• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan 1. Kemampuan Berpikir Kritis

Kemampuan berpikir merupakan salah satu kebutuhan vital untuk menyelesaikan permasalahan di seluruh aspek kehidupan era abad-21 (Facione, 2010; Thomas, 2011; Thompson, 2011). Kompleksitas permasalahan kehidupan yang semakin berkembang menuntut perkembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi untuk menemukan solusi (Lin & Lee, 2013). Kemampuan berpikir tingkat tinggi merujuk dari Taksonomi Bloom (1956) ditunjukkan oleh beberapa kemampuan, yaitu: kemampuan memecahkan masalah, mengambil keputusan, kreatif, dan kemampuan berpikir kritis (Yen & Halili, 2015). Kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dapat dilatihkan melalui pendidikan formal secara terstruktur dan berkala adalah kemampuan berpikir kritis (Marin & Halpern, 2010). Thompson (2011) menegaskan kemampuan berpikir kritis menjadi kemampuan paling penting untuk mencari solusi permasalahan (problem solving), menyelidiki (inquiry), dan menelusuri atau menemukan (discovery).

Kemampuan berpikir kritis merupakan serangkaian proses berpikir yang terdiri dari kegiatan menelusuri, menerapkan, mengevaluasi, menganalisis, konseptualisasi informasi untuk mengembangkan pemikiran melalui kesadaran diri, dan kemampuan menggunakan informasi yang telah diperoleh dengan menambahkan kreativitas dan keberanian mengambil resiko (Yildirim & Özkahraman, 2011). Facione (2010) menyatakan kemampuan berpikir kritis sebagai kemampuan kognitif, mempunyai enam aspek, yaitu: menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi, menyimpulkan, menjelaskan, dan kemampuan pengaturan diri. Kemampuan berpikir kritis dapat ditingkatkan melalui pembelajaran berkualitas yang diarahkan melalui pertanyaan konstruktivis (Almeida, 2012).

(2)

7

2. Pertanyaan

Pertanyaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai permintaan keterangan terhadap sesuatu yang ingin diketahui (Alwi, 2005). Pertanyaan mempunyai peran untuk memunculkan penjelasan, mendalilkan teori, mengevaluasi bukti temuan, mengkonfirmasi kebenaran penalaran, dan mengklarifikasi sesuatu yang masih diragukan sehingga pertanyaan mendorong peserta didik terlibat untuk berpikir secara kritis (Chin & Osborne, 2008).

Blosser (2000) menyatakan tingkat pemahaman peserta didik dapat dianalisis melalui kualitas pertanyaan yang diajukan. Analisis kualitas pertanyaan peserta didik dilakukan menggunakan Taksonomi Bloom. Taksonomi Bloom (1956) yang telah direvisi oleh Anderson & Krathwohl (2001), terbagi menjadi enam tingkatan, yaitu mengingat (C1), memahami (C2), mengaplikasikan (C3), menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), dan mencipta (C6). Keenam tingkat pengetahuan kognitif masing – masing dikategorikan menjadi empat tingkatan dimensi pengetahuan, tingkatan pertama dimensi Factual, kedua dimensi Conceptual, ketiga dimensi

Procedural dan tingkatan keempat dimensi pengetahuan Metacognitif.

Kemampuan berpikir yang dikategorikan sebagai lower order thingking jika mengutamakan kemampuan mengingat, memahami, dan menerapkan, sedangkan tingkat kemampuan berpikir High Order Thingking (HOT) telah melibatkan kemampuan menganalisis, mengevaluasi, dan mensintesis (Khan & Inamullah, 2011).

Kemampuan untuk mengajukan pertanyaan yang berkualitas tinggi bukan merupakan kemampuan bawaan secara genetis. Peningkatan kemampuan bertanya dilatih melalui pembelajaran yang dialami oleh peserta didik (Yeúila & Korkmaz, 2010). Pertanyaan menjadi dasar aktivitas pembelajaran sains, sehingga usaha peningkatan kemampuan menghasilkan pertanyaan dengan kualitas yang lebih tinggi melatih peserta didik untuk berpikir menggunakan penalaran sains lebih mendalam (Coutinho & Almeida, 2014). Peningkatan kemampuan untuk mengajukan pertanyaan

(3)

8

yang berkualitas tinggi efektif dilaksanakan pada pembelajaran berbasis sains. Dasar aktivitas pembelajaran berbasis sains dilakukan melalui tahapan

Discovery Learning (Balım, 2009).

3. Discovery Learning

Discovery Learning adalah model pembelajaran berbasis sains

yang menggabungkan fenomena-fenomena di alam untuk membangun pengetahuan melalui serangkaian kegiatan ilmiah (Balim, 2009). Karakteristik Discovery Learning berupa pembelajaran aktif dengan memberikan kesempatan peserta didik sebagai subjek utama pembelajaran. Aktivitas kelas Discovery Learning berpusat pada peserta didik (Student

Centered) yang menemukan konsep pemahaman dengan belajar

memanfaatkan berbagai sumber belajar sehingga tidak hanya menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar. Discovery Learning mendorong peserta didik untuk berinteraksi dan berpartisipasi secara mendalam untuk membangun pemahaman yang ingin dipelajari dengan kegiatan penyelidikan (inquiry). Peserta didik melakukan penemuan sendiri dan guru hanya mengarahkan pada tujuan pembelajaran dan kegiatan penyelidikan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang dipelajari (Cruckshank, Jenkins, & Metcalf, 2009). Balim (2009) menjelaskan peran guru dalam Discovery

Learning adalah sebagai fasilitator penyaji fenomena, mengklarifikasi dan

mengkonfirmasi. Pemahaman dan pengetahuan ditemukan dan diselidiki sendiri oleh peserta didik. Tujuan dari Discovery Learning adalah pengetahuan yang diperoleh dari penemuan.

Sintaks Discovery Learning menurut Veermans (2003) terdiri dari lima tahapan utama. Tahapan pertama adalah Orientation, dilanjutkan dengan

Hypothesis Generation, Hypothesis Testing, Conclusion, dan diakhiri dengan Regulation.

Orientation merupakan tahap pengenalan peserta didik terhadap

fenomena yang ada. Peserta didik dibebaskan untuk bereaksi secara logis melalui pengamatan. Fenomena yang disajikan diamati dengan kegiatan

(4)

9

perbandingan, analisis, pengelompokan, dan kegiatan lain. Fenomena yang disajikan pada tahap orientation dapat berupa objek benda, sistem, atau permasalahan yang dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari. Hasil dari tahap Orientation adalah pengetahuan awal tentang permasalahan. Pengetahuan awal kemudian menjadi dasar variabel-variabel masalah yang ingin dipelajari atau dibuktikan. Variabel masalah kemudian diformulasikan untuk menfokuskan pemahaman.

Hypothesis Generation tahap kelanjutan dari Orientation. Peserta didik

yang telah menetukan variabel-variabel permasalahan kemudian merumuskan dan memformulasikannya dengan pernyataan hipotesis. Pernyataan hipotesis diperoleh melalui eksplorasi dan proses yang secara induktif mengaitkan variabel-variabel permasalahan. Pernyataan hipotesis juga dapat diperoleh melalui generalisasi hasil pengamatan dengan teori yang telah dipelajari sebelumnya.

Hypothesis Testing merupakan tahap yang dilakukan sebagai pembuktian

dari tahap Hypothesis Generation. Hipotesis yang telah dibuat pada tahap hypothesis generation belum terbukti kebenaranya, karena belum dilakukan pengujian. Tahap hypothesis testing terdiri dari kegiatan eksperimen yang menguji kebenaran hipotesis. Kebenaran hipotesis dapat disimpulkan melalui interpretasi hasil dengan teori yang telah terbukti sebelumnya.

Conclusion merupakan tahap peserta didik untuk mereview hipotesis

pada fakta-fakta yang telah dihasilkan dari tahapan Hypothesis Testing. Peserta didik menentukan kesesuaian antara fakta-fakta yang ditemukan dengan prediksi sebelumnya apakah sudah sesuai atau belum. Jika telah sesuai kesimpulan dapat dibuat, jika belum sesuai dapat dilakukan revisi terhadap hipotesis yang tidak sesuai.

Regulation terdiri dari tiga kegiatan utama, yaitu: planning, monitoring,

dan evaluation. Tahap regulation merencanakan tujuan pembelajaran apakah telah sesuai, mengamati dan mengevaluasi setiap tahap yang telah dilakukan (Veermans, 2003).

(5)

10

Sintaks Discovery Learning dapat memfasilitasi peserta didik sehingga terlatih untuk mengajukan pertanyaan. Tahap Orientation menstimulus rasa ingin tahu peserta didik melalui pengamatan fenomena untuk membangun pengetahuan awal dan menentukan variabel permasalahan yang ingin dipelajari (Kowalski & Kowalski, 2013). Rasa ingin tahu mendorong peserta didik untuk bertanya sebagai representasi proses berpikir yang mengarahkan untuk menemukan jawaban atas fenomena menarik yang diamati (Chin & Osborne, 2008). Tahap Hypothesis Generation adalah tahap peserta didik untuk merumuskan hipotesis sebagai kesimpulan sementara berdasarkan pengamatan fenomena masalah yang ditemukan pada tahap Orientation. Tahap Hypothesis Testing bertujuan untuk membuktikan kesimpulan sementara pada Hypothesis Testing melalui kegiatan percobaan. Kegiatan menyusun hipotesis pada Discovery Learning membutuhkan penguatan melalui pertanyaan dan sebagai hasil kesimpulan sementara berdasarkan pengamatan (Alfieri, 2011). Kegiatan Conclusion merupakan tahapan peserta didik untuk menarik kesimpulan sebagai akumulasi perbandingan kesesuaian antara kesimpulan sementara dengan hasil percobaan. Kegiatan penarikan kesimpulan melalui analisa kesesuaian tidak dapat dilakukan tanpa kegiatan bertanya (Musingafi & Muranda, 2014). Sintaks Discovery Learning diakhiri dengan kegiatan regulation, yaitu: planning, monitoring, dan evaluation (Veermans, 2003). Peserta didik berdiskusi untuk mereview kegiatan, saling mengevaluasi, dan memberi kesimpulan akhir. Keseluruhan kegiatan

Discovery Learning mampu mendorong peserta didik untuk berperan aktif

dalam pembelajaran. Peserta didik terlatih menyelidiki, menganalisis, dan mengevaluasi (Alfieri, 2011).

B. Kerangka Berpikir

Tujuan dari pembelajaran adalah untuk mengembangkan kemampuan peserta didik agar dapat hidup bermasyarakat. Kemampuan yang dapat menjawab kebutuhan abad-21 meliputi kemampuan kognitif, kemampuan intrapersonal dan kemampuan interpersonal. Kemampuan kognitif terdiri dari kemampuan berpikir

(6)

11

kritis, kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan berpikir secara sistematis. Kemampuan berpikir dapat tercerminkan dari pertanyaan yang diajukan sebagai refleksi kedalaman tinkat berpikir.

Pertanyaan yang berkualitas dapat diajukan melalui kemampuan bertanya. Kemampuan bertanya dapat dinilai dari kualitas dan kuantitas pertanyaan yang muncul. Hasil observasi di kelas XI IIS 3 SMA Negeri 6 pertanyaan yang diajukan peserta didik selama pembelajaran ada 4 pertanyaan dari 4 peserta didik, kualitas pertanyaan mayoritas merefleksikan kemampuan berpikir yang masih berada pada kategori Low Order Thingking. Rendahnya kualitas petanyaan teramati karena pembelajaran masih menggunakan model yang tidak melatih kemampuan berpikir peserta didik. Solusi yang ditawarkan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pertanyaan pembelajaran kelas XI IIS 3 SMA Negeri 6 Surakarta diajukan dengan menerapkan model Discovery Learning.

Discovery Learning adalah model pembelajaran aktif dengan

memposisikan peserta didik sebagai subjek utama pembelajaran. Metode pembelajaran dilakukan dengan metode konstruktivisme berbasi sains, yaitu peserta didik didorong untuk membangun sendiri pengetahuan/pemahaman yang ingin dipelajari melalui penyelidikan terhadap fenomena-fenomena yang ditemukan. Mengacu pada sintaks kegiatan yang ada dalam Discovery Learning, diharapkan terjadi peningkatan yang signifikan pada kualitas dan kuantitas pertanyaan peserta didik kelas XI IIS 3 SMA Negeri 6 Surakarta.

Berdasarkan uraian yang dipaparkan di bahasan kerangka berpikir tedapat keterkaitan antara usaha peningkatan kualitas dan kuantitas pertanyaan peserta didik dengan pembelajaran Discovery Learning. Pola keterkaitan dapat dilihat melalui skema yang disusun seperti tampak pada Gambar 2.1.

(7)

12

Gambar 2.1 Gambar Skema Kerangka Berpikir

Kondisi Kelas

 Interaksi antara guru dan peserta didik masih kurang.

 Guru mendominasi pembelajaran.  Peserta didik yang bertanya ada 4 peserta

didik.

 Kualitas pertanyaan mayoritas masih pada level mengingat dan menjelaskan.

Kualitas dan kuantitas pertanyaan peserta didik masih kurang.. Pembelajaran masih menggunakan model ceramah. Akar Permasalahan  Guru menggunakan model pembelajaran ceramah.

 Peserta didik kurang terlatih untuk bertanya selama pembelajaran.  Peserta didik kurang

terstimulasi untuk berpikir kritis.

Penerapan model

Discovery Learning.

 Model pembelajaran yang mampu meningkatkan kualitas pertanyaan.

 Model pembelajaran yang memfasilitasi peserta didik untuk terlatih bertanya.

 Model pembelajaran yang menstimulus peserta didik meningkatkan kemampuan berpikir.

Orientation menstimulus rasa ingin tahu peserta didik (Kowalski &

Kowalski 2013).

Hypothesis Generation membuat kesimpulan sementara melatih

kemampuan berpikir dan bertanya (Alfieri, 2011)

Hypothesis Testing menguji kebenaran kesimpulan sementara. Mendorong

peserta didik untuk menganalisis, bertanya, dan berpendapat (Klahr & Nigam, 2004)

Conclusion menarik kesimpulan dari hasil pengujian dan kesimpulan

sementara. Mendorong peserta didik untuk menganalisis dan berpendapat (Alfieri, 2011)

Regulation tahap mengevaluasi, mengamati, memonitoring. Kegiatan

membutuhkan kemampuan berpikir kritis, bertanya, dan berpendapat (Chin, 2008).

Kebutuhan Abad 21  Kemampuan berpikir kritis  Kemampuan interpersonal &

intrapersonal.

 Kemampuan berkomunikasi.

Sintaks Discovery Learning (Veermans,2003)  Orientation Hypothesis generation Hypothesis testing Conclusion Regulation

Kualitas dan kuantitas pertanyaan guru dan peserta didik meningkat.

(8)

13

C. Hipotesis Tindakan

Hipotesis tindakan peneliti yaitu: penerapan Discovery Learning dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pertanyaan peserta didik sebagai indikator kemampuan berpikir kritis kelas XI IIS 3 SMA Negeri 6 Surakarta.

Gambar

Gambar 2.1 Gambar Skema Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Keterangan : PO_VENDORS merupakan tabel yang berisi data akun bank dari vendor yang digunakan untuk melakukan transaksi penjualan material... Lampiran 23

2) Koordinasi adalah kemampuan untuk mempersatukan ataupun memisahkan suatu tugas kerja yang kompleks. Dengan ketentuan bahwa gerakan koordinasi meliputi kesempurnaan

Pengalaman belajar dalam kegiatan discovery learning dilakukan melalui aktivitas penemuan dengan pemecahan masalah terkait materi pelajaran untuk menemukan konsep secara

Tingginya nilai MHD tersebut disebabkan oleh kepadatan penduduk Kota Surakarta yang paling tinggi dibanding kabupaten/kota lain di Jawa Tengah dan juga curah hujan dalam

Pemahaman adalah kemampuan seseorang untuk mengerti dan memahami apa yang diperolehnya sehingga dapat menerangkan dan menjelaskan kembali serta memanfaatkan

Kawasan penyimpanan produk mestilah dilengkapi pencahayaan dan pengalihan udara yang sesuai untuk menyimpan dan mengendalikan bahan berbahaya.. Gunakan pengalihan udara

1. Paradigma penelitian Kuantitatif adalah positivism, bahwa dunia kehidupan social dapat diteliti berdasarkan prinsip-prinsip hukum sebab akibat seperti

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memahami resiliensi ekonomi rumah tangga petani dalam pengelolaan Ume Talang di Desa Lebung Gajah Kecamatan Tulung