Referat Referat
PREEKLAMPSIA
PREEKLAMPSIA
Oleh OlehSoraya Ayu Syada, S.Ked Soraya Ayu Syada, S.Ked
I1A006014 I1A006014 Pembimbing Pembimbing Dr. H. Sutarinda Z, Sp.OG (K) Dr. H. Sutarinda Z, Sp.OG (K)
BAGIAN/UPF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN BAGIAN/UPF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
RSUD ULIN – FK UNLAM RSUD ULIN – FK UNLAM
BANJARMASIN BANJARMASIN
Januari 2013 Januari 2013
Januari 2013 Januari 2013
BAB I BAB I
PENDAHULUAN PENDAHULUAN
Preeklampsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan Preeklampsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang
proteinuria yang timbul karena timbul karena kehamilan setelah kehamilan setelah usia usia kehamilan 20 kehamilan 20 minggu atauminggu atau seg
segera era setsetelah elah perpersalisalinannan. . EklEklampampsia sia adaadalah lah timtimbulbulnynya a kejkejang ang padpada a penpenderderitaita preeklampsia
preeklampsia yang yang disusul disusul dengan dengan koma. koma. Kejang Kejang terjadi terjadi bukan bukan karena karena kelainankelainan neu
neurolrologiogis. s. SupSuperimerimposposed ed prepreekleklampampsia sia adaadalah lah timtimbulbulnynya a prepreekleklampampsia sia atauatau eklampsia pada pasien yang menderita hipertensi kronik.
eklampsia pada pasien yang menderita hipertensi kronik.11 Preekl
Preeklampsia dan ampsia dan eklameklampsia psia merumerupakan suatu pakan suatu penypenyakit akit yang langsungyang langsung disebabkan oleh kehamilan. Keadaan ini sangat mempengaruhi kesejahteraan ibu disebabkan oleh kehamilan. Keadaan ini sangat mempengaruhi kesejahteraan ibu dan janin. Di Indonesia, preeklampsia dan ekslampsia disamping perdarahan dan dan janin. Di Indonesia, preeklampsia dan ekslampsia disamping perdarahan dan infeksi masih merupakan penyebab utama kematian ibu dan sebab kematian infeksi masih merupakan penyebab utama kematian ibu dan sebab kematian perinatal
perinatal yang yang tinggi. tinggi. Oleh Oleh karena karena itu itu diagnosis diagnosis dini dini preeklampsia preeklampsia yangyang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia serta penanganannya perlu segera merupakan tingkat pendahuluan eklampsia serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. Perlu ditekankan dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. Perlu ditekankan bahwa
bahwa sindrom sindrom preeklampsia preeklampsia ringan ringan dengan dengan hipertensi, hipertensi, edem edem dan dan proteinuriaproteinuria sering tidak diketahui atau tidak diperhatikan oleh wa
sering tidak diketahui atau tidak diperhatikan oleh wa nita yang bersangkutannita yang bersangkutan sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat dapat timbul preeklampsia berat dan sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat dapat timbul preeklampsia berat dan eklampsia. Dengan pengetahuan ini jelas bahwa pemeriksaan antenatal
eklampsia. Dengan pengetahuan ini jelas bahwa pemeriksaan antenatal yangyang teratur dan rutin sangat penting dalam usaha pencegahan preeklampsia berat dan teratur dan rutin sangat penting dalam usaha pencegahan preeklampsia berat dan eklampsia.1
Frekuensi preeclampsia untuk tiap Negara berbeda-beda karena banyak Frekuensi preeclampsia untuk tiap Negara berbeda-beda karena banyak factor yang
factor yang mempmempengaruengaruhinyhinya, a, diantdiantaranyaranya a jumljumlah ah primiprimigravigravida, da, keadaakeadaan n socialsocial ekonomi, perbedaan kriteria dalam penentuan diagnosis dan lain-lain.
ekonomi, perbedaan kriteria dalam penentuan diagnosis dan lain-lain.33
Perlu ditekankan bahwa sindrom preeklampsia ringan dengan hipertensi, Perlu ditekankan bahwa sindrom preeklampsia ringan dengan hipertensi, edem dan proteinuria sering tidak diketahui atau tidak diperhatikan oleh wanita edem dan proteinuria sering tidak diketahui atau tidak diperhatikan oleh wanita yan
yang g bersanbersangkutgkutan an sehingsehingga ga tanpa disadari dalam tanpa disadari dalam waktu singkat dapat timbulwaktu singkat dapat timbul preeklampsia
preeklampsia berat berat dan dan eklampsia. eklampsia. Dengan Dengan pengetahuan pengetahuan ini ini jelas jelas bahwabahwa pemeriksaan
pemeriksaan antenatal antenatal yang yang teratur teratur dan dan rutin rutin sangat sangat penting penting dalam dalam usahausaha pencegahan preeklampsia berat dan eklampsia.
pencegahan preeklampsia berat dan eklampsia.11 Berdasa
Berdasarkan rkan penelpenelitianitian Alberman Alberman, , disdisimpimpulkulkan an bahbahwa wa penpenyayakit kit ini ini leblebihih sering terjadi pada kehamilan pertama, kehamilan kembar dan kehamilan anggur. sering terjadi pada kehamilan pertama, kehamilan kembar dan kehamilan anggur. Ma
Makikintntua ua umumur ur kekehahamimilalan n mamakikin n titingnggi gi frfrekekueuensnsi i pepenynyakakitit..22 FrekuensiFrekuensi
preeklampsia
preeklampsia untuk untuk tiap tiap negara negara berbeda-beda berbeda-beda karena karena banyak banyak factor factor yangyang memp
mempengaruengaruhinyhinya, a, diantdiantaranyaranya a jumlah jumlah primiprimigravidgravida, a, keadaakeadaan n sosial sosial ekonoekonomi,mi, perbedaan kriteria dalam penentuan diagnosis dan lain-lain.
perbedaan kriteria dalam penentuan diagnosis dan lain-lain.33
Pe
Penanatatalalaksaksananaan an prpreekeeklamlampspsia ia beberat rat dadapapat t diditatangnganani i secsecarara a akaktitif f dadann ko
konsnservervatatif.if.AkAktitif f beberarrarti ti kekehahamimilalan n didiakakhihiriri/ / tetermrmininasi asi bebersrsamama a dedengnganan pengobatan
pengobatan medisinal medisinal sedangkan sedangkan konservatif konservatif berarti berarti kehamilan kehamilan dipertahankandipertahankan bersama pengobatan
bersama pengobatan medisinal dengan medisinal dengan prinsip tetap prinsip tetap melakukan pemantauan melakukan pemantauan janinjanin dengan USG atau kardiotokografi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Hipertensi didefinisikan sebagai keadaan dengan tekanan darah diastolik minimal 90 mmHg atau tekanan sistolik minimal 140 mmHg, atau kenaikan tekanan diastolik minimal 15 mmHg atau kenaikan tekanan sistolik minimal 30 mmHg, tekanan darah harus diukur minimal 2 kali dengan jarak waktu minimal 6 jam.4 Jika terjadi kurang dari 20 minggu atau terjadi setelah 48 jam postpartum
dikatakan atipikal eklampsia.1
Preeklampsia adalah keadaan dimana hipertensi disertai proteinuria atau edema atau keduanya yang terjadi akibat kehamilan pada minggu ke-20 atau kadang terjadi lebih awal bila terdapat perubahan hidatidiformis yang luas pada villi korialis (pada kasus molahidatidosa). 4 Dominan terjadi pada primigravida
dan meningkat 7-10 kali pada kehamilan berikutnya. Preeklampsia berat (PEB) mempunyai kemungkinan diturunkan, sehingga dikatakan ada faktor genetik, oleh karena itu wanita yang saat dilahirkan ibunya eklampsia akan lebih mungkin eklamspia dibandingkan yang tidak.2
Eklampsia didiagnosis bila pada wanita dengan diagnosis preeklamsia, mengalami kejang-kejang yang bukan disebabkan oleh kelainan neurologis lain seperti epilepsi. 4,28 Ada ahli yang berpendapat perlu stabilisasi tekanan darah dan
keadaan umum terlebih dahulu selama 4-6 jam baru terminasi, namun menurut Prof. Gulardi langsung dilakukan terminasi.3
Superimposed preeklampsia atau eklampsia adalah keadaan preeklamsia atau eklampsia yang terjadi pada wanita yang menderita hipertensi vaskular kronis atau penyakit ginjal4. Dimana hipertensi kronis adalah penyakit hipertensi yang
menetap dengan penyebab apapun dan sudah diderita sebelum kehamilan atau pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu 28 tanpa adanya mola hidatidosa atau
hipertensi yang menetap setelah 6 minggu post partum.4
Hipertensi gestasional adalah kenaikan tekanan darah yang timbul pada paruh kedua masa kehamilan atau dalam waktu 24 jam post partum, tanpa disertai tanda-tanda lain preeklamsia atau hipertensi kronis yang mendasarinya dan sembuh dalam waktu 10 hari setelah persalinan. 4
2.2 Epidemiologi Preeklampsia
Kondisi ini sangat umum dan terjadi pada 5 % dari seluruh kehamilan di Amerika dan Eropa. Eklampsia merupakan komplikasi yang mengancam jiwa dan biasanya ditunjukkan dengan adanya kejang grand mal . Istilah
tersebut diambil dari kata yunani untuk kilat (halilintar). Bentuk yang lebih berat (parah) dari preeklampsia adalah terdapatnya gambaran hemolisis,
elevasi enzim-enzim hati, dan rendahnya trombosit (sindrom HELLP). Kondisi ini terjadi pada 1 dari 1000 kehamilan. Beberapa faktor predisposisi yang dapat menyebabkan preeklampsia diantaranya riwayat keluarga, hipertensi, diabetes, penyakit renal sebelumnya, kehamilan ganda, dan riwayat obstetrik yang buruk. Para ahli nefrologi seringkali dimintai pendapat untuk menangani wanita preeklampsia dengan peningkatan tekanan darah yang berat
dan penyakit renal. Meskipun demikian, hasil eksperimen atau klinis terbaru pada kondisi ini merupakan informasi yang penting untuk para nefrologist.2,3,5
Tiap tahun sekitar 10 wanita dan sebanyak 1000 bayi meninggal karena keadaan misterius yang berhubungan dengan kehamilan yang disebut preeklamsia. Preeklamsia terjadi dalam 1 diantara 10 kehamilan dan eklamsia
terjadi dalam 1 diantara 50 kehamilan.4
Frekuensi preeklamsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak faktor yang mempengaruhinya; jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi, perbedaan kriteria dalam diagnosis dan lain-lain.3
Angka kejadian preeklamsia-eklamsia di RSUD Ulin Banjarmasin selama tahun 2004 adalah 66 kasus dari 472 kasus Sectio Cesaria atau sekitar 13,98%.
2.3 Patofisiologi Preeklampsia
Patofisioliogi yang paling diyakini sebagai awal mula dari preeklampsia adalah terpaparnya villi khorialis untuk pertama kalinya ( primigravida), atau terpapar villi khorialis dalam jumpa yang berlimpah, misalnya pada gemelli atau mola.4 Pada kehamilan normal, invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua
menghasilkan suatu “perubahan fisiologis” pada arteri spiralis, karena suplai darah yang dibutuhkan pada kehamilan meningkat, maka diameter arteri spiralis harus membesar, yang menurut hukum Poiseuille’s meningkat 4 sampai 6 kali. Kemampuan untuk melebarkan diameter arteri spiralis merupakan kebutuhan
utama untuk keberhasilan suatu kehamilan. Hasil akhir dari perubahan fisiologis tadi adalah arteri spiralis yang sebelumnya tebal berubah menjadi kantung elastis yang lebar, bertahanan rendah, sehingga memungkinkan suplai darah yang adekuat untuk oksigenasi dan nutrisi bagi janin.1
Gambar 2.1. Perbedaan endothel pada vaskular normal dan preeklampsia
Pada ibu yang mengalami defisiensi plasentasi akan menyebabkan tidak terjadinya secara sempurna perubahan fisiologis arteri spiralis tersebut, sehingga hanya sebagian arteri spiralis segmen desidua yang berubah, sedang arteri apiralis segmen miometrium masih diselubungi oleh sel-sel otot polos. Selain itu juga ditemukan adanya hiperplasia tunika media dan trombosis, sehingga diameter arteri spiralis 40% lebih kecil dibandingkan kehamilan normal sehingga timbul penyumbatan yang dapat bersifat parsial ataupun total. Hal inilah yang
Gambar 2.2. Spatium intervilli normal dan preeklampsia
Hipotesis yang penting pada patogenesis dari preeklamsia adalah terdapatnya senyawa yang dihasilkan jaringan uteroplasenta yang masuk ke sirkulasi ibu dan menyebabkan kerusakan endotel. Perubahan fungsi endotel yang terjadi dianggap sebagai penyebab utama timbulnya gejala preeklamsia: hipertensi, proteinuria dan aktivasi sistem hemostasis.1,3
Senyawa yang dihasilkan jaringan uteroplasenta yang dapat merusak endotel itu adalah hasil metabolisme lipid terutama yaitu peroksidase lipid. Peroksidase lipid ini diproduksi pada saat radikal bebas menyerang asam lemak tidak jenuh dan kolesterol pada membran sel dan lipoprotein. Peroksidase lipid merupakan zat toksik yang bisa menyebabkan kerusakan sel baik secara langsung maupun tidak langsung.1
Keadaan hipoksia yang terjadi dapat meningkatkan jumlah xantin dehidrogenase yang terkonversi menjadi xantin oksigenase yang akan mendegradasi purin, xantin dan hipoxantin menjadi asam urat. Dalam proses degradasi tersebut terbentuk juga superoksida yang merupakan suatu radikal bebas yang poten.7 Terjadinya reaksi radikal bebas ini ditandai dengan
meningkatnya lipid peroksida pada pasien preeklamsia dibandingkan dengan dengan kehamilan normal.5
Gambar 2.3. Patofisiologi preeklampsia
Reaksi radikal bebas inilah yang akan menimbulkan disfungi endotel, yaitu terjadi endoteolisis dan perubahan ultrastrukturnya pada alas plasenta dan pembuluh darah uterus,1 karena radikal bebas ini bereaksi dengan membran sel
sehingga terbentuk lipid peroksidase dan aldehida yang toksik sehingga dapat mematikan sel.8
Hipotesis yang lain adalah adanya prekusor neurokinin B (NKB) dari bovine, yang bekerja melalui reseptor NK3, yang menstimulasi timbulnya vasokonstriksi dan kontraksi vena mesenterika serta vena portal hati, yang menyebabkan rusaknya janin dan hati. Dengan demikian menyebabkan
terakumulasinya zat toksik seperti lipid peroksidase, yang makin memperberat rusaknya endotel.1 Mutasi faktor Leiden V yang disebut-sebut sebagai penyebab
genetik timbulnya preeklamsia, hanya ada pada orang Eropa bukan orang Indonesia. Pada preeklamsia homocystein meningkat karena tak bisa jadi methionin, proses ini membutuhkan vitamin B12. 5
Menjadi perhatian kita bahwa ringannya hipertensi tidak selalu mencerminkan ringannya penyakit. Karena hipertensi yang timbul sebenarnya merupakan kompensasi tubuh untuk memenuhi suplai darah ke organ-organ. Memang ada teori yang mendukung bahwa beratnya preeklamsia sebanding dengan beratnya hipertensi, yaitu teori peningkatan produksi tromboxan A2 dan menurunnya produksi prostasiklin oleh plasenta dan trombosit sehingga timbul vasokonstriksi yang berbanding lurus dengan beratnya hipertensi. Menurunnya produksi prostasiklin juga disebabkan karena meningkatnya konsentrasi progesteron dalam kehamilan.4 Namun perlu diingat bahwa 20% eklamsia timbul
pada kondisi tekanan darah yang tidak terlalu tinggi, karena ternyata ada etiologi lain (oksidan-antioksidan) yang telah dijelaskan sebelumnya.5
Hal inilah yang terjadi pada ibu dengan preeklamsia dimana terjadi ketidakseimbangan produksi tromboxan A2–prostasiklin sehingga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah yang menimbulkan hipertensi dan juga mungkin terjadi reaksi radikal bebas yang menyebabkan rusaknya endotel-endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel pembuluh darah di ginjal ditandai dengan lolosnya protein pada filtrasi glomerulus sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun dan adanya hipertensi yangmenyebabkan tekanan hidrostatik
intravaskuler meningkat sehingga terjadi ekstravasasi cairan ke ekstravaskuler ke interstisial, timbullah edema tungkai, dan edema pulmonum. Tidak semua endotel mengalami kerusakan karena terdapat heterogenitas endotel sehingga tidak semua endotel mengalami disfungsi. Endotel sendiri berperan untuk mengatur tonus otot vaskuler, adhesi leukosit dan inflamasi serta memelihara keseimbangan trombosis dan fibrinolisis.1
Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan patologis pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh vasospasme dan iskemia. Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami peningkatan respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin, tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi platelet. Penumpukan trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf pusat yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan kejang.7,8
Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap kardiovaskuler meliputi penurunan volume intravaskular, meningkatnya cardiac output dan peningkatan tahanan pembuluh perifer. Peningkatan hemolisis microangiopati menyebabkan anemia dan trombositopeni. Infark plasenta dan obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan janin terhambat bahkan kematian janin dalam rahim.7
Preeklampsia dan Risiko Penyakit Kardiovaskular Setelahnya
Hubungan preeklampsia dan adanya faktor keturunan telah diakui. Anak-anak yang terlahir dari ibu dengan preeklampsia umumnya memiliki berat badan lahir rendah, dan risiko penyakit kardiovaskular yang dapat terjadi berikutnya telah menjadi objek banyak penelitian. Keadaan pada ibu hanya menarik sedikit minat. Chesley, bapak penelitian preeklampsia modern, berpendapat bahwa setelah kehamilan berakhir, ibu tidak memiliki risiko yang lebih besar untuk menimbulkan efek samping post partum dibandingkan wanita tanpa preeklampsia dari populasi umum. Hal ini mungkin menjadi satu-satunya bukti kekeliruan opini Chesley. Beberapa penelitian terbaru justru menunjukkan hal yang sebaliknya sebagai pokok masalah. Smith et al meneliti komplikasi kehamilan dan risiko kematian ibu akibat iskemik kardiak pada 129.290 persalinan. Mereka mendapatkan bahwa melahirkan bayi kecil masa kehamilan meningkatkan rasio risiko penyakit jantung iskemik atau kematian hingga 1,9 kali. Persalinan preterm dikaitkan dengan risiko sebesar 1,8 kali dibandingkan dengan wanita dengan persalinan aterm. Kelompok tersebut hanya merupakan tambahan. Wanita dengan preeklampsia yang melahirkan bayi kecil dan lebih dini, secara umum memiliki risiko menderita penyakit jantung iskemik atau kematian 7 kali lebih tinggi dibandingkan wanita yang normal.6
Penelitian kedua cohort ditunjukkan tidak beberapa lama setelahnya. Irgens et al mempublikasikan hasil dari 626.272 kelahiran hidup di Norway antara tahun 1967 sampai 1992. Mereka mendapatkan bahwa wanita dengan preeklampsia memiliki risiko jangka panjang 1,2 kali lebih tinggi untuk semua
penyebab kematian dibandingkan wanita tanpa preeklampsia. Pada wanita dengan preeklampsia dan persalinan preterm, risikonya menjadi 2,7 kali lebih tinggi. Risiko kematian karena faktor kardiovaskular meningkat 8 kali lipat pada wanita preeklampsia dengan bayi berat badan lahir rendah (BBLR). Anehnya, preeklampsia justru melindungi wanita dari kematian akibat kanker sebesar 3,6 kali. Pernyataan ini didasarkan pada kenyataan bahwa wanita dengan preeklampsia hanya memiliki risiko kematian 1,2 kali lebih tinggi yang disebabkan oleh sebab lain. Mungkin diharapkan sang ayah tidak terlibat dalam persamaan ini. Penelitian cohort ini memberikan bukti yang kuat bahwa risiko penyakit kardiovaskular meningkat pada wanita dengan preeklampsia dibandingkan subjek kontrol, khususnya ketika bayi dilahirkan preterm dan memiliki berat badan lahir rendah, yang mana keduanya umum terjadi pada wanita dengan preeklampsia. Wilson et al meneliti hubungan antara preeklampsia dengan risiko stroke dan hipertensi pada kehidupan berikutnya. Mereka memilih wanita dari penelitian cohort yang melahirkan pada tahun 1951 sampai 1970. Mereka menemukan bahwa gangguan hipertensi apapun dalam kehamilan akan meningkatkan risiko hipertensi dan stroke setelahnya. Risiko stroke meningkat 3,59 kali pada wanita yang pernah mengalami preeklampsia.7
Wanita dengan preeklampsia akan mengalami pembengkakan sel-sel glomerular endotel dan gambaran berbagai timbunan di bawah sel-sel tersebut. Lebih lanjut, akan terbentuk fibrin dalam sel-sel endotel dan sel-sel mesangial. Membran basal menjadi lebih tebal. Perubahan-perubahan tersebut sifatnya reversible; meskipun demikian, perubahan fungsional tidak sepenuhnya akan
reversible. Bar et al mengamati sekelompok wanita yang mengalami preeklampsia dan membandingkannya dengan wanita yang menjalani persalinannya secara normal. Mereka mendapatkan bahwa 2 sampai 4 bulan setelah persalinan, 2 hingga 3 dari wanita dengan preeklampsia akan mengalami mikroalbuminuria. Ekskresi protein pada saat ini kira-kira 4 kali lebih tinggi dibandingkan wanita yang tidak preeklampsia. Apakah mikroalbuminuria akan menjadi tak terbatas masih belum dapat dipastikan. Data yang diperoleh Roest et al menunjukkan bahwa mikroalbuminuria pada wanita pasca menopause merupakan faktor risiko kuat penyakit kardiovaskular. Kami memiliki sedikit alasan untuk mempercayai mikroalbuminuria pada wanita pasca menopause merupakan salah satu faktor risiko. Mikroalbuminuria merupakan salah satu manifestasi disfungsi endotel. Fungsi endotel pada wanita dengan preeklampsia akan mengalami kerusakan. Berdasarkan penelitian lanjutan, kerusakan tersebut akan tetap ada saat setelah melahirkan. Preeklampsia dikaitkan dengan resistensi insulin dan kenaikan kadar homosistein. Bukti yang ada menunjukkan bahwa kondisi tersebut akan berlanjut setelah persalinan dan dalam jangka panjang menjadi salah satu faktor risiko.8
Sattar dan Greer memfokuskan penelitian pada komplikasi kehamilan dan risiko penyakit kardiovaskular pada ibu yang ditekankan pada skrining serta pengurangan faktor risiko. Wanita dengan riwayat kehamilan yang merugikan akan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dalam kehidupannya setelah kehamilan itu. Komplikasi kehamilan dan penyakit jantung koroner memiliki mekanisme yang umum. Jelasnya, wanita dengan diabetes mellitus gestasional, faktor risiko preeklampsia, harus diskrining untuk mengetahui kemungkinan
diabetes pada kehidupannya setelah persalinan. Wanita yang memiliki bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) harus diskrining untuk kemungkinan penyakit kardiovakular pada saat usianya 30 an. Faktor-faktor risiko vaskular ibu,
seperti tekanan darah yang tinggi, resistensi insulin, obesitas, penambahan berat badan yang berlebihan saat hamil, dan hiperlipidemia, berhubungan dengan peningkatan faktor terjadinya persalinan preterm dan berat bayi lahir rendah. Kesimpulannya, anamnesa tentang preeklampsia, bayi berat lahir rendah, atau atau hal-hal merugikan lainnya dalam suatu kehamilan akan memberikan informasi yang berharga untuk menilai risiko penyakit kardiovaskular pada seorang wanita. 9
Plasentasi Abnormal dan Iskemia Plasenta
Preeklampsia hanya terjadi bila ada plasenta atau mola hidatidosa dan terjadi postpartum setelah lahirnya plasenta. Patogenesis preeklampsia mungkin melibatkan invasi sitotrofoblast abnormal dari arteriola spiral, yang menurunkan hipoperfusi uteroplasenta, suatu ketidakseimbangan antara peningkatan sintesis tromboxan dan penurunan produksi prostaglandin I2, akan meningkatkan stress
oksidatif, gangguan metabolisme endotelin, atau disfungsi endotel.10
Selama perkembangan plasenta normal, sitotrofoblas akan invasi ke arteriola spiral ibu dan melengkapi perubahan bentuk arteriola spiral ibu menjadi pembuluh darah berkapasitas besar dengan resistensi rendah. Invasi sitotrofoblas
endovaskular ini melibatkan perpindahan tidak hanya endotel tapi juga muskulus tunica media yang paling besar. Selanjutnya, selama differensiasi normal, trofoblast yang invasive akan mengikat adhesi ekspresi molekul dari sel-sel epitel
(integrin α6/β3, αω/β5 dan E-cadherin) terhadap sel-sel endotel (integrin α1/β1,
αω/β3, molekul adhesi sel platelet endotel dan endotel vascular-cadherin), suatu
proses yang merupakan pseudovaskulogenesis. Pada preeklampsia, terjadi invasi dangkal sitotrofoblast plasenta pada arteriola spiral uterus, yang menyebabkan pengurangan perfusi plasenta dan selanjutnya menjadi insufisiensi plasenta. Baik penelitian secara in vitro maupun in vivo menunjukkan bahwa trofoblast yang
diperoleh dari pasien preeklampsia gagal untuk mengalami perubahan adhesi molekul dan pseudovaskulogenesis. Jalur molekuler yang mengatur pseudovaskulogenesis akan melibatkan banyak faktor transkripsi,
faktor-faktor pertumbuhan, dan sitokin. Perhatian akhir-akhir ini difokuskan pada produksi gen yang berhubungan dengan angiogenesis seperti faktor pertumbuhan vaskular endotel (VEGF), angiopoietin, dan kelompok protein ephrin serta peranannya dalam mengatur pseudovaskulogenesis dan proses invasive. Trofoblast yang invasive mengekspressi VEGF, faktor pertumbuhan plasenta (PIGF), dan VEGF-C serta reseptornya. Selanjutnya, akan memblok jalur signal mereka dan menurunkan ekspressi marker pseudovaskulogenesis in vitro.11
Disfungsi endotel secara umum bertanggung jawab terhadap semua aspek klinis sindrom maternal pada preeklamsia. Identifikasi faktor sirkulasi yang menjadi mediator disfungsi endotel telah menjadi pokok permasalahan yang menarik dalam berbagai penelitian besar selama beberapa dekade. Beberapa kelompok telah melaporkan adanya keterkaitan sitokin / faktor pertumbuhan / mediator-mediator kimia seperti TNF-α, IL-6, IL-1α, IL-1β, ikatan fas, hasil oksidasi lipid, neurokinin-B, dan arginin dimetil asimetrik (ADMA) yang
dilepaskan oleh plasenta dan atau dari organ ibu lainnya pada preeklampsia. Akhir-akhir ini, pada preeklampsia didapatkan konsentrasi L-arginin yang lebih
rendah dari normal yang disebabkan ekspressi berlebihan arginase II yang dapat mengalihkan sintase nitrat oksida (NO) endotel plasenta terhadap peroksinitrit.12
Aspek Terbaru Hormon Relaxin dalam Kehamilan dan Preeklampsia
Relaxin diproduksi oleh corpus luteum ovarium dan bersirkulasi dalam fase luteal dari siklus menstruasi serta meningkat pada awal kehamilan. Human Chorionic Gonadotropin (HCG) yang diproduksi oleh plasenta merupakan stimulus terbesar untuk sekresi relaxin selama kehamilan pada seorang wanita. Pemberian relaxin yang lama pada tikus betina yang sadar akan meningkatkan GFR dan aliran plasma renal efektif, dengan demikian menyebabkan perubahan sirkulasi renal selama kehamilan. Efek vasodilatasi renal ini tidak memerlukan keberadaan ovarium dan juga dapat diamati selama pemberian relaxin pada tikus jantan. Pemberian relaxin pada tikus betina yang tidak hamil juga mengurangi respon vasokonstriksi renal terhadap angiotensin II, sama dengan pengaruhnya pada tikus yang hamil. Lebih lanjut, pengurangan reaktivitas miogenik dari arteri-arteri kecil renal dapat diamati setelah pemberian relaxin, dapat disamakan dengan pembuluh darah terisolasi dari tikus yang hamil midterm. Akhirnya, relaxin akan menetralisasi antibodi atau pemindahan relaxin sirkulasi oleh ovariektomi total akan mengakhiri vasodilatasi renal, hiperfiltrasi, dan mengurangi reaktifitas miogenik dari arteri-arteri kecil renal, sebagaimana halnya perubahan osmoregulatory pada tikus betina yang hamil midterm. 13
Jeyabalan et al (gambar 1.) baru-baru ini mengajukan bahwa relaxin mengatur aktifitas gelatinase selama kehamilan, untuk selanjutnya menambah vasodilatasi renal, hiperfiltrasi, dan mengurangi reaktifitas miogenik arteri-arteri kecil renal melalui aktifasi jalur reseptor NO endotelin B (ETB) endotel. Pendapat
bahwa metalloproteinase 2 (MMP-2) memiliki peranan yang sangat penting dalam jalur gelatinase-relaxin didasarkan atas pengaruhnya pada berbagai observasi. Pertama, relaxin, reseptor ETB endotel, dan NO memiliki peranan yang penting
sebagai mediator vasodilatasi renal dalam kehamilan. Kedua, relaxin disediakan untuk mengatur ekspressi MMP setidaknya dalam fibroblast. Ketiga, MMP vaskular, seperti MMP-2, dapat digunakan memproses ET besar dalam ikatan gly-leu menjadi ET1-32 dengan aktifasi berikutnya dari reseptor endotelin.14
Dengan menghambat aktifitas gelatinase secara kronis pada tikus objek in vivo dan dalam arteri-arteri kecil renal in vitro. Jeyabalan et al memperlihatkan pentingnya peranan gelatinase vaskular dalam mediasi relaxin, perubahan sirkulasi renal dalam kehamilan. Sebaliknya, jalur tradisional endothelium converting enzim yang memproses ET besar menjadi ET 1-21 tidak telibat dalam
hal berkurangnya efek hemodinamik phosphoramidon inhibitor endothelium converting enzim tradisional. Dalam arteri-arteri kecil renal diperoleh dari pemberian relaxin pada tikus yang tidak hamil atau hamil midterm, aktifitas MMP-2 vaskular diatur hingga 50% nya. Meskipun demikian, aktifitas gelatinase tidak hanya bagian dari jalur vasodilatasi ETB-NO endotel tetapi juga tempat
utama regulasi oleh relaxin. Akhirnya, relaxin diberikan pada tikus dengan defisiensi reseptor ETB. Meskipun arteri-arteri kecil renal yang diperoleh dari
tikus-tikus ini menunjukkan pengaturan aktifitas MMP-2 vaskular yang berlebihan, mereka gagal menghilangkan tipe reduksi dari reaktifitas miogenik. Observasi yang dilakukan dalam konteks hasil yang lain ( supra vide) menunjukkan bahwa gelatinase vaskular merupakan satu rangkaian dengan dan berasal dari jalur signal ETB-NO endotel dalam vasodilatasi renal sebagai respon
terhadap kehamilan yang dimediasi relaxin.15
Kadar sirkulasi relaxin H2 imunoreaktif dilaporkan sama antara wanita preeklamsia dengan yang kehamilan normal pada usia perbandingan yang sama. Bagaimanapun, apakah bioaktifitas relaxin sirkulasi dapat berkurang selama adanya penyakit ini masih belum dapat dipastikan. Reseptor-reseptor relaxin LGR7 dan LGR8 hanya baru-baru ini teridentifikasi. Beberapa diketahui ekspressinya pada pembuluh darah. Dengan mengkiaskan ke sistem reseptor lain, sebagian kecil reseptor, meningkatkan ekspressi reseptor inaktif, atau reseptor yang terlarut dapat mengurangi signal relaxin ke vaskular, dengan demikian akan menyebabkan vasodilatasi renal pada preeklampsia. Karena peningkatan aktifitas gelatinase vaskular oleh relaxin merupakan tahap akhir jalur vasodilatasi dalam kehamilan, aktifitas MMP-2 yang tidak seharusnya dapat memberikan kontribusi dalam penurunan fungsi renal pada preeklampsia. Ekspressi yang berlebihan dari reseptor ET atau ETA atau ETB pada otot lunak vaskular dari artriola-arteriola
renal dapat mendominasi jalur vasodilatasi yang diinisiasi oleh relaxin. Mutasi atau polimorfik dari reseptor ETB atau dari sintase NO endotel yang mengurangi
mengganggu invasi trofoblast dan dengan mempengaruhi karakter endotel ibu. Semakin dini proses secara tidak langsung membuka kemungkinan tersebut.16
Sirkulasi Faktor-Faktor Proangiogenik dan Inhibitornya
Akhir-akhir ini telah ditunjukkan peningkatan ekspressi plasenta dan sekresi soluble fms-like tirosin kinase 1 (sFlt 1), yang secara alami terjadi sirkulasi antagonis VEGF pada pasien-pasien dengan preeklampsia. Hal ini sangat penting ketika pemberian secara eksogen pada tikus, sFlt1 sendiri cukup untuk
menginduksi fenotip seperti preeklampsia. Akhirnya, data menggunakan kondisi VEGF pada tikus kecil yang telah mati memberikan bukti genetik definitif bahwa keterlibatan VEGF memberikan signal dalam ginjal mencetuskan preeklampsia secara klinik, berupa proteinuria dan endoteliosis glomerulus.17
VEGF merupakan suatu mitogen spesifik endothelial yang memegang peranan penting dalam promosi angiogenesis. Aktifitas VEGF secara primer
dimediasi oleh interaksinya dengan dua reseptor tirosin kinase berafinitas tinggi – kinase memasuki daerah domain (KDR) dan Flt1 – yang secara selektif mengekspressi pada permukaan sel endotel vascular. Jalur alternatif Flt1 yang dihasilkan pada sekresi protein endogen seperti sFlt1, yang kekurangan sitoplasma dan domain transmembran tetapi menahan domain ikatan (gambar 2.). Meskipun demikian, sFlt1 dapat melawan sirkulasi VEGF dengan terikat padanya dan mencegah VEGF berinteraksi dengan reseptor endogennya. sFlt1 juga mengikat dan melawan PIGF, anggota lain famili VEGF yang secara dominan dibuat di plasenta.18
Pada penelitian in vitro ditunjukkan bahwa kelebihan produksi sFlt1 plasenta menyebabkan suatu kondisi antiangiogenik dalam serum wanita dengan preeklamsia yang bisa disembuhkan dengan pemberian VEGF dan PIGF eksogen. Kelebihan sFlt1 itu sendiri, ketika diberikan pada tikus yang hamil dapat menyebabkanalbuminuria, hipertensi, dan perubahan patologi endotheliosis glomerular renal dengan efek berlawanan dari sirkulasi VEGF dan PIGF dan menyebabkan disfungsi endotel. Sebagai tambahan, kadar sirkulasi PIGF dan VEGF bebas menurun dalam hubungannya dengan elevasi sFlt1 aliran darah pada saat munculnya penyakit. Perkembangan terakhir adalah ketika PIGF dan VEGF bebas diukur selama kehamilan, faktor-faktor pertumbuhan pada wanita dengan preeklampsia akan menurun sebelum munculnya gejala klinis penyakit tersebut.19
Baru-baru ini, Levine et al menghadirkan bukti yang mensugesti bahwa sFlt1 merupakan atau mungkin merupakan faktor sirkulasi yang bertanggung jawab terhadap timbulnya preeklampsia. Mereka melakukan sekelompok penelitian dengan menggunakan kontrol dalam Kalsium Sebagai Usaha
Pencegahan Preeklampsia, yang melibatkan wanita nulipara yang sehat. Setiap wanita dengan preeklampsia dipasangkan dengan satu subjek kontrol yang normotensif. Dari total 120 pasangan wanita tersebut kemudian dipilih secara acak. Konsentrasi serum faktor angiogenik (total sFlt1, PIGF bebas, dan VEGF bebas) diukur selama kehamilan. Kadar sFlt1 meningkat pada awal hingga 5
minggu sebelum munculnya preeklampsia. Pada awal munculnya klinis penyakit tersebut, rata-rata kadar serum pada wanita dengan preeklampsia sekitar 4382 pg/ml, sedangkan pada subjek kontrol sekitar 1643 pg/ml dengan usia kehamilan
yang sama. Kadar PIGF lebih rendah pada wanita yang kemudian mengalami preeklampsia dibandingkan subjek kontrol dimulai pada usia kehamilan 13 sampai 16 minggu (rata-rata 90 lawan 142 pg/ml), dengan perbedaan terbesar terjadi selama minggu-minggu sebelum timbulnya preeklampsia, bersamaan dengan peningkatan kadar sFlt1. Perubahan kadar sFlt1 dan PIGF bebas lebih besar terjadi pada wanita yang lebih dini mengalami preeklampsia dan pada
wanita preeklampsia dengan bayi kecil masa kehamilan. Penulis berkesimpulan bahwa peningkatan kadar sFlt1 dan penurunan kadar PIGF dapat memprediksikan perkembangan preeklampsia selanjutnya.20
Data-data ini menyokong hipotesis bahwa elevasi sFlt1 dapat menyebabkan sindrom maternal dan bahwa elevasi sFlt1 bukanlah konsekuensi dari sindrom maternal. VEGF dikenal sebagai stimulus angiogenesis dan juga promosi vasodilatasi dengan menstimulasi NO dan formasi prostacyclin, memberikan signal molekul-molekul yang menurun pada preeklampsia. Selanjutnya, pesentasi signifikan pasien kanker yang menerima antagonis signal VEGF mengalami hipertensi dan proteinuria. Meskipun kehilangan alel tunggal VEGF dari glomerulus dalam tikus modifikasi genetik dihasilkan endoteliosis dan proteinuria. Hal ini menarik karena defek endothelial dapat diamati meskipun
kadar sirkulasi VEGF tidak dipengaruhi, yang menekankan bahwa signal regulasi lokal VEGF merupakan kritik terhadap fungsi endothelial. Pengamatan ini mensugesti bahwa kelebihan produksi sFlt1 mungkin menjadi peran penyebab dalam patogenesis sindrom maternal dalam preeklampsia dengan menetralisasi PIGF dan VEGF (gambar 3). Meskipun demikian, terdapat batasan dan beberapa
pertanyaan yang tidak terjawab mengenai sFlt1. Mekanisme yang tepat dari produksi sFlt1 yang berlebihan oleh plasenta masih belum diketahui, dan yang terpenting, peranan sFlt1 pada perkembangan plasenta normal dan pada pseudovaskulogenesis plasenta masih belum jelas. Tidak ada laporan terjadinya koagulasi atau abnormalitas fungsi hati atau abnormalitas otak (eklampsia) pada binatang yang diberikan terapi sFlt1. Mekanisme proteinuria selama masa defisiensi VEGF masih belum jelas. Faktor sinergi tambahan yang dihasilkan plasenta sudah dapat dibuktikan memegang peranan penting dalam patogenesis
dari disfungsi endotel secara umum dan preeklampsia. 21
Faktor-faktor Relaxin yang diperoleh dari Endotel dan Inhibitornya
Faktor-faktor endotel seperti prostaglandin (PG) dan NO telah dianggap sebagai mediator-mediator vasodilatasi renal pada kehamilan dan hiperfiltrasi. Akan tetapi, penelitian pada manusia hamil dan binatang percobaan tidak menunjukkan peranan yang mendorong PG vasodilator pada kehamilan-yang menginduksi peningkatan GFR dan aliran plasma renal efektif atau dalam penurunan resistensi vaskular perifer total. Indikasi pertama peranan potensial untuk NO diperoleh dari evaluasi guanosin 3’5’-cyclic monophosphate (cGMP), sebuah messenger kedua yang penting dari NO. Konsentrasi plasma, ekskresi urin, dan produksi metabolic cGMP meningkat pada tikus yang hamil dan hamil palsu, seperti pada kehamilan manusia. Ekskresi urin nitrat dan nitrit, metabolit
stabil NO, meningkat pada tikus yang hamil dan hamil palsu yang mengkonsumsi diet rendah nitrit dan nitrat berhubungan dengan peningkatan ekskresi cGMP. Selanjutnya, metabolit NO meningkat dalam plasma tikus yang hamil, dan
hemoglobin NO dalam sel darah merah dapat dideteksi pada tikus yang hamil tetapi tidak pada yang tidak hamil. Data ini menunjukkan bahwa produksi NO endogen meningkat pada tikus yang hamil, meskipun asal jaringan peningkatan metabolit NO dan cGMP masih tidak diketahui.19
Bukti defek spesifik dalam resistensi arteri endotel dari wanita dengan preeklampsia telah ditunjukkan. Bukti yang mendukung untuk defisiensi NO pada preeklampsia akhir-akhir ini diperoleh dari pengurangan tekanan perfusi uterus
tikus sampel. Penelitian ini mendapatkan bahwa suplementasi dengan L-arginin
menurunkan tekanan darah sebesar 19 mmHg pada tikus hamil dengan penurunan tekanan perfusi arteri uterus (yang dirawat dan yang tidak dirawat) dibandingkan dengan 12 mmHg tikus hamil (yang dirawat dan yang tidak dirawat). Hasilnya membuktikan bahwa suplementasi L-arginin dapat bermanfaat untuk mengurangi
hipertensi pada pasien preeklampsia.20
Faktor preeklamsia yang menarik yang dapat secara langsung berpengaruh dengan NO dan menyebabkan disfungsi endotel pada wanita hamil adalah ADMA. Savvidou et al menguji hipotesis bahwa ADMA, suatu inhibitor sintesis NO endotel endogen, berpengaruh pada perkembangan preeklampsia. Peranan NO – atau ketidakberadaannya – telah ditemukan ada enelitian-penelitian sebelumnya mengenai preeklampsia. Penulis mengukur reperfusi-iskemi lengan bawah sebagai suatu marker dari disfungsi endotel. Mereka juga mengawasi aliran darah uterus menggunakan tehnik Doppler. Mereka ingin melihat terjadinya retardasi pertumbuhan intrauterine dan secara jelas mengukur ADMA dan analog simetrisnya. Penulis mendapatkan bahwa wanita yang mengalami gangguan
perfusi uterus, prevalensi anak-anaknya akan mengalami retardasi pertumbuhan intrauterine > 30 % dan prevalensi terjadinya preeklampsia. >20%. Wanita dengan preklampsia memiliki vasodilatasi karena aliran darah lebih lambat dibandingkan wanita dengan perfusi uterus normal. Pada wanita dengan preeklampsia, terdapat hubungan yang kuat antara kadar ADMA dan vasodilatasi karena aliran darah. Secara bersamaan, peneliti menemukan bahwa disfungsi endotel berkembang sebelum preeklampsia, wanita dengan resistensi aliran darah uterus tinggi memiliki risiko retardasi pertumbuhan intrauterine dan preeklampsia, dan ADMA dapat menjadi faktor potensial yang menyebabkan disfungsi endotel ada wanita-wanita ini.21
Autoantibodi Sirkulasi
Haller et al mengamati bahwa faktor sirkulasi dalam wanita preeklampsia menyebabkan sel-sel endotel untuk mengekspressi adhesi molekul-molekul permukaan dan membuat lapisan sel endotel lebih permeable. Proses berikutnya melibatkan aktifasi protein kinase C. Wallukat et al kemudian mengidentifikasi autoantibodi sirkulasi yang dapat mengaktifkan reseptor ATI agiotensin II (Ang II). Autoantibodi (AT-1AA) tersebut meningkat kira-kira pada saat yang bersamaan dengan munculnya gejala, yaitu setelah usia kehamilan 20 minggu, dan akan menurun dalam 6 minggu setelah persalinan. AT-1AA diperoleh dan dikenal sebagai bagian dari fraksi antibody IgG. Wallukat et al menunjukkan bahwa ATI-AA berbatas dengan rangkaian 7 asam amino tertentu pada putaran extraseluler kedua dari AT-1AA. Mereka mendokumentasikan spesifisitas oleh Western blotting dan penelitian-penelitian co-lokalisasi. Tentu saja, fungsi AT-1AA di
Western blot setidaknya sama baiknya dengan antibodi-antibodi komersial yang tersedia saat ini terhadap reseptor AT-1. Dechend et al mengkonfirmasi penemuan ini dengan mengujinya pada penelitian-penelitian co-imunopresipitasi. Mereka tidak dapat menemukan bukti untuk signal kalsium atau kontraksi sel otot polos yang dihasilkan dari autoantibodi tersebut. Meskipun demikian, mereka dapat menunjukkan bahwa autoantibodi tersebut menginisiasi cascade signal yang terakumulasi dalam aktifasi faktor transkripsi (NF-κ B dan activator protein-1) dan kemudian ekspressi faktor jaringan.22
Secara terpisah, Zia et al meneliti 38 orang pasien hamil, dimana 20 orang diantaranya dengan preeklampsia berat dan 18 orang sisanya normotensif. IgG diperoleh dari individu-individu ini, dan keberadaan AT1-AA ditentukan. Trofoblast manusia yang diawetkan dipilih untuk mempelajari inhibitor 1 aktivator plasminogen dan sekresi setelah perawatan dengan IgG pada wanita preeklampsia dan yang normotensif. Mereka memberi kesan bahwa autoantibodi maternal dengan kemampuannya mengaktifasi reseptor-reseptor ATI dapat menyebabkan dua gambaran preeklampsia : meningkatnya produksi inhibitor 1 aktivator plasminogen dan invasi trofoblast yang dangkal.23
Baru-baru ini Dechend et al menunjukkan bahwa AT-1AA dapat menyebabkan trofoblast manusia atau sel-sel otot polos untuk memproduksi reaktif oksigen spesies (ROS) dengan mengaktifkan NADPH oksidase. Sel-sel otot polos vaskular dari p47 phoxgene-disrupted - / - dan tikus kontrol + / + difokuskan pada AT1-AA. Dengan cara fluoresensi DCF, baik Ang II maupun AT1-AA sama-sama memberikan respon yang kuat. Produksi ROS dihambat oleh
tiron antioksidan atau oleh sel-sel otot polos vaskular yang kekurangan p47 phox. Pada sel-sel ini, NADPH oksidase tidak bekerja. Pada penelitian lain, penyelidikan menggunakan trofoblast manusia dan uji perubahan elektromobilitas dan menunjukkan bahwa unit NF-κ B p50 dan p65 diaktifkan oleh Ang II maupun AT-AA. Trofoblast manusia, seperti yang ditunjukkan 7 marker antisitokeratin, juga menunjukkan p22 phox.12
AT1-AA juga telah ditemukan pada pasie-pasien dengan hipertensi maligna dan pada pasien-pasien dengan rejeksi transplantasi renal humoral (pengamatan tidak dipublikasikan). Tentu saja, mereka bukan fenomena spesifik preeklampsia. Keberadaan antibodi-antibodi ini menakjubkan. Akan tetapi,
lahannya masih dihambat karena deteksi masih berdasarkan uji biologi (bioassay). Usaha untuk melakukan ELISA belum sepenuhnya berhasil. Tentunya, penelitian konfirmasi pada populasi yang besar dari wanita preeklampsia, seperti dengan sFlt1, masih belum dilakukan.14
Peningkatan reseptor AT1 heterodimers pada preeklampsia sangat menarik. Telah digambarkan suatu reseptor AT1 reseptor-bradikinin-2 heterodimer dengan peningkatan signal Ang II. Sebuah model tikus transgenik yang berdasarkan renin manusia dan transgene angiotensinogen telah dikembangkan. Model ini menggambarkan perkembangan AT1-AA (pengamatan tidak dipublikasikan). AT1-AA dapat menjadi sebuah fenomena. Meskipun demikian, terdapat pengertian yang dapat dijadikan pegangan bahwa aktifasi antibody dapat menyebabkan penyakit. Pendapat bahwa aktifasi antibodi terhadap reseptor adrenergik β1 dapat menyebabkan kardiomiopathy sangat menyokong.
2.4 Manifestasi Klinis pada Penderita Preeklampsia
a. Kardiovaskuler : vasospasme menyeluruh, resistensi pembuluh darah perifer meningkat, stroke work index ventrikel kiri meningkat, central venous pressure menurun, pulmonary wedge pressure menurun.
b. Hematologi : volume plasma menurun, viskositas darah meningkat, hemokonsentrasi, koagulopati.
c. Ginjal : glomerular filtration rate menurun, renal plasma flow menurun, uric acid clearence menurun
d. Hepar : necrosis periportal , kerusakan hepatoselluler, subcapsular
hematome.
e. SSP : edema serebri dan perdarahan cerebri.
f.Otak : Tekanan darah meningkat, cerebral perfusion pressure meningkat dari 60-120 mmHg pada kondisis normal menjadi 130-150 mmHg, akan terjadi kegagalan autoregulasi sehingga pembuluh darah vasodilatasi yang akhirnya menimbulkan iskemia, terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah otak, eksudasi plasma, edema otak, kompresi pembuluh darah otak sehingga aliran darah otak menurun. Pada CT scan otak didapatkan: edema cerebral, perdarahan otak (diintraventrikular, bisa diparenkim), infark otak.
Preeklamsia jarang timbul sebelum minggu ke-20 kehamilan, dan jika terjadi biasanya keadaan ini terdapat pada kasus mola hidatidosa atau degenerasi mola yang jelas .4
Meningkatnya tekanan darah (untuk mengurangi kesalahan, pengukuran dilakukan dengan pasien posisi duduk).27 Diagnosis preeklamsia ditegakkan
berdasarkan peningkatan tekanan darah mencapai lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg; atau adanya peningkatan darah sistolik > 30 mmHg atau diastolik > 15 mmHg.28 Bila tekanan darah mencapai atau lebih dari 160/110 mmHg, maka
preeklamsia disebut berat.28 Preeklamsia termasuk kriteria berat pula walaupun tekanan darah belum mencapai 160/110 mmHg, jika ditemukan gejalalain seperti berikut ini : proteinuria 3 (+) pada test celup, oliguria ( < 400 cc/24 jam), sakit kepala hebat dan gangguan penglihatan, nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas abdomen atau ada ikterus, edema paru atau sianosis, trobositopenia, PJT.28
Protein, proteinuria sebagai indikator prognosis. Sehingga diperlukan pemeriksaan serial.27 Bahkan Chesley (1985) secara tepat menyimpulkan bahwa
tanpa adanya proteinuria diagnosis preeklamsia meragukan, namun pada tahun yang sama Chesley juga mengemukakan bahwa 10 % dari kejang eklamsia timbul sebelum timbulnya proteinuria nyata, sehingga perlu segera diambil tindakan meskipun naiknya tekanan belum disertai oleh proteinuria.4 Proteinuria didefinisikan sebagai terdapatnya 300 mg atau lebih protein dalam urin 24 jam atau 100 mg atau lebih per dL pada sekurang-kurangnya dua sampel urin yang diambil dengan selang waktu 6 jam .4
Vasospasme, dengan pemeriksaan optalmologi, dapat dipakai untuk mengevaluasi perkembangan penyakit. Pada preeklamsia berat terjadi peningkatan ratio vena arteri (normal 4:3) dan vasospasme segmental.27
Pertambahan berat badan dan edema.27 Banyak ahli yang sepakat bahwa
edema pada tangan dan muka, sangat sering ditemukan pada wanita hamil, sehingga diagnosis preeklamsia tidak dapat dipastikan dengan adanya edema dan tidak dapat disingkirkan dengan tidak adanya edema.4
Nyeri epigastrium atau nyeri abdomen pada kwadran kanan atas dianggap terjadi akibat nekrosis dan edema sel-sel hati yang meregangkan kapsula Glissoni.4Nyeri yang khas sering disertai dengan naiknya kadar enzim-enzim hati
di dalam serum dan biasanya memerlukan segera terapi definitif. Kadang rasa nyeri mendahului ruptura hematoma supkapsuler hepar.4
Trombositopeni merupakan tanda khas preeklamsia yang memburuk, yang mungkin disebabkan oleh hemolisis mikroangiopati yang timbul karena vasospasme hebat.4
Wanita biasanya tidak mengemukakan keluhan dan jarang memperhatikan tanda-tanda preeklamsia, atau karena memang minimnya pengetahuan tentang hal tersebut, maka untuk deteksi dini diperlukan pengamatan yang cermat dengan masa interval pemeriksaan yang tepat selama ANC, terutama bagi wanita yang diketahui mempunyai faktor predisposisi preeklamsia, seperti: nulliparitas, adanya riwayat preeklamsia pada keluarga, janin multiple, diabetes, penyakit vaskuler kronik, penyakit ginjal, mola hidatidosa dan hidrops fetalis.2,3,4
Edema paru merupakan kondisi yang dapat mengancam jiwa pasien, yaitu suatu keadaan di mana terjadi peningkatan jumlah cairan interstisial paru dan alveoli paru yang melebihi kemampuan drainase sistem limfatik, yang disebabkan karena:
(1) Peningkatan tekanan hidrostatik intravaskuler
(2) Rendahnya tekanan onkotik intravaskuler akibat hipoalbuminemia,10
(3) Meningkatnya permiabilitas vaskuler karena rusaknya endotel pembuluh darah paru, yang semuanya terjadi karena proses preeklamsia.1,11
Timbulnya edema pulmonum mengganggu proses oksigenasi di paru sehingga timbul hipoksemia berat yang ditandai dengan turunnya PO2, sehingga menimbulkan hipoksia berat.9 Keadaan ini dapat menimbulkan pertumbuhan janin
terhambat hingga kematian janin intra uterin.
Kadar hemoglobin dapat menurun, diperkirakan karena proses hemolisis masif akibat dari meningkatnya tekanan osmotik dan kerapuhan dinding sel, yang seharusnya dibuktikan dengan adanya hiperbilirubinemia, atau dari pemeriksaan apus darah tepi didapatkan adanya morfologi sel darah merah berupa schistocytes dan burr cells, ditemukannya helmet cells karena eritrosit yang rusak. Sedangkan trombositopenia merupakan tanda khas preeklamsia yang memburuk, dan mungkin disebabkan hemolisis mikroangiopati yang timbul karena vasospasme berat, ada juga yang memperkirakan karena adanya proses imunologi.
Ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan yang merusak struktur endotel pembuluh darah juga dapat menerangkan timbulnya sindroma HELLP ini, yaitu karena terjadi “penimbunan” trombosit pada endotel yang rusak tersebut dan
terjadinya nekrosis sel-sel hepar, khususnya bagian periportal pada bagian perifer lobulus hepar.4sindroma HELLP meningkatkan resiko timbulnya infeksi,
koagulopati konsumtif, gagal ginjal, sindroma distress pernafasan, infark hepatic hingga ruptur hepar serta cardiopulmonary failure.17
Dikatakan bahwa manifestasi sindroma HELLP bervariasi dari beberapa jam sampai 7 hari post partum, terbanyak berkembang dalam 48 jam post partum. Ada pendapat yang menyatakan bahwa turunnya trombosit dan hemoglobin saja belum dapat dikategorikan sebagai sindroma HELLP, karena tidak ada istilah sindroma HELLP parsial.21 Ada lagi pendapat yang menyatakan bahwa kalau kita menunggu sampai semua manifestasi, artinya kita menunggu sampai keadaan berat.24 Memang ada beberapa klasifikasi sindroma HELLP, antara lain klasifikasi
Missisipi dimana klasifikasi berdasarkan pada jumlah trombosit maternal, yaitu : 1. Kelas I jika jumlah trombosit £ 50.000/ ul, > 50.000
2. Kelas II jika jumlah trombosit £ 100.000/ul, >100.000
3. Kelas III jika jumlah trombosit 600 IU/L dan AST > 70 IU/L
4. Inkomplit apabila hanya terdapat satu atau 2 gejala seperti di atas.
16,25
Karena diagnosis dini dan penatalaksanaan yang cepat dan tepat akan mempengaruhi prognosis.
2.5 Penatalaksanaan
A. Preeklampsia Ringan 1. Rawat jalan
Ibu hamil dengan PER dapat dirawat jalan. Dianjurkan untuk banyak istirahat ( berbaring/ tidur miring), tetapi tidak mutlak untuk tirah baring. Tidak diberikan obat-obatan diuretic, antihipertensi dan sedative. Dilakukan pemeriksaan laboratorium rutin untuk memantau perjalanan penyakit. Pengaturan diet yang mengandung 2 gr natrium
dianggap cukup. 2. Rawat inap
Kriteria:
a. Bila tidak ada perbaikan perawatan selama 2 minggu di rumah b. Adanya satu atau lebih gejala PEB
3. Perawatan Obstetrik
Jika tekanan darah normotensif, persalinan ditunggu hingga aterm. B. Preeklampsia Berat
Penatalaksanaan untuk preeklampsia berat dapat dibagi atas 2 hal yaitu :6
a. Perawatan konservatif
Indikasi perawatan konservatif 1. Kehamilan <37 minggu 2. Keadaan janin baik
3. Tidak ada impending eklampsia Pengobatan medisinal
i. Loading dose diberikan 4 gram MgSO4 secara IVselama 15 menit.
ii. Maintenance dose diberikan infuse 6 gram dalam larutan RL/ 6 jama atau 4-5 gram secara IM.
2. Diuretik
Diuretik tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru, gagal jantung kongestif ataupun edem anasarka.
3. Pemberian antihipertensi.
i. Lini pertama diberikan nifedipin dengan dosis 10-20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam. ii. Lini kedua diberikan sodium nitropusside
dengan dosis o,25 mikrogram IV/kgBB/menit
b. Perawatan aktif (Sectio caseria)
Indikasi bila terdapat satu atau lebih keadaan ini : i. Ibu
- Kehamilan > 37 minggu
- Adanya impending eklampsia
- 6 jam setelah pengobatan medicinal terjadi kenaikan tekanan darah
- 24 jam setelah pengobatan medicinal gejala tidak berubah ii. Janin
- Adanya tanda-tanda gawat janin
- Adanya pertumbuhan janin terhambat dalam rahim
- Laboratorik
- Adanya sindrom HELLP
C. Penatalaksanaan Eklampsia
Perawatan dasar eklampsia yang utama adalah terapi suportif untuk stabilisasi fungsi vital, yang harus selalu diingat Airway, Breathing, Circulation (ABC), mengatasi dan mencegah kejang, mengatasi dan mengobati hipoksemia dan asidemia, mencegah trauma akibat kejang pada pasien, mengendalikan tekanan darah dan melahirkan janin dengan cara
yang tepat dan waktu yang tepat. Pengobatan medisinal
iii. Loading dose diberikan 4 gram MgSO4 secara IVselama 15 menit.
iv. Maintenance dose diberikan infuse 6 gram dalam larutan RL/ 6 jama atau 4-5 gram secara IM.
2. Perawatan waktu kejang
-Perawatan di kamar isolasi yang terang
-Fiksasi badan di tempat tidur harus longgar
-Selesai kejang, segeralah berikan oksigen.
3. Perawatan koma
-Menjaga jalan nafas tetap terbuka
-Drainase lendir
-Monitoring kesadaran
4. Perawatan edema paru
-Saran rawat di ICU dengan monitor dan ventilator
D. Penatalaksanaan Sindroma HELLP
Penatalaksanaan sindroma HELLP post partum meliputi pengendalian tekanan darah yang lebih agresif, antikonvulsan, pemberian
kortikosteroid (dexametason 10-10-5-5/12jam) akan mempercepat penyembuhan sindroma HELLP serta mengurangi resiko terjadinya komplikasi maternal yang ditandai dengan meningkatnya produksi urin dan jumlah trombosit, dan menurunnya kadar LDH dan AST.17
Diuresis dapat menurun pada pasien PEB, kemungkinan adanya proses mikroangiopati yang menyebabkan oklusi pembuluh darah glomerulus sehingga filtrasi menurun. Maka untuk menegakkan diagnosis dilakukan pemeriksaan keadaan hemostasis pasien, dan dapat diperoleh data PT dan APTT serta fibrinogen dalam batas normal, dengan kadar D- Dimer ≥ 500, yang memberikan kesan adanya pemecahan produk
fibrinogen (FDP) yang berarti ada proses mikroangiopati.21 Dapat
diberikan heparin 3x2500 U. Biasanya diuresis akan membaik dalam beberapa hari, yang berarti terbukanya oklusi pembuluh darah.
Dalam perawatan dapat terjadi penurunan albumin yang makin memberat. Harusnya segera dilakukan penggantian albumin yang hilang, namun untuk pasien yang sedang mengalami fase poliuri, akan sia-sia, karena albumin yang masuk akan terbuang percuma lewat urin,21 karena
itu sambil menunggu fase poliuri lewat dapat diberikan diet tinggi protein dan ekstra telur. Untuk menghilangkan kekhawatiran terbuangnya protein lewat urin tersebut, dilakukan pengecekan proteinuria, jika tidak didapatkan proteinuria maka disimpulkan bahwa endotel pembuluh darah ginjal telah membaik, dan diasumsikan bahwa endotel pembuluh di paru juga membaik.2
2.11.1 Monitoring
Diuresis minimal 30 ml / jam (Mg disekresi lewat urine) , refleks patella harus tetap positif (merupakan tanda pertama, refleks akan menghilang pada kadar 8-10 mEq/L, dalam hal ini Mg harus distop sampai refleks positif lagi) , respirasi rate minimal 14 x / menit (pada kadar > 12 mEq / L akan terjadi depresi pernafasan).27 Jika timbul tanda-tanda toksisitas, maka kadar magnesium darah
harus dievaluasi dan berikan antidotum calsium glukonas 1000 mg dalam 3 menit.27
Magnesium dalam melewati barier plasenta dalam kadar yang sama, sehingga bayi baru lahir dari ibu yang diterapi dengan magnesium sulfat bisa mengalami depresi pernafasan dan hiporefleksi , hal ini tidak atau jarang ditemukan pada pemberian intramuskular.27 Magnesium sulfat bekerja secara
sinergis dengan obat anestesi umum, sehingga dosisnya harus lebih rendah.27
Nitrogliserin, karena nitrat mempunyai efek venodilator yang kuat dan juga bersifat arteriodilator, maka dapat menurunkan preload (terutama) dan afterload . Dengan demikian nitrat dapat menurunkan tekanan kapiler paru secara bermakna, sehingga dapat mengurangi ekstravasasi cairan dan telah terbukti dapat
mengatasi simptom edema paru.10 Nitrat akan membentuk radikal bebas NO yang
reaktif dalam sel otot polos., yaitu dengan mengaktivasi siklik GMP sehingga terjadi defosforisasi myosin yang pada akhirnya mengakibatkan relaksasi otot polos pembuluh darah, hal ini dapat ikut menurunkan tekanan darah.13,14 Cara
ug, demikian juga dengan tatalaksana edema paru yang lain, seperti pemberian diuretik dengan tujuan untuk mengurangi preload.4.15
Ekstraksi pada PK II; dilakukan karena mengedan akan meningkatkan tekanan darah. Post partum segera berikan furosemid 80 mg intravena untuk mencegah back flow agar tidak terjadi edema paru.16 Tindakan segera mengakhiri
persalinan secepat mungkin adalah benar.3
2.11.2 Antioksidan
Banyak antioksidan yang terbukti berkurang pada preeklamsia. Dengan berkurangnya antioksidan maka resiko kerusakan jaringan akan tinggi. Oleh karena itu diberikan antioksidan seperti vitamin C yang berfungsi sebagai antioksidan nonenzimik yang bekerja secara sinergik dengan tocopherol yang ada pada plasma lipoprotein untuk menangkal radikal hidroksil.18 Dapat juga
diberikan N-acetyl Systein (NAC), karena secara rasional gugus thiol yang ada pada NAC merupakan prekusor glutation bentuk tereduksi (reduced glutathion)
yang dapat mengatasi defisit glutation.18
NAC sebagai antioksidan bekerja dengan cara memberikan gugus sulfidril bebas ( free thiol ) yang berkonjugasi langsung dengan oksidan sehingga oksidasi
menjadi netral.18 NAC juga dapat merangsang sintesis gama
glutamylcysteinglysine (GSH), meningkatkan aktifitas glutahion-S-Otransferase dan menginduksi detoksifikasi.18 Penggunaan NAC jarang sekali ada efek
samping serius yang dilaporkan, demikian pula penggunaan jangka panjang sampai 6 bulan bahkan 2 tahun. Bahkan dapat diberikan dalam dosis besar hingga
30 gr/hari dalam 3 kali pemberian.18 Tidak ditemukan efek toksik / efek samping
sekalipun ditemukan dalam kadar tinggi di darah tali pusat baik pada binatang maupun pada bayi.8
2.11.3 Ventilator
Secara teoritis kelebihan cairan interstisial paru disalurkan melalui beberapa jalur yang berbeda, antara lain: diresorpsi masuk ke intravaskuler, diakumulasi di ruang pleura dan disalurkan melalui system limfatik mediastinum. Pada pasien preeklamsia yang memerlukan ventilator, maka disarankan untuk memberikan PEEP dengan tujuan untuk mencegah kolapsnya jaringan paru pada saat ekspirasi, ternyata PEEP juga dapat mengurangi jumlah cairan di interstisial paru, memang mekanismenya belum diketahui dengan pasti, namun PEEP sebesar
10-20 CmH2O dapat meningkatkan tekanan intrathorak dan meningkatkan tekanan vena sentral sehingga meningkatkan proses drainase limfatik melewati duktus thorakis.19
Pasien PEB dalam ventilator dapat mengalami komplikasi lain, yaitu suatu pneumonia dengan eksaserbasi akut yang dapat disebabkan karena masih adanya
stress oksidatif yang ditandai dengan:
(1) Meningkatnya sekresi mukus terbukti dengan ditemukannya slem dan ronkhi.
(2) Adanya ronki basah halus yang menandakan masih adanya edema paru sebagai tanda masih adanya kebocoran plasma di interstisial paru atau belum terevakuasinya seluruh cairan dari jaringan paru- paru.
(3) Adanya bronkokonstriksi yang ditandai dengan meningkatnya PCO2 dan menurunnya PO2.
Stres oksidatif yang timbul baik karena proses PEB yang masih berlanjut ataupun karena adanya infeksi primer di paru, menimbulkan kerusakan jaringan paru, yang dikatakan bahwa dalam waktu 10 sampai 18 jam akan makin melemahkan pertahanan paru terhadap infeksi yang ada.20 Oleh karena antibiotik
ceftriaksone tetap diberikan dan rencana pemberian antibiotik selanjutnya sesuai pemeriksaan kultur resistensi.
Pengukur central venous pressure (CVP), dengan tujuan untuk memantau kecukupan cairan intravaskuler. Pemantauan invasif seperti ini harus dipertimbangkan betul-betul untung ruginya, khususnya pada pasien ini dimana terdapat berbagai faktor dan lebih dari satu mekanisme yang menyebabkan timbulnya edema paru, bukan hanya karena overload cairan.4Yang penting adalah
balance cairan negatif dengan input cairan yang tidak berlebihan. Kalaupun CVP terpasang, harus dilakukan pemantauan agar tekanannya tidak melebihi 5 mmHg atau 7 CmH2O. Jika CVP lebih dari level tersebut maka harus diberikan diuretik untuk menurunkannya. Lebih aman membiarkan pasien tersebut “kering” daripada overload hingga timbul edema paru. Dikatakan bahwa total cairan yang diberikan seharusnya tidak melebihi 50 ml/jam ditambah output sebelumnya. Jika pasien mendapat balance positif atau timbul tanda-tanda edema paru maka segera berikan 40 mg furosemid diikuti dengan pemberian 20 g manitol.11
Edema paru berulang dapat saja terjadi karena memang proses PEB yang mungkin masih berlanjut, yang dapat diperberat oleh rendahnya tekanan onkotik
intravaskuler karena hipoalbuminemia dan overload cairan dengan balance positif. Pada saat itu maka segera berikan force diuresis untuk mengurangi overload dan diberikan antioksidan yaitu N-Acetyl Systein (NAC). Terbukti bahwa pemberian cairan intravena yang berlebihan yang juga dapat terjadi pada pemberian albumin berbahaya untuk timbulnya edema paru.4 Hal ini terjadi
karena makin banyaknya cairan yang masuk ke intravaskuler, makin menurunkan tekanan onkotik, sedang pemberian albumin yang awalnya bertujuan untuk meningkatkan tekanan onkotik, memang akan meningkatkan tekanan onkotik pada saat-saat pertama, namun dikhawatirkan pada saat selanjutnya akan terjadi ekstravasasi albumin karena adanya “kebocoran” endotel sehingga akan menarik lebih banyak lagi cairan ke ekstravaskuler, yang akan memperberat edema.21
2.11.4 Trombosit
Trombosit ditransfusi jika < 50.000 ingin menjalani sectio caesaria atau < 20.000 ingin partus pervaginam.10 Dapat diberikan morfin 3-4 mg iv (ulang/ 3
jam) pada edema paru. Kuretase post partum secara teoritis dapat dilakukan dengan pemikiran bahwa lahirnya janin dan plasenta belum cukup menghilangkan mediator yang menyebabkan preeklamsia. Mediator tersebut masih tersedia dalam jumlah yang cukup banyak di dalam desidua basalis yang masih dapat menimbulkan stress oksidatif, yang menyebabkan proses preeklamsia tetap berlanjut yang dibuktikan dengan:
(2) Kembalinya tekanan darah ke tingkat normal yang terjadi lebih cepat pada pasien yang dilakukan kuretase post partum dibandingkan dengan
yang tidak.
(3)Pasien yang tidak responsif terhadap terapi medika mentosa ternyata
secara klinis terjadi perbaikan setelah dilakukan kuretase post partum.22,23
Tidak ada ruginya jika selama ANC ibu-ibu hamil diberikan suplemen kalsium, karena dikatakan bahwa kalsium dapat meningkatkan NO2 yang dapat mencegah timbulnya preeklamsia, bagaimana farmakodinamiknya belum kami ketahui. Jika ada riwayat PEB, maka sebelum timbul hipertensi dalam kehamilan berikutnya boleh diberikan aspilet untuk mencegah timbulnya kekentalan darah.12
2.12. Diagnosis Banding
Diagnosis banding antara preeklampsia dengan hipertensi menahun atau penyakit ginjal tidak jarang menemui kesukaran. Pada hipertensi menahun adanya tekanan darah yang meninggi sebelum hamil, pada kehamilan muda atau 6 bulan post partum akan sangat berguna untuk membuat diagosis. Pemeriksaan
finduskopi juga berguna karena perdarahandan eksudat jarang ditemukan pada preeklampsia. Kelainan tersebut biasanya menunjukan hipertensi menahun.
Proteinuria pada preeklampsia jarang timbul sebelum triwulan ke-3 sedangkan pada penyakit ginjal timbul lebih dulu.1
2.13 Komplikasi
Kompilkasi terberat pada preeklampsia adalah kematian ibu dan janin. Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu berupa kemunduran fungsi sejmlah organ
dan sisitem yang kemungkinan sebagian besar terjadi akibat vasospasme, yaitu gagal ginjal, sindrom HELLP, eklampsia dan perdarahan otak.8
Sedangkan komplikasi yang dapat terjadi pada janin berhubungan dengan terjadinya perubahan dalam perfusi darah uteroplasenta akut ataupun kronis yang bisa menyebabkan pertumbuhan janin intrauterine terhambat dan prematuritas.
2.14 Pencegahan
Pencegahan preeklampsia sepertinya tidak mungkin karena tidak mungkin karena faktor penyebabnya belum diketahui sampai sekarang. Meskipun demikian janin dari ibu preeklampsia sebaiknya dikeluarkan saat hipertensi ibu terkontrol dengan baik, pengaturan aktifitas dan penambahan berat badan dan antenatal care dan post natal care yang optimal merupakan tindakan yang dapat mencegah terjadinya preeklampsia.9
Pemeriksaaan antenatal care yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-tanda preeklampsia dan dalam hal ini harus dilakukan penanganan yang semestinya. Pemberian aspirin dosis rendah (75 mg) telah dievaluasi secara luas sebagai obat mencegah preeklampsia. Baru-baru ini antioksidan dosis tinggi, vitamin C 1000 mg dan vitamin E 400 IU, juga telah sukses digunakan dalam mengurangi preeklampsia lebih dari 50%. Diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat dan garam serta penambahan berat badan yang tidak berlebihan perlu dianjurkan.1
Pada umumnya baik dengan penatalaksanaan yang tepat. Wanita yang mengalami preeklampsia selama kehamilannya mempunyai resiko yang tinggi untuk serangan ulangan pada kehamilan berikutnya. Resiko meninkat 50% pada wanita yang mengalami preeklampsia pada usia kehamilan muda (sebelum minggu ke-27).
BAB III PENUTUP
3. 1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh melalui penulisan makalah tinjauan kepustakaan ini antara lain :
1. Preeklampsia merupakan salah satu penyebab kematian ibu dan janin. 2. Perlu deteksi dini dalam diagnosis preeklampsia.
3. Saat ini sedang banyak digalakkan penelitian-penelitian mengenai preeklampsia yang diharapkan akan menjadi titik acuan dalam pengembangan penatalaksanaan pengobatan preeklampsia sehingaa angka
kejadiannya dapat ditekan. 3.2 Saran
Berbagai penelitian yang mengkaji tentang preeklampsia dari berbagai tinjauan hendaknya dapat dijadikan sebagai dasar acuan untuk pengembangan penatalaksanaan preeklampsia di RSUD Ulin Banjarmasin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abalovich M, Gutierrez S, Alcaraz G, Maccallini G, Garcia A, Levalle O. Overt and subclinical hypothyroidism complicating pregnancy. Thyroid. 2002;12:63–8.
2. Alberman E. The epidemiology of repeated abortion. In: Beard RW, Sharp F, editors. Early Pregnancy Loss: Mechanisms and Treatment. London: RCOG Press;1988. p. 9–17.
3. Brenner B, Hoffman R, Blumenfeld Z, Weiner Z, Younis JS. Gestational outcome in thrombophilic women with recurrent pregnancy loss treated by enoxaparin. Thromb Haemost 2000;83:693–7.
4. Brigham SA, Conlon C, Farquharson RG. A longitudinal study of pregnancy outcome following idiopathic recurrent miscarriage. Hum Reprod 1999;14:2868–71.
5. Brocklehurst P, Hannah M, McDonald H. Interventions for treating bacterial vaginosis in pregnancy. Cochrane Database Syst Rev
2000;CD000262.
6. Bussen S, Sutterlin M, Steck T. Endocrine abnormalities during the follicular phase in women with recurrent spontaneous abortion. Hum Reprod 1999;14:18–20.
7. Carp H, Dolitzky M, Tur-Kaspa I, Inbal A. Hereditary thrombophilias are not associated with a decreased live birth rate in women with recurrent miscarriage. Fertil Steril 2002;78:58–62.
8. Carp H, Toder V, Aviram A, Daniely M, Mashiach S, Barkai G. Karyotype of the abortus in recurrent miscarriage. Fertil Steril 2001;75:678–82.
9. Christiansen OB. A fresh look at the causes and treatments of recurrent miscarriage, especially its immunological aspects. Hum Reprod Update 1996;2:271–93.
10. Clifford K, Rai R, Regan L. Future pregnancy outcome in unexplained recurrent first trimester miscarriage. Hum Reprod 1997;12:3 87–9.
11. Clifford K, Rai R, Watson H, Franks S, Regan L. Does suppressing luteinising hormone secretion reduce the miscarriage rate? Results of a randomised controlled trial. BMJ 1996;312:1508–11.
12. Clifford K, Rai R, Watson H, Regan L. An informative protocol for the investigation of recurrent miscarriage: preliminary experience of 500 consecutive cases. Hum Reprod 1994;9:1328–32.
13. Curtis, Michele G.; Overholt, Shelley; Hopkins, Michael P. Glass' Office Gynecology, 6th Edition. 2006. Lippincott: Williams & Wilkins
14. de Braekeleer M, Dao TN. Cytogenetic studies in couples experiencing repeated pregnancy losses. Hum Reprod 1990;5:519–28.
15. de Wolf F, Carreras LO, Moerman P, Vermylen J, Van Assche A, Renaer M. Decidual vasculopathy and extensive placental infarction in a patient