• Tidak ada hasil yang ditemukan

PESANTREN DAN KARAKTER BANGSA (Kajian Pendalaman Diklat Pembina Pesantren) Dr. H. Muchammad Toha, M.Si. Abstrak Pondok pesantren adalah lembaga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PESANTREN DAN KARAKTER BANGSA (Kajian Pendalaman Diklat Pembina Pesantren) Dr. H. Muchammad Toha, M.Si. Abstrak Pondok pesantren adalah lembaga"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PESANTREN DAN KARAKTER BANGSA (Kajian Pendalaman Diklat Pembina Pesantren)

Dr. H. Muchammad Toha, M.Si. Abstrak

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang cukup tua dan perkembang seiring dengan perkembangan Indonesia, sehingga keberadaannya tidak dapat dipisahkan dengan negeri yang memiliki penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Dikaji dari segi bahasanya Pesantren berasal dari bahasa Sanskerta, ini menunjukkan keunikan tersendiri, karena Pesantren telah dikenal sebagai lembaga Pendidikan Ke-Islaman yang paling tua tapi justru namanya bukan dari bahasa Arab. Perjalanan pesantren dengan kiainya juga tidak lepas dari penderitaan karena dianggap basis perlawanan masyarakat terhadap penjajah, sehingga keberadaannya selalu dipantau, gerakannya dibatasi, komunikasinya dihambat demi membonsai keberadaan pesantren ini. Namun itu semua bukanlah halangan bagi pesantren untuk berperan aktif dalam mencetak kader-kader bangsa yang bermoral dan berpihak pada kebenaran.

Kata kunci : pesantren, karakter, bangsa. Pendahuluan

Pesantren memiliki sejarah panjang dalam pengembangan pendidikan keislaman di Indonesia, ada yang mengatakan lembaga yang didirikan para ulama (kiai : Jawa) merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia dan terus berkembang hingga hari ini. Pendirian pesantren ini dimaksudkan untuk memenuhi keperluan pendidikan bagi masyarakat dalam usaha lebih memahami dan mengamalkan ajaran Islam, dengan mengutamakan kesempurnaan moral keagamaan sebagai pegangan hidup. Begitu besar peranan pesantren dalam membangun negara, terutama dalam mempersiapkan para kader yang berilmu dan bermoral dalam mewujudkan negara yang makmur sejahtera.

Pada umumnya pendirian pesantren mempunyai tujuan, mendidik para santri menjadi manusia berilmu dan beramal serta berkepribadian Islam yang siap mendedikasikan dirinya menjadi juru penerang dan pembimbing masyarakat (Arifin, 1995 : 248). Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan berusaha

(2)

mensosialisasikan ajaran-ajaran Islam sebagaimana dilakukan para ulama salaf yaitu memasukkan nilai-nilai ajaran luhur Islam ke dalam tata nilai masyarakat lokal, disamping menekankan pentingnya pengamalan ajaran tersebut dalam praktek sehari-hari maupun dalam bentuk ritual khusus. Mulai dari pelaksanaan ibadah murni, seperti shalat sampai pengetahuan mengenai hukum pidana-perdata maupun tata negara dan kemasyarakatan lainnya (Muzadi, 1999 : 3). Kajian Istilah dan Sejarah

Geertz (1981 : 268) mengatakan pesantren berasal dari kata santri, sedangkan kata santri memiliki arti yang luas dan sempit. Dalam arti yang sempit, santri adalah seorang murid pada suatu lembaga pendidikan agama yang disebut pondok atau pesantren. Sedangkan kata santri dalam arti yang luas adalah sebagian masyarakat Jawa yang memeluk Agama Islam secara taat, yaitu melaksanakan shalat lima waktu, dan shalat jum’at serta melaksanakan perintah-perintah Agama Islam yang lain.

Lebih detail diurai Woodward, pesantren berasal dari kata santri, sedangkan santri diduga berasal dari kata sastri (Sanskerta) atau sattiri (Tamil) berarti terpelajar (learned) atau ulama (scholar). Kedua istilah itu merujuk pada ulama ulama keagamaan, kendatipun di Jawa yang dimaksud hal ini adalah siapapun yang memeluk bentuk Islam yang berpusat pada syariah atau memiliki pengetahuan mendalam dalam ilmu agama dan bahasa Arab. Selain itu, santri juga bias menunjukkan pada segmen komunitas Islam Jawa yang mengutamakan pentingnya kesalehan normatif, yaitu, shalat lima waktu, puasa pada bulan ramadhan, berhaji dan bentuk ibadah lainnya, serta mendalami teks-teks keagamaan berbahasa Arab (Woodward, 199 : 113).

Baik Geertz, Woodward hingga Steenbrink (1986 : 18) meyakini bahwa pesantren adalah cikal bakal terbentuknya lembaga pendidikan tradisonal Islam asli Indonesia. Namun ketiga tokoh ini berbeda pendapat ketika mengkaji tentang proses kelahirannya. Ada dua pendapat berbeda yang membahas proses kelahiran pesantren, antara lain: Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa pesantren merupakan karya asli masyarakat pribumi Nusantara. Dasar yang digunakan untuk memperkuat pendapat ini adalah, adanya persamaan antara pesantren dengan

(3)

sistem pendidikan Hindu-Budha. Pesantren dipersamakan dengan mandala dan asrama yaitu lembaga pendidikan pra- Islam. Pesantren merupakan komunitas mandiri yang pada awalnya mengkonsentrasikan diri di sebuah lokasi yang jauh dari keramaian kota (pegunungan/hutan), terbukti sampai hari ini banyak pesantren yang berada di pedesaan. Singkatnya, pesantren adalah artefak peradaban nusantara dilahirkan sebagai lembaga pendidikan keagamaan bercorak tradisional, serta memiliki kekhasan tersendiri. Pesantren memiliki hubungan historis dengan lembaga pendidikan pra-Islam yang telah ada dan berkembang sejak kekuasaan Hindu-Budha kemudian di-Islam-kan dengan segala bentuk penyesuaian dan perubahannya (Madjid, 1997 : 10). Pendapat ini diperkuat Sumardjan (1981 : 275), pesantren tidak terdapat di belahan Negara Islam manapun, kecuali Indonesia, India yang Hindu serta Burma atau Muangtai yang Budha.

Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa munculnya pesantren di Nusantara mengadop model lembaga pendidikan Islam Timur Tengah, berarti menolak pendapat yang mengatakan pesantren merupakan kelanjutan perkembangan mandala atau asrama yang telah ada sejak masa Hindu-Budha. Justru model pendidikan pesantren memiliki kedekatan dengan sistem pendidikan Al-Azhar Kairo Mesir dalam bentuk riwaq (Van Bruinessen, 1992 : 35). Pendapat yang hampir senada mengatakan, pesantren, khususnya di Jawa merupakan kombinasi madrasah dengan pusat kegiatan tarekat, bukan Islam dengan Hindu-Budha (Dofier, 1994 : 34).

Ditinjau sejarah kelahirannya, pesantren di tanah Jawa pertama kali didirikan para Walisanga. Sheikh Maulana Malik Ibrahim mendirikan pesantren sebagai lembaga awal untuk mengkader para penyebar Islam pada generasi setelahnya. Sunan Ampel mendirikan pesantren di Ampel Denta Surabaya, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Giri mendirikan pesantren di Sidomukti yang kemudian popular dengan sebutan Giri Kedaton, begitu juga Walisanga lainnya yang mendirikan pesantren di wilayahnya masing-masing (Kafrawi, tth : 17).

Pendapat lain mengatakan, pesantren bukan muncul sejak masa awal Islamisasi, tapi baru sekitar abad 18 dan berkembang pada abad 19 M. Walaupun

(4)

pada 16 dan 17 telah ada guru yang mengajarkan Agama Islam di masjid dan istana, namun pesantren diyakini muncul di era kemudian. Dasarnya adalah tidak ditemukannya istilah pesantren dalam naskah klasik Nusantara, seperti Serat Cebolek dan Serat Centini. Bahkan istilah pesantren juga tidak ditemukan di Wejangan Seh Bari dan Sejarah Banten, dua naskah kuno yang ditulis pada abad 16 dan 17 (Bruinessen, 1992 : 55). Uniknya menurut Dofier (1994 : 35). dengan menggunakan dasar yang sama yaitu Serat Cebolek dan Serat Centini, mendapatkan kesimpulan, bahwa pada awal abad 16 telah banyak pesantren berdiri di Tanah Jawa. Pendapat yang lebih lama lagi dilontarkan Mastuhu, (1994 : 30), dengan tegas mengatakan pesantren telah berdiri di Jawa pada periode abad 13 M

Tentang pesantren ini, dalam pembahasan yang agak berbeda Kuntowijoyo (1987 : 37), menguraikan pendapatnya tentang tiga lembaga pendidikan yang dikenal masyarakat Jawa (termasuk di dalamnya Islam Jawa) sejak masa lampau yang ketiganya merepresentasikan sub-kultur masing-masing, antara lain: kraton, pesantren dan peguron (perguruan). Kraton adalah istana raja Jawa yang dikelilingi benteng, pesantren adalah tempat pendidikan bagi para agamawan khususnya santri muslim, dan peguron (perguruan) adalah tempat pendidikan ilmu kanuragan yang biasanya diikuti oleh komunitas abangan. Ketiga lembaga ini memberikan kontribusi dalam mengembangkan Islam Jawa.

Dalam sejarah pembangunan pesantren, biasanya diawali berdirinya langgar (mushalla) sebagai tempat beribadah dan mengaji, kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para santri. Meskipun bentuknya masih sederhana, namun pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan pendidikan yang teratur dan terstruktur, sehingga pendidikan pesantren dianggap bergengsi di masyarakat. Disamping itu, pesantren juga menjadi lembaga untuk mendalami tentang doktrin dasar Islam, khususnya dalam praktek kehidupan keagamaan di kalangan umat Islam.

Pesatnya perkembangan pesantren didorong sikap non-kooperatif ulama terhadap kebijakan “Politik Etis” pemerintah Kolonial Belanda pada akhir abad ke 19. kebijakan pemerintah kolonial tersebut adalah berupa pendirian lembaga

(5)

pendidikan oleh Belanda sebagai wujud balas budi kepada masyarakat Indonesia, tapi jumlahnya sangat terbatas. Maka para ulama mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi pemerintah klonial serta memberikan kesempatan rakyat yang tidak dapat mengenyam pendidikan di lembaga yang didirikan Belanda, disamping sebagai bentuk silent opposition ulama terhadap penjajah. Faktor lain yang mendorong pesatnya perkembangan pesantren karena makin banyaknya pribumi Nusantara yang belajar di Timur Tengah, ketika pulang mendapat gelar haji dan mengembangkan ilmu yang telah diperolehnya pada lembaga pendidikan yang dibentuk dan dikenal dengan sebutan pondok pesantren (Masyhud, 2003 : 1-2).

Tipologi, Sistem Pendidikan, dan Kelompok Santri.

Pesantren dari segi tipologinya dibagi menjadi tiga, antara lain: Pertama, pesantren tradisional, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan mengajarkan kitab-kitab berbahasa Arab yang ditulis ulama abad 15. Pola pengajarannya menerapkan sistem halaqah yang dilaksanakan di masjid atau surau (Mastuhu, 1994 : 158). Kedua, pesantren modern, yaitu pesantren yang meninggalkan sistem belajar pesantren tradisional. Penerapan sistem belajar modern terutama kelihatan pada penggunaan kelas-kelas, baik dalam bentuk madrasah atau sekolah. Kurikulum yang dipakai mengikuti kurikulum sekolah atau madrasah yang berlaku secara nasional (Ghazali, 2003 : 14). Ketiga, pesantren komprehensif, yaitu pesantren yang sistem pendidikannya merupakan penggabungan antara sistem pesantren tradisional dengan modern. Pengajian kitab kuning tetap berjalan, namun secara regular sistem persekolahan terus dikembangkan, begitu juga dengan berbagai macam keterampilan dan teknologi dalam kehidupan (Saridjo, 1980 : 9).

Sistem pendidikan pesantren berhubungan dengan tipologi pesantren, untuk pesantren tradisional sistem yang digunakan antara lain: (a) Sorogan, bentuknya adalah para santri ditugaskan membaca kitab, sementara kiai atau ustad menyimak dan mengoreksi bacaan dan performan seorang santri. Sistem ini disebut juga individual learning process atau layanan pembelajaran individual. (b) Bandongan, bentuknya adalah, kiai membaca kitab, sementara para santri

(6)

mendengarkan sambil memberi catatan (ngesahi, Bahasa Jawa) pada kitab yang sedang dibaca. Sistem ini disebut juga collective learning process atau layanan pembelajaran kolektif (Masyhud, 2003 : 3).

Dalam pesantren, keberadaan santri digolongkan menjadi dua, antara lain: (a) kelompok santri mukim, yaitu santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di pesantren. Santri mukim yang paling lama biasanya memiliki tanggung jawab untuk ikut mengurusi pesantren sehari-hari. Biasanya juga ditugasi untuk mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah. (b) kelompok santri kalong, yaitu santri yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren, yang biasanya tidak menetap di pesantren. Untuk mengikuti proses pendidikan di pesantren biasanya dilakukan bolak-balik (nglaju/Bahasa Jawa) dari rumah ke pesantren (Munif, 1993 : 13).

Dinamika Pesantren

Ketika Islam mulai menyebar dan melahirkan kerajaan-kerajaan di berbagai pelosok Nusantara, pesantren sebagai tempat memperdalam ilmu-ilmu agama mendapat ruang gerak yang leluasa. Pesantren tumbuh dan berkembang di pusat-pusat kekuasaan dan ekonomi rakyat serta menjadi satu-satunya sistem pendidikan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat pada waktu itu. Bahkan di daerah-daerah tertentu pesantren sempat menjadi semacam lembaga kaderisasi para putra mahkota Kerajaan Islam.

Sebagai satu-satunya institusi pendidikan, pesantren berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat pada waktu itu. Pesantren kemudian tidak lagi hanya berperan sebagai institusi tradisional yang terbatas geraknya di dalam lingkungan pesantren saja, tapi pesantren juga menjadi penentu model keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam serta memegang peranan yang penting dalam penyebaran Islam sampai ke pelosok desa. Dapat dikatakan pesantren sebagai ujung tombak sekaligus yang bertanggung jawab atas penyebaran Islam di Nusantara. Pesantren pada masa ini menjelma sebagai pusat perubahan-perubahan masyarakat lewat kegiatan penyebaran agama, kegiatan politik sebagaimana pengaruhnya terhadap kerajaan-kerajaan Islam, perdagangan dan pembukaan daerah-daerah baru (Faiqoh, 2003 : 154).

(7)

Ketika Belanda masuk ke Indonesia, keadaan umat Islam berubah drastis, kontak antara Islam di Jawa dan Negara-negara Islam yang lain sangat dibatasi. Apalagi setelah kekuatan kolonial Belanda berhasil memecah belah bangsa Indonisia dan menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam, keadaan umat Islam di Indonesia makin tertekan. Dalam kondisi sulit ini, pesantren sebagai salah satu penopang kerajaan-kerajaan Islam juga mengalami tekanan, kiai sebagai pemegang otoritas pesantren selalu mendapat pengawasan (Ali dan Effendy, 1990 : 25).

Menurut Belanda, para kiai dianggap berbahaya karena kharisma yang dimiliki dapat digunakan untuk menyatukan potensi masyarakat sehingga membangkitkan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Sikap keras kolonial Belanda pada kiai bisa dilihat dengan adanya kebijakan untuk memiliki surat ijin (paspor) bagi seorang kiai yang melakukan perjalanan kemanapun, hal ini dimaksudkan untuk memantau segala aktifitas seorang kiai dan segera menindak apabila dianggap berlawanan dengan pemerintahan Belanda (Dirdjosanjoto, 1999 : 36). Karena tekanan inilah, para kiai (ulama) khususnya di Jawa melakukan resistensi terhadap kekuasaan, sejak itu para kiai melakukan pengembangan dakwah di pelosok-pelosok desa yang tidak terjangkau kekuasaan Belanda (Azra, 2001 : 105).

Karakteristik Pendidikan Pesantren

Masyarakat pada umumnya mengakui yang paling dominan hasil pendidikan pesantren adalah memiliki penguasaan terhadap agama, bahkan di beberapa pesantren tertentu para alumninya disamping memiliki keunggulan agama juga cukup piawai dalam berbahasa Arab maupun Inggris sehingga tidak sedikit setelah lulus dari pesantren berhasil melanjutkan ke pendidikan di Timur Tengah dan tidak jarang pula ke negara-negara barat.

Disamping keunggulan sebagaimana tersebut diatas, alumni pesantren biasanya memiliki karakter yang khas sebagai identitas yang melekat dalam pribadiannya antara lain:

1. Rendah hati, sering dijumpai walau lulusan pesantren memiliki pemahanan ilmu yang cukup mendalam namun dalam kehidupan

(8)

bermasyarakat justru menunjukkan sikap sebaliknya, yaitu rendah hati dan sangat menghargai orang lain, terutama para alumni yang berasal dari pondok pesantren salaf. Sikap tidak mudah menyalahkan orang atau kelompok lain yang tidak seide dengan dirinya adalah menjadi kenyataan para santri, karena perbedaan bukan alasan untuk tidak bersahabat atau bahkan memeranginya, apalagi memposisikan orang lain yang seagama dalam golongan kafir dan murtad, karena ada tradisi di kalangan santri bahwa manusia adalah mahluk yang kecil dan lemah di depan Tuhan, sehingga yang seharusnya dilakukan seorang santri adalah beribadah dan berbuat baik bagi sesama serta melakukan dakwah dengan cara kasih sayang.

Namun sebaliknya, sikap rendah hati yang dimiliki para alumni pondok pesantren justru oleh sebagian kalangan dianggap sebagai bentuk sikap rendah diri, atau sikap yang tidak siap bagi santri untuk bersaing dalam kancah masyarakat global,. Bagi masyarakat di luar pesantren, sosok yang pintar adalah harus agresif menampilkan dirinya dalam berbagai kegiatan, sedangkan santri tidak biasa melakukan hal semacam itu, yang sering dijumpai, seorang santri lebih senang menahan diri dan mempersilahkan orang lain untuk mengambil peran yang lebih maksimal. Sehingga yang sering terjadi di masyarakat cukup banyak kepeloporan dan karya monumental kaum santri yang diakui oleh pihak-pihak lain, atau lebih jelek lagi kaum santri dinilai minder dan keberadaannya diposisikan tak sejajar dengan elite yang lain.

2. Setia Kawan, karena dididik dalam waktu yang lama secara bersama-sama setiap hari, mulai makan bersama, belajar bersama, olahraga bersama dan shalat selalu berjamaah, maka alumni pesantren memiliki ikatan yang luar biasa walaupun diantara para santri tersebut sama-sama telah meninggalkan pesantren. Sehingga agak jarang mendapatkan sesama santri terlibat tawuran atau berantem sebagaimana yang sering disaksikan dilembaga pendidikan lain.

(9)

Karena adanya perasaan yang sama salah satunya adalah sama-sama jauh dari orang tua dan keluarga sehingga lahir perasaan yang saling membantu dan melindungi diantara sesama santri, saling meminjam, memberi dan berbagi adalah kenyataan yang tak dapat dilepaskan dari kehidupan para santri karena suasana kehidupan laksana keluarga telah terbangun dengan permanen di lembaga pesantren ini, penghormatan terhadap santri senior dan kasih sayang terhadap santri yunior merupakan fakta umum yang hampir ada di setiap pesantren.

Karena bimbingan dan binaan yang dilakukan santri senior terhadap santri yunior inilah akan melahirkan ikatan batin luar biasa sehingga melahirkan rasa persaudaraan sejati walau sebenarnya tidak pernah berada dalam satu rahim, dan ini biasanya tetap terjalin dengan baik sampai para santri ini sama-sama menjadi tokoh yang berhidmah di masyarakat, bila diantara mereka telah ada yang tampil sebagai pemangku pesantren, maka sesama alumni pesantren itu akan merekomendasi pada masyarakat agar keluarganya disantrikan di lembaga tersebut.

3. Sederhana, biasanya pondok pesantren didirikan di daerah-daerah pedesaan atau pelosok desa yang jauh dari gemerlap lampu dan hiruk pikuk kota metropolitan, sehingga pada umumnya kehidupan yang bangun di pondok pesantren adalah gaya hidup sederhana dan memanfaatkan apa yang ada di sekeliling lingkungannya. Beberapa pondok pesantren salaf justru mengajak para santrinya untuk bercocok tanam di sawah ladang milik pesantren yang kemudian hasil panennya selain dipasarkan tapi yang lebih utama digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi para santrinya.

Menu makanan para santri tak ubahnya dengan menu masakan masyarakat desa dimana pondok pesantren tersebut berada, walaupun sejatinya para santri yang bermukim di pondok pesantren tersebut tidak jarang berasal dari kalangan masyarakat kota dengan level ekonomi berada. Sering dijumpai juga di pondok pesantren salaf, model makan bersama dalam satu talam (wadah) besar dengan dengan menu seadanya menjadi pemandangan

(10)

biasa. Dari cara makan saja tentunya dapat digunakan sebagai sarana membentuk sikap sederhana, hidup damai secara bersama, bahkan makan dari hasil karya dan ikhtiarnya sendiri.

4. Terus Belajar, suasana di pondok pesantren yang selalu terus menerus dalam suasana belajar menjadikan para santri ikut terbawa dalam usaha mencerdaskan dirinya, karena teman sekamar tidak berhenti membaca dan belajar, papan pengumuman biasanya yang ditempelkan adalah surat kabar atau informasi ilmiah lainnya, di dinding-dinding pondok pesantren biasa dipenuhi tulisan-tulisan yang diambil dari al-Qur’an, Hadits atau Maqalah berisi pentingnya mencari ilmu serta derajat yang tinggi bagi para pencari ilmu, sehingga akan terus terus merangsang para santri untuk semakin gigih dalam belajar.

Siang-malam, pagi-petang yang selalu terdengar di pondok pesantren adalah bacaan-bacaan Kitab suci dan hafalan-hafalan baik dilakukan secara mandiri atau jamaah yang mendukung mantabnya keilmuan Islam di kalangan para santri menjadi kebiasaan yang harus diikuti semua santri. Begitu juga dengan kegiatan kepemimpinan, latihan dakwah, musyawarah, serta simulasi untuk menyelesaikan berbagai masalah, juga menjadi keharusan untuk diikuti setiap santri. Karena terus menerus terasah untuk selalu belajar sehingga kendatipun telah keluar dari pesantren, seorang santri akan tetap menjaga tradisi tersebut.

5. Mandiri, karena berbagai kebutuhan dan keperluan harus dipenuhi dan diselesaikan sendiri, maka kemandirian santri secara langsung atau tidak langsung akan terbentuk saat berada di pondok pesantren. Tentunya berbeda dibandingkan peserta didik di lembaga selain pondok pesantren yang selalu dilayani dan kebutuhannya dipenuhi oleh keluarga sehingga tidak mengarahkan lahirkan kemandirian.

Seorang santri harus dapat mengatur dirinya sendiri, kapan dia harus tidur dan bangun. Kapan dia harus belajar dan apa yang harus dipelajari serta tugas apa yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Bagaimana dia harus mengatur keuangan sehingga cukup dan sesuai dengan waktu yang telah

(11)

ditentukan. Termasuk bagaimana dia istirahat dan mengkonsumsi makanan sehingga tidak berefek negatif bagi kesehatannya.

6. Menghormati orang tua dan guru, ajaran untuk menghormati orang tua dan guru hampir merupakan doktrin yang sangat umum di kalangan pondok pesantren, karena secara kasatmata dapat dibedakan sekali bagaimana seorang peserta didik yang belajar di pondok pesantren dibandingkan dengan yang belajar di luar pondok pesantren dalam menghormati kedua orang tua dan guru beserta seluruh keluarganya.

Pemahaman yang lebih terhadap teks-teks agama yang mengharuskan taat dan patuh terhadap orang tua dan guru berusaha dipraktekkan oleh para santri. Begitu juga hubungan yang baik dengan guru, seorang santri akan membangun hubungan dengan gurunya tanpa ada batasan waktu, dan akan bersambung hingga putra dan keturunan para gurunya, penghormatan yang diberikan pada gurunya juga akan diberikan pada putra dan keluarganya, sehingga akan terbangun kekarabatan yang lebih luas dalam waktu yang lama.

Penutup

Begitu nyata hasil pendidikan pesantren dalam mencetak santri yang berkarakter dan berjiwa mulia ditengah-tengah kemerosotan akhlak masyarakat bangsa yang mayoritas beragama ini, kini ada baiknya ditelaah kembali bukankah lembaga pendidikan pondok pesantren yang oleh sebagian masyarakat dinilai kolot, jadul, udik dan tidak menarik justru mampu untuk dijadikan benteng pengaman dalam memperbaiki moral bangsa ini.

Berangkat dari kenyataan itu, maka ada baiknya jika pemerintah lebih memperhatikan lagi keberadaan pondok pesantren yang telah dengan penuh rasa ikhlas mengambil pilihan untuk turut serta mencerdaskan anak negeri yang berada di wilayah-wilayah yang kurang menguntungkan dan tidak didukung adanya sarana prasarana yang memadai, bahkan untuk mencapai kesejahteraan pengajarnya harus berikhtiar dengan caranya sendiri.

(12)

Daftar Pustaka

Ali, Fachry dan Effendy, Bachtiar, 1990. Merambah Jalan Baru, Rekonstruksi

Pemikiran Islam Masa Orde Baru. Bandung : Mizan.

Arifin. 1995. Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum. Yogyakarta : Rineka Cipta.

Azra, Azumardi. 2001. Pendidikan Islam; Tradisional dan Modern Memuju

Milenium Baru. Bandung : Mizan.

Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup

Kyai. Yogyakarta : LP3ES.

Dirdjosanjoto, Pradjarta, 1999. Meelihara Umat: Kyai Pesantren Kyai Langgar di Jawa. Yogyakarta: LkiS.

Faiqoh, 2003. Nyai, Agen perubahan di Pedesaan.Jakarta : Kucica.

Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Ghazali, M. Bahri. 2003. Pesantren Berwawasan Lingkungan. Jakarta : CV. Prasasti.

Kafrawi. tth. Pembaharuan Studi Pendidikan Pondok Pesantren sebagai Usaha

Pembentukan Prestasi Kerja dan pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta :

Cemara Indah.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta, Tiara Wacana.

Madjid, Nurcholis. 1997. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah potret Perjalanan. Jakarta : Paramadina.

Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang

Unsur dan Nilai Sistem pendidikan Pesantren. Jakarta : INIS.

Masyhud, Sulthon. 2003. Manajemen Pondok Pesatren. Jakarta : Diva Pustaka. Munif, Moh. Hasjim, 1993. Pondok Pesantren Berjuang, Dalam kancah

Kemerdekaan dan Pembangunan Pedesaan. Surabaya: Sinar Wijaya.

Muzadi, A. Hasyim. 1999. Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan

Bangsa. Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu.

Saridjo, Marwan. 1980. Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bhakti.

Sumardjan, Selo. 1981. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Steenbrink, Karel A. 1986. Pesantren, Madrasah, Sekolah. Jakarta : LP3ES. Van Bruinessen, Martin. 1992. Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat. Bandung : Mizan.

Woodward, Mark. 1999. Islam Jawa : Kesalehan Normatif Versus

(13)

Referensi

Dokumen terkait

Kelompok pertama terdiri dari 9 kecamatan dengan sembilan variabel yang berpengaruh signifikan terhadap jumlah kasus TB yaitu persentase penduduk yang berusia ≥ 65

Tanaman meniran (Phyllanthus niruri L.) telah banyak digunakan sebagai obat baik pada manusia maupun pada binatang ternak. Dalam tulisan ini akan dibahas tentang efektivitas ekstrak

Ada meditasi dengan objek untuk mengembangkan daya kontak batin (telepati) agar mampu membaca pikiran atau keadaan mental orang lain, untuk mengembangkan daya terawang jauh

Oleh karena itu, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan (1) kinerja mahasiswa dan (2) kinerja dosen Program SKGJ pada Prodi Penjaskesrek FKIP UNS

akad nikah dengan perempuan perawan atau janda, baik yang berkuasa atas hartanya maupun tidak berkuasa, atas izinnya dalam hal pernikahan dan tanpa izinnya dalam

Berdasarkan data yang di ambil dari teknik wawancara Mahasiswa Maluku angkatan 2013 yang menempuh kuliah di kota Malang memiliki jumlah 60 mahasiswa yang

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, tentang penerapan pendekatan JAS (Jelajah Alam Sekitar) berbasis Imtaq pada konsep dampak pencemaran lingkungan untuk

Adapun karya sastra yang dikaji oleh peneliti berupa novel yang berjudul Al-hubb fii zamani nafti karya Nawal El-Saadawi yang diterbitkan pada tahun 1993 di Kairo dan