commit to user
5BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan
1. Model Pembelajaran Discovery Learning a. Pengertian Discovery Learning
Discovery learning merupakan pembelajaran berbasis penyelidikan dan konstruktivistik (Mayer, 2004; Tan, 2006; Roestiyah, 2008). Discovery learning tidak hanya menekankan aplikasi pengetahuan, tetapi lebih mengarahkan siswa untuk membangun pengetahuan dari pengalaman balajar. Pengalaman belajar dalam kegiatan discovery learning dilakukan melalui aktivitas penemuan dengan pemecahan masalah terkait materi pelajaran untuk menemukan konsep secara mandiri (Bruner, 1961). Siswa yang berusaha secara mandiri untuk menemukan pemecahan masalah dan pengetahuan dapat menghasilkan pengetahuan yang bermakna dan mudah diingat (Dahar, 2011). Siswa tidak disajikan konsep yang harus dikuasai secara langsung tetapi disajikan material untuk menemukan konsep (Alfieri, Brooks, Aldrich, & Tenenbaum, 2011). Discovery learning menekankan pada kerja siswa untuk memperoleh pengetahuan melalui aktivitas yang dirancangnya dan guru tidak menyampaikan materi pelajaran secara langsung (Ilahi, 2012; Cohen, 2008). Discovery learning menurut Asmani (2010) dilakukan dengan prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran perseorangan dan memanipulasi obyek sebelum menarik kesimpulan.
Discovery learning bertujuan membuat siswa untuk menemukan konsep secara mandiri dan membantu siswa menggunakan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) (Cruickshank, Jenkin and Metcalf, 2003).
Siswa menggunakan keterampilan berpikir tingkat tinggi untuk membangun pengetahuan berdasarkan informasi-informasi yang ditemukan melalui aktivitas penemuan seperti mengeksplorasi, mensintesis pengetahuan baru, dan memecahkan masalah (Castranova, 2013). Discovery learning menurut Moore (1994) melibatkan siswa dalam pemecahan masalah yang diikuti dengan
commit to user
penyelidikan ilmiah untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan.
Discovery learning memiliki karakter sebagai pembelajaran berbasis penyelidikan dan konstruktivistik yaitu guru diposisikan sebagai fasilitator, siswa terlibat melakukan penyelidikan dan guru mendorong siswa untuk berpikir secara mendalam, siswa menerima tantangan untuk menemukan pengetahuan untuk diri sendiri daripada guru harus memberikan jawaban (Cruickshank, Jenkin and Metcalf, 2003).
Discovery learning menurut Cruickshank, Jenkin and Metcalf (2003) digunakan ketika tujuan instruksional suatu pembelajaran bertepatan dengan tujuan utamanya untuk mendorong siswa berpikir, membantu menemukan pengetahuan yang diciptakan dan mendukung pengembangan berpikir tingkat tinggi.
b. Langkah Langkah Model Pembelajaran Discovery Learning
Pelaksanaan discovery learning melibatkan siswa dan guru sebagai subyek pendidikan. Pelaksanaan discovery learning diawali oleh siswa dengan pengetahuan awal dan pengalaman yang pernah dilalui untuk menemukan fakta dan hubungannya dengan kebenaran teori (Jiang & Perkins, 2013).
Langkah-langkah pokok discovery learning menurut Ilahi (2012) yaitu adanya masalah yang dipecahkan dan mengumpulkan data untuk memberikan jawaban secara tepat. Pembelajaran discovery menurut Ahmadi dan Prasetyo (2005) terdiri dari stimulation, problem statement, data collection, data processing, verification, dan generalization. Proses discovery learning menurut Moore (1994) terdiri dari pemilihan masalah, mengajukan solusi, mengumpulkan data, analisis data serta interpretasi, dan pengujian kesimpulan. Penerapan discovery learning menurut Cruickshank, Jenkins, & Metcalf (2009) mencakup tiga hal pokok yaitu persiapan, pelaksanaan dan penutupan. Tahap persiapan meliputi aktivitas penentuan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dengan menentukan materi pelajaran berupa konsep, fakta, teori, hukum yang harus ditemukan siswa. Tahap pelaksanaan meliputi aktivitas penentukan langkah- langkah pemecahan masalah atau pertanyaan secara tepat. Tahap penutupan
commit to user
meliputi aktivitas merumuskan kesimpulan dari hasil atau data yang telah dikumpulkan dari pengamatan dan percobaan.
Discovery learning dapat diterapkan melalui langkah-langkah yang disesuaikan dengan karakteritik yang dimiliki. Langkah-langkah discovery learning menurut Veermans (2003) terdiri dari lima fase yaitu: orientation, hypothesis generation, hypothesis testing, conclusion, dan regulation. Orientation yaitu siswa membangun pengetahuan awal tentang materi yang dipilih dan merumuskan masalah berdasarkan topik materi yang dipilih. Hypothesis generation yaitu memprediksi atau merumuskan hipotesis mengenai keterkaitan variabel yang dipilih. Hypothesis testing yaitu menguji hipotesis yang dibuat melaui analisis literatur, pengamatan terhadap objek yang diteliti dan melakukan eksperimen. Conclusion yaitu meninjau hipotesis dengan bukti yang dihasilkan dari pengujian hipotesis dan memutuskan bukti yang sejalan dengan prediksi dari hipotesis awal. Regulation terdiri dari planning yang melibatkan pengaturan tujuan dan menentukan cara untuk mencapai tujuan, monitoring merupakan proses melacak langkah-langkah dan tindakan yang dilakukan saat perencanaan, dan evaluation menekankan pada refleksi hasil dan langkah-langkah yang diambil saat pelaksanaan.
c. Keunggulan Discovery Learning
Proses pembelajaran penemuan berkontribusi untuk menciptakan pengetahuan baru bagi siswa dan menghasilkan tingkat motivasi yang lebih tinggi serta meningkatkan retensi informasi karena siswa terlibat langsung pada aktivitas penemuan (Joolingen, 1999). Discovery learning menurut Castronova (2013) dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa dengan menemukan konsep, mengkaitkan fakta dan fenomena yang diamati sehingga siswa lebih memahami dan mudah mengingat konsep yang ditemukan. Penerapan discovery learning menurut Balim (2009) dapat berpengaruh positif terhadap kemampuan menemukan (inqury skills), prestasi akademik dan daya mengingat siswa.
Discovery learning juga mendorong pengembangan keterampilan sosial yang positif melalui kerjasama siswa saat mengembangkan keterampilan perencanaan, prosedur dan penyelesaian tugas serta meningkatkan penguasaan kemampuan
commit to user
pengetahuan intuitif siswa (Moore, 1994; Swaak, de Jong, & van Joolingen, 2004). Discovery learning menurut Roestiyah (2008) mengarahkan cara belajar siswa untuk belajar lebih giat melalui proses penemuan.
Discovery learning menurut Joolingen (1999) dapat mengembangkan keterampilan penemuan meliputi generasi hipotesis, desain eksperimen, prediksi, dan analisis data, serta keterampilan regulatif seperti perencanaan, pemantauan dan evaluasi. Penerapan discovery learning menurut Cruickshank, Jenkins, &
Metcalf (2009) dapat membuat siswa berpikir mengenai aktivitas yang ingin dirancang, meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skills), dan membantu siswa menemukan konsep pengetahuan. Penemuan konsep pada discovery learning dapat mengembangkan metakognitif siswa melalui kegiatan perencanaan dan pemantauan belajar (Tan, 2006).
2. Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang lazim diterapkan dalam pembelajaran sehari-hari yang cenderung pada belajar hafalan dan jarang melibatkan peran aktif siswa dalam pembelajaran di kelas (Doantara, 2008).
Pembelajaran konvensional yang diterapkan di kelas pembanding adalah ceramah tanya jawab dan diskusi. Pembelajaran ceramah tanya jawab dan diskusi merupakan pembelajaran dengan pola pembelajaran menerima atau transfer of knowledge. Pembelajaran dengan penerapan pembelajaran konvensional dianggap berhasil apabila materi yang disampaikan guru diterima ole siswa (Gulo, 2008).
Pembelajaran konvensional cenderung pada belajar hafalan yang menekankan informasi konsep, latihan soal dalam teks, serta penilaian yang masih menuntut pada satu jawaban benar.
Materi yang disampaikan melalui ceramah membutuhkan waktu yang lebih singkat. Penyampaian materi lebih banyak dilakukan melalui komunikasi satu arah sehingga siswa kurang diberi kesempatan untuk mengkonstruk materi secara mandiri. Materi yang diberikan oleh guru pada pembelajaran konvensional disampaikan dengan lisan kepada sejumlah siswa sebagai pendengar. Cara
commit to user
mengajar dengan cara transfer of knowledge menjadikan siswa cenderung menerima keputusan dalam pembelajaran yang diberikan guru.
3. Metakognitif
Metakognitif merupakan pemikiran tingkat tinggi yang melibatkan kontrol aktif pada proses kognitif (Livingstone, 1997). Metakognitif menurut diartikan sebagai proses berpikir tentang berpikir untuk membangun strategi memecahkan masalah. Pebelajar diajarkan strategi-strategi untuk menilai pemahaman, menghitung waktu yang diperlukan untuk mempelajari sesuatu dan memilih rencana yang efektif untuk belajar atau memecahkan masalah (Trianto, 2011). Metakognitif mengacu pada pemikiran tingkat tinggi yang melibatkan kontrol aktif kegiatan belajar seperti merencanakan, menyelesaikan tugas, memantau pemahaman, dan mengevaluasi kemajuan penyelesaian tugas yang dirancang siswa (Livingston, 1997). Siswa yang memiliki metakognitif tinggi menurut Countiho (2007), hasil belajarnya lebih baik dibandingkan siswa yang memiliki metakognitif rendah. Metakognitif diperlukan siswa pada proses pembelajaran untuk mengatur dan mengontrol proses-proses kognitif seseorang dalam belajar dan berpikir, sehingga belajar menjadi lebih efektif dan efisien (Livingston, 1997).
Metakognitif menurut Schraw & Dennison (1994) terdiri dari dua komponen yaitu pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge), dan pengalaman atau regulasi metakognitif (metacognitive experiences or regulation).
Pengetahuan metakognitif merupakan pengetahuan tentang kognisi seperti pengetahuan tentang keterampilan dan strategi kerja yang baik untuk belajar.
Pengetahuan metakognitif terdiri atas tiga aspek yaitu pengetahuan deklaratif yang merupakan pengetahuan tentang kemampuan yang dimiliki oleh seseorang, pengetahuan prosedural yang merupakan pengetahuan tentang cara menggunakan berbagai strategi dalam belajar, dan pengetahuan kondisional yang merupakan pengetahuan tentang waktu yang tepat untuk menggunakan strategi belajar tertentu.
commit to user
Pengalaman atau strategi metakognitif (metacognitive regulation) merupakan cara untuk meningkatkan kesadaran mengenai proses berpikir yang terdiri dari perencanaan, manajemen informasi, monitoring, revisi, evaluasi (Schraw & Dennison, 1994). Perencanaan yaitu merencanakan, menentukan tujuan, dan mengalokasikan sumber bahan terutama untuk belajar. Manajemen informasi yaitu mengurutkan kegiatan atau strategi yang digunakan untuk memproses informasi secara lebih efisien. Monitoring yaitu menilai pembelajaran diri sendiri atau menilai strategi belajar yang sedang digunakan. Revisi yaitu strategi atau langkah yang dilakukan untuk mengoreksi kesalahan pemahaman atau problem. Evaluasi yaitu menganalisis perolehan dan efektivitas strategi pada akhir kegiatan pembelajaran.
Metakognitif menurut Hacker (Downing, 2009) terdiri dari pengetahuan metakognitif, keterampilan metakognitif, dan pengalaman metakognitif, sedangkan penggolongan metakognitif menurut Corebima (2009) yaitu kesadaran metakognitif dan keterampilan metakognitif. Pengetahuan metakognitif dan keterampilan metakognitif berperan penting untuk pembelajaran selanjutnya sehingga diperlukan pengukuran keduanya. Pengukuran keterampilan metakognitif menurut Corebima (2009) dapat dilakukan melalui pemberian tes essay yang didalamnya terintegrasi keterampilan metakognitif dengan penilaian menggunakan rubrik keterampilan metakognitif berdasarkan kategori pengetahuan dan regulasi metakognitif.
B. Kerangka Berpikir
Hakikat pembelajaran biologi sebagai sains yaitu produk, proses, dan sikap. Pembelajaran biologi idealnya berpusat pada siswa (student centered), yaitu siswa merupakan subyek belajar yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi dalam diri siswa. Siswa belajar biologi tidak hanya dengan cara menerima pengetahuan saja, melainkan berperan aktif dalam pembelajaran untuk menemukan dan mendapatkan konsep-konsep yang dapat dipelajari secara mendalam sehingga tidak hanya sekedar hafalan materi yang mudah hilang dari ingatan siswa. Pembelajaran biologi yang umum diterapkan di
commit to user
sekolah adalah pembelajaran dengan pola menerima. Pembelajaran biologi yang berorientasi hanya pada produk membuat siswa kurang berperan dalam proses pembelajaran karena siswa hanya mendengarkan penjelasan dari guru dan kurang memberdayakan metakognitif siswa. Metakognitif penting dalam pembelajaran karena siswa dapat mengetahui bagaimana untuk belajar, mengetahui kemampuan dan modalitas belajar yang dimiliki sehingga siswa dapat menjadi pebelajar mandiri. Metakognitif berperan penting pada proses pembelajaran untuk memilih strategi yang tepat, memonitoring pelaksanaan dan mengevaluasi perkembangan belajar siswa sehingga mencapai keberhasilan pembelajaran.
Pembelajaran biologi yang mengembangkan metakognitif secara otomatis mendukung proses pendidikan yang tidak hanya sekedar memberikan materi. Pengembangan metakognitif dalam proses pembelajaran biologi membutuhkan model pembelajaran yang tepat. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk memberdayakan keterampilan metakognitif siswa adalah pembelajaran yang berasaskan konstruktivistik yaitu pengetahuan dibangun oleh siswa. Pembelajaran berasaskan konstruktivistik salah satunya adalah model pembelajaran penemuan (discovery learning).
Discovery learning terjadi bila siswa ikut terlibat langsung dalam proses pembelajaran berupa penemuan untuk menemukan pengetahuan dan konsepnya sendiri sehingga siswa diposisikan sebagai subyek dan guru sebagai fasilitator dan motivator. Pembelajaran discovery learning dapat mengembangkan metakognitif melalui proses perencanaan, pemantauan dam evaluasi. Proses pembelajaran Discovery learning meliputi lima fase yaitu orientation, hypothesis generation, hypothesis testing, conclusion dan regulation (planning, monitoring, dan evaluation).
commit to user
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Perbedaan Keterampilan Metakognitif Antara Penerapan Discovery Learning dan Pembelajaran Konvensional HARAPAN
- Kegiatan pembelajaran student center, konstruktivistik.
- Kecakapan abad 21:
kemampuan bersosialisasi, kemampuan berkomunikasi dan berkolaborasi,
kemampuan menggunakan informasi dan teknologi, berpikir kreatif dan berinovasi, kritis, mampu memecahkan masalah, metakognitif
KENYATAAN
- Kegiatan pembelajaran dikelas dengan pola menerima.
- Penyelesaian soal tes berupa soal kognitif tingkat tinggi dengan penalaran dan problem solving kurang.
- Keterampilan Metakognitif kurang terlatih
Proses Pembelajaran
Konvensional Discovery
Learning
1. Penyampaian tujuan 2. Ceramah
3. Diskusi kelompok 4. Presentasi
5. Konfirmasi
1. Orientation 2. Hypothesis generation
3. Hypothesis testing 4. Conclusion 5. Regulation
Mengungkapkan ide atau gagasan melalui diskusi kelompok,
aktivitas penyamarataan
pengetahuan melalui tutor sebaya dalam kelompok, aktivitas tanya jawab saat presentasi kelompok
Mencari informasi diberbagai sumber belajar untuk membangun pengetahuan, terdapat kegiatan penemuan melalui penyelidikan (berbasis konstruktivistik) sehingga siswa paham terhadap apa yang dikerjakan, Siswa mengevaluasi pemikirannya tentang proses dan hasil
Perbedaan Keterampilan Metakognitif
commit to user
C. HipotesisHipotesis penelitian yaitu terdapat perbedaan keterampilan metakognitif antara model discovery learning dan pembelajaran kovensional pada pembelajaran biologi siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Mojolaban tahun pelajaran 2013/2014.