisasi bawah tanah dan laskar-‐laskar rakyat bersenjata yang bersifat lokal. Mereka tersebar di setiap tempat strategis dan memiliki ketua serta karakternya sendiri yang berbeda satu sama lainnya. Namun setiap jajaran dalam organisasi-‐organisasi atau kelompok-‐kelompok harus bersiap untuk merespon informasi dengan suatu aksi yang tepat. Untuk itu, sangat penting dilakukan koordinasi antar organisasi dan kelompok dengan baik dan cepat.
Konsolidasi antar organisasi tersebut diatur oleh seorang tokoh kunci bernama Djohan Sjahroezah. Dengan segala keterbatasan fasilitas komunikasi, Djohan Sjahroezah yang kerap dipanggil Bung John atau Bung Djohan oleh rekan-‐ rekan dekatnya, mengambil peran sebagai perantara utama dalam hubungan antarorganisasi bawah tanah tersebut. Kegiatan ini menjadi krusial karena kolaborasi dan komunikasi antar organisasi tersebut harus menghadapi Jepang sebagai penguasa dan sekaligus intelejen Sekutu yang masuk melalui pribumi yang termasuk binaan Belanda. Namun peran tersebut dapat dimainkan Bung Djohan dengan baik, karena sejak usia belasan di awal tahun 1930-‐an Djohan telah aktif bergerak secara klandestin dan menjalin jejaring dengan setiap kelompok dalam pergerakan.
Aktivitas seperti penyebaran paham dan cita-‐cita kemerdekaan, baik dengan cara menyusun sel di berbagai tempat, maupun penyebaran siaran serta bacaan yang berguna bagi perjuangan menuju kemerdekaan, telah dilakukannya sejak mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia atau yang dikenal sebagai PNI Baru, yang diketuai Soekemi. Pada saat itu, Bung Djohan yang baru berusia 19 tahun adalah sekretaris PNI Baru cabang Jakarta yang diketuai Sjahrir. PNI Baru yang kemudian berpindah pimpinan dari Soekemi ke Sjahrir adalah suatu organisasi yang mendasari aksi serta kegiatannya pada suatu pemahaman yang menganalisis kapitalisme, imperialisme dan munculnya fasisme yang saling melengkapi, serta berusaha untuk menempatkan rakyat Nusantara dalam suatu gambaran global sebagai penduduk dunia.
Ketika Bung Hatta kembali dari Belanda dan mengambil alih kepemimpinan PNI Baru, Djohan bersama Maroeto Nitimihardjo dan Bung Hatta melakukan pengkaderan secara
rutin dan mendidik pemuda-‐pemuda mengenai politik dan kebangsaan. Kegiatan ini banyak mempertemukan Djohan dengan pemuda-‐pemuda progresif revolusioner yang menjadi kadernya. Mereka kemudian mendirikan atau bergabung dalam kelompok atau organisasi yang tersebar di penjuru Jawa dan Bali. Karena aktivitas inilah maka Djohan memiliki kader hampir di setiap kelompok, yang membuatnya menjadi simpul dari organisasi-‐organisasi bawah tanah. Pemahamannya yang mendalam akan Marxisme dan kedekatannya dengan tokoh-‐tokoh Islam dari Masyumi, membuat Djohan adalah satu dari segelintir orang yang dapat diterima oleh semua golongan.
Sifat gerakan bawah tanah yang bekerja secara rahasia dan tertutup ini memiliki musuh utama berupa pengkhianatan dari dalam diri gerakan itu sendiri, serta organisasi-‐organisasi atau badan-‐badan kontra gerakan bawah tanah yang dibentuk oleh penguasa dimana gerakan bawah tanah tersebut beroperasi. Oleh sebab itu, gerakan bawah tanah ini sangat tertutup, dan akibatnya, narasi sejarahnya sulit ditemukan dalam literatur sejarah resmi, terutama yang ditulis dalam bentuk historiografi untuk kepentingan akademis. Keanggotaan gerakan bawah tanah ini bersifat sukarela dengan dasar militansinya adalah idealisme. Dalam hal ini, idealisme tersebut dapat berupa kecintaannya yang besar terhadap negaranya atau nasionalisme, maupun terhadap paham atau ideologinya, serta terhadap kebenaran tujuan gerakan atau organisasinya.
Maka dari itu, kegiatan dari setiap anggota gerakan bawah tanah ini jarang bisa diungkap oleh siapapun, termasuk oleh rekan seperjuangan. Tertutupnya aktivitas bawah tanah tersebut dapat terilustrasikan dari kisah keluarga Bung Djohan yang mengeluhkan bahwa cerita yang dibawa ke
rumah hanyalah peristiwa-‐peristiwa kecil berkaitan tentang sifat rekan-‐rekannya. Bahkan yang sangat mengganggu bagi keluarga dekatnya adalah, Bung Djohan selalu memakai kalung dengan liontin berisi racun sianida, yang akan mencegah dirinya membuka informasi gerakannya jika dirinya sampai tertangkap musuh.
Terbentuknya Ideologi
Idealisme bagi Djohan adalah suatu pemikiran akan nilai kebenaran yang dipegang teguh. Seperti umumnya kelas menengah yang beruntung mendapatkan pendidikan sampai universitas, Djohan sempat mengenyam pendidikan tinggi di Recht Hoge School (RHS) Batavia, walaupun kemudian keluar tanpa sempat menyelesaikan pendidikannya karena ditangkap akibat kasus penulisan artikel di majalah Indonesia Raya yang mengkritisi pemerintah Belanda. Djohan juga mengikuti kursus-‐kursus mandiri yang diselenggarakan oleh Golongan Merdeka di berbagai kota. Ia memanfaatkan momentum perubahan akibat Politik Etis yang dilangsungkan pemerintah Belanda.
Aspek pendidikan dalam Politik Etis membuka sebuah pintu tanpa bisa dibendung: informasi. Dalam era tersebut, terjadi peristiwa-‐peristiwa di dunia yang memicu zeitgeist atau semangat zaman yang baru, termasuk di Hindia Belanda. Kejayaan Turki yang goncang merangsang pembaruan dalam pemikiran Islam, reformasi Kwang-‐zu di China yang dampaknya terbawa oleh organisasi Tiong Hwa Hwe Koan memicu tumbuhnya semangat anti penjajahan, perang Boer di Afrika Selatan yang menginspirasi pemikiran bahwa penjajahan itu dapat dan harus dilawan, serta kemenangan Jepang atas Rusia yang memperlihatkan anggapan bahwa
bangsa Eropa tak terkalahkan itu salah. Dalam semangat jaman seperti itulah Djohan dibesarkan.
Pada masa tersebut, dunia pers yang menyuarakan masalah politik semakin marak, seperti Retnodhoemilah yang diambil alih Wahidin Soedirohoesodo dari F.L. Winter di Surakarta, Medan Prijaji yang dipimpin R.M. Tirto Adhi Soerjo, harian Oetoesan Hindia dari Tjokroaminoto, Koran Api, Halilintar dan Nyala dari Semaoen, koran Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak dari Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara, Benih Merdeka dan Sinar Merdeka dari Parada Harahap, dan seterusnya. Sedikit pergeseran konstelasi politik Internasional dan terbukanya akses informasi tersebut memicu lahirnya pemikir-‐pemikir patriotik yang menginginkan perubahan dan kemakmuran. Pada era tersebut, gema revolusi Rusia, berkembangnya pemikiran seperti Leninisme, Trotskysme dan sosialis Eropa Barat seperti Eduard Bernstein serta Neo Marxist seperti Georg Lukács, Karl Korsch dan Antonio Gramsci, berkembang di kalangan intelektual progresif sebagai suatu keniscayaan.
Pemikiran-‐pemikiran progresif dan revolusioner ini mengendap dalam benak Djohan muda, dan mengkristal sebagai suatu paham ideologis. Pemahaman akan perjuangan melawan kapitalisme, imperialisme dan fasisme melalui kegiatan intelektual dan pergerakan tersebut, menjadi dasar pemikiran ketika anggota-‐anggota PNI Baru yang masih hidup pada 1948, bersama-‐sama dengan orang yang sependirian keluar dari Partai Sosialis untuk mendirikan Partai Sosialis Indonesia. Bersama dengan Soegondo, Djohan merangkai ideologi partai tersebut dan mengembangkan suatu isme yang disebut dengan Sosialisme Kerakyatan. Pemikiran yang didasari pemahaman Marxisme murni yang disesuaikan dengan karakter serta kondisi demografis dan geografis
Indonesia, yang secara konsisten dan militan diterapkan dalam gerak perjuangan.
Dalam Partai Sosialis Indonesia, Djohan terus membangun usaha ideologis dalam rangka membangun integritas bangsa, pendidikandan penempatan posisi Indonesia di dalam konstelasi politik global. Walaupun ide-‐ide Sjahrir memiliki arti yang penting bagi perkembangan ideologi dan program partai, namun Partai Sosialis Indonesia senantiasa mengandalkan pemikir bebas yang banyak mempengaruhi pemikiran sosial di dalam maupun diluar partai, seperti Djohan. Menurut Djohan, sosialisme yang dikembangkan oleh Partai Sosialis Indonesia telah secara seksama disesuaikan dengan kondisi-‐kondisi yang ada serta tumbuh di Indonesia. Interaksinya dengan para kader dari berbagai daerah, dan pada akhirnya, tersebar di berbagai wadah organisasi, membuat posisi sentral Djohan di kalangan aktivis tidak dapat dipungkiri.
Buku ini membahas peran-‐peran dan faktor-‐faktor dalam tahun-‐tahun seputar kelahiran Republik Indonesia yang terlewatkan arus besar historiografi. Tim Penulis berusaha melukiskan konteks semangat jaman yang unik, dinamika isme-‐isme, dan pemikiran-‐pemikiran yang sejatinya mendominasi warna percaturan politik di Indonesia. Buku ini berusaha menutup lubang-‐lubang dalam catatan sejarah yang selama ini mengarahkan asumsi dan membentuk stigma atas suatu pemikiran, peristiwa, tokoh atau aktivitas, dengan pemanfaatan jejaring tua untuk risetnya.
BAB I
ANGIN PERUBAHAN DARI TIMUR
Sebuah peristiwa besar terjadi di Eropa, revolusi yang dipimpin oleh golongan Bolshevik telah menghapus kepemilikan borjuis atas alat-‐alat produksi, mengambil alih pabrik-‐pabrik, tanah, jawatan kereta api dan bank-‐bank menjadi milik seluruh rakyat dalam bentuk kepemilikan publik. Revolusi ini telah berhasil menancapkan kediktatoran proletariat dan menyerahkan pemerintahan kepada kelas pekerja untuk menjadi kelas penguasa. Dunia melihat bagaimana Partai Bolshevik telah mengantarkan sejarah umat manusia ke dalam suatu era baru yang revolusioner—yakni era proletar.
Dunia mengamati dialektika sejarah bahwa Partai Bolshevik muncul dari kelompok-‐kelompok kecil berhaluan Marxis yang berkembang di Rusia pada 1880-‐an. Kaum Bolshevik mendapatkan pengikut dari kalangan pekerja. Mereka membangun hubungan yang intens dengan gerakan kelas pekerja dan menanamkan kesadaran sosialis pada gerakan tersebut. Mereka mengkampanyekan serta menyebarluaskan ajaran-‐ajaran Marxisme pada kalangan pekerja yang saat itu hidup dalam kemiskinan.
Ketika pemerintah Rusia mengumumkan kebijakan memberhentikan sekitar 30 ribu pekerja di Petrograd pada 22 februari 1917, kalangan pekerja menyambutnya dengan pemogokan besar-‐besaran yang dipimpin oleh Aleksander FyodorovichKerensky—yang juga dikenal sebagai pemimpin kalangan Manshevik—menghasilkan mundurnya Tsar Nikolai II dari tahta Kerajaan Rusia pada 15 Maret 1917. Kemunduran Nikolai menyebabkan kekosongan kekuasaan, sehingga dibentuklah pemerintahan sementara oleh Duma sebagai
lembaga legislatif di era Tsar. Eksistensi pemerintahan sementara ini tidak diakui oleh kalangan kiri dewan pekerja dan prajurit Petrogad yang masih menginginkan bergulirnya revolusi.
Kalangan kiri Rusia akhirnya kembali mengadakan aksi demonstrasi pada tanggal 3—4 Juni 1917, sehingga pemerintahan sementara rontok dan dibentuk pemerintahan koalisi kedua, dibawah pimpinan Kerensky. Tidak puas dengan perkembangan yang ada, atas prakarsa Lenin, dimulailah apa yang disebut Revolusi Oktober, yang sejatinya terjadi di bulan November menurut penanggalan Gregorian. Setelah mendapatkan kemenangan yang gemilang, kaum Bolshevik meresmikan berdirinya Republik Soviet Rusia pada 25 Januari 1918, yang kemudian berubah nama menjadi Russian Socialist Federative Soviet Republic pada 10 Juli 1918. Bolshevik menyusun beberapa kebijakan politik maupun ekonomi untuk memperbaiki keadaan negara akibat dari revolusi dan perang.
Pemerintahan baru Bolshevik, mengumumkan program-‐ program yang akan mereka lakukan seperti menasionalisasikan seluruh bank swasta dengan bank milik pemerintah, nasionalisasi industri-‐industri besar, nasionalisasi tanah, serta pembentukan dewan pekerja yang mengontrol produksi dan pembagian pekerjaan yang akan menjalankan industri yang telah dinasionalisasi.
Politik Etis
Sukses besar ini tentu saja memberikan angin segar bagi kalangan pergerakan anti kapitalisme dan imperialisme di seluruh dunia. Ini juga yang dirasakan oleh anak bangsa di Nusantara yang sempat mengenyam pendidikan sebagai
dampak Politik Etis. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan Etische Politiek pada 1899 dengan motto “de Eereschuld” atau hutang kehormatan, dan dengan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”. Prinsip yang diterapkan dalam politik etis adalah perlunya pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan dan pendidikan rendah bagi pribumi yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Kemudian Pemerintah Kolonial membuat sekolah-‐sekolah yang bisa dimasuki oleh anak-‐anak pribumi seperti tingkat pendidikan dasar yang meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda, dan sekolah dengan pengantar bahasa daerah. Di tingkat selanjutnya ada sekolah peralihan, pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum, dan pendidikan kejuruan. Bagi mereka yang memiliki prestasi dan intelegensia tinggi diijinkan untuk mengenyam pendidikan tingkat tinggi di Belanda, atau di perguruan tinggi seperti Sekolah Tinggi Hukum, Sekolah Tinggi Kedokteran, serta Sekolah Ilmu Pemerintahan yang kesemuanya berada di Jakarta, dan Sekolah Tinggi Teknik khusus bidang ilmu bangunan air di Bandung. Kaum terpelajar pribumi lulusan sekolah tinggi saat itu jumlahnya tidak banyak, dan mereka pada umumnya terdiri dari anak-‐anak priyayi dan golongan menengah ke atas.
Kebijakan yang dianggap sebagai balas budi atas “kemurahan hati” penduduk pribumi terhadap pemerintah ini, membuka peluang bagi anak-‐anak pribumi—dari kalangan priyayi atau kelas atas—untuk mengenyam pendidikan ala Belanda. Namun dibalik niat balas budi itu, sesungguhnya pemerintah Kolonial tengah mempersiapkan tenaga kerja profesional siap pakai yang lebih murah ketimbang mereka mendatangkan
dari Eropa. Tapi harus diakui kebijakan politik etis di kemudian hari justru memunculkan kesadaran baru di kalangan pribumi, yang mengakibatkan lahirnya kalangan terpelajar yang sadar bahwa mereka dijajah, dan pentingnya berhimpun untuk melawan penjajahan tersebut.
Kelak, orang-‐orang yang paling keras melawan penjajahan Belanda justru berasal dari kalangan yang merasakan langsung dampak dari politik etis ini. Para pelajar Algemene Middelbare School (AMS) A ataupun AMS B, mahasiswa dari School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), Technische Hogeschool (THS), dan Rechts Hogeschool (RHS) inilah yang kemudian menjadi tokoh-‐tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Segelintir orang-‐orang tersebut yang memiliki kesadaran akan arti sebuah kemerdekaan yang harus diperjuangkan.
Sarekat Islam dan ISDV
Ketika kabar tentang Revolusi Kerensky sampai ke Hindia Belanda, pada Maret 1917 Sneevliet menulis artikel berjudul Zegepraal (kemenangan), yang menyanjung Revolusi Kerensky di Rusia:
“Telah berabad-‐abad disini hidup berjuta-‐juta rakyat yang menderita dengan penuh kesabaran dan keprihatinan, dan sesudah Diponegoro tiada seorang pemuka yang menggerakkan massa ini untuk menguasai nasibnya sendiri. Wahai rakyat di Jawa, revolusi Rusia juga merupakan pelajaran bagimu. Juga rakyat Rusia berabad-‐abad mengalami penindasan tanpa perlawanan, miskin dan buta huruf seperti kau. Bangsa Rusia pun memenangkan kejayaan hanya dengan perjuangan terus-‐menerus melawan pemerintahan paksa yang menyesatkan. Apakah penabur
dari benih propaganda untuk politik radikal dan gerakan ekonomi rakyat di Indonesia memperlipat kegiatannya? Dan tetap bekerja dengan tidak henti-‐hentinya, meskipun banyak benih jatuh di atas batu karang dan hanya nampak sedikit yang tumbuh? Dan tetap bekerja melawan segala usaha penindasan dari gerakan kemerdekaan ini? Maka tidak bisa lain bahwa rakyat di Jawa, di seluruh Indonesia akan menemukan apa yang ditemukan oleh rakyat Rusia: kemenangan yang gilang-‐gemilang.”
Snevlieet menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kemenangan Bolshevik, karena hal ini yang juga ia idam-‐ idamkan sejak masih di tanah airnya Belanda. Sebelum aktif membina golongan kiri di Indonesia, Sneevliet adalah mantan pimpinan Serikat Buruh Kereta dan Trem Nasional Belanda. Ia memulai perjalanan politiknya ketika dia bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik di Belanda pada 1901. Snevlieet berada di Indonesia setelah mundur dari jabatannya akibat dari pergesekan dengan federasi buruh yang dikuasai oleh Pemerintah Belanda.
Kedatangan Snevlieet di Hindia Belanda pada 1913, bertepatan dengan munculnya semangat berserikat di tengah masyarakat intelektual Nusantara. Sempat aktif menjadi sekretaris dari Handelsvereeniging (Asosiasi Buruh) di Semarang, Snevlieet akhirnya mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereniging) pada 1914. Kendati menggunakan nama “Indhische”, perkumpulan ini awalnya berisi orang-‐orang Belanda dan indo yang progresif. Keberadaan ISDV dengan pandangannya yang kiri, semakin tersiar berkat Koran Het Vrije Woord yang mereka terbitkan secara rutin. Pengaruh ISDV semakin luas terutama di kalangan buruh kereta api dan trem yang bernaung dibawah organisasi Vereniging van Spoor Tramweg Personal (VSTP).
Sementara di kalangan pemuda pribumi, ISDV menarik minat Semaoen, Alimin, dan Darsono.
Darsono menulis di surat kabar Het Vrije Woord milik ISDV mengajak seluruh elemen rakyat melakukan pemberontakan dan mengibarkan bendera merah. Semangat tersebut bahkan mempengaruhi partai-‐partai yang dianggap moderat dan mau bekerja sama dengan pemerintahan kolonial seperti Boedi Oetomo, Insulinde, dan Sarekat Islam (SI) juga terbawa untuk ikut mendesak agar pemerintah Belanda menggantikan Volksraad menjadi parlemen pilihan rakyat. Baru setelah Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum menjanjikan akan melakukan perubahan yang luas, tekanan dari kalangan pergerakan baik koperatif, maupun non koperatif, agak mereda.
Snevlieet dan ISDV menilai tak mungkin mewujudkan cita-‐cita mereka sendirian, untuk itu kemudian ISDV mendekati organisasi-‐organisasi yang dianggap potensial untuk menancapkan pengaruh mereka. Secara regular Snevlieet sering bertemu dan berdiskusi dengan kalangan pergerakan di Indonesia, termasuk dengan H.O.S. Tjokroaminoto. Dari kunjungan-‐kunjungannya ke rumah H.O.S. Tjoroaminoto yang juga menjadi tempat indekos beberapa pelajar yang kelak jadi tokoh pergerakan di generasi selanjutnya—seperti Sukarno, Semaoen, Darsono, hingga SM Kartosoewirjo—membawa Snevlieet dekat dengan beberapa diantara pelajar tersebut, dan merekrutnya ke dalam ISDV. Keberhasilan mereka merekrut Semaoen, Darsono dan Alimin, ketiganya adalah pimpinan-‐pimpinan SI Semarang yang berhasil direkrut oleh Snevlieet. Mereka punya kesamaan pandangan, prinsip-‐ prinsip ideologi radikal dengan ISDV—yang kebetulan VTSP tempat dimana Semaoen bergabung telah menjadi bagian dari ISDV. Pada akhirnya perpecahan di tubuh SI tak
terelakkan, perpecahan antar sayap moderat dan sayap radikal. Efek dari perpecahan inilah kemudian dikenal sebagai SI Putih yang dipimpin H.O.S. Tjokroaminoto, H. Agus Salim dan Abdul Muis, serta SI Merah yang dikepalai oleh Semaoen dan teman temannya.
Sementara Snevlieet sendiri kemudian terusir dari Indonesia sebagai bagian dari resiko aktivitas politiknya yang dianggap merongrong pemerintahan kolonial. Pada proses pengadilannya, Snevlieet membacakan pidato pembelaannya yang menjelaskan pokok-‐pokok pemikirannya tentang sosialisme secara ilmiah yang kemudian banyak menginspirasi pemimpin-‐pemimpin Indonesia kelak. Seperti pidato Bung Karno yang berjudul Indonesia Menggugat termasuk yang terpengaruh jalan pemikiran Snevlieet.
Semaoen, Darsono dan Alimin membawa pengaruh ISDV ke dalam tubuh SI yang juga memiliki visi perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. Lewat Semaoen, SI cabang Semarang yang memiliki anggota 20 ribu orang mulai diwarnai oleh ideologi Marxis. Bahkan bisa dikatakan dampak dari garis perlawanan terhadap kapitalisme yang begitu kuat membuat SI Semarang mulai bersebrangan dengan CSI (Central Sarekat Islam). Mereka mengkritik dan menentang keterlibatan SI dalam Volksraad. Tidak hanya di Semarang, pengaruh Snevlieet via Semaoen bahkan juga mempengaruhi daerah lainnya, seperti cabang rahasia dari SI Semarang di Jawa Barat yang disebut sebagai Afedeeling B yang didirikan oleh Sasrokardono pada 1917.
Yang juga perlu dicatat adalah sepak terjang “Haji Merah” di Surakarta yang bernama asli Misbach. Haji Misbach sendiri pernah menerbitkan surat kabar Medan Moeslimin pada 1915 dan surat kabar Islam Bergerak di 1917 yang kemudian menjadi media propaganda yang menentang pemerintah