• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBUTUHAN HARA N, P, DAN K TANAMAN JAGUNG HIBRIDA PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN GOWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEBUTUHAN HARA N, P, DAN K TANAMAN JAGUNG HIBRIDA PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN GOWA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KEBUTUHAN HARA N, P, DAN K TANAMAN JAGUNG HIBRIDA

PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN GOWA

M. Akil

Balai Penelitian Tanaman Serealia

ABSTRAK

Produksi jagung hibrida dengan pemberian hara secara rasional tergantung pada kemampuan tanah menyediakan hara secara alami dan pemulihan hara dengan penambahan pupuk sesuai kebutuhan tanaman. Dengan pemberian hara pada tanaman jagung sesuai dengan hara yang memang kurang ke dalam tanah melalui pemupukan dengan takaran sesuai dengan kebutuhan tanama. Pada tanah Inceptisol hara N menjadi hara pembatas untuk pertumbuhan tanaman jagung hibrida, maka yang ditambahkan adalah pupuk yang mengandung N seperti pupuk Urea. Yang perlu diperhatikan dalam pemberian hara melalui pemupukan yang rasional adalah status hara dalam tanah. Makin tinggi status hara tersedia dalam tanah akan makin rendah jumlah hara (pupuk) yang ditambahakan. Tanaman jagung hibrida mampu menyerap hara baik yang berasal dari pupuk maupun yang telah ada di dalam tanah. Tujuan penelitian untuk pengetahui kebutuhan hara N, P, dan K tanaman jagung hibrida pada lahan kering di Kabupaten Gowa. Hasil penelitian di desa Kalaserena, kecamatan Bontonompo, kabupaten Gowa dengan menanam jagung hibrida BISI 16 didapatkan kebutuhan hara untuk memberikan hasil yang maksimal adalah 225 kg N + 36 kg P2O5/ha. Hara kalium masih cukup tersedia untuk produksi jagung hibrida pada lahan kering di Kabupaten Gowa. Program nutrient manager dapat digunakan untuk menentukan takaran pupuk N, P, dan K pada tanaman jagung hibrida.

Kata Kunci: hara, jagung hibrida, lahan kering

PENDAHULUAN

Kebutuhan hara tanaman jagung hibrida pada lahan kering di Bontonompo, Gowa tergantung pada ketersedian hara secara alami dalam tanah dan kemampuan pemulihan hara dari dalam tanah. Apabila ketersediaan hara dalam tanah rendah maka diperlukan pemberian hara dalam bentuk pupuk yang semakin tinggi untuk memperoleh hasil yang maksimal.

Peningkatan produksi jagung secara nasional perlu dilakukan perluasan areal atau melalui peningkatan indeks pertanaman jagung. Petani di Bontonompo, Gowa sudah mulai menerapkan IP 200 (penanaman padi kemudian diikuti penanaman jagung) pada lahan kering. Namun demikian pada lahan kering di Kalaserena, Bontonompo, Gowa, dengan adanya sumur bor memungkinkan penerapan IP400. Untuk memudahkan penerapan IP400 di tingkat petani perlu disesuaikan dengan varietas, sistem pengaturan tanaman untuk memudahkan tanaman sisipan, cara

(2)

pendistribusian air yang mudah serta penambahan hara N, P dan K melalui pemberian pupuk sesuai kebutuhan tanaman.

Sekitar 80% areal pertanaman jagung dipupuk dengan takaran sekitar 85 kg N, 25 kg P2O5 dan 8 kg K2O/ha tiap musim tanam (IFA 2002). Umumnya petani di lahan kering kabupaten Gowa pada memberikan pupuk berdasarkan jumlah benih yang ditanam. Dalam satu hektar biasanya digunakan benih 20 kg, sehingga jumlah pupuk yang digunakan sebanyak 20 zak, yang biasanya terdiri dari 10 zak urea, 6 zak phonska (15-15-15-10), 2 zak ZA dan 2 zak SP36. Petani yang mampu dan yang mendapat pinjaman menggunakan pupuk sebanyak itu berdasarkan rekomendasi dari penjual benih hibrida yang digunakan. Petani menggunakan pupuk secara berlebihan karena kurangnya bimbingan oleh penyuluh dan petugas penyuluh pertanian dan kurangnya pemahaman tentang penggunaan pupuk secara rasional. Anjuran pemupukan dan praktek pemupukan oleh petani terutama pada tanaman jagung hibrida di lahan kering belum didasarkan atas kandungan hara dalan tanah.

Dibeberapa tempat pertanaman jagung intensif, seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan, petani memberikan takaran N dalam jumlah yang sangat banyak yakni sekitar 350 kg N/ha (Saenong et al. 2005). Pemberian pupuk urea dengan takaran hingga 700 kg/ha banyak dilakukan oleh petani di Kabupaten Kediri, Jawa Timur untuk tanaman jagung hibrida (Ispandi dan Soepangat, 1986).

Hara N, P, dan K merupakan hara yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan produksi tanaman jagung hibrida. Setiap ton hasil biji, tanaman jagung membutuhkan 27,4 kg N; 4,8 kg P; dan 18,4 kg K (Cooke 1985), sedang menurut Dauphin (1985) tanaman jagung menyerap 23-34 kg N; 6,5-11 kg P2O5, dan 14-42 kg K2O, sehingga diperlukan pengelolaan hara yang tepat agar kebutuhan tanaman akan hara dapat terpenuhi secara optimal.

Pemupukan yang rasional adalah suatu pemberian hara sesuai kebutuhan tanaman jagung hibrida dengan mempertimbangkan a) hara yang tersedia di dalam tanah, b) penggunaan hara N, P, K dan hara lainnya untuk meminimalkan kendala hara untuk mencapai hasil yang tinggi, c) memberikan keuntungan tinggi dalam jangka pendek dan jangka panjang, d) menghindari kelebihan penggunaan hara oleh tanaman, dan e) menghindari menurunnya kesuburan tanah.

Hasil penelitian di beberapa lokasi menunjukkan takaran pupuk yang berbeda meskipun memberikan hasil yang sama, perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan kemampuan tanah menyediakan hara secara alami. Informasi kebutuhan pupuk yang rasional, khususnya N, P dan K pada tanaman jagung hibrida di lokasi

(3)

tertentu sangat dibutuhkan untuk menjamin pertumbuhan dan produktivitas yang memuaskan dan berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kebutuhan pupuk N, P dan K pada tanaman jagung hibrida pada lahan kering di Desa Kalaserena, Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan.

BAHAN DAN METODE

Percobaan dilaksanakan pada lahan kering di Desa Kalaserena, Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Pertanaman pertama ditanam pada awal April 2010. Pertanaman kedua ditanam dua minggu sebelum pertanaman pertama dipanen secara sisipan (relay cropping). Pada lokasi tersebut petani telah menanam padi satu kali dan menanam jagung manis yang dipanen muda, sehingga dengan penanaman jagung dua kali, frekwensi pertanaman pada areal lokasi penelitian sebanyak 4 kali.

Pengaturan tanaman menggunakan sistem legowo dengan jarak tanam 100 cm – 50 cm x 20 cm, 1 tanaman per lubang (pupulasi tanaman 66.666/ha). Lahan disiapkan dengan sistem tanpa olah tanah (TOT). Gulma pra tumbuh disemprot herbisida paraquat dengan takaran 4 l/ha. Ukuran petak adalah 6 m x 4 m. Jagung yang ditanam adalah hibrida varietas BISI 16. Sebelum tanam benih dicampur dengan saromil untuk mencegah penyakit bulai dengan takaran 2,5 g/kg benih.

Hama dikendalikan dengan furadan 3G yang diberikan pada saat tanam melalui lubang tanaman dan saat tanaman berumur 15 hari setelah tanam (hst) yang diberikan melalui pucuk daun tanaman dengan takaran masing-masing 5 kg/ha.

Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan. Ada 2 takaran N (0 dan 225 kg N/ha), 3 takaran P (0, 36 dan 72 kg P205/ha) dan 3 takaran K (0, 60 dan 90 kg K20/ha) ditambah perlakuan berdasarkan program”nutrient manager” (230 kg N + 83 kg P205 + 111 kg K20/ha). Seluruh takaran pupuk P, ½ takaran K dan ½ takaran N diberikan pada umur 10 hst. Sisa takaran N dan K diberikan pada umur 37 hst. Pemberian pupuk dilakukan secara tugal sekitar 5-7 cm dari tanaman. Susunan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2. Analisis contoh tanah dari lokasi penelitian dilakukan di laboratorium untuk mengetahui kandungan hara N, P dan K dalam tanah.

Data yang dikumpulkan meliputi: 1). Klorofil daun saat umur 56 hst (unit), diamati dengan menggunakan clorophyl meter Minolta SPAD (Soil Plant Analysis Development) 502 2) Tinggi tanaman pada saat 60 hst (cm), diamati dari permukaan tanah hingga buku terakhir, 3)Tinggi tongkol dari permukaan tanah (cm) diamati saat

(4)

60 hst, 4) Bobot biomas segar (t/ha) saat panen, ditimbang pada saat panen, 5) Hasil biji (t/ha), dihitung pada kadar air 15%, 6) Bobot 100 biji (g), 7) Analisis kadar N, P dan K jaringan tanaman saat 56 hst, dan 8) Analisis kadar N, P dan K biji saat masak fisiologis.

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Tanah

Berdasarkan Atlas, sumber daya tanah eksplorasi Indonesia (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 2000), lokasi penelitian di Kalaserena, Bontonompo, Gowa, Sulawesi Selatan termasuk jenis Inceptisol dengan bahan induk Aluvium, sub landform dataran Aluvial dengan relief datar.

Hasil analisis tanah lokasi penelitian menunjukkan bahwa tekstur tanah adalah lempung berdebu, pH agak masam, kandungan bahan organik tergolong rendah, kadar nitrogen tanah tergolong sangat rendah, kadar P tergolong sangat tinggi dan kadar K tergolong sedang (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil analisis tanah pada lahan kering Kalaserena, Bontonompo, Gowa, Sulawesi Selatan, 2010

Macam Penetapan Nilai Kriteria

Tekstur : Liat (%) Debu (%) Pasir (%) pH H2O (1 : 2.5) pH KCl (1 : 2,5) C- Organik (%) N-Total (%) C/N P-Bray I (ppm) Kdd (me/100 g) Cadd (me/100g) Mgdd (me/100g) Nadd (me/100g) Aldd (me/100 g) H+ (me/100 g)

Nilai Tukar Kation (me/100 g) Kejenuhan Basa (%) 11 60 29 5,61 4,42 1,06 0,08 13,25 44,24 0,52 6,86 0,39 0,13 0 0,28 10,96 72,08 Lempung berdebu Agak Masam Rendah Sangat Rendah Sangat tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah Rendah Rendah Sangat Rendah Rendah Tinggi

Dari hasil analisis tanah memberikan indikasi terhadap perlunya pemberian hara N yang tinggi, karena unsur tersebut menjadi faktor pembatas untuk pertumbuhan tanaman. Tanaman jagung yang kahat N akan tumbuh lambat dan kerdil, daun

(5)

menyempit dan pendek. Apabila kahat N dimulai pada awal pertumbuhan maka seluruh permukaan daun berwarna hijau kekuningan. Jika kahat N terjadi sejak tanaman fase V6 (25-30 hst), daun menguning yang dimulai dari pinggir ke tulang daun dan akan membentuk huruf V yang dimulai pada daun tua yang terletak di bagian bawah. Pada tingkat kahat N yang parah, daun tanaman berubah menjadi kecoklatan dan akhirnya tanaman mati. Kahat N juga menyebabkan klobot dan biji kecil (Wallacea, 2007). Menurut Subagyo et al. (2000) jenis tanah Inceptisoldi lahan kering sangat potensial untuk tanaman jagung.

Tinggi Tanaman

Pada saat berumur 60 hst, tanaman jagung yang dipupuk N lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding semua perlakuan tanpa N, baik pada pertanaman pertama maupun pertanaman kedua. Tinggi tanaman yang diberi NPK tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa P atau tanpa K (Tabel 2).

Tabel 2. Tinggi tanaman jagung hibrida saat umur 60 hst pada lahan kering, Kalaserena, Bontonompo, Gowa, 2010

Perlakuan N – P2O5- K2O (kg/Ha) Tinggi Tanaman Pertanaman I (cm) Tinggi Tanaman Pertanaman II (cm) 0 – 0 – 0 225 – 72 – 90 225 – 72 – 60 225 – 36 – 60 0 – 72 – 90 0 – 72 – 60 0 – 36 – 60 225 – 0 – 90 225 – 36 –90 225 – 72 – 0 225 – 36 – 0 Nutrient Manager* 177,5 c 249,2 a 248,6 a 248,9 a 185,3 bc 185,3 bc 201,1 b 251,1 a 245,0 a 253,9 a 248,1 a 256,1 a 148,9 c 213,9 a 217,2 a 222,2 a 158,9 bc 146,7 c 179,9 b 211,7 a 215,0 a 221,1 a 207,8 a 222,2 a KK (%) 7,0 6,8 Keterangan: * 230-83-111

Angka selajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT

Secara umum tinggi tanaman pada pertanaman pertama lebih tinggi dari pertanaman kedua. Hal ini disebabkan pada pertanaman pertanaman terdapat hujan yang tidak terlalu tinggi sehingga tanaman jagung memperoleh air dan sinar matahari yang cukup sehingga unsur hara dapat diserap dengan maksimal dan sinar matahari yang cukup banyak untuk pertumbuhan vagetatif. Pada pertanaman kedua terjadi musim hujan yang cukup tinggi dan tanaman tidak memperoleh cahaya sinar matahari

(6)

seperti pada pertanaman pertama, sehingga tanaman lebih rendah. Tanaman tertinggi diperoleh pada perlakuan yang dihitung berdasarkan program ”nutrient manager” (230-83-111) mencapai 256,1 cm pada pertanaman pertama.

Klorofil Daun

Warna klorofil daun tanaman jagung hibrida varietas BISI-16 saat umur 56 hst sangat dipengaruhi oleh pemberian pupuk nitrogen. Pada tanaman yang tidak diberi pupuk nitrogen menujukkan rata-rata klorofil daun sangat rendah berkisar 30,8 – 32,3 unit pada pertanaman pertama dan 24,3 – 29,1 pada pertanaman kedua. Tanaman yang dipupuk nitrogen, klorofil daunnya berkisar antara 52,6 – 54,7 unit pada pertanaman pertama dan 44,9 – 51,7 pada pertanaman kedua (Tabel 3).

Tabel 3. Klorofil daun tanaman jagung hibrida pada umur 56 hst pada lahan kering. Kalaserena, Bontonompo, Gowa, 2010

Perlakuan N – P2O5- K2O (kg/Ha) Klorofil Daun Pertanaman I (Unit) Klorofil Daun Pertanaman II (Unit) 0 – 0 – 0 225 – 72 – 90 225 – 72 – 60 225 – 36 – 60 0 – 72 – 90 0 – 72 – 60 0 – 36 – 60 225 – 0 – 90 225 – 36 –90 225 – 72 – 0 225 – 36 – 0 Nutrient Manager* 32,3 b 53,3 a 53,3 a 53,5 a 30,8 b 31,1 b 30,9 b 52,7 a 52,6 a 53,0 a 53,2 a 54,7 a 24,3 d 46,5 bc 47,5 abc 50,2 ab 26,8 d 29,1 d 28,0 d 44,9 c 45,0 c 51,7 a 49,5 abc 49,7 abc KK (%) 4,17 6,21 Keterangan: *230-83-111

Angka selajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT

Klorofil daun diukur dengan menggunakan SPAD berkorelasi positif dan sangat nyata dengan kandungan klorofil yang ditetapkan secara destruktif (Syafruddin et al. 2008). Menurut Argenta et al. (2004) serta Mac Kown and Sutton (1998) pengukuran khlorofil daun secara destruktif berkorelasi positif nyata dengan kadar N daun. Klorofil daun adalah salah satu faktor untuk menentukan status N daun (Peterson et al. 1996). Nilai SPAD cukup akurat untuk mengukur tingkat kecukupan hara N pada tanaman padi, gandum, jagung, sorgum dan kapas (Turner and Jund 1991, Piekielek and Fox 1992, Waskom et al.1996, Wood et al. 1992, Francis and Piekielek 1996).

(7)

Letak Tongkol

Letak tongkol dari permukaan tanah menunjukkan bahwa tongkol terendah diperoleh pada tanaman jagung tanpa pupuk dengan tinggi tongkol 85,0 cm – 97,0 cm pada pertanaman pertama dan 62,5 – 81,8 pada pertanaman kedua (Tabel 4). Tanaman yang dipupuk N mempunyai tongkol yang lebih tinggi dari permukaan tanah dibanding yang tidak dipupuk N. Dengan pemupukan N, tinggi tongkol berkisar antara 119,7 – 130 cm pada pertanaman kedua dan 83,8 cm – 108,0 cm pada pertanaman kedua.

Tabel 4. Tinggi tongkol jagung hibrida pada umur 60 hst pada lahan kering. Kalaserena, Bontonompo, Gowa, 2010

Perlakuan N – P2O5- K2O (kg/Ha) Tinggi Tongkol Pertanaman I (cm) Tinggi Tongkol Pertanaman II (cm) 0 – 0 – 0 225 – 72 – 90 225 – 72 – 60 225 – 36 – 60 0 – 72 – 90 0 – 72 – 60 0 – 36 – 60 225 – 0 – 90 225 – 36 –90 225 – 72 – 0 225 – 36 – 0 Nutrient Manager* 85,0 c 125,7 ab 120,7 b 118,4 b 86,3 c 93,3 bc 97,0 bc 130,0 a 119,7 b 126,7 ab 121,3 b 123,0 ab 62,5 d 98,3 ab 91,3 abc 108,0 a 81,8 bcd 72,0 cd 71,0 cd 101,8 ab 83,8 bcd 92,7 abc 87,5 abc 101,7 ab KK (%) 13,2 14,0 Keterangan: *230-83-111

Angka selajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT Hasil Biji

Analisis statistik menunjukkan bahwa hasil biji pertanaman pertama lebih tinggi dari pertanaman kedua. Pemberian pupuk N memberikan hasil yang berbeda nyata antara tanaman yang tidak dipupuk N dibanding tanaman yang dipupuk N. Tanaman tanpa pupuk N menghasilkan biji berkisar antara 4,89 – 5,43 t/ha pada pertanaman pertama dan 3,02 – 4,21 pada pertanaman kedua. Tanaman yang dipupuk N memberikan hasil biji antara 10,42 – 11,52 pada pertanaman pertama dan 8,01 – 10,24 pada pertanaman kedua (Tabel 5). Hara N menjadi pembatas dalam pertumbuhan tanaman jagung pada lahan kering di Kalaserena, Bontonompo, Gowa. Hal yang sama diperoleh pada tanah Inceptisol Haplustepts Wollangi, Bone (Syafruddin et al. 2006).

(8)

Dari dua kali pertanaman menunjukkan bahwa tidak ada respon terhadap pupuk K. Pemberian pupuk N bersama pupuk P memberikan peningkatan hasil biji lebih 2 kali lipat. Akan tetapi untuk menjaga kontinuitas pertanaman di lokasi tersebut dengan penerapan IP 400 sebaiknya pupuk N diberikan sebanyak 2,5 kg/ha dan pupuk P diberikan sekitar 18 – 36 kg P2O5/ha agar kesimbangan hara dalam tanah tetap terjamin. Pupuk K masih cukup tersedia dalam tanah. Hasil penelitian Syafruddin et al. (2006), untuk mencapai hasil 7-8 t/ha pada tanah Inceptisol Wollangi, Bone diperlukan pupuk 121,6 – 132,7 kg N; 12,7 – 27,5 kg P2O5 dan 11,9 -18,2 kg K2O/ha. Sedang, di Vertisol Sidrap diperlukan pupuk 150 kg N dan 35 kg P2O5 tanpa K. Pada sawah tadah hujan di Ajakkang, Baru hasil biji masih meningkat hingga takaran 500 kg urea/ha (Akil, 2006).

Tabel 5. Hasil biji jagung hibrida pada lahan kering. Kalaserena, Bontonompo, Gowa, 2010 Perlakuan N – P2O5- K2O (kg/Ha) Hasil Biji Pertanaman I (t/Ha)) Hasil Biji Pertanaman II (t/Ha) 0 – 0 – 0 225 – 72 – 90 225 – 72 – 60 225 – 36 – 60 0 – 72 – 90 0 – 72 – 60 0 – 36 – 60 225 – 0 – 90 225 – 36 –90 225 – 72 – 0 225 – 36 – 0 Nutrient Manager* 5,20 b 11,03 a 11,31 a 11,03 a 4,89 b 5,31 b 5,43 b 10,51 a 10,87 a 10,42 a 11,52 a 11,51 a 3,02 c 9,11 ab 10,24 a 10,04 a 3,87 c 4,21 c 3,59 c 8,01 b 9,88 a 9,93 a 9,15 ab 10,20 a KK (%) 7,9 10,2 Keterangan: *230-83-111

Angka selajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT Bobot Biomas

Bobot segar saat panen biji menunjukkan bahwa dengan perlakuan menggunakan program “nutrient manager” memberikan bobot biomas tertinggi sebesar 27,03 t/ha pada pertanaman pertama dan 29,07 t/ha pada pertanaman kedua. Tanpa pupuk N, bobot biomas segar bekisar antara 4,40 – 6,96 t/ha pada pertanaman pertama dan 12,13 – 16, 96 t/ha pada pertanaman kedua (Tabel 6).

(9)

Tabel 6. Bobot brangkasan jagung hibrida pada lahan kering. Kalaserena, Bontonompo, Gowa, 2010 Perlakuan N – P2O5- K2O (kg/Ha) Bobot Brangkasan Pertanaman I (t/Ha) Bobot Brangkasan Pertanaman II (t/Ha) 0 – 0 – 0 225 – 72 – 90 225 – 72 – 60 225 – 36 – 60 0 – 72 – 90 0 – 72 – 60 0 – 36 – 60 225 – 0 – 90 225 – 36 –90 225 – 72 – 0 225 – 36 – 0 Nutrient Manager* 4,40 c 22,62 b 20,09 b 22,67 b 6,96 c 6,42 c 6,27 c 22,42 b 22,69 b 22,82 b 21,96 b 27,03 a 12,13 d 27,80 ab 26,51 ab 31,93 a 15,60 d 16,96 cd 14,84 d 25,05 ab 23,51 bc 27,69 ab 25,98 ab 29,07 ab KK (%) 15,4 14,2 Keterangan: *230-83-111

Angka selajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT

Bobot biomas segar pertanaman kedua lebih tinggi dari pertanaman pertama karena curah hujan yang tinggi pada pertanaman kedua sehingga waktu panen tanaman masih segar dibanding panen pertanaman pertama. Bobot biomas yang masih segar saat panen dapat dijadikan pakan ternak untuk sapi sehingga petani yang memelihara ternak dapat memanfaatkan sebagai pakan.

Bobot 100 Biji

Rata-rata bobot 100 biji tertinggi diperoleh pada perlakuan NPK (225-72-60) seberat 33,2 g pada pertanaman pertama dan 27,0 g pada pertanaman kedua pada perlakuan NPK (225-72-90) (Tabel 7). Rendahnya bobot 100 biji pada pertanaman kedua akibat curah hujan yang tinggi sehingga mempengaruhi komponen hasil.

(10)

Tabel 7. Bobot 100 biji jagung hibrida pada lahan kering. Kalaserena Bontonompo, Gowa, 2010 Perlakuan N – P2O5- K2O (kg/Ha) Bobot 100 Biji Pertanaman I (g) Bobot 100 Biji Pertanaman II (g) 0 – 0 – 0 225 – 72 – 90 225 – 72 – 60 225 – 36 – 60 0 – 72 – 90 0 – 72 – 60 0 – 36 – 60 225 – 0 – 90 225 – 36 –90 225 – 72 – 0 225 – 36 – 0 Nutrient Manager* 28,4 a 31,6 a 33,2 a 31,3 a 28,5 a 30,0 a 24,1 b 30,1 a 30,5 a 28,7 a 30,4 a 30,5 a 21,0 d 27,0 a 26,6 ab 23,8 bcd 21,3 d 23,0 cd 23,0 cd 22,2 d 26,6 ab 26,3 ab 25,6 abc 26,4 ab KK (%) 8,3 6,4 Keterangan: *230-83-111

Angka selajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT Kadar Hara N, P dan K Pada Jaringan Tanaman

Kadar N jaringan tanaman pada pertanaman pertama dan pertanaman kedua lebih tinggi pada tanaman yang dipupuk N dan berbeda nyata dengan tanpa pupuk N. Kadar N jaringan pada pertanaman pertama tanpa pupuk N berkisar antara 1,94 – 2,19%, sedang perlakuan pupuk N 2,73-2,85%. Pada pertanaman kedua kisaran N jaringan 1,83 – 1,95 %, sedang yang dipupuk N berkisar 2,57 – 2,90% (Tabel 8). Hal ini menunjukkan adanya respon yang tinggi terhadap pemberian N, sehingga tanaman menyerap N lebih banyak dan tanaman menjadi lebih hijau.

Kadar hara P jaringan tanaman tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara tanaman yang dipupuk P dibanding tanaman yang yang dipupuk P, baik pada pertanaman pertama maupun pada pertanaman kedua. Hal ini dapat dimaklumi karena kadar hara P tanah tempat penelitian sangat tinggi.

(11)

Tabel 8. Kadar N, P dan K jaringan tanaman hibrida pada lahan kering. Kalaserena, Bontonompo, Gowa, 2010 Perlakuan N – P2O5- K2O (kg/Ha) Pertanaman I Pertanaman II Kadar N (%) Kadar P (%) Kadar K (%) Kadar N (%) Kadar P (%) Kadar K (%) 0 – 0– 0 225 – 72 – 90 225 – 72 – 60 225 – 36 – 60 0 – 72 – 90 0 – 72 – 60 0 – 36 – 60 225 – 0 – 90 225 – 36– 90 225 – 72 – 0 225 – 36 – 0 Nutrient Manager* 1,94 b 2,77 a 2,73 a 2,76 a 2,02 b 2,19 b 2,19 b 2,85 a 2,78 a 2,70 a 2.85 a 2,84 a 0,44 a 0,40 ab 0,40 ab 0,41 ab 0,41 ab 0,45 a 0,42 ab 0,41 ab 0,38 b 0,40 ab 0,38 b 0,40 ab 2,33 a 2,11 bc 2,14 abc 2,18 abc 2,21 abc 2,26 ab 2,23 abc 2,20 abc 2,17 abc 2,09 bc 2,04 c 2,17 abc 1,84 c 2,72 ab 2,57 b 2,63 ab 1,83 c 1,95 c 1.95 c 2,61 ab 2,75 ab 2,88 ab 2.90 a 2,62 ab 0,45 abc 0,40 cd 0,41 bcd 0,38 d 0,46 ab 0,49 a 0,45 abc 0,40 cd 0,43 bcd 0,40 cd 0,37 d 0,38 d 1,96 ab 1,87 abc 1,91 abc 1,97 ab 2,06 a 1,98 ab 2,06 a 2,00 a 1,90 abc 1,77 bc 1,69 c 1,92 ab KK(%) 5,9 6,6 5,0 7,0 7,1 6,0 Keterangan: * 230-83-111

Angka selajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT

Kadar hara K jaringan tanaman pertanaman pertama lebih tinggi dari pertanaman kedua. Tidak ada peningkatan kadar hara K jaringan tanaman dengan pemberian K dibanding tanpa K. Hal ini menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian hara K masih cukup tersedia berdasarkan analisis tanah yang tergolong sedang.

Kadar Hara N, P dan K Biji

Kadar hara N biji jagung tertinggi diperoleh pada perlakuan NPK (225-72-0), baik pada pertanaman pertama maupun kedua. Kadar P biji tertinggi pada pertanaman pertama dan kedua masing-masing sebesar 0,52% P dan 0,53% P diperoleh pada perlakuan NP (225 – 36). Kadar hara K biji tertinggi pada pertanaman pertama dan kedua diperoleh pada perlakuan NPK (225 – 36 – 60) dengan kadar hara K biji masing-masing sebesar 0,58% K dan 0,59% K (Tabel 9).

(12)

Tabel 9. Kadar N, P dan K biji jagung hibrida pada lahan kering. Kalaserena Bontonompo, Gowa, 2010 Perlakuan N – P2O5- K2O (kg/Ha) Pertanaman I Pertanaman II Kadar N (%) Kadar P (%) Kadar K (%) Kadar N (%) Kadar P (%) Kadar K (%) 0 – 0– 0 225 – 72 – 90 225 – 72 – 60 225 – 36 – 60 0 – 72 – 90 0 – 72 – 60 0 – 36 – 60 225 – 0 – 90 225 – 36– 90 225 – 72 – 0 225 – 36 – 0 Nutrient Manager* 1,18 bcd 1,41 ab 1,36 abc 1,40 ab 1,11 cd 1,19 bcd 1,00 d 1,40 ab 1,26 abcd 1,47 a 1,46 ab 1,42 ab 0,43 abc 0,47 abc 0,41 bc 0,49 abc 0,39 c 0,45 abc 0,43 abc 0,45 abc 0,47 abc 0,50 ab 0,52 a 0,43 abc 0,52 abc 0,51 bc 0,51 bc 0,59 a 0,49 c 0,54 abc 0,52 abc 0,57 ab 0,56 abc 0,55 abc 0,52 abc 0,52 abc 1,16 bcd 1,43 ab 1,35 abc 1,41 ab 1,12 cd 1,20 bcd 1,03 d 1,40 ab 1,27 abcd 1,48 a 1,47 ab 1,43 ab 0,44 abc 0,47 abc 0,41 bc 0,49 ab 0,38 c 0,45 abc 0,44 abc 0,45 abc 0,46 abc 0,50 ab 0,53 a 0,44 abc 0,52 abc 0,51 bc 0,51 bc 0,58 a 0,48 c 0,54 abc 0,53 abc 0,57 ab 0,56 abc 0,55 abc 0,52 abc 0,52 abc KK(%) 11,0 11,6 7,0 10,5 10,4 8,1 Keterangan: *230-83-111

Angka selajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT

KESIMPULAN

1. Hara N dan P merupakan hara yang dibutuhkan pada tanaman jagung hibrida di lahan kering Kabupaten Gowa.

2. Takaran pupuk yang dibutuhkan untuk menghasilkan produksi jagung hibrida yang maksimal pada lahan kering di Kalaserena, Bontonompo, Gowa adalah 225 kg N + 36 kg P2O5/ha. Pupuk K masih tersedia dalam tanah.

3. Program nutrient manager dapat digunakan untuk menentukan takaran pupuk N,P dan K pada tanaman jagung hibrida.

DAFTAR PUSTAKA

Akil, M. 2006. Evaluasi cara pemberian bentuk dan formulasi pupuk anorganik pada tanaman jagung. Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian/Pengkajian Spesifik Lokasi di Makassar tgl 14-15 Nopember 2006. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. 9 p.

Argenta, G., P.R.F. Da Silva, and L. Sangoi. 2004. Leaf relative chlorophyll content as indicator parameter to predict nitrogen fertilization in maize. Cienca Rural. Santa Maria: 34(5):1379-1387

Cooke, G. W. 1985. Fertilizing for maximum yield. Granada Publishing LMT. London. p.75-87.

Dauphin, F. 1985. Nutrient requirement of high yielding maize. In Pottasium in the Agricultural Systems of the Humid Tropics. Proceeding of the 19th Colluqium of the International Potash Institute. Bangkok. p. 265-275

(13)

Francis, D.D., and W.P. Piekielek. 1996. Assessing crop nitrogen with chlorophyll meters. Site-Spesific Management Guidelines (SSMG). 12p.

IFA. 2002. Fertilizer use by crops. 5 ed. Food and Agriculture Organization (FAO), Rome. 125p.

Ispandi A. Dan Soepangat. 1986. Pemupukan dan uji varietas jagung di Kediri. Penelitian Palawija. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. 1:79-86.

Mac Kown, Ch.T., T.G. Sutton. 1998. Using early-season leaf trails to predict nitrogen sufficiency of burley tobacco. Agro. J.90:21-27

Peterson,T.A., T.M. Blackmer, D.D. Francis, and J.S. Schepers. 1996. Using Chlorophyll meter to improve N management. Soil Resource Management. D13. Piekielek, W.P. and R.H. Fox. 1992. Use of Chlorophyll meter to predict sidedress

nitrogen requirement for maize. Agron. J. 84:59-65

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia. Skala 1: 1.000.000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian

Saenong,S, Syafruddin, dan Subandi. 2005. Penggunaan LCC untuk pemupukan N pada tanaman jagung. Laporan Pengelolaan Hara Spesifik Lokasi (PHSL). Kerjasama Balitsereal dengan Potash & Phosphate Institute (PPI), Potash and Phosphate Institute of Canada (PPIC). (belum dipublikasikan).

Subagyo, H., N. Suharta dan A.B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. Dalam Sumberdaya lahan Indonesia dan Pengelolaaannya. Pusat Penelitian tanah dan Agroklimat. p.21-65

Syafruddin, M. Rauf, R,Y. Arvan, dan M. Akil. 2006. Kebutuhan pupuk N, P, dan K tanaman jagung pada tanah Inceptisol Haplustepts. Penelitian Pertanian 25:1-9. Syafruddin, Sania Saenong, A.F. Fadhly. 1996. Keragaan pemupukan N, P, K, dan S

pada tanaman jagung di Sulsel. Dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung. Balitjas Maros. P. 478-489.

Syafruddin, Sania Saenong dan Subandi. 2008. Penggunaan bagan warna daun untuk efisiensi pemupukan N pada tanaman jagung. Penelitin Pertanian 27(1):24-31 Turner F.T., and M.F. Jund. 1991. Chlorophyll meter to predict nitrogen topdress

requirement for semi dwarf rice. Agron. J. 83:926-928.

Waskom, R.M., D.G. Westfall, D.E. Spellman, and P.N. Soltanpour. 1996. Monitoring nitrogrn tatus of corn with portable chlorophyll meter. Commun. Soil.Sci. Plant Anal.27:545-560

Wallacea, T. 2007. The diagnosis of mineral deficiencies in plants by visual symtoms.Dalam Petunjuk Lapang Hama – Penyakit – Hara pada Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan 2011. 67 p.

Wood, C.W., P.W. Tracy, D.W. Reeves, and K.L. Edmisten. 1992. Determination of cotton nitrogen status with hand-held chlorophyll meter. J. Plant Nutr. 15:487-500

Gambar

Tabel 3. Klorofil daun tanaman jagung hibrida pada umur 56 hst pada                    lahan kering
Tabel 6. Bobot brangkasan  jagung hibrida pada lahan kering. Kalaserena,                           Bontonompo, Gowa, 2010  Perlakuan  N – P 2 O 5 - K 2 O  (kg/Ha)  Bobot Brangkasan Pertanaman I (t/Ha)  Bobot Brangkasan Pertanaman II (t/Ha)  0 –  0 –   0  2
Tabel 7. Bobot 100 biji  jagung hibrida pada lahan kering. Kalaserena                               Bontonompo, Gowa, 2010  Perlakuan  N – P 2 O 5 - K 2 O  (kg/Ha)  Bobot 100 Biji Pertanaman I (g)  Bobot 100 Biji  Pertanaman II (g)  0 –  0 –   0  225 – 72
Tabel 8.  Kadar N, P dan  K jaringan tanaman hibrida pada lahan kering. Kalaserena,                        Bontonompo, Gowa, 2010  Perlakuan  N – P 2 O 5 - K 2 O  (kg/Ha)  Pertanaman I  Pertanaman II Kadar N   (%)  Kadar P  (%)  Kadar K  (%)  Kadar N  (%)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Acara Pra-Event akan dilaksanakan pada 5 November 2016 - 9 November 2016 di Fakultas Sains dan Matematika dengan 1000 pengunjung yang terdiri dari 450

diperoleh terdiri atas 16 buah judul iklan dengan 232 dialog. Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa ragak bahasa yangt terdapat dalam iklan acara di radio RRI Surakarta

Tatkala aku masuk sekolah Mulo, demikian fasih lidahku dalam bahasa Belanda sehingga orang yang hanya mendengarkanku berbicara dan tidak melihat aku, mengira aku anak

Pesantren telah melahirkan sistem nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi tradisi dan diyakini sebagai nilai dasar (core belief and core values). Namun, tidak

Berdasarkan pemaparan yang disajikan diatas maka penelitian ini dengan judul “Pengaruh Price Book Value (PBV), Earning Per Share (EPS), Dan Volume Perdagangan Terhadap

Setelah kereta api melewati pintu perlintasan, sensor ketiga yaitu sensor infra merah aktif untuk mengirim sinyal ke kendali mikrokontroler untuk membuka palang

Para siswa pada umumnya hanya tahu soal meminjam dan membaca buku perpustakaan saja dan itupun dilakukan dalam waktu yang teramat singkat, yaitu pada jam-jam

Kelas kuliah terintegrasi dikandung maksud ada- lah ruang kelas perkuliahan ataupun kegiatan perku- liahan yang memiliki koneksi dengan pihak luar un- tuk mendapatkan materi