• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keratoconus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Keratoconus"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

B A B I PENDAHULUAN

Keratokonus merupakan kelainan dari kornea. Bentuk kornea mengalami penonjolan dari bentuk normal. Keratokonus adalah penyakit kornea yang bersifat kronis dan non inflamasi dimana daerah sentral dan parasentral dari kornea mengalami penipisan dan penonjolan sehingga kornea tampak berbentuk kerucut. Efeknya penderita mengalami gangguan penglihatan saat melihat suatu benda. Keratokonus merupakan penyakit yang terjadi pada masa dewasa (earlyadulthood) dan bersifat kronis.

Keratokonus pertama kali di jelaskan oleh seorang dokter inggris bernama John Nottingham di naskahnya yang berjudul “pengamatan praktis di kornea berbentuk kerucut dan penglihatan pendek serta cacat lain pada mata yang berhubungan dengan itu”, pada tahun 1854.

Prevalensi keratokonus di laporkan sebesar 50 per 100.000 dengan insiden tahunan sebesar 2 per 100.000. Tidak ada pola herediter yang khas namun adanya keratokonus pada keluarga tertentu telah dilaporkan terdapat pada sekitar 6-8% dari kasus.

Sampai saat ini terapi keratokonus hanya terbatas pada kaca mata dan lensa kontak, sedangkan pada kasus yang berat dilakukan keratoplasti tembus. Beberapa usaha untuk mencari alternatif terapi keratokonus dilaporkan pada beberapa literatur seperti keratoplasti thermis, photorefractive keratectomy, laser in situ keratomileusis (LASIK), dan yang terbaru berupa pemasangan intra

(2)

corneal ring segments. Penyebab keratokonus tidak diketahui dengan pasti dan penatalaksanaannya masih terus berkembang.

(3)

B A B II I S I

2.1 Embriologi Kornea

Mata berkembang dari tiga lapisan embrional primitif, yaitu ektoderm, neuroektoderm dan mesoderm. Kornea dibentuk dari lapisan nureal crest cell yang merupakan derivat dari ektoderm.

Pada akhir dari minggu ke-6 gestasional, kornea telah terdiri dari 3 lapis, yaitu lapisan epitel skuamosa superfisial dengan sel basal yang berbentuk kubus, lapisan stroma dan laisan set endotel. Pada bulan ke empat, lapisan Bowman dan descement mulai terlihat. Saat lahir ukuran diameter kornea mencapai 10,00 mm dan terus berkembang kemudian berhenti ketika telah berusia 1 tahun.

(4)

2.2 Anatomi dan Fisiologi Kornea

Kornea adalah jaringan transparan dan avaskular terletak di bagian sentral dari kutub anterior bola mata yang akan bergabung dengan sklera dan konjungtiva. Kornea akan tampak berbentuk elips bili dilihat dari bagian depan dengan ukuran diameter horisontal 11-12 mm dan diameter vertikal 9-11 mm. Indeks refraksi kornea sebesar 1,376. Radius dari kurvatura kornea sentral sekitar 7,8 mm (6,7-9,4 mm). Kekuatan dioptri karena sebesar 43,25 dioptri atau sekitar 74% dari total kekuatan dioptri mata manusia normal.

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata bagian di sebelah depan. Nutrisi kornea diperoleh dari difusi glukosan akuos humor dan difusi oksigen melalui lapisan air mata. Bagian perifer kornea juga mendapat oksigen dari sirkulasi limbal.

(5)

Secara mikroskopis korna terdiri dari 5 lapisan, yaitu: 1. Epitel

Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis selepitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih, satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden, ikatan ini menghambat pengaliran air, eliktrolit, dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Adanya ikatan yang kuat antara sel-sel epitel superfisial mencegah terjadinya penetrasi cairan air mata ke dalam stroma.

2. Lapisan Bowman

Lapisan Bowman adalah lapisan yang terkuat dan terbentuk dari lapisan fibril kolagen yang tersusun secara random. Ketebalan lapisan ini sekitar 8-14 mikro meter. Bila terjadi luka yang mengenai bagian ini maka akan digantikan dengan jaringan parut karena tidak memiliki daya regenerasi. 3. Stroma

Stroma merupakan 90% dari seluruh ketebalan kornea dan dibentuk oleh keratosit yang memproduksi kolagen. Jenis kolagen yang dibentuk adalah tipe I, III dan VI. Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen

(6)

yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sadangkan dibagian perifer serat kolagen ini bercabang, terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma. Transparansi kornea juga ditentukan dengan menjaga kandungan air di stroma sebesar 78%.

4. Membran Descement

Membrana descement adalah suatu lamina basalis yang tebal dan longgar pada stroma. Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 μm.

5. Endotel

Berasal dari mesotelium, berlapis satu,bentuk heksagonal, besar 20-40 μm. Endotel melekat pada membran descement melalui hemi desmosom dan zonula okluden. Sel endotel mempunyai fungsi transport aktif air dan ion yang menyebabkan stroma menjadi relatif dehidrasi sehingga terut menjaga kejernihan kornea.

(7)

Gambar 2.4. Penampang melintang kornea

2.3 Epidemologi

Keratokonus mempunyai onset pada masa pubertas dan mengalami progresivitas sampai dekade ketiga atau keempat kehidupan. Kelainan yang menyertai keratokonus yang paling sering adalah sindroma Down, amaurosis kongenital Leber (Leber’s congenital amaurosis), dan kelainan jaringan penyangga (connective tissue). Keratokonus terjadi pada semua ras dan tidak mempunyai predisposisi pada jenis kelamin tertentu.

2.4 Etiologi

1. Penelitian Biokimia

Terjadinya penipisan stroma pada keratokonus diduga disebabkan meningkatnya enzim protease, yang disebabkan menurunya enzim

(8)

inhibitor protease. Pada pemeriksaan biokimia didapatkan penurunan enzim alpha1- proteinase inhibitor, alpha2 macroglobulin dan TMP-1. 2. Faktor Genetik

Pada penelitian silsilah keluarga didapatkan bahwa keratokonus diturunkan secara autosomal dominan dengan penetrasi yang bervariasi. 3. Penyakit Lain

Sindroma Down dilaporkan mempunyai angka kejadian keratokonus yang lebih tinggi dibanding angka kejadian pada populasi umum, yaitu sebesar 5-15% (100-300 kali lebih besar). Kebiasaan menggosok-gosok mata (eye rubbing) juga dikaitkan dengan patogenensis terjadinya keratokonus.

Beberapa literatur menyebutkan hubungan keratokonus dengan kelainan jaringan penyangga (connective tissue disorders). Keratokonus juga disebutkan terjadi pada osteogenesis imperfecta, sindroma Ehlers-Danlos dan 58% dari pasien keratokonus yang dilakukan tindakan operatif ternya mempunyai kelainan prolaps katup jantung. Pemakainan lensa kontak juga diduga merupakan salah satu penyebab keratokonus. Namun sulit dibuktikan mana yang lebih dahulu terjadi, pemakainan lensa kontak atau keratokonus.

2.5 Histopatologi

Penipisan dari stroma kornea, robekan pada membran Bowman, dan penumpukan besi di lapisan basal epitel kornea merupakan triad klasik histopatologi yang ditemukan pada keratokonus.

(9)

Pada membrana Bowman terjadi robekan disertai penonjolan lapisan kolagen stroma di bawahnya, bentukan jaringan parut berbentuk Z, dan nodul yang tampak dengan pengecatan PAS (periodic acid Schift). Membrana descement jarang terkena kecuali adanya robekan pada keadaan hidrops akut.

Pada pemeriksaan histopatologi keadaan hidrops akut menunjukkan adanya edema dari stroma. Membrana descement robek, terpisah dari permukaan posterior dan terlipat-lipat. Keadaan ini biasanya membaik dalam 3-4 bulan setelah fase akut.

2.6 Klasifikasi

Secara keratometri, keratokonus di bagi menjadi 3 yaitu ringan (<48 D), sedang (48-54 D) dan berat (>54 D). Secara morfologi di bagi sebagai berikut:

1. Nipple Cones

Ditandai dengan ukuran yang kecil (<5mm). Pusat dari puncaknya terletak pada sentral atau parasentral dan berpindah ke arah infero nasal.

(10)

2. Oval Cones

Ditandai dengan ukuran yang lebih besar (5-6mm).

Gambar 2.6. Oval Cones 3. Globus Cones

(11)

Gambar 2.7. Globus Cone 2.7 Anamesis dan Pemeriksaan

2.7.1 Anamesis

Keratokonus adalah suatu kondisi dimana kornea terbentuk mirip kerucut sebagai akibat dari proses penipisan stroma kornea. Penipisan kornea ini menyebabkan astigmatisme irregular, miopia dan penonjolan yang pada akhirnya menyebabkan menurunnya tajam penglihatan. Penyakit ini bersifat progresif dan bilateral, walaupun pada awalnya hanya mengenai satu mata.

Pada awalnya mungkin berupa penurunan tajam penglihatan yang ringan. Pada stadium lanjut akan timbul gangguan penglihatan yang bermakna sejalan dengan semakin progresifnya penyakit, namun pasien dengan keratokonus tidak pernah sampai buta total akibat penyakit ini.

(12)

Gambar 2.8. Visus penderita keratokonus

Tanda-tanda keratokonus antara lain penglihatan kabur, ada perubahan persepsi terhadap benda yang dipandang, astigmatisme buruk, penglihatan ganda pada satu mata, rabun malam, cahaya terlihat melebar, sensitif terhadap cahaya dan mata gatal.

2.7.2 Pemeriksaan A. Pemeriksaan Luar

1. Tanda dari Munson

Adanya bentuk seperti huruf V pada kelopak mata bawah saat pasien melirik ke bawah yang disebabkan kelainan bentuk dari kornea.

(13)

Gambar 2.9. Tanda dari Munson pada Keratokonus 2. Tanda dari Rizzzuti

Bila lampu senter disinarkan dari arah temporal akan tampak reflek dari kerucut di kornea sebelah nasal. Tanda ini merupakan tanda awal dari keratokonus.

Gambar 2.10. Tanda dari Rizzuti B. Pemeriksaan Visus dan Refraksi

Pada stadium awal didapatkan kelainan refraksi berupa myopia dan astigmatisme regular yang bisa dikoreksi dengan kaca mata. Pada stadium lanjut berupa astigmatisme irregular yang sudah tidak dapat lagi dikoreksi dengan kaca mata melainkan dengan lensa kontak keras.

(14)

C. Pemeriksaan Lampu Celah Biomikroskop Didapatkan:

1. Penipisan stroma kornea, umumnya didaerah inferior atau infero-temporal.

2. Garis dari Vogt, ditemukan garis-garis halus sejajar dengan aksis dari kerucut di stroma bagian dalam yang hilang sementara pada penekanan bola mata dengan jari.

3. Cincin dari Fleisher, merupakan deposit besi pada epitel yang mengelilingi dasar kerucut.

D. Pemeriksaan Lain

Ditemukan reflek gunting atau terpotongnya reflek dari retinioskopi, adanya refleks tetesan minyak (oil-droplet reflek) pada pemeriksaan dengan oftalmoskop direk pada jari sekitar 30 cm.

E. Pemeriksaan Topografi Kornea

Pada pemeriksaan dengan piring plasido dapat dideteksi perubahan kornea pada keratokonus yang sub klinis. Rabinowitz menemukan adanya pembelokan pada meridian horizontal.

(15)

Gambar 2.11. Piring placido videografi –komputer pada keratokonus 2.8 Perjalanan Penyakit

Fase Awal

Tanda-tanda yang didapat pada fase ini meliputi:

1. Reflek tetesan minyak dengan pemeriksaan oftalmoskop pada jarak sekitar 30 cm.

2. Retinoskopi memperhatikan reflek gunting yang irreguler.

3. Pemeriksaan lampu celah memperlihatkan garis-garis Vogt yang hilang dengan melakukan penekanan yang ringan pada bola mata.

4. Saraf-saraf kornea yang prominent mungkin tampak. 5. Keratometer memperlihatkan astigmatisme irregular.

Fase Lanjut

Fase ini ditandai dengan:

1. Penipisan kornea yang progresif lebih dari sepertiga ketebalan kornea 2. Visus jelek karena miopia astigmat irreguler yang berat.

(16)

4. Pemeriksaan lampu celah bisa didapatkan cincin dari Flischer 5. Jaringan parut pada stroma kornea pada kasus yang berat

Fase Hidrops Akut

1. Suatu keadaan akut dimana cairan aqueous masuk ke kornea karena adanya robekan pada membran Descement. Hal ini menyebabkan turunnya visus secara mendadak disertai tidak nyaman dan epifora.

2. Diterapi dengan pemberian tetes mata salin hipertonik, bebat mata atau lensa kontak lunak, dan pemberian siklopegik untuk mengurangi nyeri siliaris.

2.9 Diagnosis Banding

1. Degenerasi Pellucid Marginal

Terjadi penipisan kornea bagian inferior. Onset pada dekade ketiga sampai kelima dari kehidupan, bersifat progresif dan tidak mempunyai predileksi pada jenis kelamin tertentu.

(17)

Gambar 2.12. Pellucid Marginal 2. Keratoglobus

Seluruh kornea mengalami penipisan. Penyakit ini timbul sejak lahir, bersifat bilateral dan diduga disebabkan oleh kelainan sintesa kolagen.

(18)

2.10 Penatalaksanaan 1. Kaca Mata

Untuk mengkoreksi astigmatisme regular atau astigmatisme irregular yang ringan.

2. Lensa Kontak Keras

Dibutuhkan pada derajat astigmat yang berat dan menghasilkan permukaan refraktif yang regular.

3. Tindakan bedah

A. Keratoplasti Tembus

Di indikasikan pada pasien keratokonus yang timbul jaringan parut pada apeks dari kornea dan pasien yang tidak bisa dikoreksi atau tidak toleran terhadap lensa kontak.

(19)

B. Keratoplasti Lamellar Dalam (deep lamellar keratoplasty/DLK)

Keratoplasti lamellar adalah prosedur transplantasi kornea dengan ketebalan tertentu.

Gambar 2.15

(20)

Membuat kornea lebih flat/datar dengan menggunakan aplikasi panas. Sumber panas yang bisa digunakan adalah Laser holmium-YAG non kontak.

Gambar 2.17 Laser Termal Keratoplasti 4. Prosedur Ablatio Kornea

A. Ablasi Kornea Dengan Laser Eksimer (Excimer Laser) Tujuan ablasi kornea dengan laser pada keratokonus ialah:

 Sebagai terapi pasien keratokonus yang tidak toleran dengan lensa kontak karena adanya nebula. Pengambilan jaringan parut tersebut dapat meningkatkan toleransi pasien keratokonus terhadap penggunaan lensa kontak.

 Sebagai prosedur refraksi untuk meratakan kerucut dan mengurangi astigmatisme, meningkatkan toleransi pemakaian kaca mata dan lensa kontak.

(21)

Gambar 2.18

Gambar 2.19 Excimer Laser (PRK) B. LASIK (Laser in Situ Keratomileus)

Lasik digunakan untuk menangani miopia astigmatisme pada pasien dengan keratokonus, terutama pada stadium forme-fruste. Namun pada observasi lebih lanjut ditemukan adanya regresi dari visus akibat progresifitas dari keratokonusnya dan pada akhirnya juga memerlukan tindakan keratoplasti.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon konsumen terhadap operasik lasik, yaitu:

(22)

• Usia di atas 18 tahun

• Mata dalam keadaan sehat (tidak ada iritasi) • Tidak sedang dalam kondisi hamil

• Tidak memiliki penyakit degeneratif dan penyakit berbahaya lainnya.

• Melepas kacamata atau lensa kontak minimal 3 minggu sebelum dilakukan operasi lasik.

• Ketebalan kornea yang akan diperbaiki harus menyisakan ukuran 250 µm.

(23)

Gambar 2.21 Laser Sculpts

Gambar 2.22 Lasik Surgery 5. Prosedur Addisi Kornea

(24)

Epikeratoplasti bertujuan membuat kornea berubah bentuk dengan cara menambahkan jaringan kornea donor yang telah dipahat. Walaupun visus paska keratoplasti tembus lebih baik daripada epikeratoplasti, namun epikeratoplasti tetap direkomendasikan sebagai alternatif bedah untuk pasien yang tidak dianjurkan dilakukan keratoplasti tembus, seperti pasien dengan sindroma Down atau atlet profesional.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk kornea donor adalah sebagai berikut:

• Kornea jernih

• Jumlah endotel kornea cukup banyak

• Tidak menderita penyakit: hepatitis, HIV (+), tumor mata, septikemia, sifilis, glaukoma, leukemia serta tumor-tumor yang menyebar seperti kanker payudara dan kanker leher rahim.

• Mata harus diambil kurang dari 6 jam setelah meniggal dunia • Kornea donor harus digunakan dalam waktu kurang dari 2x24 jam. • Kornea donor diaawetkan dengan: pendinginan, gliserin anhidrat,

ruang lembab, media kultur, Mckaufman medium, pengawetan krio.

Sedangkan syarat-syarat untuk kornea resipien, yaitu: • Letak kerusakan kornea di bagian tengah

(25)

• Relatif dalam keadaan tenang

• Jaringan kornea yang keruh bebas dari perlekatan dengan jaringan lain.

• Tekanan bola mata normal

• Kondisi air mata dan selaput lendir relatif normal

Gambar 2.23 Epikeratoplasti B. Lensa Intraokuler Fakik

Lensa intraokular fakik semakin populer penggunaannya. Miopia sering berhubungan dengan keratokonus. Pada beberapa pasien degan kornea yang masih jernih namun sudah tidak dapat toleran terhadap lensa maka cara ini dapat dipertimbangkan.

C. Cincin Kornea Intra Stroma

Cincin ini berfungsi untuk memendekkan kelengkungan arkus permukaan anterior kornea dan mendatarkan daerah korena sentral.

(26)

Cara ini bersifat reversibel (cincin tersebut dapat diambil kembali) dan juga bisa dianjurkan pada pasien sindroma Down dimana tindakan keratoplasti tembus sangat beresiko karena kurangnya kerjasama pasien.

Gambar 2.24 Cincin Kornea intrastroma 2.11 Prognosis

Keratokonus adalah suatu bentuk dari kornea mata berupa penipisan pada kornea didaerah sentral dan parasentral yang berakibat kornea menjadi tipis dan menonjol seperti kerucut. Penyakit ini merupakan penyakit non inflamasi, bersifat kronis dan progresif. Bila terjadi jaringan parut pada kornea bagian sentral akan menyebabkan penurunan visus yang bermakna dan tidak dapat dikoreksi dengan lensa kontak.

(27)

B A B III PENUTUP

Keratokonus ialah penyakit kelaianan kornea non inflamasi dan bilateral dimana daerah sentral atau parasentral dari kornea mengalami penipisan dan penonjolan sehingga kornea tampak berbentuk kerucut. Gambaran histopatologi klasik berupa penipisan stroma, deposit besi di epitel atau basal membran, serta robekan-robekan pada lapisan membrana Bowman. Pemeriksaan biokimiawi menunjukkan adanya enzim degradatif, inhibitor protein dan IL-1 mungkin berperan penting dalam patogenensi penyakit ini.

Pada stadium awal, kaca mata sudah cukup memperbaiki visus. Lensa kontak keras merupakan bentuk terapi yang paling sering dipakai. Bila lensa kontak sudah gagal memperbaiki visus, maka transplantasi kornea merupakan tindakan bedah yang memberikan hasil visus terbaik.

(28)

DAFTAR PUSTAKA

1. Basic and Clinical Science Course 2001-2002: Fundamentals dan principles of opthalmology; American Academy of Oftalmology;156

2. Basic and Clinical Science Course 2003-2004: External Disease and Cornea; American Academy of Oftalmology; hal.9-312

3. Bruce AS, Loughnan MS, 2003. Anterior eye disease and therapeutic A.Z. Oxford: Butterworth-Heinemann: 184-189

4. Ilyas Sidarta. Ilmu Penyakit Mata, edisi ke-3. Fakultas kedokteran UniversitasIndonesia. Jakarta.2005.EGC

5. Cibis GW, Abdel-Latif AA, Bron AJ et all, 2001. BCSC 2001-2002 Section 2: Fundamental and principles of opthalmology. San Fransisco: The Foundation of the American Academy of Opthamology: 156

6. Colin J, Velou S, 2003. Current surgical options for keratokonus. J Cataract Refract Surg 29: 379-386

7. Colin J, Velou S, 2003. Implantation of intact and a refractive intraocular lens to correct keratokonus. J Cataract Refract Surg 29: 832-834

8. Kanski JJ, 2003. Clinical Ophtalmology: A Systemic Approach. 5”ed, Oxford: ButterwortHeinemann: 131-135

9. Kenny MC, Brown DJ, 2003. The cascade hypothesis of keratokonus. Contact lens and anterior eye 26: 139-146

10. Kymes SM, Walline JJ, Zadnik K et al, 2004. Quality of life in keratokonus. Am J opthalmology 138:527-525

11. Mandell RB, 2008. Contempory management of keratokonus. ICLC 24: 43-58

12. Rabinowitz, 2009. Keratoconus: major review. Suerv of Opthalmology 42:297-319

13. Siganos CS, Kymionis GD, Kartakis N et all, 2003. Management keratoconus with intacs. Am J opthalmology 135:64-79

(29)

14. Surphin JE, Chodosh J, Dana MR et all, 2003. BSCS 2003-2004 Section 8:External disease and cornea. San Fransisco: The Foundation of The American Academy of Opthamlmology: 9, 311-316, 425-444,456,496, 497 15. Wachler BS, Chandra NS, Chou B et al 2003. Intact for Keratoconus.

Gambar

Gambar 2.1. Gambar kornea dan bagian-bagian sekitar kornea
Gambar 2.2. Kornea Penampang Melintang
Gambar 2.4. Penampang melintang kornea
Gambar 2.5. Nipple Cones
+7

Referensi

Dokumen terkait

Softlens (lensa kontak) adalah sebuah alat yang digunakan untuk membantu penglihatan sebagai pengganti kacamata, softlens biasanya dipasang pada kornea mata dan terbuat dari

Erthokeratology adalah cara pencocokan dari beberapa seri lensa kontak, lebih dari satu minggu atau bulan, untuk membuat kornea menjadi datar dan menurunkan

Simpulan pada penelitian ini adalah terdapat hubungan yang bermakna dengan derajat korelasi sedang antara lama pemakaian lensa kontak dengan sensibilitas kornea,

Toksisitas yang dicetus oleh lensa kontak yang tidak bergerak berhubungan dengan akumulasi yang cepat dari metabolik pada lapisan kornea anterior, yang dapat mengakibatkan

Lensa kontak adalah penutup dari kaca atau plastik yang melengkung digunakan langsung diatas bola mata atau kornea mata untuk memperbaiki kesalahn refraksi mata (Anderson,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Lensa kontak adalah benda kecil yang diletakkan di kornea dan akan melekat dengan baik karena adanya tear-film yang menutup permukaan

Opsi ketiga adalah penggunaan lensa kontak bifokal.1,4,5 Indikasi penggunaan lensa kontak pada pasien dengan presbiopia antara lain adalah untuk memenuhi kebutuhan tajam penglihatan

Walaupun mengakibatkan berbagai komplikasi, desain awal lensa kontak hybrid memberikan alternatif yang menjanjikan untuk pasien dengan intoleansi penggunaan lensa kontak RGP dan lensa